1
Sylabus Mata Kuliah Ini:
b. Pertemuan II
Pada pertemuan ini akan dibicarakan (didiskusikan) mengenai agama dan
masyarakat Indonesia asli (gambaran umum tentang Indonesia secara
wilayah, sosial masyarakat dan politik hingga sebelum masuknya
kekristenan di Indonesia), masuknya agama-agama dari luar ke Indonesia.
Pertemuan ini juga akan memperkenalkan mengenai periodisasi sejarah
gereja Indonesia. Hal ini penting sebab gereja-gereja di Indonesia lahir
adalah dari hasil pekerjaan lembaga misi yang sangat beragam, dan dapat
dikatakan bahwa misi sedikit banyak ada berhubungan dengan sejarah
kolonialisme di Indonesia misalnya: zaman Portugis dan zaman VOC
(Belanda).
2
c. Pertemuan III – VII
Pada pertemuan pertemuan ini (5 x pertemuan), akan difokuskan
pembahasan/diskusi pada tema mengenai sejarah lahir dan
berkembangnya Gereja Protestan di Indonesia (GPI), beberapa lembaga
misi Protestan yang bekerja di Indonesia (misalnya lahirnya gereja
Protestan pertama di Indonesia: Indische Kerk) serta denominasi yang
dihasilkannya sesuai dengan daerah kerjanya. Fokus pembahasan pada
topik ini, pengembangan materi diskusi menyangkut pada lahir dan
berkembang gereja-gereja:
- Maluku dan Irian Barat. Demikian dengan di Sulawesi (Gereja Masehi
Injili Minahasa: GMIM; Gereja Masehi Injili Sangir dan Talaud: GMIST;
Gereja Masehi Injili Bolang Mongondow: GMIBM; Gereja Kristen
Sulawesi Tengah: GKST; Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao;
Gereja Toraja Mamasa; Gereja Protestan Sulawesi Tenggara:
Gepsultara; Gereja Kristen Sulawesi Selatan: GKSS).
- Nusa Tenggara dan Bali (Gereja Masehi Injili di Timor: GMIT, Gereja
Kristen Sumba: GKS, Gereja Kristen Protestan Bali: GKPB)
- Kalimantan seperti: Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Gereja Metodis
di Kalimantan, Beberapa badan zending yang lain yang pernah bekerja
di Kalimantan.
- Jawa Timur dan Jawa Tengah, pandangan umum mengenai penginjilan di
Jawa, gereja Kristen di Jawa Timur dan gereja Kristen di Jawa Tengah.
e. Pertemuan IX-XV
Pertemuan-pertemuan ini (7 pertemuan) membahas topik tentang gereja-
gereja di Jawa Barat dan di Jakarta.
Fokus pembahasan diarahkan pada: lahir, tumbuh dan berkembangnya
gereja-gereja dari rumpun Evanggelical serta kharismatik di Indonesia
seperti Pentakosta, gereja-gereja dari rumpun Kemah Injil, gereja-gereja
dari rumpun Baptis, Bala Keselamatan (Salvation Army), Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh (Seventh Days Adventists), Gereja Roma Katolik, serta
Pergumulan kekristenan di Indonesia.
Pada bagian pertemuan akhir pertemuan kuliah ini, diskusi akan diarahkan
pada semacam evaluasi tentang sifat dan karakter kekristenan di Indonesia,
seperti: motivasi menjadi Kristen, hidup persekutuan jemaat Kristen,
perjumpaan gereja dengan budaya, masalah lahirnya gereja-gereja suku
dan gereja-gereja daerah, serta masalah hubungan gereja dan negara di
Indonesia.
IV. Tugas-Tugas
Sesuai dengan perkembangan tema dalam diskusi di kelas dan untuk
menyempurnakan evaluasi dosen pengampu mata kuliah ini kepada
kemampuan mahasiswa mengikuti perkuliahan, maka untuk pemberian nilai
akhir kepada mahasiswa di samping hasil ujian MID Semester dan ujian akhir
Semester, kepada mahasiswa masih diberikan tugas-tugas sebanyak
minimal tiga pokok tema. Waktu pemberian tema, pengerjaan hingga
pengumpulan tugas-tugas akan ditentukan dan diinformasikan kemudian
kepada mahasiswa.
(Bobot Nilai : 20/100 x hasil rekapitulasi tugas)
Tugas I (75) ; tugas II (65) ; Tugas III (80)
75 + 65 + 80 = 220 (220 : 3 = 73)
Contoh: 20/100 x 73 = 14.6
Nilai akhir semester
30% hasil ujian MID = 24
50% hasil ujian Semt = 42.5
20% hasil tugas = 14.6
Total : (81.1) Kategori (A)
V. Buku-Buku Pegangan:
- Aritonang Jan S, Berbagai Aliran Dalam Gereja (BPK-GM: Jakarta, 2004)
- Krueger, M. Th., Sejarah Gereja di Indonesia (BPK-Jakarta: 1966)
- En, Van Den. Th., Ragi Carita: Volume 1….dst (BPK-Jakarta: 1978)
- Abineno, J.L. Ch., Sejarah Apostolat di Indonesia: Volume 1, II/1, II/2 (BPK-
GM: Jakarta)
- Benih Yang Bertumbuh (Jilid I-XII): Hasil Survey Mengenai Gereja-Gereja di
Indonesia
- Sejarah Gereja Katolik di Indonesia (Jilid 1, 2, 3A-B, 4)
- Cooley. J.L. Ch/Ukur. F, Jerih Dan Juang (Jakarta, 1979)
- Kruyt, A.C., Keluar Dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen (BPK-GM:
Jakarta, 1976)
- Halle, Leonhard., Jujur Terhadap Pietisme (BPK-GM: Jakarta, 1993)
- Enklaar. L.H., Joseph Kham Rasul Orang Maluku (BPK-GM: Jakarta, 1980)
Daftar Kepustakaan
- F.L. Cooley/F. Ukur, Jerih dan Juang, Jakarta, 1979.
- F. Ukur, “Pengkajian Kembali Sejarah Gereja di Indonesia”, dalam
THEODORON, Buku Kenangan Menghormati Usia 75 Tahun Prof. Dr.
Theodor Mueller Krueger, Jakarta: BPK, 1979, Hal. 39-94.
- I.H. Enklaar, Joseph Kam, Rasul Maluku, Jakarta: BPK, 1980.
- F.L. Cooley, The Growing Seed, The Christian Church in Indonesia,
Jakarta: BPK, 1982.
- Chris Hartono, dkk. (ed.), Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan
Dunianya yang Sedang Berubah, Hasil Studi Institut Gereja 5-15 Juli 1993
di Kaliurang Yogyakarta, Jakarta: Persetia, 1995.
4
SEJARAH GEREJA DI INDONESIA
Pendahuluan
1. Deskripsi Mengenai: Agama dan masyarakat Indonesia asli. Sebelum
datangnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke
bumi Indonesia, masyarakat Indonesia asli adalah penganut agama suku
(agama primitif). Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai agamanya
yang tersendiri dan satu sama lain sangat berlainan menurut corak dan bentuk
serta karakter masing-masing (lain agama suku Batak, lain agama suku Jawa,
suku Dayak, Irian, dll). Walau berlainan satu sama lain, ada kesamaan corak
secara umum, kesamaan ini nantinya akan banyak memberi pengaruh
terhadap sejarah kekristenan di Indonesia, misalnya soal:
a. Agama-agama suku itu menganut paham animisme, yakni: kepercayaan
tentang adanya roh-roh atau kekuatan-kekuatan yang menguasai alam ini.
Setiap benda, baik itu pohon, binatang-binatang, tempat-tempat, diyakini
didiami oleh roh-roh tertentu.
b. Agama-agama suku itu mempunyai aturan hidup atau adat yang mengatur
segala aspek kehidupan, rohani dan jasmani. Adat itu tidaklah merupakan
aturan yang lepas dari agama dan menurut kepercayaan suku-suku itu, adat
tersebut diturunkan oleh dewa-dewa melalui nenek moyang suku-suku atau
marga-marga itu. Karena itu wibawa nenek moyang sangat dihormati
bahkan juga disembah bagaikan suatu dewa.
c. Apabila adat itu diikuti secara sempurna, dipercayai akan membawa
selamat atau berkat bagi masyarakat suku itu, tetapi sebaliknya apabila
dilanggar akan membawa kutuk atau malapetaka.
5
(Agama-agama dari luar yang datang ke Indonesia) Mulai dari abad
pertama Masehi sampai abad dua puluh ini telah ada beberapa agama dari luar
yang masuk ke Indonesia, yakni agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen.
Mengenai agama-agama ini dapat dikatakan bahwa:
a. Agama Hindu dan agama Budha telah masuk ke Indonesia sejak abad
pertama Masehi yakni melalui pedagang-pedagang yang datang dari India.
Pada waktu itu Indonesia memang telah ramai dikunjungi oleh pedagang-
pedagang dari berbagai negara di dunia, antara lain dari Tiongkok, India,
Persia dan Mesir. Dari India banyak pedagang-pedagang yang datang ke
Indonesia untuk membeli rempah-rempah dari saudagar-saudagar yang
berasal dari Jawa dan Sumatera. Kemudian dari antara pedagang-
pedagang India itu ada juga yang berhasil tinggal di Indonesia. Di Indonesia
mereka berusaha untuk mengembangkan pengaruh mereka yakni dengan
menyebarkan agama dan budaya mereka, dan juga dengan mendirikan
beberapa kerajaan yang besar seperti kerajaan Sriwijaya yang menganut
agama Budha di Sumatera Selatan dan kerajaan Mojopahit yang menganut
agama Hindu di Jawa. Kehadiran agama Hindu dan agama Budha itu
memang tidak menghalau begitu saja agama-agama suku yang sudah ada.
Malah di beberapa tempat seperti di Tapanuli (Tanah Batak), pengaruh
Hindu itu telah memperkaya agama dan budaya suku setempat yakni suku
Batak. Bagi masyarakat dan kepercayaan suku Batak, pengaruh
kebudayaan dan agama Hindu dan Budha sangat nyata sekali. Hal ini telah
diteliti oleh H. Parkin yang dituangkan dalam sebuah disertasi mengambil
Doktor Teologi yang berjudul “Batak Fruit of Hindu Thought” (Buah Batak
dari pemikiran Hindu), yang telah diterbitkan di Madras, India, tahun 1978.
Begitu besarnya pengaruh agama Hindu dan Budha atas masyarakat
Indonesia nampak dari sejumlah peninggalan-peninggalan mereka di
Indonesia, antara lain berupa candi-candi dan kuil-kuil, seperti Candi
Mendut dan Candi Borobudur. Sampai sekarang penganut agama Hindu
dan agama Budha masih banyak dijumpai di Indonesia, seperti di Jawa dan
Bali, dan bahkan kedua agama itu sudah merupakan agama yang diakui
secara resmi di Indonesia.
b. Agama Islam masuk di Indonesia sejakabad ke-13, yang juga melalui jalur
perdagangan. Pedagang-pedagang Gujarat dari India Barat, yang datang
berdagang ke Indonesia menyebarkan agama itu di Indonesia. Para
pedagang-pedagang Gujarat yang membawa agama Islam itu sebelumnya
mengenal agama itu melalui para pedagang yang datang ke negeri mereka
dari Arabia, dari Mesir dan Persia, sejak abad 9. Di Indonesia, daerah yang
pertama dimasuki oleh agama Islam itu ialah Aceh, yang karena itu negeri
tersebut masih digelari “serambi Mekkah”. Kemudian setelah dari Aceh,
agama Islam itu menyebar lagi ke daerah-daerah Indonesia yang lain. Cara
penyiaran agama Islam itu ialah dengan memasuki kota-kota pelabuhan
dan mengikuti jalur-jalur perdagangan. Kemudian di tempat-tempat yang
telah dimasuki, penyebar-penyebar agama Islam itu berusaha menjalin
hubungan dengan raja-raja, sultan-sultan atau penguasa-penguasa
setempat yakni dengan mengawini putri-putri raja-raja tersebut atau
6
sebaliknya. Dengan demikian pengaruh raja-raja setempat tersebut bisa
dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang Islam tersebut dalam usaha
penyebaran agama itu. Melalui raja-raja atau sultan-sultan itu maka
berdirilah kerajaan-kerajaan Islam yang berpusat di kota-kota pelabuhan
atau di pusat-pusat perdagangan, baik di Sumatera, Jawa sampai ke
Maluku. Dari antara pemimpin-pemimpin agama Islam yang kita kenal dari
sejarah Indonesia, antara lain Maulana Malik Ibrahim dan Falatehan.
c. Agama Kristen yang kita kenal sekarang ini masuk ke Indonesis melalui
orang-orang Eropa (Barat) mulai pada abad 16 yang lalu. Tetapi dalam
penelitian sejarah belakangan ini, telah ditemukan suatu bukti yang
memberi petunjuk bahwa sekitar pertengahan abad ke tujuh (kira-kira tahun
645 M) yang lalu kekristenan telah pernah masuk di Indonesia yakni di
daerah Barus, Tapanuli Tengah. Hal ini diketahui dari sebuah dokumen
sejarah kuno di Mesir yang melaporkan bahwa di sebuah tempat bernama
Pancur (dekat Barus) telah pernah berdiri beberapa biara Kristen.
Kekristenan yang dijumpai di Barus itu dibawa oleh pedagang-pedagang
Kristen Nestorian dari Mesopotamia atau Persia. Pada waktu itu Barus
sudah merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh
pedagang-pedagang dari banyak negara dan bahkan menjadi sebuah kota
perdagangan yang laris, karena daerah sekitar Barus itu banyak
menghasilkan kapur Barus yang pada waktu itu merupakan bahan
perdagangan yang sangat laris, terutama ke Mesopotamia dan Mesir. Tetapi
tidak diketahui dengan jelas sampai kapan kekristenan di sana bisa
berlangsung. Dan kekristenan yang pernah ada di sana itu tidak
berkesinambungan, karena tidak ada orang-orang Kristen di Indonesia
sekarang yang berasal dari kalangan Kristen Nestorian tersebut. Rupanya
kekristenan yang di Barus itu sempat menjadi hilang lenyap, setelah
pedagang-pedagang Nestorian itu meninggalkan tempat tersebut.
7
Adanya penemuan-penemuan daerah-daerah baru ini oleh orang-orang
Portugis sangat menyenangkan bagi pimpinan gereja RK di Roma,
sehingga Paus segera mendorong orang-orang Portugis menyebarkan
agama Kristen itu di daerah-daerah yang baru ditemukan tersebut. Sebagai
rangsangan untuk usaha ini, Paus memberi hak: “padroado” kepada raja
Portugis. Hak yang sama juga diberikan kepada raja Spanyol yang
menemukan Filipina dan Amerika Selatan. Padroado berarti raja sebagai
majikan atau pelindung gereja di wilayah yang dikuasainya. Itu berarti raja
diberi hak atau wewenang untuk mengurus gereja dan misi gereja di daerah
kekuasaannya itu, antara lain hak untuk mengangkat uskup, membangun
gereja dan biara-biara, dan mengurus keperluan ibadah dan belanja
pengurus gereja. Dan juga diberi hak untuk mengutus penginjil-penginjil ke
tengah-tengah bangsa-bangsa yang dijumpai di daerah baru itu. Bagi
pemikiran Eropa, pemberian hak seperti itu adalah lumrah, karena pada
waktu itu di Eropa berlaku suatu semboyan yang mengatakan: “Cuuius
Regio, Illius Religio”, yang artinya siapa punyai negeri dia juga punya
agama. Artinya siapa yang berkuasa di satu-satu daerah, maka agama dari
rajanya itulah yang harus dipeluk oleh rakyatnya. Missionaris RK yang
sangat terkenal di Indonesia dan seluruh Asia ialah Fransiscus Xaverius
yang menginjili di Asia dari tahun 1542 sampai kematiannya tahun 1552. Di
Indonesia (Maluku) dia bekerja dari tahun 1546-1547. Pada tahun 1622,
gereja RK telah menetapkan Xaverius sebagai salah seorang “santo” (orang
kudus).
Pembagian periode yang lain dibuat oleh peserta studi Institute Sejarah
Gereja tahun 1977 di Jakarta, berdasarkan perluasan dan perkembangan
gereja itu, demikian:
1522-1570 : Zaman perluasan pertama, berakhir dengan pembunuhan Sultan
Hairun di Ternate dan merosotnya kekuasaan Portugis di
Nusantara.
1570-1815 : Zaman stagnasi; ada sedikit perluasan pada masa pertama VOC,
tetapi tidak begitu berarti.
1815-1870 : Zaman mulainya didirikan pangkalan-pangkalan baru, tetapi belum
terjadi pengkristenan secara besar-besaran, kecuali di Minahasa.
1870-1950 : Zaman didirikannya gereaja-gereja suku.
1950-… : Zaman penyebaran Injil di pulau Jawa dan juga di daerah-daerah
lain. Pengkristenan penganut-penganut agama suku pada
dasarnya sudah berakhir.
Th. Van den End, dalam bukunya Ragi Carita 1, menggunakan periodisasi
yang berdasarkan beberapa segi sejarah gereja yang digabung, sehingga
dengan demikian dia membagi sejarah gereja di Indonesia atas dua zaman
besar, yakni:
9
II. 1800-1940-an: Yang dibagi atas beberapa sub-periode yakni: 1800-1860-
an; 1860-1920-an; 1920-1940-an. Pembagian ini didasarkan atas faktor
perluasan, faktor pola berfikir para zendeling (missionar), faktor peranan
orang-orang Indonesia dalam kehidupan gerejani dan faktor perkembangan
di bidang politis. Faktor-faktor ini berlaku bagi sejarah gereja di Indonesia
dilihat sebagai satu kesatuan.
A
Di daerah Maluku
Seorang penginjil Yesuit yang pertama dan juga terkemuka di Maluku ialah
Fransiscus Xaverius. Dia lahir tahun 1506 dari keluarga bangsawan di Spanyol.
Tahun 1542 dia diutus mengabarkan injil ke Asia. Dalam penginjilannya di Asia,
dia mula-mula bekerja di Goa, India Barat, membina jemaat-jemaat terlantar
yang didirikan orang-orang Portugis di sana. Kemudian tahun 1546-1547 dia
bekerja di Maluku, setelah lebih dulu belajar sedikit bahasa Melayu di Malaka.
Setelah dari Maluku, dia berangkat ke Jepang dan dia meninggal dalam
perjalanan menuju Tiongkok tahun 1552.
11
Beberapa Usaha Misi Fransiscus Xaverius di Maluku yakni:
Walaupun dalam usaha yang relatif singkat bekerja di Maluku, namun hasil
pekerjaan Xaverius di sana telah cukup banyak, a.l.:
Setiap hari selama 2x1 jam dia menyelenggarakan pembinaan agama
Kristen bagi orang-orang-orang yang sudah dibaptis menjadi Kristen, anak-
anak dan orang dewasa. Pokok pengajarannya terutama dipusatkan
kepada: Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, Salama Maria,
Kesepuluh Perintah Allah, dll.
Pada malam hari dia pergi keliling kota dari rumah ke rumah mengajak
setiap orang untuk berdoa.
Menulis sebuah buku Katekhismus dalam bahasa Portugis dan bahasa
Melayu. Buku ini dipakai untuk menjadi bahan pengajaran agama Kristen itu
sendiri.
Mengunjungi orang-orang sakit di rumahnya.
Mengusahakan hubungan yang akrab dengan orang Islam.
Berusaha mengabarkan Injil kepada orang-orang yang masih menganut
agama nenek moyang.
Dengan usaha yang dilakukan pengnjil Yesuit seperti Xaverius, usaha pekabar
Injil Katolik itu dapat dengan cepat mengalami perkembangan baik ke Maluku
Utara, maupun ke Maluku Selatan. Maluku dijadikan oleh Serikat Yesuit
tersebut sebagai daerah kerja mereka. Dan ke sana tenaga-tenaga penginjil
Yesuit semakin banyak dikirimkan. Tetapi selama abad 16, gereja Kristen di
Maluku banyak menderita terutama karena pergolakan politis yang terus
menerus di sana.
