Anda di halaman 1dari 96

KATA PENGANTAR

Dalam upaya menanggulangi kekurangan bahan bacaan teologi di bidang


Sejarah Gereja, khususnya dalam mata kuliah Sejarah Gereja di Indonesia dan
untuk membantu para mahasiswa teologi mengikuti mata kuliah tersebut maka
sebagai Dosen Sejarah Gereja dan pengampu Mata Kuliah ini, saya berusaha
untuk menyusun diktat ini. Di Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP
Pematangsiantar, mata kulliah Sejarah Gereja di Indonesia adalah salah satu mata
kuliah keahlian teologi, yang wajib diselesaikan oleh setiap mahasiswa dalam
memperoleh gelar Sarjana Theologi. Mata kuliah Sejarah Gereja di Indonesia
bertujuan untuk membantu mahasiswa agar dapat memahami sejarah gereja-
gereja di Indonesia (di luar Sumatera Utara dan di tanah Batak) secara garis
besarnya, mulai dari awal sejarahnya abad 16 sampai dengan abad 20 ini. Diktat
ini kami susun sesuai dengan kurikulum dan silabus mata kuliah Sejarah Gereja di
Indonesia yang berlaku di STT-HKBP Pematangsiantar. Diktat ini sangat
didasarkan atas beberapa buku yang dipakai sebagai sumber kepustakaan. Isi dari
diktat ini diharapkan dapat menolong para mahasiswa memahami seluk-beluk
sejarah gereja di Indonesia itu sendiri.
Disadari bahwa isi dari diktat ini masih jauh dari sempurna, dan di sana-sini
masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan saran-saran serta
kritik yang membangun dari para pembaca demi menyajikan yang terbaik dan
untuk penyempurnaannya tentunya. Dan semoga diktat ini bisa dipergunakan
dengan sebaik-baiknya dan berguna untuk menambah pengetahuan mahasiwa.

Pematangsiantar, Januari 2009


Dosen:

Pdt. Sikpan Sihombing, MTh

1
Sylabus Mata Kuliah Ini:

I. Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Mata Kuliah ini mengarahkan mahasiswa mempelajari dan mampu memahami
serta mengetahui tentang sejarah masuk dan pertumbuhan gereja
(kekeristenan) di Indonesia secara garis besar. Pembahasan ini meliputi
latarbelakang kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan serta metode
pendekatan misi ke masyarakat (suku-suku) Indonesia secara umum, demikian
terhadap masalah-masalah yang dihadapi gereja dalam hubungannya dengan
masyakarakat asli dan penguasa/pemerintah di Indonesia mulai dari awal
sejarahnya abad 16 hingga abad 21 ini.

II. Tujuan Intstruksional Khusus (TIK)


Sebagaimana tujuan intruksional umum di atas, focus pembahasan kuliah ini
diarahkan ke pembahasan:
a. Gambaran umum tentang Indonesia secara wilayah, sosial masyarakat
dan politik hingga sebelum masuknya kekristenan di Indonesia.
b. Masuknya kekristenan di Indonesia pertama sekali, pertumbuhan dan
perkembangan gereja-gereja itu kemudian hingga abad 21.Pembahasan ini
tentunya menyangkut latarbelakang, metode misi proses kelahiran,
pertumbuhan dan perkembangan, berbagai masalah dan tantangan yang
dihadapi, perjumpaan gereja dan kekristenan di Indonesia dengan pemeluk
agama (mengingat sebagai bangsa, negara Indonesia adalah negara yang
sangat pluralis) seperti Islam, Budha dan Hindu juga penganut aliran
kepercayaan (agama-agama suku) lainnya.

III. Materi/Pokok Pembahasan Mata Kuliah ini.


a. Pertemuan I
Penjelasan tentang Sylabus mata kuliah Sejarah Gereja Indonesia serta
beberapa informasi (petunjuk-petunjuk dosen) mengikuti proses kuliah ini
hingga ujian semester termasuk petunjuk mengenai system penilaian
(evaluasi) terhadap mata kuliah ini.

b. Pertemuan II
Pada pertemuan ini akan dibicarakan (didiskusikan) mengenai agama dan
masyarakat Indonesia asli (gambaran umum tentang Indonesia secara
wilayah, sosial masyarakat dan politik hingga sebelum masuknya
kekristenan di Indonesia), masuknya agama-agama dari luar ke Indonesia.
Pertemuan ini juga akan memperkenalkan mengenai periodisasi sejarah
gereja Indonesia. Hal ini penting sebab gereja-gereja di Indonesia lahir
adalah dari hasil pekerjaan lembaga misi yang sangat beragam, dan dapat
dikatakan bahwa misi sedikit banyak ada berhubungan dengan sejarah
kolonialisme di Indonesia misalnya: zaman Portugis dan zaman VOC
(Belanda).

2
c. Pertemuan III – VII
Pada pertemuan pertemuan ini (5 x pertemuan), akan difokuskan
pembahasan/diskusi pada tema mengenai sejarah lahir dan
berkembangnya Gereja Protestan di Indonesia (GPI), beberapa lembaga
misi Protestan yang bekerja di Indonesia (misalnya lahirnya gereja
Protestan pertama di Indonesia: Indische Kerk) serta denominasi yang
dihasilkannya sesuai dengan daerah kerjanya. Fokus pembahasan pada
topik ini, pengembangan materi diskusi menyangkut pada lahir dan
berkembang gereja-gereja:
- Maluku dan Irian Barat. Demikian dengan di Sulawesi (Gereja Masehi
Injili Minahasa: GMIM; Gereja Masehi Injili Sangir dan Talaud: GMIST;
Gereja Masehi Injili Bolang Mongondow: GMIBM; Gereja Kristen
Sulawesi Tengah: GKST; Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao;
Gereja Toraja Mamasa; Gereja Protestan Sulawesi Tenggara:
Gepsultara; Gereja Kristen Sulawesi Selatan: GKSS).
- Nusa Tenggara dan Bali (Gereja Masehi Injili di Timor: GMIT, Gereja
Kristen Sumba: GKS, Gereja Kristen Protestan Bali: GKPB)
- Kalimantan seperti: Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Gereja Metodis
di Kalimantan, Beberapa badan zending yang lain yang pernah bekerja
di Kalimantan.
- Jawa Timur dan Jawa Tengah, pandangan umum mengenai penginjilan di
Jawa, gereja Kristen di Jawa Timur dan gereja Kristen di Jawa Tengah.

d. Pertemuan VIII: Ujian MID Semester dan Pengumpulan Tugas MID


(Bobot Nilai: 30/100 x hasil ujian MID)
Contoh: 30/100 x 80 = 24

e. Pertemuan IX-XV
Pertemuan-pertemuan ini (7 pertemuan) membahas topik tentang gereja-
gereja di Jawa Barat dan di Jakarta.
Fokus pembahasan diarahkan pada: lahir, tumbuh dan berkembangnya
gereja-gereja dari rumpun Evanggelical serta kharismatik di Indonesia
seperti Pentakosta, gereja-gereja dari rumpun Kemah Injil, gereja-gereja
dari rumpun Baptis, Bala Keselamatan (Salvation Army), Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh (Seventh Days Adventists), Gereja Roma Katolik, serta
Pergumulan kekristenan di Indonesia.
Pada bagian pertemuan akhir pertemuan kuliah ini, diskusi akan diarahkan
pada semacam evaluasi tentang sifat dan karakter kekristenan di Indonesia,
seperti: motivasi menjadi Kristen, hidup persekutuan jemaat Kristen,
perjumpaan gereja dengan budaya, masalah lahirnya gereja-gereja suku
dan gereja-gereja daerah, serta masalah hubungan gereja dan negara di
Indonesia.

f. Pertemuan XVI/XVII : Ujian Semester


3
(Bobot Nilai: 50/100 x hasil ujian Semester)
Contoh: 50/100 x 85 = 42.5

IV. Tugas-Tugas
Sesuai dengan perkembangan tema dalam diskusi di kelas dan untuk
menyempurnakan evaluasi dosen pengampu mata kuliah ini kepada
kemampuan mahasiswa mengikuti perkuliahan, maka untuk pemberian nilai
akhir kepada mahasiswa di samping hasil ujian MID Semester dan ujian akhir
Semester, kepada mahasiswa masih diberikan tugas-tugas sebanyak
minimal tiga pokok tema. Waktu pemberian tema, pengerjaan hingga
pengumpulan tugas-tugas akan ditentukan dan diinformasikan kemudian
kepada mahasiswa.
(Bobot Nilai : 20/100 x hasil rekapitulasi tugas)
Tugas I (75) ; tugas II (65) ; Tugas III (80)
75 + 65 + 80 = 220 (220 : 3 = 73)
Contoh: 20/100 x 73 = 14.6
Nilai akhir semester
30% hasil ujian MID = 24
50% hasil ujian Semt = 42.5
20% hasil tugas = 14.6
Total : (81.1) Kategori (A)
V. Buku-Buku Pegangan:
- Aritonang Jan S, Berbagai Aliran Dalam Gereja (BPK-GM: Jakarta, 2004)
- Krueger, M. Th., Sejarah Gereja di Indonesia (BPK-Jakarta: 1966)
- En, Van Den. Th., Ragi Carita: Volume 1….dst (BPK-Jakarta: 1978)
- Abineno, J.L. Ch., Sejarah Apostolat di Indonesia: Volume 1, II/1, II/2 (BPK-
GM: Jakarta)
- Benih Yang Bertumbuh (Jilid I-XII): Hasil Survey Mengenai Gereja-Gereja di
Indonesia
- Sejarah Gereja Katolik di Indonesia (Jilid 1, 2, 3A-B, 4)
- Cooley. J.L. Ch/Ukur. F, Jerih Dan Juang (Jakarta, 1979)
- Kruyt, A.C., Keluar Dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen (BPK-GM:
Jakarta, 1976)
- Halle, Leonhard., Jujur Terhadap Pietisme (BPK-GM: Jakarta, 1993)
- Enklaar. L.H., Joseph Kham Rasul Orang Maluku (BPK-GM: Jakarta, 1980)
Daftar Kepustakaan
- F.L. Cooley/F. Ukur, Jerih dan Juang, Jakarta, 1979.
- F. Ukur, “Pengkajian Kembali Sejarah Gereja di Indonesia”, dalam
THEODORON, Buku Kenangan Menghormati Usia 75 Tahun Prof. Dr.
Theodor Mueller Krueger, Jakarta: BPK, 1979, Hal. 39-94.
- I.H. Enklaar, Joseph Kam, Rasul Maluku, Jakarta: BPK, 1980.
- F.L. Cooley, The Growing Seed, The Christian Church in Indonesia,
Jakarta: BPK, 1982.
- Chris Hartono, dkk. (ed.), Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan
Dunianya yang Sedang Berubah, Hasil Studi Institut Gereja 5-15 Juli 1993
di Kaliurang Yogyakarta, Jakarta: Persetia, 1995.

4
SEJARAH GEREJA DI INDONESIA

Pendahuluan
1. Deskripsi Mengenai: Agama dan masyarakat Indonesia asli. Sebelum
datangnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen ke
bumi Indonesia, masyarakat Indonesia asli adalah penganut agama suku
(agama primitif). Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai agamanya
yang tersendiri dan satu sama lain sangat berlainan menurut corak dan bentuk
serta karakter masing-masing (lain agama suku Batak, lain agama suku Jawa,
suku Dayak, Irian, dll). Walau berlainan satu sama lain, ada kesamaan corak
secara umum, kesamaan ini nantinya akan banyak memberi pengaruh
terhadap sejarah kekristenan di Indonesia, misalnya soal:
a. Agama-agama suku itu menganut paham animisme, yakni: kepercayaan
tentang adanya roh-roh atau kekuatan-kekuatan yang menguasai alam ini.
Setiap benda, baik itu pohon, binatang-binatang, tempat-tempat, diyakini
didiami oleh roh-roh tertentu.
b. Agama-agama suku itu mempunyai aturan hidup atau adat yang mengatur
segala aspek kehidupan, rohani dan jasmani. Adat itu tidaklah merupakan
aturan yang lepas dari agama dan menurut kepercayaan suku-suku itu, adat
tersebut diturunkan oleh dewa-dewa melalui nenek moyang suku-suku atau
marga-marga itu. Karena itu wibawa nenek moyang sangat dihormati
bahkan juga disembah bagaikan suatu dewa.
c. Apabila adat itu diikuti secara sempurna, dipercayai akan membawa
selamat atau berkat bagi masyarakat suku itu, tetapi sebaliknya apabila
dilanggar akan membawa kutuk atau malapetaka.

Secara umum semua suku di Indonesia mempunyai masyarakat yang kolektif.


Ini berarti tidak ada tempat bagi perorangan untuk mengambil jalan sendiri.
Dalam segala aspek kehidupannya, mereka dipimpin oleh kepala-kepala suku
yang mana mereka biasanya adalah para “datu” atau orang-orang yang
mempunyai kesaktian khusus, sehingga wibawa mereka sangat besar dan
kata-katanya dituruti oleh seluruh masyarakat suku itu. Susunan masyarakat itu
dapat dijelaskan dengan menggunakan pohon. Pohon itu keseluruhannnya
adalah masyaraakat suku itu. Pohon itu mempunyai batang, dahan, cabang,
ranting yang menggambarkan bagian-bagian atau cabang-cabang dari suku itu
yang tidak terlepas satu sama lain.

5
(Agama-agama dari luar yang datang ke Indonesia) Mulai dari abad
pertama Masehi sampai abad dua puluh ini telah ada beberapa agama dari luar
yang masuk ke Indonesia, yakni agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen.
Mengenai agama-agama ini dapat dikatakan bahwa:

a. Agama Hindu dan agama Budha telah masuk ke Indonesia sejak abad
pertama Masehi yakni melalui pedagang-pedagang yang datang dari India.
Pada waktu itu Indonesia memang telah ramai dikunjungi oleh pedagang-
pedagang dari berbagai negara di dunia, antara lain dari Tiongkok, India,
Persia dan Mesir. Dari India banyak pedagang-pedagang yang datang ke
Indonesia untuk membeli rempah-rempah dari saudagar-saudagar yang
berasal dari Jawa dan Sumatera. Kemudian dari antara pedagang-
pedagang India itu ada juga yang berhasil tinggal di Indonesia. Di Indonesia
mereka berusaha untuk mengembangkan pengaruh mereka yakni dengan
menyebarkan agama dan budaya mereka, dan juga dengan mendirikan
beberapa kerajaan yang besar seperti kerajaan Sriwijaya yang menganut
agama Budha di Sumatera Selatan dan kerajaan Mojopahit yang menganut
agama Hindu di Jawa. Kehadiran agama Hindu dan agama Budha itu
memang tidak menghalau begitu saja agama-agama suku yang sudah ada.
Malah di beberapa tempat seperti di Tapanuli (Tanah Batak), pengaruh
Hindu itu telah memperkaya agama dan budaya suku setempat yakni suku
Batak. Bagi masyarakat dan kepercayaan suku Batak, pengaruh
kebudayaan dan agama Hindu dan Budha sangat nyata sekali. Hal ini telah
diteliti oleh H. Parkin yang dituangkan dalam sebuah disertasi mengambil
Doktor Teologi yang berjudul “Batak Fruit of Hindu Thought” (Buah Batak
dari pemikiran Hindu), yang telah diterbitkan di Madras, India, tahun 1978.
Begitu besarnya pengaruh agama Hindu dan Budha atas masyarakat
Indonesia nampak dari sejumlah peninggalan-peninggalan mereka di
Indonesia, antara lain berupa candi-candi dan kuil-kuil, seperti Candi
Mendut dan Candi Borobudur. Sampai sekarang penganut agama Hindu
dan agama Budha masih banyak dijumpai di Indonesia, seperti di Jawa dan
Bali, dan bahkan kedua agama itu sudah merupakan agama yang diakui
secara resmi di Indonesia.

b. Agama Islam masuk di Indonesia sejakabad ke-13, yang juga melalui jalur
perdagangan. Pedagang-pedagang Gujarat dari India Barat, yang datang
berdagang ke Indonesia menyebarkan agama itu di Indonesia. Para
pedagang-pedagang Gujarat yang membawa agama Islam itu sebelumnya
mengenal agama itu melalui para pedagang yang datang ke negeri mereka
dari Arabia, dari Mesir dan Persia, sejak abad 9. Di Indonesia, daerah yang
pertama dimasuki oleh agama Islam itu ialah Aceh, yang karena itu negeri
tersebut masih digelari “serambi Mekkah”. Kemudian setelah dari Aceh,
agama Islam itu menyebar lagi ke daerah-daerah Indonesia yang lain. Cara
penyiaran agama Islam itu ialah dengan memasuki kota-kota pelabuhan
dan mengikuti jalur-jalur perdagangan. Kemudian di tempat-tempat yang
telah dimasuki, penyebar-penyebar agama Islam itu berusaha menjalin
hubungan dengan raja-raja, sultan-sultan atau penguasa-penguasa
setempat yakni dengan mengawini putri-putri raja-raja tersebut atau
6
sebaliknya. Dengan demikian pengaruh raja-raja setempat tersebut bisa
dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang Islam tersebut dalam usaha
penyebaran agama itu. Melalui raja-raja atau sultan-sultan itu maka
berdirilah kerajaan-kerajaan Islam yang berpusat di kota-kota pelabuhan
atau di pusat-pusat perdagangan, baik di Sumatera, Jawa sampai ke
Maluku. Dari antara pemimpin-pemimpin agama Islam yang kita kenal dari
sejarah Indonesia, antara lain Maulana Malik Ibrahim dan Falatehan.

c. Agama Kristen yang kita kenal sekarang ini masuk ke Indonesis melalui
orang-orang Eropa (Barat) mulai pada abad 16 yang lalu. Tetapi dalam
penelitian sejarah belakangan ini, telah ditemukan suatu bukti yang
memberi petunjuk bahwa sekitar pertengahan abad ke tujuh (kira-kira tahun
645 M) yang lalu kekristenan telah pernah masuk di Indonesia yakni di
daerah Barus, Tapanuli Tengah. Hal ini diketahui dari sebuah dokumen
sejarah kuno di Mesir yang melaporkan bahwa di sebuah tempat bernama
Pancur (dekat Barus) telah pernah berdiri beberapa biara Kristen.
Kekristenan yang dijumpai di Barus itu dibawa oleh pedagang-pedagang
Kristen Nestorian dari Mesopotamia atau Persia. Pada waktu itu Barus
sudah merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh
pedagang-pedagang dari banyak negara dan bahkan menjadi sebuah kota
perdagangan yang laris, karena daerah sekitar Barus itu banyak
menghasilkan kapur Barus yang pada waktu itu merupakan bahan
perdagangan yang sangat laris, terutama ke Mesopotamia dan Mesir. Tetapi
tidak diketahui dengan jelas sampai kapan kekristenan di sana bisa
berlangsung. Dan kekristenan yang pernah ada di sana itu tidak
berkesinambungan, karena tidak ada orang-orang Kristen di Indonesia
sekarang yang berasal dari kalangan Kristen Nestorian tersebut. Rupanya
kekristenan yang di Barus itu sempat menjadi hilang lenyap, setelah
pedagang-pedagang Nestorian itu meninggalkan tempat tersebut.

Kemudian kekristenan masuk ke Indonesia pada abad 16, ini sangat


dimotori oleh datangnya orang-orang Portugis dari Eropa (mulai datang ke
Indonesia tahun 1522). Ada tiga faktor yang mendorong kedatangan orang-
orang Portugis ke Indonesia dan daerah-daerah Asia lainnya.

Faktor pertama ialah alasan ekonomi. Mereka mau mencari keuntungan


yang besar dengan berusaha menguasai perdagangan sampai ke
Indonesia, di mana diperoleh banyak rempah-rempah sebagai bahan
perdagangan yang sangat laris di Eropa pada waktu itu.
Faktor kedua ialah alasan politis. Mereka mau melumpuhkan kekuatan
Turki (yang sudah beragama Islam), yang sebelumnya telah menguasai
perdagangan antara Asia dan Eropa. Pada waktu itu dengan mengandalkan
kekuatan ekonominya, bangsa Turki telah mencoba memperluas pengaruh
dan kekuasaannya sampai ke Eropa.
Faktor ketiga ialah alasan agama. Sebagai penganut Kristen Roma Katolik
(RK), mereaka merasa bertanggungjawab untuk menyiarkan agama Kristen
itu di negeri-negeri yang baru mereka temukan di luar Eropa.

7
Adanya penemuan-penemuan daerah-daerah baru ini oleh orang-orang
Portugis sangat menyenangkan bagi pimpinan gereja RK di Roma,
sehingga Paus segera mendorong orang-orang Portugis menyebarkan
agama Kristen itu di daerah-daerah yang baru ditemukan tersebut. Sebagai
rangsangan untuk usaha ini, Paus memberi hak: “padroado” kepada raja
Portugis. Hak yang sama juga diberikan kepada raja Spanyol yang
menemukan Filipina dan Amerika Selatan. Padroado berarti raja sebagai
majikan atau pelindung gereja di wilayah yang dikuasainya. Itu berarti raja
diberi hak atau wewenang untuk mengurus gereja dan misi gereja di daerah
kekuasaannya itu, antara lain hak untuk mengangkat uskup, membangun
gereja dan biara-biara, dan mengurus keperluan ibadah dan belanja
pengurus gereja. Dan juga diberi hak untuk mengutus penginjil-penginjil ke
tengah-tengah bangsa-bangsa yang dijumpai di daerah baru itu. Bagi
pemikiran Eropa, pemberian hak seperti itu adalah lumrah, karena pada
waktu itu di Eropa berlaku suatu semboyan yang mengatakan: “Cuuius
Regio, Illius Religio”, yang artinya siapa punyai negeri dia juga punya
agama. Artinya siapa yang berkuasa di satu-satu daerah, maka agama dari
rajanya itulah yang harus dipeluk oleh rakyatnya. Missionaris RK yang
sangat terkenal di Indonesia dan seluruh Asia ialah Fransiscus Xaverius
yang menginjili di Asia dari tahun 1542 sampai kematiannya tahun 1552. Di
Indonesia (Maluku) dia bekerja dari tahun 1546-1547. Pada tahun 1622,
gereja RK telah menetapkan Xaverius sebagai salah seorang “santo” (orang
kudus).

d. Agama Kristen Protestan mula-mula masuk ke Indonesia oleh orang-


orang Belanda yang datang ke Indonesia mulai tahun 1596 di bawah
pimpinan Cornelius de Houtman. Alasan yang mendorong kedatangan
Belanda ke Indonesia yang paling menonjol ialah untuk berdagang. Mereka
ingin memonopoli perdagangan antara Asia dan Eropa. Dengan
kebijaksanaan pemerintah Belanda, pedagang-pedagang Belanda itu
dipersatukan dalam satu kompeni (serikat) yang bernama: “Verenigde
Oostindische Compagnie” (Persatuan Maskapei di India Timur) yang
disingkat dengan VOC, tahun 1602. VOC ini kemudian menjadi pemerintah
atau penguasa di Indonesia, karena kepadanya pemerintah Belanda
memberi hak dan kekuasaan untuk mengangkat militernya, membuat mata
uang, dan mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain,
dll. Dengan kekuasaan ini maka VOC bisa bertindak keras di Indonesia
demi memajukan usaha perdagangan mereka.

Sebagai pedagang, orang-orang Belanda tidak begitu mengutamakan


usaha penginjilan. Usaha penyebaran Injil kepada orang-orang pribumi
hanya dilakukan apabila usaha itu diperkirakan membawa keuntungan bagi
usaha dagangnya. Apabila ada suatu suku tertentu mau dikristenkan,
adalah dengan maksud supaya suku itu dapat dengan mudah dikuasai dan
bisa setia kepada penguasa Belanda. Untuk daerah-daerah yang sudah
Islam, VOC tidak mengusahakan pekabaran Injil, karena mereka takut akan
memperoleh perlawanan dari masyarakat Islam tersebut. Di wilayah-wilayah
yang sudah dikuasai oleh VOC gereja didirikan, semua pendetanya digaji
8
oleh VOC. Dan setelah VOC bubar tahun 1799, gereja-gereja yang didirikan
oleh VOC itu diambil-alih oleh pemerintah Belanda. Gereja-gereja yang
berada di tangan pemerintah Belanda ini disebut: Gereja Protestan di
Indonesia (Indische Kerk).

2. Periodisasi sejarah gereja Indonesia. Periodisasi berarti usaha membagi-


bagi masa sejarah gereja itu atas periode (batas-batas waktu) tertentu. Cara
pembagian periode itu ada bermacam-macam; ada yang membaginya dari segi
perkembangan atau perluasan gereja itu; ada yang membaginya dari segi
pertumbuhan organisasi atau kepemimpinan gereja itu sendiri. Dr. Th. Mueller
Krueger dalam bukunya: Sejarah Gereja di Indonesia, membuat periodisasi
sejarah gereja-gereja di Indonesia, bertolak dari segi: siapa yang datang
menyebarkan Injil itu. Dengan demikian dia membuat periodisasi Sejarah
Gereja di Indonesia, sbb:
1520-1605 : Zaman misi Katolik Roma (yang mengabarkan Injil itu: Katolik,
Portugis)
1605-1800 : Zaman zending VOC
1800-1940 : Zaman zending oleh lembaga-lembaga PI dari Eropa

Pembagian periode yang lain dibuat oleh peserta studi Institute Sejarah
Gereja tahun 1977 di Jakarta, berdasarkan perluasan dan perkembangan
gereja itu, demikian:
1522-1570 : Zaman perluasan pertama, berakhir dengan pembunuhan Sultan
Hairun di Ternate dan merosotnya kekuasaan Portugis di
Nusantara.
1570-1815 : Zaman stagnasi; ada sedikit perluasan pada masa pertama VOC,
tetapi tidak begitu berarti.
1815-1870 : Zaman mulainya didirikan pangkalan-pangkalan baru, tetapi belum
terjadi pengkristenan secara besar-besaran, kecuali di Minahasa.
1870-1950 : Zaman didirikannya gereaja-gereja suku.
1950-… : Zaman penyebaran Injil di pulau Jawa dan juga di daerah-daerah
lain. Pengkristenan penganut-penganut agama suku pada
dasarnya sudah berakhir.

Th. Van den End, dalam bukunya Ragi Carita 1, menggunakan periodisasi
yang berdasarkan beberapa segi sejarah gereja yang digabung, sehingga
dengan demikian dia membagi sejarah gereja di Indonesia atas dua zaman
besar, yakni:

I. 1522-1800: Pada periode ini negara (Portugis dan VOC) memainkan


peranan penting dalam perluasan dan pemerintahan gereja. Di pihak lain PI
diselenggarakan oleh suatu lembaga gereja dan membawa serta bentuk
ibadah dan ajaran yang berlaku dalam gereja itu. Pendekatan terhadap
agama dan kebudayaan yang mereka temukan di Indonesia bersifat negatif
semata-mata. Dan orang-orang Indonesia tidak ikut serta dalam
kepemimpinan gereja; organisasi gereja bersifat hierarkis dan dipimpin oleh
orang-orang Barat.

9
II. 1800-1940-an: Yang dibagi atas beberapa sub-periode yakni: 1800-1860-
an; 1860-1920-an; 1920-1940-an. Pembagian ini didasarkan atas faktor
perluasan, faktor pola berfikir para zendeling (missionar), faktor peranan
orang-orang Indonesia dalam kehidupan gerejani dan faktor perkembangan
di bidang politis. Faktor-faktor ini berlaku bagi sejarah gereja di Indonesia
dilihat sebagai satu kesatuan.

GEREJA DI INDONESIA ZAMAN PORTUGIS SEBELUM VOC

1. Berhubung dengan keadaan gereja-gereja di Indonesia zaman Portugis


(sebelum zaman Belanda melalui VOC), ada beberapa hal dapat dikatakan
dalam hal ini (VOC), yakni:

A
Di daerah Maluku

Seperti sudah disinggung dalam uraian pendahuluan di atas bahwa sebelum


adanya VOC di Indonesia, orang-orang Portugis telah berhasil memasuki
Indonesia terutama di daerah Maluku, yakni dengan mendirikan benteng
Portugis di Ternate tahun 1522. Sebelumnya, tahun 1511, orang-orang Portugis
juga telah berhasil membuat Malaka di Malaysia sekarang sebagai benteng
pertahanan mereka, yang sekaligus sebagai pusat ekonomi, politik dan juga
gerejani. Sedangkan di India yang menjadi benteng pertahanan Portugis
adalah di Goa, India Barat. Dengan berdirinya Ternate sebagai salah satu
benteng Portugis, maka pada waktu itu telah ada tiga pusat kekuasaan
Portugis di Asia yakni di Goa, Malaka dan Ternate. Ternate adalah menjadi
pusat kekuasaan dan missi Portugis di Indonesia bagian Timur. Dari Ternate
inilah dilakukan usaha penyebaran Injil, yakni kepercayaan Katolik ke berbagai
tempat di sekitar daerah Maluku, antara lain ke Ambon, Halmahera dan
Morotai. Namun imam-imam Katolik yang bekerja di daerah itu tidak
memandang usaha penyiaran agama Kristen kepada penduduk asli sebagai
tugas utama, tetapi hanya merupakan tugas sampingan, karena tugas
utamanya adalah untuk melayani kerohanian orang-orang Portugis yang
bekerja di sana. Penyebaran agama Katolik itu dilakukan juga dalam rangka
memudahkan penguasan penduduk setempat. Dan banyak penduduk setempat
yang ingin masuk menjadi Kristen bukan karena mereka sudah percaya kepada
Injil itu, tetatpi hanya untuk meminta perlindungan kepada orang-orang
Portugis, karena sebelumnya penduduk setempat sering mengalami tekanan-
tekanan dan serbuan-serbuan dari Kesultanan Ternate yang sudah beragama
Islam. Seperti halnya yang terjadi bagi penduduk Mamuya, suatutempat di
sekitar Ternate itu. Mereka datang kepada orang-orang Portugis dalam
menghadapi tetangga-tetangga yang menyusahkan mereka. Orang-orang
Mamuya inilah yang pertama dibaptis menjadi Kristen di sana, yakni tahun
10
1534, setelah diberi sedikit pengajaran agama Kristen kepada mereka. Pada
mulanya orang-orang Kristen ini masih berada di bawah keuskupan Goa di
India, tetapi setelah Malaka ditetapkan menjadi satu keuskupan tahun 1558,
maka gereja Katolik yang ada di Maluku itu ditetapkan berada di bawah
keuskupan Malaka. Dari sinilah dikirim beberapa orang imam Katolik untuk
melayani orang-orang Kristen yang baru itu dan juga untuk menjalankan misi
ke daerah lain. Namun pembinaan terhadap orang-orang Kristen yang baru itu
belum bisa dilakukan secara intensif. Demikian juga misi itu belum dilakukan
secara terarah dan sungguh-sungguh. Karena pembinaan yang tidak ada,
maka orang-orang Kristen yang baru dibaptis itu masih tetap mengikuti cara-
cara kehidupan mereka yang lama yang masih kafir. Arti hidup sebagai orang-
orang Kristen belum bisa dimengerti dan dihayati. Tetapi sejak tahun 1540an,
pekerjaan misi Katolik di Maluku mengalami perubahan. Pekerjaan misi itu
mulailah dilakukan lebih terarah dan intensif. Pada waktu itu mulailah
berdatangan penginjil-penginjil yang mempunyai semangat penginjilan yang
besar dari Eropa. Munculnya penginjil-penginjil yang bersemangat itu didorong
oleh semangat kontra-reformasi yang teradi dari pihak gereja RK terhadap
golongan Protestan, terutama setelah berdirinya “Serikat Yesus” sebagai salah
satu perwujudan dari kontra-reformasi itu. serikat Yesuit itu telah melatih dan
mempersiapkan sejumlah penginjil-penginjil RK yang sangat bersemangat.
Penginjil-penginjil Yesuit itu menjalankan metode-metode penginjilan yang
baru, yang berbeda dari imam-imam yang ditugaskan oleh pemerintah
Portugis. Metode-metode penginjilan yang dilakukan oleh penginjil-penginjil
Yesuit itu antara lain:
 Orang-orang yang mau menjadi Kristen dari penduduk setempat tidak
lagi asal dibaptiskan begitu saja. Penginjil-penginjil Yesuit itu tidak mau lagi
membaptiskan orang begitu saja, apabila baptisan itu tidak bisa dilanjutkan
dengan pembinaan yang memadai.
 Mengusahakan pendidikan agama yang lebih mendalam kepada orang-
orang yang sudah dibaptis. Untuk ini beberapa orang-orang Kristen
setempat dipersiapkan untuk bisa membantu para missionar itu sebagai
pengajar.
 Baptisan massal yang dilakukan sebelumnya, masih terus
dipertahankan, tetapi dengan ketentuan orang-orang yang sudah dibaptis
tidak dibiarkan lagi begitu saja, melainkan terus diusahakan untuk
memperoleh pembinaan dari mereka. Tetapi untuk menjalankan baptisan
masal itu penginjil-penginjil Yesuit tersebut masih tetap meminta bantuan
dan perlindungan dari penguasa Portugis.

Seorang penginjil Yesuit yang pertama dan juga terkemuka di Maluku ialah
Fransiscus Xaverius. Dia lahir tahun 1506 dari keluarga bangsawan di Spanyol.
Tahun 1542 dia diutus mengabarkan injil ke Asia. Dalam penginjilannya di Asia,
dia mula-mula bekerja di Goa, India Barat, membina jemaat-jemaat terlantar
yang didirikan orang-orang Portugis di sana. Kemudian tahun 1546-1547 dia
bekerja di Maluku, setelah lebih dulu belajar sedikit bahasa Melayu di Malaka.
Setelah dari Maluku, dia berangkat ke Jepang dan dia meninggal dalam
perjalanan menuju Tiongkok tahun 1552.

11
Beberapa Usaha Misi Fransiscus Xaverius di Maluku yakni:
Walaupun dalam usaha yang relatif singkat bekerja di Maluku, namun hasil
pekerjaan Xaverius di sana telah cukup banyak, a.l.:
 Setiap hari selama 2x1 jam dia menyelenggarakan pembinaan agama
Kristen bagi orang-orang-orang yang sudah dibaptis menjadi Kristen, anak-
anak dan orang dewasa. Pokok pengajarannya terutama dipusatkan
kepada: Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, Salama Maria,
Kesepuluh Perintah Allah, dll.
 Pada malam hari dia pergi keliling kota dari rumah ke rumah mengajak
setiap orang untuk berdoa.
 Menulis sebuah buku Katekhismus dalam bahasa Portugis dan bahasa
Melayu. Buku ini dipakai untuk menjadi bahan pengajaran agama Kristen itu
sendiri.
 Mengunjungi orang-orang sakit di rumahnya.
 Mengusahakan hubungan yang akrab dengan orang Islam.
 Berusaha mengabarkan Injil kepada orang-orang yang masih menganut
agama nenek moyang.

Dengan usaha yang dilakukan pengnjil Yesuit seperti Xaverius, usaha pekabar
Injil Katolik itu dapat dengan cepat mengalami perkembangan baik ke Maluku
Utara, maupun ke Maluku Selatan. Maluku dijadikan oleh Serikat Yesuit
tersebut sebagai daerah kerja mereka. Dan ke sana tenaga-tenaga penginjil
Yesuit semakin banyak dikirimkan. Tetapi selama abad 16, gereja Kristen di
Maluku banyak menderita terutama karena pergolakan politis yang terus
menerus di sana.

Salah satu rintangan berat yang dihadapi Gereja pada waktu itu ialah dari pihak
penguasa setempat, terutama dari Sultan Hairun di Ternate, yang berkuasa dari
tahun 1535-1570. Sultan Hairun ini ingin mendirikan suatu kerajaan besar yang
meliputi seluruh Maluku dan daerah sekitarnya. Dalam usaha mewujudkan
rencananya itu, kehadiran orang-orang Portugis di sana dilihat sebagai
rintangan. Karena itu Sultan Hairun selalu berusaha untuk menghempang
pengaruh orang-orang Portugis dan sekaligus menghambat masyarakat
setempat untuk masuk menjadi Kristen. Tetapi karena di antara penguasa-
penguasa setempat yang beragama Islam itu juga tidak ada kesatuan, di mana
mereka juga saling berebut kuasa, maka jemaat Kristen bisa bertahan terus.
Penguasa Islam itu ada juga yang mencari perlindungan dan bersahabat
dengan orang-orang Portugis. Tahun 1557 Sultan Hairun memaksa banyak
orang Kristen Halmahera masuk Islam. Para missionaris banyak yang dibunuh
dan gereja banyak yang dirusak. Akibat dari tindakan ini, orang-orang Portugis
berusaha menangkap Sultan Hairun, dan dibunuh tahun 1570. tetapi tindakan
ini adalah tindakan yang kurang bijaksana. Karena akibat terbunuhnya Sultan
Hairun tersebut, masyarakat Islam yang ada di sana menjadi marah. Dengan
dipimpin oleh anak sultan yang terbunuh, perkampungan-perkampungan
Kristen dibakar dan benteng orang-orang Portugis diserang. Akibatnya missi
Kristen di sana semakin surut. Orang-orang Kristen di sana semakin berkurang

12
karena murtad, dan kekuasaaan Portugis semakin surut dan akhirnya runtuh.
Gereja juga terpaksa menjadi hancur. Hanya di Bacan dan Tidore ada sejumlah
kecil yang bisa bertahan selama beberapa puluh tahun lagi. Dan sejak tahun
1580, orang-orang Spanyol yang menjadi Sekutu Portugis dan sebelumnya
telah berkuasa di Filipina berhasil mengalahkan Ternate tahun 1606. Berkat
kemenangan ini maka missi Kristen bisa kembali dijalankan di Halmahera
(1606-1613), dalam jumlah yang kecil. Namun missionaris RK itu tahun 1613
terpaksa meninggalkan Halmahera karena diusir oleh orang-orang Belanda
yang telah berhasil menguasai daerah itu sejak tahun 1613. Sedangkan orang-
orang Belanda membiarkan orang-orang Kristen yang kecil itu begitu saja, yang
membuat kekristenan di sana sempat terlantar dan hilang lagi. Penginjilan ke
Halmahera baru dilanjutkan kembali pada abad 19.

