1.1.1. PENDAHULUAN
Karena kebutuhan lahan untuk pembangunan terus bertambah,
pembangunan baru terpaksa harus dilakukan diatas tanah yang kurang memenuhi
syarat; yaitu antara lain diatas tanah yang lunak, diatas tanah baru yang didapat
dari mengurug laut, dan diatas tanah yang kurang stabil bila ada getaran/gempa.
Tanah-tanah tersebut harus distablilisasi (diperbaiki) dahulu sebelum dipakai
sebagai pondasi bangunan diatasnya. Selain itu, untuk bangunan tanah seperti
embankment dan urugan, seringkali perencana dipaksa untuk menggunakan tanah
yang ada disekitar lokasi proyek, padahal tanah tersebut kurang memenuhi syarat.
Hal ini karena tanah urug yang baik sudah menipis, mahal, atau sulit didapatkan
secara ekonomis disekitar lokasi tersebut. Jadi tanah yang ada (yang kurang baik
tersebut) terpaksa harus distabilisasi dahulu, baru kemudian dapat dipakai sebagai
bahan urugan yang memenuhi syarat.
Semua kebutuhan diatas memerlukan pengetahuan tentang perbaikan tanah.
Tetapi karena suatu metoda perbaikan tanah belum tentu tepat untuk jenis tanah
yang lain, diperlukan pemahaman yang cukup tentang teknologi perbaikan tanah
yang tersedia dan kesesuaian pengetrapannya. Pada makalah ini dijelaskan
metoda perbaikan tanah masa kini secara garis besarnya saja, serta diberikan juga
kondisi-kondisi dimana perbaikan tanah tersebut dapat dilakukan. Karena luasnya
lahan yang diliput, pada tulisan ini tanah dapat disertakan contoh-contohnya pada
proyek-proyek yang sudah ada (case histories) secara mendetail.
1
2. Pemadatan tanah (soil precompression), terutama yang menyangkut
pemambatan tanah awal (pre compression) dengan pembebanan awal
(preloading) dan penggunaan drain-darain vertikal (vertical drain), serta
pemampatan tanah cara electro osmosis.
3. Injeksi dan grouting kedalam tanah untuk memperkuat tanah dasar dan
menstabilkan struktur tanahnya.
4. Stabilisasi tanah dengan bantuan bahan luar (tambahan) atau dengan bantuan
bahan-bahan kimia yang dicampur ke tanah asli.
5. Stabilisasi cara thermal.
6. Pemberian perkuatan dalam tanah (reinforcement), baik reinforcement tarik
maupun tekan. Disini juga diberikan uraian tentang penggunaan bahan
geosinthesis.
Ringkasan dari teknologi perbaikan tanah dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan suatu metoda perbaikan tertentu akan diberikan pada
akhir dari makalah ini sebagai penutup.
2
mempunyai daya dukung dengan kekuatan yang cukup baik dalam kondisi
renggang tersebut, struktur tanah tersebut mudah runtuh bilamana ada getaran atau
gempa. Jadi tidak baik mendirikan bangunan diatas tanah tak berkohesi yang
renggang, kecuali dapat dipastikan pada daerah tersebut nantinya tidak akan ada
getaran yang berarti.
Pemadatan tanah untuk lapisan tanah renggang tak berkohesi yang cukup
tebal juga menggunakan prinsip getaran. Teknologi pemadatan masa kini meliputi
cara vibrocompaction, blasting (ledakan), dan heavy tamping (penumbukan berat).
Yang dimaksud dengan cara vibrocompaction disini adalah cara yang
menggunakan alat penggetar (menghasilkan getaran) yang dilakukan dengan cara
memasukkan alat tersebut ke dalam tanah yang renggang sampai pada kedalaman
lapisan tanah terbawah yang ingin dipadatkan. Seringkali dengan adanya cara vibro
ini diperlukan tambahan material pengisi untuk tempat-tempat/space yang kosong
akibat adanya pemadatan tanah arah ke samping. Termasuk dalam cara
vibrocompaction ini adalah penggunaan tiang-tiang pancang untuk pemadatan.
Cara blasting (ledakan) ialah cara pemadatan dengan menggunakan bahan
peledak; sedangkan heavy tamping ialah pemadatan dengan menggunakan alat
penumbuk super berat yang dijatuhkan dari suatu ketinggian ke permukaan tanah.
Kedua jenis pemadatan ini menghasilkan gelombang getaran tekan dan geser
(compaction wave dan shear wave) yang cukup besar sehingga susunan partikel
tanah (semula) runtuh dan membentuk susunan yang lebih rapat.