Salah satu rintangan berat yang dihadapi Gereja pada waktu itu ialah dari pihak
penguasa setempat, terutama dari Sultan Hairun di Ternate, yang berkuasa dari
tahun 1535-1570. Sultan Hairun ini ingin mendirikan suatu kerajaan besar yang
meliputi seluruh Maluku dan daerah sekitarnya. Dalam usaha mewujudkan
rencananya itu, kehadiran orang-orang Portugis di sana dilihat sebagai
rintangan. Karena itu Sultan Hairun selalu berusaha untuk menghempang
pengaruh orang-orang Portugis dan sekaligus menghambat masyarakat
setempat untuk masuk menjadi Kristen. Tetapi karena di antara penguasa-
penguasa setempat yang beragama Islam itu juga tidak ada kesatuan, di mana
mereka juga saling berebut kuasa, maka jemaat Kristen bisa bertahan terus.
Penguasa Islam itu ada juga yang mencari perlindungan dan bersahabat
dengan orang-orang Portugis. Tahun 1557 Sultan Hairun memaksa banyak
orang Kristen Halmahera masuk Islam. Para missionaris banyak yang dibunuh
dan gereja banyak yang dirusak. Akibat dari tindakan ini, orang-orang Portugis
berusaha menangkap Sultan Hairun, dan dibunuh tahun 1570. tetapi tindakan
ini adalah tindakan yang kurang bijaksana. Karena akibat terbunuhnya Sultan
Hairun tersebut, masyarakat Islam yang ada di sana menjadi marah. Dengan
dipimpin oleh anak sultan yang terbunuh, perkampungan-perkampungan
Kristen dibakar dan benteng orang-orang Portugis diserang. Akibatnya missi
Kristen di sana semakin surut. Orang-orang Kristen di sana semakin berkurang
12
karena murtad, dan kekuasaaan Portugis semakin surut dan akhirnya runtuh.
Gereja juga terpaksa menjadi hancur. Hanya di Bacan dan Tidore ada sejumlah
kecil yang bisa bertahan selama beberapa puluh tahun lagi. Dan sejak tahun
1580, orang-orang Spanyol yang menjadi Sekutu Portugis dan sebelumnya
telah berkuasa di Filipina berhasil mengalahkan Ternate tahun 1606. Berkat
kemenangan ini maka missi Kristen bisa kembali dijalankan di Halmahera
(1606-1613), dalam jumlah yang kecil. Namun missionaris RK itu tahun 1613
terpaksa meninggalkan Halmahera karena diusir oleh orang-orang Belanda
yang telah berhasil menguasai daerah itu sejak tahun 1613. Sedangkan orang-
orang Belanda membiarkan orang-orang Kristen yang kecil itu begitu saja, yang
membuat kekristenan di sana sempat terlantar dan hilang lagi. Penginjilan ke
Halmahera baru dilanjutkan kembali pada abad 19.
B
Sulawesi Utara,
Sangir dan Talaud
Penginjil pertama yang diutus oleh orang Portugis dari Maluku ke Sulawesi
Utara ialah Diego Magelhaes, tahun 1568. Dia disambut oleh penduduk daerah
Manado dengan gembira. Setelah mengajar mereka hanya selama lebih
kurang dua minggu lamanya, maka dia membaptis raja setempat bersama
dengan sejumlah 1500 orang rakyatnya. Jadi merupakan pembaptisan massal
yang sangat sedikit persiapan pengajaran yang dilakukan. Beberapa daerah
lain juga dikunjungi Magelhaes, di mana juga diadakan pembaptisan secara
massal hanya dengan pengajaran yang sangat singkat. Misalnya di Kaidipan
(pantai Utara Gorontalo) dia membaptiskan sebanyak 2000 orang secara
massal setelah dia memberi pengajaran hanya selama delapan hari. Lima
tahun kemudian seorang missionaris yang lain membaptis seorang raja di
pulau Sangir bersama-sama dengan rakyatnya. Tetapi di kemudian hari cara
pengkristenan massal seperti itu makin disadari sebagai pekerjaan yang tidak
bertanggungjawab. Karena apa gunanya membaptis begitu banyak orang
tanpa persiapan pengajaran yang wajar dan tidak bisa dilanjutkan dengan
usaha-usaha pembinaan yang intensif. Ternyata orang-orang yang sudah
dibaptis itu tetap mengikuti kepercayaan dan cara kehidupan serta kebiasaan
mereka yang lama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Dan karena
pembinaan yang tidak ada, kekristenan tersebut lama kelamaan menjadi hilang
lenyap. Ketika seorang pater RK mengunjungi daerah Manado tahun 1585,
agama Kristen dijumpai di sana sudah hilang lenyap sama sekali. Semua orang
Kristen yang sudah pernah ada di sana, sudah kembali menjadi penganut
agama suku mereka. Pater itu akhirnya pulang tanpa berbuat apa-apa. Tahun
1606, orang-orang Spanyol dari Filipina memasuki Sulawesi Utara. Orang-
orang Spanyol itu berusaha menghidupkan kembali kekristenan yang sudah
sempat ada di sana dengan mengirimkan sejumlah missionar RK ke sana.
Tetapi usaha mereka gagal, karena para missionaris itu banyak yang mati dan
juga karena mendapat perlawanan yang keras dari penduduk setempat.
C
Nusa Tenggara Timur
Pada abad ke 16, kekristenan juga telah masuk ke daerah Nusa Tenggara
Timur, terutama di daerah Solor, Flores dan Timor. Pekabar-pekabar Injil Katolik
yang bekerja di sana adalah dari Ordo Dominikan. Orang-orang Portugis juga
melakukan usaha perdagangan ke sana terutama perdagangan kayu cendana
yang sangat berharga itu. Pada tahun 1556, telah dibaptis sejumlah 5000 orang
Timor oleh Pater Taveira dari Ordo Dominikan. Pembaptisan juga dengan cepat
sampai di daerah Solor dan Flores, sehingga menjelang akhir abad 16, sudah
14
ada sekitar 25000 orang yang dibaptis menjadi Kristen di sana. Namun gereaja
untuk orang-orang Portugis dan pribumi masih dibedakan sebagaimana juga
halnya yang terjadi di daerah Maluku. Tetapi usaha penginjilan itu tidak begitu
berkembang karena kurangnya tenaga untuk membina orang-orang Kristen itu.
Dan missi RK itu juga makin terpukul, setelah datangnya serangan dari
Belanda ke sana mulai tahun 1613. Tetapi kendatipun demikian, beberapa
penginjil RK masih bisa tetap bertahan di Solor dan Ende. Karena itu orang-
orang Katolik bisa bertahan terus di sana.
D
Blambangan dan Panarukan
di ujung Timur Pulau Jawa
A
ORGANISASI, AJARAN DAN KEHIDUPAN GEREJA PADA JAMAN VOC
Ada beberapa hal dapat dikatakan sebagai ciri-ciri umum keberadaan gereja
jaman VOC di Indonesia , yakni:
n. Dan kehidupan rohani apakah dapat diharapkan dari suatu Gereja, jika rata-
rata hanya 3% dari orang-orang Kristen itu yang diperbolehkan turut serta
dalam perjamuan kudus?! Dalam hal ini timbul kesangsian bahwa mereka
belum memutuskan keadaannya dahulu yang bersifat kekafiran. Juga kita
20
menaruh sangsi bahwa tidak terjadi suatu perhubungan yang
sesungguhnya dengan Tuhan Jesus Kristus, bahwa mereka tidak menjadari
bahwa mereka merupakan GerejaNya. Mereka hanyalah "orang-orang
Kristen mulut", "orang-orang Kristen tanpa Kristus", orang-orang "Laodikea".
Itulah sebutan-sebutan yang sering terbaca didalam laporan-laporan para
pendeta. Akan tetapi apa boleh buat ? "Didesak oleh ketakutan akan agama
Islam, dan oleh pertimbangan bahwa suatu pengkristenan secara cepat dan
sekaligus adalah cara bekerja yang tepat, baik ditinjau dari sudut pekabaran
injil maupun politik", maka praktek semacam itu diteruskan. Dan itu terjadi
walaupun ada suara-suara yang memperingatkan agar supaya lebih ber-
hati-hati, seperti yang dapat dibaca didalam tata gereja Ambon 1673 yang
bunyinya sebagai berikut: "juga orang-orang yang sudah dewasa baik yang
merdeka maupun yang budak, tidak boleh semudahnya dibawa kepada
baptisan......". Sebenarnya dengan cara bekerja seperti ini maka
"pemisahan sakramen" sudah menjadi kenyataan. Bagaimanapun aneh
kedengarannya, tetapi didalam keadaan-keadaan ini maka hal itulah satu-
satunya jalan untuk toh masih dapat mempertahankan sedikit taraf
kerohanian Gereja. Sebab apakah yang akan terjadi jika orang banyak yang
baru dibaptiskan itu diperbolehkan duduk pada meja Tuhan, tanpa
kesadaran sedikitpun pada mereka apakah sebenarnya ini kepercayaan
mereka dan khusus artinya perjamuan kudus? Jika demikian halnya maka
agaknya agama kafir ini begitu saja memperbolehkan kelandjutannya
didalam agama Kristen.
Dalam usaha menjalankan perdagangan itu VOC jauh lebih kuat dari orang-
orang Portugis. Daerah Maluku yang semula dikuasai oleh orang-orang
Portugis dapat dengan mudah ditakhlukkan oleh VOC. Sama seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Portugis, di daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC
itu, petugas-petugas gereja juga segera ditempatkan. Tetapi tujuan utama dari
penempatan petugas-petugas gereja ini ialah untuk kepentingan pelayanan
rohani orang-orang Belanda yang bekerja di sana. Sedangkan usaha
pekabaran Injil kepada penduduk setempat sangat kurang dilakukan.
Pekabaran Injil baru dilakukan oleh pendeta-pendeta VOC apabila pekerjaan
itu dirasa mendukung kepada usaha mempercepat penguasaan penduduk
setempat. Apabila di daerah-daerah itu masih dijumpai orang-orang Katolik
yang masih bertahan, mereka dipaksa oleh orang-orang Belanda menjadi
Protestan dan seluruh petugas-petugas gereja RK itu diusir. Dalam hal ini
orang-orang Belanda atau VOC tetap memegang semboyan: “cuius regio eius
religio”. Artinya siapa punya daerah atau negara dia punya agama. Selaku
21
orang-orang yang beragama Protestan, orang-orang Belanda yang telah
berkuasa, menakhlukkan orang-orang Kristen yang baru itu menjadi Protestan.
Namun petugas-petugas gereja Katolik itu tidak diganti oleh VOC dengan
tenaga-tenaga Protestan, sebab VOC belum mempunyai tenaga untuk
memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil
kepada orang-orang yang bukan Kristen. Karena itu tidak ada lagi pelayanan
ibadah dan pembinaan rohani bagi orang-orang Kristen peninggalan orang-
orang Portugis itu.
Akan tetapi di kemudian hari tugas dari pendeta VOC itu juga meluas sampai
kepada penduduk yang dijajah yang belum Kristen. Pemerintah Belanda juga
“diwajibkan untuk memberantas dan melawan segala penyembahan-
penyemabahan berhala dan agama kafir”, atau dengan kata lain
mengkristenkan bangsa-bangsa yang ditahklukkan. Akan tetapi tugas ini hanya
sedikit dilakukan. Dan apabila ini dilakukan selalu dikaitkan dengan
pertimbangan ekonomis dan politis, yakni usaha pengkristenan itu
diperhitungkan bisa membantu usaha untuk memperlancar keuntungan
ekonomis atau perdagangan mereka dan memperlancar proses penguasaan
atas masyarakat setempat. Dalam hal ini pemerintah Belanda memang
menghendaki rakyatnya agar menjadi orang-orang Kristen. Karena dengan
dikristenkannya rakyatnya itu, mereka dianggap telah berada di bawah
kekuasaan Belanda. Tetapi demi menjaga ketertiban dan keamanan usaha
perdagangan dan pemerintahannya, kewajiban untuk mengkristenkan itu tidak
banyak dilakukan. Dan bahkan hak-hak pendeta selalu dibatasi, dan selalu
disesuaikan dengan kebijaksanaan politik dari pemerintah. Segala kegiatan
yang dipikirkan oleh pendeta harus mendapat persetujuan lebih dulu dari
pemerintah Belanda. Termasuk surat-surat yang dikirimkan kepada gereja-
gereja di negeri Belanda, harus terlebih dahulu melalui penilaian gubernur
jenderal Belanda di Indonesia. Dengan demikian maka perkembangan gereja di
Indonesia menjadi sulit diketahui oleh Gereja Induk di negeri Belanda. Dengan
kata lain bahwa pada zaman VOC, gereja adalah benar-benar di bawah
kekuasaan dan pengawasan pemerintah Belanda.
Selain di Ambon tahun 1621 berdirilah sebuah jemaat di daerah Banda. Dan
jemaat inipun diperuntukkan untuk orang-orang Belanda yang bekerja di sana.
Barulah di daerah Aru ada sekitar 100 orang yang dibaptis dari penduduk
setempat. Itupun tidak bertumbuh dengan baik karena pemeliharaan yang
kurang. Pada pertengahan abad 17, orang-orang Spanyol yang sempat
menguasai daerah Maluku Utara dan beberapa daerah Sulawesi Utara sampai
Sangir dan Talaud ditakhlukkan oleh orang-orang Belanda. Orang-orang
Kristen yang dulu sempat diasuh oleh orang-orang Spanyol itu, diambil alih
oleh orang-orang Belanda. Pendeta Belanda yang bertugas di Ternate sekitar
tahun 1680-1689 berusaha menghubungi orang-orang Kristen di sana. Sekitar
tahun 1700, diperkirakan ada sejumlah 2500 orang Kristen di sana. Tetapi
jumlah ini semakin merosot karena kurangnya pemeliharaan terhadap mereka.
Bahkan kekristenan yang ada di Halmahera menjadi lenyap, karena orang-
orang Kristen di sana tidak pernah dikunjungi oleh pendeta VOC itu. orang-
orang Kristen yang ada di pulau Timor mulai mendapat pemeliharaan dari
pendeta VOC tahun 1670, karena raja setempat meminta perlindungan
Belanda dan meminta dirinya untuk dibaptis menjadi Kristen. Tetapi orang-
orang Kristen di Solor dan Flores hasil penginjilan Ordo Dominikan dari gereja
RK dibiarkan hidup terus oleh orang-orang Belanda, karena tidak ada
kepentingan VOC di sana. Itulah sebabnya gereja RK bisa bertahan hidup di
sana dengan kuat sampai sekarang.
Pada abad 17, pendeta VOC di Jakarta ditugaskan juga untuk mengunjungi
tempat-tempat yang sudah didiami oleh orang-orang Belanda yang ada di
daerah Jawa dan Sumatera Barat. Di Jakerta itu sendiri telah berdiri sebuah
jemaat VOC tahun 1619, dan di Surabaya berdiri sebuah jemaat tahun 1669. Di
Padang Sumatera Barat dan di Semarang masing-masing berdiri sebuah
jemaat tahun 1750. Jadi menjelang akhir abad 18, yakni menjelang akhir
zaman VOC di Indonesia, jemaat-jemaat Kristen yang ada di Indonesia ada
sebanyak sepuluh jemaat yakni: 6 jemaat di Indonesia bagian Timur, yaitu di
23
Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Manado dan Kupang; 3 jemaat di Jawa
yakni di Jakarta, Surabaya dan Semarang, dan satu jemaat di Sumatera yakni
di Padang. Di daerah Jawa dan Sumatera, sama sekali tidak dilakukan usaha
penginjilan kepada orang-orang pribumi. Menurut catatan, jumlah orang-orang
Indonesia yang dibaptis selama zaman VOC itu sebanyak 43.000 orang, tetapi
dari antaranya hanya sebanyak 1205 orang yang diperbolehkan menerima
sakramen Perjamuan Kudus. Sedangkan yang ditinggalkan oleh Portugis
sudah ada sebanyak 40.000 orang Katolik.
Isi dari aturan-aturan dari gereja itu secara garis besarnya adalah sebagai
berikut:
Yang menjadi anggota GPI adalah semua jemaat dan orang-orang
Kristen Protestan.
GPI dipimpin oleh sebuah Dewan Pengurus yang diangkat oleh
Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Ketua
Dewan Pengurus ini harus seorang yang menjabat pangkat tinggi dalam
pemerintahan atau negara. (baru pada abad 20 ketua dari dewan
pengurus itu ditetapkan dari kalangan pendeta). Anggota dari Dewan
Pengurus ini ialah pendeta-pendeta jemaat Protestan yang ada di
Batavia dan tiga orang anggota jemaat yang terkemuka.
Jemaat setempat dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat yang dipilih oleh
jemaat setempat itu sendiri, tetapi pengangkatannya harus disetujui oleh
pemerintah setempat.
Para pendeta yang melayani di gereaja itu adalah yang diangkat dan
ditempatkan oleh Gubernur Jenderal setelah ada usul dari Pengurus
Pusat.
Tugas-tugas gereja antara lain ialah:
a. Memelihara kepentingan agama Kristen pada umumnya dan
kepentingan Gereja Protestan khususnya.
b. Menambah pengetahuan keagamaan dan memajukan kesusilaan
Kristen.
c. Menegakkan ketertiban serta kerukunan dan menumpuk cintah
kepada pemerintah dan tanah air.
Hubungan dengan gereaja di negeri Belanda akan
berlangsung melalui sekelompok pendeta yang ada di sana, yang
bertugas untuk menguji dan meneguhkan pendeta-pendeta dan pekerja-
pekerja gereja yang alain yang akan diutus ke daerah-daerah jajahan.
Kalau kita memperhatikan isi dari peraturan tersebut di atas maka ada tiga
hal yang perlu kita catat yang berhubungan dengan keberadaan GPI, yakni:
Dari peraturan-peraturan tersebut nampak bahwa walaupun secara
teori pemerintah telah menyatakan bersifat netral terhadap
agama/gereja, namun dalam prakteknya GPI itu masih berada di bawah
kekuasaan pemerintah, dan bahkan GPI yang diberi tugas untuk
25
“menegakkan ketertiban”, berarti GPI dijadikan sebagai alat negara
untuk menegakkan kekuasaannya di daerah jajahannya itu.
Pemerintah mencampuri secara langsung urusan-urusan gereja.
Akibat dari campur tangan pemerintah itu ialah:
- GPI diberi struktur yang tidak sesuai dengan hakekat gereja. Menurut
hakekatnya, gereja harus dipimpin oleh wakil-wakil Kristen sebagai
Kepala Gereaja, dan berpedoman kepada Firman Tuhan. Tetapi GPI
dipimpin oleh tokoh-tokoh pemerintah, yang berpedoman kepada
kepentingan negara Belanda di Indonesia.
- Perbedaan antara gereja dan negara menjadi kabur.
- Gereja itu tidak mempunyai pengakuan iman, dan tidak ada tugas PI
dan pelayanan sesama manusia. GPI hanya suatu “lembaga yang
bertugas memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius masyaraakat
Protestan di Indonesia”.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa GPI pada mulanya
mempunyai tiga ciri yakni:
- Ia diikat dan diperalat negara.
- Ia tidak mempunyai tata gereja dan pengakuan iman
sebagaimana selayaknya dimiliki oleh suatu gereja.
- Ia tidak memberi suara kepada orang-orang Indonesia yang
berada di dalamnya dan secara resmi tidak mengaku bertanggungjawab
kepada mereka yang masih di luar.
- Gereja-gereja di Indonesia yang ada sekarang yang berasal dari
GPI atau Gereja Pemerintah itu, selain dari GPI itu sendiri ialah:
a. Gereja Protestan Maluku (GPM) yang berpusat di Ambon.
b. Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang berpusat di Manado.
c. Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) yang berpusat di Kupang.
d. Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) yang berpusat di
Jakarta.