Keadaan orang-orang Kristen di Halmahera pada zaman Portugis hampir sama


dengan keadaan di Maluku Selatan (Ambon dan Lease). Di sini kekristenan
juga sempat berkembang dengan cepat setelah kehadiran penginjil-penginjil
dari Serikat Yesuit. Tahun 1558 di banyak tempat di daerah Maluku Selatan
terjadilah perang gerilya, antara penduduk setempat yang beragama Islam
dengan orang-orang Portugis. Akibatnya orang-orang Kristen hidup menderita.
Karena tekanan-tekanan dan penderitaan yang dialami banyak orang-orang
Kristen itu yang murtad, tetapi banyak juga yang harus mengungsi ke hutan-
hutan untuk mempertahankan imannya. Di sana orang-orang Kristen yang
mengungsi itu juga berusaha untuk mendirikan jemaat-jemaat. Tetapi jemaat-
jemaat di pedalaman itu sangat jarang dikunjungi oleh iman atau pastor.
Akibatnya terjadilah perbedaan cara kehidupan jemaat yang tinggal di
pedalaman dengan jemaat-jemaat yang tinggal di pusat. Di jemaat-jemaat
pedalaman itu, satu-satunya sakramen yang dijalankan hanyalah sakramen
baptisan. Pengajaran agama tidak diberikan kepada mereka dan tidak ada
penggembalaan atau pastoral dari seorang imam atau pelayan gereja.
Akibatnya orang-orang Kristen itu tidak mengetahui apa-apa mengenai agama
Kristen yang dianutnya itu. Berbeda halnya dengan jemaat yang ada di pusat
pelayanan imam. Di sana pengajaran agama Kristen dijalankan oleh para pater
kepada anak-anak dan orang dewasa. Bagi orang-orang Kristen yang dianggap
sudah mempunyai pengertian yang secukupnya mengenai iman dan kesusilaan
Kristen, diberi kesempatan untuk menerima sakramen Pengakuan dosa
(biecht) dan selanjutnya berhak menerima sakramen Ekaristi (Perjamuan
Kudus). Dan orang-orang Kristen yang bisa sampai ke tingkat seperti itu sangat
sedikit jumlahnya. Jadi jelas ada tingkatan atau penggolongan orang-orang
Kristen itu sendiri.

B
Sulawesi Utara,
Sangir dan Talaud

Pada zaman Portugis, usaha penyebaran kekristenan ke Sulawesi Utara,


Sangir dan Talaud juga telah diusahakan. Tahun 1560an agama Kristen telah
mulai diterima oleh masyarakat di sana. Tetapi alasan penerimaan agama
Kristen itu adalah sama dengan alasan penerimaannya di daerah Maluku, yakni
13
terutama dalam rangka meminta perlindungan kepada orang-orang Portugis,
dalam menghadapi tekanan dan serbuan tentara-tentara Sultan Hairun dari
Ternate yang juga berusaha untuk memperluas daerah kekuasaannya sampai
ke sana. Karena adanya serangan dari pasukan-pasukan Sultan Hairun itu,
maka raja setempat meminta bantuan dari tentara orang-orang Portugis di
Maluku untuk melindungi mereka. Dan sebagai imbalan dari bantuan
perlindungan yang diberikan itu, maka masyarakat tersebut bersedia untuk
dibaptis menjadi Kristen.

Penginjil pertama yang diutus oleh orang Portugis dari Maluku ke Sulawesi
Utara ialah Diego Magelhaes, tahun 1568. Dia disambut oleh penduduk daerah
Manado dengan gembira. Setelah mengajar mereka hanya selama lebih
kurang dua minggu lamanya, maka dia membaptis raja setempat bersama
dengan sejumlah 1500 orang rakyatnya. Jadi merupakan pembaptisan massal
yang sangat sedikit persiapan pengajaran yang dilakukan. Beberapa daerah
lain juga dikunjungi Magelhaes, di mana juga diadakan pembaptisan secara
massal hanya dengan pengajaran yang sangat singkat. Misalnya di Kaidipan
(pantai Utara Gorontalo) dia membaptiskan sebanyak 2000 orang secara
massal setelah dia memberi pengajaran hanya selama delapan hari. Lima
tahun kemudian seorang missionaris yang lain membaptis seorang raja di
pulau Sangir bersama-sama dengan rakyatnya. Tetapi di kemudian hari cara
pengkristenan massal seperti itu makin disadari sebagai pekerjaan yang tidak
bertanggungjawab. Karena apa gunanya membaptis begitu banyak orang
tanpa persiapan pengajaran yang wajar dan tidak bisa dilanjutkan dengan
usaha-usaha pembinaan yang intensif. Ternyata orang-orang yang sudah
dibaptis itu tetap mengikuti kepercayaan dan cara kehidupan serta kebiasaan
mereka yang lama yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Dan karena
pembinaan yang tidak ada, kekristenan tersebut lama kelamaan menjadi hilang
lenyap. Ketika seorang pater RK mengunjungi daerah Manado tahun 1585,
agama Kristen dijumpai di sana sudah hilang lenyap sama sekali. Semua orang
Kristen yang sudah pernah ada di sana, sudah kembali menjadi penganut
agama suku mereka. Pater itu akhirnya pulang tanpa berbuat apa-apa. Tahun
1606, orang-orang Spanyol dari Filipina memasuki Sulawesi Utara. Orang-
orang Spanyol itu berusaha menghidupkan kembali kekristenan yang sudah
sempat ada di sana dengan mengirimkan sejumlah missionar RK ke sana.
Tetapi usaha mereka gagal, karena para missionaris itu banyak yang mati dan
juga karena mendapat perlawanan yang keras dari penduduk setempat.

C
Nusa Tenggara Timur

Pada abad ke 16, kekristenan juga telah masuk ke daerah Nusa Tenggara
Timur, terutama di daerah Solor, Flores dan Timor. Pekabar-pekabar Injil Katolik
yang bekerja di sana adalah dari Ordo Dominikan. Orang-orang Portugis juga
melakukan usaha perdagangan ke sana terutama perdagangan kayu cendana
yang sangat berharga itu. Pada tahun 1556, telah dibaptis sejumlah 5000 orang
Timor oleh Pater Taveira dari Ordo Dominikan. Pembaptisan juga dengan cepat
sampai di daerah Solor dan Flores, sehingga menjelang akhir abad 16, sudah
14
ada sekitar 25000 orang yang dibaptis menjadi Kristen di sana. Namun gereaja
untuk orang-orang Portugis dan pribumi masih dibedakan sebagaimana juga
halnya yang terjadi di daerah Maluku. Tetapi usaha penginjilan itu tidak begitu
berkembang karena kurangnya tenaga untuk membina orang-orang Kristen itu.
Dan missi RK itu juga makin terpukul, setelah datangnya serangan dari
Belanda ke sana mulai tahun 1613. Tetapi kendatipun demikian, beberapa
penginjil RK masih bisa tetap bertahan di Solor dan Ende. Karena itu orang-
orang Katolik bisa bertahan terus di sana.

D
Blambangan dan Panarukan
di ujung Timur Pulau Jawa

Sejumlah missionaris RK dari Ordo Fransiskan pernah diutus ke daerah ini


dari tahun 1569-1599. Pada waktu itu penduduk daerah tersebut masih
menganut agama Hindu, sehingga sejumlah penduduk di sana berhasil
dibaptiskan termasuk beberapa anggota keluarga raja. Tetapi menjelang
tahun 1600 usaha pekabaran Injil itu terpaksa berakhir, karena kedua
kerajaan itu berhasil diruntuhkan dan dikuasai oleh kerajaan Islam. Orang-
orang Kristen di sana juga pada akhirnya menjadi hilang.

GEREJA DI INDONESIA ZAMAN VOC (1695-1799)

A
ORGANISASI, AJARAN DAN KEHIDUPAN GEREJA PADA JAMAN VOC

Ada beberapa hal dapat dikatakan sebagai ciri-ciri umum keberadaan gereja
jaman VOC di Indonesia , yakni:

a. Pada zaman VOC, gereja-gereja di Indonesia semuanya dikendalikan


(berpusat) di Belanda. Atas keadaan ini, sebenarnya gereja tidak
berkewibawaan apa pun atas dirinya. Pemerintah VOC sama sekali tidak
memberikan suatu kebebasan yang sesungguhnya kepada Gereja-gereja di
Indonesia. Mereka juga tidak memperdulikan kritik serta peringatan-
peringatan yang dikeluarkan oleh synode-synode wilayah di Belanda, yang
sekali-sekali mengeluarkan suara tegasnya atas keadaan ini. Dapat
ditambahkan, VOC menanggung segala ongkos pengeluaran Gereja dan
juga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnya oleh "ibu-gereja",
disediakan uang bagi Gereja di Indonesia. Segala-galanya harus datang
dari pihak pemerintah, sebenarnya gereja-gereja di Indonesia ingin
berkuasa atas segala hal.
b. Dari sudut pengaruh rohani dari Gereja di Belanda, kepada gereja di
Indonesia sangatlah besar. Bentuk-bentuk organisasi gereja, dasar-dasar
pengakuan iman, ketentuan-ketentuan siasat gereja, corak-corak kehidupan
geredja, dengan sendirinya menjadi contoh dan ukuran bagi gereja-gereja di
15
Indonesia. Pengaruh ini berlaku sesuai dengan maksud-maksud pemerintah
serta didalam keadaan-keadaan yang memungkinkannya di Indonesia.
Sebenarnya gereja-gereja di Indonesia ingin dibangun "sesuai dengan
aturan jemaat gereformeerd (menurut ajaran Calvin)", sebagaimana
dinyatakan oleh wakil pemerintah pada sidang am pertama di Jakarta tahun
1642. Dikatakan harus sesuai dengan bentuk Gereja-gereja Calvinis di
Belanda, ini harus dilaksanakan sesuai dengan tata-gereja presbyterial.
Artinya, yang pertama harus adalah adalah jemaat yang berdiri sendiri
lengkap dengan majelis-majelis gerejanya yang dipilih sendiri, berhak untuk
memanggil serta meneguhkan pendeta-pendetanya sendiri, memiliki
kebebasan serta kemerdekaan untuk memimpin jemaat-jemaat setempat.
Dan selanjutnya, sama seperti di Belanda, jemaat-jemaat ini akan
digabungkan didalam klasis-klasis, dan klasis-klasis ini didalam suatu badan
synodal. Maksud ini gagal dilakukan di Indonesia.

c. Secara umum gereja gereja di Indonesia sangat tergantung kepada


pendudukan orang-orang Eropa, seperti di Kupang, Ternate atau pun
Ambon dan tempat-tempat lain! Sangat sukar bagi jemaat-jemaat di daerah-
daerah ini untuk membentuk suatu kelompok yang tetap didalam
masyarakat yang selalu berubah. Jemaat tidak dibentuk tersendiri
disamping jemaat-jemaat Eropa, yang sudah barang tentu diadakan
kebaktian-kebaktian tersendiri menurut golongan-golongan bahasa. (di
Jakarta misalnya terdapat satu bagian jemaat khusus untuk orang-orang
"merdeka" yang berbahasa Portugis dan yang berbahasa Melayu. Di Ambon
terdapat satu jemaat, yang didalamnya termasuk juga jemaat-jemaat
kampung dari seluruh pulau itu, bahkan dari Saparua dan Haruku). Dengan
sendirinya terdapat lebih banyak penatua-penatua serta syamas-syamas
bangsa Eropa. Bahkan di Jakarta hanya terdapat orang-orang Eropa
didalam majelis gereja. Akan tetapi dimana ada orang-orang Indonesia
menjadi anggota, hampir-hampir mereka tidak bersuara apapun. Perbedaan
tingkat dan perbawa demikian besar didalam masyarakat kolonial, sehingga
sukar untuk bekerja-sama secara menguntungkan. Tambahan pula majelis-
majelis gereja itu seluruhnya berbahasa Belanda. Orang-orang Kristen
Indonesia yang ribuan banyaknya itu sebenarnya tidak bersuara
didalamnya, bukannya pertama-tama oleh sebab mereka disendirikan,
melainkan oleh sebab dasar-dasar tata-gereja presbyterial dari negeri
Belanda tersebut kurang sesuai dalam masyarakat kolonial ini untuk suatu
perkembangan yang subur bagi orang-orang Kristen Indonesia.

d. Soal lain ialah hak untuk memanggil pendeta-pendeta. Dapat dikatakan,


bahwa mengingat keadaan-keadaan geografi maka perlu diadakan
semacam pusat pimpinan Gereja. Artiny bahwa hak jemaat untuk
memanggil se-tidak-tidaknya harus ditempatkan pada suatu instansi
Geredja yang tertinggi. Sebenarnya pemerintah VOC telah merampas
begitu saja hak ini. Biarpun para pendeta dan juga "ibu-gereja" di Belanda
memajukan keberatan-keberatannya dengan tegas, namun para penguasa
di Indonesia tetap berpegang keras pada haknya untuk menempatkan serta
memindahkan pendeta-pendeta menurut kebidjaksanaan mereka. Hanja
16
dalam satu hal Geredja di Belanda dapat melaksanakan hak-gerejanja,
yaitu bahwa synode-synode provinsi dari Noord-ataupun Zuid-Holland
ataupun Zeeland - artinya provinsi-provinsi pantai yang banyak sangkut-
pautnya dengan VOC - dapat memilih pejabat-pejabat Gereja sendiri,
meneguhkannya serta mengutusnya, biar pun memang hal itu terjadi
dengan persetujuan tuan-tuan XVII. Akan tetapi jelaslah, bahwa hal ini tidak
mempunjai arti apapun bagi pertumbuhan, serta kemerdekaan Gereja-
gereja di Indonesia. Ternyata bahwa suatu tata-gereja presbyterial tidak
dapat dijalankan begitu saja.

e. Mengenai pengakuan dan ajaran Gereja. Ketiga pasal keesaan, yakni:


pasal-pasal ajaran Synode Dordrecht, pengakuan iman Belanda, dan
Katekismus Heidelberg merupakan dasar-dasar yang kuat bagi Gereja di
Indonesia berlaku pada waktu itu. Baru pada tahun 1745 Gubernur Jenderal
Imhoff membolehkan didirikannya suatu jemaat Lutheran di Jakarta. Itu pun
disebabkan adanya pasukan sewaan Jerman. Ajaran diawasi dengan tegas
supaya tetap murni dan tidak boleh dinodai. Akan tetapi rupa-rupanya
jarang ada alasan untuk bertengkar tentang per-bedaan-bedaan ajaran
ataupun untuk menyelidiki ajaran-ajaran sesat. Djadi dalam hal ajaran ada
tercapai persesuaian dengan "ibu-geredja". Makanya sejak mulanya
diusahakan untuk memperoleh terjemahan-terjemahan dari Katekismus
Heidelberg, formulir-formulir tentang baptisan dan perjamuan kudus dsb.
Juga terjemahan buku pertanyaan karangan Marnix sejak permulaan
memainkan peranan yang penting. VOC telah menerbitkan dan menyiarkan
beribu-ribu buku kecil ini.

f. Sudah barang tentu yang terutama diperlukan ialah terdjemahan Alkitab.


Dengan kagumnya kita melihat terjadinya terjemahan-terjemahan Alkitab
dalam jumlah yang banjak. Pada tahun 1629 keluarlah terjemahan
Perjandjian Baru, pada tahun 1648 keempat kitab Indjil, pada tahun 1668
seluruh Perjandjian Baru dan kitab Kejadian (Ds. Brouwerius). Pada
akhirnya seorang pendeta di Jakarta, yaitu Leydekker menyelesaikan
seluruh terjemahan Alkitab sesudah bekerja bertahun-tahun dengan
rajinnya. Untuk tugas yang besar dan berat itu ia telah dibebaskan dari
pekerjaannya sebagai pendeta. Tetapi pada tahun 1701 ia meninggal
sebelum tugasnya selesai. Mulai dari Epesus 6:6 terjemahan iini diteruskan
oleh penggantinya, yaitu Ds. P. van der Vorm. Lalu seluruh terjemahan itu
diperiksa sekali lagi oleh seorang pendeta Swis, namanya Werndly. Pada
tahun 1723 Alkitab ini siap di cetak, akan tetapi baru pada tahun 1733
keluar cetakan yang pertama. Sebenarnya lebih dari dua puluh tahun
lamanya naskah-naskah ini disimpan di dalam lemari tuan-tuan XVII.
Sebabnya ialah karena mereka menunggu berachirnya suatu pertikaian
yang disebabkan oleh Ds. Valentijn. Pendeta ini - disamping pekerjaannya
sebagai pendeta dan penulis dari 5 jilid buku: "Oud en Nieuw Oost Indië" -
telah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu Ambon dan
mencoba supaya terjemahannya itu yang dicetak dan bukan terjemahan
Leydekker. Pendapatnya ialah bahwa bahasa tinggi dari Leydekker tidak
akan dimengerti oleh orang-orang Kristen di Indonesia bagian Timur.
17
Akhirnya VOC memberi putusan yang lain, dan justru terjemahan
Leydekkerlah seakan-akan memperoleh nilai pusaka di Timur Besar.

g. Sebagaimana "ibu-gereja", hendak menjadi suatu Gereja di bawah Alkitab,


demikian halnya dengan anaknya di Indonesia. Meskipun begitu agak
mengherankan, bahwa sesudah seabad berselang barulah diberikan
kepadanya segenap Alkitab. Akan tetapi hal itu tentu disebabkan oleh
kenyataan, bahwa untuk kebaktian-kebaktian Belanda setidak-tidaknya
orang memiliki Alkitab Belanda yang disebut "Statenvertaling". Dan
selanjutnya untuk dipergunakan oleh "para guru" ternyata cukup buku-buku
katekisasi dan terjemahan-terjemahan kitab-kitab Injil yag sudah disebut
tadi. Dalam hubungan ini patut disebutkan bahwa orang-orang Kristen
berbahasa Portugis memperoleh Alkitabnya di dalam bahasa Portugis.
Malah terdapat tiga terjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Portugis.
Tetapi yang diterima dan dicetak di Belanda pada tahun 1681, ialah
terjemahan Ferreira (lih. hlm. 51), seorang keturunan Portugis. Terjemahan
Perjanjian Lama yang pada tahun 1691 hampir selesai ketika Ferreira
meninggal dunia, barulah di cetak pada tahun 1753.

h. Persesuaian ini juga meliputi penggunaan nyanyian-nyanyian mazmur


didalam kebaktian-kebaktian. Pada permulaan abad ke-17, dijumpai sudah
ada empat nyanyian gereja yang pertama, yaitu: "Kesepuluh firman", "doa
Bapa Kami", "Mazmur 100" yang telah digubah dan sebuah "nyanjian
malam". Hingga 1652, terutama oleh Heurnius, selesai dikarang 150
nyanyian mazmur. Kira-kira seabad kemudian yakni tahun 1735 terbit suatu
terjemahan serta gubahan baru oleh Ds. Werndly. Memang tidak mungkin
untuk menyesuaikan juga lagunya dengan "ibu-geredja". Sejak tahun 1624
sudah sering diadakan surat-menyurat, bahwa hendaknya ditinggalkan saja
"cara Inggris" dalam menyanyikan mazmur-mazmur itu. Sebenarnya "cara
Inggris" ini tak ada sangkut pautnya dengan cara pembacaan mazmur di
dalam doa pagi dan malam di Gereja Anglikan, dimana seorang juru baca
(liturgis) dan jemaat berganti-ganti dalam mengucapkan ayat-ayat mazmur.
Kesulitan terutama untuk mengucapkan mazmur-mazmur itu sebaris demi
sebaris sebelum jemaat menyanyi ialah kurangnya buku-buku nyanyian
mazmur dan tidak pandainya kebanyakan orang-orang Kristen Indonesia
membacanya.

i. Khotbah dengan sendirinya merupakan hal yang utama di dalam kebaktian.


Memang hanya pendeta-pendeta saja yang boleh mengadakan khotbah.
Akan tetapi dalam hal kekurangan pejabat-pejabat yang berwenang maka
orang membutuhkan juga para penghibur-orang-sakit dan para guru
Indonesia, tetapi yang tidak berhak untuk membuat khotbahnya sendiri.
Mereka hanya boleh membacakan khotbah-khotbah saja. Terutama
kumpulan-kumpulan khotbah dalam bahasa Melayu karangan Wiltens,
Caron dan Molanus, yang beberapa kali dicetak-ulang, yang dipergunakan
untuk maksud itu. Malah doa-doa untuk kebaktian-kebaktian tidak
diperbolehkan diucapkan secara bebas. Oleh karena itulah diterbitkan
dalam satu jilid buku katekismus, pasal-pasal keesaan dan doa-doa.
18
j. Gereja di Belanda selalu mendesak, supaya "Gereja di Indonesia tidak
menyimpang dari cara-cara yang berlaku didalam Gereja Calvinis dinegeri
Belanda." Dan di dalam tata-gereja 1643 dengan tegas dikatakan: "Perlulah
juga, bahwa pengawasan terhadap orang-orang Kristen Indonesia
diperkeras, agar supaya merekapun didalam kebiasaan-kebiasaannya
secara lahir sesuai dengan cara-cara orang-orang Belanda." Hal ini
dilaksanakan demikian keras sehingga diharuskan memakai pakaian-gereja
hitam yang diperuntukkan bagi para penatua dan syamas-syamas. Bahkan
sesuai dengan kebiasaan di Gereja Belanda maka Katekismus juga
dikhotbahkan, dan malahan jam Kebaktian Katekismus disesuaikan dengan
cara Belanda yaitu jam 3 sore.

k. Dalam soal-soal baptisan dan perjamuan kudus. Dalam soal baptisan


misalnya, orang segera menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak dapat
dipecahkan oleh "ibu-gereja". Pertama-tama orang menghadapi soal,
apakah anak-anak boleh dipermandikan jika mereka itu lahir diluar
perkawinan yang sah antara seorang Kristen Eropa dengan seorang wanita
Indonesia, dan apakah "anak-anak kafir" boleh dipermandikan jika mereka
itu menjadi anak-anak angkat dari orang-orang Kristen. Mengenai soal
pertama baptisan itu diperbolehkan, jika salah seorang dari orang tua
adalah anggota jemaat. Soal kedua lebih sukar jawabannya. Yang disebut
anak-anak angkat ialah anak-anak yang lahir dari hubungan antara seorang
Eropa dengan seorang budak perempuan Indonesia. Disebabkan oleh
baptisan yang diterimanya maka mereka memperoleh hak untuk menjadi
warga-negara Belanda. Mengenai soal ini Synode Dordrecht memberi
nasehat, untuk membiarkan dulu anak-anak ini lanjut usianya dan mengajar
mereka sebaik-baiknya, sebelum mereka dibaptiskan. Akan tetapi
kemudiannya menjadi kebiasaan untuk toh membaptiskan anak-anak ini,
jika dapat diunjukkan surat keterangan adopsi. Mengenai baptisan untuk
anak-anak Indonesia yang ibu bapanya masih berada didalam kekafiran
telah dicarikan jalan sendiri oleh "synode am" pertama pada tahun 1620.
Diusulkan supaya terhadap anak-anak sedemikian diadakan upacara
pemberkatan saja. Kelak apabila mereka sudah dewasa mereka dapat
meminta sendiri untuk dibaptiskan sesudah memperoleh didikan dalam
kepercayaan Kristen. Akan tetapi kebiasaan "penyerahan" dan
"pentahbisan" ini tidak diperbolehkan oleh ibu-gereja Belanda.

l. Pertanyaan-pertanyaan ini pada hakekatnya sudah menunjukkan kearah


suatu persoalan, yang menjadi sangat penting bagi Gereja di Indonesia dan
yang akibat-akibatnya masih nampak dibeberapa daerah. Persoalan itu
ialah pemisahan sakramen-sakramen. Singkatnya soal itu ialah kalau-kalau
mereka yang sudah dibaptiskan langsung dapat diperbolehkan ikut serta
dalam perjamuan kudus ataukah sebelumnya mereka harus dahulu
mendapat pelajaran yang lebih dalam tentang kepercayaan Kristen. Dengan
kata lain: dapatkah sakramen Perjamuan Kudus dipisahkan daripada
sakramen Baptisan dengan menyelipkan lagi suatu pengajaran kateksasi
diantara kedua sakramen itu? Jadi sebenarnya yang menjadi persoalan
ialah baptisan orang dewasa, sedangkan baptisan anak-anak dengan
19
sendirinya diikuti kemudian oleh pelajaran katekisasi, sehingga menjadi sidi
dan diperbolehkan duduk pada meja perjamuan Tuhan. Rupa-rupanya
persoalah ini sudah terdapat pada zaman Portugis. Para padri memang
merasakan betapa sukarnya untuk memperbolehkan begitu saja beribu-ribu
orang-orang Kristen, yang kadang-kadang dibaptiskan tanpa memperoleh
suatu pengajaran apapun, ikut serta dalam sakramen komuni. Kecuali di
Ambon sendiri, dimana oleh pemeliharaan rohani dapat diadakan
pengajaran seperlunya, maka pada umumnya seorang yang baru
dibaptiskan hampir-hampir tak diperbolehkan mengikuti komuni. Kira-kira
keadaan yang serupa itu kita dapati dimana saja ada segolongan bangsa
Indonesia menjadi anggota Gereja oleh baptisan massa, tanpa persediaan
yang mendalam.

m. Synode Dordrecht dengan tegas telah menetapkan, bahwa orang-orang


dewasa yang telah menjadi anggota Gereja oleh baptisan dewasa, pada
kesempatan pertama harus juga duduk pada meja perjamuan. Akan tetapi
bagaimanakah hal itu dapat dilaksanakan pada orang banyak, yang pada
suatu perkunjungan singkat sering dibaptiskan tanpa diberi pengajaran yang
mendalam? Sering juga dilakukan pembaptisan yang serba cepat, sebab
dengan demikian para pendeta menyangka dapat menghindarkan orang-
orang kafir dari pengaruh Islam. Bahkan untuk mengajak orang-orang lain
supaya menganut agama Kristen. "Juga untuk menyatakan betapa
senangnya kita, bahwa penduduk-penduduk kita yang beragama kafir dan
Islam itu boleh mencari keselamatannya pada Juru Selamat yang satu-
satunya yakni Tuhan Jesus Kristus", maka kepada "tiap-tiap orang
bumiputera" yang minta dibaptiskan, diberikan suatu hadiah. Pendeta yang
membaptiskannya pun menerima semacam "uang sekolah" dan bahkan
sang raja, yang membawa orang-orang kafir itu, mendapat upah.
Bagaimanapun juga, cara pembaptisan serba cepat ini terhadap "orang-
orang Kristen nasi" itu kelak dapat dipertanggungjawabkan, jika segera
dapat dijamin suatu pengajaran dan pemeliharaan rohani yang mencukupi
bagi orang-orang yang baru dibaptiskan itu. Tetapi hal ini tak pernah
dilaksanakan. Satu-satunya hal yang dilihat oleh orang-orang Kristen ini
ialah perkunjungan-perkunjungan yang hanya sekali-sekali diadakan oleh
para pendeta dan para penghibur orang sakit, yang jumlahnya hanya
sedikit, itu pun juga sering ber-tahun-tahun sesudah baptisan. Karena itu
tidaklah mengherankan, bahwa misalnya Ds Brand pada tahun 1705 di Siau
sama sekali tidak melayani perjamuan kudus, malah merasa tidak perlu
untuk berkotbah dihadapan sekian banyak orang. "Diantara 3298 orang
yang telah dibaptiskan agaknya tidak ada seorangpun anggota jemaat"!
Inilah salah satu akibat yang menyedihkan dari praktek baptisan ini bahwa
hampir-hampir tidak ada seorangpun yang menjadi anggota tetap didalam
jemaat.

n. Dan kehidupan rohani apakah dapat diharapkan dari suatu Gereja, jika rata-
rata hanya 3% dari orang-orang Kristen itu yang diperbolehkan turut serta
dalam perjamuan kudus?! Dalam hal ini timbul kesangsian bahwa mereka
belum memutuskan keadaannya dahulu yang bersifat kekafiran. Juga kita
20
menaruh sangsi bahwa tidak terjadi suatu perhubungan yang
sesungguhnya dengan Tuhan Jesus Kristus, bahwa mereka tidak menjadari
bahwa mereka merupakan GerejaNya. Mereka hanyalah "orang-orang
Kristen mulut", "orang-orang Kristen tanpa Kristus", orang-orang "Laodikea".
Itulah sebutan-sebutan yang sering terbaca didalam laporan-laporan para
pendeta. Akan tetapi apa boleh buat ? "Didesak oleh ketakutan akan agama
Islam, dan oleh pertimbangan bahwa suatu pengkristenan secara cepat dan
sekaligus adalah cara bekerja yang tepat, baik ditinjau dari sudut pekabaran
injil maupun politik", maka praktek semacam itu diteruskan. Dan itu terjadi
walaupun ada suara-suara yang memperingatkan agar supaya lebih ber-
hati-hati, seperti yang dapat dibaca didalam tata gereja Ambon 1673 yang
bunyinya sebagai berikut: "juga orang-orang yang sudah dewasa baik yang
merdeka maupun yang budak, tidak boleh semudahnya dibawa kepada
baptisan......". Sebenarnya dengan cara bekerja seperti ini maka
"pemisahan sakramen" sudah menjadi kenyataan. Bagaimanapun aneh
kedengarannya, tetapi didalam keadaan-keadaan ini maka hal itulah satu-
satunya jalan untuk toh masih dapat mempertahankan sedikit taraf
kerohanian Gereja. Sebab apakah yang akan terjadi jika orang banyak yang
baru dibaptiskan itu diperbolehkan duduk pada meja Tuhan, tanpa
kesadaran sedikitpun pada mereka apakah sebenarnya ini kepercayaan
mereka dan khusus artinya perjamuan kudus? Jika demikian halnya maka
agaknya agama kafir ini begitu saja memperbolehkan kelandjutannya
didalam agama Kristen.

1. Pemerintah VOC dan Gereja Kristen. Orang-orang Belanda mulai masuk di


Indonesia tahun 1596 yang mula-mula dipimpin oleh Kornelis de Houtman.
Tujuan mereka datang ke Indonesia sama dengan tujuan orang-orang Portugis,
yakni melakukan usaha perdagangan dan ingin memperoleh hak tunggal
(monopoli) dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku. Untuk memajukan
usaha perdagangan itu pemerintah Belanda membentuk suatu maskapi besar
tahun 1602 yang disebut: “Verenigde Oostindische Compagnie” (VOC). Seluruh
usaha perdagangan Belanda ke Asia dimonopoli oleh badan ini.

Dalam usaha menjalankan perdagangan itu VOC jauh lebih kuat dari orang-
orang Portugis. Daerah Maluku yang semula dikuasai oleh orang-orang
Portugis dapat dengan mudah ditakhlukkan oleh VOC. Sama seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Portugis, di daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC
itu, petugas-petugas gereja juga segera ditempatkan. Tetapi tujuan utama dari
penempatan petugas-petugas gereja ini ialah untuk kepentingan pelayanan
rohani orang-orang Belanda yang bekerja di sana. Sedangkan usaha
pekabaran Injil kepada penduduk setempat sangat kurang dilakukan.
Pekabaran Injil baru dilakukan oleh pendeta-pendeta VOC apabila pekerjaan
itu dirasa mendukung kepada usaha mempercepat penguasaan penduduk
setempat. Apabila di daerah-daerah itu masih dijumpai orang-orang Katolik
yang masih bertahan, mereka dipaksa oleh orang-orang Belanda menjadi
Protestan dan seluruh petugas-petugas gereja RK itu diusir. Dalam hal ini
orang-orang Belanda atau VOC tetap memegang semboyan: “cuius regio eius
religio”. Artinya siapa punya daerah atau negara dia punya agama. Selaku
21
orang-orang yang beragama Protestan, orang-orang Belanda yang telah
berkuasa, menakhlukkan orang-orang Kristen yang baru itu menjadi Protestan.
Namun petugas-petugas gereja Katolik itu tidak diganti oleh VOC dengan
tenaga-tenaga Protestan, sebab VOC belum mempunyai tenaga untuk
memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil
kepada orang-orang yang bukan Kristen. Karena itu tidak ada lagi pelayanan
ibadah dan pembinaan rohani bagi orang-orang Kristen peninggalan orang-
orang Portugis itu.

Seperti sudah disinggung di atas, VOC hanya merasa wajib untuk


menyediakan tenaga-tenaga untuk menyelenggarakan pemeliharaan rohani
bagi orang-orang Belanda, baik yang bekerja di lautmaupun yang bekerja di
darat. Untuk ini selama kekuasaan VOC di Indonesia (1602-1799), VOC telah
mempekerjakan dan membelanjai sebanyak 254 orang pendeta dan kira-kira
800 orang “penghibur orang sakit” (zieketrooster). Seluruh pekerjaan di dalam
gereja serta sekolah-sekolah adalah tanggungan VOC, termasuk juga
pembangunan gedung-gedung gereja dan penerbitan buku-buku bacaan yang
diperlukan. Gereja-gereja yang diasuh oleh VOC ini sering juga disebut “Gereja
VOC” atau juga Gereja Negara. Seluruh jemaat Kristen peninggalan orang-
orang Portugis itu juga dialihkan menjadi Gereja VOC, yang sekaligus menjadi
tanggungan VOC.

Akan tetapi di kemudian hari tugas dari pendeta VOC itu juga meluas sampai
kepada penduduk yang dijajah yang belum Kristen. Pemerintah Belanda juga
“diwajibkan untuk memberantas dan melawan segala penyembahan-
penyemabahan berhala dan agama kafir”, atau dengan kata lain
mengkristenkan bangsa-bangsa yang ditahklukkan. Akan tetapi tugas ini hanya
sedikit dilakukan. Dan apabila ini dilakukan selalu dikaitkan dengan
pertimbangan ekonomis dan politis, yakni usaha pengkristenan itu
diperhitungkan bisa membantu usaha untuk memperlancar keuntungan
ekonomis atau perdagangan mereka dan memperlancar proses penguasaan
atas masyarakat setempat. Dalam hal ini pemerintah Belanda memang
menghendaki rakyatnya agar menjadi orang-orang Kristen. Karena dengan
dikristenkannya rakyatnya itu, mereka dianggap telah berada di bawah
kekuasaan Belanda. Tetapi demi menjaga ketertiban dan keamanan usaha
perdagangan dan pemerintahannya, kewajiban untuk mengkristenkan itu tidak
banyak dilakukan. Dan bahkan hak-hak pendeta selalu dibatasi, dan selalu
disesuaikan dengan kebijaksanaan politik dari pemerintah. Segala kegiatan
yang dipikirkan oleh pendeta harus mendapat persetujuan lebih dulu dari
pemerintah Belanda. Termasuk surat-surat yang dikirimkan kepada gereja-
gereja di negeri Belanda, harus terlebih dahulu melalui penilaian gubernur
jenderal Belanda di Indonesia. Dengan demikian maka perkembangan gereja di
Indonesia menjadi sulit diketahui oleh Gereja Induk di negeri Belanda. Dengan
kata lain bahwa pada zaman VOC, gereja adalah benar-benar di bawah
kekuasaan dan pengawasan pemerintah Belanda.

2. Penyebaran Gereja di Indonesia Pada Abad 17 dan 18. Seperti sudah


disinggung di atas, bahwa pada zaman VOC boleh dikatakan hampir tidak ada
22
usaha pekabaran Injil kepada orang-orang pribumi dari pihak VOC itu sendiri,
karena sebagai suatu serikat dagang, VOC selalu mementingkan keuntungan
dan kemajuan usaha perdagangannya. Karena itu VOC hanya berusaha
memelihara kerohanian orang-orang Kristen yang sudah ada terutama orang-
orang Belanda yang bekerja di Indonesia, baik sebagai tentara, pegawai atau
pedagang. Untuk memelihara mereka inilah dikirim tenaga-tenaga pelayan
gereja dari negeri Belanda. Tenaga-tenaga yang mula-mula dikirim adalah
penghibur-penghibur orang-orang sakit dan baru kemudian menyusul beberapa
orang pendeta. Pendeta pertama yang ditempatkan Belanda di Indonesia
terjadi tahun 1612, yakni Ds Wiltenz. Dia ditempatkan di daerah Ambon. Tahun
1615 dibentuklah majelis gereja Kristen Protestan yang pertama di Ambon.
Majelis gereja inilah yang menyelenggarakan pemeliharaan rohani atas orang-
orang Kristen yang ada di daerah Ambon dan sekitarnya. Tetapi usaha untuk
mengabarkan Injil kepada penduduk pribumi setempat tidak dilakukan. Orang-
orang pribumi itu masih tetap sebagai kafir. Jadi pendeta dan majelis gereja
yang ada di Ambon itu hanya memelihara yang sudah ditanam. Tidak ada
usaha mereka menanam Injil itu bagi mereka yang belum Kristen.

