Anda di halaman 1dari 22

“THE PHILOSOPHY OF MATHEMATICS EDUCATION”

KARYA PAUL ERNEST


Chapter 10 subbab: Kurikulum Nasional

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Filsafat Ilmu”

Dosen Pengampu: Dr. Lukman El Hakim, M.Pd.

Disusun Oleh:

Dinar Nirmalasari NPM. 1309818021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya. Saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Saya memohon maaf
apabila kepenulisan dalam makalah saya masih jauh dari kata sempurna. Saya
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Lukman El Hakim, M.Pd selaku
dosen Filsafat Ilmu yang memberi arahan dalam mengerjakan makalah yang
bejudul Tinjauan Kritis Cockcroft dan Kurikulum Nasional.

Saya berharap makalah ini dapat menambah wawasan saya mengenai


materi yang diangkat menjadi topik utama dalam makalah ini dengan judul
Tinjauan Kritis Cockcroft dan Kurikulum Nasional serta dapat menjadi referensi
yang bermanfaat bagi para pembaca.

Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan harapan semoga tugas saya bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Jakarta, 05 November 2018

Dinar Nirmalasari
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang sering terkait, baik secara substansial
maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Menurut Lewis White Beck,
filsafat pendidikan bertujuan membahas dan mengevaluasi metode-metode
pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan nilai dan pentingnya upaya ilmiah
sebagai suatu keseluruhan.

Pendidikan matematika terdiri dari dua kata: pendidikan dan matematika.


Ribuan intelektual mendefinisikan masing-masing kata tersebut dalam bahasa
mereka sendiri. Matematika dimaknai berbeda oleh kaum absolutis dan fallibilis
Sementara di sisi lain, pendidikan dimaknai berbeda antara kaum industrial,
humanis tua, ataupun konstruktivisme sosial.

Paul Ernest adalah salah seorang penganut aliran filsafat konstruktivisme


sosial dalam matematika. Dialah yang mengajukan pertanyaan yang akhirnya
menjadi diskusi panjang “Apakah matematika itu ditemukan (discovered) ataukah
diciptakan (invented)?”. Ernest lahir di New York pada tahun 1944 dan tinggal di
Inggris sejak ia kecil. Sejak awal, Ernest telah memutuskan untuk mempelajari
matematika dan filsafat sejak ia menjadi mahasiswa sampai akhirnya meraih gelar
Ph.D. dalam bidang filsafat pendidikan matematika. Kini ia menjabat sebagai
professor emeritus dalam bidang pendidikan matematika di Universitas Exeter,
Inggris. Karya Ernest yang terkenal ada dua, yakni Sosial Constructivism as a
Philosophy of Mathematics dan The Philosophy of Mathematics Education. Kedua
karya ini menegaskan posisi Ernest dalam bidang pendidikan matematika, yakni
sebagai penganut aliran konstruktivisme sosial.

Buku Ernest The Philosophy of Mathematics Education adalah buku yang


memiliki alur sistematik, dimana Ernest pertama kali membahas hakekat
matematika dan berlanjut pada pembahasan ideologi-ideologi yang ada dalam
pendidikan. Salah satu pembahasan Ernest membahas mengenai kurikulum
nasional di bab 10, yaitu: Tinjauan Kritis Cockcroft dan Kurikulum Nasional. Di
bab ini Ernest mencetuskan idenya mengenai pandangan pendidikan progresif.

Makalah ini akan membahas tentang bab 10 dari The Philosophy of


Mathematics Education karya Ernest. Selain dalam rangka pemenuhan tugas mata
kuliah Filsafat Ilmu, diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam
memahami maksud dari Ernest dalam bab ini. Pemakalah menyadari berbagai
kekurangan yang ada dalam makalah ini, dari mulai sistematika penulisan yang
masih belum terstruktur dengan baik, sampai pada subyektifitas pemakalah dalam
memahami alur dan maksud pemikiran Ernest. Karenanya kritik, saran, dan
diskusi kritis mengenai makalah ini sangat diharapkan demi perbaikan makalah
ini di kemudian hari.

