Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PERBAIKAN TANAH

1.1. GAMBARAN UMUM TEKNOLOGI PERBAIKAN TANAH MASA KINI

1.1.1. PENDAHULUAN
Karena kebutuhan lahan untuk pembangunan terus bertambah,
pembangunan baru terpaksa harus dilakukan diatas tanah yang kurang memenuhi
syarat; yaitu antara lain diatas tanah yang lunak, diatas tanah baru yang didapat
dari mengurug laut, dan diatas tanah yang kurang stabil bila ada getaran/gempa.
Tanah-tanah tersebut harus distablilisasi (diperbaiki) dahulu sebelum dipakai
sebagai pondasi bangunan diatasnya. Selain itu, untuk bangunan tanah seperti
embankment dan urugan, seringkali perencana dipaksa untuk menggunakan tanah
yang ada disekitar lokasi proyek, padahal tanah tersebut kurang memenuhi syarat.
Hal ini karena tanah urug yang baik sudah menipis, mahal, atau sulit didapatkan
secara ekonomis disekitar lokasi tersebut. Jadi tanah yang ada (yang kurang baik
tersebut) terpaksa harus distabilisasi dahulu, baru kemudian dapat dipakai sebagai
bahan urugan yang memenuhi syarat.
Semua kebutuhan diatas memerlukan pengetahuan tentang perbaikan tanah.
Tetapi karena suatu metoda perbaikan tanah belum tentu tepat untuk jenis tanah
yang lain, diperlukan pemahaman yang cukup tentang teknologi perbaikan tanah
yang tersedia dan kesesuaian pengetrapannya. Pada makalah ini dijelaskan
metoda perbaikan tanah masa kini secara garis besarnya saja, serta diberikan juga
kondisi-kondisi dimana perbaikan tanah tersebut dapat dilakukan. Karena luasnya
lahan yang diliput, pada tulisan ini tanah dapat disertakan contoh-contohnya pada
proyek-proyek yang sudah ada (case histories) secara mendetail.

1.1.2. LINGKUP BAHASAN.


Yang dibahas dalam makalah ini terutama cara-cara perbaikan anah skala
besar yang merupakan teknologi perbaikan tanah masa kini. Menurut Mitchell
(1981), perbaikan tanah tersebut meliputi :
1. Pemadatan tanah dalam (deep compaction) dengan menggunakan penumbuk
berat dan ledakan (blasting). Pemadatan untuk tanah permukaan secara lapis
demi lapis tidak dibahas disini.

1
2. Pemadatan tanah (soil precompression), terutama yang menyangkut
pemambatan tanah awal (pre compression) dengan pembebanan awal
(preloading) dan penggunaan drain-darain vertikal (vertical drain), serta
pemampatan tanah cara electro osmosis.
3. Injeksi dan grouting kedalam tanah untuk memperkuat tanah dasar dan
menstabilkan struktur tanahnya.
4. Stabilisasi tanah dengan bantuan bahan luar (tambahan) atau dengan bantuan
bahan-bahan kimia yang dicampur ke tanah asli.
5. Stabilisasi cara thermal.
6. Pemberian perkuatan dalam tanah (reinforcement), baik reinforcement tarik
maupun tekan. Disini juga diberikan uraian tentang penggunaan bahan
geosinthesis.
Ringkasan dari teknologi perbaikan tanah dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan suatu metoda perbaikan tertentu akan diberikan pada
akhir dari makalah ini sebagai penutup.

1.1.3. PEMADATAN TANAH DALAM (DEEP COMPACTION).


Penggunaan dan Mekanisme Pemadatan
Pemadatan dalam (deep compaction) ini terutama ditujukan untuk tanah non
kohesive. Seringkali dijumpai kondisi dimana suatu lapisan tanah tak berkohesi
(cohesionless soil) yang cukup tebal dalam keadaan yang tidak cukup padat atau
relative renggang (loose), atau akibat reklamasi suatu daerah rendah dibawah air
(relamasi laut/pantai waktu tambahan lahan baru). Pada cara yang disebut
belakangan ini, karena tanah reklamasi tidak mungkin di bawah permukaan air. Jadi
pengurugan dilakukan sekaligus dengan cara “dumping” sampai tanah urugan
melampaui tinggi muka air setempat. Sebagai akibatnya, tanah urugan tersebut
berada pada kondisi renggang (loose). Tanah-tanah seperti ini perlu dipadatkan
dahulu sebelum digunakan sebagai lahan untuk bangunan.
Tanah tak berkohesi (dominan pasir) yang renggang harus dipadatkan
dahulu karena pada tanah-tanah seperti ini mudah terjadi peristiwa “liquefaction”
bilamana terjadi getaran yang cukup kuat (dari gempa bumi atau lainnya).
Liquefaction ialah peristiwa dimana tanah seolah-olah bersifat seperti cair dan
mudah bergerak dan berubah bentuk akibat adanya getaran dan tekanan dari tanah
dan bangunan (diatas tanah). Walaupun tanah tak berkohesi tersebut umumnya

2
mempunyai daya dukung dengan kekuatan yang cukup baik dalam kondisi
renggang tersebut, struktur tanah tersebut mudah runtuh bilamana ada getaran atau
gempa. Jadi tidak baik mendirikan bangunan diatas tanah tak berkohesi yang
renggang, kecuali dapat dipastikan pada daerah tersebut nantinya tidak akan ada
getaran yang berarti.
Pemadatan tanah untuk lapisan tanah renggang tak berkohesi yang cukup
tebal juga menggunakan prinsip getaran. Teknologi pemadatan masa kini meliputi
cara vibrocompaction, blasting (ledakan), dan heavy tamping (penumbukan berat).
Yang dimaksud dengan cara vibrocompaction disini adalah cara yang
menggunakan alat penggetar (menghasilkan getaran) yang dilakukan dengan cara
memasukkan alat tersebut ke dalam tanah yang renggang sampai pada kedalaman
lapisan tanah terbawah yang ingin dipadatkan. Seringkali dengan adanya cara vibro
ini diperlukan tambahan material pengisi untuk tempat-tempat/space yang kosong
akibat adanya pemadatan tanah arah ke samping. Termasuk dalam cara
vibrocompaction ini adalah penggunaan tiang-tiang pancang untuk pemadatan.
Cara blasting (ledakan) ialah cara pemadatan dengan menggunakan bahan
peledak; sedangkan heavy tamping ialah pemadatan dengan menggunakan alat
penumbuk super berat yang dijatuhkan dari suatu ketinggian ke permukaan tanah.
Kedua jenis pemadatan ini menghasilkan gelombang getaran tekan dan geser
(compaction wave dan shear wave) yang cukup besar sehingga susunan partikel
tanah (semula) runtuh dan membentuk susunan yang lebih rapat.
Cara vibrocompaction, blasting, dan heavy tamping pada prinsipnya sama,
yaitu menghasilkan getaran yang dapat meruntuhkan struktur susunan partikel
tanah (mula-mula) sehingga partikel membentuk susunan yang lebih rapat dan lebih
kokoh. Cara vibrocompaction menghasilkan energi yang jauh lebih kecil dari pada
kedua cara yang disebut terakhir. Getaran akibat vibrocompation biasanya terasa
hanya sejauh jarak satu atau dua meter dari sumbernya, sedangkan pada cara
blasting dan heavy tamping, getaran dapat berpengaruh sampai ± 10 meter dari
sumbernya (Mitchell, 1981).
Cara vibrocompaction lebih efektif bila digunakan untuk memadatkan tanah
dominan pasir bilamana jumlah fraksi tanah yang lolos ayakan no. 200 (persen
berat). Adanya fraksi lempung dan lanau yang lebih besar menyebabkan tanah sulit
(berat) untuk dipadatkan dengan cara vibrocompaction ini. Untuk kasus bilamana