Di Inggris, sekitar tahun 1790an telah berdiri sejumlah lembaga PI. Misalnya
tahun 1792 berdiri “Baptist Missionary Society”, dan tahun 1795 berdiri “London
Missionary Society”, dll. Di negeri Belanda tahun 1797 berdiri “Nederlands
Zendeling Genootschap (NZG) atau lembaga utusan-utusan Injil Belanda. NZG
ini berdiri, selain didorong oleh kejadian-kejadian di Inggris di mana pada waktu
itu telah berdiri beberapa badan zending,juga didorong oleh orang-orang
Hernhut dari Jerman yang pengaruhnya sudah sampai di negeri Belanda dan
telah mendirikan sebuah lembaga PI atahun 1793. Pendiri NZG berasal dari
anggoata gereaja Hervormd. Di samping NZG ini muncul juga lembaga-
lembaga lain di Belanda yang bekerja untuk Indonesia yakni: Java Committee
(1855), “Nederlands Zendings Vereeniging” (NZV) tahun 1858, dll. Di Jerman
tahun 1824 berdiri “Rheinische Missionsgesselschaft (RMG) yang
mengabarkan Injil di Indonesia untuk daerah Kalimantan dan tanah Batak. Dan
di Indonesia, orang-orang Kristen yang tidak puas dengan keadaan GPI
membentuk lembaga-lembaga yang menunjang usaha penginjilan di Indonesia
yaitu: lembaga Alkitab (1814) serta lembaga-lembaga PI di Batavia (1815) dan
Surabaya (1815), dll.
27
Dalam pengertian ini ditekankan karya Kristus demi keselamatan orang
perorangan, dan kurang melihat Kristus sebagai Raja Dunia dan Kepala
Gereja.
• Mereka bersikap lebih terbuka kepada kebudayaan suku, tetapi pelaksanaan
sikap ini di Indonesia masih belum dapat dilakukan dengan sepenuhnya
karena beberapa faktor, a.l.:
a. Sifat superioritas orang-orang Barat yang semakin kuat. Artinya mereka
menganggap diri dan budaya mereka jauh lebih tinggi dari diri dan budaya
orang-orang Indonesia.
b. Dalam lapangan penginjilan yang dimasuki, mereka sulit membedakan
mana unsur budaya dan mana unsur keagamaan yang terdapat di tengah-
tengah masyaraakat suku yang diinjili. Dalam kehidupan suku-suku yang
diinjili, faktor keagamaan memang sulit dipisahkan dari budaya setempat,
yang akibatnya hampir semua unsur budaya itu dianggap bersifat
kekafiran. Namun sikap ini kemudian berubah, karena sejak tahun 1870an
telah mulai ada usah untuk menampung unsur-unsur pribumi dalam
kehidupan jemaat.
Dari peraturan itu nampak bahwa pekabar Injil yang bekerja di Indonesia harus
memperoleh izin khusus dari pemerintah kolonial Belanda. Ketentuan ini sering
dipakai oleh pemerintah Belanda untuk mempersulit bahkan melarang usaha PI
di daerah-daerah tertentu. Jadi di sini kepentingan pemerintahan atau
kepentingan politis masih tetap diutamakan, sebagaimana halnya dulu
diberlakukan oleh VOC. Kalau di daerah tertentu, “keamanan dan ketertiban”
nya akan terganggu oleh usaha PI itu, maka daerah itu ditutup untuk PI. Artinya
pekabar Injil dilarang masuk ke sana. Tetapi di pihak lain, pemerintah sering
juga mendukung pekerjaan zending. Khususnya di daerah-daerah suku. Ini
didasari oleh pertimbangan, kalau suku-suku tertentu itu telah dikristenkan,
diharapkan mereka akan dapat menunjang kekuasaan Belanda. Untuk inilah
diberi bantuan berupa subsidi kepada lembaga-lembaga PI bagi usaha-usaha
pekabaran Injil yang dijalankan. Jadi di sini zending dipergunakan juga sebagai
alat mempertahankan kekuasaan Belanda.
2. Thn 1522 dijadikan titik permulaan kekristenan di Maluku karena pada tahun
itulah orang-orang Portugis mulai tinggal menetap di beberapa tempat di sana
antara lain di Ternate, Ambon, dll. Seperti sudah diterangkan juga, petugas-
petugas gereja yang dikirim pemerintah Portugis ke sana pada mulanya hanya
memelihara kerohanian orang-orang Portugis itu sendiri, tetapi kemudian missi
Kristen juga dilakukan kepada orang-orang penduduk setempat. Namun usaha
missi Kristen itu tidak begitu maju karena beberapa hal, yakni: persaingan raja-
raja setempat yang sudah beragama Islam. Adanya jumlah petugas (imam)
yang sangat sedikit. Dan karena orang-orang Portugis itu kurang
memperlihatkan kehidupan Kristen yang baik.
Baru setelah tahun 1540an mulai terjadi kemajuan, yakni setelah datangnya
orang-orang Yesuit di sana, seperti Fransiscus Xaverius yang sudah disinggung
pada bagian muka. Mereka ini telah mempersiapkan calon-calon baptisan lebih
baik dan juga melakukan pembinaan setelah dibaptiskan. Tetapi di saat-saat
kekristenan itu mulai mengalami kemajuan, kekristenan di sana segera
menghadapi rintangan berat dari penguasa Islam yang ada di sana, terutama
dari Sultan Hainun. Sultan Hainun ini dibunuh tentara Portugis tahun 1570.
29
Tetapi akibatnya orang Islam di sana menjadi marah. Orang Kristen ditindas
berat, perkampungan Kristen dibakar. Oleh sebab itu orang-orang Kristen
semakin berkurang karena banyak yang murtad, dan akhirnya kekristenan
semakin surut, sejalan dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di sana yang
diganti oleh Belanda.
30
5. Tahun 1864-1935: Gereja Maluku benar-benar di bawah pimpinan pemerintah
Belanda. Pendetanya diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda. Tenaga-
tenaga NZG yang masih bertahan melayani di gereja itu dijadikan sebagai
pendeta pembantu, yang dipekerjakan di daerah-daerah. Seluruh pendeta yang
bertugas di gereja itu digaji oleh pemerintah Belanda. Sekolah-sekolah dan
rumah sakit-rumah sakit yang diasuh oleh NZG, diambil alih oleh pemerintah.
Pada zaman usaha penginjilan di daerah Ambon masih lemah. Sementara itu
petugas-petugas gereja Katolik sudah mulai masuk ke Kepulauan Ai dan
Tanimbar. Dan orang-orang Islam juga semakin berusaha mengembangkan
sayapnya di sana.
7. Tanggal 6 September 1935, Gereja Maluku ditetapkan menjadi sebuah gereja
yang berdiri sendiri, dengan nama Gereja Protestan Maluku. Tata gerejanya
ditetapkan tahun 1936, yang dari Tata Gereja itu nampak bahwa:
Gereja itu memperlihatkan ciri sebuah gereaja bangsa. Anak yang lahir
dari sebuah psangan keluarga anggota gereja, secara otomatis menjadi
anggota gereja. Demikian juga anak yang disekolahkan di sekolah gereja,
adalah menjadi warga gereja tersebut.
Gereja itu berbentuk “Presbyterial-Synodal”. Majelis gereja dipilih oleh
warga jemaat yang telah berumur 21 tahun ke atas dari antara penatua-
penatua dan syamas-syamas dalam gereja itu. anggota synode adaah
utusan dari setiap klasis.
Daerah-daerah gereaja-gereja di bagi-bagi menurut tingkat kedewasaan
jemaat itu:
Klasis: mempunyai hak penuh dalam sinode. Bagian (Afdeling): belum
mempunyai hak penuh dan belum mempunyai majelis yang penuh. Bidang
(Terrein): merupakan lapangan pekabaran Injil atau jemaat zending.
Sampai tahun 1942, pimpinan gereja masih tetap dipegang oleh pendeta
Belanda.
GPM mempunyai beberapa badan zending, yakni: Ora et labora dan Sebiji
Sesawi. Setiap hari Reformasi 31 Oktober dirayakan sebagai “pesta
zending”.
31
Kesulitan karena sikap pemerintah Belanda yang tidak mendukung
usaha mereka.
Kesulitan ekonomi.
1. Daerah Irian Jaya (Papua) agak lama baru mendapat perhatian dari dunia luar.
Pernah orang Portugis mencoba menduduki negeri ini setelah terlebih diadakan
penyelidikan tahun 1784. tetapi mereka segera meninggalkan tempat itu karena
diketahui pantainya kurang sehat untuk didiami. Tahun 1828 orang Belanda
juga mencoba memasuki daerah itu, tetapi mereka juga segera
meninggalkannya dengan alasan yang sama. Karena itu daerah Irian Jaya
lama sekali menjadi daerah kesultanan Tidore dari Maluku yang sudah mulai
mengembangkan kekuasaannya di sana sejak abad 16. Tetapi orang Belanda
kemudian juga berusaha lagi untuk berkuasa di sana mulai tahun 1898. Namun
sebelum masuknya kekuasaan Belanda itu, tahun 1855 pekabar-pekabar Injil
dari Eropa telah memulai usaha pekabaran Injil di Irian Jaya. Adapun
periodisasi sejarah gereja di Irian Jaya adalah sbb:
1855 – 1924 : Perintisan dan permulaan Injil di Irian Jaya
1924 – 1942 : Masa pembinaan gereja oleh badan zending UZV
1942 – 1946 : Masa penginjilan pada waktu pendudukan Jepang dan
perang dunia II.
1946 – 1956: Pembangunan kembali gereja itu oleh badan zending UZV
yang kemudian berubah menjadi ZNHK (Zending der Nederlandsc
Hervormde Kerk)
1956 – sekarang: Gereja Kristen Injili di Irian Jaya yang berdiri sendiri
2. 1855-1924. Pada thn 1855, ada 2 orang penginjil tukang (penginjil yang sambil
bekerja sebagai tukang) diutus dari Belanda, tiba di Irian Jaya yakni C.W. Ottow
33
dan J.G. Geissler. Keduanya adalah orang Jerman tetapi diutus dari Belanda.
Mereka memulai penginjilan itu di daerah Kwawi. Lalu kedua mereka disusul
lagi tahun 1863 oleh 4 orang utusan zending UZV. Namun dalam waktu yang
lama hasil pekerjaan mereka tidak terus ada. Banyak kesuliatan mereka hadapi
di daerah itu, a.l.:
Daerah itu sebagai sarang penyakit malaria.
Keadaan geografis yang sangat sulit: daerah pegunungan, hutan yang lebat
dan jalan yang tidak ada.
Penduduk yang sangat jarang sekali.
Adat istiadat suku-suku setempat yang sangat keras.
Daerah pantai yang pada umumnya sudah dikuasai oleh Islam.
34
yang lama bangkit kembali. Hubungan antar ressort terputus, dan hubungan
dengan pusat UZV di Belanda juga terputus.
6. 1956 – sekarang: Gereja Kristen Injili di Irian Jaya berdiri sendiri. Kemandirian
gereja itu mulai 26 Oktober 1956, dengan nama pada waktu itu: Gereja Kristen
Injili di Irian Barat. Tetapi sejak nama Irian Barat diganti menjadi Irian Jaya
tahun 1973. Nama gereja itu juga diganti menjadi: Gereja Kristen Injili di Irian
Jaya. Anggotanya pada permulaan kemandirian itu: 135.000 orang, yang terdiri
dari 500 jemaat dan 200 bakal jemaat. Sampai tahun 1962, pimpinan gereja
sebagian masih dipegang oleh Belanda, barulah sejak tahun 1962, semua
unsur pimpinan sudah dipegang oleh orang Irian itu sendiri. Tahun 1959,
Sekolah Tinggi di Serui dipindahkan ke Abepura (dekat Jayapura), yang sejak
1968 ditingkatkan menjadi sebuah Sekolah Tinggi Theologia. Sejak tahun 1959
itu, gereja ini telah bekerja sama juga dengan RMG/VEM untuk mengadakan
usaha pekabaran Injil di Lembah Balicum di Wamena dan juga di Angguruh.
7. Badan-badan zending yang lain yang bekerja di Irian Jaya. Selain UZV?
ZNHK, badan-badan zending yang lain yang pernah bekerja di Irian Jaya ialah:
Unevangelized Fields Mission (Amerika)
Region Beyrod Missionary Union (Amerika)
Evangelical Alliance Mission (Amerika)
Christian And Missionary (Amerika)
Mennonit (Belanda)
VEM (Verenigte Evangelische Mission) atau RMG
35
GEREJA-GEREJA DI SULAWESI
1. Ada delapan yang tergolong gereja Protestan ayang tumbuh di daerah Sulawesi,
yakni:
Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)
Gereja Masehi Injili Sangir dan Talaud (GMIST)
Gereja Masehi Injili Bolang Mongondow (GMIBM)
Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST)
Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao
Gereja Toraja Mamasa
Gereja Protestan Sulawesi Tenggara (Gepsultara)
Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS)
36
sehingga kekristenan berkembang dengan cepat. Ada beberapa faktor yang
turut memperlancar usaha PI di Minahasa, yakni:
37
b. Adventis
c. Pentakosta
3. Permulaan abad 20. Sejak permulaan abad 20 ini kekristenan Sangir dan
Talaud semakin berkembang. Hal itu disebabkan antara lain oleh:
a. Jumlah subsidi dari pemerintah Belanda makin ditingkatkan, yakni tiga
perempat dari anggaran belanaja dari gereja itu.
b. Dengan subsidi tersebut semakin banyaklah Pelayan Firman Allah (Verbi
Divini Minister) yang bisa dibiayai.
c. Usaha pendidikan makin ditingkatkan, termasuk kursus-kursus terhadap
guru-guru dan penginjil-penginjil.
38
Tahun 1934: Sejak tahun 1934 gereja ini telah dipersiapkan menjadi sebuah
gereja yang berdiri sendiri, tetapi pelaksanaannya baru bisa dilakukan setelah
Perang Dunia II tahun 1947 dengan nama: Gereja Masehi Injili Sangir dan
Talaud (GMIST).
a. Gereja ini berdekatan dengan gereja Minahasa di Sulawesi Utara. Pada zaman
VOC sudah pernah ada sejumlah orang Kristen di sana, tetapi kemudian
mereka murtad menjadi kafir dan Islam, karena tidak ada pemeliharaan
terhadap mereka. Pada abad 19 daerah ini sudah diislamkan oleh orang-orang
Gorontalo, sehingga daerah itu menjadi sulit dimasuki oleh Injil itu.
b. Kekristenan mulai kembali masuk ke daerah Bolang Mongondow baru pada
permulaan abad 20 ini, yakni melalui orang-orang Minahasa yang berpindah ke
sana. Pada abad sebelumnya NZG sudah meminta untuk bisa masuk ke sana,
tetapi izinnya ditolak oleh pemerintah Belanda. Baru pada abad 20 ini izin bisa
diberikan, yakni setelah adanya orang-orang Kristen Minahasa bermukim di
sana.
c. Penginjil NZG yang pertama masuk ke sana ialah Dumnebier, tahun 1904. Dan
tahun ini dianggap oleh gereja tersebut sebagai tahun permulaan gereja di
sana. Tetapi masyarakat setempat yang pada umumnya sudah menjadi Islam
sudah sulit masuk menjadi Kristen. Anggota gereja di sana mayoritas adalah
orang-orang Kristen Minahasa yang berpindah ke sana. Tetapi keadaan ini
telah menimbulkan kesulitan bagi perkembangan gereja itu sendiri terutama
dalam hal yang menyangkut kesatuannya, karena sifat kedua sukku itu
berbeda. Orang-orang Kristen Minahasa sudah lama menjadi Kristen,
sedangkan orang-orang Bolang-Mongondow itu sendiri masih baru menjadi
Kristen. Kesulitan yang lain juga karena bahasa mereka yang berbeda. Orang-
orang Kristen Minahasa itu sudah biasa memakai bahasa Melayu yang menjadi
bahasa persatuan dalam gereja, sedangkan orang-orang Bolang-Mongondow
itu sendiri berpegang kepada bahasa daerah itu sendiri.
d. Sinode yang pertama dari gereja itu terjadi tahun 1940, dan sekaligus sebagai
penetapan gereja itu menjadi gereja yang berdiri sendiri dengan nama: Gereja
Masehi Injili Bolang Mongondow, yang berpusat di Kotamobagu.
1) Usaha PI di Sulawesi Tengah dilakukan oleh NZG, mulai tahun 1893. Dua
orang utusannya yang pertama ialah Dr. A.C. Kruyt dan N. Adriani, seorang ahli
bahasa dari Lembaga Alkitab Belanda. A.C. Kruyt adalah anak dari J. Kruyt,
yang pernah menjadi penginjil di Mojowarno, Jawa Timur, dan adik dari H.
Kruyt, penginjil pertama di Tanah Karo. Semula mereka bermaksud bekerja di
Gorontalo, karena di sana sudah ada sebuah jemaat kecil yang anggotanya
terdiri dari orang-orang Minahasa. Tetapi karena perkembangan kekristenan di
sana dirasa sudah sangat sulit sekali karena penduduknya sudah beragama
Islam, maka mereka pindah ke Poso Sulawesi Tengah, di mana penduduknya
masih banyak yang beragama suku. Di Sulawesi Tengah, A.C. Kruyt berusaha
menjadi kekristenan itu berakar dalam kehidupan masyarakat setempat,
39
janganlah agama Kristen itu dianggap sebagai “agama Belanda”. Untuk itu
metode yang dia lakukan ialah:
a. Mempelajari secara mendalam bahasa dan adat-istiadat daerah setempat.
Bahasa Melayu tidak dipergunakan, karena pada waktu itu bahasa tersebut
dianggap oleh masyarakat setempat sebagai bahasa pemerintah kolonial
Belanda. Untuk budaya dan adat-istiadat bahkan dalam hal yang
menyangkut kepercayaan suku setempat, A.C. Kruyt bisa menjadi ahli, dan
menulis beberapa buku. Salah satu buku yang ditulisnya yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul: “Keluar dari agama
suku dan masuk menjadi Kristen”.
b. Kekristenan itu diusahakan bisa diterima secara kolektif, sesuai dengan
sifat-sifat suku itu, bukan secara individual. Tetapi dia tidak amu kekristenan
itu diterima secara dangkal sekali. Karena itu dia lebih dulu melakukan
pengajaran kekristenan yang memadai kepada masyarakat itu sebelum
mereka dibaptis menjadi Kristen. Agar kekristenan itu bisa diterima secara
kolektif, maka dia berusaha mendekati lebih dulu kepala-kepala suku atau
kepala-kepala kampung. Dan memang orang yang pertama dibaptis
menjadi Kristen di daerah itu ialah seorang kepala suku Topebato di sebuah
aampung dekat Poso, yang bernama Papa Islam Wunte, tahun 1909.
Pembaptisan yang pertama itu terjadi 16 tahun setelah mereka memulai
pekerjaan di sana. Itu menunjukkan bahwa dia tidak terlalu tergesa-tergesa
untuk melakukan pembaptisan itu sebelum adanya persiapan pengajaran
yang cukup. Kepala suku itu dibaptis bersama istrinya, dan 167 orang
anggota masyarakat sukunya. Sejak itu maka seringlah terjadi pembaptisan
secara berkelompok, sehingga tahun 1938, gereja Kristen sudah berdiri di
seluruh suku-suku yang ada di negeri itu.
c. Mengadakan pendidikan yang intensif. Untuk ini dia mendatangkan
sejumlah guru-guru sekolah dan guru-guru Injil dari Minahasa.
d. Mengadakan kursus-kursus pendidikan guru dan penginjil bagi penduduk
setempat, yakni di Pendolo (1913) dan Tentena, dibuka sebuah sekolah
guru Injil tahun 1929. Sejak tahun 1940, sekolah itu juga mendidik calon-
calon pendeta bagi warga gereja setempat.
e. Mendirikan ressor-ressort sebagai pusat pelayanan bagi jemaat-jemaat
yang sudah berdiri.
2. Pada tahun 1947, gereja ini diresmikan sebagai gereja yang berdiri sendiri.
Bentuk gereja ini ialah presbyterial-synodal, yang strukturnya mulai dari majelis
jemaat – klasis – synode. Jemaat diurus oleh majelis jemaat, klasis diurus oleh
badan pekerja klasis yang dipimpin oleh seorang pendeta yang dipilih oleh
synode. Pusat dari gereja ini ialah di Tentena Poso.