Identitas Buku
Judul Buku : The Philosophy of Mathematics Education

Sampul Buku :

Pengarang : Paul Ernest

Tahun terbit : 1991

Penerbit : London: Routledge Falmer

Tebal : xiv + 329 halaman


Untuk itulah penulis mencoba memaparkan mengenai Tinjauan Kritis
Cockcroft dan Kurikulum Nasional, sehingga diharapkan para pembaca dapat
memahami pentingnya filsafat ilmu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis memaparkan beberapa rumusan


masalah untuk makalah ini, yaitu :

1. Apa saja teori-teori kurikulum?


2. Apa saja laporan-laporan resmi dalam matematika?
3. Bagaimana pandangan Cockcroft terkait kurikulum nasional?
4. Bagaimana Kurikulum Nasional pendidikan matematika ditinjau dari filsafat
ilmu?
5. Apa yang dimaksud filsafat pendidikan progresivisme?
6. Bagaimana warna progresivisme dalam kurikulum 2013?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Penulisan makalah ini berusaha menjawab rumusan masalah di atas. Untuk itu,
tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui teori-teori kurikulum.


2. Untuk mengetahui laporan-laporan resmi dalam matematika.
3. Untuk mengetahui pandangan Cockcroft terkait kurikulum nasional.
4. Untuk mengetahui kurikulum Nasional pendidikan matematika ditinjau dari
filsafat ilmu.
5. Untuk mengetahui filsafat pendidikan progresivisme.
6. Untuk mengetahui warna progresivisme dalam kurikulum 2013.
BAB II

PEMBAHASAN

Bab 10 dalam buku The Philosophy of Mathematics Education berjudul


Tinjauan Kritis Cockcroft dan Kurikulum Nasional membahas tentang pandangan
Cockcroft mengenai kurikulum nasional terkait mata pelajaran matematika.

TINJAUAN KRITIS COCKCROFT DAN KURIKULUM NASIONAL

1. Pendahuluan
A. Teori-Teori Kurikulum

Buku ini menyajikan salah satu pendekatan teoritikal dalam kurikulum


matematika dan pengidentifikasian tujuan. Pendekatan ini terdiri dari banyak
disiplin ilmu, mulai dari filosofi, sosiologi dan sejarah. Dalam literatur, ketiga
jenis pendekatan ini dapat dibedakan tergantung pada dasar-dasar dari ilmu
tersebut.

Pendekatan yang pertama adalah pendekatan filosofi dalam kurikulum


matematika yang dikemukakan oleh Confrey (1981), Lerman (1986) dan Nickson
(1981). Pendekatan ini secara khusus digunakan sebagai sebuah dasar untuk
mengidentifikasi filosofi yang mendasari kurikulum matematika. Seperti
pendekatan yang digunakan saat ini, para penulis ini mengidentikasi perbedaan
dari filosofi – filosofi matematika melalui tujuan dan pedagoginya.

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan sosiologi, dikemukakan oleh Moon


(1986) dan khususnya oleh Cooper (1985). Yang mendasari pendekatan ini adalah
persaingan kelompok sosial dengan membedakan misi dan ketertarikan terlepas
dari perbedaan ideologi untuk mencapai tujuan bersama. Keunggulan dari
pendekatan ini adalah dalam menjelaskan faktor yang mempengaruhi perubahan
sosial dan tujuan dari persaingan-persaingan kelompok.
Adapun pendekatan sosiologi yang lain adalah neo-marxist yang mana teori-
teorinya berdasarkan pada pengkajian kompleks tentang hubungan antara budaya,
kelas sosial dan kondisi ekonomi yang dikemukakan oleh Marx dan yang lain
seperti Gransci (1971), William (1961) juga termasuk dalam kelompok ini.
Adapun pengemuka teori yang lain adalah Apple (1979), (1982), Bowles dan
Gintis (1976), Gintis dan Bowles (1980) dan Giroux (1986).

Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan sejarah dalam kurikulum


matematika yang dikemukakan oleh Howson (1982), (1983) dan Howson dkk
(1981). Beberapa pendekatan-pendekatan akhir ini yang berhubungan dengan
pendekatan ini, seperti yang ditawarkan pada sebuah model untuk
mengklasifikasikan proyek kurikulum matematika dalam 5 tipe (Keitel, 1975):

1) Matematika modern, berhubungan luas dengan pengenalan matematika


modern yang terdapat dalam kurikulum.
2) Behaviourist (perilaku), berdasar pada psikologi tindakan analisis yang berisi
tindakan secara objektif dan dalam beberapa kasus mengenai penggunaan
kode – kode pengajaran.
3) Struktural, berdasar pada penguasaan struktur secara psikologi dan proses
matematika, digolongkan dalam pendekatan Bruner dan Dienes.
4) Formatif, berdasarkan pada struktur pengembangan kepribadian secara
psikologi (teori piagets).
5) Integrasi lingkungan, sebuah pendekatan menggunakan konteks berbagai
disiplin ilmu dan menggunakan lingkungan sebagai sebuah sumber dan faktor
motivasi.