3
fraksi lanau dan lempung cukup tinggi sebaiknya digunakan cara blasting atau
heavy tamping.
Adapun cara-cara untuk mengukur hasil pemadatan tanah setelah di
“treatment” dengan cara getaran diatas, atau mengukur perubahan kepadatan dan
kekuatan tanah sebelum dan sesudah pemadatan, dapat dilakukan cara sebagai
berikut (Mitchel, 1981) :
1. Pengukuran dengan bantuan patok-patok settlement di permukaan.
2. Pengukuran dengan SPT (Standard Penetration Test, CPT), sebelum dan
sesudah treatment.
3. Pengukuran dengan alat sondir (Cone Penetration Test, CPT), sebelum dan
sesudah treatment.
4. Pengukuran jumlah volume bahan pengisi tambahan yang dimasukkan dalam
tanah pada cara vibrocompaction menggunakan bahan pengisi.
5. Pengukuran kepadatan tanah cara gelombang geser seismic (sismic shear wave
method).
6. Cara pemancangan tiang dan mengukur resistance tiang tersebut pada kondisi
sebelum dan sesudah treatment.
7. Pengukuran dengan plate loading test.
8. Pengukuran dengan cara alat density meter dalam lubang bor (down-hole
density meter).
9. Dan beberapa cara lainnya.
Perlu diketahui bahwa pemadatan dengan getaran ini memang menghasilkan
perubahan kepadatan yang drastis secara berarti, tetapi perubahan kekuatan tanah
tidak langsung terjadi. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk tanah tersebut
“membangun” strukturnya melebihi kekuatan tanah mula-mula.
Untuk ancer-ancer kondisi tanah pasir, perkiraan kekuatan perlawanan pasir dan
sifat-sifatnya dalam berbagai tingkat kepadatan dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Pamadatan Dengan Cara Vibrocompaction


Sebagaimana telah disebutkan didepan, pemadatan dengan cara
vibrocompaction umumnya hanya efektif untuk tanah bergradasi pasir dan lebih
kasar dari pasir. Rentang ukuran butiran tanah yang sesuai untuk cara ini dapat
dilihat pada Gambar 1.1.

4
Tabel 1.1. Pedoman Kondisi Tanah Pasir Dalam Berbagai Tingkat Kepadatan.
Sangat Renggan Kerapatan Rapat/ Sangat
Renggang g Menengah Padat Rapat/Padat
Harga SPT <4 4–10 10-30 30-35 > 50
(jumlah tumbukan/30 cm)* < 50 50-100 100-150 150-200 > 200
Harga konus dari sondir (kg/cm2)* < 15 15-35 35-65 65-85 85-100
Relative Density Equivalent (%)** < 14 14-16 16-18 18-20 > 20
Berat volume kering (KN/m3)
Sudut Geser Dalam (°) < 30 30-32 32-35 35-38 > 38
Rasio Tegangan Berulang (cyclic < 0.04 0.04-0.10 0.01-0.35 > 0.35
stress ratio) yang menyebabkan
liquefaction (τ/σ0 ’) ***
* pada tegangan vertikal overburden 100 Kpa
** untuk pasir yang normally consolidated dan baru saja mengendap pada peristiwa sedimentasi.
*** Menurut Seed (1979).

Cara ini umumnya dilakukan dengan bantuan alat vibrocompaction yang


dapat berupa tiang (pancang) berujung terbuka atau tertutup. Tiang tersebut
dimasukkan ke dalam tanah dengan digetar. Pada sebagian dari cara ini, tanah
dipadatkan dengan “menusuk-nusuk”kan tiang pancang yang bergetar kedalam
tanah (tanpa tambahan material pengisi) dan sebagian lagi dengan menambahkan
meterial pengisi (pasir atau kerikil).
Adapun pada perinsipnya cara vibrocompaction ini dapat dibedakan menjadi
beberapa cara berikut :

1. Sistem tiang bergetar (vibrating probe)


Sistim ini mula-mula dikembangkan di USA (Anderson, 1974) berupa bentuk
tiang pancang tertentu (diameter 0, 76 m ) yang dipancang ke dalam tanah
dengan bantuan alat Foster Vibrodriver, dan pile hammer (penumbuk getar).
Bentuk tiang pancang pada umumnya adalah pipa baja berujung terbuka.
Biasanya alat tersebut dioperasikan pada frekuensi getar 15 Hz dan amplitudo
arah vertikal antara 10-25 mm. Bentuk lainnya ialah bentuk bentuk Vibro-rod
(batang getar) dikembangkan oleh Saito (1977) di Jepang. Pada bentuk Vibro-
rod ini digunakan pipa baja berujung tertutup.
Pada perinsipnya kedua cara ini dioperasikan dengan menusukkan pipa ber-
getar (pergerakan pipa arah vertikal) kedalam tanah sampai pipa
mencapai kedalaman penetrasi yang diinginkan. Kemudian pipa ditarik keatas
sambil tetap digetarkan. Cara ini dilakukan berulang kali (tekan dengan digetar
kemudian ditarik dengan getar) pada titik-titik berjarak 1,0 sampai 3,0 m
diseluruh area yang dipadatkan sampai kepadatan tanah mencapai harga yang
diinginkan.

5
2. Sistem vibroflotation.
Sistem Vibroflotation ini dikembangkan mulanya di Jerman 50 tahun yang
lalu. Alat vibroflotation pada umumnya terdiri dari 3 bagian utama yaitu : alat
vibrator, pipa pemanjang (extension tube), dan mobil derek/crane pemikul.
Prinsip dasar kerja alat seperti pada Gambar 1.2. Uraian yang lebih mendetail
dari sistem vibroflotation dapat dilihat pada Lampiran 1.1.2.
Perbedaan sistem ini dengan sistem vibrating probe ialah bahwa pada
vibroflotation penggetaran bekerja akibat perputaran pada poros alat vibrator
yang tidak centris sehingga menghasilkan gaya centrifugal pada arah horisontal
dan “menyibak” tanah kesamping dan menghasilkan lubang pada tanah. Akibat
getaran centrifugal dan berat sendiri dari vibrator, alat ini dapat dengan cepat
masuk kedalam tanah. Penggetaran menyibak tanah kesamping itu juga dapat
dilakukan dengan bantuan air yang dipompa ke alat vibrator dengan tekanan
(water jet). Pada saat penarikan keatas, lubang yang ditimbulkan oleh sistem ini
diisi dengan pasir atau kerikil, sambil tetap digetarkan untuk memadatkan bahan
pengisi tersebut. Untuk detailnya, cara ini dapat dibaca pada Brown (1977) dan
juga Bell (1975).

6
7
Gambar 1.1. Rentang ukuran butiran tanah yang sesuai untuk pemadatyan dengan sistem
Vibrocompactiopn
Gambar 1. 2. Cara kerja sistem Vibroflotation (dari Brown, 1977).
3. Sistem vibro compozer.