5. Pada permulaan abad 20 ini di kota Kendari Sulawesi Tenggara sudah berdiri
sebuah jemaat Kristen yang anggotanya terdiri dari orang-orang Ambon dan
Minahasa yang bekerja di sana. Tetapi pada waktu itu belum ada badan
zending yang bekerja di sana. Badan zending yang pertama bekerja di daerah
ini ialah Nederlansche Zendingsvereniging (NZV), dengan mengutus
penginjilnya yang pertama bernama Van der Klift, tahun 1915. tetapi
pembaptisan yang pertama dilakukan atas penduduk setempat baru terjadi
tahun 1929 di Sanggona, sebanyak 50 orang. Kira-kira sepuluh tahun
berikutnya jumlah itu bertambah menjadi 3000 orang. Penginjilan di sana
banyak mengalami kesulitan dan hambatan karena pengaruh Islam yang sudah
cukup kuat. Orang-orang yang beragama suku hanya tinggal sedikit saja, dan
merekalah yang berhasil dikristenkan. Tahun 1950an, orang-orang Kristen di
sana juga mengalami penderitaan dari gerombolan Darul Islam. Kantor Pusat
dari gereja itu di Lambuya habis dibakar. Tetapi setelah itu pusatnya
dipindahkan ke kota Kendari. Gereja ini mulai berdiri sendiri tahun 1957.
6. Sejak VOC menduduki daerah Sulawesi Selatan tahun 1667, di sana telah
berdiri beberapa jemaat VOC, antara alain di Makassar, Bontain, Bulukumba
dan Salayar. Tetapi usaha PI kepada penduduk setempat tidak dilakukan sama
sekali. Usaha PI di daerah itu mula-mula dipelopori oleh seorang pendeta GPI
yang bernama Toewater, tahun 1840 dan Dr. Matthes yang diutus oleh
Lembaga Alkitab Belanda untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa
daerah setempat. Dr. Matthes inilah yang mengusulkan supaya NZG memulai
41
usaha PI di sana. Itu dilakukan oleh NZG mulai tahun 1851 dengan mengutus
beberapa orang penginjil ke sana. Tetapi selama 13 tahun usaha penginjilan itu
dilakukan oleh NZG, hasilnya tidak ada, sehingga pekerjaan itu terpaksa
dihentikan. Kemudian sejak tahun 1895 badan zending NZV mencoba usaha PI
ke sana, tetapi setelah selama 10 tahun hasilnya juga tidak ada, maka
penginjil-penginjil NZV itu akhirnya dipindahkan ke Halmahera Maluku. Usaha
PI yang ketiga dimulai tahun 1933 yang dilakukan oleh GPI dan juga Gereja
Gereformeerd dari pulau Jawa. Gereja Protestan itu menempatkan seorang
pendeta dan sejumlah guru sekolah untuk bekerja di sana. Sedangkan gereja
Gereformeerd membuka sebuah rumah sakit di Labuang Baji, Sulawesi
Selatan, beserta sebuah gereja, sekolah dan rumah bacaan. Sesudah Perang
Dunia II, usaha kedua gereja itu dipersatukan dan mendirikan sebuah sekolah
penginjil di Makassar. Rumah sakit di Labuang Baji itu pun makin ditingkatkan.
Tahun 1965, gereja ini menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri, yang
berpusat di kota Ujung Pandang.
A.
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)
2. Seperti yang sudah diuraikan di atas, bahwa pada zaman Portugis, penginjil-
penginjil RK dari Ordo Dominikan sudah pernah melakukan penginjilan di
beberapa daerah di Timor, tetapi hasilnya tidak seberapa banyak.
a. Tahun 1612 pendeta Belanda yang pertama bekerja di Indonesia, yakni Ds.
M. van den Broek adalah bertempat di Kupang. Tetapi ketika pendeta-
pendeta Belanda diminta supaya menuruti segala kemauan penguasa VOC,
ada juga dari antara pendeta-pendeta itu yang tidak merasa senang
menuruti kemauan itu begitu saja, termasuklah Ds. M. van den Broek itu.
Karena tidak mau tunduk begitu saja kepada perintah VOC, dia terpaksa
kembali ke negerinya tahun 1615. Sejak itu daerah Timor hampir tidak
mendapat perhatian lagi. Dan penempatan pendeta di sana tidak terus lagi
dilakukan, hanyalah pada tahun 1670-1688 dan 1753-1758. Di luar waktu
42
tersebut jemaat-jemaat di Timor ditempatkan di bawah pengawasan gereja
VOC dari Jakarta. Pulau Rote baru dimasuki Injil tahun 1730 dan pulau
Sawu tahun 1750. Akan tetapi pemeliharaan orang-orang Kristen di daerah
itu tidak dilakukan, sehingga ketika PI diusahakan kembali ke tempat itu
tahun 1872 oleh NZG, di sana hampir tidak dijumpai lagi adanya sisa-sisa
penginjilan sebelumnya.
43
pekabar-pekabar Injil untuk diutus, sedangkan gaji dan keperluan sekolah-
sekolah itu ditanggung oleh pemerintah”.
c. Pada masa pendudukan Jepang, gereja Timor sangat menderita
sebagaimana juga dialami oleh gereja-gereja lainnya di Indonesia. Pada
waktu itu banyak pekerja gereja yang mati terbunuh, karena
mempertahankan soal-soal kegerejaan. Pekerja-pekerja Injil dari Belanda
ditangkap dan dipenjarakan dam bahkan banyak dibunuh. Guru-guru Injil
banyakyang meninggalkan pekerjaannya dan beralih menjadi guru
pemerintah.
d. Sejak tahun 1845, Gereja Timmor telah mempersiapkan diri menjadi sebuah
gereja yang berdiri sendiri, dan teralisasi tahun 1947. Pusat gereja itu ialah
di Kupang. Dalam pembentukan DGI atahun 1950, gereja ini ikut ambil
bagian secara aktif sebagai satu gereja pendiri. Tahun 1960, dari gereja
inilah yang terpilih menjaid Ketua Umum PGI, yakni Pdt. Dr. J.L.Ch.
Abineno. Sekolah ini juga sudah mempunyai sekolah theologia yang
mendidik calon-calon pendeta untuk gereja itu di Kupang.
B
Gereja Kristen Sumba (GKS)
1. Karena pulau ini agak terpencil, maka sampai pertengahan abad 19 yang lalu,
pulau ini tidak mempuanyai hubungan yang berarti dengan daerah-daerah lain.
VOC tidak mengadakan pemerintahan di sana, karena hasilnya kurang
memuaskan. Dan pemerintah Belanda juga merasa enggan masuk ke daerah
itu karena banyaknya perompak-perompak pantai di sana. Baru pada tahun
1906 pemerintah Belanda mulai berkuasa di pulau itu. Tetapi sebelum itu
residen dari Timor telah mengambil kebijaksanaan untuk memindahkan
sebagian penduduk pulau Sawu ke pulau Sumba, karena penduduk pulau
Sawu sudah terlalu padat. Orang-orang yang dipindahkan dari pulau Sawu
itulah yang pertama membawa Injil ke pulau Sumba, karena sebagian besar
dari antara mereka sudah beragama Kristen. Mereka ini mula-mula dibimbing
oleh seorang guru Injil asal orang Ambon. Ini terjadi di antara tahun 1870-1875.
Kemudian atas dorongan residen Esser, badan zending NGZV mengutus
seorang pekabar Injil dari pulau Sumba tahun 1881, yang bernama J.J. van
Alphen. Kemudian seorang pekabar Injil dari pulau Sawu di Sumba. Tetapi
dalam usaha untuk mengabarkan Injil di tengah-tengah suku Sumba itu, para
penginjil itu menghadapi banyak kesulitan antara lain:
Kuasa raja-raja yang sangat besar dan sifatnya yang masih sangat kolot
sehingga menentang penduduk untuk masuk menjadi Kristen.
Masyarakat di sana terbagi atass tiga kasta yakni: kasta raja-raja, kasta
orang-orang merdeka dan kasta hamba-hamba.
Penduduknya sangat jarang dan hidup berjauhan, sehingga mereka sulit
ditemui.
Perhubungan dengan pulau-pulau lain juga sulit, sehingga hubungan
mereka dengan dunia luar menjadi kurang.
Penduduk yang masih kolot, dan tidak terbuka kepada kemajuan.
Kuasa kekafiran yang besar.
44
2. Salah satu usaha yang dilakukan oleh para penginjil itu untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan tersebut ialah dengan mendirikan sekolah-sekolah rakyat
mulai tahun 1910. sekolah-sekolah itu semakin dapat menunjang kemajuan
usaha penginjilan di sana setelah pemerintah mengeluarkan: “Sumba Accaord”
tahun 1913 seperti halnya yang terjadi pulau Timor. Isi dari peraturan itu ialah:
Pemerintah menyerahkan segala usaha pendidikan di Sumba ke tangan
pekabar-pekabar Injil, dengan menerima subsidi dari pemerintah. Pembaptisan
yang pertama atas orang-orang Sumba itu baru terjadi tahun 1915. Dan sejak
itu jumlah orang-orang Kristen di sana semakin bertambah, hingga tahun 1940
tercatatlah sebanyak 6500 orang yang terkandung dalam 11 jemaat. Tetapi
tahun 1939 telah terjadi perpecahan dalam gereja di Sumba. Sebabnya ialah
karena seorang pekabar Injil pribumi dipecat dari jabatannya, oleh karena dia
melakukan suatu kesalahan yang menyangkut jabatannya. Tetapi yang dipecat
itu tidak menerima tindakan yang diberikan atas dirinya sehingga dia
memisahkan diri dan memabawa sebagian anggota jemaat pengikutnya.
Mereka menggabungkan diri kepada salah satu gereaja Gereformed yang baru
berdiri di negeri Belanda. Sejak tahun 1947, Gereja Kristen Sumba telah
menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri yang berpusat di Waingapu, Sumba.
Pada waktu itu jumlah anggotanya masih sekitar 5000 orang. Tetapi sekarang
ini jumlah anggota gereja tersebut diperkirakan telah ada sekitar 14000 orang.
1. Perintis PI di Pulau Bali. Bali termasuk daerah paling lama tertutup untuk
usaha PI. Pulau itu sejak abad 15 merupakan benteng pertahanan agama
Hindu yang diusir dari Jawa, setelah kerajaan Islam menguasai Jawa.
Walaupun VOC sejak semula telah berkuasa di Bali, namun usaha PI sama
sekali tidak dilakukan di pulau itu. pada tahun 1630, seorang pendeta VOC
yang bernama Heurnius, sudah mengajak VOC supaya memberitakan Injil di
pulau Bali, namun ajakan itu tidak diacuhkan sama sekali oleh VOC. Yang lebih
dipentingkan oleh VOC ialah embeli budak-budak dari pulau itu. Tahun 1866,
masuklah UZV ke Bali, dengan mengutus dua orang pekabar Inil ke sana.
Tetapi baru setelah tujuh tahun pekerjaaan itu dilakukan di sana, ada seorang
orang Bali yang dibaptis menjadi Kristen yakni Gusti Wayan Karangasem,
tahun 1873. Namun masuknya Karangasem menjadi Kristen bukanlah
merupakanawal dari perkembangan kekristenan di sana. Masyarakat Bali itu
sendiri sangat benci dengan masuknya Wayan Karangasem itu menjadi
Kristen. Dia dibuang dari keluarganya,dikucilkan dari masyarakat, dihina
bahkan dianggap sebagai orang asing, sehingga dia hidup terpencil. Sikap
keluarga dan masyarakat Bali yang sangat keras kepadanya, membuat dia
tidak bisa bertahan dalam kekristenan itu. Dan anehnya, dia menjadi marah
kepada pekabar Injil yang telah membaptiskannya, sehingga dia berusaha
membunuh pekabar-pekabar Injil itu. Hal itu berhasil dilakukan melalui pelayan-
pelayan pekabar Injil itu sendiri yang adalah orang-orang Bali juga. Jadilah
kedua pekabar Injil itu mati terbunuh atahun 1881. tetapi akibat dari
perbuatannya itu Wayan Karangasem menjalani hukuman mati, dan pulau Bali
ditutup oleh pemerintah Belanda untuk segala usaha pekabaran Injil.
45
2. Berdirinya gereja di Bali. Pada tahun 1929, seorang kolportir (penjual buka)
yang diutus oleh CAMA (kemah Injil) dari Makassar, bernama Tsang Kam Fock
(Tsang To Hang) mendapat izin memasuki pulau Bali untuk menjual buku-buku
kepada orang-orang Tionghoa yang ada di pulau itu. tetapi pada waktu
penjualan buku-buku itu, sambil lalu dia juga mengadakan penginjilan atau
evangelisasi. Oleh karena penginjilan yang dilakukan banyak orang Bali yang
minta untuk dibaptis. Tanggal 11 Nopember 1931 ada sebanyak 12 orang Bali
yang dibaptis. Dan pada tahun 1931, ketua CAMA dari Makassar, yaitu Dr.
Jaffray dimintakan datang ke pulau Bali untuk membaptiskan sebanyak 113
orang Bali. Dengan demikian berdirilah jemaat Kristen Bali yang pertama.
Tetapi pemerintah koloniaal Belanda tidak menghendaki kejadian itu dan
perbuatan itu dianggap sebagai pelanggaran atas peraturan yang sudah
ditetapkan. Karena itu tahun 1933 izin untuk menjual buku bagi sang kolportir
tersbut dicabut kembali oleh pemerintah Belanda, dan kolportir itu diusir dari
sana. Sebenarnya yang ditakutkan oleh pemerintah Belanda atas usaha
penginjilan di sana ialah hilangnya kebudayaan Bali yang sangat unik itu
apabila kekristenan masuk ke sana. Setelah kolportir dari CAMA itu diusir oleh
pemerintah Belanda, maka orang-orang Kristen yang baru dibaptis itu sempat
menjadi terlantar. Hal itu terdengar bagi Dr. Hendrik Kramer, seorang yang
bekerja sebagai penasehat penginjilan Belanda. Dia menganjurkan agar
“Gereaja Kristen Jawi Wetan” (GKJW) atau Gereaja Kristen Jawa Timur
berusaha untuk menampung orang-orang Kristen Bali yang pertama itu. GKJW
mengikuti ajaran itu, sehngga tahun 1933, gereja itu mengutus dua orang
pendeta Jawa ke Bali, yakni Mas Tartib Eprajim dan Mas Darmaadi. Mereka
tidak memerlukan izin memasuki Bali, karena mereka adalah orang-orang
pribumi. Mereka sangat giat berkeja di sana, dan dengan bantuan H. Kraemer,
mereka juga memperjuangkan agar pemerintah Belanda memberi kebebasan
bagi orang-orang Bali untuk memilih agamanya. Kraemer juga berusaha agar di
Bali terwujud sebuah gereja yang berdiri sendiri. Namun dalam melakukan
usaha penginjilan di Bali, banyak kesulitan yang dihadapi oleh pendeta-pendeta
tersebut, antara lain:
Kesulitan dari pihak pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda merasa
khawatir, bahwa apabila kekristenan memasuki Bali, tatanan kehidupan
masyarakat Bali itu sendiri akan terganggu. Pemerintah Belanda melihat
bahwa tatanan masyarakat Bali itu banyak bersangkut paut dengan agama
setempat yakni agama Hindu dan Budha.
Orang-orang Eropa pada umumnya sangat tertarik kepada kebudayaan
Bali itu. Mereka khawatir bahwa kebudayaan Bali yang unik itu bisa hancur
oleh kekristenan itu sendiri. Kebudayaan di sana, seperti seni tari, pahat dan
lain-lain, menjadi tidak berartai apa-apa lagi jika tidak berakar dengan agama
masyarakat setempat.
Kesulitan dari pihak masyarakat Bali itu sendiri. Masyarakat Bali
merupakan satu kesatuan yang tidak mengizinkannya kemerdekaan pribadi
anggota-anggotanya. Raja-raja berkuasa dan berusaha untuk menjaga agar
kesatuan itu jangan terganggu oleh adanya orang-orang yang memilih
jalannya sendiri. Keagamaan mereka tidak terepas dari kehidupan mereka
46
sehari-hari, seperti kebiasaan gotong-royong untuk memperbaiki jalan,
saluran air, dll.
3. Gereja Kristen Protestan Bali menjadi gereja yang berdiri sendiri. Pada
zaman Jepang, gereja Bali yang masih muda itu sangat menderita, tanpa
adanya pertolongan dari lauar dan belum ada pendeta mereka yang dapat
melayani sakramen. Tetapi situasi itu telah memberanikan adanya seorang dari
antara waraga gereja itu yang bernama Made Rungu, pergi ke Mojowarno
(pusat GKJW), pada tahun 1943. Lalu di sana dia menerima pendidikan
istimewa untuk menjadi pendeta dan ditahbiskan menjadi pendeta pertama
orang Bali. Kemudian dia kembali dan memimpin gereja itu sebagai gereja
yang berdiri sendiri. Setelah kemerdekaan Indonesia, gereja Bali itu bisa
merasa beruntung, karena sejak itu di seluruh Indonesia sudah ada kebebasan
beragama. Tetapi dari tahun 1950-1954, masyarakat di sana sempat tidak
mengizinkan tenaga pekabar Injil dari luar bekerja di sana. Baru pada tahun
1954, seorang pekabar Injil diminta untuk membuka lagi pendidikan
pengiNjilan. Namun kekristenan itu tidak banyak meluas di tengah-tengah
masyarakat Bali. Tahun 1975, jumlah anggota Gereja ini hanya 4700 orang.
Belakangan selain GKPB, di Bali telah banyak berdiri gereja lain, seperti: GPIB,
HKBP dan anggota gereaja Katolik sendiri telah ada kira-kira 8000 orang.
Gereja GKPB berpusat di Balun, Denpasar-Bali.
GEREJA-GEREJA DI KALIMANTAN
1. Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Periodisasi sejarah GKE: Dr. Fridolin
Ukur dalam bukunya: Tantang Jawab Suku Dayak, membuat periodisasi
sejarah GKE, sbb:
1835-1920: Masa pembukaan dan penggarapan yang pertama oleh
Rheinische Missionsgesselschaft (RMG).
1920-1935: UPI di Kalimantan dialihkan oleh RMG ke tangan Basler
Mission (BM).
1935-sekarang: Gereja Kalimantan menjadi gereja yang berdiri
sendiri.
Sebelum abad 17, missi RK memang sudah pernah mencoba
memasuki daerah Kalimantan bagian Selatan, yaitu melalui orang-orang
Portugis yang berusaha memperoleh pangkalan-pangkalan perdagangan.
Pada waktu itu, ada beberapa orang Dayak yang sempat dibaptiskan,
tetapi akhirnya mereka menjadi murtad, dan missioner RK yang bernama
Ventimiglia itu mati terbunuh tahun 1691. Jadi usaha itu gagal sama
sekali. Usaha PI Protestan di Kalimantan mulai tahun 1835, yang
dilakukan oleh pekabar-pekabar Injil RMG di Jerman. Masuknya PI RMG
di Kalimantan adalah berdasarkan lapaoran dari seorang pendeta Inggris
yang bernama Medhurst, yang bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa
di Batavia. Tahun 1829 dia pernah mengunjungi Kalimantan Barat dan
Kalimantan Selatan, dan memberi laporan mengenai hasil kunjungannya
itu kepada masyarakat Kristen Eropa. Tetapi laporannya itu terlalu optimis,
karena dalam laporan itu dia menggambarkan daerah Kalimantan sebagai
47
daerah yang sangat subur untuk usaha penginjilan. Laporannya itu
dipublikasikan di Eropa, sehingga dengan membaca laporan itu pimpinan
zending RMG tertarik untuk mengutus penginjil-penginjilnya ke
Kalimantan, walaupun pada waktu itu RMG telah mempunyai lapangan
penginjilan di Namibia, Afrika Selatan.
Pada tahun 1834, RMG mengutus dua orang penginjilnya ke Kalimantan, tetapi
di Jakarta mereka sempat ditahan oleh pemerintah Belanda, tidak diberi izin
untuk memasuki daerah Kalimantan, karena dikhawatirkan kedatangan mereka
di sana akan mengganggu keamanan dan ketertiban di daerah itu. Tetapi
setelah kedua penginjil itu berjanji tidak akan memberi ajaran-ajaran yang
memungkinkan timbulnya pemberontakan dari masyarakat setempat kepada
pemerintah Belanda, barulah mereka diizinkan memasuki Kalimantan. Mereka
tiba di daerah itu tahun 1835. Salah seorang di antara mereka bernama
Barnstein. Di Kalimantan, mereka menetapkan Banjarmasin sebagai pangkalan
untuk usaha PI. Lalu tahun 1836, RMG menambah penginjil itu sebanyak
empat orang lagi ke Kalimantan. Dan dari tahun 1849-1850, selain utusan
RMG, ada juga utusan penginjil dari Amerika ke Pontianak dan sekitarnya.