Perkembangan matematika modern mewakili humanis kuno atau tujuan


teknologi, berdasarkan pada keseimbangan antara matematika murni dan
matematika terapan di dalam kurikulum. Model kurikulum behaviourist
merupakan kombinasi perilaku pelatihan industri, kegunaan teknologi dan
tentunya tujuan humanis kuno. Sedangkan strukturalis, formatif dan integrasi
lingkungan menggolongkan semua penambahan jenis dan tujuan pengajar
progresif disebabkan oleh pemusatan kemampuan anak dan penekanan proses
belajar dan penemuan, perkembangan anak atau pengenalan anak pada
lingkungan.

B. Pertimbangan secara Metodologi

Metodologi yang digunakan terdiri atas analisa tujuan yang ditetapkan pada
dokumen kurikulum dipadukan dengan sebuah rekonstruksi tujuan yang lengkap
dalam teks. Fokus pada tujuan berarti bahwa perhatian dibatasi pada rencana
sebagai pertentangan terhadap pikiran dan pembelajaran kurikulum matematika.
Akibatnya, batasannya menjadi lebih sempit daripada pengkajian empiris, seperti
pada Robitalle and Garden (1989) yang mengkaji tentang ketiga dimensi tersebut,
yang mana hal ini disebabkan perbedaan dalam prakteknya.

2. Tujuan-Tujuan Dari Laporan Resmi Dalam Pendidikan Matematika

Fokus dalam pokok bahasan ini adalah Laporan Cockcroft (1982), tapi untuk
memberikan sebuah indikasi dari dampaknya terhadap intelektualisme, juga
dipertimbangkan dua laporan, yaitu sebelum dan sesudah laporan ini.

A. “Matematika 5-11” (Her Majesty’s Inspectorate, 1979)

Laporan ini dipublikasikan oleh “Her Majesty’s Inspectorate” yang


mewakili sebuah metode inti untuk penilaian luar (kontrol kualitas) dalam
pendidikan. Lawton (1984) mendeskripsikan ideologi mereka yang terdiri dari
profesionalisme dengan nilai-nilai yang menekankan “kualitas” dalam
pendidikan dan sebuah “rasa” untuk penilaian yang berkesan.

Laporan ini mendiskusikan maksud, tujuan, dan sasaran pembelajaran


matematika pada sekolah dasar dan isi kurikulum matematika. Dikatakan
bahwa tujuan dari pembelajaran matematika adalah ditekankan pada tujuan
yang luas, aspek budaya, dan pola pikir.
Sebagai suatu kesimpulan adalah bahwa apa yang mencolok dari
kurikulum ini adalah ketidaktetapan antara tujuan yang jelas (pengajar
progresif) dan rasional (berfaedah) dan tujuan yang tersirat dalam dokumen
ini.

B. “Perhitungan Matematika” (Cockroft, 1982)

Pada tahun 1978, Cockroft membentuk sebuah metode pengajaran


profesional, khususnya pengajar matematika dan para guru. Bagian utama
laporan ini adalah dibagi dalam tiga bagian. Yang pertama, ditekankan pada
tujuan pendidikan matematika dan kebutuhan akan matematika pada
kehidupan dewasa, pekerjaan, dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Apa
yang ditekankan sangatlah jelas bermanfaat, mewakili tujuan teknologi
pragmatis. Pada bagian kedua, ditekankan pada pendiskusian dan penguasaan
kalkulator dan komputer. Hal ini sesuai dengan tujuan-tujuan teknologi
pragmatis.

Salah satu ciri penting dari laporan ini adalah pengklasifikasian pada hasil
belajar yang berdasarkan pada tujuan Bell dkk (1983) membedakan antara
fakta dan keahlian. Struktur konseptual dan strategi umum dan penghargaan.
Dalam hal ini, dikatakan bahwa pengajaran dan pembelajaran matematika
pada semua level haruslah terdiri dari pemecahan masalah, diskusi,
investigasi, dan praktek kerja.