Selain di Ambon tahun 1621 berdirilah sebuah jemaat di daerah Banda. Dan
jemaat inipun diperuntukkan untuk orang-orang Belanda yang bekerja di sana.
Barulah di daerah Aru ada sekitar 100 orang yang dibaptis dari penduduk
setempat. Itupun tidak bertumbuh dengan baik karena pemeliharaan yang
kurang. Pada pertengahan abad 17, orang-orang Spanyol yang sempat
menguasai daerah Maluku Utara dan beberapa daerah Sulawesi Utara sampai
Sangir dan Talaud ditakhlukkan oleh orang-orang Belanda. Orang-orang
Kristen yang dulu sempat diasuh oleh orang-orang Spanyol itu, diambil alih
oleh orang-orang Belanda. Pendeta Belanda yang bertugas di Ternate sekitar
tahun 1680-1689 berusaha menghubungi orang-orang Kristen di sana. Sekitar
tahun 1700, diperkirakan ada sejumlah 2500 orang Kristen di sana. Tetapi
jumlah ini semakin merosot karena kurangnya pemeliharaan terhadap mereka.
Bahkan kekristenan yang ada di Halmahera menjadi lenyap, karena orang-
orang Kristen di sana tidak pernah dikunjungi oleh pendeta VOC itu. orang-
orang Kristen yang ada di pulau Timor mulai mendapat pemeliharaan dari
pendeta VOC tahun 1670, karena raja setempat meminta perlindungan
Belanda dan meminta dirinya untuk dibaptis menjadi Kristen. Tetapi orang-
orang Kristen di Solor dan Flores hasil penginjilan Ordo Dominikan dari gereja
RK dibiarkan hidup terus oleh orang-orang Belanda, karena tidak ada
kepentingan VOC di sana. Itulah sebabnya gereja RK bisa bertahan hidup di
sana dengan kuat sampai sekarang.

Pada abad 17, pendeta VOC di Jakarta ditugaskan juga untuk mengunjungi
tempat-tempat yang sudah didiami oleh orang-orang Belanda yang ada di
daerah Jawa dan Sumatera Barat. Di Jakerta itu sendiri telah berdiri sebuah
jemaat VOC tahun 1619, dan di Surabaya berdiri sebuah jemaat tahun 1669. Di
Padang Sumatera Barat dan di Semarang masing-masing berdiri sebuah
jemaat tahun 1750. Jadi menjelang akhir abad 18, yakni menjelang akhir
zaman VOC di Indonesia, jemaat-jemaat Kristen yang ada di Indonesia ada
sebanyak sepuluh jemaat yakni: 6 jemaat di Indonesia bagian Timur, yaitu di
23
Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Manado dan Kupang; 3 jemaat di Jawa
yakni di Jakarta, Surabaya dan Semarang, dan satu jemaat di Sumatera yakni
di Padang. Di daerah Jawa dan Sumatera, sama sekali tidak dilakukan usaha
penginjilan kepada orang-orang pribumi. Menurut catatan, jumlah orang-orang
Indonesia yang dibaptis selama zaman VOC itu sebanyak 43.000 orang, tetapi
dari antaranya hanya sebanyak 1205 orang yang diperbolehkan menerima
sakramen Perjamuan Kudus. Sedangkan yang ditinggalkan oleh Portugis
sudah ada sebanyak 40.000 orang Katolik.

3. Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan Lembaga-lembaga PI. Setelah


bubarnya VOC akhir tahun 1799 dan diganti dengan kekuasaan pemeriantah
Kerajaan Belanda, maka kegiatan-kegiatan kekristenan dan usaha-usaha
Pekabaran Injil di Indonesia dilakukan oleh dua wadah, yakni Gereja Protestan
di Indonesia (GPI) dan lembaga-lembaga PI. GPI merupakan wadah yang
mengorganisir seluruh gereja yang ditinggalkan oleh VOC itu. Lembaga-
lembaga PI melakukan kegiatan-kegiatan zending atau pekabaran Injil di
daerah-daerah yang mendapat izin dari pemerintah Belanda dan juga
“meminjamkan” tenaga kepada GPI.

a. Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk). Berbeda dengan


pemerintahan VOC yang hanya mengakui satu gereja yakni Gereja
Protestan, pemerintah kerajaan Belanda yang baru dipengaruhi oleh
semangat “pencerahan” di Eropa, menjadi bersifat netral. Di kerajaan itu
kebebasan agama mulai diberlakukan. Karena itu tidak ada lagi gereja
negara, dan negara tidak akan memihak lagi kepada agama Kristen. Tetapi
ada dua kenyataan yang dihadapi di Indonesia oleh pemerintah kolonial
Belanda yang menghambat pelaksanaan dari azas itu secara penuh, yakni:
 Adanya sejumlah jemaat di Indonesia bekas asuhan dari VOC.
Pemerintah Belanda sebagai pewris VOC, tidak bisa melepaskan
jemaat-jemaat itu begitu saja. Ini mendorong pemerintah kolonial
Belanda untuk mendirikan Gereja Protestan di Indonesia yang dapat
menampung dan mengasuh seluruh jemaat bekas asuhan VOC itu.
 Pemerintah kolonial Belanda sadar bahwa orang-orang Islam di
Indonesia rata-rata bersikap lebih memusuhi pemerintah Belanda
daripada orang-orang Kristen. Untuk mengatasi keadaan ini, maka
pemerintah kolonial Belanda mengambil kebijaksanaan bahwa
sebaiknya daerah-daerah yang masih beragama suku dikristenkan,
sedangkan daerah Islam jangan. Dalam usaha untuk mengkristenkan
daerah-daerah yang masih menganut agama suku itulah maka lembaga-
lembaga PI diizinkan masuk ke Indonesia. Pada zaman VOC, lembaga-
lembaga PI belum diizinkan masuk ke Indonesia.

Pada permulaan abad 19, atau pada permulaan pemerintahan kolonial


Belanda di Indonesia, keadaan jemaat-jemaat Kristen yang diwariskan oleh
VOC itu tidak menentu. Pendeta yang bertugas untuk melayani jemaat-
jemaat itu hanya ditinggalkan beberapa orang saja. Daerah-daerah di luar
pusat tidak dikunjungi lagi. Karena itu jumlah anggota jemaat semakin
mundur. Karena kesulitan ekonomi pemerintah Belanda pada waktu itu yang
24
diakibatkan keadaan perang yang terjadi di negeri itu, maka gereja Belanda
tidak sanggup membantu berupa uang dan tenaga. Pemerintah Belanda
berusaha mengatasi keadaan ini, barulah setelah Inggris mengembalikan
Indonesia yang sudah sempat dijajah beberapa tahun dari tahun 1811-1816.
Raja Belanda yang baru pada waktu itu yakni Willem Islam, berusaha
menggabungkan seluruh jemaat Protestan yang ada di Indonesia menjadi
satu badan, yakni Gereja Protestan di Indonesia. Dan gereja ini langsung
ditempatkan di bawah asuhan pemerintahan kolonial Belanda. Untuk
mengatur penyelenggaraan gereja ini, maka ditetapkanlah aturan-aturan
dari gereja tersebut.

Isi dari aturan-aturan dari gereja itu secara garis besarnya adalah sebagai
berikut:
 Yang menjadi anggota GPI adalah semua jemaat dan orang-orang
Kristen Protestan.
 GPI dipimpin oleh sebuah Dewan Pengurus yang diangkat oleh
Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia (Jakarta). Ketua
Dewan Pengurus ini harus seorang yang menjabat pangkat tinggi dalam
pemerintahan atau negara. (baru pada abad 20 ketua dari dewan
pengurus itu ditetapkan dari kalangan pendeta). Anggota dari Dewan
Pengurus ini ialah pendeta-pendeta jemaat Protestan yang ada di
Batavia dan tiga orang anggota jemaat yang terkemuka.
 Jemaat setempat dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat yang dipilih oleh
jemaat setempat itu sendiri, tetapi pengangkatannya harus disetujui oleh
pemerintah setempat.
 Para pendeta yang melayani di gereaja itu adalah yang diangkat dan
ditempatkan oleh Gubernur Jenderal setelah ada usul dari Pengurus
Pusat.
 Tugas-tugas gereja antara lain ialah:
a. Memelihara kepentingan agama Kristen pada umumnya dan
kepentingan Gereja Protestan khususnya.
b. Menambah pengetahuan keagamaan dan memajukan kesusilaan
Kristen.
c. Menegakkan ketertiban serta kerukunan dan menumpuk cintah
kepada pemerintah dan tanah air.
 Hubungan dengan gereaja di negeri Belanda akan
berlangsung melalui sekelompok pendeta yang ada di sana, yang
bertugas untuk menguji dan meneguhkan pendeta-pendeta dan pekerja-
pekerja gereja yang alain yang akan diutus ke daerah-daerah jajahan.

Kalau kita memperhatikan isi dari peraturan tersebut di atas maka ada tiga
hal yang perlu kita catat yang berhubungan dengan keberadaan GPI, yakni:
 Dari peraturan-peraturan tersebut nampak bahwa walaupun secara
teori pemerintah telah menyatakan bersifat netral terhadap
agama/gereja, namun dalam prakteknya GPI itu masih berada di bawah
kekuasaan pemerintah, dan bahkan GPI yang diberi tugas untuk

25
“menegakkan ketertiban”, berarti GPI dijadikan sebagai alat negara
untuk menegakkan kekuasaannya di daerah jajahannya itu.
 Pemerintah mencampuri secara langsung urusan-urusan gereja.
Akibat dari campur tangan pemerintah itu ialah:
- GPI diberi struktur yang tidak sesuai dengan hakekat gereja. Menurut
hakekatnya, gereja harus dipimpin oleh wakil-wakil Kristen sebagai
Kepala Gereaja, dan berpedoman kepada Firman Tuhan. Tetapi GPI
dipimpin oleh tokoh-tokoh pemerintah, yang berpedoman kepada
kepentingan negara Belanda di Indonesia.
- Perbedaan antara gereja dan negara menjadi kabur.
- Gereja itu tidak mempunyai pengakuan iman, dan tidak ada tugas PI
dan pelayanan sesama manusia. GPI hanya suatu “lembaga yang
bertugas memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius masyaraakat
Protestan di Indonesia”.

GPI itu hanya diurus oleh orang-orang Belanda saja. Orang-orang


Indonesia diabaikan sama sekali. Orang-orang yang menyusun peraturan
itu seakan-akan tidak mengetahui bahwa dalam gereaja itu juga terdapat
orang-orang Indonesia bahkan mayoritas anggaotanya adalah orang-orang
Indonesia. Dalam pengurus GPI tercipta juga pangkat-pangkat yang bersifat
hierarkhis yakni:

Pendeta: orang Belanda yang langsung ditetapkan oleh gubernur jenderal

Pendeta Pembantu: pendeta yang diutus oleh lembaga pekabaran Injil


dipekerjakan sebagai pembantu di dalam GPI.
Pendeta Pribumi:yakni pendeta yang diangkat dari orang Indonesia yang
biasanya tidak bisa melayani sakramen.

Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa GPI pada mulanya
mempunyai tiga ciri yakni:
- Ia diikat dan diperalat negara.
- Ia tidak mempunyai tata gereja dan pengakuan iman
sebagaimana selayaknya dimiliki oleh suatu gereja.
- Ia tidak memberi suara kepada orang-orang Indonesia yang
berada di dalamnya dan secara resmi tidak mengaku bertanggungjawab
kepada mereka yang masih di luar.
- Gereja-gereja di Indonesia yang ada sekarang yang berasal dari
GPI atau Gereja Pemerintah itu, selain dari GPI itu sendiri ialah:
a. Gereja Protestan Maluku (GPM) yang berpusat di Ambon.
b. Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang berpusat di Manado.
c. Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) yang berpusat di Kupang.
d. Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) yang berpusat di
Jakarta.

4. Munculnya beberapa lembaga PI di Eropa. Mulai pada abad 18, di Eropa


telah bermunculan banyak lembaga-lembaga PI yang bukan diorganisir oleh
gereja, tetapi diorganisir oleh orang-orang Kristen perorangan atau kelompok
26
yang mempunyai semangat penginjilan yang besar. Munculnya lembaga-
lembaga PI itu didorong oleh pengaruh gerakan Pietisme atau Kebangunan
Rohani (Revival) yang timbul di Eropa. Pietisme adalah suatu aliran yang
berusaha memperbaharui keadaan gereja di Eropa pada waktu itu, dengan
membina iman dan kesalehan orang-orang Kristen perorangan. Kelompok yang
menganut aliran ini mau mengamalkan imannya dengan cara rajin membaca
Alkitab, memupuk persaudaraan Kristen dan menyaksikan atau memberitakan
Injil itu kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus. Oleh pengaruh
gerakan Pietisme itu bermunculanlah pusat-pusat pembinaan PI dan lembaga-
lembaga PI di Eropa. Di Jerman, gerakan ini berpusat di Halle, di mana
terbentuk kelompok Hernhut (saudara-saudara dari Moravia) yang didirikan
oleh Zinzendorf. Orang-orang dari kelompok Hernhut ini dilatih untuk siap
diutus mengabarkan Injil ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Hanya pada
masa VOC mereka tidak diizinkan masuk.

Di Inggris, sekitar tahun 1790an telah berdiri sejumlah lembaga PI. Misalnya
tahun 1792 berdiri “Baptist Missionary Society”, dan tahun 1795 berdiri “London
Missionary Society”, dll. Di negeri Belanda tahun 1797 berdiri “Nederlands
Zendeling Genootschap (NZG) atau lembaga utusan-utusan Injil Belanda. NZG
ini berdiri, selain didorong oleh kejadian-kejadian di Inggris di mana pada waktu
itu telah berdiri beberapa badan zending,juga didorong oleh orang-orang
Hernhut dari Jerman yang pengaruhnya sudah sampai di negeri Belanda dan
telah mendirikan sebuah lembaga PI atahun 1793. Pendiri NZG berasal dari
anggoata gereaja Hervormd. Di samping NZG ini muncul juga lembaga-
lembaga lain di Belanda yang bekerja untuk Indonesia yakni: Java Committee
(1855), “Nederlands Zendings Vereeniging” (NZV) tahun 1858, dll. Di Jerman
tahun 1824 berdiri “Rheinische Missionsgesselschaft (RMG) yang
mengabarkan Injil di Indonesia untuk daerah Kalimantan dan tanah Batak. Dan
di Indonesia, orang-orang Kristen yang tidak puas dengan keadaan GPI
membentuk lembaga-lembaga yang menunjang usaha penginjilan di Indonesia
yaitu: lembaga Alkitab (1814) serta lembaga-lembaga PI di Batavia (1815) dan
Surabaya (1815), dll.

5. Ciri-ciri dari lembaga-lembaga PI. Lembaga-lembaga pekabaran Injil yang


disebut di atas pada umumnya mempunyai ciri-ciri sbb:
• Kebanyakan lembaga-lembaga PI itu tidak mengikat diri kepada suatu gereja
tertentu karena yang mendirikannya ialah orang-orang Kristen perorangan
yang berasal dari berbagai aliran kegerejaan. Mereka tidak membawa bentuk
gereja tertentu kepada orang-orang yang diinjili.
• Umumnya orang-orang yang diutus oleh lembaga-lembaga PI ini ialah orang-
orang yang bersahaja atau orang-orang yang sederhana yang tidak memiliki
gelar akademis tetapi mereka mempunyai keterampilan untuk sanggup
menghidupi diri sendiri di daerah-daerah yang baru diinjili.
• Pengertian mereka tentang pertobatan ialah: Kepercayaan hati yang
sungguh-sungguh kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat yang
telah menanggung dosa-dosa manusia. Dan cinta kasih yang penuh rasa
terimakasih kepada Allah dan kepada sesama manusia.

27
Dalam pengertian ini ditekankan karya Kristus demi keselamatan orang
perorangan, dan kurang melihat Kristus sebagai Raja Dunia dan Kepala
Gereja.
• Mereka bersikap lebih terbuka kepada kebudayaan suku, tetapi pelaksanaan
sikap ini di Indonesia masih belum dapat dilakukan dengan sepenuhnya
karena beberapa faktor, a.l.:
a. Sifat superioritas orang-orang Barat yang semakin kuat. Artinya mereka
menganggap diri dan budaya mereka jauh lebih tinggi dari diri dan budaya
orang-orang Indonesia.
b. Dalam lapangan penginjilan yang dimasuki, mereka sulit membedakan
mana unsur budaya dan mana unsur keagamaan yang terdapat di tengah-
tengah masyaraakat suku yang diinjili. Dalam kehidupan suku-suku yang
diinjili, faktor keagamaan memang sulit dipisahkan dari budaya setempat,
yang akibatnya hampir semua unsur budaya itu dianggap bersifat
kekafiran. Namun sikap ini kemudian berubah, karena sejak tahun 1870an
telah mulai ada usah untuk menampung unsur-unsur pribumi dalam
kehidupan jemaat.

6. Hubungan antara Zendeling dan pemerintah Belanda. Hubungan itu secara


hukum diatur dalam Aturan Pemerintah (Regeringsreglement) tahun 1854.
Aturan ini pada dasarnya menegaskan kebebasan beragama, tetapi dalam
pasal terakhir dari Aturan ini (Pasal 123), ada berbunyi:
“Guru-guru Kristen, Imam-imam serta pendeta-pendeta zending, harus
memiliki izin khusus yang diberikan oleh atau atas nama gubernur
jenderal agar dapat menyelenggarakan pekerjaan dinas mereka di
suatu bagian Hindia Belanda tertentu…”

Dari peraturan itu nampak bahwa pekabar Injil yang bekerja di Indonesia harus
memperoleh izin khusus dari pemerintah kolonial Belanda. Ketentuan ini sering
dipakai oleh pemerintah Belanda untuk mempersulit bahkan melarang usaha PI
di daerah-daerah tertentu. Jadi di sini kepentingan pemerintahan atau
kepentingan politis masih tetap diutamakan, sebagaimana halnya dulu
diberlakukan oleh VOC. Kalau di daerah tertentu, “keamanan dan ketertiban”
nya akan terganggu oleh usaha PI itu, maka daerah itu ditutup untuk PI. Artinya
pekabar Injil dilarang masuk ke sana. Tetapi di pihak lain, pemerintah sering
juga mendukung pekerjaan zending. Khususnya di daerah-daerah suku. Ini
didasari oleh pertimbangan, kalau suku-suku tertentu itu telah dikristenkan,
diharapkan mereka akan dapat menunjang kekuasaan Belanda. Untuk inilah
diberi bantuan berupa subsidi kepada lembaga-lembaga PI bagi usaha-usaha
pekabaran Injil yang dijalankan. Jadi di sini zending dipergunakan juga sebagai
alat mempertahankan kekuasaan Belanda.

7. Sikap Zending terhadap Pemerintah. Bagi zending, Kerajaan Allah tidak


sama dengan Kerajaan Belanda. Mereka tetap menyadari bahwa mereka
bekerja demi perluasan Kerajaan Allah, bukan demi perluasan Kerajaan
Belanda. Tetapi kadang-kadang perluasan Kerajaan Belanda itu mereka
anggap perlu, demi perluasan Kerajaan Allah. Misalnya dalam mengadakan
perubahan dan perbaikan kehidupan/kebudayaan suku-suku yang diinjili. Para
28
petugas zending telah merasa kewalahan menyudahi kebiasaan perang antar
suku, dll, maka mereka sering meminta bantuan penguasa, karena mereka
yakin bahwa kebiasaan yang tidak baik itu hanya dapat diatasi oleh bangsa
kuat pemerintah kolonial. Ini bukan berarti bahwa petugas-petugas zending itu
menghendaki penjajahan yang dilakukan Belanda atas Indonesia. Mereka tidak
menganut ideologi imperialisme dan tetap bersikap kritis kalau pemerintah tidak
melayani kepentingan-kepentingan orang-orang Indonesia yang dijajah itu.

GEREJA GEREJA DI MALUKU DAN IRIAN BARAT

1. Gereja-gereja di Maluku. Di daerah Maluku, ada dua gereja yang tergolong


besar, yakni: Gereja Protestan Maluku (GPM), yang kadang-kadang juga
disebut Gereja Ambon, dan satu lagi Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH).
a. Gereja Protestan Maluku (GPM). GPM mempunyai sejarah yang terbilang
paling lama di Indonesia, karena seperti sudah diterangkan di atas, daerah
Maluku itulah awal Sejarah Gereja di Indonesia. Sejarah Gereaja Maluku
boleh dikatakan sebagai ringkasan dari sejarah gereja di Indonesia.
Periodisasi dari sejarah gereja itu dapat dibagi sbb:
- 1522 – 1605: Usaha missi RK, serta pengkristenan yang pertama.
- 1605 – 1815: Gereja di Maluku di bawah pemeliharaan VOC (sampai thn
1800), dan sesudah itu di bawah pemeliharaan Pekabaran
Injil dari Inggris (1811-1815).
- 1811 – 1864: Hidupnya kembali gereja di Maluku atas usaha PI dari
NZG, yang bekerjasama dengan Gereaja Protestan di
Indonesia asuhan pemerintah.
- 1864–1935: Gereja Maluku di bawah pimpinan gereja Protestan/
pemerintah.
- 1935–skrng: GPM sebagai gereja yang berdiri sendiri.

2. Thn 1522 dijadikan titik permulaan kekristenan di Maluku karena pada tahun
itulah orang-orang Portugis mulai tinggal menetap di beberapa tempat di sana
antara lain di Ternate, Ambon, dll. Seperti sudah diterangkan juga, petugas-
petugas gereja yang dikirim pemerintah Portugis ke sana pada mulanya hanya
memelihara kerohanian orang-orang Portugis itu sendiri, tetapi kemudian missi
Kristen juga dilakukan kepada orang-orang penduduk setempat. Namun usaha
missi Kristen itu tidak begitu maju karena beberapa hal, yakni: persaingan raja-
raja setempat yang sudah beragama Islam. Adanya jumlah petugas (imam)
yang sangat sedikit. Dan karena orang-orang Portugis itu kurang
memperlihatkan kehidupan Kristen yang baik.

Baru setelah tahun 1540an mulai terjadi kemajuan, yakni setelah datangnya
orang-orang Yesuit di sana, seperti Fransiscus Xaverius yang sudah disinggung
pada bagian muka. Mereka ini telah mempersiapkan calon-calon baptisan lebih
baik dan juga melakukan pembinaan setelah dibaptiskan. Tetapi di saat-saat
kekristenan itu mulai mengalami kemajuan, kekristenan di sana segera
menghadapi rintangan berat dari penguasa Islam yang ada di sana, terutama
dari Sultan Hainun. Sultan Hainun ini dibunuh tentara Portugis tahun 1570.
29
Tetapi akibatnya orang Islam di sana menjadi marah. Orang Kristen ditindas
berat, perkampungan Kristen dibakar. Oleh sebab itu orang-orang Kristen
semakin berkurang karena banyak yang murtad, dan akhirnya kekristenan
semakin surut, sejalan dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di sana yang
diganti oleh Belanda.

3. Tahun 1605 orang-orang Belanda melalui badan VOC mulai menggantikan


kedudukan Portugis di Maluku. Pada masa ini pekabaran Injil tidak dilakukan.
Beberapa jemaat Kristen memang didirikan, seperti di Ternate, tetapi anggota
dari jemaat itu umumnya adalah orang-orang Belanda yang bekerja di tempat
itu, dan sejumlah kecil orang-orang pribumi yang diwarisi dari zaman Portugis.
Tetapi orang-orang pribumi itu akhirnya makin berkurang, karena kurangnya
perhatian dan pembinaan dari pendeta-pendeta Belanda yang melayani jemaat
itu.
4. Tahun 1815, NZG mengutus penginjil Josef Kam (1769-1833) bekerja di
Ambon untuk mengurus dan melayani gereja yang ada di sana bersama
pemerintah kolonial Belanda. Dia melakukan pekerjaan itu dengan penuh
kesungguhan dan pengabdian. Karena usahanya yang sungguh-sungguhn dan
karena kemajuan besar yang diperoleh, maka Josef Kam di kemudian hari
mendapat gelar sebagai rasul orang Maluku atau seorang Reformator Maluku.
Sebelum datangnya Josef Kam, hidup kekristenan di sana masih sangat
dangkal. Kekristenan masih bercampur dengan tahyul dan perbuatan-
perbuatan yang bersifat magis. Selain itu pengaruh adat dan raja-raja kampung
(regent) begitu besar dalam kehidupan gereja. Raja-raja kampung itu
beranggapan turut serta menentukan segala sesuatu di dalam gereja. Tetapi
kebiasaan-kebiasaan itu sangat ditentang oleh Josef Kam dan pendeta-
pendeta lainnya yang diutus oleh NZG.

Usaha-usaha dari Josef Kam di Maluku yang membuat gereja di sana


mengalami kemajuan dan pembaharuan antara lain ialah:
► Dia memilih pekerja-pekerja gereja dengan memperhatikan bakat-bakatnya.
► Dia menerbitkan buku-buku bacaan, majalah dan buku-buku Nyanyian
Kristen atau gereja.
► Dalam menunjang usaha penerbitan buku-buku bacaan Kristen itu, maka dia
mendirikan percetakan di Ambon.
► Dia mendirikan Sekolah Guru Jemaat (1821), supaya memperoleh tenaga
yang cukup untuk mengasuh jemaat-jemaat itu. (Catatan: tahun 1885,
Gereja Protestan Maluku yang diasuh pemerintah mendirikan sebuah
sekolah guru Injil yang disebut STOVIL – Schooltot Opleidiing van Indlanse
Leeraren), yang tamatannya diangkat sebagai pegawai pemerintah atau
guru-guru sekolah yang diasuh oleh pemerintah.
► Mendirikan biduan suling sebagai alat musik di gereja. Sampai sekarang alat
musik suling itu masih tetap dipergunakan di Gereja Ambon.
► Dia mengusulkan supaya pekabar-pekabar Injil mendapat kuasa
pemerintahan di desa-desa. Tetapi usul ini tidak terlaksana, karena
bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah Belanda.

30
5. Tahun 1864-1935: Gereja Maluku benar-benar di bawah pimpinan pemerintah
Belanda. Pendetanya diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda. Tenaga-
tenaga NZG yang masih bertahan melayani di gereja itu dijadikan sebagai
pendeta pembantu, yang dipekerjakan di daerah-daerah. Seluruh pendeta yang
bertugas di gereja itu digaji oleh pemerintah Belanda. Sekolah-sekolah dan
rumah sakit-rumah sakit yang diasuh oleh NZG, diambil alih oleh pemerintah.
Pada zaman usaha penginjilan di daerah Ambon masih lemah. Sementara itu
petugas-petugas gereja Katolik sudah mulai masuk ke Kepulauan Ai dan
Tanimbar. Dan orang-orang Islam juga semakin berusaha mengembangkan
sayapnya di sana.
7. Tanggal 6 September 1935, Gereja Maluku ditetapkan menjadi sebuah gereja
yang berdiri sendiri, dengan nama Gereja Protestan Maluku. Tata gerejanya
ditetapkan tahun 1936, yang dari Tata Gereja itu nampak bahwa:
 Gereja itu memperlihatkan ciri sebuah gereaja bangsa. Anak yang lahir
dari sebuah psangan keluarga anggota gereja, secara otomatis menjadi
anggota gereja. Demikian juga anak yang disekolahkan di sekolah gereja,
adalah menjadi warga gereja tersebut.
 Gereja itu berbentuk “Presbyterial-Synodal”. Majelis gereja dipilih oleh
warga jemaat yang telah berumur 21 tahun ke atas dari antara penatua-
penatua dan syamas-syamas dalam gereja itu. anggota synode adaah
utusan dari setiap klasis.
 Daerah-daerah gereaja-gereja di bagi-bagi menurut tingkat kedewasaan
jemaat itu:
Klasis: mempunyai hak penuh dalam sinode. Bagian (Afdeling): belum
mempunyai hak penuh dan belum mempunyai majelis yang penuh. Bidang
(Terrein): merupakan lapangan pekabaran Injil atau jemaat zending.
 Sampai tahun 1942, pimpinan gereja masih tetap dipegang oleh pendeta
Belanda.
 GPM mempunyai beberapa badan zending, yakni: Ora et labora dan Sebiji
Sesawi. Setiap hari Reformasi 31 Oktober dirayakan sebagai “pesta
zending”.

b. Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH). Keristenan yang pertama masuk


di Halmahera juga dibawakan oleh orang-orang Portugis yang beragama
RK. Tetapi setelah orang-orang Portugis diusir oleh orang-orang Belanda
dari sana tahun 1630, kekristenan di sana menjadi hilang lenyap selama +
200 tahun, karena Belanda tidak berusaha untuk memelihara kekristenan
yang ada di sana sama sekali. Barulah mulai tahun 1865, badan zending
UZV (Utrechtsche Zendings Vereeniging) mulai memberi perhatian untuk
memberitakan Injil itu ke sana. Badan zending ini sebelumnya juga telah
bekerja di daerah Ambon setelah NZG mengundurkan diri di sana dan juga
di Irian Barat. Daerah Irian Barat mereka tinggalkan, karena pekerjaan
mereka di sana tidak menghasilkan buah. 19 juli 1866, tiga orang pekabar
Injil UZV yang pertama tiba di Halmahera. Tetapi dalam usaha untuk
menjalankan PI itu di sana, mereka segera menghadapi banyak kesulitan,
yakni:
 Kesulitan di bidang politik.

31
 Kesulitan karena sikap pemerintah Belanda yang tidak mendukung
usaha mereka.
 Kesulitan ekonomi.

Kesulitan politik yang dimaksud ialah gangguan dari Kesultanan Ternate


dan Tidore yang beragama Islam, yang sama sekali tidak menghendaki
masuknya kekristenan di daerah itu. Kedua kesultanan itu berusaha terus
untuk mengislamkan masyarakat Halmahera. Bagi penguasa Islam
tersebut, menjadi Kristen sama dengan menjadi Belanda. Banyak orang-
orang Kristen di daerah Halmahera yang ditangkap dan dipenjarakan oleh
serdadu-serdadu kesultanan itu. Kesulitan yang kedua ialah sikap
pemerintah Belanda di tempat itu yang tidak mendukung usaha mereka.
Residen Belanda di Halmahera tidak berani berbuat apa-apa untuk
membantu usaha pekabaran Injil itu, dengan alasan agar bisa
mempertahankan keamanan dan ketertiban di daerah itu. Malah penguasa
Belanda itu mengusulkan agar penginjil-penginjil UZV itu segera
meninggalkan daerah Halmahera. Jadi dengan demikian sikap pemerintah
Belanda itu adalah merupakan rintangan bagi usaha pekabaran Injil yang
digiatkan di sana.

Kesulitan ekonomi. Pedagang-pedagang Islam sering memberi pinjaman


kepada penduduk setempat, sebagi uang muka untuk hasil tanaman yang
akan dibeli dari mereka. Perbuatan seperti itu menjadi hutang budi bagi
penduduk setempat sehingga mereka sering mengiyakan begitu saja
kemauan dari pedagang-pedagang Islam tersebut. Tetapi pada akhir abad
19 penduduk memberontak kepada pedagang-pedagang Islam itu dan juga
kepada Sultan Ternate, karena mereka semakin menyadari sifat pedagang
dan penguasa Islam itu yang terlalu kejam. Seorang raja yang masih
menganut agama suku dari Tobelo bernama Sang Haji memimpin
pemberontankan itu. Dan kemudian dia dibaptis menjadi Kristen tahun
1898. Tetapi pembaptisan atas raja itu bukan lagi merupakan pembaptisan
yang pertama di negeri itu. Pembaptisan yang pertama sudah terjadi tahun
1874, yakni atas 5 orang laki-laki dan 2 orang wanita. Pembaptisan pertama
itu terjadi setelah para penginjil itu menunggu hasil pekerjaan mereka
selama delapan tahun. Sampai tahun 1899 jumlah orang-orang Kristen
yang sudah dibaptis baru mencapai 179 orang. Orang-orang Kristen yang
pertama itu mula-mula ditampung dalam sebuah kampung yang didirikan
oleh penginjil-penginjil itu, yang diberi nama Duma. Untuk penghuni
perkampungan itu dibuat peraturan yang berbunyi: “barang siapa mau
menetap di perkampungan itu, ia harus berjanji untuk meninggalkan
upacara-upacara kekafiran, tidak bekerja pada hari Minggu, dan harus setia
mengikuti kebaktian-kebaktian Kristen yang diselenggarakan”.

Gerakan pengkristenan di Tobelo baru terjadi setelah masuknya raja


mereka itu menjadi Kristen. Tahun 1901 terjadilah pembaptisan massal atas
3200 orang Tobelo itu. Tetapi sayang tenaga untuk memelihara dan
membina iman mereka tidak cukup. Untunglah di sana telah banyak orang-
orang Ambon yang dipekerjakan sebagai guru-guru sekolah zending.
32
Mereka inilah yang turut membantu usaha pekabaran Injil itu dengan cara
memberi pengajaran Kristen terhadap orang-orang yang baru dibaptis itu.
Dari antara orang-orang Halmahera itu sendiri pun ada juga yang ikut
dipersiapkan untuk bisa dipekerjakan sebagai guru dan penginjil. Dengan
cara seperti itu maka kekristenan sudah tersebar di seluruh kepulauan
Halmahera, dengan tujuh ressort, yakni: Tobelo, Morotai, Galela, Loloda,
Kau (Doding), Buli-Weda, dan Jailolo. Namun banyak juga penduduk di
sana yang belum Kristen, terutama mereka yang sudah menganut agama
Islam. Tetapi kemudian hubungan antara Kristen dan Islam di daerah itu
adalah cukup baik. Toleransi beragama sangat terpelihara dengan baik
sekali.

Gereja Halmahera sudah mulai mempersiapkan diri menjadi sebuah gereaja


yang mandiri tahun 1917. Tetapi karena pada waktu itu pengaruh pekabar-
pekabar Injil dari Eropa masih kuat dan tenaga pribumi belum ada yang
mampu untuk memimpin gereja itu, kemandirian itu baru bisa terwujud
tahun 1947. Gereja itu diberi nama: Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH).
Pada dasawarsa berikutnya GMIH mengalami suatu goncangan yang berat
yang disebabkan oleh gerakan-gerakan yang datang dari luar seperti:
gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), PERMESTA, dan PKI.

GEREJA DI IRIAN JAYA / PAPUA


(Gereja Kristen Injili di Irian Jaya/Papua)

1. Daerah Irian Jaya (Papua) agak lama baru mendapat perhatian dari dunia luar.
Pernah orang Portugis mencoba menduduki negeri ini setelah terlebih diadakan
penyelidikan tahun 1784. tetapi mereka segera meninggalkan tempat itu karena
diketahui pantainya kurang sehat untuk didiami. Tahun 1828 orang Belanda
juga mencoba memasuki daerah itu, tetapi mereka juga segera
meninggalkannya dengan alasan yang sama. Karena itu daerah Irian Jaya
lama sekali menjadi daerah kesultanan Tidore dari Maluku yang sudah mulai
mengembangkan kekuasaannya di sana sejak abad 16. Tetapi orang Belanda
kemudian juga berusaha lagi untuk berkuasa di sana mulai tahun 1898. Namun
sebelum masuknya kekuasaan Belanda itu, tahun 1855 pekabar-pekabar Injil
dari Eropa telah memulai usaha pekabaran Injil di Irian Jaya. Adapun
periodisasi sejarah gereja di Irian Jaya adalah sbb:
 1855 – 1924 : Perintisan dan permulaan Injil di Irian Jaya
 1924 – 1942 : Masa pembinaan gereja oleh badan zending UZV
 1942 – 1946 : Masa penginjilan pada waktu pendudukan Jepang dan
perang dunia II.
 1946 – 1956: Pembangunan kembali gereja itu oleh badan zending UZV
yang kemudian berubah menjadi ZNHK (Zending der Nederlandsc
Hervormde Kerk)
 1956 – sekarang: Gereja Kristen Injili di Irian Jaya yang berdiri sendiri

2. 1855-1924. Pada thn 1855, ada 2 orang penginjil tukang (penginjil yang sambil
bekerja sebagai tukang) diutus dari Belanda, tiba di Irian Jaya yakni C.W. Ottow

33
dan J.G. Geissler. Keduanya adalah orang Jerman tetapi diutus dari Belanda.
Mereka memulai penginjilan itu di daerah Kwawi. Lalu kedua mereka disusul
lagi tahun 1863 oleh 4 orang utusan zending UZV. Namun dalam waktu yang
lama hasil pekerjaan mereka tidak terus ada. Banyak kesuliatan mereka hadapi
di daerah itu, a.l.:
 Daerah itu sebagai sarang penyakit malaria.
 Keadaan geografis yang sangat sulit: daerah pegunungan, hutan yang lebat
dan jalan yang tidak ada.
 Penduduk yang sangat jarang sekali.
 Adat istiadat suku-suku setempat yang sangat keras.
 Daerah pantai yang pada umumnya sudah dikuasai oleh Islam.

Karena kesulitan-kesulitan tersebut, maka dari antara 18 tenaga UZV yang


dikirim ke Irian Jaya sampai tahun 1900, 6 orang meninggal, 3 orang pindah
karena sakit, 3 orang berhenti karena tidak sanggup, 3 orang dipindahkan ke
pulau lain, hingga hanya 3 orang yang bisa bertahan. Orang Irian Jaya yang
pertama dibaptis terjadi tanggal 1 Januari 1865, oleh Geissler, yakni dua orang
wanita. Empat tahun berikutnya bertambah tiga orang laki-laki dan satu orang
wanita. Selama masa waktu 25 tahun pengbinjilan di sana (1855-1880), hanya
22 orang yang berhasil dibaptis, dan dalam 20 tahun berikutnya sampai tahun
1900, bertambah lagi 209 orang, dan pembaptisan itu hanya terjadi di
Mansiman, Kwawi dan Andai. Sejak tahun 1907, penginjilan diperluas sampai
ke Sorong (Irian Barat), Pulau Biak dan Supiori di bagian Utara, ke Fak-fak di
bagian Selatan dan ke Senatani di bagian Timur. Tahun 1917 Pdt. Van Hasselt
membuka Sekolah Guru di pulau Mansiman yang diberi subsidi dari
pemerintah. Tahun 1924, di daerah ini sudah terbentuk 11 ressort, yang
masing-masing dipimpin oleh pendeta utusan UZV.