Cara vibrocompaction, blasting, dan heavy tamping pada prinsipnya sama,
yaitu menghasilkan getaran yang dapat meruntuhkan struktur susunan partikel
tanah (mula-mula) sehingga partikel membentuk susunan yang lebih rapat dan lebih
kokoh. Cara vibrocompaction menghasilkan energi yang jauh lebih kecil dari pada
kedua cara yang disebut terakhir. Getaran akibat vibrocompation biasanya terasa
hanya sejauh jarak satu atau dua meter dari sumbernya, sedangkan pada cara
blasting dan heavy tamping, getaran dapat berpengaruh sampai ± 10 meter dari
sumbernya (Mitchell, 1981).
Cara vibrocompaction lebih efektif bila digunakan untuk memadatkan tanah
dominan pasir bilamana jumlah fraksi tanah yang lolos ayakan no. 200 (persen
berat). Adanya fraksi lempung dan lanau yang lebih besar menyebabkan tanah sulit
(berat) untuk dipadatkan dengan cara vibrocompaction ini. Untuk kasus bilamana
3
fraksi lanau dan lempung cukup tinggi sebaiknya digunakan cara blasting atau
heavy tamping.
Adapun cara-cara untuk mengukur hasil pemadatan tanah setelah di
“treatment” dengan cara getaran diatas, atau mengukur perubahan kepadatan dan
kekuatan tanah sebelum dan sesudah pemadatan, dapat dilakukan cara sebagai
berikut (Mitchel, 1981) :
1. Pengukuran dengan bantuan patok-patok settlement di permukaan.
2. Pengukuran dengan SPT (Standard Penetration Test, CPT), sebelum dan
sesudah treatment.
3. Pengukuran dengan alat sondir (Cone Penetration Test, CPT), sebelum dan
sesudah treatment.
4. Pengukuran jumlah volume bahan pengisi tambahan yang dimasukkan dalam
tanah pada cara vibrocompaction menggunakan bahan pengisi.
5. Pengukuran kepadatan tanah cara gelombang geser seismic (sismic shear wave
method).
6. Cara pemancangan tiang dan mengukur resistance tiang tersebut pada kondisi
sebelum dan sesudah treatment.
7. Pengukuran dengan plate loading test.
8. Pengukuran dengan cara alat density meter dalam lubang bor (down-hole
density meter).
9. Dan beberapa cara lainnya.
Perlu diketahui bahwa pemadatan dengan getaran ini memang menghasilkan
perubahan kepadatan yang drastis secara berarti, tetapi perubahan kekuatan tanah
tidak langsung terjadi. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk tanah tersebut
“membangun” strukturnya melebihi kekuatan tanah mula-mula.
Untuk ancer-ancer kondisi tanah pasir, perkiraan kekuatan perlawanan pasir dan
sifat-sifatnya dalam berbagai tingkat kepadatan dapat dilihat pada Tabel 1.1.
4
Tabel 1.1. Pedoman Kondisi Tanah Pasir Dalam Berbagai Tingkat Kepadatan.
Sangat Renggan Kerapatan Rapat/ Sangat
Renggang g Menengah Padat Rapat/Padat
Harga SPT <4 4–10 10-30 30-35 > 50
(jumlah tumbukan/30 cm)* < 50 50-100 100-150 150-200 > 200
Harga konus dari sondir (kg/cm2)* < 15 15-35 35-65 65-85 85-100
Relative Density Equivalent (%)** < 14 14-16 16-18 18-20 > 20
Berat volume kering (KN/m3)
Sudut Geser Dalam (°) < 30 30-32 32-35 35-38 > 38
Rasio Tegangan Berulang (cyclic < 0.04 0.04-0.10 0.01-0.35 > 0.35
stress ratio) yang menyebabkan
liquefaction (τ/σ0 ’) ***
* pada tegangan vertikal overburden 100 Kpa
** untuk pasir yang normally consolidated dan baru saja mengendap pada peristiwa sedimentasi.
*** Menurut Seed (1979).
5
2. Sistem vibroflotation.
Sistem Vibroflotation ini dikembangkan mulanya di Jerman 50 tahun yang
lalu. Alat vibroflotation pada umumnya terdiri dari 3 bagian utama yaitu : alat
vibrator, pipa pemanjang (extension tube), dan mobil derek/crane pemikul.
Prinsip dasar kerja alat seperti pada Gambar 1.2. Uraian yang lebih mendetail
dari sistem vibroflotation dapat dilihat pada Lampiran 1.1.2.