8
Sistem ini mula-mula dikembangkan di Jepang oleh Murayama (1958).
Prinsipnya ialah sebuah pipa casing dipancangkan kedalam tanah dengan
digetar (melalui alat vibrator diujung atas pipa). Kemudian pasir dimasukkan
kedalam pipa casing dengan bantuan tekanan udara. Pasir tersebut kemudian
dipadatkan dengan cara menarik turunkan pipa casing (sambil dicabut) berkali-
kali sehingga terbentuk tiang pasir padat dengan diameter yang lebih besar dari
pada pipa casing tersebut. Selama pemadatan, tanah pasir pengisi tetap dalam
keadaan mendapat tekanan udara (lihat Gambar 1.3. untuk jelasnya).

Gambar 1.3. Pelaksanaan kolom-kolom pasir padat dengan cara Vibro-Compozer.

4. Sistem soil vibratory stabilization


Sistem Soil Vibratory Stabilization (SVS) ini juga dikenal sebagai sistem
Toyomenka (dikembangkan oleh PT.Toyomenka di Jepang) merupakan
kombinasi antara vertikal vibration akibat Vibratory driving hammer (penumbuk
getar arah vertikal) dan sistem getar putar pada vibroflotation. Pemadatan ini
menggunakan bahan pengisi pasir atau krikil (pada waktu pencabutan alat ke
atas), tetapi water jet tidak digunakan sama sekali.
Sistem vibrocompaction yang diuraikan diatas dapat memadatkan tanah
sampai kedalam 20,0 meter, tetapi umumnya sistem ini tidak banyak digunakan
untuk kedalaman > 30.0 meter.

9
Sistem vibroflotation, vibro-compozer dan SVS juga dapat digunakan pada
tanah lempung yang lunak. Tetapi tujuannya terutama ialah untuk pemasangan
sand column atau stone column pada tanah asli. Jadi yang dituju bukan perubahan
kepadatan tanah asli tetapi instalasi sand/stone column (kolom-kolom pasir dan
kerikil) tersebut. Bila kepadatan tanah asli ingin dirubah dengan penggetaran, cara
vibrocompaction ini lebih efektif untuk tanah-tanah dominan pasir.

Pemadatan Cara Ledakan (Blasting)


Ini adalah salah satu cara yang ekonomis untuk pemadatan lapisan pasir
renggang yang cukup tebal (dalam). Prosedur pamadatan pada umumnya adalah :
1. Pembuatan/pemancang pipa dengan cara getar, jetting, auger boring atau
lainnya. Kedalaman pipa sampai sedalam ledakan yang diinginkan.
2. Pemasangan bahan peledak (dinamit) dalam pipa tersebut.
3. Pengurangan kembali pipa (backfilling of pipe).
4. Peledakan bahan dinamit menurut pola ledak dan kekuatan ledak yang
direncanakan.
Peledakan akan menghasilkan gelombang getar tekan dan geser yang akan
meruntukhan susunan partikel tanah asli dan membentuk susunan yang lebih
padat. Untuk referensi yang lebih rinci tentang pemadatan cara kedalam ini,
pembaca dapat mengacu pada antara lain Prugh (1963), Ivanov (1967), Mitchell
(1970), Litvinov (1973, 1976) dan lainnya.
Menurut Ivanov (1967), dari pengalaman didapatkan pedoman pemadatan
dengan ledakan (sampai kedalaman tanah 20 meter yang terpengaruh) sebagai
berikut :
1. Ukuran ledakan : 1 kg sampai 12 kg per hulu ledak.
2. Kedalaman pusat ledakan : Pusat ledakan harus tertimbun pada kedalaman >
1/4 x kedalaman total (sampai kedasar lapisan tanah yang ingin dipadatkan);
tetapi letak pusat ledakan pada kedalaman 1/2 sampai 3/4 x kedalaman total
lebih umum dilakukan orang.
3. Jarak pusat-pusat ledakan : 4 - 15 meter
4. Jumlah kali ulangan peledakan : 1 sampai 5 kali, dan ummnya 2-3 kali. setiap
ulangan terdiri dari beberapa ledakan beruntun dari masing-masing pusat ledak.
Setiap ulangan biasanya berjarak beberapa jam sampai beberapa hari dari
ledakan sebelumnya.

10
5. Jumlah total bahan explosive yang digunakan : 8 - 150 gr/m3 tanah, biasanya
sekitar 10-30 gr/m3.
6. Settlement permukaan tanah akibat pemadatan : 2 - 10 % tebal lapisan yang
dipadatkan.
Dengan cara ini, jelas akan terlihat adanya pemadatan yang berarti dari
tanah setempat, tetapi kekuatan tanah tidak segera membaik. Perlu waktu lama
untuk tanah tersebut menguat kembali. Akan tetapi pada tanah dominan pasir,
kekuatan tanah minimal biasanya sudah memenuhi syarat untuk bangunan, hanya
kepadatannya saja yang menjadi masalah bilamana ada getaran nantinya.
Pada tanah-tanah yang tidak terletak di bawah air, akan lebih mudah
dipadatkan bila tanah tersebut lebih dahulu dijenuhkan dengan air kemudian baru
diledakkan. Cara ini disebut hydro-blasting (Litvinov, 1973, 1976, dan Donchev,
1980). Jadi kedalam tanah dipompakan air sampai lapisan tanah disitu sampai
jenuh, baru baru kemudian sistem pemadatan cara blasting dilakukan.

Pemadatan Cara Heavy Tamping (Penumbuk Berat)


Cara ini dilakukan dengan menjatuhkan suatu massa yang sangat berat dari
suatu ketinggian (dengan bantuan derek/crane) keatas permukaan tanah yang akan
dipadatkan. Berat massa penumbuk bervariasi dari yang terkecil 1-2 ton sampai 200
ton yang terbuat dari beton atau kotak baja yang berisi beton atau pasir. Tinggi jatuh
bisa sampai 40 m dari muka tanah. Bentuk penampang penumbuk biasanya bulat
atau segi empat. Pada Gambar 1.4 ditunjukkan bentuk pemadatan cara ini.
Biasanya diperlukan 2-3 kali ulangan penumbukan yang sudah direncanakan.
Untuk memprakirakan besarnya pengaruh pemadatan tanah yang didapat
dengan cara ini dapat digunakan rumus oleh Lukas (1980) sebagai berikut :

D = ( 0, 65 sampai 0 , 8 ) WH (1)

dimana :
D = Kedalaman maximum pengaruh pemadatan heavy tamping, dalam meter.
W = berat massa penumbuk, dalam ton.
H = tinggi jatuh massa penumbuk, dalam meter.

11
H = tinggi jatuh

Gambar 1.4. Pemadatan dengan cara heavy tamping.