3. 1924-1942: Pada masa-masa ini usaha-usaha zending di setiap wilayah


kerjanya makin diintesifkan. Tahun 1925, pusat pendidikan Guru di Mansiman
dipindahkan ke Miei di Teluk Wandamen di bawah pimpinan Ds. I.S. Kijne.
Sejak tahun 1929, karena zending UZV kekurangan biaya (karena zaman
Malaise), daerah penginjilan di Fak-fak dan Babo diserahkan menjadi daerah
asuhan GPM. Di jemaat yang sudah maju diangkatlah penatua-penatua dan
syamas-syamas (diaken-diaken), yang bersama guru jemaat membentuk
majelis jemaat.

4. 1942-1946: Masa penginjilan pada zaman pendudukan Jepang dan PD II


(1942-1946). Pada masa ini gereja di Irian sangat menderita karena seluruh
pekerja-pekerja zending dari Belanda ditangkap dan dibawa oleh tentara
Jepang karena pada waktu itu belum ada pendeta dari orang Irian itu, maka
selama PD II tidak ada pelayanan sakramen. Selain itu banyak juga guru-guru
sekolah yang ditawan dan dibunuh oleh tentara Jepang. Karena tidak tahan
banyak guru-guru yang tidak tahan sehingga banyak mencari kerja ke kota.
Sejak 24 April 1944, tentara sekutu (amerika) mendarat di Jayapura dan daerah
Irian Jaya dipergunakan sebagai basis melawan Jepang. Hal ini membuat
kegiatan jemaat sering terganggu. Dalam pendudukan Jepang itu, kepercayaan

34
yang lama bangkit kembali. Hubungan antar ressort terputus, dan hubungan
dengan pusat UZV di Belanda juga terputus.

5. 1946-1956: Masa pembangunan kembali oleh zending UZV?ZNHK. Berbeda


dengan daerah Indonesia, Irian Jaya tidak mengalami perang/revolusi
kemerdekaan. Setelah kekalahan Jepang, Irian Jaya tidak ikut menduduki,
karena Belanda bertahan menduduki daerah itu sampai 1 Juli 1963. Sejak
berhasilnya Belanda dan tentara sekutu masuk kembali ke daerah ini badan
zending UZV kembali berusaha membangun kembali. Keadaan gereja di sana
yang telah sempat masuk dan hancur selama Jepang. Badan zending ini, yang
sejak tahun 1951 berubah nama menjadi Zending der Nederlandse Hervormde
Kerk (ZNHK), mengadakan usaha-usaha sbb:
 Mempersiapkan gereja di Irian Jaya menjadi satu gereja yang mandiri.
 Mengkonsolidasikan pekerjaan dan organisasi gereja (ressort, klasis dan
jemaat). Untuk ini didatangkanlah sejumlah tenaga pendeta dari Belanda.
 Usaha pengembangan pendidikan dan sekolah-sekolah dengan bantuan
pemerintah.
 Membuka kembali Sekolah Penginjil di Miei.
 Membuka kursus guru jemaat di Serui (P. Yapen) yang tahun 1954
ditingkatkan menjadi Sekolah Theologia.
 1952, menahbiskan pendeta yang pertama dari Irian Jaya, yakni Pdt.
Rumainum, setelah melalui kursus khusus.
 Mempersiapkan pembentukan tata gereja yang berdiri sendiri pada Sinode
tahun 1954.

6. 1956 – sekarang: Gereja Kristen Injili di Irian Jaya berdiri sendiri. Kemandirian
gereja itu mulai 26 Oktober 1956, dengan nama pada waktu itu: Gereja Kristen
Injili di Irian Barat. Tetapi sejak nama Irian Barat diganti menjadi Irian Jaya
tahun 1973. Nama gereja itu juga diganti menjadi: Gereja Kristen Injili di Irian
Jaya. Anggotanya pada permulaan kemandirian itu: 135.000 orang, yang terdiri
dari 500 jemaat dan 200 bakal jemaat. Sampai tahun 1962, pimpinan gereja
sebagian masih dipegang oleh Belanda, barulah sejak tahun 1962, semua
unsur pimpinan sudah dipegang oleh orang Irian itu sendiri. Tahun 1959,
Sekolah Tinggi di Serui dipindahkan ke Abepura (dekat Jayapura), yang sejak
1968 ditingkatkan menjadi sebuah Sekolah Tinggi Theologia. Sejak tahun 1959
itu, gereja ini telah bekerja sama juga dengan RMG/VEM untuk mengadakan
usaha pekabaran Injil di Lembah Balicum di Wamena dan juga di Angguruh.

7. Badan-badan zending yang lain yang bekerja di Irian Jaya. Selain UZV?
ZNHK, badan-badan zending yang lain yang pernah bekerja di Irian Jaya ialah:
 Unevangelized Fields Mission (Amerika)
 Region Beyrod Missionary Union (Amerika)
 Evangelical Alliance Mission (Amerika)
 Christian And Missionary (Amerika)
 Mennonit (Belanda)
 VEM (Verenigte Evangelische Mission) atau RMG

35
GEREJA-GEREJA DI SULAWESI

1. Ada delapan yang tergolong gereja Protestan ayang tumbuh di daerah Sulawesi,
yakni:
 Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)
 Gereja Masehi Injili Sangir dan Talaud (GMIST)
 Gereja Masehi Injili Bolang Mongondow (GMIBM)
 Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST)
 Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao
 Gereja Toraja Mamasa
 Gereja Protestan Sulawesi Tenggara (Gepsultara)
 Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS)

Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)

1. Permulaan Gereaja (1563-1823). PI yang pertama di daerah Minahasa terjadi


tahun 1563 oleh orang-orang Portugis. Namun kekristenan itu tidak berakhir,
karena kurangnya pembinaan. Mereka masuk Kristen, bukan karena sudah
memahami kekristenan itu, melainkan hanya untuk mendapat perlindungan dari
orang-orang Portugis dalam menghadapi serbuan kesultanan. Akibatnya orang-
orang Kristen itu kembali kepada kekafiran. Tahun 1606, orang-orang Spanyol
dari Filipina mencoba memasuki Sulawesi Utara menggantikan orang-orang
Portugis. Mereka berminat menumbuhkan kekristenan itu, dengan mengutus
sejumlah missionaris. Tetapi usaha mereka adalah gagal, karena pekerja
banyak yang mati dan mendapat tantangan berat dari penduduk setempat.
Tahun 1663 VOC berhasil memasuki daerah Minahasa, tetapi pada masa
kekuasaan VOC ini kekristenan tidak berkembang, karena tidak mendapat
perhatian dari VOC. Pendeta tidak ada yang ditempatkan di sana. Hanya
sekali-kali ada kunjungan pendeta dari Ambon. Tahun 1817, Josep Kam dari
Maluku (Ambon) berkunjung ke daerah Minahasa dan pada waktu itu dilihatnya
jemaat-jemaat di sana sangat terlantar. Sesudah kunjungannya itu, maka dia
mengajukan supaya penginjil NZG diutus ke sana. Dan itu terealisasi tahun
1822.

2. 1822-1875: Pekabaran Injil di Minahasa oleh NZG. Utusan pekabaran Injil


NZG yang pertama ke Minahasa ialah Miller dan Lammers. Ahanya sayang
keduanya meninggal dalam waktu yang singkat (1824 dan 1826). Setelah itu
NZG juga bekerjasama dengan gereja pemerintah (Protestan), di mana
pemerintah juga menempatkan seorang pendeta di Manado, yakni: Ds.
Hellendoorn. Dia bekerja di sana sampai akhir hayatnya tahun 1839. Sejak itu
bantuan dana juga telah diperoleh dari pemerintah untuk membina kehidupan
Kristen itu. Penginjil yang sangat terkenal di Manado ialah Riedel dan Schwarz.
Keduanya adalah orang Jerman yang mempunyai pendidikan di pusat Pietisme
Halle. Sesudah mereka tiba di Minahasa, mereka bekerja dengan sangat aktif,

36
sehingga kekristenan berkembang dengan cepat. Ada beberapa faktor yang
turut memperlancar usaha PI di Minahasa, yakni:

 Daerah Minahasa yang sudah dirintis lebih dahulu untuk menerima


Injil pada zaman Portugis dan zaman VOC.
 Keadaan geografis yang baik: penduduk rapat, dan hubungan lalu
lintas baik.
 Kontak yang sudah lama dengan pemerintah Belanda. Banyak anak-
anak Minahasa yang masuk ketentaraan Belanda.
 Kebijaksanaan para pekabar Injil yang menempatkan tenaga dalam
jumlah yang besar.
 Adanya pemeliharaan iman yang intensif: evangelisasi, khotbah,
katekhisasi, perkunjungan rumah tangga dan sekolah-sekolah yang
diasuh zending.
 Dipergunakannya bahasa daerah sebagai pengantar.
 Tenaga-tenaga pribumi segera dipergunakan: guru sekolah, guru
jemaat, evangelis, dan bahkan pendeta (sejak tahun 1847).
 Didirikannya sekolah-sekolah, rumah sakit dan pelayanan sosial.

3. 1876-1934: Gereja Minahasa di bawah naungan Gereja Protestan


(Pemerintah). Adanya perkembangan kekristenan yang sangat pesat di
Minahasa pada periode II, mengakibatkan NZG tidak sanggup lagi membiayai
pekerjaan itu. Supaya pekerjaan itu dapat berkelanjutan, jalan satu-satunya
ialah menyerahkan pekerjaan itu kepada pemerintah. Pemerintah
menerimanya, dengan pertimbangan:
 Pemerintah merasa wajib untuk memelihara warisan yang asalnya dari
VOC, walaupun jumlahnya telah diperkembangkan NZG dari 3000 orang
menjadi 80.000 orang.
 Pemerintah menyadari bahwa daerah Minahasa sangat penting artinya
dalam politik pemerintahannya.
 Penyerahan itu dilakukan tahun 1876. Sejak itu semua pekerja yang
fulltimer adalah mendapat gaji dari pemerintah, mulai dari pendeta, pendeta
pembantu, guru-guru Injil dan guru-guru jemaat. Sejak tahun 1886, RK
berusaha kembali masuk di Minahasa. Walaupun sebenarnya pada waktu
itu ada larangan pekabaran Injil rangkap. Kegiatan RK melalui sekolah-
sekolah dan rumah sakit sangat banyak menarik perhatian penduduk
setempat.

4. 1934-sekarang: Gereja dinamakan sebagai gereja yang berdiri sendiri dengan


nama: Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM). Artinya sejak tahun itu GMIM
telah mempunyai tata gereja sendiri. Tetapi walaupun sudah dikatakan berdiri
sendiri, soal keuangan masih tetap berhubungan dengan pemerintah di
Jakarta. Anggaran belanjanya sebagian besar masih dipikul oleh pemerintah
Belanda. Hal itu masih terus berlaku sampai tahun 1949, yakni ketika
penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda ke RI. Belakangan ini telah
ada beberapa gereja/sekte yang memisah dari GMIM, yakni:
a. Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), memisah tahun 1933.

37
b. Adventis
c. Pentakosta

Gereja Masehi Injili Sangir dan Talaud (GMIST)

1. Permulaan kekristenan di Sangir dan Talaud. Permulaan masuknya


kekristenan di daerah ini adalah bersamaan dengan masuknya kekristenan di
Minahasa, yakni melalui orang Portugis, yang datang ke sana untuk
menghempang pengaruh Sultan Ternate. Pembaptisan pertama dimulai tahun
1563 kepada raja-raja setempat beserta dengan rakyatnya. Tetapi orang-orang
Kristen yang sudah dibaptis tidak dipelihara secara intesif. Orang-orang
Spanyol juga sempat masuk ke sana tetapi hanya sebentar saja. Tahun 1677,
VOC masuk ke sana dan menguasai kepulauan itu, tetapi kekristenan di sana
tidak diperhatikan, seperti keadaannya juga di Minahasa. Pendeta hampir tidak
pernah mengunjungi daerah itu. Tahun 1817, Josef Kam dari Ambon juga
berusaha mengunjungi daerah ini, tetapi tidak bisa memberi pertolongan
karena NZG kekurangan tenaga. Tahun 1855, seorang pendeta Belanda
bernama Ds. Buddingh memulai perkunjungan ke daerah ini. Pada waktu itu
dia banyak membaptiskan penduduk setempat. Dan dia mencatat pada waktu
itu jumlah orang Kristen seluruhnya di sana ada sebanyak 20.000 orang dan 24
gedung gereja yang juga dipakai sebagai ruangan sekolah.

2. Masuknya penginjil-penginjil tukang sejak tahun 1855. Pemerintah Belanda


merasa enggan mengambil alih bekas asuhan VOC itu kepada gereja
Protestan, karena pertimbangan biaya yang diperlukan. Untunglah ada jumlah
penginjil-penginjil tukang datang ke sana mulai tahun 1855. Mereka diutus dari
negeri Belanda, kendatipun kebanyakan mereka adalah orang-orang Jerman
yang beraliran pietis. Mereka datang ke sana dipimpin oleh Ds. Heldring.
Dalam usaha pekabaran Injil itu mereka juga bekerja sebagai tukang. Namun
pekabar-pekabar Injil itu juga mengalami kesulitan karena subsidi yang
diberikan pemerintah Belanda sangat sedikit. Dan walaupun keterampilan
bertukang ada pada mereka, tidak mungkin mereka melakukan pekerjaan itu,
karena luasnya pekerjaan mereka dan penduduk setempat tidak ada yang
membutuhkan hasil pertukangan mereka. Akhirnya penginjil-penginjil tukang ini
mengundurkan diri. Tetapi kemudian suatu badan zending yang bernama
“komite Jawa” bekerjasama dengan UZV dan NZV berusaha memelihara
jemaat-jemaat Protestan yang ada di sana dengan membentuk sebuah badan
yang bernama “Komite Sangir dan Talaud”.

3. Permulaan abad 20. Sejak permulaan abad 20 ini kekristenan Sangir dan
Talaud semakin berkembang. Hal itu disebabkan antara lain oleh:
a. Jumlah subsidi dari pemerintah Belanda makin ditingkatkan, yakni tiga
perempat dari anggaran belanaja dari gereja itu.
b. Dengan subsidi tersebut semakin banyaklah Pelayan Firman Allah (Verbi
Divini Minister) yang bisa dibiayai.
c. Usaha pendidikan makin ditingkatkan, termasuk kursus-kursus terhadap
guru-guru dan penginjil-penginjil.

38
Tahun 1934: Sejak tahun 1934 gereja ini telah dipersiapkan menjadi sebuah
gereja yang berdiri sendiri, tetapi pelaksanaannya baru bisa dilakukan setelah
Perang Dunia II tahun 1947 dengan nama: Gereja Masehi Injili Sangir dan
Talaud (GMIST).

Gereja Masehi Injili Bolang Mongondow (GMIBM)

a. Gereja ini berdekatan dengan gereja Minahasa di Sulawesi Utara. Pada zaman
VOC sudah pernah ada sejumlah orang Kristen di sana, tetapi kemudian
mereka murtad menjadi kafir dan Islam, karena tidak ada pemeliharaan
terhadap mereka. Pada abad 19 daerah ini sudah diislamkan oleh orang-orang
Gorontalo, sehingga daerah itu menjadi sulit dimasuki oleh Injil itu.
b. Kekristenan mulai kembali masuk ke daerah Bolang Mongondow baru pada
permulaan abad 20 ini, yakni melalui orang-orang Minahasa yang berpindah ke
sana. Pada abad sebelumnya NZG sudah meminta untuk bisa masuk ke sana,
tetapi izinnya ditolak oleh pemerintah Belanda. Baru pada abad 20 ini izin bisa
diberikan, yakni setelah adanya orang-orang Kristen Minahasa bermukim di
sana.
c. Penginjil NZG yang pertama masuk ke sana ialah Dumnebier, tahun 1904. Dan
tahun ini dianggap oleh gereja tersebut sebagai tahun permulaan gereja di
sana. Tetapi masyarakat setempat yang pada umumnya sudah menjadi Islam
sudah sulit masuk menjadi Kristen. Anggota gereja di sana mayoritas adalah
orang-orang Kristen Minahasa yang berpindah ke sana. Tetapi keadaan ini
telah menimbulkan kesulitan bagi perkembangan gereja itu sendiri terutama
dalam hal yang menyangkut kesatuannya, karena sifat kedua sukku itu
berbeda. Orang-orang Kristen Minahasa sudah lama menjadi Kristen,
sedangkan orang-orang Bolang-Mongondow itu sendiri masih baru menjadi
Kristen. Kesulitan yang lain juga karena bahasa mereka yang berbeda. Orang-
orang Kristen Minahasa itu sudah biasa memakai bahasa Melayu yang menjadi
bahasa persatuan dalam gereja, sedangkan orang-orang Bolang-Mongondow
itu sendiri berpegang kepada bahasa daerah itu sendiri.
d. Sinode yang pertama dari gereja itu terjadi tahun 1940, dan sekaligus sebagai
penetapan gereja itu menjadi gereja yang berdiri sendiri dengan nama: Gereja
Masehi Injili Bolang Mongondow, yang berpusat di Kotamobagu.

Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST)

1) Usaha PI di Sulawesi Tengah dilakukan oleh NZG, mulai tahun 1893. Dua
orang utusannya yang pertama ialah Dr. A.C. Kruyt dan N. Adriani, seorang ahli
bahasa dari Lembaga Alkitab Belanda. A.C. Kruyt adalah anak dari J. Kruyt,
yang pernah menjadi penginjil di Mojowarno, Jawa Timur, dan adik dari H.
Kruyt, penginjil pertama di Tanah Karo. Semula mereka bermaksud bekerja di
Gorontalo, karena di sana sudah ada sebuah jemaat kecil yang anggotanya
terdiri dari orang-orang Minahasa. Tetapi karena perkembangan kekristenan di
sana dirasa sudah sangat sulit sekali karena penduduknya sudah beragama
Islam, maka mereka pindah ke Poso Sulawesi Tengah, di mana penduduknya
masih banyak yang beragama suku. Di Sulawesi Tengah, A.C. Kruyt berusaha
menjadi kekristenan itu berakar dalam kehidupan masyarakat setempat,
39
janganlah agama Kristen itu dianggap sebagai “agama Belanda”. Untuk itu
metode yang dia lakukan ialah:
a. Mempelajari secara mendalam bahasa dan adat-istiadat daerah setempat.
Bahasa Melayu tidak dipergunakan, karena pada waktu itu bahasa tersebut
dianggap oleh masyarakat setempat sebagai bahasa pemerintah kolonial
Belanda. Untuk budaya dan adat-istiadat bahkan dalam hal yang
menyangkut kepercayaan suku setempat, A.C. Kruyt bisa menjadi ahli, dan
menulis beberapa buku. Salah satu buku yang ditulisnya yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul: “Keluar dari agama
suku dan masuk menjadi Kristen”.
b. Kekristenan itu diusahakan bisa diterima secara kolektif, sesuai dengan
sifat-sifat suku itu, bukan secara individual. Tetapi dia tidak amu kekristenan
itu diterima secara dangkal sekali. Karena itu dia lebih dulu melakukan
pengajaran kekristenan yang memadai kepada masyarakat itu sebelum
mereka dibaptis menjadi Kristen. Agar kekristenan itu bisa diterima secara
kolektif, maka dia berusaha mendekati lebih dulu kepala-kepala suku atau
kepala-kepala kampung. Dan memang orang yang pertama dibaptis
menjadi Kristen di daerah itu ialah seorang kepala suku Topebato di sebuah
aampung dekat Poso, yang bernama Papa Islam Wunte, tahun 1909.
Pembaptisan yang pertama itu terjadi 16 tahun setelah mereka memulai
pekerjaan di sana. Itu menunjukkan bahwa dia tidak terlalu tergesa-tergesa
untuk melakukan pembaptisan itu sebelum adanya persiapan pengajaran
yang cukup. Kepala suku itu dibaptis bersama istrinya, dan 167 orang
anggota masyarakat sukunya. Sejak itu maka seringlah terjadi pembaptisan
secara berkelompok, sehingga tahun 1938, gereja Kristen sudah berdiri di
seluruh suku-suku yang ada di negeri itu.
c. Mengadakan pendidikan yang intensif. Untuk ini dia mendatangkan
sejumlah guru-guru sekolah dan guru-guru Injil dari Minahasa.
d. Mengadakan kursus-kursus pendidikan guru dan penginjil bagi penduduk
setempat, yakni di Pendolo (1913) dan Tentena, dibuka sebuah sekolah
guru Injil tahun 1929. Sejak tahun 1940, sekolah itu juga mendidik calon-
calon pendeta bagi warga gereja setempat.
e. Mendirikan ressor-ressort sebagai pusat pelayanan bagi jemaat-jemaat
yang sudah berdiri.

2. Pada tahun 1947, gereja ini diresmikan sebagai gereja yang berdiri sendiri.
Bentuk gereja ini ialah presbyterial-synodal, yang strukturnya mulai dari majelis
jemaat – klasis – synode. Jemaat diurus oleh majelis jemaat, klasis diurus oleh
badan pekerja klasis yang dipimpin oleh seorang pendeta yang dipilih oleh
synode. Pusat dari gereja ini ialah di Tentena Poso.

Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao

3. Usaha PI yang pertama di daerah Toraja Makale Rantepao, dilakukan oleh


Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dari Belanda. Pekabar Injil yang pertama
ialah A.A. van de Loosdrecht, 7 Nopember 1913. Tetapi dia mati terbunuh pada
waktu pemberontakan yang dilakukan penduduk setempat melawan Belanda,
26 Juli 1917. Namun usaha PI di sana berjalan terus. Dengan dukungan
40
Lembaga Alkitab Belanda, sekolah-sekolah didirikan, pendidikan guru dan
rumah sakit dibuka. Tahun 1947, dalam usia yang masih muda gereja ini sudah
berdiri sendiri dengan nama Gereja Kristen Toraja Makale Rantepao. Suatu
pergumulan dari gereja ini dan gereja Toraja lainnya ialah pengaruh adat-
istiadat masyarakat Toraja yang masih sangat kuat.

Gereja Toraja Mamasa

4. Usaha PI yang pertama di daerah Toraja Mamasa dilakukan oleh Gereja


Protestan mulai tahun 1912. Tetapi karena gereja itu tidak sanggup lagi
meneruskannya, maka pekerjaan itu diserahkan kepada Gereja Kristen
Gereformeerd Belanda. Tahun 1927 gereja ini mengutus untuk pertama kali
pekabaran Injil yang bernama Bikker. Pada waktu itu dia telah menjumpai di
sana sejumlah orang-orang Kristen dan beberapa sekolah yang dipimpin oleh
guru-guru Kristen dari Ambon. Sepuluh tahun sesudah itu jumlah orang Kristen
di sana bertambag menjadi 5000 orang dalam 30 jemaat. Perkembangan yang
lebih cepat terjadi setelah kemandirian gereja itu tahun 1948. Seperti halnya
gereja-gereja lain di Sulawesi Selatan, tahun 1950 gereja ini banyak mengalami
penderitaan dari gerombolan Darul Islam. Gereja ini berpusat di Mamasa
Sulawesi Selatan.

Gereja Protestan Sulawesi Tenggara (Gepsultara)

5. Pada permulaan abad 20 ini di kota Kendari Sulawesi Tenggara sudah berdiri
sebuah jemaat Kristen yang anggotanya terdiri dari orang-orang Ambon dan
Minahasa yang bekerja di sana. Tetapi pada waktu itu belum ada badan
zending yang bekerja di sana. Badan zending yang pertama bekerja di daerah
ini ialah Nederlansche Zendingsvereniging (NZV), dengan mengutus
penginjilnya yang pertama bernama Van der Klift, tahun 1915. tetapi
pembaptisan yang pertama dilakukan atas penduduk setempat baru terjadi
tahun 1929 di Sanggona, sebanyak 50 orang. Kira-kira sepuluh tahun
berikutnya jumlah itu bertambah menjadi 3000 orang. Penginjilan di sana
banyak mengalami kesulitan dan hambatan karena pengaruh Islam yang sudah
cukup kuat. Orang-orang yang beragama suku hanya tinggal sedikit saja, dan
merekalah yang berhasil dikristenkan. Tahun 1950an, orang-orang Kristen di
sana juga mengalami penderitaan dari gerombolan Darul Islam. Kantor Pusat
dari gereja itu di Lambuya habis dibakar. Tetapi setelah itu pusatnya
dipindahkan ke kota Kendari. Gereja ini mulai berdiri sendiri tahun 1957.

Gereja Kristen Sulawesi Selatan (GKSS)

6. Sejak VOC menduduki daerah Sulawesi Selatan tahun 1667, di sana telah
berdiri beberapa jemaat VOC, antara alain di Makassar, Bontain, Bulukumba
dan Salayar. Tetapi usaha PI kepada penduduk setempat tidak dilakukan sama
sekali. Usaha PI di daerah itu mula-mula dipelopori oleh seorang pendeta GPI
yang bernama Toewater, tahun 1840 dan Dr. Matthes yang diutus oleh
Lembaga Alkitab Belanda untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa
daerah setempat. Dr. Matthes inilah yang mengusulkan supaya NZG memulai
41
usaha PI di sana. Itu dilakukan oleh NZG mulai tahun 1851 dengan mengutus
beberapa orang penginjil ke sana. Tetapi selama 13 tahun usaha penginjilan itu
dilakukan oleh NZG, hasilnya tidak ada, sehingga pekerjaan itu terpaksa
dihentikan. Kemudian sejak tahun 1895 badan zending NZV mencoba usaha PI
ke sana, tetapi setelah selama 10 tahun hasilnya juga tidak ada, maka
penginjil-penginjil NZV itu akhirnya dipindahkan ke Halmahera Maluku. Usaha
PI yang ketiga dimulai tahun 1933 yang dilakukan oleh GPI dan juga Gereja
Gereformeerd dari pulau Jawa. Gereja Protestan itu menempatkan seorang
pendeta dan sejumlah guru sekolah untuk bekerja di sana. Sedangkan gereja
Gereformeerd membuka sebuah rumah sakit di Labuang Baji, Sulawesi
Selatan, beserta sebuah gereja, sekolah dan rumah bacaan. Sesudah Perang
Dunia II, usaha kedua gereja itu dipersatukan dan mendirikan sebuah sekolah
penginjil di Makassar. Rumah sakit di Labuang Baji itu pun makin ditingkatkan.
Tahun 1965, gereja ini menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri, yang
berpusat di kota Ujung Pandang.

GEREJA GEREJA DI NUSA TENGGARA DAN BALI

A.
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

1. Gereja di Timor memperlihatkan gambaran dan latar belakang yang beraneka


ragam. Ada jemaat yang sudah tua yang berasal dari zaman VOC, ada jemaat-
jemaat hasil PI NZG dan ada jemaat-jemaat baru hasil PI yang dilakukan oleh
Gereaja Timor itu sendiri. Gereja di sana telah melalui sejarah yang cukup
panjang ayang periodisasinya dapat dibagi sbb:
 1556-1612 : permulaan kekristenan di zaman Portugis.
 1612-1800 : Gereja Timor pada masa VOC.
 1800-1942 : Gereja Timor pada masa pemerintah kolonial
Belanda.
 1942-1945 : Gereja Timor pada masa pendudukan Jepang.
 1945-1947 : Masa persiapan pembentukan GMIT.
 1947-sekarang: GMIT sebagai gereja yang berdiri sendiri.

2. Seperti yang sudah diuraikan di atas, bahwa pada zaman Portugis, penginjil-
penginjil RK dari Ordo Dominikan sudah pernah melakukan penginjilan di
beberapa daerah di Timor, tetapi hasilnya tidak seberapa banyak.
a. Tahun 1612 pendeta Belanda yang pertama bekerja di Indonesia, yakni Ds.
M. van den Broek adalah bertempat di Kupang. Tetapi ketika pendeta-
pendeta Belanda diminta supaya menuruti segala kemauan penguasa VOC,
ada juga dari antara pendeta-pendeta itu yang tidak merasa senang
menuruti kemauan itu begitu saja, termasuklah Ds. M. van den Broek itu.
Karena tidak mau tunduk begitu saja kepada perintah VOC, dia terpaksa
kembali ke negerinya tahun 1615. Sejak itu daerah Timor hampir tidak
mendapat perhatian lagi. Dan penempatan pendeta di sana tidak terus lagi
dilakukan, hanyalah pada tahun 1670-1688 dan 1753-1758. Di luar waktu

42
tersebut jemaat-jemaat di Timor ditempatkan di bawah pengawasan gereja
VOC dari Jakarta. Pulau Rote baru dimasuki Injil tahun 1730 dan pulau
Sawu tahun 1750. Akan tetapi pemeliharaan orang-orang Kristen di daerah
itu tidak dilakukan, sehingga ketika PI diusahakan kembali ke tempat itu
tahun 1872 oleh NZG, di sana hampir tidak dijumpai lagi adanya sisa-sisa
penginjilan sebelumnya.

b. Setelah terjadi peralihan dari VOC kepada pemerintah kolonial Belanda,


maka pemerintah Belanda tidak sanggup memelihara jemaat-jemaat
peninggalan VOC itu. karena itu NZG turut membantu dengan memberikan
beberapa orang tenaga kepada pemerintah. Tenaga-tenaga yang diberikan
oleh badan zending itu biasanya lebih aktif dari pendeta-pendeta Belanda
yang ditempatkan oleh pemerintah. Namun tenaga-tenaga yang diberikan
oleh zending itu juga dibiayai oleh pemerintah, tentu dengan gaji yang jauh
lebih rendah dari pendeta yang ditempatkan oleh pemerintah. Pekerja NZG
ayang paling terkenal di daerah Timor ialah Ds. De Bruyn, yang ditempatkan
di Kupang tahun 1820. Dengan berbagai usaha dia mencoba memperbaiki
keadaan gereja yang di sana yang sudah hampir kehilangan anggoatanya
karena sudah berpuluh-puluh tahun diabaikan.

Namun tahun 1854 NZG menarik diri dari sana.


Alasannya antara lain ialah:
- Banyak utusan/penginjil itu yang meninggal karena sakit.
- Di daerah itu sering terjadi bencana alam.
- Mereka sulit menjalin hubungan dengan penduduk asli.
- Sikap pemerintah Belanda yang kurang mendukung usaha-usaha itu
karena terlalu banyak memakan biaya.

Setelah NZG mengundurkan diri, maka GPI sempat memperkerjakan


beberapa orang penginjil-penginjil tukang. Tetapi mereka juga tidak berhasil,
sehingga mereka juga mengundurkan diri dari sana. Baru pada tahun 1882,
GPI memberi perhatian yang lebih banyak kepada usaha penginjilan di
sana, dengan menempatkan beberapa pendeta pembantu di beberapa
jemaat seperti di Kupang, Babau, Kapan dan Pulau Rote. Tahun 1901,
jemaat-jemaat bekas asuhan NZG di pulau Sawu dan Rote diambil alih oleh
Gereja Protestan menjadi bagian dari Gereja timor. Demikian juga jemaat-
jemaat yang ada di pulau Alor dan Pantar, diambil tahun 1916. tahun 1902,
STOVIL atausekolah pendidikan guru sekolah dan guru Injil telah didirikan di
Pulau Rote, yang kemudian dipindahkan ke Soe dekat Kapan di Pulau
Timor.

Sejak tahun 1930, terjadilah pengkristenan secara massal di daerah Timor


dan sejak itulah Gereja Timor mengalami kemajuan. Kemajuan itu banyak
ditunjang oleh pemakaian bahasa daerah, dan perkembangan sekolah
setelah pemerintah menyerahkan sekolah-sekolah diurus oleh gereja sesuai
dengan “peraturan Timor 1914”. Isi peraturan pemerintah itu ialah:
“pemerintah Belanda menyerahkan segala usaha pendidikan kepada

43
pekabar-pekabar Injil untuk diutus, sedangkan gaji dan keperluan sekolah-
sekolah itu ditanggung oleh pemerintah”.
c. Pada masa pendudukan Jepang, gereja Timor sangat menderita
sebagaimana juga dialami oleh gereja-gereja lainnya di Indonesia. Pada
waktu itu banyak pekerja gereja yang mati terbunuh, karena
mempertahankan soal-soal kegerejaan. Pekerja-pekerja Injil dari Belanda
ditangkap dan dipenjarakan dam bahkan banyak dibunuh. Guru-guru Injil
banyakyang meninggalkan pekerjaannya dan beralih menjadi guru
pemerintah.
d. Sejak tahun 1845, Gereja Timmor telah mempersiapkan diri menjadi sebuah
gereja yang berdiri sendiri, dan teralisasi tahun 1947. Pusat gereja itu ialah
di Kupang. Dalam pembentukan DGI atahun 1950, gereja ini ikut ambil
bagian secara aktif sebagai satu gereja pendiri. Tahun 1960, dari gereja
inilah yang terpilih menjaid Ketua Umum PGI, yakni Pdt. Dr. J.L.Ch.
Abineno. Sekolah ini juga sudah mempunyai sekolah theologia yang
mendidik calon-calon pendeta untuk gereja itu di Kupang.

B
Gereja Kristen Sumba (GKS)

1. Karena pulau ini agak terpencil, maka sampai pertengahan abad 19 yang lalu,
pulau ini tidak mempuanyai hubungan yang berarti dengan daerah-daerah lain.
VOC tidak mengadakan pemerintahan di sana, karena hasilnya kurang
memuaskan. Dan pemerintah Belanda juga merasa enggan masuk ke daerah
itu karena banyaknya perompak-perompak pantai di sana. Baru pada tahun
1906 pemerintah Belanda mulai berkuasa di pulau itu. Tetapi sebelum itu
residen dari Timor telah mengambil kebijaksanaan untuk memindahkan
sebagian penduduk pulau Sawu ke pulau Sumba, karena penduduk pulau
Sawu sudah terlalu padat. Orang-orang yang dipindahkan dari pulau Sawu
itulah yang pertama membawa Injil ke pulau Sumba, karena sebagian besar
dari antara mereka sudah beragama Kristen. Mereka ini mula-mula dibimbing
oleh seorang guru Injil asal orang Ambon. Ini terjadi di antara tahun 1870-1875.
Kemudian atas dorongan residen Esser, badan zending NGZV mengutus
seorang pekabar Injil dari pulau Sumba tahun 1881, yang bernama J.J. van
Alphen. Kemudian seorang pekabar Injil dari pulau Sawu di Sumba. Tetapi
dalam usaha untuk mengabarkan Injil di tengah-tengah suku Sumba itu, para
penginjil itu menghadapi banyak kesulitan antara lain:
 Kuasa raja-raja yang sangat besar dan sifatnya yang masih sangat kolot
sehingga menentang penduduk untuk masuk menjadi Kristen.
 Masyarakat di sana terbagi atass tiga kasta yakni: kasta raja-raja, kasta
orang-orang merdeka dan kasta hamba-hamba.
 Penduduknya sangat jarang dan hidup berjauhan, sehingga mereka sulit
ditemui.
 Perhubungan dengan pulau-pulau lain juga sulit, sehingga hubungan
mereka dengan dunia luar menjadi kurang.
 Penduduk yang masih kolot, dan tidak terbuka kepada kemajuan.
 Kuasa kekafiran yang besar.

44
2. Salah satu usaha yang dilakukan oleh para penginjil itu untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan tersebut ialah dengan mendirikan sekolah-sekolah rakyat
mulai tahun 1910. sekolah-sekolah itu semakin dapat menunjang kemajuan
usaha penginjilan di sana setelah pemerintah mengeluarkan: “Sumba Accaord”
tahun 1913 seperti halnya yang terjadi pulau Timor. Isi dari peraturan itu ialah:
Pemerintah menyerahkan segala usaha pendidikan di Sumba ke tangan
pekabar-pekabar Injil, dengan menerima subsidi dari pemerintah. Pembaptisan
yang pertama atas orang-orang Sumba itu baru terjadi tahun 1915. Dan sejak
itu jumlah orang-orang Kristen di sana semakin bertambah, hingga tahun 1940
tercatatlah sebanyak 6500 orang yang terkandung dalam 11 jemaat. Tetapi
tahun 1939 telah terjadi perpecahan dalam gereja di Sumba. Sebabnya ialah
karena seorang pekabar Injil pribumi dipecat dari jabatannya, oleh karena dia
melakukan suatu kesalahan yang menyangkut jabatannya. Tetapi yang dipecat
itu tidak menerima tindakan yang diberikan atas dirinya sehingga dia
memisahkan diri dan memabawa sebagian anggota jemaat pengikutnya.
Mereka menggabungkan diri kepada salah satu gereaja Gereformed yang baru
berdiri di negeri Belanda. Sejak tahun 1947, Gereja Kristen Sumba telah
menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri yang berpusat di Waingapu, Sumba.
Pada waktu itu jumlah anggotanya masih sekitar 5000 orang. Tetapi sekarang
ini jumlah anggota gereja tersebut diperkirakan telah ada sekitar 14000 orang.