Sehingga sampai tahun 1857, telah ada sebanyak 20 orang penginjil yang
bekerja di Kalimantan, yang diutus oleh suatu badan zending yang lain dari
Amerika.
48
itu, tetapi tidak semuanya bersedia menjadi Kristen, hanya sebanyak
261 orang yang bersedia.
o Mendirikan sekolah-sekolah zending untuk mendidik anak-anak
masyarakat Dayak itu sendiri. Untuk memajukan usaha sekolah ini,
zending meminta pengesahan dari pemerintahan untuk mengadakan
peraturan “wajib sekolah” bagi anak-anak pedalaman masyarakat Dayak
itu. Peraturan itu diperbuat oleh pemerintah Belanda, dan inilah
merupakan peraturan wajib sekolah yang pertama pada waktu itu di
Nusantara. Zending juga menerima subsidi dari pemerintah untuk
menyelenggarakan sekolah-sekolah tersebut.
o Mendirikan rumah-rumah sakit dan balai-balai pengobatan sebagai
sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
o Mengadakan sekolah-sekolah kursus keterampilan untuk anak-anak
perempuan.
o Mendirikan sekolah-sekolah tukang dan sekolah-sekolah penginjil.
o Menerbitkan buku-buku pelajaran Kristen dalam bahasa Dayak
Ngaju.
o Pada tahun 1859 terjadilah suatu perang yang dipimpin oleh Sultan
Hidayat untuk menetang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di
Kalimantan. Perang itu telah menimbulkan banyak korban. Dari pihak
orang kulit putih yang paling banyak mengalami korban karena perang
itu, bukanlah orang-orang Belanda, melainkan pekabar-pekabar Injil
Jerman yang bertugas di pedalaman. Masyarakat Dayak itu tidak bisa
membedakan mana orang Belanda yang menjadi penjajah, mana orang-
orang Jerman yang membawa Injil bagi mereka. Semuanya adalah
sama bagi mereka sebagai orang-orang asing. Orang-orang Belanda
hampir tidak ada yang menjadi korban karena mereka pada umumnya
berada di kota-kota dengan perlengkapan senjata dan pengawalan yang
kuat. Dalam peperangan ini empat orang penginjil RMG bersama tiga
orang istri dan dua orang anak mereka mati terbunuh. Salah seorang
penginjil yang bernama Hofmeister, sebelum dibunuh masih sempat
berdoa sebagai berikut: “Tuhan yang kekasih, Engkaulah Juru Selamat
Saya. Kasihanilah suku yang malang ini. Janganlah ambil anugerahMu
dari mereka dan berikanlah kiranya FirmanMu yang mulia itu kepada
mereka”. Sebagian dari penginjil-penginjil RMG itu memang bisa
selamat dengan melarikan diri dari tempat itu. salah seorang
penginjilnya yang pertama ke Tanah Batak.
c. Setelah perang Hidayat yang telah menewaskan sejumlah pekabar Injil itu,
maka untuk beberapa waktu lamanya daerah pedalaman Kalimantan ditutup
oleh pemerintah Belanda untuk usaha PI. Baru pada tahun 1899,
pemerintah Belanda kembali mengizinkaan masuknya usaha PI dengan
membuka pangkalan-pangkalan penginjilan di pedalaman. Pada waktu itu
keadaan masyarakat Dayak sudah mengalami banyak perubahan. Orang-
orang Dayak itu menyadari berkat dan keuntungan yang dibawa oleh para
missionar itu bagi masyarakat mereka. Karena itu mereka semakin terbuka
untuk menyuruh anak-anak mereka untuk memperoleh pendidikan di
49
sekolah-sekolah yang diasuh oleh zending itu demi kemajuan mereka.
Sejak tahun 1881, mulailah berdiri beberapa jemaat di daerah-daerah
sungai Kapuas dan Kahayan Ilir. Dan sejak itu jumlah orang-orang Kristen di
beberapa pusat penginjilan juga semakin bertambah. Namun jumlah orang-
orang Kristen itu belum sebanding dengan tenaga dan usaha yang
dikerahkan oleh zending RMG, khususnya dalam kurun waktu 1866-1904.
Tahun 1885 jumlah orang-orang Kristen masih sebanyak 1000 orang, tahun
1901 sebanyak 2000 orang. Perkembangan yang lebih pesat baru mulai
tahun 1911, dengan jumlah orang Kristen pada waktu itu sebanyak 3000
orang dan tahun 1920 sebanyak 5000 orang.
d. Periode kedua. Sejak tahun 1920, RMG menyerahkan pekerjaan zending itu
kepada Basler Mission atau Zending Basel dari Swiss. Adapun alasan RMG
menyerahkan pekerjaan itu kepada Basler Mission ialah karena kesulitan
keuangan yang dialami oleh RMG. Sejak kekalahan Jerman dalam PD II,
terjadilah kesulitan ekonomi di negeri itu yang pengaruhnya juga sampai
kepada keuangan RMG. Pada waktu itu daerah Tapanuli yang diasuh oleh
RMG sejak tahun 1861 mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam
usaha penginjilan yang digiatkan. Jadi agar RMG bisa lebih
mengkonsentrasikan potensi untuk makin menggiatkan penginjilan di Tanah
Batak, maka RMG melepaskan usaha penginjilan di Kalimantan dan
menyerahkannya ke Basler Mission (BM). BM menerima pekerjaan itu
dengan senang hati, dengan tidak melakukan perubahan yang luar biasa
terhadap apa yang sudah dimulai oleh RMG, walaupun latar belakang BM
agak berbeda dari latar belakang RMG. Penginjil-penginjil RMG lebih
banyak berlatar belakang Lutheran sedang penginjil-penginjil BM pada
umumnya berlatar belakang Calvinis atau Reformed. Dalam pengajaran
kekristenan yang diberikan, BM masih tetap mempergunakan Katekhismus
Lutheran. Pada tahun 1932 untuk pertama sekali Sekolah Pendeta dibuka di
Banjarmasin, dan hasilnya tahun 1935, untuk pertama kali lima orang
pendeta Dayak yang pertama ditahbiskan. Sejak tahun 1953, sekolah
pendeta ini ditingkatkan menjadi Sekolah Theologia Menengah agar gereja
itu bisa memperoleh tenaga-tenaga pendeta yang mempunyai tingkat
pendidikan theologia yang lebih tinggi. Belakangan sekolah ini juga sudah
ditingkatkan menjadi sebuah Sekolah Tinggi Theologia yang menghasilkan
pendeta-pendeta yang berprdeikat Sarjana Theologia.
e. Periode ketiga. Mulai 4 April 1935 gereja ini mulai dinyatakan sebagai
sebuah gereja yang berdiri sendiri, dengan namanya pada waku itu: “Gereja
Dayak Evangelis”. Tahun 1939, jumlah anggota gereja itu tercatat sebanyak
+ 15000 orang, 16 orang pendeta, 33 orang pambrita/pemberita, 158 orang
guru, 26 orang pembantu perawat, seorang kolportir dan seorang dokter. Di
samping itu masih ada sebanyak 40 orang lagi pekerja zending dari luar.
Sejak tahun 1950 nama gereja ini diubah menjadi: “Gereaja Kalimantan
Evangelis” (GKE), dengan maksud supaya wawasannya jangan hanya
meliputi suku Dayak saja tetapi meliputi seluruh masyarakat Kalimantan.
Sampai sekarang hubungan GKE dengan Basler masih tetap berjalan
dengan baik. Misalnya dalam soal pembangunan dan tenaga-tenaga
50
pendidikan teheologi, GKE masih menerima bantuan dari BM. Salah
seorang tenaga pendidikan theologi yang pernah diberikan oleh BM kepada
gereja itu ialah Dr. Christof Barth, yang setelah dari Banjarmasin juga
pernah mengajar di STT Jakarta.
51
pada masa pemerintahan sementara Inggris (1811-1815) usaha PI yang
pertama dilakukan di Jawa atas inisiatif dari Gubernur Jenderal Stamford
Raffles, dengan mengusahakan masuknya sejumlah pekabar Injil dari Inggris
ke pulau Jawa. Hanya hasilnya belum nyata, karena sejak tahun 1816,
pemerintah kembali berkuasa di Indonesia. Beberapa kesulitan atau persoalan
yang dihadapi usaha PI di Jawa secara umum:
Kesulitan dari pemerintah Belanda. Sikap pemerintah Belanda terhadap
UPI di Jawa pada mulanya sama dengan sikap VOC yakni kurang
memperhatikan UPI itu malah merintangi UPI dengan alasan ekonomis dan
politiws. Pemerintah Belanda mengkhawatirkan terjadi pemberontakan dari
pihak orang-orang Jawa jika PI dijalankan di daerah itu yang bisa
mengganggu keamanan pemerintahannya di daerah itu. Perang Diponegoro
(1825-1930) yang telah banyak menghabiskan dana dan tenaga dari pihak
Belanda jangan terulang lagi. Tanam paksa yang dicanangkan Belanda akan
memberikan keuntungan yang besar menggantikan kerugian yang pada
masa perang Diponegoro itu jangan sampai terganggu lagi oleh perang.
Sikap anti perang dari pemerintah Belanda, nyata dari tindakan Gubernur
Jenderal Baud (1833), yang menyita seluruh terjemahan kitab PB dan
sejumlah buku-buku Kristen berbahasa Jawa yang ditulis oleh Brueckner
(seorang misionaris yang diutus pada masa pemerintahan Inggris) dan
membakarnya karena dianggap berbahaya. Kemudian Gubernur Jenderal
Van Rochussen yang menggantikannya pernah berkata: “pemberitaan Injil
yang bebas mau tidak mau harus mengakibatkan suatu perubahan yang
besar dalam sistem pemerintahan. Seorang pejabat tinggi pemerintahan
Belanda yang pernah menjadi ketua dari lembaga kerjasama PI di Jakarta
pernah mengatakan bahwa sebagai pejabat pemerintah Belanda dia tidak
menyetujui PI dilakukan kepada orang-orang Jawa”. Dengan demikian
sampai tahun 1850, hampir tidak ada UPI yang dilakukan oleh Badan-Badan
Zending di Pulau Jawa. Namun mulai tahun 1850, badan zending diizinkan
juga masuk dengan datangnya NZG yang memulai pekerjaannya di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. NZG-lah yang berusaha memulai PI secara resmi di
Pulau Jawa.
Tantangan dari pencari “Ngelmu”. Selain sikap pemerintah Belanda,
kesulitan yang lain yang di hadapi UPI di Jawa ialah dari para pencari
Ngelmu. Ngelmu adalah semacam ilmu kebatinan dalam masyarakat Jawa.
Pencari ngelmu adalah orang yang ingin memperoleh pengetahuan tentang
hidup yang sejati dan kekuatan batin untuk mendapat selamat dan
kesejahteraan melalui guru-guru ngelmu dan atau kiai-kiai. Hal ini menjadi
suatu tantangan bagi penginjilan, karena bagi pencari ngelmu itu Ratu Adil-
lah yang dianggap sebagai pelepas manusia.
Persoalan bentuk kekristenan. Persoalan yang lain ialah mengenai
bentuk kekristenan yang diterapkan, apakah kekristrenan itu dibentuk secara
Barat atau Jawa. Dalam hal ini, para misionaris itu tidak sependapat karena
ada yang mengatakan harus dibentuk secara Barat karena ke-Jawa-an
dianggap sebagai kekafiran, tetapi ada yang berpendapat kekristenan harus
dibentuk secara Jawa.
52
Tantangan dari raja-raja setempat/Penghulu-penghulu. Raja-raja atau
penghulu-penghulu desa banyak yang menghambat kekristenan itu, karena
mereka merasa dirugikan oleh kehadiran kekristenan itu. Dengan datangnya
kekristenan, fungsi mereka untuk meresmikan pernikahan menjadi berkurang,
karena dalam kekristenan pemberkatan perkawinan dilakukan oleh para
pendeta.
53
Brueckner, yakni seorang PI yang diutus oleh lembaga PI Baptis dari Inggris
selama masa pemerintahan Inggris sementara yang sempat terjadi di
Indonesia. Atas desakan Emde, Brueckner sempat menterjemahkan kitab
PB ke dalam bahasa Jawa dan menulis beberapa surat selebaran yang
berbahasa Jawa tetapi semuanya itu kemudian di sita oleh pemerintah
Belanda seperti sudah di singgung di atas. Mula-mula pekerjaan Emde ini
tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya yang memandang
dia sebagai saingan mengadukan perbuatannya itu kepada pemerintah.
Akibatnya Emde ditangkap dan sempat dipenjarakan selama beberapa
minggu (1820). Tetapi kemudian sikap GPI menjadi lebih positif. Setelah
Emde pensiun dari pekerjaannya sebagai tentara, ia memperoleh sebidang
tanah di Wiung dan menjadikan sebuah perkampungan di sana. Di tempat
ini ada sekelompok orang yang taat beragama yang merasa tertarik kepada
kekristenan. Emde melayani mereka dan mengajarkan kekristenan yang
bercorak Barat kepada mereka. Sikapnya terhadap klebudayaan Jawa
sangat negatif dan dianggap sebagai kekafiran. Di Wiung, berbeda dengan
perbuatan Coolen orang Kristen itu dibaptiskan dan dilayani Sakramen.
Karena orang-orang Kristen Wiung dibentuk dalam corak kebudayaan
Eropa maka dia sangat dicela oleh masyarakat Jawa yang beragama Islam
dan orang-orang Kristen itu dijuluki sebagai “orang-orang Belanda tanpa
topi atau Belanda tanpa kursi atau orang Kristen Londo”, artinya orang yang
kebelanda-belandaan. Anak perempuan Emde kemudian juga menjadi
seorang penginjil wanita.
Paulus Tosari. Nama aslinya adalah Kasan, berasal dari Madura. Pada
mulanya dia adalah seorang pencari ngelmu, tetapi kemudian bergabung
dengan kelompok Coolen di Ngoro. Tetapi karena dia bersama sebagian
kelompok Coolen itu menuntut baptisan, maka mereka diusirnya dari Ngoro,
sehingga mereka mendirikan sebuah desa baru bernama Mojjowarno
(1844). Di sini Paulus Tosari menjadi guru jemaat kecil ayang baru
terbentuk, yang anggotanya hanya terdiri dari orang-orang Jawa saja. Di
kemudian hari Paulus Tosari menjadi pendeta yang pertama dari putra Jawa
asli.
1. Pendahuluan. Nama Gereja Kristen Jawa Tengah baru muncul atahun 1949,
ketika nama disatukan menjadi satu gereja semua orang Kristen di Jawa
Tengah yang berasal dari hasil penginjilan perorangan, maupun hasil
55
penginjilan beberapa badan zending seperti NZG di bagian Utara Jawa Tengah
dan NGZV di bagian Selatan. Tetapi nama itu tidak bisa dipertahankan, karena
gereja-gereja ayang sempat bersatu itu, berpisah lagi.
Keukhenius (orang Belanda). Dia adalah seorang Kristen yang setia. Dia
mengusahakan dua orang penginjil bekerja di kota Tegal. Kedua orang itu
berasal dari kelompok Mr. Anthing, yaitu seorang wakil Ketua Mahkamah
Agung dalam pemerintahan Belanda. Kedua orang penginjil itu
mengumpulkan orang-orang Jawa di sekeliling mereka untuk diajar tentang
pengetahuan kekristenan. Keukhenius juga menarik pekabar Injil pertama
yang diutus oleh NGZV yang bernama Vermeer untuk bekerjasama dengan
dia di Tegal. Di Tegal mereka telah membentuk satu jemaat kecil sejak
tahun 1861.
57
4. PI yang Dilakukan Oleh Badan-badan Zending.
a. Nederlands Gereformeerde Zending Vereeniging (NGZV). NGZV bekerja
di Jawa Tengah bagian Selatan. Badan ini adalah sebuah badan zending
yang dibentuk oleh Gereja Gereformeerd yang memisahkan diri dari Gereja
Hervormd. Gereja Gereformeerd berpendapat bahwa PI harus langsung
dilakukan oleh jemaat-jemaat, agar pekerjaan itu cocok dengan ajaran
Alkitab dan ajaran gereja. Zending Gereformeerd mempunyai azas yang
berbeda dengan pietis. Azas-azas zending Gereformeerd adalah sbb:
Tujuan PI adalah kemuliaan Allah (bukanlah menyelamatkan jiwa
yang menjadi perhatian utama).
Yang menjalankan PI ialah jemaat setempat (bukan kelompok para
sahabat zending).
Utusan-utusan harus pelayan Firman yang berpendidikan akademis,
dan yang berhak penuh sebagai pendeta juga dalam gereja induk.
Usaha zending tidak pertama diarahkan kepada orang perorangan,
melainkan kepada bangsanya (sukunya) dan bermula pada pusat-pusat
kehidupan bangsa (suku) itu.
Orang-orang yang masuk menjadi Kristen secepat mungkin dihimpun
menjadi sebuah jemaat yang setingkat dengan jemaat induk di Belanda
dan jemaat itu sedapat mungkin dilayani oleh seorang pendeta yang
setingkat dengan pendeta di jemaat induk di Belanda.
Mengadakan perbedaan tajam antara Pelayan Firman (pekabar Injil,
pendeta) yang merupakan pelayan utusan dan pelayan di bidang
kesehatan, pendidikan, dll, yang dianggap sebagai pelayan penunjang.
6. PI Salatiga. Badan ini sering juga disebut “Faith Mission”, karena sifatnya yang
pietis selalu menekankan bahwa UPI itu harus senantiasa dilakukan dalam
iman. PI Salatiga ini dilakukan oleh sebuah perhimpunan PI di Jerman yang
bernama “Neukirchener Missionshaus”, yang didirikan tahun 1880. Badan ini
bekerja di Jawa bagian Utara yang berpusat di Salatiga, mulai tahun 1884.
Badan ini yang selalu menekankan bahwa PI harus dilakukan dalam iman,
58
maka badan ini kurang memperhatikan soal-soal keuangan, organisasi dan
pejabat gereja. Pimpinan dan synode tidak dipentingkan. Bagi gereja yang
dihasilkan oleh badan ini yang ada adalah Parepaten Agung, yang sifatnya
merupakan musyawarah dari jemaat-jemaat setempat. Hasil dari musyawarah
itu tidak mengikat, apakah dijalankan atau tidak dijalankan oleh jemaat
setempat. Jemaat-jemaat setempat adalah mempunyai otonomi tersendiri, di
mana setiap jemaat setemapat bebas mengatur diri sendiri, termasuk dalam hal
yang menyangkut penerimaan pendeta. Bentuk gereja yang seperti ini
biasanya disebut “Congreagationalistis”. Dari sudut situasi Indonesia,
penerapan bentuk gereja yang kongregationalistis tidak cocok dan bahkan bisa
menimbulkan bahaya, karena:
Usaha PI Salatiga ini bertolak dari daerah Salatiga dan meluas ke arah Barat
sampai ke Tegal, dan ke Timur sampai ke Bojonegoro. Di kemudian hari
mereka juga menampung sebagian jemaat-jemaat pengikut Sadrakh.
7. PI yang Dilakukan Oleh NZG. Zending NZG sebenarnya telah mulai mengutus
tenaga penginjil ke Semarang, bekerjasama dengan badan PI dari Inggris,
yakni G. Brueckner (seorang Jerman) tahun 1815. tetapi pada akhirnya dia
bekerja secara perorangan dan berusaha menterjemahkan dan menerbitkan
Kitab PB ke dalam bahasa Jawa. Selain itu dia juga menulis sejumlah buku-
buku Kristen ke dalam bahasa Jawa, walaupun semuanya buku yang ditulisnya
itu termasuk terjemahan kitab PB disita oleh pemerintah Belanda. Sampai ia
meninggal tahun 1849, tidak ada satu jemaat pun yang didirikannya. Tahun
1849, NZG kembali lagi mengutus tenaga penginjil ke Semarang yaitu yang
bernama Hoezoo. Dia ingin memupuk bibit-bibit kekristenan yang mulai
bertumbuh pada waktu itu oleh penginjil-penginjil perorangan, terutama di
daerah bagian Utara Jawa Tengah.
Upaya Menyatukan Gereja-gereja Kristen di Jawa Tengah.