Perbedaan sistem ini dengan sistem vibrating probe ialah bahwa pada
vibroflotation penggetaran bekerja akibat perputaran pada poros alat vibrator
yang tidak centris sehingga menghasilkan gaya centrifugal pada arah horisontal
dan “menyibak” tanah kesamping dan menghasilkan lubang pada tanah. Akibat
getaran centrifugal dan berat sendiri dari vibrator, alat ini dapat dengan cepat
masuk kedalam tanah. Penggetaran menyibak tanah kesamping itu juga dapat
dilakukan dengan bantuan air yang dipompa ke alat vibrator dengan tekanan
(water jet). Pada saat penarikan keatas, lubang yang ditimbulkan oleh sistem ini
diisi dengan pasir atau kerikil, sambil tetap digetarkan untuk memadatkan bahan
pengisi tersebut. Untuk detailnya, cara ini dapat dibaca pada Brown (1977) dan
juga Bell (1975).
6
7
Gambar 1.1. Rentang ukuran butiran tanah yang sesuai untuk pemadatyan dengan sistem
Vibrocompactiopn
Gambar 1. 2. Cara kerja sistem Vibroflotation (dari Brown, 1977).
3. Sistem vibro compozer.
8
Sistem ini mula-mula dikembangkan di Jepang oleh Murayama (1958).
Prinsipnya ialah sebuah pipa casing dipancangkan kedalam tanah dengan
digetar (melalui alat vibrator diujung atas pipa). Kemudian pasir dimasukkan
kedalam pipa casing dengan bantuan tekanan udara. Pasir tersebut kemudian
dipadatkan dengan cara menarik turunkan pipa casing (sambil dicabut) berkali-
kali sehingga terbentuk tiang pasir padat dengan diameter yang lebih besar dari
pada pipa casing tersebut. Selama pemadatan, tanah pasir pengisi tetap dalam
keadaan mendapat tekanan udara (lihat Gambar 1.3. untuk jelasnya).
9
Sistem vibroflotation, vibro-compozer dan SVS juga dapat digunakan pada
tanah lempung yang lunak. Tetapi tujuannya terutama ialah untuk pemasangan
sand column atau stone column pada tanah asli. Jadi yang dituju bukan perubahan
kepadatan tanah asli tetapi instalasi sand/stone column (kolom-kolom pasir dan
kerikil) tersebut. Bila kepadatan tanah asli ingin dirubah dengan penggetaran, cara
vibrocompaction ini lebih efektif untuk tanah-tanah dominan pasir.
10
5. Jumlah total bahan explosive yang digunakan : 8 - 150 gr/m3 tanah, biasanya
sekitar 10-30 gr/m3.
6. Settlement permukaan tanah akibat pemadatan : 2 - 10 % tebal lapisan yang
dipadatkan.
Dengan cara ini, jelas akan terlihat adanya pemadatan yang berarti dari
tanah setempat, tetapi kekuatan tanah tidak segera membaik. Perlu waktu lama
untuk tanah tersebut menguat kembali. Akan tetapi pada tanah dominan pasir,
kekuatan tanah minimal biasanya sudah memenuhi syarat untuk bangunan, hanya
kepadatannya saja yang menjadi masalah bilamana ada getaran nantinya.
Pada tanah-tanah yang tidak terletak di bawah air, akan lebih mudah
dipadatkan bila tanah tersebut lebih dahulu dijenuhkan dengan air kemudian baru
diledakkan. Cara ini disebut hydro-blasting (Litvinov, 1973, 1976, dan Donchev,
1980). Jadi kedalam tanah dipompakan air sampai lapisan tanah disitu sampai
jenuh, baru baru kemudian sistem pemadatan cara blasting dilakukan.
D = ( 0, 65 sampai 0 , 8 ) WH (1)
dimana :
D = Kedalaman maximum pengaruh pemadatan heavy tamping, dalam meter.
W = berat massa penumbuk, dalam ton.
H = tinggi jatuh massa penumbuk, dalam meter.
11
H = tinggi jatuh
12
1.1.4. PERBAIKAN TANAH DENGAN TEKNIK PEMAMPATAN AWAL
(PRECOMPRESSION).
Perbaikan tanah dengan teknik pemampatan ini terutama ditunjukkan untuk
tanah-tanah yang mengalami penurunan yang besar bila dibebani. Memampatkan
tanah yang lembek dan “compressible” (mudah mampat) dapat menyebabkan
peningkatan kekuatan tanah (daya dukung tanah), karena tanah yang memampat
mempunyai struktur susunan partikel yang lebih rapat dan lebih kokoh.