GEREJA KRISTEN PROTESTAN BALI (GKPB)

1. Perintis PI di Pulau Bali. Bali termasuk daerah paling lama tertutup untuk
usaha PI. Pulau itu sejak abad 15 merupakan benteng pertahanan agama
Hindu yang diusir dari Jawa, setelah kerajaan Islam menguasai Jawa.
Walaupun VOC sejak semula telah berkuasa di Bali, namun usaha PI sama
sekali tidak dilakukan di pulau itu. pada tahun 1630, seorang pendeta VOC
yang bernama Heurnius, sudah mengajak VOC supaya memberitakan Injil di
pulau Bali, namun ajakan itu tidak diacuhkan sama sekali oleh VOC. Yang lebih
dipentingkan oleh VOC ialah embeli budak-budak dari pulau itu. Tahun 1866,
masuklah UZV ke Bali, dengan mengutus dua orang pekabar Inil ke sana.
Tetapi baru setelah tujuh tahun pekerjaaan itu dilakukan di sana, ada seorang
orang Bali yang dibaptis menjadi Kristen yakni Gusti Wayan Karangasem,
tahun 1873. Namun masuknya Karangasem menjadi Kristen bukanlah
merupakanawal dari perkembangan kekristenan di sana. Masyarakat Bali itu
sendiri sangat benci dengan masuknya Wayan Karangasem itu menjadi
Kristen. Dia dibuang dari keluarganya,dikucilkan dari masyarakat, dihina
bahkan dianggap sebagai orang asing, sehingga dia hidup terpencil. Sikap
keluarga dan masyarakat Bali yang sangat keras kepadanya, membuat dia
tidak bisa bertahan dalam kekristenan itu. Dan anehnya, dia menjadi marah
kepada pekabar Injil yang telah membaptiskannya, sehingga dia berusaha
membunuh pekabar-pekabar Injil itu. Hal itu berhasil dilakukan melalui pelayan-
pelayan pekabar Injil itu sendiri yang adalah orang-orang Bali juga. Jadilah
kedua pekabar Injil itu mati terbunuh atahun 1881. tetapi akibat dari
perbuatannya itu Wayan Karangasem menjalani hukuman mati, dan pulau Bali
ditutup oleh pemerintah Belanda untuk segala usaha pekabaran Injil.
45
2. Berdirinya gereja di Bali. Pada tahun 1929, seorang kolportir (penjual buka)
yang diutus oleh CAMA (kemah Injil) dari Makassar, bernama Tsang Kam Fock
(Tsang To Hang) mendapat izin memasuki pulau Bali untuk menjual buku-buku
kepada orang-orang Tionghoa yang ada di pulau itu. tetapi pada waktu
penjualan buku-buku itu, sambil lalu dia juga mengadakan penginjilan atau
evangelisasi. Oleh karena penginjilan yang dilakukan banyak orang Bali yang
minta untuk dibaptis. Tanggal 11 Nopember 1931 ada sebanyak 12 orang Bali
yang dibaptis. Dan pada tahun 1931, ketua CAMA dari Makassar, yaitu Dr.
Jaffray dimintakan datang ke pulau Bali untuk membaptiskan sebanyak 113
orang Bali. Dengan demikian berdirilah jemaat Kristen Bali yang pertama.
Tetapi pemerintah koloniaal Belanda tidak menghendaki kejadian itu dan
perbuatan itu dianggap sebagai pelanggaran atas peraturan yang sudah
ditetapkan. Karena itu tahun 1933 izin untuk menjual buku bagi sang kolportir
tersbut dicabut kembali oleh pemerintah Belanda, dan kolportir itu diusir dari
sana. Sebenarnya yang ditakutkan oleh pemerintah Belanda atas usaha
penginjilan di sana ialah hilangnya kebudayaan Bali yang sangat unik itu
apabila kekristenan masuk ke sana. Setelah kolportir dari CAMA itu diusir oleh
pemerintah Belanda, maka orang-orang Kristen yang baru dibaptis itu sempat
menjadi terlantar. Hal itu terdengar bagi Dr. Hendrik Kramer, seorang yang
bekerja sebagai penasehat penginjilan Belanda. Dia menganjurkan agar
“Gereaja Kristen Jawi Wetan” (GKJW) atau Gereaja Kristen Jawa Timur
berusaha untuk menampung orang-orang Kristen Bali yang pertama itu. GKJW
mengikuti ajaran itu, sehngga tahun 1933, gereja itu mengutus dua orang
pendeta Jawa ke Bali, yakni Mas Tartib Eprajim dan Mas Darmaadi. Mereka
tidak memerlukan izin memasuki Bali, karena mereka adalah orang-orang
pribumi. Mereka sangat giat berkeja di sana, dan dengan bantuan H. Kraemer,
mereka juga memperjuangkan agar pemerintah Belanda memberi kebebasan
bagi orang-orang Bali untuk memilih agamanya. Kraemer juga berusaha agar di
Bali terwujud sebuah gereja yang berdiri sendiri. Namun dalam melakukan
usaha penginjilan di Bali, banyak kesulitan yang dihadapi oleh pendeta-pendeta
tersebut, antara lain:
 Kesulitan dari pihak pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda merasa
khawatir, bahwa apabila kekristenan memasuki Bali, tatanan kehidupan
masyarakat Bali itu sendiri akan terganggu. Pemerintah Belanda melihat
bahwa tatanan masyarakat Bali itu banyak bersangkut paut dengan agama
setempat yakni agama Hindu dan Budha.
 Orang-orang Eropa pada umumnya sangat tertarik kepada kebudayaan
Bali itu. Mereka khawatir bahwa kebudayaan Bali yang unik itu bisa hancur
oleh kekristenan itu sendiri. Kebudayaan di sana, seperti seni tari, pahat dan
lain-lain, menjadi tidak berartai apa-apa lagi jika tidak berakar dengan agama
masyarakat setempat.
 Kesulitan dari pihak masyarakat Bali itu sendiri. Masyarakat Bali
merupakan satu kesatuan yang tidak mengizinkannya kemerdekaan pribadi
anggota-anggotanya. Raja-raja berkuasa dan berusaha untuk menjaga agar
kesatuan itu jangan terganggu oleh adanya orang-orang yang memilih
jalannya sendiri. Keagamaan mereka tidak terepas dari kehidupan mereka

46
sehari-hari, seperti kebiasaan gotong-royong untuk memperbaiki jalan,
saluran air, dll.

3. Gereja Kristen Protestan Bali menjadi gereja yang berdiri sendiri. Pada
zaman Jepang, gereja Bali yang masih muda itu sangat menderita, tanpa
adanya pertolongan dari lauar dan belum ada pendeta mereka yang dapat
melayani sakramen. Tetapi situasi itu telah memberanikan adanya seorang dari
antara waraga gereja itu yang bernama Made Rungu, pergi ke Mojowarno
(pusat GKJW), pada tahun 1943. Lalu di sana dia menerima pendidikan
istimewa untuk menjadi pendeta dan ditahbiskan menjadi pendeta pertama
orang Bali. Kemudian dia kembali dan memimpin gereja itu sebagai gereja
yang berdiri sendiri. Setelah kemerdekaan Indonesia, gereja Bali itu bisa
merasa beruntung, karena sejak itu di seluruh Indonesia sudah ada kebebasan
beragama. Tetapi dari tahun 1950-1954, masyarakat di sana sempat tidak
mengizinkan tenaga pekabar Injil dari luar bekerja di sana. Baru pada tahun
1954, seorang pekabar Injil diminta untuk membuka lagi pendidikan
pengiNjilan. Namun kekristenan itu tidak banyak meluas di tengah-tengah
masyarakat Bali. Tahun 1975, jumlah anggota Gereja ini hanya 4700 orang.
Belakangan selain GKPB, di Bali telah banyak berdiri gereja lain, seperti: GPIB,
HKBP dan anggota gereaja Katolik sendiri telah ada kira-kira 8000 orang.
Gereja GKPB berpusat di Balun, Denpasar-Bali.

GEREJA-GEREJA DI KALIMANTAN
1. Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Periodisasi sejarah GKE: Dr. Fridolin
Ukur dalam bukunya: Tantang Jawab Suku Dayak, membuat periodisasi
sejarah GKE, sbb:
 1835-1920: Masa pembukaan dan penggarapan yang pertama oleh
Rheinische Missionsgesselschaft (RMG).
 1920-1935: UPI di Kalimantan dialihkan oleh RMG ke tangan Basler
Mission (BM).
 1935-sekarang: Gereja Kalimantan menjadi gereja yang berdiri
sendiri.
 Sebelum abad 17, missi RK memang sudah pernah mencoba
memasuki daerah Kalimantan bagian Selatan, yaitu melalui orang-orang
Portugis yang berusaha memperoleh pangkalan-pangkalan perdagangan.
Pada waktu itu, ada beberapa orang Dayak yang sempat dibaptiskan,
tetapi akhirnya mereka menjadi murtad, dan missioner RK yang bernama
Ventimiglia itu mati terbunuh tahun 1691. Jadi usaha itu gagal sama
sekali. Usaha PI Protestan di Kalimantan mulai tahun 1835, yang
dilakukan oleh pekabar-pekabar Injil RMG di Jerman. Masuknya PI RMG
di Kalimantan adalah berdasarkan lapaoran dari seorang pendeta Inggris
yang bernama Medhurst, yang bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa
di Batavia. Tahun 1829 dia pernah mengunjungi Kalimantan Barat dan
Kalimantan Selatan, dan memberi laporan mengenai hasil kunjungannya
itu kepada masyarakat Kristen Eropa. Tetapi laporannya itu terlalu optimis,
karena dalam laporan itu dia menggambarkan daerah Kalimantan sebagai

47
daerah yang sangat subur untuk usaha penginjilan. Laporannya itu
dipublikasikan di Eropa, sehingga dengan membaca laporan itu pimpinan
zending RMG tertarik untuk mengutus penginjil-penginjilnya ke
Kalimantan, walaupun pada waktu itu RMG telah mempunyai lapangan
penginjilan di Namibia, Afrika Selatan.
Pada tahun 1834, RMG mengutus dua orang penginjilnya ke Kalimantan, tetapi
di Jakarta mereka sempat ditahan oleh pemerintah Belanda, tidak diberi izin
untuk memasuki daerah Kalimantan, karena dikhawatirkan kedatangan mereka
di sana akan mengganggu keamanan dan ketertiban di daerah itu. Tetapi
setelah kedua penginjil itu berjanji tidak akan memberi ajaran-ajaran yang
memungkinkan timbulnya pemberontakan dari masyarakat setempat kepada
pemerintah Belanda, barulah mereka diizinkan memasuki Kalimantan. Mereka
tiba di daerah itu tahun 1835. Salah seorang di antara mereka bernama
Barnstein. Di Kalimantan, mereka menetapkan Banjarmasin sebagai pangkalan
untuk usaha PI. Lalu tahun 1836, RMG menambah penginjil itu sebanyak
empat orang lagi ke Kalimantan. Dan dari tahun 1849-1850, selain utusan
RMG, ada juga utusan penginjil dari Amerika ke Pontianak dan sekitarnya.
Sehingga sampai tahun 1857, telah ada sebanyak 20 orang penginjil yang
bekerja di Kalimantan, yang diutus oleh suatu badan zending yang lain dari
Amerika.

a. Setelah penginjil-penginjil itu mulai bekerja di Kalimantan, ternyata apa yang


dilaporkan oleh Medhurst ternyata terlalu optimis. Ternyata usaha
penginjilan itu sangat sulit berkembang di sana, yang disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:
 Orang-orang Islam telah menguasai perdagangan di kota-kota dan
daerah-daerah pantai. Dan kehidupan orang-orang Dayak itu sering
sangat tergantung kepda pedagang-pedagang Islam itu.
 Orang-orang Dayak tersebut tidak merupakan petani yang menetap.
Mereka sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga
mereka sulit didekati oleh penginjil-penginjil itu.
 Orang-orang Dayak itu terdiri dari berbagai suku yang tidak mempunyai
hubungan satu sama lain.
 Bahasa suku-suku itu berlainan, sehingga mereka tidak bisa mengerti
satu sama lain. Banyaknya bahasa di sana menyulitkan para penginjil itu
untuk mempelajarinya.
 Keadaan sosial sangat buruk; di tengah-tengah masyarakat itu sering
terjadi pengayuan (pemenggalan kepala) dan perbudakan yang sangat
hebat.
 Sulitnya hubungan lalu lintas. Pada umumnya perjalanan di daerah
pedalaman adalah melalui sungai-sungai.
 Usaha-usaha yang dilakukan oleh penginjil-penginjil itu di Kalimantan
ialah:
o Memperbaiki keadaan sosial di sana, dengan menebus budak-budak
yang ada. Dengan budak-budak yang ditebus itu, para penginjil itu ingin
mendirikan suatu golongan masyarakat Kristen. Sampai tahun 1859, ada
sebanyak 1100 orang budak yang sempat ditebus oleh penginjil-penginjil

48
itu, tetapi tidak semuanya bersedia menjadi Kristen, hanya sebanyak
261 orang yang bersedia.
o Mendirikan sekolah-sekolah zending untuk mendidik anak-anak
masyarakat Dayak itu sendiri. Untuk memajukan usaha sekolah ini,
zending meminta pengesahan dari pemerintahan untuk mengadakan
peraturan “wajib sekolah” bagi anak-anak pedalaman masyarakat Dayak
itu. Peraturan itu diperbuat oleh pemerintah Belanda, dan inilah
merupakan peraturan wajib sekolah yang pertama pada waktu itu di
Nusantara. Zending juga menerima subsidi dari pemerintah untuk
menyelenggarakan sekolah-sekolah tersebut.
o Mendirikan rumah-rumah sakit dan balai-balai pengobatan sebagai
sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
o Mengadakan sekolah-sekolah kursus keterampilan untuk anak-anak
perempuan.
o Mendirikan sekolah-sekolah tukang dan sekolah-sekolah penginjil.
o Menerbitkan buku-buku pelajaran Kristen dalam bahasa Dayak
Ngaju.
o Pada tahun 1859 terjadilah suatu perang yang dipimpin oleh Sultan
Hidayat untuk menetang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di
Kalimantan. Perang itu telah menimbulkan banyak korban. Dari pihak
orang kulit putih yang paling banyak mengalami korban karena perang
itu, bukanlah orang-orang Belanda, melainkan pekabar-pekabar Injil
Jerman yang bertugas di pedalaman. Masyarakat Dayak itu tidak bisa
membedakan mana orang Belanda yang menjadi penjajah, mana orang-
orang Jerman yang membawa Injil bagi mereka. Semuanya adalah
sama bagi mereka sebagai orang-orang asing. Orang-orang Belanda
hampir tidak ada yang menjadi korban karena mereka pada umumnya
berada di kota-kota dengan perlengkapan senjata dan pengawalan yang
kuat. Dalam peperangan ini empat orang penginjil RMG bersama tiga
orang istri dan dua orang anak mereka mati terbunuh. Salah seorang
penginjil yang bernama Hofmeister, sebelum dibunuh masih sempat
berdoa sebagai berikut: “Tuhan yang kekasih, Engkaulah Juru Selamat
Saya. Kasihanilah suku yang malang ini. Janganlah ambil anugerahMu
dari mereka dan berikanlah kiranya FirmanMu yang mulia itu kepada
mereka”. Sebagian dari penginjil-penginjil RMG itu memang bisa
selamat dengan melarikan diri dari tempat itu. salah seorang
penginjilnya yang pertama ke Tanah Batak.

c. Setelah perang Hidayat yang telah menewaskan sejumlah pekabar Injil itu,
maka untuk beberapa waktu lamanya daerah pedalaman Kalimantan ditutup
oleh pemerintah Belanda untuk usaha PI. Baru pada tahun 1899,
pemerintah Belanda kembali mengizinkaan masuknya usaha PI dengan
membuka pangkalan-pangkalan penginjilan di pedalaman. Pada waktu itu
keadaan masyarakat Dayak sudah mengalami banyak perubahan. Orang-
orang Dayak itu menyadari berkat dan keuntungan yang dibawa oleh para
missionar itu bagi masyarakat mereka. Karena itu mereka semakin terbuka
untuk menyuruh anak-anak mereka untuk memperoleh pendidikan di

49
sekolah-sekolah yang diasuh oleh zending itu demi kemajuan mereka.
Sejak tahun 1881, mulailah berdiri beberapa jemaat di daerah-daerah
sungai Kapuas dan Kahayan Ilir. Dan sejak itu jumlah orang-orang Kristen di
beberapa pusat penginjilan juga semakin bertambah. Namun jumlah orang-
orang Kristen itu belum sebanding dengan tenaga dan usaha yang
dikerahkan oleh zending RMG, khususnya dalam kurun waktu 1866-1904.
Tahun 1885 jumlah orang-orang Kristen masih sebanyak 1000 orang, tahun
1901 sebanyak 2000 orang. Perkembangan yang lebih pesat baru mulai
tahun 1911, dengan jumlah orang Kristen pada waktu itu sebanyak 3000
orang dan tahun 1920 sebanyak 5000 orang.

d. Periode kedua. Sejak tahun 1920, RMG menyerahkan pekerjaan zending itu
kepada Basler Mission atau Zending Basel dari Swiss. Adapun alasan RMG
menyerahkan pekerjaan itu kepada Basler Mission ialah karena kesulitan
keuangan yang dialami oleh RMG. Sejak kekalahan Jerman dalam PD II,
terjadilah kesulitan ekonomi di negeri itu yang pengaruhnya juga sampai
kepada keuangan RMG. Pada waktu itu daerah Tapanuli yang diasuh oleh
RMG sejak tahun 1861 mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam
usaha penginjilan yang digiatkan. Jadi agar RMG bisa lebih
mengkonsentrasikan potensi untuk makin menggiatkan penginjilan di Tanah
Batak, maka RMG melepaskan usaha penginjilan di Kalimantan dan
menyerahkannya ke Basler Mission (BM). BM menerima pekerjaan itu
dengan senang hati, dengan tidak melakukan perubahan yang luar biasa
terhadap apa yang sudah dimulai oleh RMG, walaupun latar belakang BM
agak berbeda dari latar belakang RMG. Penginjil-penginjil RMG lebih
banyak berlatar belakang Lutheran sedang penginjil-penginjil BM pada
umumnya berlatar belakang Calvinis atau Reformed. Dalam pengajaran
kekristenan yang diberikan, BM masih tetap mempergunakan Katekhismus
Lutheran. Pada tahun 1932 untuk pertama sekali Sekolah Pendeta dibuka di
Banjarmasin, dan hasilnya tahun 1935, untuk pertama kali lima orang
pendeta Dayak yang pertama ditahbiskan. Sejak tahun 1953, sekolah
pendeta ini ditingkatkan menjadi Sekolah Theologia Menengah agar gereja
itu bisa memperoleh tenaga-tenaga pendeta yang mempunyai tingkat
pendidikan theologia yang lebih tinggi. Belakangan sekolah ini juga sudah
ditingkatkan menjadi sebuah Sekolah Tinggi Theologia yang menghasilkan
pendeta-pendeta yang berprdeikat Sarjana Theologia.

e. Periode ketiga. Mulai 4 April 1935 gereja ini mulai dinyatakan sebagai
sebuah gereja yang berdiri sendiri, dengan namanya pada waku itu: “Gereja
Dayak Evangelis”. Tahun 1939, jumlah anggota gereja itu tercatat sebanyak
+ 15000 orang, 16 orang pendeta, 33 orang pambrita/pemberita, 158 orang
guru, 26 orang pembantu perawat, seorang kolportir dan seorang dokter. Di
samping itu masih ada sebanyak 40 orang lagi pekerja zending dari luar.
Sejak tahun 1950 nama gereja ini diubah menjadi: “Gereaja Kalimantan
Evangelis” (GKE), dengan maksud supaya wawasannya jangan hanya
meliputi suku Dayak saja tetapi meliputi seluruh masyarakat Kalimantan.
Sampai sekarang hubungan GKE dengan Basler masih tetap berjalan
dengan baik. Misalnya dalam soal pembangunan dan tenaga-tenaga
50
pendidikan teheologi, GKE masih menerima bantuan dari BM. Salah
seorang tenaga pendidikan theologi yang pernah diberikan oleh BM kepada
gereja itu ialah Dr. Christof Barth, yang setelah dari Banjarmasin juga
pernah mengajar di STT Jakarta.

2. Gereja Methodist di Kalimantan. Gereja Methodist bekerja di daerah


Kalimantan, khususnya di bagian Barat (Utara Pontianak), dan di Kalimantan
bagian Utara (Serawak, Brunei dan Sabah). Usaha pekabaran Injil Methodist di
Kalimantan (Pontianak Utara) dimulai tahun 1906, yaitu oleh sebuah badan
yang bernama: “Board of Foreign Missions of the Methodist Episcopal Chruch”,
yang terutama bekerja di kalangan masyarakat Tionghoa yang ada di sana.
Pada mulanya usaha ini juga mengalami rintangan dari pemerintahan Belanda.
Barulah setelah adanya orang-orang Tionghoa yang tamat dari Pendidikan
Methodist dari Singapura, barulah usaha PI Methodist ini bisa berhasil.

a. Beberapa badan zending yang lain yang pernah bekerja di Kalimantan:


 American Board of Commisioners for Foreign Missions
 Go Ye Fellowship
 World Wide Evangelization Crusade
 The Borneo Faith Mission
 CAMA (Christian and Missionary Alliance) atau Kemah Injil yang
mula-mula berpusat di Makassar. Badan ini banyak menerbitkan buku-
buku dan majalah-majalah. Badan ini mulai bekerja di Kalimantan Timur
tahun 1929 dan Kalimantan Barat tahun 1933.
 Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB)
 Zending HKBP yang pernah bekerja di sekitar Pontianak, pada
permulaan kemerdekaan sampai tahun 1950-an, bekerjasama
denganGKE.

GEREJA-GEREJA DI JAWA TIMUR DAN JAWA TENGAH

1. Pandangan umum mengenai penginjilan di Jawa. Walaupun di zaman VOC


sejak permulaan abad 17 telah berdiri beberapa jemaat di pulau Jawa, seperti
di Jakarta (1619), di Semarang (1753), di Surabaya (1785), namun usaha
penginjilan kepada orang-orang Jawa dan penduduk pribumi lainnya tidak
dilakukan sama sekali. Jemaat tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang
Belanda dengan memakai bahasa Belanda. Kalaupun ada beberapa “anak
jemaat” di beberapa daerah seperti di Depok dan Tugu yang berbahasa
Melayu, jemaat itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia yang
sudah Kristen dari daerah lain atau yang menjadi pegawai Belanda. Jadi pada
umumnya selama masa VOC di Indonesia + 20 tahun lamanya, usaha PI
diabaikan dengan pertimbangan ekonomis dan politis. VOC menganggap
bahwa penginjilan itu hanya merugikan usaha dagangnya semata-mata dan
mengganggu keamanan dan ketertiban daerah-daerah kekuasaannya. Barulah

51
pada masa pemerintahan sementara Inggris (1811-1815) usaha PI yang
pertama dilakukan di Jawa atas inisiatif dari Gubernur Jenderal Stamford
Raffles, dengan mengusahakan masuknya sejumlah pekabar Injil dari Inggris
ke pulau Jawa. Hanya hasilnya belum nyata, karena sejak tahun 1816,
pemerintah kembali berkuasa di Indonesia. Beberapa kesulitan atau persoalan
yang dihadapi usaha PI di Jawa secara umum:
 Kesulitan dari pemerintah Belanda. Sikap pemerintah Belanda terhadap
UPI di Jawa pada mulanya sama dengan sikap VOC yakni kurang
memperhatikan UPI itu malah merintangi UPI dengan alasan ekonomis dan
politiws. Pemerintah Belanda mengkhawatirkan terjadi pemberontakan dari
pihak orang-orang Jawa jika PI dijalankan di daerah itu yang bisa
mengganggu keamanan pemerintahannya di daerah itu. Perang Diponegoro
(1825-1930) yang telah banyak menghabiskan dana dan tenaga dari pihak
Belanda jangan terulang lagi. Tanam paksa yang dicanangkan Belanda akan
memberikan keuntungan yang besar menggantikan kerugian yang pada
masa perang Diponegoro itu jangan sampai terganggu lagi oleh perang.
Sikap anti perang dari pemerintah Belanda, nyata dari tindakan Gubernur
Jenderal Baud (1833), yang menyita seluruh terjemahan kitab PB dan
sejumlah buku-buku Kristen berbahasa Jawa yang ditulis oleh Brueckner
(seorang misionaris yang diutus pada masa pemerintahan Inggris) dan
membakarnya karena dianggap berbahaya. Kemudian Gubernur Jenderal
Van Rochussen yang menggantikannya pernah berkata: “pemberitaan Injil
yang bebas mau tidak mau harus mengakibatkan suatu perubahan yang
besar dalam sistem pemerintahan. Seorang pejabat tinggi pemerintahan
Belanda yang pernah menjadi ketua dari lembaga kerjasama PI di Jakarta
pernah mengatakan bahwa sebagai pejabat pemerintah Belanda dia tidak
menyetujui PI dilakukan kepada orang-orang Jawa”. Dengan demikian
sampai tahun 1850, hampir tidak ada UPI yang dilakukan oleh Badan-Badan
Zending di Pulau Jawa. Namun mulai tahun 1850, badan zending diizinkan
juga masuk dengan datangnya NZG yang memulai pekerjaannya di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. NZG-lah yang berusaha memulai PI secara resmi di
Pulau Jawa.
 Tantangan dari pencari “Ngelmu”. Selain sikap pemerintah Belanda,
kesulitan yang lain yang di hadapi UPI di Jawa ialah dari para pencari
Ngelmu. Ngelmu adalah semacam ilmu kebatinan dalam masyarakat Jawa.
Pencari ngelmu adalah orang yang ingin memperoleh pengetahuan tentang
hidup yang sejati dan kekuatan batin untuk mendapat selamat dan
kesejahteraan melalui guru-guru ngelmu dan atau kiai-kiai. Hal ini menjadi
suatu tantangan bagi penginjilan, karena bagi pencari ngelmu itu Ratu Adil-
lah yang dianggap sebagai pelepas manusia.
 Persoalan bentuk kekristenan. Persoalan yang lain ialah mengenai
bentuk kekristenan yang diterapkan, apakah kekristrenan itu dibentuk secara
Barat atau Jawa. Dalam hal ini, para misionaris itu tidak sependapat karena
ada yang mengatakan harus dibentuk secara Barat karena ke-Jawa-an
dianggap sebagai kekafiran, tetapi ada yang berpendapat kekristenan harus
dibentuk secara Jawa.

52
 Tantangan dari raja-raja setempat/Penghulu-penghulu. Raja-raja atau
penghulu-penghulu desa banyak yang menghambat kekristenan itu, karena
mereka merasa dirugikan oleh kehadiran kekristenan itu. Dengan datangnya
kekristenan, fungsi mereka untuk meresmikan pernikahan menjadi berkurang,
karena dalam kekristenan pemberkatan perkawinan dilakukan oleh para
pendeta.

2. Gereja Kristen di Jawa Timur ( Permulaan PI di Jawa Timur oleh Penginjil


perorangan:1815-1850) Usaha penyebaran Injil yang pertama di Jawa Timur,
bukan dilakukan oleh gereja atau badan zending melainkan dilakukan oleh
usaha perorangan. Inilah keistimewaan gereja di Jawa Timur dari gereja-gereja
lain di Indonesia dan pada umumnya adalah berasal dari hasil PI badan
zending atau gereja. Jemaat-jemaat yang berdiri dari hasil penginjilan
perorangan ini pada mulanya adalah di desa-desa atau daerah pegunungan
bukan di kota-kota. Dari antara misionaris perorangan ini adalah Coolen, Emde,
dan Paulus Tosari.

 Coolen (1775-1873). Mula-mula ia bertempat tinggal di Ngoro dekat


Surabaya. Dia adalah seorang peranakan Belanda Jawa. Ayahnya adalah
seorang Belanda, yang dulu berimigrasi ke Rusia tetapi akhirnya menjadi
tentara VOC. Ibunya adalah seorang Jawa asli keturunan Raja Mataram.
Dari ibunya, ia mewarisi tradisi kebudayaan Jawa sehingga ia paham betul
mengenai wayang musik dan tari-tarian Jawa. Pada tahun 1827, ia
memperoleh kawasan hutan yang luas di Ngoro. Di mana ia menjadi
seorang tuan tanah. Kepada orang-orang Jawa di sana, ia menyebarkan
injil itu dengan mempergunakan wayang sebagai alatnya, tetapi anehnya
bagi orang-orang yang sudah menyatakan diri sebagai pengikut Yesus ia
tidak melakukan baptisan dan juga tidak melalkukan pelayanan Perjamuan
Kudus. Tetapi mengenai sikapnya ini, dapat dipahami ada yang mengatakan
disebabkan oleh pernikahannya sendiri tidak diteguhkan di dalam gereja.
Sebuah catatan terhadap usaha PI Coolen dapat dibuat: dari segi reformasi
pendirian Coolen mengenai Baptiosan tidak dapat diterima karena
sakramen adalah merupakan pekerjaan sangat penting di dalam gereja.
Menurut Luther, tanda gereja yang benar adalah di mana firman Tuhan
diberitakan dan sakramen dilayani. Calvin menambahkan kepada ucapan
Luther dengan mengatakan bahwa konfessi (pengakuan yang benar) dan
peraturan yang benar juga merupakan persyaratan bagi gereja yang benar.

 Emde (1774-1859). Dia adalah seorang Jerman yang beraliran pietis


yang datang merantau ke Indonesia di mana ia ingin melihat dengan mata
dankepala sendiri apakah benar perkataan dari Kej. 8:22 tentang musim
dingin dan musim panas tidak sesuai dengan keadaan iklim di daerah
khatulistiwa. Pada mulanya ia bekerja sebagai tukang arloji di Surabaya
tetapi kemudian menjadi tentara Belanda. Sejak tahun 1815, ia telah
mendirikan sebuah perkumpulan PI di rumahnya di mana ia mengadakan
pertemuan-pertemuan agama Kristen. Alat-alat untu PI itu diperolehnya dari

53
Brueckner, yakni seorang PI yang diutus oleh lembaga PI Baptis dari Inggris
selama masa pemerintahan Inggris sementara yang sempat terjadi di
Indonesia. Atas desakan Emde, Brueckner sempat menterjemahkan kitab
PB ke dalam bahasa Jawa dan menulis beberapa surat selebaran yang
berbahasa Jawa tetapi semuanya itu kemudian di sita oleh pemerintah
Belanda seperti sudah di singgung di atas. Mula-mula pekerjaan Emde ini
tidak banyak membawa hasil. Pendeta GPI di Surabaya yang memandang
dia sebagai saingan mengadukan perbuatannya itu kepada pemerintah.
Akibatnya Emde ditangkap dan sempat dipenjarakan selama beberapa
minggu (1820). Tetapi kemudian sikap GPI menjadi lebih positif. Setelah
Emde pensiun dari pekerjaannya sebagai tentara, ia memperoleh sebidang
tanah di Wiung dan menjadikan sebuah perkampungan di sana. Di tempat
ini ada sekelompok orang yang taat beragama yang merasa tertarik kepada
kekristenan. Emde melayani mereka dan mengajarkan kekristenan yang
bercorak Barat kepada mereka. Sikapnya terhadap klebudayaan Jawa
sangat negatif dan dianggap sebagai kekafiran. Di Wiung, berbeda dengan
perbuatan Coolen orang Kristen itu dibaptiskan dan dilayani Sakramen.
Karena orang-orang Kristen Wiung dibentuk dalam corak kebudayaan
Eropa maka dia sangat dicela oleh masyarakat Jawa yang beragama Islam
dan orang-orang Kristen itu dijuluki sebagai “orang-orang Belanda tanpa
topi atau Belanda tanpa kursi atau orang Kristen Londo”, artinya orang yang
kebelanda-belandaan. Anak perempuan Emde kemudian juga menjadi
seorang penginjil wanita.

 Paulus Tosari. Nama aslinya adalah Kasan, berasal dari Madura. Pada
mulanya dia adalah seorang pencari ngelmu, tetapi kemudian bergabung
dengan kelompok Coolen di Ngoro. Tetapi karena dia bersama sebagian
kelompok Coolen itu menuntut baptisan, maka mereka diusirnya dari Ngoro,
sehingga mereka mendirikan sebuah desa baru bernama Mojjowarno
(1844). Di sini Paulus Tosari menjadi guru jemaat kecil ayang baru
terbentuk, yang anggotanya hanya terdiri dari orang-orang Jawa saja. Di
kemudian hari Paulus Tosari menjadi pendeta yang pertama dari putra Jawa
asli.

2. 1850-1931, Perkembangan Gereja Jatim dengan Bimbingan NZG. Pada tahun


1850, masuklah badan zending NZG ke Jatim, setelah memperoleh izin dari
pemerintah Belanda. Utusannya yang pertama ialah Jelessma (1817-1858).
Mula-mula dia menetap di Surabaya, tetapi kemudian pindah ke Mojowarno
(1851), bergabung dengan jemaat Kristen Jawa yang dipimpin oleh Paulus
Tosari. Di sini dia tidak mengambil pimpinan jemaat itu. Pimpinan tetap
dibiarkan berada di tangan Paulus Tosari. Dia yakin bahwa usaha PI itu akan
lebih maju kalau diselenggarakan oleh putra daerah sendiri dengan cara yang
sesuai dengan lingkungan setempat. Dalam hal ini sikapnya berada antara
sikap Emde dan Coolen. Kalau Coolen terlalu bersikap positif terhadap budaya
Jawa dan Emde terlalu bersikap negatif, maka Jelessma bersikap selektif,
yakni memilih dari unsur budaya itu yang tidak berlawanan dengan kekristenan.
Dia mempunayai kerjasama yang baik dengan Paulus Tosari. Usaha-usaha
Jelessma dan zending NZG yang terutama di Jawa Timur ialah:
54
 Mengusahakan penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jawa
 Menentang pendirian Coolen yang menolak baptisan dan perjamuan kudus
 Menentang sikap Emde tentang kekristenan Londo (yang kebelanda-
belandaan). Kebudayaan daerah tidak usah dihapuskan sama sekali.
 Mempergunakan tenaga-tenaga pribumi untuk UPI itu.
 Mendirikan sekolah penginjil yang pertama di pulau Jawa, yakni di
Mojowarno.
 Menganjurkan supaya orang Kristen membuka tanah di Mojowarno dan di
daerah Malang. Pembukaan tanah itu dimaksudkan sebagai sarana
penunjang terhadap usaha PI. Pada mulanya Mojowarnolah yang dijadikan
sebagai pusat kekristenan dan gereja di Jatim, tetapi kemudian dipindahkan
ke Malang.
 Mendirikan sebuah rumah sakit diMojowarno (1892) yang dipimpin oleh
dokter Bervoets. Pelayanan rumah sakit ini sangat baik, sehingga sampai
sekarang rumah sakit ini sangat terkenal. R.A. Kartini sangat tertarik kepada
usaha ini, dan dia sempat bermaksud hendak mengikuti pendidikan bidan di
sana.
 Di kemudian hari (1925, NZG mendirikan sekolah pendeta di Malang, ayang
tahun 1928 diberi nama: Bale Wyoto, yang dipimpin oleh Dr. Shurman dan
Nortier.

3. 1931-sekarang: Gereja Kristen Jawa Timur Berdiri Sendiri. Pada tanggal 11


Desember 1931, gereja Kristen di Jawa Timur berdiri sendiri dengan nama:
Gereja Kristen Jawi Weatan (GKJW). Inilah merupakan gereaja yang kedua
berdiri sendiri di Indonesia setelah HKBP (1930). Setelah gereja in berdiri
sendiri, UPI di Jawa Timur semakin berkembang, yang langsung ditangani oleh
orang-orang Kristen Jawa itu sendiri, antara lain ke Jember, khususnya kepada
orang-orang Madura yang merantau. Sebelumnya usaha PI kepada orang-
orang Madura ini dilakukan oleh “Komite Jawa”, yakni sebuah lembaga PI yang
didirikan di Amsterdam 1876, khusus untuk memajukan penginjilan kepada
orang Jawa. Tetapi usaha Komite Jawa ini kemudian dipersatukan kepada
usaha NZG, sehingga orang-orang Kristen Madura pun dijadikan masuk
kepada Gereja Jawa Timur. Selain ke Madura, Gereja Jawa Timur juga
berperan mengabarkan Injil ke pulau Bali atas desakan dari Dr. H. Kraemer.
Ketika tahun 1931 jumlah anggota GKJW masih berjumalah 23000 orang.
Jumlah ini kemudian segera bertambah, sehingga tahun 1940 berjumlah 34000
orang, dan tahun 1972 menjadi 124000 orang. Sekarang ini diperkirakan
berjumlah lebih dari 200000 orang. Salah satu faktor yang ikut mendorong
pertambahan itu ialah kehadiran gereja melayani di tengah-tengah masyarakat
yang bergolak, sehingga semakin banyak orang Jawa yang tertarik menjadi
Kristen.

GEREJA KRISTEN DI JAWA TENGAH

1. Pendahuluan. Nama Gereja Kristen Jawa Tengah baru muncul atahun 1949,
ketika nama disatukan menjadi satu gereja semua orang Kristen di Jawa
Tengah yang berasal dari hasil penginjilan perorangan, maupun hasil

55
penginjilan beberapa badan zending seperti NZG di bagian Utara Jawa Tengah
dan NGZV di bagian Selatan. Tetapi nama itu tidak bisa dipertahankan, karena
gereja-gereja ayang sempat bersatu itu, berpisah lagi.