Ada dua kritikal aspek dalam laporan ini (1) sebuah kritik “naik turun”
perkembangan kurikulum matematika dan (2) sebuah kritik tentang penilaian
matematika untuk anak yang berumur 16 tahun. Kritikan-kritikan ini sama
dengan sebuah serangan yang nyata terhadap dominasi humanis kuno pada
kurikulum matematika dan penilaiannya dalam sekolah tingkatan lanjutan
kedua. Lebih lengkapnya lagi, hal ini sama dengan sebuah serangan pada
ideologi. Ideologi kegunaan, yang menggunakan penyekolahan dan penilaian
terhadap anak-anak yang dalam masa persiapan kerja. Sebagai tambahan,
penolakan yang tegas terhadap pembelajaran diluar kepala dan pengajaran
otoriter mewakili sebuah sebuah penolakan terhadap tujuan pelatihan industri
oleh Cockroft. Secara keseluruhan, laporan Cockroft (1982) dapat dilihat
sebagai perwujudan tujuan pengajaran progresif dan tujuan pragmatis
teknologi. Tujuan-tujuan dan perspektif yang lain, ditolak kecuali dimana
mereka saling melengkapi dengan dua ideologi progresif.

C. Matematika untuk Umur 5-16 Tahun (Her Majesty’s Inspectorate, 1985)

Sebagian besar dari dokumen ini menekankan pada kriteria untuk pilihan
isi dan pondasi prinsip-prinsip pedagogi dan pengajaran. Tujuan yang
ditetapkan menekankan pada penggunaan matematika (sebagai bahasa dan
sebuah alat) penghargaan terhadap hubungan secara matematik dan lebih dari
semua hal itu, kualitas personal (bekerja secara sistematis, mandiri, bekerja
sama dan pengembangan kepercayaan diri).

Secara keseluruhan, dokumen ini mewakili tujuan pengajaran progresif


dan tujuan teknologi pragmatis pada tingkat yang tidak begitu luas. Secara
khusus, komputer dan kalkulator sangatlah ditekankan. Satu indikator dari
semuanya adalah perlakuan terhadap kurikulum matematika diusia wajib
belajar (umur 5-16 tahun) sebagai satu kesatuan.

D. Kecenderungan dalam Penerbitan Resmi, 1972-1982

Dokumen ini memberikan sebuah indikasi pengkomplesan tujuan dan


perspektif dalam pendidikan matematika pada satu sektor seperti yang
diuraikan oleh Her Majesty’s Corporate. Tetapi, Lawton membedakan tiga
kelompok otoritas pusat dalam pendidikan yang berbeda nilai dan rasa:

a) Politikus
b) Kaum Birokrat
c) Profesionalis

Maka dari itu, seharusnya tidak boleh diasumsikan bahwa cuma ada satu
pandangan dalam hal ini. Ada dua perubahan cara berpikir dalam Her
Majesty’s Inspectorate dalam masa yang lalu. Cara berpikir yang pertama
berasal dari humanis kuno/perspektif tinjauan teknologi pragmatis dan tujuan
pengajaran progresif. Ini ditandai dengan penekanan pada struktur dan isi
kurikulum matematika (Her Majesty’s Inspectorate, 1985). Cara yang kedua
menekankan pada informasi teknologi. Pada tahun 1979 tidak pernah
disebutkan akan adanya impor kalkulator dan komputer. Ini tidak bisa disebut
sebagai revisi dari tujuan, tetapi sebagai refleksi dari perubahan sosial dan
pendidikan.

3. Kurikulum Nasional dalam Matematika

Kurikulum nasional merupakan bagian perubahan jangka panjang dalam


pendidikan di Inggris yang berpengaruh pada usia wajib belajar 5-16 tahun.
Pemerintah telah mengambil control langsung di dunia pendidikan dan
menentukan isi dan penilaian dikurikulum sekolah.

A. Konteks Umum
1) Minat dan ideologi pelatihan industri

Kurikulum nasional haruslah ditinjau terlabih dahulu. Hal ini


dikemukakan oleh Mrs.Thatcer yang telah Berjaya di Inggris sejak tahun
1979. Ideologi dari kelompok ini terdiri dari sebuah hirarki yang keras tentang
pandangan masyarakat, tinjauan moral yang mengacu pada peraturan
individual, disertai dengan filosofi-filosofi berdasar dari metafora “target
pasar” dan “pilihan konsumen”. Satu kunci utama yang menjadi pondasi
ideologi ini adalah kepentingan pribadi.