Pada prinsipnya bangunan tidak boleh dibangun di atas tanah yang
compressible bila dikhawatirkan nanti akan terjadi perbedaan penurunan tanah
(differensial settlement) yang lebih besar dari pada batas toleransi bangunan
tersebut. Selain itu tanah lunak (biasanya juga compressible) sering tidak memiliki
daya dukung yang cukup untuk memikul beban bangunan yang didirikan diatasnya.
Untuk itu perlu memampatkan tanah yang bersangkutan sebelum bangunan
didirikan dengan tujuan pokoknya adalah sebagai berikut :
1. Menghilangkan sama sekali (atau sebagian besar), penurunan konsolidasi yang
akan terjadi akibat beban bangunan tersebut. Penghilangan penurunan
konsolidasi ini dilakukan dengan cara membebani tanah dengan beban awal
yang lebih besar atau sama dengan beban bangunan yang direncanakan. Bila
total penurunan tanah yang dicapai sesuai dengan yang direncanakan, beban
awal tersebut dapat dihilangkan (dibongkar). Baru kemudian bangunan yang
sebenarnya dapat dilaksanakan, dan perbedaan penurunan nantinya diharapkan
akan sangat kecil. Karena beban awal tersebut diberikan sebelum beban
sesungguhnya (hanya untuk memampatkan tanah saja), cara seperti ini juga
lebih dikenal dengan cara preloading. Sistem pemampatan ini juga disebut
sebagai precompression.
2. Meningkatkan daya dukung (tanahan geser = shear strength) dari tanah dasar.
Pemampatan dapat meningkatkan tahanan geser tanah sehingga tanah yang
semula lunak dan mempunyai daya dukung yang rendah menjadi lebih kuat dan
lebih stabil dalam mendukung beban bangunan.
13
memperpendek panjang aliran (drainage path) dari air pori. Teknik precompression
atau preloading ini telah berhasil diterapkan pada tanah-tanah yang mendukung
pondasi gedung, embankment, jalan raya, rurnway, tangki-tangki dan abutment
jembatan dengan sukses. Untuk referensi yang cukup lengkap, dapat dilihat tulisan
dari Pilot (1977), Akagi (1977 dan 1979), US Navy (1971), dan dari Hansbo (1979).
14
stabilitas talud timbunan dan cara ini tidak memerlukan bahan timbunan yang
sangat banyak (seperti pada cara pembebanan external). Tetapi, kelemahan cara
pemberian beban internal ialah bahwa cara ini lebih kompleks dan lebih sulit
dilaksanakan dari pada cara pemberian beban external.
15
jenis tanah seperti ini, waktu preloading harus diperpanjang lagi sampai derajad
konsolidasi U z rata-rata mencapai harga sebagai berikut :
S f S sec
U
z f s
S f s
(3)
Dimana Ssec = besar secondary compression akibat beban p f. Pada saat tz dimana
derajat konsolidasi minimum dalam tanah sebesar Uz, pembebanan preloading
dapat dibongkar. Meskipun nantinya secara teoritis penurunan sekunder masih
akan terjadi (dengan beban pf), tatapi besarnya sudah sangat kecil dan dapat
diabaikan (Johnson, 1970).
Selama terjadinya pemampatan tersebut kekuatan geser undrained tanah
(undrained shear strength) meningkat; dan besar peningkatan kekuatan tersebut
dapat diperkirakan misalnya dengan prosedur SHANSEP (Ladd dan Foott, 1974).
16
Gambar 1.5. Prinsip pembebanan preloading pada pemampatan tanah
dengan beban awal pf+s>pf.
Pada Gambar 1.6, harga D adalah jarak antara vertical drain. Jadi adanya
vertical drain sangat menyingkat waktu konsolidasi. Biasanya untuk lebih
menyingkat waktu bagi, cara pemampatan awal (precompression) digabung dengan
penambahan vertical drains.
17
Jadi waktu t tanpa vertical drains yang mula-mula :
2
D
T
, berubah menjadi kira-kira : t ;
TH mulamula 2
t
Cv Ch
(Catatan : rumus waktu untuk vertical drain agak berbeda karena masih ada
faktor-faktor lainnya yang terlibat)
dimana : D = jarak antara vertical drains.
D
Karena H mula mula maka waktu t t
2
Surcharge sementara
Lapisan sand mat (atau sand blanket) diperlukan untuk mengalirkan air yang
keluar dari vertical drains pada permukaan tanah. Jadi pada vertical drains dapat
dijaga tekanan air tetap hidrostatis. Selain itu, pada pemampatan primer (primary
consolidation) biasa tanpa adanya vertical drain, arah pengaliran air adalah
sebagian besar vertikal, sehingga harga Cv yang dipakai adalah Cv arah vertikal.