Sejak terjadinya PD II, segala bantuan personil maupun materil yang datang
dari luar terputus kepada gereja-gereja yang ada di Jawa Tengah. Karena
itu timbullah keinginan gereja-gereja yang ada di Jawa Tengah, baik yang
berdiri atas usaha penginjilan perorangan, maupun yang berdiri atas usaha
badan-badan zending yang datang dari Eropa, untuk bersatu membentuk
satu gereja. Keinginan itu bisa disepakati tahun 1949. Ketika itu seluruh
jemaat di Jawa Tengah, mulai dari Tegal, Bojonegoro, Cilacap sampai ke
gunung Kidul, kecuali jemaat yang di sekitar gunung Muria, bersatu
59
membentuk satu gereja yang bernama Gereja Kristen Jawa Tengah. Pada
waktu itu telah disepakati bahwa jemaat-jemaat yang bergabung itu akan
menyusun tata gereja yang baru. Tetapi tahun 1953, sebagian jemaat-
jemaat itu melepaskan diri dari gereja kesatuan dan tahun-tahun berikut
beberapa jemaat lain menyusul. Persoalannya, selain dari jemaat-jemaat
yang bergabung itu mempunyai latar belakang historis yang berbeda-beda,
juga karena menyangkut harta benda gereja. Dengan demikian penyatuan
itu tidak dapat berkelanjutan.
8. Gereja Kristen Sekitar Gunung Muria. Gereja ini adalah beraliran Mennonit,
yang dihasilkan oleh “Doopsgezinde Zendingsvereniging” (DZV). Pendirian
gereja yang beraliran Mennonit adalah hampir sama dengan pendirian Gereja
Baptis, yakni:
Menjauhkan kehidupan politik.
Memantangkan pemakaian kekerasan. Mereka tidak mau menjadi tentara
atau mengangkat senjata biarpun dalam usaha untuk mempertahankan diri.
Memberikan otonomi kepada jemaat-jemaat setempat (kongregationalistis).
Mempertahankan disiplin gereja yang ketat.
Menolak baptisan anak-anak.
9. Pekabar Injil Mennonit ini juga tidak mempunyai hubungan yang baik dengan
golongan Kristen yang lain. Misalnya, hubungannya dengan NZG agak buruk,
karena perbedaan paham mengenai pembaptisan anak. Selain itu dia juga
mempunyai konflik dengan Tunggul Wulung, karena dia tidak mau
60
membaptiskan Tunggul Wulung yang memintanya untuk dibaptis tahun 1854.
Alasannya karena P. Jansz memandang iman Tunggul Wulung dibaptis oleh
Jelessma, penginjil NZG. Pada tahun 1874, P. Jansz memikirkan suatu cara
baru untuk menyebarkan Injil itu, yakni dengan membuat sebuah surat
selebaran yang berjudul: “Usaha PI dengan jalan membuka tanah”. Dengan
cara ini Jansz membuka suatu perkampungan Kristen, sehingga orang-orang
Jawa banyak yang tertarik untuk berkumpul di sekitarnya. Melalui gagasannya
itu, berdirilah beberapa perkampungan Kristen, antara lain: Margorejo (1881),
Margokerto (1901) dan Pakis (1925). Pimpinan desa dipegang oleh pekabar-
pekabar Injil. Di dalam desa-desa itu mereka juga mengusahakan usaha-usaha
sosial, seperti poliklinik-poliklinik, rumah sakit, dan juga asrama orang-orang
kusta, yang semuanya memberi pengaruh yang tidak sedikit. Penghuni dari
perkampungan itu bisa juga dari orang-orang Islam, tetapi mereka harus taat
dengan peraturan yang ditetapkan, yakni: tidak boleh bekerja pada hari
Minggu, tidak boleh berpoligami, dilarang meminum minuman keras dan
menghisap ganja, dll. Di samping di desa-desa, zending ini juga memberitakan
Injil di kota-kota, seperti di Kudus dan Pati. Dan untuk menghimpun seluruh
jemaat yang telah berdiri itu, maka tanggal 30 Mei 1940 didirikanlah sebuah
organisasi yang bernama: “Patunggilan Pasamuan Kristen Jawi tata Injil ing
kresdenan Pati, Kudus lan Japara” (Persekutuan Gereja Kristen Jawa yang Injili
di keresidenan Pati, Kudus, dan Japara). Pada waktu itu dalam organisasi ini
bergabung 12 jemaat, dengan anggota seluruhnya 5000 orang, termasuk anak-
anak. Sedangkan yang sudah terbaptis baru mencapai kira-kira 2000 orang. Di
Pati sekolah ini telah mempunyai sekolah theologi, yang sudah menjadi
anggota Persetia. Dan walaupun gereja ini mempunyai beberapa ajaran yang
berbeda dengan gereja-gereja lain di Indonesia, namun gereja ini ikut
bekerjasama dengan gereja-gereja lain secara oikumenis, sehingga gereja ini
telah menjadi salah satu anggota DGI/PGI. Dan mulai tahun 1956 nama gereja
ini ialah: “Gereja Injili di Tanah Jawa”. Dalam perhitungan tahun 1975, jumlah
anggota gereja ini tercatat sebanyak 65000 orang.
1) Badan zending yang mula-mula bekerja di daerah Jawa Barat (Pasundan) ialah
NZV, yakni tahun 1865. Badan ini mula-mula tinggal di Bandung. Tetapi izin
untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Sunda di sana tidak diperoleh dari
pemerintah, karena pemerintah takut PI itu akan bisa menimbulkan huru-hara
didaerah itu. Karena itu mereka mula-mula hanya bekerja bagi orang-orang
Kristen Ambon yang ada di sana. Tetapi setelah menteri jajahan di negeri
Belanda turun tangan, maka para penginjil NZV itu akhirnya diizinkan bekerja di
Cianjur (1865), kemudian di Bogor dan Depok (1868), Sukabumi (1872),
Sumedang (1872), Jatinegara (1884), Lebak (Banten Selatan, 1894) dan
Tasikmalaya (1898). Tetapi tidak semua tempat ini bisa dipertahankan terus.
Misalnya di Banten, setelah tahun 1902 tidak ada lagi tenaga penginjil NZV.
Depok kemudian menjadi salah satu daerah Kristen yang terkenal.
61
2) Suatu cara yang dipakai untuk menyebarkan Injil itu aialah dengan membeli
tanah untuk dapat dijadikan sebagai perkampungan Kristen. Cara ini perlu
mengingat orang-orang Pasundan yang pada umumnya beragama Islam.
Kalau ada dari antara mereka yang beralih menjadi Kristen, maka mereka akan
diusir dari tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Maka untuk menampung
mereka yang telah menajdi Kristen itu sangat diperlukan adanya desa atau
perkampungan Kristen, agar mereka jangan sampai terpencil. Ternyata
memang sangat sulit untuk mengkristenkan orang-orang Pasundan itu. Karena
itu cara lain yang ditempuh oleh zending ialah dengan mendirikan sekolah-
sekolah, pelayanan kesehatan dan usaha-usaha sosial. Zending juga berusaha
untuk mendirikan asrama-asrama untuk para mahasiswa, misalnya di Bandung.
Dari antara golongan terpelajar ini ada juga yang tertarik kepada agama Kristen
dan masuk menjadi Kristen. Untuk pelayanan kesehatan didirikan sebuah
rumah sakit yang besar di Bandung tahun 1910, yang diberi nama Rumah Sakit
Immanuel. Rumah sakit ini sampai sekarang masih merupakan salah satu
rumah sakit yang terkenal di Bandung, karena pelayanan dan pengobatannya
yang cukup baik. Perkembangan kekristenan di daerah Pasundan, ikut juga
ditunjang oleh bantuan pribadi seorang pejabat tinggi pemerintahan Belanda,
yang bernama Mr. Anthing. Dia berusaha untuk membelanjai satu kelompok
yang beranggotakan 50 orang yang dididik menjadi calon-calon penginjil
pribumi. Cara ini memang sangat efektif, karena penginjil-penginjil pribumi itu
mudah memberi pendekatan terhadap masyarakat daerah setempat. Dan lagi
Mr. Anthing meminta supaya penginjil-penginjil yang berasal dari kelompoknya
itu janganlah menjadi mata-mata Belanda, tetapi kiranya mereka benar-benar
berlaku sebagai sebagai penginjil untuk orang Jawa asli. Pada mulanya Mr.
Anthing dalam bantuan yang diberikannya juga memperoleh pertolongan dari
“Perhimpunan Pekabaran Injil di dalam dan luar gereja”, yang dibentuk oleh
orang-orang Kristen di Jakarta yang mempunyai perhatian terhadap usaha
penginjilan. Dalam perhimpunan ini Mr. Anthing ikut sebagai salah seorang
anggota pendiri. Hanya sayang dia kemudian beralih ke bidat “kerasulan”,
karena gagal memperoleh bantuan dari sebuah Perhimpunan PI di negeri
Belanda. Dalam bidat kerasulan ini dia diangkat menjadi salah seorang “rasul”
Jawa. Setelah Anthing meninggal tahun 1883, NZV mencoba mendekati dan
memelihara jemaat-jemaat yang dihasilkan oleh kelompok Mr. Anthing tersebut
dan dialihkan menjadi anggota Gereja Kristen Pasundan.
62
Sementara di Depok terkenal sebuah seminari yang bersifat oikumenis,
yang menerima pelajar-pelajar dari berbagai gereja yang ada di Indonesia
untuk dididik menjadi calon-calon guru-guru jemaat atau guru-guru Injil.
Seminari ini didirikan tahun 1878, tetapi kemudian ditutup tahun 1926,
karena kekurangan keuangan dan juga karena gereja-gereaja
pendukungnya itu telah banyak yang mempunyai seminari sendiri. Sisa
keuangan dari seminari Depok ini, kemudian dipakai sebagai modal
pertama untuk mendirikan sebuah Sekolah Tinggi Teologi yang didukung
oleh beberapa gereja yang ada di Indonesia pada waktu itu, termasuk
HKBP, yakni: “Hoogere Thelogische School” (HTS), tahun 1834 di Bogor,
dan tahun 1836 dipindahkan ke Jakarta, yang sekarang menjadi STT
Jakarta.
63
pendemonstrasian penyembuhan yang mereka lakukan sangat menarik
perhatian masyarakat, sehingga mereka menerima undangan untuk berkhotbah
di beberapa tempat di Sumatera Utara antara lain di Pematangsiantar dan
Balige. Namun kegiatan mereka itu masih dihalangi oleh pemerintah kolonial
Belanda, karena Tapanuli masuh tertutup bagi usaha PI di luar RMG. Karena
larangan itu maka ajaran-ajaran pentakosta itu dikirim melalui kursus Alkitab
tertulis dari pos. Mulai tahun 1935, Gubernur Jenderal Belanda memberi izin
kepada penginjil Pentakosta untuk menjalankan missinya di Sumatera Utara.
Dan secara resmi penyebaran Pentakosta itu dimulai di Tapanuli tahun 1941
oleh beberapa pendeta Pentakosta dari suku Batak yang sebelumnya telah
memperoleh pendidikan kependetaan pentakosta di Surabaya, antara lain: Pdt.
P.C. Simanjuntak, Pdt. W.F. Siahaan, R. Siburian, L. Siburian, dan G.N. Pane.
Kebanyakan orang-orang yang berhasil ditarik menjadi pengikut pentakosta
adalah bekas warga gereja HKBP, terutama mereka yang sedang berada di
bawah siasat gereja (dikucilkan dari gereja) karena pelanggaran hukum gereja
tertentu dan juga mereka yang sering ingkar membayar kewajibannya kepada
gereja. Dan perkembangannya yang paling pesat pada mulanya ialah di jemaat
pentakosta di Samosir. Warga gereja HKBP di sana memang banyak yang
menyambut kehadiran pendeta-pendeta pentakosta itu, karena mereka
sebelumnya masih jarang memperoleh kunjungan yang intensif dari seorang
pendeta HKBP. Tetapi selain di Samosir, di daerah-daerah lain seperti: Balige,
Toba, Silindung, Pematangsiantar, gereaja-gereja pentakosta juga kelihatan
banyak berdiri.
64
Sianturi (1966), GPdI Sianipar (1971), dll. Beberapa dari antara gereja-
gereja Pentakosta, telah ada yang masuk anggota DGI/PGI, yakni: Gereja
Isa Almasih, Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Pentakosta Pusat
Surabaya dan Gereja Gerakan Pentakosta. Jumlah anggaota seluruhnya
yang tergolong kepada Gereja Pentakosta di Indonesia berkisar antara 1,2-
1,5 juta orang.
Ajaran yang keempat ini sangat mendapat tekanan, sehingga badan ini
mementingkan ajaran mengenai kedatangan kembali Yesus Kristus dan
Kerajaan Seribu Tahun. Dan itulah yang mendorong badan ini giat
mengabarkan Injil itu kepada orang-orang yang belum pernah mendengarnya,
karena menurut mereka, dengan usaha PI itu, kedatangan kembali Tuhan
Yesus akan dipercepat. Salah seorang tenaga penginjil CAMA ialah R.A.
Jaffray, yang tahun 1897-1927 bekerja di Cina, tetapi mulai tahun 1928
melakukan pelayanan di kota-kota pelabuhan di Indonesia, yakni di Kalimantan
Timur, Sulawesi Selatan, Bali dan Jawa Timur.
65
dengan lama pendidikan 5-6 tahun. Sekolah ini sekarang sudah
ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.
b. Tokoh penginjil CAMA di Kalimantan Timur ialah George E. Fish, yang mulai
bekerja di daerah itu tahun 1929. Di sana dia sering melakukan
pembaptisan secara berkelompok, dan yang dibaptis hanya orang dewasa,
yang dianggap telah sanggup untuk mengungkapkan iman:
kepercayaannya mengenai keselamatan yang dibawa oleh Kristus. Selain
itu dia tidak menyerang langsung adat kebiasaan mereka, tetapi dia
menyerahkan hal itu kepada bimbingan Roh Kudus. Dan untuk nyanyian
gereja, dia memakai lagu-lagu pribumi, di samping lagu-lagu yang berasal
dari Barat. Mulai tahun 1938 CAMA membuka usaha penginjilan di
pedalaman Irian. Untuk itu pesawat udara untuk menjadi sarana
perhubungan para penginjil itu didatangkan dari Amerika (1939). Dan inilah
yang pertama kali pesawat udara dipakai sebagai salah satu sarana dalam
usaha penginjilan di Indonesia.
Pada tahun 1956 itu juga, bantuan keuangan kepada jemaat-jemaat Cina juga
dihentikan. Jemaat-jemaat itu kemudian bergabung dalam dua badan gereja,
yakni: Gereja Kebangunan Kalam Allah (GKKA), dan Gereaja Persekutuan
Kristen (GPK). Mulai tahun 1985, GKKA sudah masuk menjadi anggota PGI.
67
1639, aliran Baptis telah tersebar juga ke Amerika Utara oleh orang-orang
imigran atau pindahan dari Inggris. Dan pada abad 19 Gereja Baptis telah
menjadi salah satu gereja Protestan terbesar di Amerika. Dan pada abad 19
dan 20 aliran Baptis telah meluas ke semua benua.
69
Timbulnya Gereja dan Ajaran Adventist. Sejarah permulaan gereja ini
berakar dalam suatu gerakan kebangunan rohani yang timbul di Amerika
Serikat sekitar tahun 1820. Dalam gerakan itu, ajaran eskatologis
(penantian kedatangan kembali Kristus) dipentingkan. Penggerak dari
gerakan Adventist ialah William Miller, yang lahir tahun 1780 di Pittsfield,
Amerika Serikat. Pada masa mudanya, dia adalah seorang petani, tetapi
kemudian menjadi seorang penginjil dari gereaja Baptis. Tanpa bantuan
orang lain dia berusaha untuk memperdalam pengetahuannya akan isi
Alkitab. Dan khususnya yang sangat menarik bagi dirinya dari isi Alkitab itu
ialah yang berkenan dengan nubuatan-nubuatan seperti Kitab Daniel dan
Kitab Wahyu. Berdasarkan penafsirannya sendiri atas kedua kitab itu, maka
dia menghitung bahwa tahun 1843/4, Kristus akan datang kembali.
Perhitungannya itu dimaklumkan kepada umum dan dia menyerukan
supaya semua orang bersiap menanti kedatangan Tuhan Yesus yang kedua
kalinya itu. Hasil penafsiran Miller ini memberi pengaruh yang besar bagi
banyak orang. Ratusan pendeta dan puluhan ribu orang percaya menerima
penafsiran itu. Akibatnya terjadilah bentrokan dalam gereja. Tetapi ketika
perhitungannya itu ternyata tidak benar, maka dia dengan cepat mengaku
kekeliruannya.
Setelah itu muncullah fase kedua dari gerakan adventist ini, yang
dipimpin oleh seorang wanita yang bernama Ellen White. Dia tetap
mempertahankan bahwa kedatangan Kristus kedua kalinya bisa dihitung.
Dan dia mencari jalan keluar atas kekeliruan Miller. Dia katakan bahwa
tahun 1844 yang disebut Miller itu bukanlah tahun kedatangan kembalinya
Tuhan Yesus, tetapi itu adalah saat Kristus “memasuki tempat mahasuci”
dalam sorga untuk menguduskannya. Gereja yang tidak mempercayai ini
tidak turut mengalami pengudusan itu. Tidak lama sesudah itu, ajaran
Adventist ditambah dengan suatu ajaran lain, yakni tentang “Hari Sabbat”.
Mereka menerima ajaran gereja Baptis hari ketujuh yang menentang hari
Minggu sebagai hari perayaan Kristen dan mempertahankan hari Sabbat
sebagai hari suci. Perintah mengenai Sabbat (hukum keempat dari Dasa
Titah) malah dijadikan sebagai perintah utama. Perayaan hari Minggu
dinyatakan sebagai perbuatan kekafiran dan yang merampas dari Allah,
harinya yang suci. Karena ajarannya yang sentral terhadap hari Sabbat ini
maka gereja ini kemudian bernama “Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh”.
Ajaran-ajaran Adventis yang lain ialah tentang baptisan, di mana baptisan
anak-anak ditolak. Selain itu anggota gereja dilarang makan daging babi,
mengisap rokok dan meminum minuman alkohol; dan mereka wajib
memberi persepuluhan.
Masuknya Gerakan Adventist ke Indonesia. Gerakan Adevntis mulai
masuk ke Indonesia tahun 1900 yang dibawakan oleh seorang pendeta
Adventis dari Amerika, bernama Dr. Ralph Waldo Munson. Mula-mula dia
menetap di Padang. Dari Padang dia berusaha menyebarkan ajaran itu ke
Tapanuli melalui seorang putera Batak bernama Immanuel Siregar, yang
telah menerima ajaran Adventis itu melalui Waldo Munson. Immanuel
Siregar adalah putera Simon Siregar, yakni salah seorang orang Batak yang
70
pertama masuk menjadi Kristen tahun 1861, yang pada awal abad 20 ini
pernah mengikuti pendidikan di Seminary Narumonda, tetapi kemudian
dikeluarkan dari sana karena menentang kebijaksanaan zending yang
mengasuh sekolah itu. Waldo Munson dan Immanuel Siregar datang di
Tanah Batak tahun 1907. Tetapi ketika mereka tiba di Tarutung, mereka
dinasehati oleh seorang pendeta Batak, Pdt. Henock Lumbantobing, supaya
mereka “janganlah bertindak seperti pencuri tanaman dari ladang
sesamanya, tetapi sebaiknya mengerjakan ladang yang masih kosong”.
Artinya jangalah mereka datang untuk menggarap orang-orang Batak yang
sudah Kristen, tetapi sebaiknya membuka lapangan PI yang baru di tengah-
tengah orang-orang yang belum mengenal Injil itu. Tetapi nasehat itu tidak
diindahkan sama sekali, dan Waldo Munson telah bertekad untuk
menyebarkan ajaran Adventis itu di tengha-tengah orang-orang Kristen
Batak. Untuk itu Immanuel Siregar segera disekolahkan ke Singapura.
Pada atahun 1910, R.W. Munson pindah ke Bandung. Tetapi karena di sana
dia mendapat larangan dari pemerintah Belanda, maka dia pindah ke Jakarta.