2. Usaha Penginjilan Perorangan (kira-kira tahun 1850-1900). Sebagaimana


halnya di Jawa Timur, usaha penginjilan di Jawa Tengah pada mulanya adalah
dilakukan penginjil-penginjil perorangan yang bekerja secara suka rela, bukan
yang diorganisir oleh gereja atau badan-badan zending. Di antara penginjil
perorangan itu yang terkenal ialah:

 Keukhenius (orang Belanda). Dia adalah seorang Kristen yang setia. Dia
mengusahakan dua orang penginjil bekerja di kota Tegal. Kedua orang itu
berasal dari kelompok Mr. Anthing, yaitu seorang wakil Ketua Mahkamah
Agung dalam pemerintahan Belanda. Kedua orang penginjil itu
mengumpulkan orang-orang Jawa di sekeliling mereka untuk diajar tentang
pengetahuan kekristenan. Keukhenius juga menarik pekabar Injil pertama
yang diutus oleh NGZV yang bernama Vermeer untuk bekerjasama dengan
dia di Tegal. Di Tegal mereka telah membentuk satu jemaat kecil sejak
tahun 1861.

 Tunggul Wulung (sekitar 1803-1885). Dia adalah seorang yang berasal


dari Juwono (dekat gunung Muria). Karena keadaan ekonomi yang sangat
sulit di Jawa Tengah pada masa mudanya, banyak orang yang terpaksa
mengungsi dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, termasuk di antaranya
Tunggul Wulung, yang pada waktu itu masih bernama Kyai Ngabdullah. Di
lereng gunung Kelud, dia menjadi seorang pertapa. Ketika itulah nama
Tunggul Wulung dikenakan kepadanya, karena dia dipandang sebagai
penjelmaan seorang pangliama perang raja Joyoboyo yang bernama
Tunggul Wulung. Pada waktu itulah dia juga berkenalan dengan agama
Kristen, karena gunung Kelud adalah berdekatan dengan Ngoro dan
Mojowarno, yakni pusat kekristenan yang pertama di Jawa Timur. Pada
tahun 1853 dia telah menjadi salah seorang pengikut Kristen di Mojowarno,
dan dibaptiskan oleh Jelesma tahun 1855 dengan nama Ibrahim. Setelah
belajar kekristenan di sana, dia kemudian menjadi seorang penginjil keliling
di pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah bagian Selatan. Dalam usaha
menyebarkan Injil itu di tengah-tengah masyarakat Jawa, dia bertindak
seperti seorang kyai, dan menyajikan Injil itu sebagai “ngelmu”, sehingga
dia sering juga disebut Kyai Ibrahim. Pada waktu kematiannya tahun 1885,
jumlah pengikutnya telah melebihi seribu orang. Tetapi jemaat-jemaat yang
dipimpin oleh Tunggul Wulung itu kemudian beralih kepada Mennonit.

 Kyai Sadrakh (1840-1924). Sadrakh adalah juga seorang Kristen Jawa


yang berasal dari Jepara. Dia termasuk salah seorang murid Tunggul
Wulung, tetapi dibaptiskan menjadi Kristen di Gereja “Sion” Jakarta setelah
menerima pendidikan kekristenan selama dua tahun dalam kelompok Mr.
Anthing. Pada waktu itu ada sekitar 50 orang Jawa yang dibiayai Mr.
Anthing untuk menerima pendidikan sebagai penginjil untuk orang Jawa.
Setelah memperoleh pendidikan sebagai penginjil, Sadrakh sempat menjadi
56
penginjil keliling diJawa Barat, tetapi sejak tahun 1867 dia kembali ke negeri
asalnya di Jepara. Dia juga mengikuti jejak Tunggul Wulung menjadi
penginjil keliling di Jawa Tengah, dan mengajarkan kekristenan itu dalam
bentuk Jawa. Ini berarti dia menenatang kekristenan Londo. Dalam
menyebarkan Injil itu dia juga bertindak sebagai seorang kyai. Sebagaimana
kebiasaan seorang kyai, untuk menarik murid yang sebanyak-banyaknya,
para kyai mempertandingkan “ngelmu” yang mereka miliki. Seorang kyai
yang kalah dalam pertandingan itu, maka dia harus tunduk kepada kyai
yang menang bersama dengan murid-muridnya. Demikianlah halnya
dengan Kyai Sadrakh, dengan “ilmu” yang baru dia miliki yakni Injil itu, dia
selalu menang dalam pertandingan “ngelmu” dengan kyai-kyai lainnya.
Sehingga banyak kyai beserta dengan murid-muridnya, menjadi murid dari
Kyai Sadrakh. Kepada mereka Sadrakh mengajarkan Injil itu dan dibaptis
menjadi Kristen. Setelah memperoleh pengajaran Injil dari Kyai Sadrakh,
kyai-kyai yang sudah menjadi Kristen itu diangkat oleh Sadrakh menjadi
pimpinan jemaat-jemaat kecil. Tetapi jemaat-jemaat yang dibentuk Sadrakh
ini tidak mau bergabung dengan jemaat-jemaat yang dibentuk oleh badan
zending yang bekerja di Jawa Tengah. Pada tahun 1890 sudah ada + 53
jemaat kecil dengan jumlah seluruh anggotanya sekitar 3000 orang, yang
dibentuk oleh Kyai Sadrakh. Kyai Sadrakh membangun gedung gereja mirip
dengan bangunan Jawa, dan tidak memakai tanda salib yang biasa dipakai
gereja ala Eropa, tetapi dengan penyilangan dua buah panah.
3. Karena tidak mau bergabung dengan jemaat-jemaat yang dibentuk oleh
zending, maka jemaat-jemaat Sadrakh ini akhirnya menjadi satu bidat, yang
disebut “bidat kerasulan”. Bidat kerasulan ini juga berpengaruh di daerah
Pasundan Jawa Barat. Dan di kalangan bidat kerasulan ini, Sadrakh dianggap
sebagai “rasul Jawa”. Menjelang akhir hidupnya, Sadrakh menyadari bahwa
jemaat-jemaat hanya dapat hidup apabila hidup bersatu dalam Kristus dengan
jemaat-jemaat yang lain. Karena itu sesudah Sadrakh meninggal tahun 1924,
banyak jemaat yang dibentuknya menjadi bergabung dengan jemaat-jemaat
yang didirikan oleh zending, tetapi sebagian jemaat itu tetap dalam bidat
kerasulan. Sekarang salah satu jemaat Kyai Sadrakh ini masih dilestarikan di
sebuah desa di Jawa Tengah, yang bernama Karangjasa, dekat Purworejo.
 Seorang penginjil Tionghoa bernama Paulus Khow Tek San, yang baru
dibaptis menjadi Kristen tahun 1867, menjadi seorang penginjil yang sangat
giat sekali di kalangan orang-orang Tionghoa yang ada di Jawa.
 Di bagian Selatan Jawa Tengah, ada dua orang Indo-Belanda yang bekerja
sebagai penginjil di sekitar Banyumas dan Purworejo, yang bernama
nyonya Oostrom-Philips dan saudara iparnya yang bernama Ny. Philips-
Steven. Mereka ini mengumpulkan pelayan-pelayannya bersama satu
kelompok masyarakat Jawa yang berminat kepada kekristenan itu di rumah
mereka masing-masing. Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka
mengajarkan Injil itu yang kelompok yang hadir itu. Akhirnya terbentuklah
jemaat-jemaat kecil, tetapi jemaat-jemaat tersebut bergabung dengan
badan zending NGZV (Nederlands Gereformeerde Zending Vereeniging).
NGZV ini berusaha dengan giat mengabarkan Injil di kota-kota Jawa Tengah
seperti di Solo dan Yogyakarta.

57
4. PI yang Dilakukan Oleh Badan-badan Zending.
a. Nederlands Gereformeerde Zending Vereeniging (NGZV). NGZV bekerja
di Jawa Tengah bagian Selatan. Badan ini adalah sebuah badan zending
yang dibentuk oleh Gereja Gereformeerd yang memisahkan diri dari Gereja
Hervormd. Gereja Gereformeerd berpendapat bahwa PI harus langsung
dilakukan oleh jemaat-jemaat, agar pekerjaan itu cocok dengan ajaran
Alkitab dan ajaran gereja. Zending Gereformeerd mempunyai azas yang
berbeda dengan pietis. Azas-azas zending Gereformeerd adalah sbb:
 Tujuan PI adalah kemuliaan Allah (bukanlah menyelamatkan jiwa
yang menjadi perhatian utama).
 Yang menjalankan PI ialah jemaat setempat (bukan kelompok para
sahabat zending).
 Utusan-utusan harus pelayan Firman yang berpendidikan akademis,
dan yang berhak penuh sebagai pendeta juga dalam gereja induk.
 Usaha zending tidak pertama diarahkan kepada orang perorangan,
melainkan kepada bangsanya (sukunya) dan bermula pada pusat-pusat
kehidupan bangsa (suku) itu.
 Orang-orang yang masuk menjadi Kristen secepat mungkin dihimpun
menjadi sebuah jemaat yang setingkat dengan jemaat induk di Belanda
dan jemaat itu sedapat mungkin dilayani oleh seorang pendeta yang
setingkat dengan pendeta di jemaat induk di Belanda.
 Mengadakan perbedaan tajam antara Pelayan Firman (pekabar Injil,
pendeta) yang merupakan pelayan utusan dan pelayan di bidang
kesehatan, pendidikan, dll, yang dianggap sebagai pelayan penunjang.

5. Walaupun NGZV dibentuk oleh Gereja Gereformeerd, namun badan itu


bukanlah sebuah seksi dari gereja tersebut. Badan ini hanya sebagai
pengkoordinir dari usaha-usaha PI yang dilakukan oleh jemaat-jemaat
setempat. Dalam hal ini jemaat setempat dari Gereja Gereformeerd yang ada di
negeri Belanda berhubungan langsung dengan tempat-tempat penginjilan
tertentu di Jawa, seperti: Jemaat Utrecht berhubungan dengan Purworejo,
Zeeland dengan Magelang, Amsterdam dengan Yogyakarta, Rotterdam dengan
Purbolinggo, dll. Dengan demikian juga nampak bahwa kota-kotalah yang
menjadi sasaran utama dari penginjilan ini. Pekerjaan zending dari gereja
Gereformeerd ini mulai berjalan dengan giat sejak tahun 1902. Dan seperti
terlihat dalam azas-azasnya di atas, tekanan mereka ialah supaya PI itu
senantiasa dijalankan sebagai pemuliaan Allah. Jemaat-jemaat hasil penginjilan
NGZV ini kemudian terhimpun dalam satu gereja yang bernama Gereja Kristen
Jawa, dengan sinode yang pertama 17-18 Februari 1931. Tetapi jemaat-jemaat
dari GKJ ini tersebar bukan hanya di Jawa Tengah tetapi juga terdapat di Jawa
Timur, Jawa Barat dan DKI Jakarta.

6. PI Salatiga. Badan ini sering juga disebut “Faith Mission”, karena sifatnya yang
pietis selalu menekankan bahwa UPI itu harus senantiasa dilakukan dalam
iman. PI Salatiga ini dilakukan oleh sebuah perhimpunan PI di Jerman yang
bernama “Neukirchener Missionshaus”, yang didirikan tahun 1880. Badan ini
bekerja di Jawa bagian Utara yang berpusat di Salatiga, mulai tahun 1884.
Badan ini yang selalu menekankan bahwa PI harus dilakukan dalam iman,
58
maka badan ini kurang memperhatikan soal-soal keuangan, organisasi dan
pejabat gereja. Pimpinan dan synode tidak dipentingkan. Bagi gereja yang
dihasilkan oleh badan ini yang ada adalah Parepaten Agung, yang sifatnya
merupakan musyawarah dari jemaat-jemaat setempat. Hasil dari musyawarah
itu tidak mengikat, apakah dijalankan atau tidak dijalankan oleh jemaat
setempat. Jemaat-jemaat setempat adalah mempunyai otonomi tersendiri, di
mana setiap jemaat setemapat bebas mengatur diri sendiri, termasuk dalam hal
yang menyangkut penerimaan pendeta. Bentuk gereja yang seperti ini
biasanya disebut “Congreagationalistis”. Dari sudut situasi Indonesia,
penerapan bentuk gereja yang kongregationalistis tidak cocok dan bahkan bisa
menimbulkan bahaya, karena:

 Orang-orang Kristen di Indonesia masih mudah dipengaruhi oleh


sifat kedaerahan, marga dan adat istiadat, sehingga jemaat-jemaat
setempat masih memerlukan pimpinan dari atas.
 Karena dalam hal yang menyangkut penempatan, pemindahan
atau pemberhentian seorang pendeta atau tenaga pekerja yang lain adalah
hak jemaat setempat, maka sesuai dengan point di atas, tindakan tersebut
cenderung hanya mengikuti keinginan atau kemauan jemaat setempat.
 Di Indonesia jumlah pendeta masih kurang, sehingga masih sulit
mencari tenaga pendeta untuk satu-satu jemaat sesuai dengan bakat-
bakatnya.

Usaha PI Salatiga ini bertolak dari daerah Salatiga dan meluas ke arah Barat
sampai ke Tegal, dan ke Timur sampai ke Bojonegoro. Di kemudian hari
mereka juga menampung sebagian jemaat-jemaat pengikut Sadrakh.

7. PI yang Dilakukan Oleh NZG. Zending NZG sebenarnya telah mulai mengutus
tenaga penginjil ke Semarang, bekerjasama dengan badan PI dari Inggris,
yakni G. Brueckner (seorang Jerman) tahun 1815. tetapi pada akhirnya dia
bekerja secara perorangan dan berusaha menterjemahkan dan menerbitkan
Kitab PB ke dalam bahasa Jawa. Selain itu dia juga menulis sejumlah buku-
buku Kristen ke dalam bahasa Jawa, walaupun semuanya buku yang ditulisnya
itu termasuk terjemahan kitab PB disita oleh pemerintah Belanda. Sampai ia
meninggal tahun 1849, tidak ada satu jemaat pun yang didirikannya. Tahun
1849, NZG kembali lagi mengutus tenaga penginjil ke Semarang yaitu yang
bernama Hoezoo. Dia ingin memupuk bibit-bibit kekristenan yang mulai
bertumbuh pada waktu itu oleh penginjil-penginjil perorangan, terutama di
daerah bagian Utara Jawa Tengah.
 Upaya Menyatukan Gereja-gereja Kristen di Jawa Tengah.
Sejak terjadinya PD II, segala bantuan personil maupun materil yang datang
dari luar terputus kepada gereja-gereja yang ada di Jawa Tengah. Karena
itu timbullah keinginan gereja-gereja yang ada di Jawa Tengah, baik yang
berdiri atas usaha penginjilan perorangan, maupun yang berdiri atas usaha
badan-badan zending yang datang dari Eropa, untuk bersatu membentuk
satu gereja. Keinginan itu bisa disepakati tahun 1949. Ketika itu seluruh
jemaat di Jawa Tengah, mulai dari Tegal, Bojonegoro, Cilacap sampai ke
gunung Kidul, kecuali jemaat yang di sekitar gunung Muria, bersatu
59
membentuk satu gereja yang bernama Gereja Kristen Jawa Tengah. Pada
waktu itu telah disepakati bahwa jemaat-jemaat yang bergabung itu akan
menyusun tata gereja yang baru. Tetapi tahun 1953, sebagian jemaat-
jemaat itu melepaskan diri dari gereja kesatuan dan tahun-tahun berikut
beberapa jemaat lain menyusul. Persoalannya, selain dari jemaat-jemaat
yang bergabung itu mempunyai latar belakang historis yang berbeda-beda,
juga karena menyangkut harta benda gereja. Dengan demikian penyatuan
itu tidak dapat berkelanjutan.

8. Gereja Kristen Sekitar Gunung Muria. Gereja ini adalah beraliran Mennonit,
yang dihasilkan oleh “Doopsgezinde Zendingsvereniging” (DZV). Pendirian
gereja yang beraliran Mennonit adalah hampir sama dengan pendirian Gereja
Baptis, yakni:
 Menjauhkan kehidupan politik.
 Memantangkan pemakaian kekerasan. Mereka tidak mau menjadi tentara
atau mengangkat senjata biarpun dalam usaha untuk mempertahankan diri.
 Memberikan otonomi kepada jemaat-jemaat setempat (kongregationalistis).
 Mempertahankan disiplin gereja yang ketat.
 Menolak baptisan anak-anak.

Perhimpunan zending Doopsgezinde didirikan tahun 1847 di Belanda. Inilah


badan zending yang pertama memasuki Jawa Tengah, dengan utusannya yang
pertama P. Jansz, seorang guru SD di Belanda, yang tiba di Jepara tahun
1851. Pada tahun 1854 ia dapat membaptiskan lima orang. Tetapi selama 20
tahun bekerja di sana, jumlah yang berhasil dibaptiskan hanya mencapai 16
orang laki-laki dan 21 orang perempuan. Pekabar Injil yang lain yang
diperbantukan kepadanya ialah Klinkert, yang kemudian ditugaskan untuk
menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu. Pada awal pekerjaannya,
seorang pemilik tanah di Cumbring dekat Jepara memberinya kesempatan
untuk mendirikan sekolah dan mengabarkan Injil di tengah-tenagh buruh
perkebunannya, yang berjumlah 7000 orang. Tetapi ternyata tuan Eropa itu
beranggapan bahwa Injil itu akan bisa menjadi semacam obat penenang bagi
buruhnya. Karena pemberitaan Jansz berlainan dengan apa yang dia
harapkan, maka hubungan mereka menjadi putus tahun 1864 dan Jansz
kemudian menetap di kota Jepara. Tetapi beberapa tahun kemudian dia
bentrokan dengan pemerintah, karena ada surat selebaran berbahasa Jawa
yang bertemakan: “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah
kepada Injil”. Surat selebaran ini dianggap pemerintah Belanda akan
mengganggu “keamanan dan ketertiban” masyarakat setempat. Pemerintah
meminta para bupati di Jepara dan Pati memberi penilaian terhadapnya. Ketika
mereka ini menyatakan keberatan terhadap isinya maka izin Jansz dicabut.
Hanya berkat campur tangan menteri jajahan di negeri Belanda, Jansz dapat
meneruskan pekerjaannya di Jawa Tengah walaupun tetap tanpa izin.

9. Pekabar Injil Mennonit ini juga tidak mempunyai hubungan yang baik dengan
golongan Kristen yang lain. Misalnya, hubungannya dengan NZG agak buruk,
karena perbedaan paham mengenai pembaptisan anak. Selain itu dia juga
mempunyai konflik dengan Tunggul Wulung, karena dia tidak mau
60
membaptiskan Tunggul Wulung yang memintanya untuk dibaptis tahun 1854.
Alasannya karena P. Jansz memandang iman Tunggul Wulung dibaptis oleh
Jelessma, penginjil NZG. Pada tahun 1874, P. Jansz memikirkan suatu cara
baru untuk menyebarkan Injil itu, yakni dengan membuat sebuah surat
selebaran yang berjudul: “Usaha PI dengan jalan membuka tanah”. Dengan
cara ini Jansz membuka suatu perkampungan Kristen, sehingga orang-orang
Jawa banyak yang tertarik untuk berkumpul di sekitarnya. Melalui gagasannya
itu, berdirilah beberapa perkampungan Kristen, antara lain: Margorejo (1881),
Margokerto (1901) dan Pakis (1925). Pimpinan desa dipegang oleh pekabar-
pekabar Injil. Di dalam desa-desa itu mereka juga mengusahakan usaha-usaha
sosial, seperti poliklinik-poliklinik, rumah sakit, dan juga asrama orang-orang
kusta, yang semuanya memberi pengaruh yang tidak sedikit. Penghuni dari
perkampungan itu bisa juga dari orang-orang Islam, tetapi mereka harus taat
dengan peraturan yang ditetapkan, yakni: tidak boleh bekerja pada hari
Minggu, tidak boleh berpoligami, dilarang meminum minuman keras dan
menghisap ganja, dll. Di samping di desa-desa, zending ini juga memberitakan
Injil di kota-kota, seperti di Kudus dan Pati. Dan untuk menghimpun seluruh
jemaat yang telah berdiri itu, maka tanggal 30 Mei 1940 didirikanlah sebuah
organisasi yang bernama: “Patunggilan Pasamuan Kristen Jawi tata Injil ing
kresdenan Pati, Kudus lan Japara” (Persekutuan Gereja Kristen Jawa yang Injili
di keresidenan Pati, Kudus, dan Japara). Pada waktu itu dalam organisasi ini
bergabung 12 jemaat, dengan anggota seluruhnya 5000 orang, termasuk anak-
anak. Sedangkan yang sudah terbaptis baru mencapai kira-kira 2000 orang. Di
Pati sekolah ini telah mempunyai sekolah theologi, yang sudah menjadi
anggota Persetia. Dan walaupun gereja ini mempunyai beberapa ajaran yang
berbeda dengan gereja-gereja lain di Indonesia, namun gereja ini ikut
bekerjasama dengan gereja-gereja lain secara oikumenis, sehingga gereja ini
telah menjadi salah satu anggota DGI/PGI. Dan mulai tahun 1956 nama gereja
ini ialah: “Gereja Injili di Tanah Jawa”. Dalam perhitungan tahun 1975, jumlah
anggota gereja ini tercatat sebanyak 65000 orang.

GEREJA-GEREJA DI JAWA BARAT DAN JAKARTA


(GEREJA KRISTEN PASUNDAN)

1) Badan zending yang mula-mula bekerja di daerah Jawa Barat (Pasundan) ialah
NZV, yakni tahun 1865. Badan ini mula-mula tinggal di Bandung. Tetapi izin
untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Sunda di sana tidak diperoleh dari
pemerintah, karena pemerintah takut PI itu akan bisa menimbulkan huru-hara
didaerah itu. Karena itu mereka mula-mula hanya bekerja bagi orang-orang
Kristen Ambon yang ada di sana. Tetapi setelah menteri jajahan di negeri
Belanda turun tangan, maka para penginjil NZV itu akhirnya diizinkan bekerja di
Cianjur (1865), kemudian di Bogor dan Depok (1868), Sukabumi (1872),
Sumedang (1872), Jatinegara (1884), Lebak (Banten Selatan, 1894) dan
Tasikmalaya (1898). Tetapi tidak semua tempat ini bisa dipertahankan terus.
Misalnya di Banten, setelah tahun 1902 tidak ada lagi tenaga penginjil NZV.
Depok kemudian menjadi salah satu daerah Kristen yang terkenal.

61
2) Suatu cara yang dipakai untuk menyebarkan Injil itu aialah dengan membeli
tanah untuk dapat dijadikan sebagai perkampungan Kristen. Cara ini perlu
mengingat orang-orang Pasundan yang pada umumnya beragama Islam.
Kalau ada dari antara mereka yang beralih menjadi Kristen, maka mereka akan
diusir dari tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Maka untuk menampung
mereka yang telah menajdi Kristen itu sangat diperlukan adanya desa atau
perkampungan Kristen, agar mereka jangan sampai terpencil. Ternyata
memang sangat sulit untuk mengkristenkan orang-orang Pasundan itu. Karena
itu cara lain yang ditempuh oleh zending ialah dengan mendirikan sekolah-
sekolah, pelayanan kesehatan dan usaha-usaha sosial. Zending juga berusaha
untuk mendirikan asrama-asrama untuk para mahasiswa, misalnya di Bandung.
Dari antara golongan terpelajar ini ada juga yang tertarik kepada agama Kristen
dan masuk menjadi Kristen. Untuk pelayanan kesehatan didirikan sebuah
rumah sakit yang besar di Bandung tahun 1910, yang diberi nama Rumah Sakit
Immanuel. Rumah sakit ini sampai sekarang masih merupakan salah satu
rumah sakit yang terkenal di Bandung, karena pelayanan dan pengobatannya
yang cukup baik. Perkembangan kekristenan di daerah Pasundan, ikut juga
ditunjang oleh bantuan pribadi seorang pejabat tinggi pemerintahan Belanda,
yang bernama Mr. Anthing. Dia berusaha untuk membelanjai satu kelompok
yang beranggotakan 50 orang yang dididik menjadi calon-calon penginjil
pribumi. Cara ini memang sangat efektif, karena penginjil-penginjil pribumi itu
mudah memberi pendekatan terhadap masyarakat daerah setempat. Dan lagi
Mr. Anthing meminta supaya penginjil-penginjil yang berasal dari kelompoknya
itu janganlah menjadi mata-mata Belanda, tetapi kiranya mereka benar-benar
berlaku sebagai sebagai penginjil untuk orang Jawa asli. Pada mulanya Mr.
Anthing dalam bantuan yang diberikannya juga memperoleh pertolongan dari
“Perhimpunan Pekabaran Injil di dalam dan luar gereja”, yang dibentuk oleh
orang-orang Kristen di Jakarta yang mempunyai perhatian terhadap usaha
penginjilan. Dalam perhimpunan ini Mr. Anthing ikut sebagai salah seorang
anggota pendiri. Hanya sayang dia kemudian beralih ke bidat “kerasulan”,
karena gagal memperoleh bantuan dari sebuah Perhimpunan PI di negeri
Belanda. Dalam bidat kerasulan ini dia diangkat menjadi salah seorang “rasul”
Jawa. Setelah Anthing meninggal tahun 1883, NZV mencoba mendekati dan
memelihara jemaat-jemaat yang dihasilkan oleh kelompok Mr. Anthing tersebut
dan dialihkan menjadi anggota Gereja Kristen Pasundan.

 Pada tanggal 14 Nopember 1934, Gereja Kristen Pasundan menjadi


sebuah gereja yang berdiri sendiri. Pada waktu itu klasis belum
dibentuk,namun sudah ada 20 jemaat yang berdiri sendiri, dan 15 jemaat
yang belum mempunyai majelis sendiri tetapi masih langsung di bawah
asuhan zending. Dan semua anggota gereja itu tercatat sebanyak 6215
orang (di antaranya 1460 orang Tionghoa). Pendidikan khusus untuk
pendeta belum ada, tetapi telah diadakan kursus-kursus penginjil yang dari
antara merekalah kemudian diangkat menjadi pendeta. Pendeta Pasundan
yang pertama ialah Pendeta Titus, yang ditahbiskan tahun 1918. Sekarang
ini jumlah anggoata GKP tercatat + 28000 orang dengan 42 jemaat.

62
 Sementara di Depok terkenal sebuah seminari yang bersifat oikumenis,
yang menerima pelajar-pelajar dari berbagai gereja yang ada di Indonesia
untuk dididik menjadi calon-calon guru-guru jemaat atau guru-guru Injil.
Seminari ini didirikan tahun 1878, tetapi kemudian ditutup tahun 1926,
karena kekurangan keuangan dan juga karena gereja-gereaja
pendukungnya itu telah banyak yang mempunyai seminari sendiri. Sisa
keuangan dari seminari Depok ini, kemudian dipakai sebagai modal
pertama untuk mendirikan sebuah Sekolah Tinggi Teologi yang didukung
oleh beberapa gereja yang ada di Indonesia pada waktu itu, termasuk
HKBP, yakni: “Hoogere Thelogische School” (HTS), tahun 1834 di Bogor,
dan tahun 1836 dipindahkan ke Jakarta, yang sekarang menjadi STT
Jakarta.

3) Badan-badan zending yang bekerja di Pasundan ialah:


o NGZV
o Komite Jawa
o Perhimpunan Pekabaran Injil di dalam dan luar gereja
o Di kota Jakarta sendiri bekerja antara lain: Gereja Protestan Indonesia
(pemerintah), Gereja Kristen Gereformeerd, Gereja Kristen Indonesia
(Gereja Tionghoa), Gereaja Methodist, Gereja Baptis dari Inggris dan juga
sempat Gereja Portugis (RK). Gedung gereaja Portugis ini sampai sekarang
masih dipelihara dan ibadah-ibadah istimewa diadakan di gedung gereja ini.
Gedung gereja Inggris itu sampai sekarang juga masih ada dan sempat
dipergunakan oleh Gereja Punguan Kristen Batak (yakni gereja yang
memisah dari HKBP asuhan RMG tahun 1927). Sekarang ini di Jakarta
telah berdiri banyak gereja, sejalan dengan arus perpindahan penduduk
yang cukup besar dari daerah-daerah ke kota metropolitan, ibukota
Indonesia itu. Gereja HKBP sendiri di sana sudah mencapai ratusan jemaat
setempat.

GEREJA-GEREJA PENTAKOSTA DI INDONESIA

1. Permulaan Timbulnya Gerakan Pentakosta. Gereja-gereja Pentakosta


berasal dari gerakan Pentakosta yang timbul di Amerika Utara sekitar tahun
1906. Gerakan itu adalah tunas dari “gerakan kesucian” (holiness movement)
yang timbul dalam gerakan Methodis pada abad 19. Gerakan kesucian itu ingin
kembali kepada semangat dan kesederhanaan yang terdapat dalam gereja
Methodis pada zaman John Wesley, serta menekankan pertobatan mendadak
dan kesempurnaan Kristen seperti dianjurkan dalam theologia Wesley. Untuk
membangun kembali hidup kerohanian warga gereja yang telah suam, tertarik
kepada ajaran pentakosta itu. Tahun 1923 ia kembali datang ke Indonesia dan
tinggal di Bandung sebagai penyebar ajaran pentakosta.

2. Masuknya Gereja Pentakosta di Sumatera Utara. Penyebaran ajaran


pentakosta ke Sumatera Utara juga telah diusahakan tahun 1920an oleh
pendeta-pendeta “Bethel Temple”, Seattle, Amerika Serikat, yang sebelumnya
telah bekerja di Surabaya dan kota-kota pelabuhan lainnya. Khotnah dan

63
pendemonstrasian penyembuhan yang mereka lakukan sangat menarik
perhatian masyarakat, sehingga mereka menerima undangan untuk berkhotbah
di beberapa tempat di Sumatera Utara antara lain di Pematangsiantar dan
Balige. Namun kegiatan mereka itu masih dihalangi oleh pemerintah kolonial
Belanda, karena Tapanuli masuh tertutup bagi usaha PI di luar RMG. Karena
larangan itu maka ajaran-ajaran pentakosta itu dikirim melalui kursus Alkitab
tertulis dari pos. Mulai tahun 1935, Gubernur Jenderal Belanda memberi izin
kepada penginjil Pentakosta untuk menjalankan missinya di Sumatera Utara.
Dan secara resmi penyebaran Pentakosta itu dimulai di Tapanuli tahun 1941
oleh beberapa pendeta Pentakosta dari suku Batak yang sebelumnya telah
memperoleh pendidikan kependetaan pentakosta di Surabaya, antara lain: Pdt.
P.C. Simanjuntak, Pdt. W.F. Siahaan, R. Siburian, L. Siburian, dan G.N. Pane.
Kebanyakan orang-orang yang berhasil ditarik menjadi pengikut pentakosta
adalah bekas warga gereja HKBP, terutama mereka yang sedang berada di
bawah siasat gereja (dikucilkan dari gereja) karena pelanggaran hukum gereja
tertentu dan juga mereka yang sering ingkar membayar kewajibannya kepada
gereja. Dan perkembangannya yang paling pesat pada mulanya ialah di jemaat
pentakosta di Samosir. Warga gereja HKBP di sana memang banyak yang
menyambut kehadiran pendeta-pendeta pentakosta itu, karena mereka
sebelumnya masih jarang memperoleh kunjungan yang intensif dari seorang
pendeta HKBP. Tetapi selain di Samosir, di daerah-daerah lain seperti: Balige,
Toba, Silindung, Pematangsiantar, gereaja-gereja pentakosta juga kelihatan
banyak berdiri.

3. Perpecahan Dalam Gereja Pentakosta. Di dalam gereja-gereja Pentakosta di


Indonesia banyak terjadi perpecahan. Gereja itu sebagai lembaga mulai tahun
1923, yakni dengan berdirinya badan “Jemaat Pentakosta di Hindia Timur,
Belanda”. Kemudian tahun 1937, badan ini berganti nama menjadi “Gereja
Pentakosta di Hindia Timur Belanda”, yang tahun 1942 disebut “Gereja
Pentakosta di Indonesia” (GPdI). Gereja ini sejak mulanya diurus oleh suatu
badan pengurus, yang bernama: “Pinkster Convent” (Sidang Pentakosta).
Tetapi tidak beberapa lama, di dalam badan pengurus itu timbullah perbedaan
paham atau perselisihan yang menyebabkan gereja itu mengalami perpecahan.
Menurut Th. Van den End, pokok perselisihan disebabkan oleh empat faktor,
yakni:
 Ajaran “Jesus Only” (hanya Yesus), yang dibawa dari As, yang
mengatakan pembaptisan cukup dilakukan hanya dalam nama Yesus,
karena katanya nama Yesus telah meliputi ketiga pribadi dalam Trinitas.
 Mengenai hak wanita untuk memegang kepemimpinan dalam gereja.
 Hubungan jemaat setempat dengan organisasi pusat.
 Prestise (gengsi) suku atau perorangan.
 Sampai tahun 1931, gereja itu masih satu kesatuan, tetapi sejak tahun
1931 gereja itu telah terbagi-bagi paling sedikit atas 25 gereja, belum
termasuk gereja-gereaja yang hanya terdapat di satu tempat yang
berjumlah 28 gereja lagi (ini perhitungan tahun 1980). Dan di Sumut, ada
beberapa gereja pentakosta yang membawa nama pribadi pendeta yang
mendirikannya, misalnya: GPdI Sinaga (1941), GPdI Siburian (1948), GPdI

64
Sianturi (1966), GPdI Sianipar (1971), dll. Beberapa dari antara gereja-
gereja Pentakosta, telah ada yang masuk anggota DGI/PGI, yakni: Gereja
Isa Almasih, Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Pentakosta Pusat
Surabaya dan Gereja Gerakan Pentakosta. Jumlah anggaota seluruhnya
yang tergolong kepada Gereja Pentakosta di Indonesia berkisar antara 1,2-
1,5 juta orang.

4. Gereja-gereja dari Rumpun Kemah Injil. (Berdirinya: “The Christian and


Missionary Alliance, CAMA”). Gereja-gereja dari rumpun Kemah Injil berasal
dari gerakan “Alliance” (persekutuan) yang lahir di AS tahun 1880an. Gerakan
ini juga merupakan salah satu tunas dari “gerakan kesucian”, seperti halnya
gerakan Pentakosta. Yang mendirikan dan yang menjadi pemimpinnya yang
pertama ialah A.B. Simpson, seorang bekas pendeta Gereja Presbyterian di
New York, tetapi keluar dari gereja itu, karena dia tidak menerima baptisan
anak-anak. Pada tahun 1897, dibentuklah “The Christian and Missionary
Alliance”, yang merupakan gabungan dari dua persekutuan yakni “The
International Missionary Alliance” dan “The Christian Alliance”. Ajaran dari
CAMA disimpulkan dalam empat azas, yakni:
 Kristus menyelamatkan
 Kristus menyucikan
 Kristus menyembuhkan
 Kristus datang kembali sebagai Tuhan

Ajaran yang keempat ini sangat mendapat tekanan, sehingga badan ini
mementingkan ajaran mengenai kedatangan kembali Yesus Kristus dan
Kerajaan Seribu Tahun. Dan itulah yang mendorong badan ini giat
mengabarkan Injil itu kepada orang-orang yang belum pernah mendengarnya,
karena menurut mereka, dengan usaha PI itu, kedatangan kembali Tuhan
Yesus akan dipercepat. Salah seorang tenaga penginjil CAMA ialah R.A.
Jaffray, yang tahun 1897-1927 bekerja di Cina, tetapi mulai tahun 1928
melakukan pelayanan di kota-kota pelabuhan di Indonesia, yakni di Kalimantan
Timur, Sulawesi Selatan, Bali dan Jawa Timur.

a. PI CAMA di Indonesia. R.A. Jaffray mulai tahun 1929 mendirikan pusat


penginjilannya di Makassar (Ujung Pandang sekarang). Mula-mula ia
melakukan penginjilan kepada orang-orang Tionghoa. Tetapi dari hasil
pelayaran yang pernah dilakukan, dia mengetahui bahwa masih banyak
orang-orang Indonesia yang belum dilayani oleh Injil itu. Karena itu ia
membuka penginjilan ke daerah-daerah lain, ke Bali, Lombok, Sumbawa,
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan pedalaman
Irian. Di daerah-daerah itu masih sedikit usaha PI dari lembaga-lembaga
penginjilan yang lain. Tenaga-tenaga yang dipergunakan mula-mula adalah
orang-orang Tionghoa yang dibawa dari negeri Cina. Tenaga penginjil yang
lain yang dipakai sebagian juga berasal dari Amerika dan kemudian juga
orang-orang Indonesia yang sudah dilatih. Di Makassar, yang merupakan
pusatnya didirikan sebuah gedung yang disebut “Kemah Injil”, dan di situ
juga didirikan sebuah Sekolah Alkitab yang diberi nama Kalam Hidup,

65
dengan lama pendidikan 5-6 tahun. Sekolah ini sekarang sudah
ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.
b. Tokoh penginjil CAMA di Kalimantan Timur ialah George E. Fish, yang mulai
bekerja di daerah itu tahun 1929. Di sana dia sering melakukan
pembaptisan secara berkelompok, dan yang dibaptis hanya orang dewasa,
yang dianggap telah sanggup untuk mengungkapkan iman:
kepercayaannya mengenai keselamatan yang dibawa oleh Kristus. Selain
itu dia tidak menyerang langsung adat kebiasaan mereka, tetapi dia
menyerahkan hal itu kepada bimbingan Roh Kudus. Dan untuk nyanyian
gereja, dia memakai lagu-lagu pribumi, di samping lagu-lagu yang berasal
dari Barat. Mulai tahun 1938 CAMA membuka usaha penginjilan di
pedalaman Irian. Untuk itu pesawat udara untuk menjadi sarana
perhubungan para penginjil itu didatangkan dari Amerika (1939). Dan inilah
yang pertama kali pesawat udara dipakai sebagai salah satu sarana dalam
usaha penginjilan di Indonesia.