Padahal dengan adanya vertical drains arah pengaliran air sebagian besar
horisontal dan harga Ch adalah untuk arah horisontal. Karena pada umumnya Ch >
Cv, maka waktu konsolidasi t makin bertambah pendek lagi. Umumnya harga C h/Cv
= 2 sampai 10.
18
Untuk lebih jelasnya tentang teori pemampatan tanah dengan penggunaan
vertical drains, pembaca dipersilahkan mengacu pada Barron (1948), Carillo (1942),
dan Hansbo (1979) untuk prefabicated vertical drain (PV drain).
19
tanah. Bahan penguat tersebut kemudian bereaksi dengan partikel tanah atau
mengeras dalam tanah sehingga membentuk ikatan yang kokoh dan lehih kaku.
Sebagai bahan acuan untuk cara injeksi dan grouting ini dapat disebutkan
yang paling mutakhir yaitu oleh ASCE (1980), Bowen (1975) dan Cambefort (1973)
disamping beberapa referensi lainnya.
Bahan grouting yang paling umum adalah semen. Disamping itu juga sering
digunakan bahan lempung (bentonite, dan lain-lain), atau campuran antara semen
dan tanah. Kapur juga sering digunakan sebagai bahan grouting; biasanya kapur
tersebut dalam bentuk pasta (cair). Selain semen, kapur, dan tanah, sering
pula digunakan bahan kimia (chemical grout) seperti silicates, lignins, resins,
acrylomides dan urethanes. Bahan grouting kimiawi ini umumnya lebih mudah
diinjeksikan pada tanah-tanah yang berbutir halus, sedangkan bahan grouting
semen dan sebangsanya terutama ditujukan untuk tanah-tanah pasir.
Pada umumnya grouting dengan cara injeksi mempunyai 3 (tiga) fungsi :
1. Permeating grouting, yaitu grouting untuk mengisi pori-pori dalam tanah. Disini
bahan grouting harus cukup encer untuk menyusup dalam pori-pori tanah tanpa
merubah volume tanah. Permeating grouting biasanya hanya terjadi pada tanah-
tanah yang lebih kasar dari pasir kasar.
2. Displacement grouting yaitu grouting yang ditujukan untuk mengisi pori tanah
dan menyibak pori tanah menjadi besar. Grouting ini menyebabkan terjadinya
displacement dan perubahan volume pori dalam tanah.
3. Encapsulation grouting, ditujukan untuk mengisi retakan-retakan yang terjadi
dalam tanah akibat tekanan injeksi. Grouting ini tidak menyusup ke pori-pori
tanah tetapi mengisi retakan-retakan sekitar gugusan tanah atau batuan,
sehingga berbentuk lensa-lensa tipis grouting yang berada disela-sela gugusan
tanah/batuan dan membungkus tanah dalam gugusan-gugusan yang cukup
besar.
Grouting dengan cara injeksi ini diprakarsai oleh seorang insinyur Prancis di
tahun 1802 untuk memperbaiki saluran yang terkena erosi yaitu dengan cara
menyuntikkan campuran lempung dan kapur encer kebawah saluran tersebut. Sejak
saat itu grouting digunakan orang, dan dibanyak pemakaiannya grouting dengan
injeksi dilakukan sebagai cara mengurangi rembesan air (dibawah tubuh
bendungan) atau sebagai penahan rembesan.
20
Kegunaan Umum Injeksi dan Grouting pada Perbaikan Tanah
Kegunaan cara injeksi dan grouting pada perbaikan tanah, selain untuk
mengontrol rembesan dalam tanah, dapat diringkas sebagai berikut :
1. Untuk mengisi pori-pori tanah dan ruang-ruang kosong dalam tanah guna
mencegah penurunan yang berlebihan.
2. Untuk meningkatkan kekuatan tanah mendukung bangunan yang ada dan
mencegah adanya pergerakan tanah bila disebelah bangunan tersebut diadakan
penggalian tanah (excavation), pemancangan tiang, dan lain sebagainya.
3. Untuk mencegah dan mengurangi pergerakan tanah pada saat pembuatan
tunnel (terowongan). Grouting sekitar daerah lubang tunnel akan menstabilisir
tanah dan batuan sehingga dinding terowongan tidak mudah bergerak atau
runtuh.
4. Untuk memperkuat dan menyatukan massa tanah sehingga mengurangi
kebutuhan atas perkuatan arah horisontal (lateral support), misalnya pada
galian-galian, turap dan lain sebagainya.