12
1.1.4. PERBAIKAN TANAH DENGAN TEKNIK PEMAMPATAN AWAL
(PRECOMPRESSION).
Perbaikan tanah dengan teknik pemampatan ini terutama ditunjukkan untuk
tanah-tanah yang mengalami penurunan yang besar bila dibebani. Memampatkan
tanah yang lembek dan “compressible” (mudah mampat) dapat menyebabkan
peningkatan kekuatan tanah (daya dukung tanah), karena tanah yang memampat
mempunyai struktur susunan partikel yang lebih rapat dan lebih kokoh.
Pada prinsipnya bangunan tidak boleh dibangun di atas tanah yang
compressible bila dikhawatirkan nanti akan terjadi perbedaan penurunan tanah
(differensial settlement) yang lebih besar dari pada batas toleransi bangunan
tersebut. Selain itu tanah lunak (biasanya juga compressible) sering tidak memiliki
daya dukung yang cukup untuk memikul beban bangunan yang didirikan diatasnya.
Untuk itu perlu memampatkan tanah yang bersangkutan sebelum bangunan
didirikan dengan tujuan pokoknya adalah sebagai berikut :
1. Menghilangkan sama sekali (atau sebagian besar), penurunan konsolidasi yang
akan terjadi akibat beban bangunan tersebut. Penghilangan penurunan
konsolidasi ini dilakukan dengan cara membebani tanah dengan beban awal
yang lebih besar atau sama dengan beban bangunan yang direncanakan. Bila
total penurunan tanah yang dicapai sesuai dengan yang direncanakan, beban
awal tersebut dapat dihilangkan (dibongkar). Baru kemudian bangunan yang
sebenarnya dapat dilaksanakan, dan perbedaan penurunan nantinya diharapkan
akan sangat kecil. Karena beban awal tersebut diberikan sebelum beban
sesungguhnya (hanya untuk memampatkan tanah saja), cara seperti ini juga
lebih dikenal dengan cara preloading. Sistem pemampatan ini juga disebut
sebagai precompression.
2. Meningkatkan daya dukung (tanahan geser = shear strength) dari tanah dasar.
Pemampatan dapat meningkatkan tahanan geser tanah sehingga tanah yang
semula lunak dan mempunyai daya dukung yang rendah menjadi lebih kuat dan
lebih stabil dalam mendukung beban bangunan.

Perbaikan tanah cara pemampatan awal (precompression) ini umumnya


cocok untuk tanah-tanah lempung jenuh air yang lunak, tanah-tanah lanau yang
compressible, tanah lempung organik dan tanah peat. Untuk mempercepat waktu
precompression, dapat digunakan drainase vertikal (vertical drains) yang

13
memperpendek panjang aliran (drainage path) dari air pori. Teknik precompression
atau preloading ini telah berhasil diterapkan pada tanah-tanah yang mendukung
pondasi gedung, embankment, jalan raya, rurnway, tangki-tangki dan abutment
jembatan dengan sukses. Untuk referensi yang cukup lengkap, dapat dilihat tulisan
dari Pilot (1977), Akagi (1977 dan 1979), US Navy (1971), dan dari Hansbo (1979).

Jenis Teknik Pemampatan Awal (Precompression)


Teknik pemampatan awal dapat dibagi menjadi 2 (dua) cara utama yaitu :
1. Pemberian beban awal external.
Beban dapat berupa beban tanah timbunan di atas tanah asli (yang ingin
dimampatkan), beban tangki air atau kolam air buatan atau beban luar lainnya
yang diletakkan diatas tanah aslinya. Karena pemberian beban luar tersebut,
tanah dasar memampat.
2. Pemberian beban awal internal. Termasuk dalam teknik ini adalah :
a. Cara pemadatan menggunakan metoda vacuum.
b. Cara pemadatan dengan menurunkan muka air tanah.
c. Cara pemadatan konsolidasi cara elektro – osmosis.
Cara kedua dilakukan bila cara pertama tidak mungkin dilaksanakan karena alasan
teknis pelaksanaan, karena mahalnya bahan tanah timbunan atau karena alasan
lainnya.
Cara pertama dan kedua diatas pada prinsipnya sama, yaitu memampatkan
tanah dengan cara menaikkan tegangan efektif dalam tanah. Cara vacuum
dilakukan dengan melakukan pemompaan vacuum dari lapisan tanah di bawah
lapisan tipis membrane yang kedap air sehingga tegangan air pori didalam tanah
dapat dibuat negatif (Holtz dan Wager, 1975; Pilot, 1977). Menurunkan muka air
tanah dengan pemompaan juga dapat menyebabkan penurunan konsolidasi tanah.
Tetapi kecuali disekitar daerah tersebut tidak ada bangunan yang tidak boleh ikut
turun, cara pemampatan tanah dengan penurunan muka iart tanah ini dapat
membahayakan stabilitas gedung-gedung/bangunan disekitar lokasi proyek. Cara
pemadatan konsolidasi electro-osmosis adalah dengan menimbulkan tegangan
negatif pada air pori (air pori disedot dengan cara pengaliran arus listrik searah)
sehingga tegangan efektif tanah meningkat.
Cara pemberian beban internal (vacuum, penurunan air tanah, dan electro-
osmosis) mempunyai kelebihan karena pada cara ini tidak didapati masalah

14
stabilitas talud timbunan dan cara ini tidak memerlukan bahan timbunan yang
sangat banyak (seperti pada cara pembebanan external). Tetapi, kelemahan cara
pemberian beban internal ialah bahwa cara ini lebih kompleks dan lebih sulit
dilaksanakan dari pada cara pemberian beban external.

Dasar Teori Perbaikan Tanah dengan Pemampatan Awal.


Penurunan tanah yang dibebani dengan beban preloading pada waktu t
dapat dituliskan sebagai berikut :
St = Si + U Scons + Ss (2)
Dimana :
St = settlement total pada waktu t.
Si = immediate settlement (settlement segera karena deformasi elastis tanah).
U = harga rata-rata derajat konsolidasi (pada waktu t)
Scons = settlement toal tanah akibat konsolidasi, dan
Ss = secondary compression settlement (pemampatan sekunder) akibat
pemampatan dari struktur partikel tanah sendiri (setelah waktu t).
Sistem precompression atau preloading ialah dengan memberikan beban
awal yang berlebih Pf+s sedemikian rupa sehingga pada waktu yang pendek tsr
didapatkan penurunan yang sama besarnya dengan totap penurunan S f dari beban
rencana Pf sebagaimana terlihat pada Gambar 1.5.
Bila pada beban awal pf+s penurunan Sf terjadi pada waktu tsr, beban
surcharge Ps dapat dibongkar. Kemudian dengan asumsi bahwa tanah sudah
termampatkan sampai Sf, beban pf tidak lagi menyebabkan penurunan tambahan.
Makin besar pf+s makin pendek waktu tsr.
Cara pemampatan diatas sebetulnya tidak benar-benar menghilangkan
seluruh penurunan; karena akibat beban pf+s berubah menjadi pf sebagian lapisan
tanah menjadi overconsolidated dan sebagaian lagi masih underconsolidated. Jadi
masih akan ada lagi penurunan tambahan, meskipun pf tetap. Cara yang betul ialah
menghentikan preloading pada waktu tm > tsr sedemikian rupa sehingga lapisan
tanah sudah hampir semuanya overconsolidated (Aldrich, 1965).
Pada tanah lempung organik peat, pemampatan tanah sekunder (secondary
compression) relatif cukup besar dibanding dengan primary compressionnya. Untuk

15
jenis tanah seperti ini, waktu preloading harus diperpanjang lagi sampai derajad
konsolidasi U z rata-rata mencapai harga sebagai berikut :
S f  S sec
U 
z f s 
S f s
(3)

Dimana Ssec = besar secondary compression akibat beban p f. Pada saat tz dimana
derajat konsolidasi minimum dalam tanah sebesar Uz, pembebanan preloading
dapat dibongkar. Meskipun nantinya secara teoritis penurunan sekunder masih
akan terjadi (dengan beban pf), tatapi besarnya sudah sangat kecil dan dapat
diabaikan (Johnson, 1970).
Selama terjadinya pemampatan tersebut kekuatan geser undrained tanah
(undrained shear strength) meningkat; dan besar peningkatan kekuatan tersebut
dapat diperkirakan misalnya dengan prosedur SHANSEP (Ladd dan Foott, 1974).