Pada tahun 1941 tempat-tempat penginjilan CAMA di Indonesia sudah


berjumlah 139.Sekolah Alkitab Makassar mempunyai siswa sebanyak 209
orang dan jumlah orang yang sudah dibaptis sebanyak 11694 orang. Pekabar
Injil asing sebanyak 20 orang dan pekabar Injil orang Indonesia sebanyak 140
orang. Pada tahun 1942, semua pekabar Injil asing ditawan oleh tentara
Jepang yang menduduki Indonesia. Jadi yang menggantikan mereka ialah
tenaga-tenaga Indonesia, tamatan Sekolah Alkitab Makassar. Selain ditawan
ada juga tenaga asing itu yang tewas dibunuh oleh Jepang, dan ada yang
meninggal dalam tawanan, termasuk R.A. Jaffray sendiri tahun 1945. Pada
tahun 1950, banyak penginjil CAMA yang diusir oleh penguasa komunis di
negeri Cina, datang ke Indonesia. Dan pada tahun 1951 seluruh jemaat
Kemah Injil di Indonesia digabung menjadi tiga gereja daerah, yakni: Kemah
Injil Gereja Masehi Indonesia Timur (KINGMIT), KINGMI Kaltim dan KINGMI
Kalbar.

Tahun 1956, CAMA mengambil dua langkah penting dalam proses


kemandirian cabang-cabangnya di seluruh Indonesia, yakni:
 Tenaga luar negeri yang bekerja di lingkungan gereja itu berada di
bawah pengawasan pimpinan gereja itu. Dan pimpinan gereja berada di
tangan pribumi.
 Tunjangan yang diberikan kepada sejumlah besar pendeta Indonesia
dihentikan. Untuk menanggulangi belanja pendeta Indonesia, anggota
jemaat diajar untuk memberi persepuluhan.

Pada tahun 1956 itu juga, bantuan keuangan kepada jemaat-jemaat Cina juga
dihentikan. Jemaat-jemaat itu kemudian bergabung dalam dua badan gereja,
yakni: Gereja Kebangunan Kalam Allah (GKKA), dan Gereaja Persekutuan
Kristen (GPK). Mulai tahun 1985, GKKA sudah masuk menjadi anggota PGI.

5. Pembentukan KINGMI/GKII. Pada tahun 1965, seluruh gereja yang termasuk


aliran CAMA (Kemah Injil) mengadakan konferensi di Makassar. Di situ
diadakanlah persekutuan dari seluruh gereja yang seazas, yakni: “Kemah Injil
66
Gereja Masehi Indonesia” (KINGMI). Dan tahun 1983, kembali diadakan
konferensi di Makassar, di mana seluruh gereja itu disatukan dalam satu
Gereaja kesatuan yang bernama: “Gereja Kemah Injil Indonesia” (GKII), yang
berpusat di Jakarta. Di dalamnya terdapat enam gereja wilayah, yakni:
 GKII bagian Timur, beranggota : 16000 orang
 GKII Kaltim, beranggota : 55000 orang
 GKII Kalbar, beranggota : 35000 orang
 GKII Toraja, beranggota : 40000 orang
 GKII Irian Jaya, beranggota : 240000 orang
 GKII Jawa-Sumatera beranggota : 12000 orang

Angka-angka ini merupakan jumlah anggota, termasuk yang belum dibaptis


(anak-anak), dalam perhitungan tahun 1983.

Jika dibandingkan dengan gereja-gereja lain di Indonesia hasil penginjilan


zending dari Belanda dan Jerman, maka Gereja Kemah Injil Indonesia,
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
 Dalam hal ekklesiologi (pandangan mengenai gereja), cirinya yang
paling menonjol ialah penolakan terhadap pembaptisan anak-anak. Yang
dibaptis hanyalah orang-orang dewasa yang sudah mengikrarkan imannya,
dengan cara baptisan selam.
 Dalam hal hukum kelakuan masing-masing anggota jemaat, kekudusan
jemaat harus nyata dalam kehidupan sehari-hari. Untuk ini:
 Anggota tidak boleh berurusan lagi dengan ibadat kafir, seperti di Toraja:
tidak boleh menghadiri upacara orang mati.
 Kesucian perkawinan dijaga ketat.
 Tidak boleh minum alkohol, merokok dan makan sirih.
 Gereja-gereja yang masuk rumpun KINGMI tidak memiliki jaringan
lembaga-lembaga umum, seperti sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit.

6. Gereja-gereaja dari Rumpun Baptis (Latarbelakang Timbulnya Gereja


Baptis). Gereja yang beraliran Baptis mulai timbul di Inggris sekitar tahun
1600. Gereja ini menolak pembaptisan anak-anak dan juga hubungan yang
erat antara gereja dan negara seperti dianut oleh gereja Protestan dan RK.
Ajaran serupa juga sudah muncul sebelumnya yakni oleh kelompok Anabaptis
di Jerman dan Mennonit di Belanda. Di Amsterdam sejak tahun 1608/9 gerakan
Baptisme dipelopori oleh John Smith, seorang pendeta jemaat Inggris yang
merantau ke sana. Kelompok Baptis kemudian dipisahkan dari Mennonit,
karena mereka tidak setuju dengan ajaran Mennonit yang mengatakan seorang
Kristen tidak boleh bersumpah di depan lembaga pemerintah, tidak menduduki
jabatan dalam pemerintahan dan tidak boleh masuk tentara. Nama “baptis”
yang dipakai mula-mula adalah merupakan sindiran yang datang dari pihak
lawan-lawan kelompok ini. Salah seorang tokoh Baptis pada abad 17 ialah John
Bunyan, yang menulis buku “Perjalanan seorang musafir”, sewaktu dia
dipenjara karena kepercayaannya (1660-1672), karena pada waktu itu belum
ada kebebasan beragama di Inggris. Barulah setelah adanya revolusi Inggris
tahun 1689, ditetapkan azas kebebasan beragama di Inggris. Mulai tahun

67
1639, aliran Baptis telah tersebar juga ke Amerika Utara oleh orang-orang
imigran atau pindahan dari Inggris. Dan pada abad 19 Gereja Baptis telah
menjadi salah satu gereja Protestan terbesar di Amerika. Dan pada abad 19
dan 20 aliran Baptis telah meluas ke semua benua.

9. Masuknya ke Indonesia. Ketika Indonesia sempat dijajah oleh Inggris tahun


1811-1816, usaha PI Baptis telah mulai masuk ke Indonesia, yang diutus oleh
“Baptist Missionary Society” dari Inggris, dan juga melalui pusat PI Baptist yang
didirikan oleh William Carey di India. Antara tahun 1813 dan 1857, sudah ada
20 orang utusan Baptis bekerja di Indonesia. Di antaranya yang terkenal ialah
Nathaniel Ward dan Richard Burton, yang telah berhasil menerobos sampai ke
daerah Silindung dan tepi Danau Toba, Tapanuli Utara, tahun 1824. merekalah
penginjil yang pertama masuk ke Tanah Batak, walaupun hasil penginjilan
mereka belum ada. Dari tahun 1814-1818, Jaber Carey (anak dari William
Carey), pernah bekerja di Ambon. Tetapi setelah pemerintah Belanda kembali
berkuasa di Indonesia, kebanyakan penginjil berkebangsaan Inggris kembali ke
India. Namun Nathaniel Ward yang pernah datang ke Tanah Batak, bertahan
terus di Padang sampai kematiannya tahun 1850. Dan di Semarang, Gottlab
Brueckner menerjemahkan kitab PB ke dalam bahasa Jawa, yang kemudian
disita oleh pemerinatah dan dilarang peredarannya. Sesudah kematiannya
tahun 1857, PI Baptis di Indonesia menjadi terhenti. Kemudian tahun1952,
Konvensi Baptis Selatan (KBS) dari Amerika Serikat diberi izin untuk masuk
bekerja di Indonesia. KBS ini merupakan golongan Baptis terbesar, tetapi
ajarannya bersifat ortodoks, dan tidak masuk menjadi anggota Dewan Gereja-
gereja seDunia. Pusat PI KBS di Indonesia dijadikan di Jawa, dengan
mendirikan sebuah rumah sakit di Kediri tahun 1955, dan Seminary Theologia
di Semarang tahun 1954. Gereja-gereja Baptis yang ada di Indonesia yang
berbenatuk kongregationalis, bergabung dalam Gabungan Gereja Baptis
Indonesia (GGBI) dengan pusat di Jakarta dan beranggota kira-kira 60000
orang. Tetapi selain itu sudah ada lagi satu badan gereja Baptis yang besar di
Indonesia, yakni Gereaja Baptis Irian Jaya (GBIJ), yang lahir oleh hasil
penginjilan “The Australian Baptist Missionary Society” di pedalaman Irian mulai
tahun 1938. GBIJ beranggotakan kira-kira 75000 anggota.

10. Bala Keselamatan (Salvation Army)


 Permulaan Bala Keselamatan. Bala Keselamatan (Salvation Army)
didirikan di London tahun 1878 oleh William Booth (1829-1912). Sejak masa
mudanya dia sudah menaruh perhatian yang besar kepada masalah sosial
dan hidup kerohanian orang-orang miskin. Perhatiannya ini semakin besar,
ketika dia menjabat sebagai seorang pendeta gereaja Methodist di Inggris.
Dalam tugasnya sebagai seorang pendeta, dia sangat giat melakukan
pelayanan kepada orang-orang gelandangan, pelacur dan orang-orang
miskin. Orang-orang malang seperti ini tidak mendapat perhatian dari gereja
pada waktu itu, dan yang lebih banyak diperhatikan oleh gereja ialah orang-
orang kaya dan masyarakat golongan menengah ke atas. Karena itu dia
mendesak gereja supaya banyak memberi perhatian untuk menolong dan
melayani mereka. Tetapi usahanya itu tidak mendapat respons yang baik
dari pihak gereja. Karena dia tidak merasa senang melihat sikap gereja
68
seperti itu, maka tahun 1862 dia keluar dari gereja Metodis, dan mendirikan
sebuah organisasi yang tersendiri, yang mula-mula bernama “The Christian
Mission”. Melalui organisasi ini dia melakukan kampanye pelayanan
kekristenan di dalam kemah-kemah yang berpindah-pindah. Pada tahun
1878, organisasi ini dirombak menjadi “The Salvation Army” (Bala
Keselamatan), yang disusun sesuai dengan pola militer. William Booth
selaku pimpinan tertinggi organisasi itu disebut “jenderal”, dan pekerja-
pekerja penuh waktu lainnya yang berada di bawahnya disebut: kolonel,
kapten, sampai kepada prajurit. Cabang-cabang organisasi ini di tempat lain
disebut “korps”. Jenjang kepangkatan itu juga diberikan kepada peaalayan
wanita.Dalam waktu yang singkat, organisasi Bala Keselamatan meluas ke
seluruh dunia, yakni ke benua Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Usaha
mereka selain mengabarkan Injil, terutama lebih aktif di bidang sosial,
memberi orang lapar makan, dan menampung atau menolong orang-orang
tuna susila. Jadi itulah salah satu ciri khas dari Bala Keselamatan, yakni
bahwa usaha PI dilakukan jalin-menjalin dengan usaha sosial. Pada
mulanya organisasi ini tidak bermaksud menjadi sebuah organisasi gereja di
samping gereja lainnya. Karena itu di dalam Bala Keselamatan tidak ada
pelayanan sakramen. Tetapi di kemudian, Bala Keselamatan dalam
prakteknya telah merupakan lembaga gereja tersendiri dan telah menjadi
salah satu anggota Dewan Gereja-gereja se-Dunia.

 Masuknya Bala Keselamatan ke Indonesia. Utusan Bala


Keselamatan yang pertama ke Indonesia tahun 1894, yakni dua orang
perwira yaitu: J.G. Brouwer dan E.A. van Emerik dari Belanda. Mereka
mula-mula tinggal di Purworejo, Jateng, tetapi kemudian pindah ke
Semarang. Di kota ini tahun 1903 dibuka sebuah Pusat Latihan untuk
mendidik perwira-perwira (setaraf pendeta) Indonesia. Selain itu, di kota
tersebut juga dibuka sebuah tempat penampungan tuna wisma “Bugangan”
dan koloni Salib Putih di Salatiga. Bala Keselamatan juga membuka
beberapa Rumah Sakit Kusta dan Rumah Sakit Umum. Selain di pulau
Jawa, Bala Keselamatan juga membuka kegiatannya di luar Jawa. Misalnya
tahun 1913, telah dibuka sebuah koloni di lembah Palu, Sulawesi Tengah,
dan menjadikan tempat itu sebagai pangkalan usaha penginjilan di
kalangan suku-suku setempat. Pelopor pekerjaan Bala Keselamatan di
Sulawesi itu ialah Letkol. Leonard Woodward bersama istrinya. Metode
yang dipakai ialah mendirikan sekolah, rumah-rumah sakit dan mendidik
anak daerah menjadi guru, sehingga pada akhirnya usaha itu diserahkan
kepada mereka. Tahun 1984, di Indonesia ada 60000 orang anggota, dan
3500 orang perwira. Semua anggota itu terbagi atas 4 divisi dan 7 distrik.
Tiaap-tiap “jemaat” disebut korps. Pada hari Minggu ada dua macam
kebaktian, yakni: pagi, “kebaktian kesucian”, yang menghantar umat Allah
kepada kesucian. Dan malam hari diadakan “kebaktian tebusan”, yang
terutama ditujukan kepada orang-orang yang belum bertobat agar mereka
memperoleh tebusan. Kebaktian adalah bersifat terbuka dan bebas.

11. Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (Seventh Day Adventist)

69
 Timbulnya Gereja dan Ajaran Adventist. Sejarah permulaan gereja ini
berakar dalam suatu gerakan kebangunan rohani yang timbul di Amerika
Serikat sekitar tahun 1820. Dalam gerakan itu, ajaran eskatologis
(penantian kedatangan kembali Kristus) dipentingkan. Penggerak dari
gerakan Adventist ialah William Miller, yang lahir tahun 1780 di Pittsfield,
Amerika Serikat. Pada masa mudanya, dia adalah seorang petani, tetapi
kemudian menjadi seorang penginjil dari gereaja Baptis. Tanpa bantuan
orang lain dia berusaha untuk memperdalam pengetahuannya akan isi
Alkitab. Dan khususnya yang sangat menarik bagi dirinya dari isi Alkitab itu
ialah yang berkenan dengan nubuatan-nubuatan seperti Kitab Daniel dan
Kitab Wahyu. Berdasarkan penafsirannya sendiri atas kedua kitab itu, maka
dia menghitung bahwa tahun 1843/4, Kristus akan datang kembali.
Perhitungannya itu dimaklumkan kepada umum dan dia menyerukan
supaya semua orang bersiap menanti kedatangan Tuhan Yesus yang kedua
kalinya itu. Hasil penafsiran Miller ini memberi pengaruh yang besar bagi
banyak orang. Ratusan pendeta dan puluhan ribu orang percaya menerima
penafsiran itu. Akibatnya terjadilah bentrokan dalam gereja. Tetapi ketika
perhitungannya itu ternyata tidak benar, maka dia dengan cepat mengaku
kekeliruannya.

 Setelah itu muncullah fase kedua dari gerakan adventist ini, yang
dipimpin oleh seorang wanita yang bernama Ellen White. Dia tetap
mempertahankan bahwa kedatangan Kristus kedua kalinya bisa dihitung.
Dan dia mencari jalan keluar atas kekeliruan Miller. Dia katakan bahwa
tahun 1844 yang disebut Miller itu bukanlah tahun kedatangan kembalinya
Tuhan Yesus, tetapi itu adalah saat Kristus “memasuki tempat mahasuci”
dalam sorga untuk menguduskannya. Gereja yang tidak mempercayai ini
tidak turut mengalami pengudusan itu. Tidak lama sesudah itu, ajaran
Adventist ditambah dengan suatu ajaran lain, yakni tentang “Hari Sabbat”.
Mereka menerima ajaran gereja Baptis hari ketujuh yang menentang hari
Minggu sebagai hari perayaan Kristen dan mempertahankan hari Sabbat
sebagai hari suci. Perintah mengenai Sabbat (hukum keempat dari Dasa
Titah) malah dijadikan sebagai perintah utama. Perayaan hari Minggu
dinyatakan sebagai perbuatan kekafiran dan yang merampas dari Allah,
harinya yang suci. Karena ajarannya yang sentral terhadap hari Sabbat ini
maka gereja ini kemudian bernama “Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh”.
Ajaran-ajaran Adventis yang lain ialah tentang baptisan, di mana baptisan
anak-anak ditolak. Selain itu anggota gereja dilarang makan daging babi,
mengisap rokok dan meminum minuman alkohol; dan mereka wajib
memberi persepuluhan.
 Masuknya Gerakan Adventist ke Indonesia. Gerakan Adevntis mulai
masuk ke Indonesia tahun 1900 yang dibawakan oleh seorang pendeta
Adventis dari Amerika, bernama Dr. Ralph Waldo Munson. Mula-mula dia
menetap di Padang. Dari Padang dia berusaha menyebarkan ajaran itu ke
Tapanuli melalui seorang putera Batak bernama Immanuel Siregar, yang
telah menerima ajaran Adventis itu melalui Waldo Munson. Immanuel
Siregar adalah putera Simon Siregar, yakni salah seorang orang Batak yang

70
pertama masuk menjadi Kristen tahun 1861, yang pada awal abad 20 ini
pernah mengikuti pendidikan di Seminary Narumonda, tetapi kemudian
dikeluarkan dari sana karena menentang kebijaksanaan zending yang
mengasuh sekolah itu. Waldo Munson dan Immanuel Siregar datang di
Tanah Batak tahun 1907. Tetapi ketika mereka tiba di Tarutung, mereka
dinasehati oleh seorang pendeta Batak, Pdt. Henock Lumbantobing, supaya
mereka “janganlah bertindak seperti pencuri tanaman dari ladang
sesamanya, tetapi sebaiknya mengerjakan ladang yang masih kosong”.
Artinya jangalah mereka datang untuk menggarap orang-orang Batak yang
sudah Kristen, tetapi sebaiknya membuka lapangan PI yang baru di tengah-
tengah orang-orang yang belum mengenal Injil itu. Tetapi nasehat itu tidak
diindahkan sama sekali, dan Waldo Munson telah bertekad untuk
menyebarkan ajaran Adventis itu di tengha-tengah orang-orang Kristen
Batak. Untuk itu Immanuel Siregar segera disekolahkan ke Singapura.

Pada atahun 1910, R.W. Munson pindah ke Bandung. Tetapi karena di sana
dia mendapat larangan dari pemerintah Belanda, maka dia pindah ke Jakarta.
Sementara itu Immanuel Siregar yang sudah memperoleh pendidikan
penginjil Adventis dari Singapura memulai pekerjaannya di Balige dengan
membuka Sekolah bahasa Inggris dan mulai menyebarkan ajaran-ajaran
Adventis itu melalui murid-muridnya. Tetapi setelah kegiatannya itu diketahui
oleh pemerintah Belanda, maka dia diusir dari Balige. Akhirnya dia pindah ke
Sipogu (dekat Sipirok, Tapanuli Selatan), di mana sebelumnya seorang
missionaris Adventis dari Amerika bernama S. Kime, telah memulai
pekerjaannya membuka sekolah yang sama. Pada tahun 1932, pemerintah
Belanda telah memberi izin bagi Adventis menjalankan missinya di Tanah
Batak, yang segera setelah itu berdirilah beberapa jemaat Adventis di daerah
Tapanuli. Tahun 1936, kota Pematangsiantar dijadikan sebagai pusat kegiatan
Adventis di Sumatera Utara. Selain melalui sekolah-sekolah, cara-cara
penyebaran ajaran Adventis yang dilakukan ialah perkunjungan dari rumah ke
rumah, sambil menjajakan buku-buku dan gambar-gambar Adventis.

Di tempat-tempat lain seperti di Minahasa (Sulut) usaha penyebaran ajaran


Adventis juga telah dimulai tahun 1920 dan di Ambon tahun 1921. Tetapi pada
waktu itu mereka belum bisa melakukan missinya itu dengan bebas kareana
belum memperoleh izin dari pemerintah Belanda. Tetapi setelah pemerintah
Belanda mengizinkan Adventis menjalankan missinya di Indonesia tahun
1930an, maka pertumbuhan gerakan Adventis di Indonesia berjalan dengan
cukup pesat. Pada tahun 1985, jumlah anggota Gereja Masehi Advent Hari
Ketujuh di Indonesia telah berjumlah sekitar 150000 orang dalam 1500
jemaat. Tiap jemaat, selain dilayani oleh seorang pendeta. Pelayan-pelayan
yang lain yang dikenal dalam gereja itu terdiri dari: penatua-penatua, diaken-
diaken, bendahara, pemimpin Sekolah Alkitab dan pemimpin usaha PI.
Pelayan-pelayan ini dipilih oleh jemaat. Seluruh jemaat Adventis tergabung
dalam Uni Indonesia, yang terdiri atas sejumlah distrik. Pusat Gereja Masehi
Adventis Hari Ketujuh Sedunia ialah di Washington, Amerika Serikat. Sekali
empat tahun diadakan Sidang Raya, yang dihadiri utusan-utusan jemaat
untuk memilih Pengurus Am Uni Indonesia.
71
GEREJA ROMA KATOLIK DI INDONESIA

1. Permulaan Gereja Roma Katolik di Indonesia. Seperti sudah diuraikan


dalam bagian terdahulu, sejarah Gereja Roma Katolik (RK) di Indonesia telah
dimulai pada zaman Portugis (abad 16). Pada waktu itu gereja-gereja RK telah
berdiri di beberapa daerah di Indonesia, seperti di daerah Maluku, Sulawesi
Utara, Sangir dan Talaud, NTT, dll. Tetapi pada zaman VOC, gereja-gereja
Roma Katolik itu sempat menjadi hilang, kecuali di sebagian daerah NTT,
karena pemerintah VOC, sesuai dengan keadaan di negeri Belanda, tidak
mengizinkan keberadaan Gereja RK di daerah-daerah yang dikuasai. Sebagian
warga gereja RK peninggalan Portugis itu dipaksa menjadi pengikut Gereja
Protestan, dan sebagian lagi menjadi hilang begitu saja, karena tidak ada
pemeliharaan kepada mereka. Dan selama kekuasaan VOC itu, pekerjaan dan
misi gereja RK di Indonesia dilarang. Usaha gereja RK untuk memasuki
kembali Indonesia, terjadi setelah pemerintah Bealnda mengumumkan
kebebasan beragama di negeri itu dan juga di negeri yang dikuasai tahun 1808.
Dengan demikian larangan terhadap RK untuk memasuki Indonesia selama
dua abad itu tidak berlaku lagi. Setelah itu mulailah dikirim imam-imam gereja
RK ke Indonesia. Dan tahun 1826 Paus menetapkan “prefektur apostolis” yang
pertama di Indonesia. Maksudnya menjadikan Indonesia sebagai “negeri missi”
yang dipimpin dan diatur secara langsung dari pusat missi RK, melalui sebuah
lembaga yang bernama: “Congregatio de propaganda fide” (Komisi untuk
menyiarkan iman), suatu lembaga gereja RK yang didirikan tahun 1622. Ini
sesuai dengan bentuk gereja RK pada waktu itu yang membuat perbedaan
antara “daerah gerejani” dan “negeri missi”. Daerah gerejani ialah daerah di
mana gereja RK sudah berkedudukan, sedang “negeri missi” adalah negeri-
negeri di mana missi RK dilakukan masih dalam taraf permulaan. Pengiriman
imam-imam gereaja RK itu ke Indonesia pada mulanya dimaksudkan untuk
melayani orang-orang Kristen RK (asal Eropa) yang ada di Indonesia. Pada
mulanya sebagaimana halnya diberlakukan kepada petugas gereja Protestan,
penempatan dan pembiayaan petugas-petugas gereja RK itu dilakukan oleh
pemerintah Belanda. Tetapi gereja RK tidak menyetujui peraturan pemerintah
seperti itu, dan menuntut supaya peraturan itu dirobah, dengan alasan, bahwa
keadaan itu tidak sesuai dengan kehormatan dan tugas gereja. Persengketaan
antara gereja RK dan pemerintah Belanda berakhir dengan kemenangan
gereja RK tahun 1847. Mulai pada waktu itu, gereja RK sudah terpisah dari
pemerintah secara administrasi (sedangkan gereja Protestan baru mulai
memperoleh keadaan seperti itu tahun 1935). Jadi mulai tahun 1847 gereja RK
sudah mempunyai kebebasan untuk mengatur organisasinya dengan ikhtiarnya
sendiri. Tetapi sama seperti gereja Protestan, gereja itu masih terus
memperoleh bantuan dana dari pemerintah Belanda sampai tahun 1950.

2. Seperti sudah disebutkan pada poin 1 di atas, usaha-usaha gereja RK waktu itu
pada dasarnya adalah merupakan pelayanan bagi orang-orang yang sudah
beragama RK. Sedang usaha missi pada hakekatnya dilakukan oleh pelbagai
72
ordo gereja RK yang secara berangsur-angsur juga sudah mulai memasuki
Indonesia. Dan usaha missi itu sering bersandar pada usaha pemeliharaan
rohani yang telah ada di beberapa kota. Atau dengan kata lain, pusat-pusat
pemeliharaan rohani gereja RK itu sering dijadikan sebagai batu loncatan untuk
usaha missi yang sangat giat dilakukan dan semakin luas. Misalnya di
Minahasa, pastori Manado yang didirikan untuk mengadakan missi RK di
sekitar daerah itu, mulai tahun 1886. Cara-cara yang sama juga dilakukan
didaerah-daerah lain, seperti daerah Kalimantan Barat tahun 1854, ke daerah
Timor Utara dan Flores, tahun 1859 dan ke kepulauan Maluku Selatan, tahun
1890. Usaha-usaha yang kelihatan sangat giat dilakukan dalam menunjang
missi RK itu ialah melalui lapangan pendidikan (sekolah-sekolah) dan rumah-
rumah sakit. Untuk melaksanakan pendidikan itu ratusan “bruder” dan “suster”
dari pelbagai ordo didatangkan. Aturan subsidi untuk sekolah-sekolah swasta
yang ditetapkan pemerintah Belanda menguntungkan bagi mereka, karena
para bruder dan suster itu menerima gajin subsidi dari pemerintah Belanda,
yang kemudian mereka serahkan kepada biara-biara mereka berdasarkan janji-
janji mereka. Dengan demikian yayasan-yayasan sekolah mereka dapat
menarik kesimpulan keuntungan dari uang gaji itu. Di kota-kota besar mereaka
mendirikan rumah-rumah sakit yang dilayani suster-suster. Usaha-usaha itu
memperlihatkan suatu perkembangan yang besar, terutama pada pertengahan
pertama abad 20 ini. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Belanda tentang PI
(pasal 123 PP tahun 1854 dan pasal 177 PP tahun 1925), daerah-daerah
penginjilan yang diberi izin kepada gereja RK adalah Flores, Maluku Selatan
dan sebagian Irian. Tetapi mereka selalu mencari jalan untuk bisa masuk ke
daerah-daerah lain. Dan sering mereka masuk ke daerah-daerah yang sudah
dikerjakan oleh usaha penginjilan dari pihak Protestan, misalnya, Tapanuli,
Nias, Toraja, dll.

3. Masuknya Missi RK ke Tanah Batak/Tapanuli. Sejak dasawarsa kedua abad


ini, gereja RK sudah mulai berusaha menjalankan missinya ke tengah-tengah
masyarakat Batak. Karena pada waktu itu pasal 123 PP tahun 1854 masih
diberlakukan, maka gereja RK mulai menjalankan missinya itu dengan lebih
dulu mengadakan kontak-kontak atau pendekatan kepada orang-orang Kristen
Batak di diaspora, seperti di Medan dan Jakarta. Pada waktu itu orang-orang
Kristen Batak, terutama kaum pemuda, telah banyak merantau ke kota-kota
tersebut untuk melanjutkan sekolah atau mencari pekerjaan yang lebih baik.
Mereka inilah yang dicoba didekati oleh pastor-pastor RK setempat, dan
ternyata banyak dari antara mereka yang bisa dipengaruhi masuk menjadi RK.
Pada tahun 1927, sudah ada sebanyak 120 orang anggota HKBP yang beralih
menjadi RK. Mereka inilah sebagian yang mula-mula dipergunakan pihak
gereja RK untuk menyebarkan ajaran gereja RK itu di Tapanuli, dan melalui
pengaruh mereka banyaklah anggota Gereja Kristen Batak (HKBP) yang di
Tapanuli tertarik kepada RK. Mereka inilah kemudian juga diperalat oleh pihak
gereja RK untuk menyampaikan tuntutan kepada pemerintah Belanda agar
pastor RK diizinkan bekerja di Tapanuli. Pasal 123 PP atahun 1854 ini mulai
dipertanyakan. Oleh desakan-desakan yang datang dari pihak gereja RK itu,
akhirnya pemerintah Belanda memberi izin kepada gereja RK untuk
menjalankan missinya di Tapanuli. Mula-mula izin itu diberikan untuk daerah
73
Sibolga (1928), tetapi mulai atahun 1933 diperluas sampai ke daerah Tapanuli
Utara. Kesempatan itu terus dimanfaatkan oleh RK, dengan mendirikan stasi-
stasi RK di tempat-tempat yang dianggap strategis untuk usaha missinya itu,
seperti di Balige, wilayah Toba, Samosir, Habinsaran, Humbang dan Silindung.
Berbagai cara yang dilakukan RK untuk menjalankan missinya itu, antara lain
melalui pengaruh sekolah-sekolah, pelayanan-pelayanan di rumah-rumah sakit,
dan bahkan juga dengan menawarkan gaji yang lebih baik bagi para pekerja
HKBP, asalkan bersedia bekerja dan beralih menjadi RK. Selain itu
pembangunan gedung gereja yang tidak memungut biaya dari warga gereja
tidak sedikit artinya dalam usaha menarik hati orang-orang Kristen Batak agar
beralih menjadi anggota RK. Adanya usaha RK yang tidak segan-segan
mengajak orang-orang yang sudah Kristen (Protestan) menjadi RK, adalah
sesuaidengan pandangan gereja itu (sebelum Konsili Vatikan II: 1962-1965),
yang tidak mengakui PI Protestan sebagai usaha PI yang sah. Orang-orang
Kristen yang bukan RK dianggap sebagai orang-orang Kristen yang palsu dan
gereja Kristen Protestan dianggap sebagai gereja yang murtad dari satu-
satunya gereja yang mereka anggap benar, yakni gereja RK. Pandangan ini
sering dikemukakan pihak RK kepada orang-orang Kristen Batak demi
memenangkan missi mereka.

PERGUMULAN KEKRISTENAN DI INDONESIA

Berikut ini akan diuraikan beberpa pergumulan kekristenan atau gereaja di


Indonesia sampai sekarang, sebagai akibat warisan sejarah kekristenan atau
gereja itu dari masa yang lalu, antara lain:

1. Motivasi menjadi Kristen. Kalau kita meninjau kepada sejarah kekristenan di


Indonesia dari mulanya, maka terlihat bahwa umumnya orang-orang Indonesia
masuk menjadi Kristen adalah secara berkelompok, terutama mereka yang
datang dari agama suku. Memang ada pula yang masuk menjadi Kristen
secara perorangan, tetapi hany sangat kecil jumlahnya. Mereka yang datang
secara perorangan ialah yang berasal dari agama Islam atau orang yang
tinggal di kota-kota. Jadi sebagian besar orang-orang Kristen di Indonesia
adalah berasal dari agama suku, walaupun memang ada juga dari agama-
agama lain, seperti dari Islam, Hindu dan Budha. Suatu hal yang perlu kita kaji
ialah mengapa mereka untuk menjadi Kristen? Apakah mereka masuk menjadi
Kristen karena sudah yakin akan kebenaran agama Kristen itu? Atau apakah
mereka masuk Kristen karena sudah sadar akan perbedaan antara
kepercayaan dan adat mereka yang lama dengan agama Kristen itu? Memang
pertanyaan ini sulit dijawab, karena hal ini menyangkut isi hati orang, yang
tentu tidak bisa kita ketahui secara tepat. Akan tetapi dari catatan-catatan
sejarah masa lalu, kita dapat melihat adanya beberapa alasan yang mendorong
orang-orang Indonesia menjadi Kristen pada mulanya, seperti ayang
diungkapkan oleh Th. Van den End dalam bukunya Ragi Carita 1 (pasal 14 hal.
106 ff), yakni:
 Alasan politis. Banyak orang masuk menjadi Kristen pada mulanya, seperti
pada masa Portugis, karena mengharapkan bantuan perlindungan dari
74
orang-orang Barat yang datang ke negeri mereka, dalam menghadapi
musuh-musuh mereka. Ini memang sesuai dengan situasi masyarakat
Indonesia pada waktu itu, yang saling bermusuhan satu sama lain. Kalau di
suatu tempat ada dua kelompok masyarakat atau raja yang saling
bermusuhan, biasanya pihak yang lemah datang meminta bantuan kepada
pihak pendatang dari Barat yang lengkap dengan persenjataan mereka
yang modern. Untuk ini mereka pun bersedia menerima agama mereka,
yakni agama Kristen. Dengan cara demikianlah pada mulanya banyak
orang masuk menjadi Kristen, dan mereka dibaptiskan secara massal,
tanpa lebih dulu menerima pengajaran yang memadai mengenai iman
kekristenan itu.
 Alasan psikologis. Ada juga yang tertarik menjadi Kristen karena melihat
orang-orang Barat bersama agama mereka mempunyai wibawa yang cukup
tinggi, dibanding dengan diri dan agama mereka. Karena itu untuk
memperoleh status yang sama tingginya dengan orang-orang Barat itu,
mereka masuk menjadik. Mereka melihat dalam agama Kristen itu,
keinginan mereka dapat diperoleh.
 Daya tarik kepribadian pekabar Injil. Kepribadian para pekabar Injil ada
juga yang menjadi daya tarik bagi orang-orang Indonesia untuk masuk
menjadi Kristen. Misalnya Fransiskus Xaverius, penginjil RK dari Serikat
Yesuit yang kenamaan itu berhasil menarik banyak orang-orang Maluku
menjadi Kristen, karena keramah-tamahan, kesungguhan, kerajinan,
semangat dan pengabdiannya untuk berkorban demi Kristus. Demikian juga
Heurnius, seorang pendeta Belanda di Ambon (1633-01638), yang berhasil
untuk menarik banyak orang di tempat itu menjadi Kristen, karena usahanya
untuk mendekatkan diri dengan masyarakat setempat, dengan bergaul
bersama mereka, mempelajari bahasa setempat, berkhotbah dan
melakukan ibadah dalam bahasa itu. Demikian juga penginjil-penginjil yang
diutus oleh badan-badan zending pada abad 19, seperti I.L. Nommensen di
Tanah Batak.
 Pelayanan yang dilakukan oleh para missionar, seperti pelayanan
kesehatan yang baik, pendidikan dan usaha-usaha sosial dalam rangka
membantu orang-orang miskin, dan meningkatkan taraf kehidupan mereka.
Ini terutama banyak dilakukan oleh penginjil-penginjil mulai abad 19, setelah
para pekabar Injil diutus oleh badan-badan zending yang telah melatih dan
mempersiapkan penginjil-penginjil itu sebelumnya dalam berbagai bidang
pelayanan.

Dengan daya tarik atau dorongan beberapa faktor yang disebut di atas, maka
banyak orang yang masuk menjadi Kristen secara massal atau berkelompok.
Yang menjadi persoalan ialah bagaimana pengajaran yang diberikan kepada
mereka yang telah menyatakan masuk menjadi Kristen itu. Persoalan ini
menyangkut berapa lama persiapan yang diberikan, cara persiapan dan
bahasa yang diberikan dan juga menyangkut tenaga.

 Lamanya persiapan. Umumnya persiapan yang dilakukan sangat


singkat sekali, terutama pada missi Portugis, maupun pada masa zending
VOC. Pada waktu itu persiapan itu sering terjadi hanya beberapa hari saja,
75
atau paling banyak beberapa Minggu saja. Hanya di tempat yang secara
tetap dilayani pendeta, persiapan itu bisa dilakukan.
 Cara persiapan yang dilakukan dan bahan yang diberikan. Bahan-
bahan yang diberikan pada calon-calon baptisan ialah tentang: kedua belas
pasal Pengakuan Iman Rasuli, Kesepuluh Hukum Tuhan dan Doa Bapa
Kami. Mereka diharuskan untuk menghafalnya. Kalau ada kesempatan
yang lebih panjang, mereka diberi sedikit penjelasan, mengenai isinya. Dan
kalau ada kesempatan yang lebih panjang lagi, mereaka diharuskan untuk
menghafal isi Katekhismus. Pada zaman Portugis, missi Katolik
mempergunakan katekhismus yang disusun Xaverius. Orang-orang
Protestan umumnya mempergunakan “Katekhismus Heidelberg”
(Pengajaran Agama Kristen), dan sebagian mempergunakan Katekhismus
kecil Martin Luther, terutama oleh penginjil-penginjil yang berlatar belakang
Lutheran seperti yang diutus oleh RMG dari Jerman dan juga buku-buku
penjelasan mengenai Katekhismus itu dalam bentuk tanya jawab. Buku-
buku itu juga yang dipergunakan untuk murid-murid di sekolah dan juga
untuk murid-murid sidi.