5. Untuk memperkuat tanah dan meningkatkan ketahanan tiang pancang terhadap
beban lateral (tegak lurus sumbu tiang pancang).
6. Untuk menyatukan dan menstabilisir lapisan pasir yang renggang sehingga tidak
mudah mengalami “Liquefaction”.
7. Sebagai penopang (ganjal) dibawah pondaasi (bila pondasi mengalami
penurunan atau dibawah pondasi tercipta rongga-rongga).
8. Untuk mengurangi perubahan volume pada tanah-tanah yang ekspansiv (tanah
mengembang).
21
ialah gabungan antara cara elektro-osmosis dan grouting dengan bahan kimia.
Grouting dilewatkan Anoda sehingga akibat arah pengaliran air dari Anoda ke
Katoda, bahan grouting ikut menyebar di dalam tanah. Cara jet grouting adalah cara
baru yang dikenal di Jepang (Miki dkk, 1980). Prinsip cara jet grouting ini ialah
dengan mengalirkan air bertekanan sangat tinggi kedalam tanah untuk
“mencairkan” tanah sehingga tanah mudah dicampur dengan bahan grouting.
Selain itu cara jet grouting juga dapat mencampur tanah dengan bahan grouting
(semen misalnya) dalam dimensi/ukuran yang cukup besar. Miki dkk (1980)
melaporkan percobaan mereka bahwa dengan cara jet grouting, tanah lempung
lunak dapat diperbaiki sehingga memiliki kekuatan tekan unconfined (Unconfined
Compressive Strength) sebesar ± 30 kali kekuatan semula.
22
Gambar 1.7. Prinsip grouting dengan cara injeksi via pipa (dari Caron, dkk. 1975)
23
Cara Deep Mixing dilakukan dengan cara mengebor tanah dengan alat rotary
drill dan mata auger pembor tanah yang khusus. Saat Rotary Drill mencapai
kedalaman yang diinginkan, alat perlahan-lahan ditarik keatas sambil mencampur
tanah diantara rotary drill dengan bahan penguat. Sebagai hasilnya didapatkan
tiang-tiang (kolom-kolom) tanah yang sudah bercampur dengan bahan penguat
(misalnya semen atau kapur). Cara seperti ini di Jepang sudah berhasil dilakukan
untuk stabilisasi tanah sampai kedalam 60,0 meter. Diameter kolom tanah semen
mencapai 1,75 m, (Okumura dan Terashi, 1975; Terashi dkk., 1979 ). Diameter
kolom-kolom tanah yang sudah diperkuat diluar Jepang, misalnya di Swedia dan
Austria, umumnya lebih kecil (sekitar 0,5 m).
24
atau lempung kelanauan. Pembekuan terutama dilakukan pada tanah yang jenuh
air.
Perbaikan tanah cara thermal ini memerlukan biaya energi yang relatif tinggi
dan penggunaannya mungkin tidak dapat diterapkan dibanyak tempat di bumi ini;
karena faktor cuaca, keberadaan bahan bakar/energi, kondisi tanah dan lain-lain.
Hanya kondisi yang specifik saja yang memungkinkan penggunaan cara ini. Karena
diperkirakan cara ini mungkin tidak akan pernah digunakan di Indonesia, penulis
tidak membahas cara ini lebih lanjut. Untuk referensi, pembaca disarankan
mengacu pada Litvinov (1960), Lirvinov dkk. (1979) dan Kurnakov (1972).
Sedangkan untuk cara pembekuan tanah, pembaca dapat melihat pada Braun dkk.
(1978), Shuster (1972) dan pada makalah Sanger dan Sayles (1979).
25
3. Paku-paku Tanah (Soil Nailing).
Cara ini terdiri dari sekelompok batang-batang dalam tanah serupa paku-paku
dalam tanah. Batang-batang tersebut umumnya digroutingkan didalam tanah.
Soil nailing ini hampir serupa dengan rock bolt pada batuan. Fungsi utamanya
ialah memperkuat tanah dengan menyatukan massa tanah disuatu bagian tanah
yang kurang stabil (misal pada talud dan lereng-lereng).
4. Reinforced Earth (tanah yang diperkuat dengan bahan pengikat buatan).
Reinforced earth disini termasuk semua perkuatan-perkuatan tanah
menggunakan bahan geosynthetis, bahan-bahan khusus dari metal, ground
anchor dan perkuatan sistem tie-back. Yang termasuk bahan geosynthetis untuk
perkuatan tanah (soil reinforcement) meliputi geotextile, geogrid, dan geolinear
elemen.