Selama masa pemerintahannya, Mrs.Thatcer telah mengimplementasikan


sejumlah kebijaksanaan mengenai industri, perdagangan, dan pelayanan sosial
berdasar pada metafora target pasar” dan “pilihan konsumen”. Metafora ini
fokus pada pembagian keuntungan.
B. Kurikulum Nasional

Batasan-batasan matematika dalam kurikulum nasional dalam konteks ini,


kurikulum nasional matematika dibatasi oleh pemberlakuan beberapa batasan
(Departemen Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan 1987 : 1988 a)

1) Batasan tradisional, bertentangan dengan cara pikir kurikulum modern dan


praktek dasar sekolah.
2) Model cara penilaian. Hal ini didasarkan pada asumsi tentang keragaman
stratifikasi sosial, kemampuan individu dengan mengacuhkan perbedaan
budaya dan kebutuhan.
3) Penilaian berdasarkan kurikulum, membutuhkan penjelasan yang luas
untuk beberapa subjek inti (matematika, bahasa inggris, dan ilmu
pengetahuan) sebagai bagian dari sebuah hirarki.
4) Waktu yang sangat singkat untuk pengembangan dan implementasi.
5) Batasan yang tegas pada kelompok kerja kurikulum nasional yang
membatasi mereka dalam merumuskan sasaran yang jelas dan cara-cara
belajar.

C. Kurikulum Nasional Matematika

Pada musim panas tahun 1987 sebuah kelompok kerja matematika


kurikulum nasional dibentuk. Kelompok ini terdiri dari 9 pengajar
matematika, 3 guru, 4 administrasi pendidikan, 2 akademisi, 1 industrialis, dan
1 anggota dari New Right. Pada tahun 1987 di bulan September, salah satu
anggota dari kelompok tersebut mengemukakan sebuah dokumen kunci yang
tercantum dalam pernyataan berikut:

Pernyataan umum:

Kurikulum matematika berhubungan dengan :

a) Taktik (fakta, keahlian, konsep).


b) Strategis (percobaan, pengujian, pembuktian).
c) Moral siswa (cara kerja siswa, kelakuan siswa).

Ada dua skenario yang akan dijelaskan terkait dengan NMC (Nasional
Matematik Curiculum)
Skenario A : NMC berkaitan dengan fakta matematik. Keahlian dan konsep.
Tetapi kemudian hanya dibuat kedalam bentuk referensi yang
dangkal terhadap strategis dan moral siswa.
Skenario B : NMC mulai dengan sebuah pernyataan yang jelas tentang moral
siswa. Hal ini diikuti dengan pernyataan mendetail pada strategi
umum yang merupakan dasar pemikiran matematik. Dalam
scenario ini, ditekankan bahwa moral siswa adalah yang
terpenting, kemudian strategi lalu taktik matematika (konsep,
keahlian, dan fakta).

Ini merupakan sebuah pernyataan yang jelas (Mayhew, 1987) antara tinjauan
pemusatan matematika pada humanis kuno (teknologi pragmatis) (A), dan
tinjauan pemusatan progresif anak (B). Pernyataan ini secara jelas
menunjukkan batasan-batasan ideologi. Hal ini meniadakan dua tinjauan yaitu
pelatih industrial dan pengajaran umum.

Pernyataan ini berawal dari pengasumsian pengertian hasil pengajaran


matematika yang dikemukakan oleh Bell dkk (1983) dan didukung oleh
Cockroft (1992) seperti yang dirumuskan oleh Her Majesty’s inspectorate
(1985). Hal ini menggeser anggapan tentang “apresiasi matematika” yang
menaruh perhatian akan kondisi sosial dan institusi matematika dan antara
tujuan pendidik umum dengan “moral siswa” dengan konotasi “pemusatan
progresif anak”.

Pertentangan internal antara humanis kuno/teknologi pragmatis tampaknya


mengalami keunggulan akhir-akhir ini. Laporan sementara (Departemen
Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan) mengemukakan sebuah pernyataan yang
jelas tentang tinjauan progresif matematika sesuai dengan scenario B.

Menurut K.Baker, sebuah kelompok kerja haruslah member prioritas


utama pada setiap target yang akan dicapai. Sebuah kelompok tidak
diperbolehkan untuk “menjual pemusatan matematika pada progresif anak”
tanpa memperhatikan dasar-dasar pokok keahlian. Dia menekankan pula
“resiko penggunaan kalkulator di dalam kelas” dan menitikberatkan
pentingnya kecakapan siswa dalam perhitungan dan penggunaan lebih banyak
lagi kertas dan pensil sebagai alat dalam praktek keahlian matematika dengan
menggunakan keahlian dan teknik. Konteks ini menyarankan untuk kembali
pada tujuan dasar dari pelatihan industri.