Penggunaan Vertical Drain pada Pemampatan Tanah


Sering dijumpai dalam perencanan bahwa cara preloading (juga
precompression) masih memerlukan waktu yang terlalu lama (umumnya lebih dari 1
tahun), padahal proyek tidak dapat menunggu selama itu. Untuk mempercepat
konsolidasi, digunakan vertical drain. Cara ini diterapkan pada tanah-tanah dimana
pemampatan terjadi sebagian besar akibat konsolidasi primer (Primary
consolidation).
Vertical drain umumnya berupa tiang-tiang vertikal yang mudah mengalirkan
air (berwujud sand drain/tiang pasir atau dari bahan geosynthetis yang dikenal
dengan “wick drain” atau juga dikenal dengan Prefabricated Vertical Drain (PVD).
Tiang-tiang atau lubang-lubang tersebut “dipasang” didalam tanah pada jarak
tertentu sedemikian rupa sehingga memperpendek jarak aliran drainase air pori
(drainage path). Karena waktu yang diperlukan untuk mencapai derajat konsolidasi
tertentu adalah fungsi dari tebal/panjang lapisan aliran drainase (drainage path),
maka menurut rumus berikut :
TH 2
t (4)
Cv
dimana H = panjang drainage path, dengan adanya vertical drains waktu dapat
sangat diperpendek.

16
Gambar 1.5. Prinsip pembebanan preloading pada pemampatan tanah
dengan beban awal pf+s>pf.

Pada Gambar 1.6, harga D adalah jarak antara vertical drain. Jadi adanya
vertical drain sangat menyingkat waktu konsolidasi. Biasanya untuk lebih
menyingkat waktu bagi, cara pemampatan awal (precompression) digabung dengan
penambahan vertical drains.

17
Jadi waktu t tanpa vertical drains yang mula-mula :
2
D

T  
, berubah menjadi kira-kira : t    ;
TH mulamula 2
t
Cv Ch
(Catatan : rumus waktu untuk vertical drain agak berbeda karena masih ada
faktor-faktor lainnya yang terlibat)
dimana : D = jarak antara vertical drains.

D 
Karena  H mula mula maka waktu t  t
2

Surcharge sementara

embankment Beban embankment tetap

Gambar 1.6. Pemasangan vertical drain pada tanah yang compressible.

Lapisan sand mat (atau sand blanket) diperlukan untuk mengalirkan air yang
keluar dari vertical drains pada permukaan tanah. Jadi pada vertical drains dapat
dijaga tekanan air tetap hidrostatis. Selain itu, pada pemampatan primer (primary
consolidation) biasa tanpa adanya vertical drain, arah pengaliran air adalah
sebagian besar vertikal, sehingga harga Cv yang dipakai adalah Cv arah vertikal.
Padahal dengan adanya vertical drains arah pengaliran air sebagian besar
horisontal dan harga Ch adalah untuk arah horisontal. Karena pada umumnya Ch >
Cv, maka waktu konsolidasi t makin bertambah pendek lagi. Umumnya harga C h/Cv
= 2 sampai 10.

18
Untuk lebih jelasnya tentang teori pemampatan tanah dengan penggunaan
vertical drains, pembaca dipersilahkan mengacu pada Barron (1948), Carillo (1942),
dan Hansbo (1979) untuk prefabicated vertical drain (PV drain).

Pemampatan Awal dengan Cara Electro-Osmosis.


Pada prinsipnya, air sebagai eletrolit dalam pori-pori tanah dapat dibuat
mengalir dalam tanah dari suatu kutub listrik Anoda ke kutub Katoda. Bila didalam
tanah dipasangkan batang-batang Anoda, dan kemudian setelah terjadi aliran pada
batang-batang Katoda air yang masuk di pompa keluar, maka di dalam pori tanah
tercipta tegangan negatif yang menyebabkan kenaikan tegangan efektif pada
partikel tanah yang mengakibatkan terjadinya konsolidasi.
Mekanisme dari cara electro-osmosis ini telah dijelaskan dengan cukup rinci
oleh Gray dan Mitchell (1967), sedangkan teori konsolidasi akibat peristiwa electro-
osmosis telah dikembangkan oleh Esrig (1968), Wan dan Mitchell (1976), dan oleh
Mitchell dan Wan (1977).
Metode pemampatan dengan cara electro-osmosis diketahui efektif dan
ekonomis bila kondisi tanahnya sebagai berikut :
1. Tanahnya adalah tanah lanau jenuh air atau tanah lempung berlanau yang jenuh
air.
2. Tanahnya dalam kondisi normally consolidated.
3. Air pori dalam tanah mempunyai konsentrasi ion yang rendah (bukan air yang
banyak mengandung garam atau kapur).
Metode pemampatan cara electro-osmosis ini juga dapat digunakan untuk
mempercepat waktu konsolidasi tanah yang sedang dimampatkan dengan cara
preloading. Jadi berbagai cara pemampatan tanah dapat digabung untuk
mempercepat waktu konsolidasi (Wan dan Mitchell, 1976).

1.1.5. PERBAIKAN TANAH DENGAN CARA INJEKSI DAN GROUTING BAHAN


PENGUAT KEDALAMAN TANAH
Cara injeksi dan grouting ini merupakan salah satu usaha untuk memperkuat
tanah, mengurangi settlement (compressbility) dari tanah, dan mengurangi
pergerakan-pergerakan dari tanah (ground movement). Pada perinsipnya cara ini
dilaksanakan dengan cara menginjeksikan bahan penguat (grouting) ke dalam

19
tanah. Bahan penguat tersebut kemudian bereaksi dengan partikel tanah atau
mengeras dalam tanah sehingga membentuk ikatan yang kokoh dan lehih kaku.
Sebagai bahan acuan untuk cara injeksi dan grouting ini dapat disebutkan
yang paling mutakhir yaitu oleh ASCE (1980), Bowen (1975) dan Cambefort (1973)
disamping beberapa referensi lainnya.
Bahan grouting yang paling umum adalah semen. Disamping itu juga sering
digunakan bahan lempung (bentonite, dan lain-lain), atau campuran antara semen
dan tanah. Kapur juga sering digunakan sebagai bahan grouting; biasanya kapur
tersebut dalam bentuk pasta (cair). Selain semen, kapur, dan tanah, sering
pula digunakan bahan kimia (chemical grout) seperti silicates, lignins, resins,
acrylomides dan urethanes. Bahan grouting kimiawi ini umumnya lebih mudah
diinjeksikan pada tanah-tanah yang berbutir halus, sedangkan bahan grouting
semen dan sebangsanya terutama ditujukan untuk tanah-tanah pasir.
Pada umumnya grouting dengan cara injeksi mempunyai 3 (tiga) fungsi :
1. Permeating grouting, yaitu grouting untuk mengisi pori-pori dalam tanah. Disini
bahan grouting harus cukup encer untuk menyusup dalam pori-pori tanah tanpa
merubah volume tanah. Permeating grouting biasanya hanya terjadi pada tanah-
tanah yang lebih kasar dari pasir kasar.
2. Displacement grouting yaitu grouting yang ditujukan untuk mengisi pori tanah
dan menyibak pori tanah menjadi besar. Grouting ini menyebabkan terjadinya
displacement dan perubahan volume pori dalam tanah.
3. Encapsulation grouting, ditujukan untuk mengisi retakan-retakan yang terjadi
dalam tanah akibat tekanan injeksi. Grouting ini tidak menyusup ke pori-pori
tanah tetapi mengisi retakan-retakan sekitar gugusan tanah atau batuan,
sehingga berbentuk lensa-lensa tipis grouting yang berada disela-sela gugusan
tanah/batuan dan membungkus tanah dalam gugusan-gugusan yang cukup
besar.
Grouting dengan cara injeksi ini diprakarsai oleh seorang insinyur Prancis di
tahun 1802 untuk memperbaiki saluran yang terkena erosi yaitu dengan cara
menyuntikkan campuran lempung dan kapur encer kebawah saluran tersebut. Sejak
saat itu grouting digunakan orang, dan dibanyak pemakaiannya grouting dengan
injeksi dilakukan sebagai cara mengurangi rembesan air (dibawah tubuh
bendungan) atau sebagai penahan rembesan.