26
karena keterbatasan waktu, penulis terpaksa tidak dapat menambah uraian lagi.
Pembaca disarankan melihat pada sumber referensi yang disebutkan di atas.
RINGKASAN
Telah diuraikan terdahulu berbagai macam cara perbaikan tanah. Ringkasan
semua cara tersebut berikut kondisi tanah yang sesuai, peralatan, kelebihan,
kekurangan, dan harga relatifnya diberikan pada Tabel 1.2. Sedangkan jenis tanah
yang sesuai untuk masing-masing cara perbaikan tanah dapat dilihat pada Gambar
1.8.
TAMBAHAN
Lampiran 1.1.1. Ringkasan Perbaikan Tanah Untuk Tanah Lunak.
Lampiran 1.1.2. Vibroflotation
27
Tabel 1.2. Ringkasan Perbaikan Tanah Dengan Berbagai Metoda (Mitchell, 1981).
28
Tabel 1.2. Ringkasan Perbaikan Tanah Dengan Berbagai Metoda (Mitchell, 1981).
29
Tabel 1.2. Ringkasan Perbaikan Tanah Dengan Berbagai Metoda (Mitchell, 1981).
30
31
Gambar 1.8. Ringkasan jenis tanah yang sesuai untuk berbagai cara perbaikan
tanah.
DAFTAR ACUAN
Aboshi, H., Ichimoto, E., Harada, K. & Emoki, M. (1979). The compozer : a method
to improve characteristics of soft clays by inclusion Inter. Sur le
Reinforcement des Sols, E.N.P.C-L.C.P.C, 211-216, Paris.
Akagi, T. (1977). Effect of displacement type sand drains on strength and
compressiblity of soft clays. Dept. Of Civil Enging., Toyo Univ., Saitama,
Japan, 403.
Akagi, T. (1979). State of the art report on Settlements and Time Rates of
Consolidation, Geotechnical Engineering (10), 179-198.
Aldrich, H.P. (1965). Prcompression for support of shallow foundation. J. Soil Mech.
And Found. Div. ASCE, (91), SM2, 5-20.
Anderson, R.D. (1974). Sand Vibratory Compaction, J. Const. Div. ASCE. (100),
CO1, 79-95.
Barron, R.A. (1948). Consolidation of fine-gained soils by drain wells. Transactions
ASCE (113), 718-754.
Bell, F.G. (Editor) (1975). Methods of treatment of unstable ground, 1 st.Ed., 215 pp.,
Newnes-Butterworths, London.
Bowen, R. (1975). Grouting in engineering practice. John Willey & Sons, New York,
187 pp.
Braun, B., Schuster, J-A. & Burnham, E.W. (1978), Ground freezing for support of
open excavations, Proc. 1st Int. Symp. On Ground. Freezing, 429-453,
Bochum, Germany.
Brown, R.E. (1977). Vibroflotation compaction of cohesionless soils. J. Geotech.
Engng. Div. ASCE, (103), GT12, 1437-1451.
Cambefort, H. (1973). Methods of soil stabilization (chemical, slurry trench
construction), ASCE, Proc. 8th ICSMFE, (4.3), 351-404, Moscow.
Carillo, N.J. (1942). Simple two and three dimensional cases in the theory of
consolidation of soils. Journ. Mathematics and Physics, (21), 1-5.
Caron, C., Cattlin, P. & Herbst, T.F. (1975). Injections. Chap. 9 of Foudnation
Engineering Handbook, Winterkon & Fan, etc., Van Nostrand Reinhold, New
York.
Donchev, P. (1980). Compaction of less by saturation and explosion. Proc. Int.
Conf. On Compaction, ENPC-LCPC, Paris, 313-317.
Esrig, M.T. (1968). Pore pressures, consolidation, and electrokinetics. J. Soil Mech.
And Found. Div., ASCE, (94), SM4, 899-921.
Gray, D.H. & Mitchell, J.K. (1967). Fundamental aspects of electro-osmosis in soils.
J. Soil Mech. And Found. Div. ASCE, (93), SM4, 209-236.
Hansbo, S. (1979). Consolidation of clay by ban-shaped prefabricated drains.
Ground .......
32
Holtz, R.D. & Wager, O. (1975). Preloading by vacuum-current prospects.
Transportation Research Record 548, 26-29.
Ivanov, P.L. (1967). Compaction of non-cohesive soils by explosions. Izdatel ‘Stvo
Literatury Po Stroitel ‘Stvu, Lenigrad. Published for the U.S. Dept. Of the
Interior, Bureau of Reclamation and National Science Foundation,
Washington, D.C. by the Indian National Scoentific Documentation Centre,
New Delhi. TT 70-57221, 1972, 211 pp.