Skenario A (di atas) telah disetujui karena dianggap mewakili keberhasilan


dari humanis kuno dan persekutuan teknologi pragmatis yang tidak lepas dari
pengaruh pengajaran progresif, tetapi tetap dengan cakupan kerja yang
didominasi oleh sistem pelatihan industri.

Dapat disimpulkan bahwa hal ini mewujudkan tujuan dari ketiga


kelompok tersebut, kurikulum ini mewakili penelitian dalam peningkatan
abstraksi dan keragaman, menyediakan rute untuk matematika lebih
berkembang dimasa depan dan menemukan tujuan humanis kuno. Ini
merupakan orientasi secara teknologi tetapi penilaian tetap berdasarkan
kurikulum dan berpadu dengan tujuan teknologi pragmatis. Secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa ini merupakan kejayaan dari tujuan
sistem pelatihan industri bersama penganutnya.

4. Filsafat Pendidikan Progresivisme Sebagai Landasan Teori

Kata kunci untuk memahami filsafat pendidikan progresivisme adalah dengan


melihat kata sifat yang terkandung dalam terminologi tersebut, yakni kata
“progresif”. Kemajuan (progress) bersifat alamiah (naturalistik) yang
mengimplikasikan perubahan. Perubahan mengimplikasikan kebaruan. Kebaruan
tersebut terdapat di dalam realitas. Pendidikan yang progressif selalu menekankan
cara memecahkan masalah terhadap realitas yang selalu mengalami perubahan
atau dengan kata lain pendidikan yang progresif selalu mencoba mengembangkan
inisiatif dan kepercayaan diri seseorang. Brubhacer (1978: 330) mengatakan:

Progress is naturalistic: it implies change. Change implies novelty


and novelty lays claim to being genuine rather than the revalation
of an antecedently complete reality”.

Pemikiran progresivisme memunculkan defenisi kurikulum yang tak


terbantahkan. Kurikulum sebagai kegiatan belajar dimana terdapat pertemuan
ruang kelas yang di sana disajikan beberapa bagian dari materi pelajaran dalam
jangka waktu tidak terbatas dan pembawaannya tidak dapat didefinisikan dalam
ruang. Dewey juga menerima asumsi tentang penyusunan materi pokok yang
harus diberikan kepada murid (Jackson, 1992: 6). Progresivisme memiliki
pandangan bahwa kurikulum yang baik berasal dari siswa sebagai subjek didik.

“Progressives generally were not interested in using the


curriculum to transmit subjects to student. Rather, the curriculum
was to come from the child. Learning could take a variety of forms
such as problem such as problem solving, field trips, creative
artistic expression, and projects. Above all, progressives saw the
teaching-learning as active, exciting and everchanging”(Oinstein
dan Levine, 1985: 205).

Subjek didik selalu berkembang, maka kurikulum pun dapat berkembang dan
berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Pembelajaran aktif sangat
diperlukan bagi siswa atau subjek didik di sekolah.

Prinsip-prinsip pendidikan yang dianut oleh aliran progresivisme dapat


didaftarkan secara singkat, adalah: (1) Anak-anak dibiarkan bebas berkembang
secara alami (2) Perhatian, didorong langsung pada pengalaman, karena ini
dianggap sebagai pendorong yang paling baik dalam pengajaran. (3) Guru harus
menjadi seorang narasumber dan seorang pembimbing dan pengarah dalam
aktivitas pembelajaran. (4) Sekolah progresivisme seharusnya menjadi sebuah
laboratorium bagi reformasi pendidikan dan tempat untuk bereksperimen
(Oinstein dan Levine, 1985: 203).

5. Warna Progresivisme Dalam Kurikulum 2013

Filsafat pendidikan berkaitan erat dengan kurikulum pendidikan. Filsafat


mendasari kurikulum pendidikan.

“Philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is


perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for
curriculum domain than in any other, for curriculum is a response
to the question of how to live a good life… John Dewey supported
this emphasis when he suggested that education is the testing
ground of philosophy itself” (Schubert, 1986: 116).