20
Kegunaan Umum Injeksi dan Grouting pada Perbaikan Tanah
Kegunaan cara injeksi dan grouting pada perbaikan tanah, selain untuk
mengontrol rembesan dalam tanah, dapat diringkas sebagai berikut :
1. Untuk mengisi pori-pori tanah dan ruang-ruang kosong dalam tanah guna
mencegah penurunan yang berlebihan.
2. Untuk meningkatkan kekuatan tanah mendukung bangunan yang ada dan
mencegah adanya pergerakan tanah bila disebelah bangunan tersebut diadakan
penggalian tanah (excavation), pemancangan tiang, dan lain sebagainya.
3. Untuk mencegah dan mengurangi pergerakan tanah pada saat pembuatan
tunnel (terowongan). Grouting sekitar daerah lubang tunnel akan menstabilisir
tanah dan batuan sehingga dinding terowongan tidak mudah bergerak atau
runtuh.
4. Untuk memperkuat dan menyatukan massa tanah sehingga mengurangi
kebutuhan atas perkuatan arah horisontal (lateral support), misalnya pada
galian-galian, turap dan lain sebagainya.
5. Untuk memperkuat tanah dan meningkatkan ketahanan tiang pancang terhadap
beban lateral (tegak lurus sumbu tiang pancang).
6. Untuk menyatukan dan menstabilisir lapisan pasir yang renggang sehingga tidak
mudah mengalami “Liquefaction”.
7. Sebagai penopang (ganjal) dibawah pondaasi (bila pondasi mengalami
penurunan atau dibawah pondasi tercipta rongga-rongga).
8. Untuk mengurangi perubahan volume pada tanah-tanah yang ekspansiv (tanah
mengembang).

Teknologi Injeksi dan Grouting


Pada perinsipnya injeksi dan grouting dilaksanakan dengan memasukkan
pipa kedalam tanah. Dengan tekanan bahwa grouting disuntikkan kedalam tanah
melalui pipa tersebut. Jarak lubang pipa grouting umumnya antara 1,3 sampai 2,5
meter. Makin dekat jarak pipa grouting makin baik hasilnya, tetapi harga injektor
grouting menjadi sangat mahal. Sebaliknya, jarak lubang yang terlalu jauh tidak
menjamin hasil grouting yang cukup baik. Prinsip dasar grouting dengan injeksi
dapat dilihat pada Gambar 1.7 (dari Caron dkk. 1975).
Cara yang terbaru untuk grouting diantaranya ialah dengan bantuan tenaga
listrik sistem electrochemical injection dan jet grouting. Electrochemical injection

21
ialah gabungan antara cara elektro-osmosis dan grouting dengan bahan kimia.
Grouting dilewatkan Anoda sehingga akibat arah pengaliran air dari Anoda ke
Katoda, bahan grouting ikut menyebar di dalam tanah. Cara jet grouting adalah cara
baru yang dikenal di Jepang (Miki dkk, 1980). Prinsip cara jet grouting ini ialah
dengan mengalirkan air bertekanan sangat tinggi kedalam tanah untuk
“mencairkan” tanah sehingga tanah mudah dicampur dengan bahan grouting.
Selain itu cara jet grouting juga dapat mencampur tanah dengan bahan grouting
(semen misalnya) dalam dimensi/ukuran yang cukup besar. Miki dkk (1980)
melaporkan percobaan mereka bahwa dengan cara jet grouting, tanah lempung
lunak dapat diperbaiki sehingga memiliki kekuatan tekan unconfined (Unconfined
Compressive Strength) sebesar ± 30 kali kekuatan semula.

1.1.6. PERBAIKAN TANAH CARA PENCAMPURAN DENGAN BAHAN LUAR


(PENGUAT)
Perbaikan tanah dengan cara pencampuran adalah cara yang paling tua dan
banyak dilakukan orang. Pada prinsipnya, perbaikan tanah dilakukan dengan cara
mencampur tanah asli dengan bahan penguat dari luar secara setempat. Bahan
campur yang paling umum adalah kapur dan semen. Tujuan utama dari
pencampuran adalah untuk memperkuat struktur tanah, mengurangi plastisitas dan
compresibilitas tanah. Disamping kapur dan semen juga dikenal berbagai macam
bahan kimia sebagai stabilisator.
Untuk pencampuran ini dikenal cara pencampuran biasa, yaitu pencampuran
dangkal dan cara pencampuran dalam (Deep Mixing Method). Pencampuran
dangkal ialah pencampuran langsung antara bahan penguat dengan tanah
sampai kedalam yang relatif dekat dengan permukaan tanah . Pencampuran dapat
dilakukan via alat mixer setelah tanahnya digaruk dahulu sampai kedalam yang
diinginkan. Setelah dicampur dengan bahan penguat, biasanya tanah dihamparkan
kembali lapis demi lapis dimana tiap lapis dipadatkan dengan baik.

22
Gambar 1.7. Prinsip grouting dengan cara injeksi via pipa (dari Caron, dkk. 1975)

23
Cara Deep Mixing dilakukan dengan cara mengebor tanah dengan alat rotary
drill dan mata auger pembor tanah yang khusus. Saat Rotary Drill mencapai
kedalaman yang diinginkan, alat perlahan-lahan ditarik keatas sambil mencampur
tanah diantara rotary drill dengan bahan penguat. Sebagai hasilnya didapatkan
tiang-tiang (kolom-kolom) tanah yang sudah bercampur dengan bahan penguat
(misalnya semen atau kapur). Cara seperti ini di Jepang sudah berhasil dilakukan
untuk stabilisasi tanah sampai kedalam 60,0 meter. Diameter kolom tanah semen
mencapai 1,75 m, (Okumura dan Terashi, 1975; Terashi dkk., 1979 ). Diameter
kolom-kolom tanah yang sudah diperkuat diluar Jepang, misalnya di Swedia dan
Austria, umumnya lebih kecil (sekitar 0,5 m).