Johnson. S.J. (1970). Precompression for improving foundation soils. J. Soil Mech.
And Found. Div. ASCE, (96), SM1, 111-144.
Koerner, R.M. & Welsh, J.P. (1980). Construction and Geotechnical Engineering
using Synthetic Fabrics, 267 pp., Willey, New York.
Ladd, C.C. & Foott, R. (1974). New design procedure for stability of soft clays. J.
Geotech. Engng. Div. ASCE, (100), GT7, 763-786.
Litvinov, I.M (1960). Stabilization of settling and weak clayey soils by thermal
treatment. Highway Research Board Special Report No. 60, 94-112.
Litvinov, I., Torgab, A., Stepura, I. & Tjan, R. (1979). Firing of a loess soil to a 25 m
depth. Osnov. Fund. Mech. Grunt. (2), 3, 7-9.
Lizzi, F. (1977). Practical engineering in structurally complex formations (The “insitu
reinforced earth”). Proc. Int. Symp. On Formations, 327-333. Capri.
Lukas, R.G. (1980). Densification of loess deposits by pounding. J. Geotech. Engng.
Div. ASCE, (106), G4, 435-446.
Miki, G., Nakanishi, W., Iizuka, T., Inchino, Y. & Imamishi, H. (1980). Grout jetting
method applied to excavation of soft ground.
Mitchell, J.K. (1970). In-place treatment of foundation soils. J. Soil Mech. And
Found. Div., ASCE, (96), SM1, 73-110.
Mitchell, J.K. & Wan, T.Y. (1977). Electro-osmotic consolidation-its effect on soft
soils. Proc. 9th ICSMFE, (1), 219-224.
Mitchell, James, K (1981), Soil Improvement : State-of-the-Art, State-of-the-Art
Report, Session 12, Proceedings of the Tenth International Conference on
Soil Mechanics and Foundation Engineering, Stockholm, Sweden, June 15-
19.
Murayama, S. (1958). Method to install sand piles by vibrating casing pipes.
Japanese Patent No. 266080.
Okumura, T. & Terashi, M. (1975). Deep-lime-mixing method of stabilization for
marine clays. Proc 5th Asian Regional Conf. On Soil Mech. And Found.
Engng., (1), 69-75, Bangalore, India.
Pilot, G. (1977). Methods of improving the engineering properties of soft clay : State
of the art. Proc. Int. Symp. On Soft Clay, Bangkok. Also in Bull. Liaison Labs,
P. Et Ch., Special issue VIE, April 1978, 140-178.
Prugh, B.J. (1963). Densification of soils by explosive vibration. J. Const. Div.,
ASCE (89), CO1, 79-100.
Sanger, F.J. & Sayles, F.H. (1979). Thermal and rheological computations for
artificially frozen ground construction. Engineering Geology, (13), 311-337.
33
Schlosser, F. & Juran, I. (1979). Parametres de calcul des sols artificellement
ameliores : Report general Seace S. Proc. 8th European Conf. SMFE, (8), 1-
29.
Seed, H.B (1979). Soil liquefaction and cyclic imobility evaluation for level ground
during earthquakes. J. Geotech. Enging. Div., ASCE (105), GT2, 201-255.
Shuster, J.A. (1972). Controlled freezing for temporary ground support. Proc. 1 st
North American Rapid Excavation and Tunneling Conf., (2) 863-894,
Chicago.
Saito, A. (1977). Characteristics of penetration resistance of reclaimed sandy
deposit and their change through vibratory compaction. Soils and
Foundations, (17), 4, 32-43.
Terashi, M., Tanaka, H. & Okumura, T. (1979). Engineering properties of lime-
treated marine soils and D.M. Method. Proc. 6th Asian Regional Conf. On Soil
Mech. And Found. Engng. 11/9, 191-194, Singapore.
US. Navy (1971). Design manual-soil mechanics, foundation and earth structures.
Naval Facilities Engineering Command, NAVFAC DM-7, Washington, D.C.
Wan, T.Y. & Mitchell, J.K. (1976), Electro-osmotic consolidation of soils, J. Geot.
Engng. Div., ASCE, (102), GT5, 473-491.
34
Lampiran 1.1.
Ringkasan perbaikan tanah khusus untuk tanah lunak (dari Japanese Assoc. of Civil
Engineers..)
35
Lampiran 1.1.
Ringkasan perbaikan tanah khusus untuk tanah lunak (dari Japnese Assoc. Of
Civil...)
36