Salah satu filsafat pendidikan adalah progresivisme yang sangat menonjol dalam
kurikulum 2013. Warna progresivisme dalam kurikulum 2013 terutama muncul
dalam alasan-alasan pengembangan kurikulum 2013. Sejumlah hal yang menjadi
alasan pengembangan kurikulum 2013 adalah:

1) Perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari
tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan
output) yang memerlukan penambahan jam pelajaran dan pengurangan mata
pelajaran.
2) Tantangan masa depan diantaranya arus globalisasi, kemajuan teknologi
informasi, menjelaskan bahwa zaman berubah maka ilmu pengetahuan pun
berubah maka wajar kalau kurikulum pendidikan juga berubah.
3) Kurikulum ini menginginkan proses kreatif dan inovasi pada siswa atau
peserta didik agar mampu berkomunikasi, berpikir jernish dan kritis, mampu
mempertimbangkan segi moral dalam suatu permasalahan, mampu mencoba
mengerti terhadap pandangan-pandangan yang berbeda.

Warna progresivisme dalam kurikulum 2013 cukup kental karena kurikulum


ini menghendaki siswa atau peserta didik menjadi sosok yang aktif serta mampu
berkreasi. Kreatif dan inovatif yang menjadi ciri khas dari kurikulum 2013. Anak
menjadi subjek pendidikan, pembelajaran aktif dan pendidikan karakter yang
menjadi ciri khas dari kurikulum 2013 sama dengan pandangan Dewey melihat
kurikulum.

“The child is the starting point, the center, and the end. His
development, his growth, is the ideal. It alone furnishes the
standard. To the growth of the child all studies are subservient, the
instruments valued as they serve the needs of growth. Personality,
character is more than subject-matter. Not knowledge or
information, but self-realization, is the goal. Learning is active. It
involves reaching out the mind. It involves organic assimilation
starting from within. Literally we must take our stand with the
child and our departure from him. It is he and not the subject
matter which determines both quality and quantity of learning”.
(Dewey, 1962: 9).

Progresivisme menekankan pendidikan pada proses kehidupan. Sekolah


merupakan representasi nyata dari kehidupan sosial.

“Education is a process of living and not a preparation for future


living. The school must therefore represent real life and as an
institution should simplify existing social life” (Schilpp, 1951:
462).

Paradigma pendidikan berubah dari masa ke masa, begitu pun dengan


kurikulum. Dinamika perkembangan kurikulum sejalan dengan perkembangan
akademik, industri, dan sosial budaya yang membutuhkan Sumber Daya Manusia
yang kompeten dalam bidang pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tuntutan
zaman sudah berubah maka penyesuaian kurikulum terhadap perkembangan
zaman pun perlu dilakukan. Siswa sebagai subjek pendidikan harus menjadi basis
dari kurikulum.

“As regards curriculum, the social life of the child should be taken
as the basis of concentration or correlation. The only way to make
the child conscious of this social heritage is to perform those
fundamental types of activity which make civilization what it is”
(Schilpp, 1951: 463).

Prinsip-prinsip pendidikan yang dianut oleh aliran progresivisme dapat


didaftarkan secara singkat adalah: (1) Anak-anak dibiarkan bebas berkembang
secara alami (2) Perhatian, didorong langsung pada pengalaman, karena ini
dianggap sebagai pendorong yang paling baik dalam pengajaran. (3) Guru harus
menjadi seorang narasumber dan seorang pembimbing dan pengarah dalam
aktivitas pembelajaran. (4) Sekolah progresivisme seharusnya menjadi sebuah
laboratorium bagi reformasi pendidikan dan tempat untuk bereksperimen
(Oinstein dan Levine, 1985: 203). Prinsip-prinsip inilah yang digunakan oleh
peneliti dalam menyoroti Kurikulum 2013.

1) Anak-anak dibiarkan bebas berkembang secara alami


Kurikulum 2013 menginginkan anak-anak atau peserta didik memiliki
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang komprehensif serta dapat
berkembang secara alami. Peserta didik dalam Kurikulum 2013 diubah dari
sosok yang diberi tahu menjadi mencari tahu. Peserta didik diberi kebebasan
sesuai dengan kebutuhan, minat, dan bakat. Peserta didik dalam
pembelajarannya diberi prinsip bahwa pembelajaran dapat berlangsung di
rumah, di sekolah, dan di masyarakat.
“Kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan pola
pikir bahwa pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, pola belajar pasif
menjadi pola belajar aktif” (Struktur Kurikulum 2013, 2013: 5).

Kurikulum 2013 sangat menekankan pada diri peserta didik untuk dapat
menyempurnakan dan mengembangkan pola pikirnya demi kemajuan bangsa
dan negara.