Sementara itu Immanuel Siregar yang sudah memperoleh pendidikan
penginjil Adventis dari Singapura memulai pekerjaannya di Balige dengan
membuka Sekolah bahasa Inggris dan mulai menyebarkan ajaran-ajaran
Adventis itu melalui murid-muridnya. Tetapi setelah kegiatannya itu diketahui
oleh pemerintah Belanda, maka dia diusir dari Balige. Akhirnya dia pindah ke
Sipogu (dekat Sipirok, Tapanuli Selatan), di mana sebelumnya seorang
missionaris Adventis dari Amerika bernama S. Kime, telah memulai
pekerjaannya membuka sekolah yang sama. Pada tahun 1932, pemerintah
Belanda telah memberi izin bagi Adventis menjalankan missinya di Tanah
Batak, yang segera setelah itu berdirilah beberapa jemaat Adventis di daerah
Tapanuli. Tahun 1936, kota Pematangsiantar dijadikan sebagai pusat kegiatan
Adventis di Sumatera Utara. Selain melalui sekolah-sekolah, cara-cara
penyebaran ajaran Adventis yang dilakukan ialah perkunjungan dari rumah ke
rumah, sambil menjajakan buku-buku dan gambar-gambar Adventis.
2. Seperti sudah disebutkan pada poin 1 di atas, usaha-usaha gereja RK waktu itu
pada dasarnya adalah merupakan pelayanan bagi orang-orang yang sudah
beragama RK. Sedang usaha missi pada hakekatnya dilakukan oleh pelbagai
72
ordo gereja RK yang secara berangsur-angsur juga sudah mulai memasuki
Indonesia. Dan usaha missi itu sering bersandar pada usaha pemeliharaan
rohani yang telah ada di beberapa kota. Atau dengan kata lain, pusat-pusat
pemeliharaan rohani gereja RK itu sering dijadikan sebagai batu loncatan untuk
usaha missi yang sangat giat dilakukan dan semakin luas. Misalnya di
Minahasa, pastori Manado yang didirikan untuk mengadakan missi RK di
sekitar daerah itu, mulai tahun 1886. Cara-cara yang sama juga dilakukan
didaerah-daerah lain, seperti daerah Kalimantan Barat tahun 1854, ke daerah
Timor Utara dan Flores, tahun 1859 dan ke kepulauan Maluku Selatan, tahun
1890. Usaha-usaha yang kelihatan sangat giat dilakukan dalam menunjang
missi RK itu ialah melalui lapangan pendidikan (sekolah-sekolah) dan rumah-
rumah sakit. Untuk melaksanakan pendidikan itu ratusan “bruder” dan “suster”
dari pelbagai ordo didatangkan. Aturan subsidi untuk sekolah-sekolah swasta
yang ditetapkan pemerintah Belanda menguntungkan bagi mereka, karena
para bruder dan suster itu menerima gajin subsidi dari pemerintah Belanda,
yang kemudian mereka serahkan kepada biara-biara mereka berdasarkan janji-
janji mereka. Dengan demikian yayasan-yayasan sekolah mereka dapat
menarik kesimpulan keuntungan dari uang gaji itu. Di kota-kota besar mereaka
mendirikan rumah-rumah sakit yang dilayani suster-suster. Usaha-usaha itu
memperlihatkan suatu perkembangan yang besar, terutama pada pertengahan
pertama abad 20 ini. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Belanda tentang PI
(pasal 123 PP tahun 1854 dan pasal 177 PP tahun 1925), daerah-daerah
penginjilan yang diberi izin kepada gereja RK adalah Flores, Maluku Selatan
dan sebagian Irian. Tetapi mereka selalu mencari jalan untuk bisa masuk ke
daerah-daerah lain. Dan sering mereka masuk ke daerah-daerah yang sudah
dikerjakan oleh usaha penginjilan dari pihak Protestan, misalnya, Tapanuli,
Nias, Toraja, dll.
Dengan daya tarik atau dorongan beberapa faktor yang disebut di atas, maka
banyak orang yang masuk menjadi Kristen secara massal atau berkelompok.
Yang menjadi persoalan ialah bagaimana pengajaran yang diberikan kepada
mereka yang telah menyatakan masuk menjadi Kristen itu. Persoalan ini
menyangkut berapa lama persiapan yang diberikan, cara persiapan dan
bahasa yang diberikan dan juga menyangkut tenaga.
Pertama, semua bahan-bahan yang diberikan itu adalah asing bagi orang-
orang Indonesia. Rumusan-rumusan dari bahan-bahan itu semua, adalah
mencerminkan pergumulan di Eropa yang tidak sesuai dengan situasi di
Indonesia. Akibatnya, isinya sulit mengena dalam hati mereka. Walaupun,
mungkin isi semua bahan-bahan itu bisa dihafal oleh otaknya, tetapi hal itu
tidak banyak mempengaruhi kehidupan mereka. Jalan yang terbaik sebenarnya
ialah mengolah bahan-bahan itu sedemikian rupa dan menyesuaikannya
dengan situasi dan kondisi di Indonesia, sehingga mereka dapat memahami
arti iman Kristen itu bagi seluruh kehidupan mereka.
Kedua, pola berpikir para penginjil. Para pekabar Injil tidak banyak mengenal
lingkungan hidup orang-orang hidup orang-orang yang diinjili, yakni agama dan
kebudayaan mereka. Ini disebabkan karena para penginjil itu tidak merasa
perlu untuk mempelajari dunia agama suku dan mereka memandang agama
dan kebudayaan suku-suku itu dari sudut negatif. Artinya mereka melihat
agama suku itu hanyalah penyembahan kepada iblis saja atau penyembahan
kepada berhala-berhala.
76
Kurangnya tenaga yang mampu memberikan pembinaan secara kontinu.
Karena kekurangan tenaga pembina, orang-orang yang harus dibaptis yang
hanya memperoleh pengajaran yang sangat minim sekali, tidak dapat
memperoleh pembinaan lanjutan yang bersifat intensif. Hanya di beberapa
tempat yang menjadi kediaman pendeta, bimbingan dapat dilanjutkan. Dan
kebanyakan orang-orang Kristen pribumi itu hanya dilayani oleh guru-guru
Injil aatau penatua-penatua yang tidak memperoleh pendidikan yang
memadai. Masalah ini kemudian diatasi dengan mendidik tenaga-tenaga
pribumi untuk mampu membina orang-orang Kristen tersebut. Tenaga-
tenaga pribumi yang lebih terampil kemudian dipilih untuk dididik menjadi
pendeta. Tetapi ini belum dilakukan dengan luas, dan pekerjaan pendeta-
pendeta pribumi juga sangat dibatasi.
Akibat dari pembinaan yang sangat kurang akan ajaran dan nilai-nilai
kekristenan, dan apa yang sedikit diperoleh itu kurang meresap dalam hati
mereka, maka orang-orang Kristen yang baru itu mudah sekali jatuh
kembali kepada cara hidup dan kepercayaan mereka yang lama. Bahkan
orang-orang Kristen yang sudah lebih lama pun juga sulit menghayati
ajaran-ajaran kekristenan itu, sehingga banyak juga yang menjadi murtad
terutama pada masa-masa permulaan kekristenan. Bahkan sampai
sekarang boleh dikatakan bahwa kekristenan itu belum begitu kuat berakar
dalam kehidupan orang-orang Kristen Indonesia itu.
77
penginjil dari Belanda, mempergunakan nyanyian-nyanyian Mazmur dan
nyanyian Rohani, seperti lainnya dipergunakan di gereja-gereaja Belanda.
Kitab Mazmur dan Nyanyian Rohani itu sudah mulai diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu pada zaman VOC dan mulai terbit tahun 1735
dengan judul: “Sij’r, segala mazmur-mazmur Daud dan pujian-pujian yang
lain”. Kitab itu ditulis atas titah segala “Toewan Pemarentah Kompanija”.
Nyanyian-nyanyian itu juga mempergunakan lagu-lagu yang lazim di gereja
Belanda. Hasil yang sama juga terdapat di lingkungan gereja-gereja suku
hasil penginjilan penginjil-penginjil yang diutus badan-badan zending dari
Eropa. Misalnya di HKBP dipergunakan Kitab Nyanyian yang merupakan
kumpulan dari nyanyian-nyanyian yang berasal dari Eropa khususnya dari
Jerman. Lagunya langsung diambil alih, hanya syair-syairnya diterjemahkan
ke dalam bahasa Batak. Dalam hal ini juga terlihat tidak ada usaha dari
penginjil-penginjil itu untuk mempergunakan lagu-lagu Batak. Dan karena
tidak ada usaha penginjil-penginjil itu untuk melestarikan lagu-lagu atau
musik Batak, maka musik asli Batak menjadi hilang.
Gereja Protestan juga mengikuti praktek Misi itu. Bahkan dalam tata
gereja Protestan atahun 1643 ditetapkan bahwa orang-orang Indonesia
yang masuk Kristen hanya diperbolehkan mengikuti Perjamuan Kudus
apabila dia telah mengikuti pengajaran agama Kristen lebih lanjut dan juga
telah menyatakan niatnya untuk itu. Karena itu hanya di jemaat-jemaat
pusat sakramen Perjamuan Kudus itu bisa diikuti oleh banyak orang,
sedangkan di luarnya hampir tidak ada yang mengikuti. Dan boleh
dikatakan bahwa hampir 90% orang-orang Kristen Indonesia pada zaman
VOC tidak pernah mengikuti Perjamuan Kudus. Pada zaman selanjutnya,
setelah penginjilan Protestan dilakukan oleh badan-badan zending,
Perjamuan Kudus susah lebih merata bisa dilakukan oleh orang-orang
Kristen Indonesia, karena pada waktu itu pembinaan kekristenan sudah bisa
dilakukan lebih merata. Hanya ada tanggapan bahwa Perjamuan Kudus
hanya bisa dilakukan oleh orang-orang Kristen yang mempunyai kwalitas
kekristenan yang lebih baik, sedangkan orang-orang yang merasa dirinya
masih banyak melakukan dosa enggan mengikuti Perjamuan Kudus.
79
Penggembalaan dan Disiplin Gereja. Baik pada zaman Missi Katolik
maupun pada Gereja Protestan, penggembalaan dilakukan dengan
mengadakan perkunjungan ke rumah-rumah, dan juga mengunjungi orang-
orang sakit. Penggembalaan atas anggota Gereja Protestan terutama
dilakukan berhubung dengan perayaan Perjamuan Kudus. Artinya, sebelum
perayaan, setiap keluarga dikunjungi oleh seorang pendeta disertai oleh
seorang penatua. Yang banyak mengunjungi orang-orang sakit ialah
penghibur-penghibur orang sakit. Kepada orang sakit itu diberi penghiburan
dan dorongan untuk tetap berpengharapan dan bertekun dalam imannya. Di
jemaat-jemaat filial (di luar pusat), penggembalaan dilakukan oleh guru-guru
Injil bertugas di sana. Disiplin gereja juga dipertahankan dan dijalankan. Di
jemaat-jemaat pusat Protestan, pelaksanaan disiplin ini ditangani oleh
majelis jemaat. Pada waktu-waktu tertentu majelis jemaat membicarakan
hidup seluruh jemaat, orang demi orang atau keluarga demi keluarga. Kalau
ada yang tidak setia datang ke gereja, atau yang melanggar hukum-hukum
gereja atau hukum kekristenan, orang tersebut akan dikunjungi dan ditegor,
mula-mula oleh seorang pendeta, kemudian pendeta bersama seorang
diaken. Kalau orang tersebut tetap keras kepala, maka yang bersangkutan
harus menghadap majelis jemaat. Karena gereja berhubungan erat dengan
pemerintah pada waktu itu, campur tangan pemerintah sering juga
dimintakan untuk menjaga disiplin gereja dan menjalankan hukuman bagi
orang-orang yang melanggar disiplin gereaja. Hukuman itu ada berupa
denda, dan bahkan ada hukuman mati.
6. Perjumpaan gereja dengan budaya. Dalam bagian ini akan kita lihat
bagaimana sikap para missioner atau para utusan Injil terhadap kebudayaan di
Indonesia. Hal yang sangat perlu ditinjau secara historis, karena sikap gereja-
gereja di Indonesia sekarang terhadap kebudayaan, masih banyak dipengaruhi
oleh sikap yang diwarisi dari utusan-utusan Injil dulu. Untuk ini kita akan
melihatnya dalam tiga daerah penginjilan, yakni Jawa (Jatim dan Jateng),
Sulawesi Tengah dan Tanah Batak.
Jawa. Seperti sudah diuraikan dalam bagian Sejarah Gereja di Jawa,
khususnya di Jatim dan Jateng, bahwa usaha penginjilan di sana adalah
dimulai oleh orang-orang Kristen perorangan yang berdomisili di sana,
barulah kemudian dilanjutkan oleh badan-badan zending yang datang dari
Eropa/Barat, setelah mulai mendapat izin dari pemerintah Belanda tahun
1850an. Juga sudah dijelaskan bahwa penginjil-penginjil perorangan itu
mempunyai sikap yang berbeda terhadap kebudayaan setempat atau
kebudayaan suku Jawa itu sendiri. Ada yang bersikap positif, sehingga
kebudayaan itu dipergunakan dalam menyebarkan Injil itu dan dalam hidup
kekristenan. Emde (1774-1859) misalnya, seorang Kristen pietis Jerman,
yang tinggal di Surabaya, dan yang memulai kegiatan PI di Jawa Timur,
tahun 1815, menunjukkan sikap negatif terhadap kebudayaan Jawa. Orang-
orang Kristen yang baru dibaptis dituntut untuk hidup mengikuti kebudayaan
atau adat kebiasaan Eropa, misalnya dalam hal berpakaian. Dan orang-
orang Kristen itu tidak diperbolehkan menonton wayang, mendengarkan
81
gamelan, menyelenggarakan upacara-upacara selamatan secara adat
Jawa, dll, karena adat kebiasaan seperti itu dianggap bersifat kekafiran.
Suatu sikap yang berbeda dengan sikap ini ialah sikap Coolen, yang
mengadakan penginjilan juga di Jawa Timur dengan pusatnya di Ngoro. Dia
bersikap positif terhadap kebudayaan Jawa itu. Dia memang menguasai
wayang, musik dan tari-tarian Jawa, karena ia adalah seorang peranakan
Belanda-Jawa. Ayahnya seorang Belanda, dan ibunya seorang puteri
bangsawan Jawa. Pada hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di
pendopo rumahnya. Dalam kebaktian itu diperdengarkan nyanyian gaya
tembang Jawa. Pengajaran Kristen disampaikan dengan bermain gamelan,
wayang dan kiki, sambil mengulangi rumus-rumus Kristen (Doa Bapa Kami,
dsb), hampir sama dengan cara yang dipakai oleh santri-santri Islam.
Dengan cara seperti itu tealah terbentuk jemaat Kristen, yang untuk
memimpinnya diangkat seorang pengantar jemaat, yang disebut Kyai
penghulu.
82
dipertahankan. Karena menurut prinsipnya, orang Kristen Jawa itu harus
tetap tinggal sebagai orang Jawa dengan segala adat kebiasaannya.
Gedung-gedung gereja dibangun bukanlah berbentuk gereja yang bercorak
atau bergaya Eropa, tetapi dibangun berbentuk joglo (rumah Jawa) atau
bahkan juga mirip mesjid Islam. Dan di atasnya tidak dibuat tanda salib,
tetapi persilangan dari dua anak panah tokoh perwayangan Jawa.
9. Penyebaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zending itu umumnya tidak
berhubungan dengan GPI yang diasuh oleh pemerintah Belanda, tetapi bekerja
secara sendiri-sendiri di daerah-daerah atau suku-suku tertentu sesuai dengan
pengaturan dan izin yang diperoleh dari pemerintah kolonial Belanda. Di
daerah-daerah atau suku-suku tertentu, tumbuhlah jemaat-jemaat Kristen yang
mempergunakan bahasa daerah/suku tersebut, dan mengikuti tradisi atau
corak teologi yang dibawakan oleh penginjil-penginjil itu, sesuai dengan latar
belakang kegerejaannya di Eropa atau Amerika. Dengan demikian tertanamlah
dasar-dasar bagi tumbuhnya gereja-gereja yang bersifat kesukuan (ethnis) dan
kedaerahan di Indonesia, yang mempunyai corak dan tradisi yang berbeda-
beda, sesuai dengan latar belakang historis yang menempa dirinya. Gereja-
gereja suku dan gereja-gereja daerah itu kemudian makin menuntut menjadi
gereja yang berdiri sendiri, yang dimulai oleh HKBP tahun 1930, dan disusul
oleh gereja-gereja lain. Tetapi di kemudian hari keadaan ini telah menimbulkan
banyak masalah dan pergumulan yang dihadapi oleh gereja-gereja di
Indonesia, karena ternyata dalam masing-masing gereja itu, sifat kesukuan dan
kedaerahan sering lebih menonjol. Dan sifat-sifat itu sering telah menjadi salah
satu faktor yang menyebabkan perpecahan gereja-gereja itu sendiri, dan
85
bahkan seperti sudah disebut di atas, sebagai salah satu faktor penghambat
dalam mewujudkan gereja Kristen yang esa di Indonesia.
87
Hervormd. Dengan demikian akan terbuka suatu jalan untuk membentuk
suatu “gereja kesatuan” di Indonesia untuk menggantikan “Gereja Calvinis”.
Penetapan “Gereja Kesatuan” itu dikukuhkan oleh Raja tahun 1835 untuk
seluruh gereja-gereja “Kristen Protestan” yang ada di Indonesia, baik yang
berasal dari orang Eropa maupun yang menjadi Kristen dari kalangan
pribumi, tanpa membedakan jenis konfesi tertentu (hervormd, lutheri, baptis,
dll). Dalam peraturan gereja itu tahun 1840, ditetapkan bahwa setiap orang
Protestan adalah anggota dari Gereja tersebut. Ajaran dari Gereja Kesatuan
itu dirumuskan secara sederhana dan singkat, sebagai berikut: “Ajaran
agama dari pada Gereja Protestan Am di Indonesia adalah ajaran dari pada
Injil sesuai dengan asas-asas Protestan”.
Tetapi walau secara teoritis pemerintah Belanda telah menetapkan
kebebasan beragama/bergereja di seluruh daerah yang dikuasai, namun di
Indonesia pemerintah kolonial Belanda tidak memberlakukan kebebasan
bergereja itu bagi Gereja Kesatuan atau “Gereja Protestan di Indonesia” itu.
Secara struktur gereja ini masih tetap diperlakukan sebagai “Gereja
Pemerintah” atau “Gereja Negara”, sebagaimana halnya terjadi pada Gereja
VOC. Pengurus Pusat (Kerkbestuur) dari gereja itu berkedudukan di Jakarta
adalah dibentuk oleh Pemerintah Belanda. Ketuanya adalah salah seorang
anggota “Dewan Hindia Belanda”, anggotanya terdiri adari para pendeta yang
bertugas di Jakarta. Mereka dilantik oleh Gubernur Jenderal sebagai
pelaksana penguasa tertinggi di Indonesia. Pengangkatan, penempatan, dan
pemindahan para pendeta, atau usul dewan pengurus, dilakukan oleh
Gubernur Jenderal. Semua biaya gereja juga ditanggung oleh pemerintah
kolonial Belanda. Dan surat-surat dari Gereja atau dari pendeta yang
bertugas di Indonesia yang ditujukan kepada “gereja induk” di negeri Belanda
juga harus disensor oleh Gubernur Jenderal. Dengan demikian kebebasan
bergereja itu dalam tubuh GPI tidak terlaksana sama sekali, dan bahkan
sebagaiman pada zaman VOC, gereja itu juga dipakai sebagai alat politisnya.
10. Keadaan ini tidak diinginkan oleh kalangan tertentu (tokoh gereja dan juga
politis) di negeri Belanda dan juga di daerah jajahan di Indonesia. Sejak tahun
1863 pihak pemerintah kolonial Belanda telah mengupayakan pemisahan
lembaga gereja dari lembaga negara, tetapi gagal, karena belum ada jalan
keluar untuk mengatasi masalah sumber daya dan dana yang selama ini
datang dari pemerintah kolonial Belanda. Persoalan ini juga telah pernah
dibahas selama dalam “Dewan Rakyat” (Volksraad), pemisahan gereja dan
negara bukan hanya di bidang administrasi, tetapi juga di bidang keuangan.