1.1.7. STABILISASI TANAH CARA THERMAL


Prinsip Umum
Cara thermal dalam stabilisasi tanah meliputi pemanasan dan pendinginan
tanah (sampai beku). Pemanasan tanah yang berbutir halus (lempung atau lanau
kelempungan) sampai temperatur diatas 100°C menyebabkan tanah mengering dan
tanah menjadi keras akibat bekerjanya proses kapiler pada saat tanah mengering.
Pemanasan tanah (lempung) sampai temperatur antara 600° - 1000°C dapat
menyebabkan hal-hal sebagai berikut terhadap lempung atau lanau :
- Hilangnya sifat sensitivitas tanah terhadap air; kadar air tidak lagi
mempengaruhi sifat material tanah.
- Hilangnya sifat kembang-susut tanah.
- Hilangnya sifat compressible dari tanah.
Jadi tanah seolah-olah membatu dan tidak lagi bersifat sebagai tanah lempung.
Pendinginan tanah yang umumnya dilakukan ialah sampai dibawah titik beku
air. Pembekuan ini menyebabkan air pori tanah mengeras jadi es padat sehingga
lebih mudah untuk “ditangani”. Pembekuan tanah ini dilakukan sementara sampai
bengunan permanen yang diinginkan selesai dikerjakan (misalnya pada galian
terbuka tanah saturated yang sangat lembek dimana pelaksanaan konstruksi turap-
sementara kurang ekonomis dari pada cara pembekuan tanah). Selain itu proses
“freezing” ini perlu untuk mempertahankan sifat tanah di daerah permafrost
(permanen frost).
Cara pemanasan dan pendinginan/pembekuan sebagai cara untuk perbaikan
tanah umumnya lebih efektif dilakukan untuk tanah berbutir halus seperti lempung

24
atau lempung kelanauan. Pembekuan terutama dilakukan pada tanah yang jenuh
air.
Perbaikan tanah cara thermal ini memerlukan biaya energi yang relatif tinggi
dan penggunaannya mungkin tidak dapat diterapkan dibanyak tempat di bumi ini;
karena faktor cuaca, keberadaan bahan bakar/energi, kondisi tanah dan lain-lain.
Hanya kondisi yang specifik saja yang memungkinkan penggunaan cara ini. Karena
diperkirakan cara ini mungkin tidak akan pernah digunakan di Indonesia, penulis
tidak membahas cara ini lebih lanjut. Untuk referensi, pembaca disarankan
mengacu pada Litvinov (1960), Lirvinov dkk. (1979) dan Kurnakov (1972).
Sedangkan untuk cara pembekuan tanah, pembaca dapat melihat pada Braun dkk.
(1978), Shuster (1972) dan pada makalah Sanger dan Sayles (1979).

1.1.8. PERBAIKAN TANAH CARA PEMBERIAN PERKUATAN


(REINFORCEMENT)
Cara soil reinforcement ini merupakan cara yang paling pesat berkembang
dalam dua dekade akhir-akhir ini dan cara ini merupakan cara yang paling banyak
dipelajari dan diminati orang. Cara ini pada pokoknya dapat dibagi menjadi empat
metode yaitu :
1. Metode Stone Column.
Pada metode ini, pada tanah yang lunak dipasang kolom-kolom dari batu atau
kerikil yang dipadatkan berdiameter 0,6 – 1,0 meter dengan jarak tertentu.
Pemasangan stone column bisa dengan cara vibroflotation atau cara pneumatic
compaction. Stone column tersebut berfungsi untuk meningkatkan kekuatan
geser tanah dan mengulangi settlement. Selain stone column juga umum
dilaksanakan sand column yang dipasang dengan cara vibro-compozer
sebagaimana telah dijelaskan didepan.
2. Root Piles atau Micro Piles.
Ini adalah penggunaan tiang pancang kecil berdiameter 7,5 – 25 cm, yang
umumnya dari beton dengan penulangan ditengah-tengah. Tiang-tiang micro ini
dipasangkan sebagai group tiang atau tiang satu-satu secara vertikal dan miring.
Fungsi tiang micro ini disamping memberikan tambahan dukungan terhadap
pondasi juga sebgai pasak terhadap geseran pada bidang longsor geser
sirkular. Di Indonesia sistem seperti ini lebih dikenal dengan sistem “cerucuk”,
yaitu penggunaan tiang-tiang kayu/bambu sebagai pasak dalam tanah.

25
3. Paku-paku Tanah (Soil Nailing).
Cara ini terdiri dari sekelompok batang-batang dalam tanah serupa paku-paku
dalam tanah. Batang-batang tersebut umumnya digroutingkan didalam tanah.
Soil nailing ini hampir serupa dengan rock bolt pada batuan. Fungsi utamanya
ialah memperkuat tanah dengan menyatukan massa tanah disuatu bagian tanah
yang kurang stabil (misal pada talud dan lereng-lereng).
4. Reinforced Earth (tanah yang diperkuat dengan bahan pengikat buatan).
Reinforced earth disini termasuk semua perkuatan-perkuatan tanah
menggunakan bahan geosynthetis, bahan-bahan khusus dari metal, ground
anchor dan perkuatan sistem tie-back. Yang termasuk bahan geosynthetis untuk
perkuatan tanah (soil reinforcement) meliputi geotextile, geogrid, dan geolinear
elemen.

Stone column terutama untuk mendukung beban tekan dan geser.


Disamping menaikkan daya dukung tanah, stone column juga mengurangi
settlement dari tanah yang diperbaiki. Disamping itu stone column juga berfungsi
seperti vertical drain untuk mempercepat waktu konsolidasi dari tanah yang
compressible sehingga waktu pemampatan tanah dapat dipercepat. Sumber acuan
untuk vertical drain dapat dilihat Aboshi dkk. (1979) dan dari ASCE Commitee on
Placemant and Improvement of Soils (1978).
Micro-piles berfungsi sebagai penahan tarik, tekan dan lentur. Micro-piles
juga diperuntukkan bagi peningkatan daya dukung dan menaikkan stabilitas tanah.
Sumber bacaan dapat diperoleh ari Lizzi (1977).
Paku tanah terutama berguna untuk penahan tarik dan geser dan tujuan
utama pada perbaikan tanah ialah meningkatkan stabilitas tanah. Lihat Schloser
dan Juran (1979) untuk bacaan lebih lanjut.
Perkuatan pada reinforsed earth seperti bahan geotextile dan sejenisnya
berfungsi terutama untuk penahan tarik. Bahan ini dapat meningkatkan daya
dukung tanah dan memperkokoh stabilitas tanah. Besar settlement tanah umumnya
tidak banyak berubah akibat adanya bahan reinforcer tersebut. Sumber acuan ini
dapat diperoleh terutama dari Koerner (1990).
Untuk keempat metode diatas, sebetulnya masih banyak uraian yang
disampaikan, terutama untuk metode stone column dan reinforced earth. Tetapi

26
karena keterbatasan waktu, penulis terpaksa tidak dapat menambah uraian lagi.
Pembaca disarankan melihat pada sumber referensi yang disebutkan di atas.

RINGKASAN
Telah diuraikan terdahulu berbagai macam cara perbaikan tanah. Ringkasan
semua cara tersebut berikut kondisi tanah yang sesuai, peralatan, kelebihan,
kekurangan, dan harga relatifnya diberikan pada Tabel 1.2. Sedangkan jenis tanah
yang sesuai untuk masing-masing cara perbaikan tanah dapat dilihat pada Gambar
1.8.