2) Perhatian, didorong langsung pada pengalaman, karena ini dianggap sebagai


pendorong yang paling baik dalam pengajaran.
Pembelajaran dalam kurikulum 2013 berubah dari pembelajaran
verbalisme menuju keterampilan aplikatif. Pembelajaran verbal yang sifatnya
satu arah antara guru dengan murid berubah menuju pembelajaran berbasis
pengalaman yang sifatnya aplikatif. Siswa atau peserta didik diberi
keleluasaan untuk bercerita mengenai pengalaman-pengalaman hidupnya di
hadapan orang banyak.
Perhatian atau minat dari peserta didik menjadi hal yang utama dalam
progresivisme. Hal ini berfungsi agar siswa mampu berpikir kritis tidak pasif
dan mampu mengeluarkan segala potensi yang dimiliki.
“Pola pembelajaran dalam kurikulum 2013 berubah dari yang
berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan
memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap
peserta didik” (Struktur Kurikulum 2013, 2013: 5).

3) Guru harus menjadi seorang narasumber dan seorang pembimbing dan


pengarah dalam aktivitas pembelajaran.
Guru dalam filsafat pendidikan progresivisme diposisikan sebagai
fasilitator yang membimbing, mengarah dan narasumber dalam aktivitas
pembelajaran. Guru tidak boleh menekan dan bertindak otoriter yang seakan-
akan posisinya lebih tinggi daripada murid. Guru merupakan sosok yang
mampu menasehati dan mengenal seluruh murid sehingga bakat dan minat
para murid dapat dikenali dan dikembangkan dengan baik.
Peran guru dalam Kurikulum 2013 juga memiliki penjelasan yang
sependapat dalam pemikiran progresivisme. Pembelajaran dalam Kurikulum
2013 berpusat pada aktivitas siswa dan tidak terisolasi.
“Pola pembelajaran dalam kurikulum 2013 berubah dari
pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran jejaring (peserta
didik dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang
dapat dihubungi serta diperoleh melalui internet), pembelajaran
satu arah (interaksi gurupeserta didik) menjadi pembelajaran
interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan
alam)” (Struktur Kurikulum 2013, 2013: 5).

Pola interaksi yang dikembangkan dalam kurikulum 2013 lebih bersifat


interaktif antara guru dengan murid dan lingkungan sekitar. Guru sebagai
seorang pengarah dan narasumber diharuskan membimbing siswa atau peserta
didik untuk mengenal alam. Guru dapat mengajak para siswa untuk keluar dari
lingkungan sekolah dan mengenalkan fenomena-fenomena yang terjadi di
alam semesta untuk kemudian diintegrasikan ke dalam mata pelajaran.
4) Sekolah progresivisme seharusnya menjadi sebuah laboratorium bagi
reformasi pendidikan dan tempat untuk bereksperimen.

Sekolah bukanlah tempat formal yang mengekang anak-anak atau peserta


didik untuk mengerjakan segala hal. Sekolah bagi progresivisme adalah tempat
belajar, bermain, bereksperimen agar pengetahuan dan bakat anak mampu tumbuh
serta berkembang secara progressif. Reformasi pendidikan dan perubahan pola
pikir mampu berkembang dengan baik jika sekolah mampu mengembangkan
progresivisme pendidikan dengan baik.

Kurikulum 2013 menjelaskan bahwa sekolah memang harus digunakan


sebagai laboratorium bagi pendidikan anak untuk berkembang menjadi lebih baik
di lingkungan mayarakat atau dengan kata lain sekolah merupakan bagian dari
masyarakat.

“.... sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan


pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan
apa yang dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan
masyarakat sebagai sumber belajar” (Struktur Kurikulum 2013,
2013: 6).

Sekolah merupakan bagian dari masyarakat memililki makna bahwa sekolah


adalah tempat yang menyenangkan. Perasaan senang dan nyaman yang dimiliki
oleh para peserta didik membuat murid mampu mengekspresikan segala hal yang
dimiliki tanpa rasa sungkan. Sekolah adalah tempat di mana anak mampu
menumbuhkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang ke depannya siswa atau
peserta didik dapat hidup di lingkungan masyarakat dengan aman, nyaman dan
rasa tanggung jawab.
BAB III

PENUTUP

Dalam bab 10 buku The Philosophy of Mathematics Education ini,


DAFTAR PUSTAKA

Ernest, Paul.1991. The Philosophy of Mathematics Education. London: Routledge


Falmer.
Fitri Alfaris. 2015. Kurikulum 2013 Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Progressivisme. Jurnal Filsafat. 25(2): 316-338.

Anda mungkin juga menyukai