Tetapi usul ini juga tidak berhasil, karena telah muncul pula usaha-usaha dari
gereja-gereja di daerah tertentu yang dulu masuk naungan GPI menjadi
Gereja yang berdiri sendiri. Misalnya GMIM sudah menyatakan berdiri sendiri
tahun 1934 (30 September), satu tahun sebelum Ratu Belanda menetapkan
pemisahan lembaga Gereja dan Negara secara administratif dalam
lingkungan GPI, yakni 1 Agustus 1935. Setelah itu menyusul lagi gereja-
gereja daerah lain yang dulu dalam naungan GPI, menjadi gereja yang berdiri
sendiri, yakni: GPM tahun 1935 (6 September), GMIT tahun 1947 dan GPIB
tahun 1948. Tetapi walaupun GPI dan gereja-gereja itu semua telah
dinyatakan berdiri sendiri, namun masih banyak tergantung dalam bidang
88
keuangan kepada pemerintah kolonial Belanda. Pemisahan di bidang
keuangan barulah dilakukan 15 tahun setelah penetapan raja tahun 1935 itu,
yakni setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia merdeka.
Dengan demikian GPI beserta gereja-gereja daerah dalam lingkungannya
sudah berdiri sendiri dalam segala urusan gereja, terpisah dari lembaga
Negara atau pemerintah. Usaha untuk menjadi gereja yang berdiri sendiri
timbul juga di tengah-tengah gereja-gereja di luar naungan GPI, yakni gereja-
gereja yang dihasilkan oleh berbagai badan zending yang datang dari luar.
Usaha ini erat kaitannya dengan gerakan nasionalisme yang timbul di tengah-
tengah bangsa Indonesia, yang berjuang untuk membebaskan bangsa
Indonesia dari kekuasaan kolonial. Dalam kaitannya dengan gerakan
kemandirian itu, gereja-gereja tersebut telah berusaha untuk melepaskan diri
dari dominasi pendeta-pendeta Eropa/Barat, dan ingin dipimpin oleh putera
daerah sendiri. Peluang untuk memperoleh status sebagai gereja yang
memperoleh pengakuan dari pemerintah telah dimungkinkan oleh Keputusan
Raja (Belanda) tahun 1925, yang menetapkan bahwa: “gereja-gereja serta
perhimpunan-perhimpunan gerejawi, bersama masing-masing unsurnya yang
mandiri…secara hukum memiliki kedudukan badan hukum”. Berdasarkan
Keputusan Raja tahun 1925 itu telah banyak gereja suku dan gereja daerah
yang memohon untuk mendapat pengakuan sebagai badan hukum.
Permohonan itu diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan syarat,
permohonan itu disetujui oleh “gereja induk” atau lembaga PI yang telah
melahirkan gereja tersebut. Pemberian status sebagai badan hukum yang
memperoleh pengakuan dari pemerintah Belanda dimulai kepada HKBP
tahun 1931, setelah gereja ini telah menyusun tata gerejanya yang membuat
gereja itu memperoleh status sebagai gereja yang berdiri sendiri mulai tahun
1930. Setelah HKBP menyusul GKJW (1931) dan Gereja Kristen Pasundan
tahun 1934, dll. Dengan status sebagai badan hukum maka gereja itu dapat
memperoleh perlindungan hukum dari pemerintah, dapat mempunyai hak
milik, melakukan jual-beli, transaksi utang-piutang, gugat-menggugat
berdasarkan peraturannya yang telah ditetapkan, dll.
Pertama: kebebasan beragama sebagai salah satu unsur dari hak-hak asasi manusia tetap
berlaku hingga kini, seperti tercantum dalam UUD RI 1945. Sejiwa dengan ini, pemerintah RI
telah mengeluarkan “Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri” No.
01/BER/mdn-mag/1969 tentang: Pelaksanaan tugas aparatur pemerintah dalam menjamin
ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-
pemeluknya”. Keputusan itu telah disambut oleh pihak Kristen Protestan dan Katolik melalui
“Dep. Gereja dan Masyarakat DGI dan Kantor Wali Gereja Indonesia” dalam bentuk
“Memorandum”, Jakarta 10 Oktober 1969. Berdasarkan beberapa konsiderasi historis dan
89
hukum diungkapkan bahwa, “…kami berpendapat bahawa Keputusan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri…tidak dapat menjamin kemerdekaan beragama seperti
tercantum dalam pasal 29 UUD 1945, bahkan dapat membahayakan kesatuan dan persatuan
negara dan bangsa Indonesia…mohon ditinjau kembali”.
Kedua: lembaga-lembaga gereja yang dulu telah diakui sebagai “gereja” dan dengan
demikian memiliki status badan hukum, seperti nampak dalam kebijakan pemerintah RI
membaharui pengakuan pemerintah terdahulu. Contoh: Pengakuan Pemerintah untuk HKBP
tanggal 11 Juni 1931 No. 48, Lembaran Negara tahun 1932, No. 360, telah dilanjutkan
dengan Pengakuan Ulang Pemerintah RI tanggal 2 April 1968, No. Dd/P/DAK/d/135/68 dan
Pengakuan Ulang Pemerinatah RI Cq. Dep. Agama RI No. 33 tanggal 6 Pebruari 1988.
Sejajar dengan statusnya sebagai Badan Hukum, maka setiap gereja di Indonesia harus
memperhatikan dan melaksanakan ini dari “UU RI No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan”. Dalam pasal 1 disebut: “Dalam UU ini yang dimaksud dengan Organisasi
Kemasyarakatan adalah Organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara
RI secara suka rela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, agama, dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam Pembangunan dalam rangka
mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila”. Dan DGI/PGI melalui keputusan Sidang Raya di Ambon telah menyetujui bahwa
DGI/PGI beserta anggota-anggotanya telah mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sebagaimana tercantum dalam
pasal 2 UU RI No. 8 tahun 1985 di atas. Pengakuan tersebut telah tercantum dalam tata
negara masing-masing Gereja.
Ketiga: dalam bidang PI, misi atau dakwah, yang sejak dulu telah diatur sedemikain rupa
sehingga asas kebebasan beragama dan aspek kehidupan umum yang harus menjaga
“keamanan dan ketertiban” masih mewarnai pergumulan setiap pemeluk agama di Indonesia
saat ini. Keputusan menteri agama No. 70 dan 77 tahun 1978 dalam rangka
penyelenggaraan kebebasan beragama dan pemeliharaan kerukunan nasional telah
disambut oleh pihak Kristen Protestan dan Katolik melalui suatu tinjauan kritis serta
memberikan beberapa alternatif untuk melaksanakannya.
90
gereja dan negara atau pemerintah harus berjalan seiring dalam upaya
membina warganya mencapai kehidupan seutuhnya yang damai sejahtera
baik rohani maupun jasmani.
91
1606: Orang-orang Spanyol dari Filippina mengalahkan Ternate dan
menempati benteng Portugis di Tidore, mereka mengambil alih usaha misi di
Halmahera dan Sulawesi Utara.
1607: Orang-orang Belanda mengikat perjanjian dengan Ternate.
1608: Orang-orang Kristen Ambon meminta supaya sekolah dibuka kembali
1612: Ambon dan Kupang mendapat seorang pendeta
1613: Solor direbut orang-orang Belanda, misi di Halmahera ditinggalkan.
1614: Ds. Wiltens di Ambon
1619: Misi di Sulut di hidupkan kembali, Batavia didirikan dan dikepung oleh
Sultan Mataram
1620: Ds. Dackaerts membuka pendidikan guru di Ambon.
1621: Jemaat Batavia didirikan
1621-1633: Seminari teologia di Leiden Nederland khusus untuk mendidik
pendeta-pendeta bagi jemaat-jemaat di Asia
1622: Usaha misi di seluruh dunia ditempatkan di bawah pengawasan
suatu badan pusat di Roma yakni: Congregatio de propaganda vide
1622: Ds. Hulseboss meninggal di Ambon.
1623: Peraturan gereja Batavia dikeluarkan
1624-1633: Ds. Heurnius di Batavia. Pergumulan antara gereja dan
pemerintah VOC mengenai kebebasan gereja. Usaha zending di kalangan
orang-orang Tionghoa.
1625: Jemaat Ambon mendapat majelis, seorang pendeta ditempatkan di
Banda.
1628: Misi di Siau dihidupkan kembali.
1633-1635: Ds. Heurnius di Saparua berusaha untuk memakai bahasa
daerah.
1635: Heurnius kena racun, ia pindah ke Ambon dan di sana mendidik
calon-calon pendeta dari orang-orang Ambon
1638: Heurnius meninggalkan Ambon
1661: Ds. Cornelis Senen meninggal
1663: Orang-orang Spanyol meninggalkan Maluku
1666: Orang-orang Belanda membangun Benteng di Manado, orang-orang
Kristen di Minahasa di Protestankan
1667/1683: Ternate ditaklukkan Belanda.
1667: Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius terbit.
1670: Raja Salomo dari Kupang dibaptis; seorang pendeta ditempatkan di
Kupang tetapi segera meninggal.
1670-1675: Seorang penghibur orang sakit bekerja di pulau Aru.
1675: Seorang pendeta ditempatkan di Manado, tetapi segera meninggal.
Sangir untuk pertama kali dikunjungi oleh seorang pendeta.
1676: Belanda dan Ternate merebut pulau-pulau Sangir dan Siau. Orang-
orang Kristen di sana diprotestankan.
1690: Usaha Missi di Kalimantan. P. Ventimiglaia dibunuh.
1691: Ds. Leijdecker ditugaskan menerjemahkan Alkitab.
1701: Ds. Leijdecker meninggal.
1706: Terjemahan Leijdecker selesai.
92
1733: Alkitab Terjemahan Leijdecker selesai dicetak.
1734: Buku Mazmur gubahan Werndly terbit.
1740 an: Gerakan ke arah Agama Kristen di pulau Rote.
1743: Zendeling-zendeling Hernhut (Pietis) ditolak VOC.
1750: Gerakan ke arah Agama Kristen di pulau Sawu.
1753: Seorang pendeta ditempatkan di Kupang dan Semarang.
1758: Seorang pendeta ditemaptkan di Surabaya.
1765: Di Batavia bekerja 13 orang pendeta.
1797: “Nederlands Zendeling Genootschap” (NZG) didirikan di negeri
Belanda.
1799: VOC dibubarkan.
1800:Indonesia di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda.
1807: Kebebasan beragama mulai berlaku di Hindia Belanda.
1808: Dua imam Katolik Roma mendarat di Batavia.
1811 : Pulau Jawa diduduki Inggris. Tinggal tiga orang pendeta di sana.
1812: William Robinson dari Baptist Missionary Society (BMS) tiba di
Batavia.
1814: Joseph Kam dan Bruckner tiba di Batavia. Kam bekerja di Surabaya
dan berhasil mengobarkan semangat Emde. Jabez Carey dari BMS tiba di
Ambon.
1815: Joseph Kam tiba di Ambon. Baseler Mission didirikan.
1817: Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dibentuk. Joseph Kam
mengadaakan perjalanan ke Ternate, Minahasa dan Sangir.
1818: Jabez Carey dilarang pemerinatah kolonial Belanda bekerja di Ambon
dan kembali ke India; NZG mengutus rombongan zendeling yang kedua
berjumlah tiga orang.
1819: Le Bruyn menjadi pejabat pendeta di Kupang.
1820: NZG mengutus rombongan zendeling yang ketiga berjumlah lima
orang. Bruckner menyelesaikan penerjemahan PB ke dalam bahasa Jawa.
1822: Dua zendeling ditempatkan di Minahasa.
1823: Kam mengunjungi pulau-pulau Maluku Selatan.
1824: “Rheinische Missionsgeselschaft” (RMG) didirikan di Jerman.
1825/1828: Sejumlah zendeling ditempatkan di pulau-pulau Maluku Selatan.
1827: Hellendoorn menjadi pejabat pendeta di Manado. Coolen mendirikan
desa Ngoro.
1831: PB terjemahan Bruckner selesai dicetak, dan disita pemerintah
Belanda.
1831: Riedel dan Schwarz menetap di Minahasa.
1833: Joseph Kam meninggal.
1834: Anggota-anggota kelompok Wiung bertemu dengan Coolen.
1835: Roskott membuka SPG di Batumerah, Ambon.
1836: Zendeling RMG yang pertama mendarat di Kalimantan.
1836-1850: Usaha PI Methodis (Amerika) di Kalimantan Barat.
1842: Missi RK di Indonesia diangkat menjadi Vikariat Apostolik.
1842: Daerah Ambon dan sekitarnya ditutup untuk kegiatan PI.
93
1843: Sejumlah orang Jawa dibaptis di GPI Surabaya.
18475: Mojowarno didirikan.
1846: PB bahasa Dayak Ngaju terjemahan Hardeland selesai dicetak (di
Afrika Selatan).
1847: Doopgezinde Zending Vereniging (DZV) atau lembaga PI Mennonit di
Nederland didirikan. Kedudukan Katolik Roma di Hindia Belanda diatur dalam
perjanjian antara pemerintah Belanda dengan Paus. Adrianus Angkuw diangkat
menjadi “penolong” yang pertama. NZG mengajak para pengerjanya untuk
menggunakan unsur-unsur pribumi dalam tata ibadah.
1848: Heldring mulai mengutus penginjil-penginjil tukang.
1850: Pemerintah membatasi kegiatan para zendeling/pendeta bantu di
Maluku.
1851-1864: NZG melakukan usaha PI di Sulawesi Selatan.
1851: Jellesma menetap di Mojowarno Jawa Timur.
1852: P. Jansz (DZV) menetap di Jepara (Jawa Tengah).
1855: Tungggul Wulung di baptis, dua orang penginjil tukang didikan
Gosner dan Heldring mulai bekerja di Papua
1858: Alkitab bahasa Dayak Ngaju terjemahan Hardeland selesai dicetak
1858: Nederland Zending Vereeniging (NZV) memisahkan diri dari NZG
1859: Perang Hidayat. Pekerjaan zending di Kalimantan Selatan dihentikan
sampai tahun 1866. Utrechtse Zending Vereeniging (UZV) memisahkan diri
dari NZG
1860: Pembaptisan pertama di Poerworejo (Ny. Philips)
1861: Nederlands Gerevormeerde Zendings Vereeniging (NGZV)
memisahkan diri dari NZG. NZV mulai bekerja di Jawaa Barat dan NGZV mulai
bekerja di Jawa Tengah.
1863: NZV mendapat ijin bekerja di Cirebon
1863: UZV mulai bekerja di Papua
1864: Sekolah Roskott di Batu Merah di Ambon ditutup. NZG memutuskan
kerjasama dengan pemerintah (GPI) di Maluku dan mengundurkna diri dari
daerah itu.
1866: UZV mulai bekerja di Bali dan Halmahera. RMG kembali ke Kuala
Kapuas.
1867: Kiai Sadrakh dibaptiss di Batavia. Gereja RK memulia misi Minahasa.
Sentral Komite Depok berdiri. Salatiga zending mulai bekerja di Jawa Tengah
1875: Minahasa di serahkan NZG kepada GPI
1878: Seminari Depok dibuka. UZV meninggalkan Bali.
1879: Alkitab dalam terjemahan Klinkerd terbit.
1880: Koprensi para zendeling yang pertama di Depok
1881: NGZV memulai pekerjaan di Sumba. GPI menciptakan jabatan
pendeta pribumi
1882: Desa Kristen Cideres didirikan
1884: Neukirchener Mission mulai bekerja di Jawa Tengah Utara
1885: NZV mengambil alih jemaat-jemaat Anting; STOVIL Ambon didirikan.
Tunggul Wulung meninggal.
1886: Utusan UZV tiba di Buru. STOVIL Tomohon didirikan.
94
1887/1891: Panitia Sangir Talaud (VTC) dibentuk.
1891: NGZV menolak Kiai Sadrakh.
1892: A.C Kruyt Mulai bekerja di Poso. RS di Mojowarno dibuka.
1894: Bala Keselamatan mulai bekerja di Indonesia
1895: UZV memulai karya PI di Sulsel
1898: Gerakan kebangunan di Tobelo. Sadrakh diangkat menjadi Rasul
Jawa
1900: GPI memperluas pekerjaannya di Maluku Selatan. Gereja Advent
mulai bekerja di Indonesia
1902: Stovil Timor didirikan.
1903: NZG mulai bekerja di Bolang Mongondow.
1905: Zending Metodis mulai bekerja di Jawa Barat. UZV menghentikan PI
Sulsel. Pemerintah Belanda menegakkan kekuasaannya di sejumlah daerah di
luar Jawa (Sulawesi Tengah, Sumba dan lain-lain).
1906: Gerakan Pentakosta dimulai. Sekolah guru Injil di Jogja, Konsulat
Zending di Jakarta (sampai 1953)
1907: Gerakan kebangunan di Irian (Papua)
1908: Mazmur dan nyanyian rohani gubahan Schroeder terbit
1909: Pembaptisan pertama di Poso.(Papa I Woente).
1910: RS Imanuel di bandung dibuka
1911: Pendeta Kitjftenbelt ke Makasar. GPI mulai bekerja di Sulawesi
Tengah.
1912: Kelling membaptis sejumlah orang Toraja
1913-1917: Zending diberi mopoli sekolah desa di sejumlah daerah
1915: NZV mulai bekerja di Sulawesi Tenggara. Pembaptisan I di Rantepao.
1916: Sidang Am pertama GPI. GPI mulai membuka pedalaman Timor
1917: Penahbisan pendeta Sunda yang pertama
1919: Gerakan Pentekosta (J. Barnhard) masuk ke Indonesia. HIK Kristen
di Solo dibuka.
1920/5: RMG menyerahkan Kalimantan Selatan kepada Basler Mission.
1922: Jemaat-jemaat zending Metodis berdiri sendiri. H. Kraemer datang ke
Indonesia
1923: Jemaat Mojowarno dinyatakan berdiri sendiri, pendeta Jawa pertama
di Jawa Timur ditahbiskan. Gereja Pentakosta di Indonesia berdiri.
1924: Kiai Sadrakh meninggal
1925: Jemaat margareza berdiri sendiri.
1926: Bale Wiyata di Malang didirikan. Seminari Depok ditutup. Pendeta
Jawa pertama di tahbiskan di Jawa Tengah. Kristen Studentent Vereeniging
(CSV) didirikan.
1928: Zending Methodist menarik diri dari Jawa dan Kalimantar Barat.
1929: J.A. Jefry (CAMA) menetap di Makasar.
1931: GKJ berdiri. CAMA mulai bekerja di Kalimantan Timur
1932: GKJW menerima tugas PI di Bali
1933: Sidang Am GPI dan gereja Gereevormed memulai PI di Sulawesi
Selatan. Beberapa orang Bali dibaptis di Mojowarno.
95
1934: GMIM, GKP dan GKI Jatim berdiri. HTS didirikan di Bogor dan 1936
dipindahkan ke Jakarta
1935: Pemisahan Administratif GPI dari negara. GPM dan GDE (1954 GKE)
berdiri. Pendeta Dayak yang pertama ditahbiskan.
1936: Sinode Am pertama GPI. GPM menerima tugas PI di Papua Selatan.
DMIM di Gorontalo dan Donggala. GKI Jateng berdiri.
1938: GKI Jabar berdiri. Cama memulai PI di pedalaman Irian.
1939: Jemaat-jemaat sending di Sumba retak.
1940: GMI BM, GITJ (Patunggilan) bediri.
1941: Pendeta Toraja yqang pertama ditahbiskan (Tator).
1942: Pendeta Sumba yang pertama ditahbiskan.
1946: Pendeta pertama ditahbiskan di Halmahera dan Papua
947: GKS, GMIST, GTR, GKST, GMIT berdiri.
1948: Pembentukan GPIB. GTM dan GKBP berdiri.
1949 (6 Juni): GMIH berdiri.
1950: DGI berdiri. Pemisahan GPI dari negara secara keuangan
1954:: LAI didirikan.
1956: GKI Papua berdiri.
1957: Gepsultra berdiri
1961: Paus Johanes XXIII mendirikan Hierarki di Indonesia. A. Jaya
Seputra dan A. Sugiapranata Uskup pertama bangsa Indonesia.
1963: KINGMI dibentuk.
1965-1969: Gerakan kebangunan di Timor.
1966: GKSS berdiri.
1979: Dewan Pentakosta di Indonesia didirikan. GKBP menerima
pengakuan iman.
1980: Aliansi Baptis didirikan. GTR menerima pengakuan iman.
1983: KINGMI menjadi GKII.
1984: Pemebentukan PGI.
96