TAMBAHAN
 Lampiran 1.1.1. Ringkasan Perbaikan Tanah Untuk Tanah Lunak.
 Lampiran 1.1.2. Vibroflotation

27
Tabel 1.2. Ringkasan Perbaikan Tanah Dengan Berbagai Metoda (Mitchell, 1981).

28
Tabel 1.2. Ringkasan Perbaikan Tanah Dengan Berbagai Metoda (Mitchell, 1981).

29
Tabel 1.2. Ringkasan Perbaikan Tanah Dengan Berbagai Metoda (Mitchell, 1981).

30
31
Gambar 1.8. Ringkasan jenis tanah yang sesuai untuk berbagai cara perbaikan
tanah.
DAFTAR ACUAN

Aboshi, H., Ichimoto, E., Harada, K. & Emoki, M. (1979). The compozer : a method
to improve characteristics of soft clays by inclusion Inter. Sur le
Reinforcement des Sols, E.N.P.C-L.C.P.C, 211-216, Paris.
Akagi, T. (1977). Effect of displacement type sand drains on strength and
compressiblity of soft clays. Dept. Of Civil Enging., Toyo Univ., Saitama,
Japan, 403.
Akagi, T. (1979). State of the art report on Settlements and Time Rates of
Consolidation, Geotechnical Engineering (10), 179-198.
Aldrich, H.P. (1965). Prcompression for support of shallow foundation. J. Soil Mech.
And Found. Div. ASCE, (91), SM2, 5-20.
Anderson, R.D. (1974). Sand Vibratory Compaction, J. Const. Div. ASCE. (100),
CO1, 79-95.
Barron, R.A. (1948). Consolidation of fine-gained soils by drain wells. Transactions
ASCE (113), 718-754.
Bell, F.G. (Editor) (1975). Methods of treatment of unstable ground, 1 st.Ed., 215 pp.,
Newnes-Butterworths, London.
Bowen, R. (1975). Grouting in engineering practice. John Willey & Sons, New York,
187 pp.
Braun, B., Schuster, J-A. & Burnham, E.W. (1978), Ground freezing for support of
open excavations, Proc. 1st Int. Symp. On Ground. Freezing, 429-453,
Bochum, Germany.
Brown, R.E. (1977). Vibroflotation compaction of cohesionless soils. J. Geotech.
Engng. Div. ASCE, (103), GT12, 1437-1451.
Cambefort, H. (1973). Methods of soil stabilization (chemical, slurry trench
construction), ASCE, Proc. 8th ICSMFE, (4.3), 351-404, Moscow.
Carillo, N.J. (1942). Simple two and three dimensional cases in the theory of
consolidation of soils. Journ. Mathematics and Physics, (21), 1-5.
Caron, C., Cattlin, P. & Herbst, T.F. (1975). Injections. Chap. 9 of Foudnation
Engineering Handbook, Winterkon & Fan, etc., Van Nostrand Reinhold, New
York.
Donchev, P. (1980). Compaction of less by saturation and explosion. Proc. Int.
Conf. On Compaction, ENPC-LCPC, Paris, 313-317.
Esrig, M.T. (1968). Pore pressures, consolidation, and electrokinetics. J. Soil Mech.
And Found. Div., ASCE, (94), SM4, 899-921.
Gray, D.H. & Mitchell, J.K. (1967). Fundamental aspects of electro-osmosis in soils.
J. Soil Mech. And Found. Div. ASCE, (93), SM4, 209-236.
Hansbo, S. (1979). Consolidation of clay by ban-shaped prefabricated drains.
Ground .......

32
Holtz, R.D. & Wager, O. (1975). Preloading by vacuum-current prospects.
Transportation Research Record 548, 26-29.
Ivanov, P.L. (1967). Compaction of non-cohesive soils by explosions. Izdatel ‘Stvo
Literatury Po Stroitel ‘Stvu, Lenigrad. Published for the U.S. Dept. Of the
Interior, Bureau of Reclamation and National Science Foundation,
Washington, D.C. by the Indian National Scoentific Documentation Centre,
New Delhi. TT 70-57221, 1972, 211 pp.
Johnson. S.J. (1970). Precompression for improving foundation soils. J. Soil Mech.
And Found. Div. ASCE, (96), SM1, 111-144.
Koerner, R.M. & Welsh, J.P. (1980). Construction and Geotechnical Engineering
using Synthetic Fabrics, 267 pp., Willey, New York.
Ladd, C.C. & Foott, R. (1974). New design procedure for stability of soft clays. J.
Geotech. Engng. Div. ASCE, (100), GT7, 763-786.
Litvinov, I.M (1960). Stabilization of settling and weak clayey soils by thermal
treatment. Highway Research Board Special Report No. 60, 94-112.
Litvinov, I., Torgab, A., Stepura, I. & Tjan, R. (1979). Firing of a loess soil to a 25 m
depth. Osnov. Fund. Mech. Grunt. (2), 3, 7-9.
Lizzi, F. (1977). Practical engineering in structurally complex formations (The “insitu
reinforced earth”). Proc. Int. Symp. On Formations, 327-333. Capri.
Lukas, R.G. (1980). Densification of loess deposits by pounding. J. Geotech. Engng.
Div. ASCE, (106), G4, 435-446.
Miki, G., Nakanishi, W., Iizuka, T., Inchino, Y. & Imamishi, H. (1980). Grout jetting
method applied to excavation of soft ground.
Mitchell, J.K. (1970). In-place treatment of foundation soils. J. Soil Mech. And
Found. Div., ASCE, (96), SM1, 73-110.
Mitchell, J.K. & Wan, T.Y. (1977). Electro-osmotic consolidation-its effect on soft
soils. Proc. 9th ICSMFE, (1), 219-224.
Mitchell, James, K (1981), Soil Improvement : State-of-the-Art, State-of-the-Art
Report, Session 12, Proceedings of the Tenth International Conference on
Soil Mechanics and Foundation Engineering, Stockholm, Sweden, June 15-
19.
Murayama, S. (1958). Method to install sand piles by vibrating casing pipes.
Japanese Patent No. 266080.
Okumura, T. & Terashi, M. (1975). Deep-lime-mixing method of stabilization for
marine clays. Proc 5th Asian Regional Conf. On Soil Mech. And Found.
Engng., (1), 69-75, Bangalore, India.
Pilot, G. (1977). Methods of improving the engineering properties of soft clay : State
of the art. Proc. Int. Symp. On Soft Clay, Bangkok. Also in Bull. Liaison Labs,
P. Et Ch., Special issue VIE, April 1978, 140-178.
Prugh, B.J. (1963). Densification of soils by explosive vibration. J. Const. Div.,
ASCE (89), CO1, 79-100.
Sanger, F.J. & Sayles, F.H. (1979). Thermal and rheological computations for
artificially frozen ground construction. Engineering Geology, (13), 311-337.

33
Schlosser, F. & Juran, I. (1979). Parametres de calcul des sols artificellement
ameliores : Report general Seace S. Proc. 8th European Conf. SMFE, (8), 1-
29.
Seed, H.B (1979). Soil liquefaction and cyclic imobility evaluation for level ground
during earthquakes. J. Geotech. Enging. Div., ASCE (105), GT2, 201-255.
Shuster, J.A. (1972). Controlled freezing for temporary ground support. Proc. 1 st
North American Rapid Excavation and Tunneling Conf., (2) 863-894,
Chicago.
Saito, A. (1977). Characteristics of penetration resistance of reclaimed sandy
deposit and their change through vibratory compaction. Soils and
Foundations, (17), 4, 32-43.
Terashi, M., Tanaka, H. & Okumura, T. (1979). Engineering properties of lime-
treated marine soils and D.M. Method. Proc. 6th Asian Regional Conf. On Soil
Mech. And Found. Engng. 11/9, 191-194, Singapore.
US. Navy (1971). Design manual-soil mechanics, foundation and earth structures.
Naval Facilities Engineering Command, NAVFAC DM-7, Washington, D.C.
Wan, T.Y. & Mitchell, J.K. (1976), Electro-osmotic consolidation of soils, J. Geot.
Engng. Div., ASCE, (102), GT5, 473-491.

34
Lampiran 1.1.
Ringkasan perbaikan tanah khusus untuk tanah lunak (dari Japanese Assoc. of Civil
Engineers..)

35
Lampiran 1.1.
Ringkasan perbaikan tanah khusus untuk tanah lunak (dari Japnese Assoc. Of
Civil...)

36

Anda mungkin juga menyukai