2. Itulah cara dan bahan-bahan yang dipergunakan. Tetapi yang menjadi


pertanyaan ialah apakah cara dan bahan yang dipergunakan itu cocok untuk
melepaskan mereka dari kepercayaan dan adat mereka yang lama dan
membawa kepada pengetahuan dan kepercayaan yang benar kepada Allah di
dalam Yesus Kristus? Apakah setelah menghafal semua bahan-bahan itu
mereka sudah mengetahui nilai-nilai kekristenan dengan baik, dan menjadi
sadar akan perbedaan antara kepercayaan dan adat mereka yang lama
dengan iman dan tata hidup Kristen? Jawaban yang bisa diberikan
berdasarkan perjalanan sejarah dan juga dari corak kehidupan yang
ditunjukkan oleh orang-orang Kristen itu sendiri ialah pada umumnya tidak.
Kenapa dikatakan tidak, antara lain karena:

Pertama, semua bahan-bahan yang diberikan itu adalah asing bagi orang-
orang Indonesia. Rumusan-rumusan dari bahan-bahan itu semua, adalah
mencerminkan pergumulan di Eropa yang tidak sesuai dengan situasi di
Indonesia. Akibatnya, isinya sulit mengena dalam hati mereka. Walaupun,
mungkin isi semua bahan-bahan itu bisa dihafal oleh otaknya, tetapi hal itu
tidak banyak mempengaruhi kehidupan mereka. Jalan yang terbaik sebenarnya
ialah mengolah bahan-bahan itu sedemikian rupa dan menyesuaikannya
dengan situasi dan kondisi di Indonesia, sehingga mereka dapat memahami
arti iman Kristen itu bagi seluruh kehidupan mereka.

Kedua, pola berpikir para penginjil. Para pekabar Injil tidak banyak mengenal
lingkungan hidup orang-orang hidup orang-orang yang diinjili, yakni agama dan
kebudayaan mereka. Ini disebabkan karena para penginjil itu tidak merasa
perlu untuk mempelajari dunia agama suku dan mereka memandang agama
dan kebudayaan suku-suku itu dari sudut negatif. Artinya mereka melihat
agama suku itu hanyalah penyembahan kepada iblis saja atau penyembahan
kepada berhala-berhala.

76
 Kurangnya tenaga yang mampu memberikan pembinaan secara kontinu.
Karena kekurangan tenaga pembina, orang-orang yang harus dibaptis yang
hanya memperoleh pengajaran yang sangat minim sekali, tidak dapat
memperoleh pembinaan lanjutan yang bersifat intensif. Hanya di beberapa
tempat yang menjadi kediaman pendeta, bimbingan dapat dilanjutkan. Dan
kebanyakan orang-orang Kristen pribumi itu hanya dilayani oleh guru-guru
Injil aatau penatua-penatua yang tidak memperoleh pendidikan yang
memadai. Masalah ini kemudian diatasi dengan mendidik tenaga-tenaga
pribumi untuk mampu membina orang-orang Kristen tersebut. Tenaga-
tenaga pribumi yang lebih terampil kemudian dipilih untuk dididik menjadi
pendeta. Tetapi ini belum dilakukan dengan luas, dan pekerjaan pendeta-
pendeta pribumi juga sangat dibatasi.
 Akibat dari pembinaan yang sangat kurang akan ajaran dan nilai-nilai
kekristenan, dan apa yang sedikit diperoleh itu kurang meresap dalam hati
mereka, maka orang-orang Kristen yang baru itu mudah sekali jatuh
kembali kepada cara hidup dan kepercayaan mereka yang lama. Bahkan
orang-orang Kristen yang sudah lebih lama pun juga sulit menghayati
ajaran-ajaran kekristenan itu, sehingga banyak juga yang menjadi murtad
terutama pada masa-masa permulaan kekristenan. Bahkan sampai
sekarang boleh dikatakan bahwa kekristenan itu belum begitu kuat berakar
dalam kehidupan orang-orang Kristen Indonesia itu.

4. Hidup Persekutuan jemaat Kristen


 Ibadah. Pada zaman Portugis dan VOC, ibadah tidak jarang
diselenggarakan dalam tiga bahasa, yakni dalam bahasa penginjil untuk
teman-teman sebangsanya dari Eropa, kemudian dalam bahasa Melayu
sebagai bahasa “kesatuan” orang-orang Indonesia dan bahasa daerah.
Keadaan seperti ini terutama dijumpai di jemaat-jemaat pusat atau jemaat
tempat kediaman pendeta. Dan sesudah banyak penginjil yang diutus oleh
berbagai badan zending dari Eropa, mulai abad 19 yang lalu, ibadah
umumnya dilakukan dalam bahasa daerah, karena pelayanan atau
lapangan penginjilan mereka dikhususkan pada daerah atau suku tertentu.
Tetapi semua ibadah itu adalah mengikuti kebiasaan atau bentuk ibadah
yang berlaku di Eropa. Para imam Katolik menyelenggarakan missa
menurut cara yang ditetapkan gereja mereka. Para pendeta Protestan
mengikuti tata ibadah yang dibawakan dari gereja asal mereka di Eropa.
Misalnya, pendeta-pendeta yang berasal dari Belanda mengikuti tata ibadah
yang umum diterima di gereja-gereja Protestan Belanda. Demikaian ajuaga
para penginjil dari Jerman mengikuti tata ibadah yang diterima di gereja
mereka di Jerman. Para penginjil yang mula-mula itu belum ada usaha
untuk menyusun suatu tata ibadah ayang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Di Gereaja Batak misalnya, tata ibadah yang dipergunakan diambil dari tata
ibadah Gereja Uni di Jerman.

 Demikian juga nyanyian-nyanyian yang dipergunakan dalam ibadah itu


adalah nyanyian yang dibawa dari Eropa, dengan diterjemahkan ke dalam
bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Misalnya para pendeta atau

77
penginjil dari Belanda, mempergunakan nyanyian-nyanyian Mazmur dan
nyanyian Rohani, seperti lainnya dipergunakan di gereja-gereaja Belanda.
Kitab Mazmur dan Nyanyian Rohani itu sudah mulai diterjemahkan ke
dalam bahasa Melayu pada zaman VOC dan mulai terbit tahun 1735
dengan judul: “Sij’r, segala mazmur-mazmur Daud dan pujian-pujian yang
lain”. Kitab itu ditulis atas titah segala “Toewan Pemarentah Kompanija”.
Nyanyian-nyanyian itu juga mempergunakan lagu-lagu yang lazim di gereja
Belanda. Hasil yang sama juga terdapat di lingkungan gereja-gereja suku
hasil penginjilan penginjil-penginjil yang diutus badan-badan zending dari
Eropa. Misalnya di HKBP dipergunakan Kitab Nyanyian yang merupakan
kumpulan dari nyanyian-nyanyian yang berasal dari Eropa khususnya dari
Jerman. Lagunya langsung diambil alih, hanya syair-syairnya diterjemahkan
ke dalam bahasa Batak. Dalam hal ini juga terlihat tidak ada usaha dari
penginjil-penginjil itu untuk mempergunakan lagu-lagu Batak. Dan karena
tidak ada usaha penginjil-penginjil itu untuk melestarikan lagu-lagu atau
musik Batak, maka musik asli Batak menjadi hilang.

 Penterjemahan Alkitab Islam ke Dalam Bahasa Melayu. Mengenai


penerjemahan Alkitab, sikap zending Protestan berbeda dari sikap msi RK.
Misi gereja RK tidak mengusahakan penerjemahan Alkitab segera, karena
dalam pandangan gereja RK, Alkitab bukanlah merupakan pusat ibadah.
Dalam gereja Rk pusat ibadah adalah sakramen. Karena itu para imam
Katolik tetap mempergunakan bahasa Latin. Berbeda dengan zending
Protestan. Penerjemahan Alkitab itu ke dalam bahasa Melayu atau bahasa
daerah di Indonesia terus diusahakan, karena Alkitab merupakan unsur
yang sangat penting dalam ibadah dan sarana yang sangat penting untuk
pembinaan orang-orang Kristen dan pengajaran bagi orang-orang yang
belum Kristen. Untuk pertama kali kitab PL diterbitkan secara lengkap dalam
bahasa Melayu tahun 1668, hasil terjemahan Brouwerius, yang pernah
menjadi pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia (Jakarta). Dia juga
sudah menerjemahkan Kitab Kejadian ke dalam bahasa Melayu. Tetapi
terjemahan ini tidak diterima secara resmi oleh gereaja, karena bahasa
Melayu yang dipergunakan adalah “bahasa Melayu rendah”, yang
merupakan bahasa Melayu pasaran. Dalam terjemahan itu pengaruh
bahasa Portugis dan bahasa Belanda sangat nyata, misalnya kata Allah
diterjemahkan dengan “deos” dan salib diterjemahkan dengan “crus”. Dari
hasil terjemahan nampak bahwa Brouwerius belum menguasai bahasa
Melayu itu dengan baik. Misalnya, Kej. 13:2, dalam terjemahan bahasa
Indonesia sekarang: “Adapun Abraham sangat kaya, banyak ternak, perak
dan emasnya”. Tetapi dalam terjemahan yang dibuat Brouwerius pembaca
mendapat kesan bahwa Abraham adalah nama ternak itu. Jadi dengan
demikian terjemahan itu tidak bisa dipakai sebagai alat misioner.

 Karena terjemahan pertama itu tidak dapat diterima, maka majelis


jemaat di Batavia, menugaskan pendeta Leijdecker, yang melayani jemaat
berbahasa Melayu di kota itu, untuk mengadakan penerjemahan yang lebih
baik. Dia sudah lebih ahli dalam bahasa Melayu, dan sudah menguasai
bahasa Melayu tinggi. Tetapi dari atahun 1691-1701, ia hanya selesai
78
mengerjakannya sampai surat Efesus. Yang tertinggal diselesaikan oleh
seorang pendeta yang lain. Terjemahan ini memang juga sulit dipahami oleh
orang yang bukan Kristen, karena kalimat-kalimatnya terikat kepada bentuk
kalimat bahasa aslinya (Ibrani dan Yunani), dan jmuga karena banyak kata-
kata sulit yang dipergunakan. Namun akhirnya pemerintah VOC
menerbitkan terjemahan Leijdecker itu. Dan terjemahan itu umum dipakai
oleh jemaat-jemaat berbahasa Melayu sampai abad 19. Dengan sulitnya
memperoleh terjemahan yang tepat, maka isi Alkitab itu belum bisa terserap
dengan baik oleh orang-orang Kristen itu. Setelah abad 19 lembaga-
lembaga zending telah mengusahakan penerjemahan yang lebih baik dalam
bahasa-bahasa daerah, bekerjasama dengan Lembaga-lembaga Alkitab
yang ada.

 Pelayanan Sakramen. Pelayanan sakramen dilakukan imam dalam


gereja Katolik dan pendeta dalam gereja Protestan. Tetapi pada masa missi
Katolik, sakramen baptisan tidak jarang juga dilakukan oleh seorang awam
atau seorang bruder yang memperoleh hak resmi untuk itu. Dan di gereja
Protestan pada zaman VOC, sakramen baptisan itu kadang-kadang juga
dilayani oleh “penghibur-penghibur orang sakit” atau “diakon”. Cara-cara
menjalankan sakramen itu juga mengikuti cara-cara di Eropa. Tetapi
pelayanan Perjamuan Kudus harus dilakukan oleh seorang imam atau
seorang pendeta. Dan dalam pelayanan Perjamuan Kudus ini, ada
pembedaan dari orang-orang Kristen yang dilayani. Misalnya dalam gereja
Katolik pada zaman missi, orang-orang Kristen dewasa yang baru dibaptis
tidak otomatis bisa diikutkan dalam sakramen Missa atau Ekaristi,
melainkan mereka harus belajar lebih lanjut lagi, sampai telah dapat
menunjukkan hidup suci atau moral yang lebih baik, barulah mereka boleh
menerima sakramen tersebut. Tindakan seperti itu dilakukan oleh Misi
Katolik, karena banyak orang yang dibaptis tanpa persiapan yang memadai.

 Gereja Protestan juga mengikuti praktek Misi itu. Bahkan dalam tata
gereja Protestan atahun 1643 ditetapkan bahwa orang-orang Indonesia
yang masuk Kristen hanya diperbolehkan mengikuti Perjamuan Kudus
apabila dia telah mengikuti pengajaran agama Kristen lebih lanjut dan juga
telah menyatakan niatnya untuk itu. Karena itu hanya di jemaat-jemaat
pusat sakramen Perjamuan Kudus itu bisa diikuti oleh banyak orang,
sedangkan di luarnya hampir tidak ada yang mengikuti. Dan boleh
dikatakan bahwa hampir 90% orang-orang Kristen Indonesia pada zaman
VOC tidak pernah mengikuti Perjamuan Kudus. Pada zaman selanjutnya,
setelah penginjilan Protestan dilakukan oleh badan-badan zending,
Perjamuan Kudus susah lebih merata bisa dilakukan oleh orang-orang
Kristen Indonesia, karena pada waktu itu pembinaan kekristenan sudah bisa
dilakukan lebih merata. Hanya ada tanggapan bahwa Perjamuan Kudus
hanya bisa dilakukan oleh orang-orang Kristen yang mempunyai kwalitas
kekristenan yang lebih baik, sedangkan orang-orang yang merasa dirinya
masih banyak melakukan dosa enggan mengikuti Perjamuan Kudus.

79
 Penggembalaan dan Disiplin Gereja. Baik pada zaman Missi Katolik
maupun pada Gereja Protestan, penggembalaan dilakukan dengan
mengadakan perkunjungan ke rumah-rumah, dan juga mengunjungi orang-
orang sakit. Penggembalaan atas anggota Gereja Protestan terutama
dilakukan berhubung dengan perayaan Perjamuan Kudus. Artinya, sebelum
perayaan, setiap keluarga dikunjungi oleh seorang pendeta disertai oleh
seorang penatua. Yang banyak mengunjungi orang-orang sakit ialah
penghibur-penghibur orang sakit. Kepada orang sakit itu diberi penghiburan
dan dorongan untuk tetap berpengharapan dan bertekun dalam imannya. Di
jemaat-jemaat filial (di luar pusat), penggembalaan dilakukan oleh guru-guru
Injil bertugas di sana. Disiplin gereja juga dipertahankan dan dijalankan. Di
jemaat-jemaat pusat Protestan, pelaksanaan disiplin ini ditangani oleh
majelis jemaat. Pada waktu-waktu tertentu majelis jemaat membicarakan
hidup seluruh jemaat, orang demi orang atau keluarga demi keluarga. Kalau
ada yang tidak setia datang ke gereja, atau yang melanggar hukum-hukum
gereja atau hukum kekristenan, orang tersebut akan dikunjungi dan ditegor,
mula-mula oleh seorang pendeta, kemudian pendeta bersama seorang
diaken. Kalau orang tersebut tetap keras kepala, maka yang bersangkutan
harus menghadap majelis jemaat. Karena gereja berhubungan erat dengan
pemerintah pada waktu itu, campur tangan pemerintah sering juga
dimintakan untuk menjaga disiplin gereja dan menjalankan hukuman bagi
orang-orang yang melanggar disiplin gereaja. Hukuman itu ada berupa
denda, dan bahkan ada hukuman mati.

5. Di luar jemaat-jemaat pusat yang tidak mempunyai pendeta dan belum


mempunyai majelis, disiplin itu tidak dapat dijalankan dengan sungguh-
sungguh. Disiplin baru dijalankan kalau pendeta datang berkunjung. Demikian
juga kepada penguasa-penguasa dalam pemerinatahan VOC dan penjajah,
terutama di luar kota Batavia, pelaksanaan disiplin itu tidak dapat dijalankan
dengan sungguh-sungguh. Apabila seorang penguasa yang melanggar hukum-
hukum gereja, pendeta dan majelis jemaat setempat sering tidak berdaya
menghadapi mereka. Misalnya kalau seorang gubernur ditegur karena
perilakunya yang kurang senonoh dsb., kemungkinan besar pendetanya yang
dibelenggu atau yang diadili, telah menghina gubernur tersebut. Karena tidak
berdayanya pendeta atau majelis untuk menjalankan disiplin gereja itu dengan
sungguh-sungguh terhadap semua pihak, khususnya terhadap penguasa dan
pejabat pemerintah, maka korupsi dan pemerasan rakyat merajela. Sejalan itu
gereja juga tidak dapat bersikap kritis terhadap pemerintah, kalau misalnya ada
tindakan pemerintah yang telah melanggar azas-azas kekristenan atau azas-
azas hukum gereja.
 Organisasi Gereja. Pada zaman Portugis, missi Katolik mempunyai
organisasi rangkap. Di satu pihak, karena “padroado”, tugas-tugas gerejani
telah diserahkan paus kepada raja Portugis. Raja itulah yang mengangkat
uskup-uskup dan mengirim imam-imam yang harus memelihara orang-
orang Kristen dan mengabarkan Injil kepada orang-orang yang bukan
Kristen. Dengan kata lain gereja dan kegiatan-kegiatannya berada di bawah
pimpinan raja. Tetapi Islam pihak lain ada juga di antara pekerja-pekerja
gereja itu anggota-anggota kebiaraan tertentu, yang juga harus tunduk
80
kepada kepala ordonya di Roma dan yang harus bertanggungjawab kepada
Paus. Ini sering menimbulkan pertikaian antara pihak pemerintah dan
pekerja-pekerja gereja. Dan dalam hierarki organisasi gereja, pada zaman
itu belum ada seorang pun orang Indonesia asli yang diberi jabatan imam,
apabila jabatan uskup.
 Gereja Protestan, baik pada zaman VOC maupun pada zaman kolonialis
Belanda, berada di bawah pimpinan pemerintah. Pengangkatan dan
pemindahan pendeta serta tenaga-tenaga lain sama sekali ditangani oleh
pemerintah. Rapat-rapat majelis wajib dihadiri oleh wakil pemerintah. Surat-
surat gereja di Indonesia kepada gereja-gereja di negeri Belanda, harus
dikirim dalam keadaan terbuka melalui pos kompeni. Keadaan gereja yang
berada di bawah kekuasaan pemerintah itu telah melumpuhkan gereja,
sehingga gereja tidak dapat mengeluarkan kritik terhadap pemerintah. Dan
kalaupun pihak pendeta dan majelis gereja mencoba mengadakan protes
terhadap pemerintah atas suatu tindakan pemerintah yang tidak memberi
kebebasan kepada gereja, protes-protes itu tidak berguna.
 Karena hubungan yang erat antara gereja dan pemerintah, struktur
organisasi gereja juga diresapi oleh suasana yang berlaku dalam tubuh
pemerintahan, yakni suasana hierarkis. Keadaan organisasi gereja itu tidak
memberi kesempatan kepada jemaat untuk berdiri sendiri, karena anggota
jemaat, yang berada pada tingkat paling bawah hanya dijadikan sebagai
objek. Pengaruh pemerintah yang sangat besar menyebabkan gereja diliputi
suasana yang tidak cocok dengan hakekatnya sendiri.

6. Perjumpaan gereja dengan budaya. Dalam bagian ini akan kita lihat
bagaimana sikap para missioner atau para utusan Injil terhadap kebudayaan di
Indonesia. Hal yang sangat perlu ditinjau secara historis, karena sikap gereja-
gereja di Indonesia sekarang terhadap kebudayaan, masih banyak dipengaruhi
oleh sikap yang diwarisi dari utusan-utusan Injil dulu. Untuk ini kita akan
melihatnya dalam tiga daerah penginjilan, yakni Jawa (Jatim dan Jateng),
Sulawesi Tengah dan Tanah Batak.
 Jawa. Seperti sudah diuraikan dalam bagian Sejarah Gereja di Jawa,
khususnya di Jatim dan Jateng, bahwa usaha penginjilan di sana adalah
dimulai oleh orang-orang Kristen perorangan yang berdomisili di sana,
barulah kemudian dilanjutkan oleh badan-badan zending yang datang dari
Eropa/Barat, setelah mulai mendapat izin dari pemerintah Belanda tahun
1850an. Juga sudah dijelaskan bahwa penginjil-penginjil perorangan itu
mempunyai sikap yang berbeda terhadap kebudayaan setempat atau
kebudayaan suku Jawa itu sendiri. Ada yang bersikap positif, sehingga
kebudayaan itu dipergunakan dalam menyebarkan Injil itu dan dalam hidup
kekristenan. Emde (1774-1859) misalnya, seorang Kristen pietis Jerman,
yang tinggal di Surabaya, dan yang memulai kegiatan PI di Jawa Timur,
tahun 1815, menunjukkan sikap negatif terhadap kebudayaan Jawa. Orang-
orang Kristen yang baru dibaptis dituntut untuk hidup mengikuti kebudayaan
atau adat kebiasaan Eropa, misalnya dalam hal berpakaian. Dan orang-
orang Kristen itu tidak diperbolehkan menonton wayang, mendengarkan

81
gamelan, menyelenggarakan upacara-upacara selamatan secara adat
Jawa, dll, karena adat kebiasaan seperti itu dianggap bersifat kekafiran.

 Suatu sikap yang berbeda dengan sikap ini ialah sikap Coolen, yang
mengadakan penginjilan juga di Jawa Timur dengan pusatnya di Ngoro. Dia
bersikap positif terhadap kebudayaan Jawa itu. Dia memang menguasai
wayang, musik dan tari-tarian Jawa, karena ia adalah seorang peranakan
Belanda-Jawa. Ayahnya seorang Belanda, dan ibunya seorang puteri
bangsawan Jawa. Pada hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di
pendopo rumahnya. Dalam kebaktian itu diperdengarkan nyanyian gaya
tembang Jawa. Pengajaran Kristen disampaikan dengan bermain gamelan,
wayang dan kiki, sambil mengulangi rumus-rumus Kristen (Doa Bapa Kami,
dsb), hampir sama dengan cara yang dipakai oleh santri-santri Islam.
Dengan cara seperti itu tealah terbentuk jemaat Kristen, yang untuk
memimpinnya diangkat seorang pengantar jemaat, yang disebut Kyai
penghulu.

 Kemudian seorang penginjil pribumi Jawa yang bernama Sadarakh


Surapranata berusaha mengabrkan Injil kepada orang Jawa dan
membangun jemaat berdasarkan konteks sosial dan budaya Jawa abad 19.
Jemaatnya merupakan fenomena yang bersifat Jawa. Sadrakh adalah
seorang penginjil yang hidupnya berlatar belakang Islam Jawa abangan dan
berpendidikan pesantren di Jawa Timur. Seperti kebiasaan yang terdapat
dalam masyarakat Jawa untuk mencari “ngelmu”, begitulah Sadrakh tidak
henti-hentinya kesana kemari berguru dari seorang guru yang satu kepada
guru yang lain, sampai pada saat dia menemukan “ngelmu” yang paling
tinggi, yakni keyakinan Kristen, berkat hubungannya dengan orang-orang
Kristen awam seperti Mr. Anthing di Batavia. Setelah dia dibaptis menjadi
Kristen, dia menjadi seorang penginjil di Purworejo, Jawa Tengah. Dia
mengabarkan Injil itu sama seperti kyai-kyai Jawa menyebarkan “nglemu”
yang dimilliki, yakni dengan melakukan perdebatan. Dalam kebiasaan kyai
Jawa, barang siapa yang kalah dalam perdebatan, maka ia bersama-sama
dengan muridnya harus tunduk dan berguru kepada guru atau kyai yang
menang. Begitulah Sadrakh, dalam mengabarkan Injil itu tidak pernah
dikalahkan oleh guru-guru “ngelmu” yang lain, sehingga dalam waktu yang
relatif singkat, dia menjadi seorang yang terkenal dan mempunyai banyak
pengikut, sehingga dengan demikian terbentuklah banyak jemaat yang dia
pimpin di banyak tempat di Jateng.

 Sifat dari jemaat-jemaat itu juga mencerminkan perkutuan antara guru


dan murid-murid yang lebih menekankan ikatan batiniah daripada ikatan
organisasi. Pengikut-pengikut Sadrakh menganggap diri mereka sebagai
anak-anak dan cucu-cucu Sadrakh. Jemaat setempat dipimpin oleh seorang
imam yang diangkat oleh Sadrakh. Imam-imam itu kebanyakan adalah
bekas kyai-kyai atau guru-guru ngelmu. Para imam itu juga
bertanggungjawab atas kebaktian dan upacara agamaniah yang dilakukan.
Dalam kehidupan jemaat, adat dan tata cara Jawa masih tetap

82
dipertahankan. Karena menurut prinsipnya, orang Kristen Jawa itu harus
tetap tinggal sebagai orang Jawa dengan segala adat kebiasaannya.
Gedung-gedung gereja dibangun bukanlah berbentuk gereja yang bercorak
atau bergaya Eropa, tetapi dibangun berbentuk joglo (rumah Jawa) atau
bahkan juga mirip mesjid Islam. Dan di atasnya tidak dibuat tanda salib,
tetapi persilangan dari dua anak panah tokoh perwayangan Jawa.

 Pekabar-pekabar Injil Eropa (Belanda) tidak dapat memahami


kekristenan atau jemaat yang dibina Kyai Sadrakh itu. Karena itu mereka
menolaknya. Kyai Sadrakh dianggap sebagai penyesat dan jemaatnya
dianggap bukan sebagai jemaat Kristen yang benar. Tetapi sampai
sekarang jemaat-jemaat peninggalan Kyai Sadrakh itu masih ada, yang
sebagian telah bergabung dengan Gereja Kristen Jawa dan sebagian
menjadi Gereja Kerasulan.

7. Sulawesi Tengah. Seperti sudah kita ketahui, dalam pembahasan sejarah


gereja Sulawesi Tengah, penginjil pertama dan terkemuka di Sulawesi Tengah
ialah A.C. Kruyt (1869-1949). Dia diutus oleh NZG untuk bekerja di sana mulai
tahun 1891. Dia seorang penginjil yang telah berhasil menanamkan Injil di
tengah-tengah masyarakat Sulawesi Tengah. Keberhasilannya itu disebabkan
antara lain karena dia sudah mempunyai sikap yang lebih terbuka kepada
budaya dan agama asli suku setempat. Dalam pendekatannya terhadap
masyarakat Poso, yang dijadikan sebagai pusat penginjilannya, dia tidak
menyerang agama asli orang-orang Poso itu secara langsung. Ini sudah
berbeda dari sikap yang ditunjukkan oleh penginjil-penginjil sebelumnya dan
kebanyakan penginjil pada zamannya dari Eropa, yang terus menyerang
agama dan budaya suku setempat yang diinjili. Bagi Kruyt usaha PI
memerlukan persiapan yang matang. Pekabar-pekabar Injil wajib mengenal
lebih dulu dengan baik lingkungan masyarakat yang didekati dan
menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan pendirian inilah maka
dia tidak menyerang secara langsung agama orang-orang Poso itu, tetapi dia
berusaha lebih dulu mempelajarinya dengan sedalam-dalamnya. Banyak
karangan yang ditulisnya berdasarkan hasil penelitiannya itu, yang membuat
dia menerima gelar “Doctor Honoris Causa” dalam ilmu theologia tahun 1913.
Bagi Kruyt, Injil itu harus diperkenalkan kepada orang dalam lingkungannya
sendiri, dan hanya kalau kita mengenal lingkungan itu dengan baik, maka kita
dapat mempertemukan kedua belah pihak. Hanya dengan cara itu, Injil dapat
menjadi kekuatan yang mengubah kehidupan orang, yakni dari dalam.

8. Dalam pembinaan tata kehidupan Kristen, sesuai dengan sikapnya terhadap


agama dan kebudayaan suku Poso, Kruyt berusaha supaya tata kehidupan
yang harus diterima orang-orang Kristen yang baru itu sebanyak mungkin
mempunyai kesinambungan dengan yang lama. Dalam banyak hal, pengaruh
latar belakang pra-Kristen dalam jemaat tidak ditentang, melainkan diterima
atau dibelokkan saja. Misalnya upacara-upacara membersihkan kuburan, yang
bertujuan menjamin panen yang berhasil, menurut dia baik dipertahankan,
hanya waktunya dipindahkan dari bulan Desember ke hari Paskah, dan
dihubungkan kepada kebangkitan Kristus.
83
 Tanah Batak. Usaha penginjilan di Tanah Batak dilakukan oleh zending
RMG dari Jerman, dan salah seorang penginjilnya yang paling berhasil dan
digelar sebagai rasul orang Batak ialah I.L. Nommensen. Dalam melakukan
pendekatan terhadap masyarakat Batak, dia telah menggunakan struktur-
struktur adat Batak itu sendiri. Mula-mula dia mendirikan desa atau
perkampungan Kristen untuk menampung dan memberi perlindungan bagi
orang-orang Batak. Setelah adanya pemisahan ini maka dibuatlah
ketentuan yang menunjukkan sikap dari para penginjil itu, dalam konferensi
mereka tahun 1872, yakni: setiap partisipasi dalam hal-hal yang bersifat
agamani dilarang dan bahkan dihalang-halangi dengan keras, tetapi
persekutuan adat dipertahankan terus. Itu berarti bahwa orang-orang
Kristen tidak boleh ikut serta dalam “pesta-pesta atau perayaan-perayaan
parbegu dan Islam”. Berdasarkan ini maka orang-orang Kristen yang ikut
serta dalam pesta penguburan orang mati di mana dibunyikan “gondang”
atau musik tradisional Batak dibunyikan, maka mereka akan dikenakan
disiplin gereja (dikucilkan dari gereja), walaupun mereka hanya menonton
(maniondur) di sana. Jadi pesta penguburan orang mati menurut kebiasaan
Batak dan juga pemukulan “gondang” Batak dilarang dilakukan dan diikuti
oleh orang-orang Kristen karena hal itu dianggap bersifat keagamaan
parbegu. Sikap membedakan dan memisahkan keagamaan dan adat Batak
itu telah menimbulkan sikap yang mendua dalam diri orang-orang Kristen di
kemudian (bahkan sampai sekarang), yang memisahkan urusan
keagamaan (gereja) dari kehidupan adat Batak itu sendiri.

 Masalah lahirnya gereja-gereja suku dan gereja-gereja daerah.


Suatu pergumulan gereja-gereja di Indonesia yang terjadi sampai sekarang
ialah keadaan gereja-gereja di Indonesia yang terdiri dari banyak gereja
suku dan gereja teritorial (daerah). Gereja suku yang dimaksud ialah gereja
yang mempunyai latar belakang kesukuan tertentu, atau yang anggota-
anggotanya terdiri dari suku tertentu. Sedangkan gereja teritorial yang
dimaksud ialah gereja yang ruang lingkupnya terbatas hanya pada daerah
atau teritori tertentu. Artinya di luar daerah tersebut, gereja itu tidak
dimungkinkan untuk berdiri, misalnya GKJW, GPM, GMIM, dll. Banyaknya
gereja suku dan gereja teritorial tersebut, merupakan salah satu penyebab
sulitnya gereja-gereja di Indonesia mencapai kesatuannya. Kalau ditelusuri
secara historis, tumbuhnya gereja-gereja suku di Indonesia, seperti: HKBP,
GKPS, GKPA, GBKP, HKI, dll., dan gereaja-gereja daerah seperti disebut di
atas, pertama disebabkan oleh situasi di Indonesia pada zaman penjajahan
Belanda, dan kedua, juga disebabkan oleh cara penginjilan yang dilakukan
di Indonesia oleh badan-badan zending dari Eropa pada abad 19 yang lalu.
Memang sampai pertengahan abad 19 yang lalu, di Indonesia belum
dikenal adanya gereja-gereja suku dan gereja-gereja daerah. Yang ada
pada waktu itu hanya satu gereja yakni: Gereja Protestan di Indonesia
(Indische Kerk), yakni gereja yang langsung diasuh oleh negara dan
pemerintah kolonial Belanda. Dan walaupun pada waktu itu sudah ada para
missioner di Indonesia, mereka masih bekerja dalam lingkungan gereja
Protestan tersebut. Tetapi seperti sudah diuraikan dalam bagian-bagian
84
terdahulu, mulai pada pertengahan abad 19 yang lalu, telah terjadi suatu
babak baru dalam sejarah PI di Indonesia. Karena mulai pada waktu itu
berdatanganlah banyak penginjil-penginjil yang diutus oleh bermacam-
macam badan zending dari Eropa. Keadaan ini dimungkinkan oleh
keluarnya tahun 1854 Peraturan Khusus dari pemerintah kolonial Belanda
yang mengatur dan memberi kemungkinan bagi bermacam-macam badan
zending untuk bekerja di Indonesia di luar lingkungan Gereja Protestan.
Dalam pasal 123 Peraturan itu ditetapakan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
 Guru-guru Kristen, imam-imam dan missionaris-missionaris harus
terlebih dahulu memperoleh izin khusus yang diberikan atas nama atau
langsung oleh Gubernur Jenderal, untuk diperbolehkan bekerja di suatu
daerah tertentu di Indonesia.
 Bila izin yang telah diberikan itu kemudian dianggap merugikan
pemerintah, atau apabila syarat yang ditetapakan tidak ditaati, maka izin
tersebut dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.
 Perundang-undangan ini yang kemudian diperbaharui tahun 1925
dengan pasal 177, telah memberi peluang kepada usaha penyebaran
Injil oleh berbagai badan zending, asalkan memperoleh izin dari
pemerintah yang berkuasa. Dan pemerintah kolonial Belanda telah
memberi izin kepada pemerintah yang bekerja di Indonesia. Badan-
badan zending itu ada yang datang dari negeri Belanda, seperti NZG
(Nederlands Zendeling Genootschap), NZV (Nederlands Zendings
Vereeniging), NGZV (Nederlands Gereformeerde Zendings Vereeniging),
DZV (Doopsgezinde Zendings Vereeniging), dll., ada yang datang dari
Jerman seperti RMG (Rheinische Missionsgesellscahaft), ada yang
datang dari Swiss, seperti: Basler Mission, dan ada yang datang dari
Amerika Serikat, seperti CAMA (Kemah Injil), dll.

9. Penyebaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zending itu umumnya tidak
berhubungan dengan GPI yang diasuh oleh pemerintah Belanda, tetapi bekerja
secara sendiri-sendiri di daerah-daerah atau suku-suku tertentu sesuai dengan
pengaturan dan izin yang diperoleh dari pemerintah kolonial Belanda. Di
daerah-daerah atau suku-suku tertentu, tumbuhlah jemaat-jemaat Kristen yang
mempergunakan bahasa daerah/suku tersebut, dan mengikuti tradisi atau
corak teologi yang dibawakan oleh penginjil-penginjil itu, sesuai dengan latar
belakang kegerejaannya di Eropa atau Amerika. Dengan demikian tertanamlah
dasar-dasar bagi tumbuhnya gereja-gereja yang bersifat kesukuan (ethnis) dan
kedaerahan di Indonesia, yang mempunyai corak dan tradisi yang berbeda-
beda, sesuai dengan latar belakang historis yang menempa dirinya. Gereja-
gereja suku dan gereja-gereja daerah itu kemudian makin menuntut menjadi
gereja yang berdiri sendiri, yang dimulai oleh HKBP tahun 1930, dan disusul
oleh gereja-gereja lain. Tetapi di kemudian hari keadaan ini telah menimbulkan
banyak masalah dan pergumulan yang dihadapi oleh gereja-gereja di
Indonesia, karena ternyata dalam masing-masing gereja itu, sifat kesukuan dan
kedaerahan sering lebih menonjol. Dan sifat-sifat itu sering telah menjadi salah
satu faktor yang menyebabkan perpecahan gereja-gereja itu sendiri, dan

85
bahkan seperti sudah disebut di atas, sebagai salah satu faktor penghambat
dalam mewujudkan gereja Kristen yang esa di Indonesia.

 (Masalah hubungan gereja dan negara).


Pada masa Portugis di Indonesia gereja dan negara merupakan dua
lembaga yang tidak terpisahkan satu sama lain. Kepada penguasa Portugis
telah diberikan oleh Paus hak untuk mengurus dan mengatur pekerjaan
gereaja (padroado). Orang-orang Portugis di Indonesia telah
mempergunakan kedua lembaga itu untuk mencapai tujuan ekonomi, politik
dan agama mereka. Tetapi situasi itu kemudian telah menimbulkan masalah
di dalam tubuh gereaja RK. Para anggota ordo yang patuh kepada Paus
telah mengkritik usaha orang-orang Portugis yang telah memperalat gereja
dalam mencapai tujuan ekonomi dan politis. Gereja telah diperlakukan oleh
orang-orang Portugis itu berada di bawah kekuasaan negara. Tetapi bagi
para anggota ordo itu, gereja harus berada di atas negara bukan menjadi
sebaliknya, seperti diinginkan dan dilaksanakan oleh pedagang-pedagang
Portugis yang sekaligus telah menjadi penguasa itu. Karena gereja
diperlakukan di bawah kekuasaan negara, maka gereja menjadi lumpuh,
dan tidak melakukan kegiatan PI yang intensif. Usaha PI dilakukan, kalau
usaha itu diperkirakan mendukung kepada kemajuan ekonomi dan politik
mereka. Kalau diperkirakan merugikan, maka kegiatan itu dihentikan.

 Pada zaman VOC di Indonesia, hubungan gereja dan negara,


hampir sama dengan yang terjadi pada zaman Portugis, yakni gereaja di
bawah kekuasaan negara, bahkan gereja itu ikut diperalat oleh VOC dalam
mencapai tujuan ekonomi dan politiknya di Indonesia. Tujuan utama orang-
orang Belanda (VOC) juga sama dengan tujuan orang-orang Portugis, yakni
melaksanakan monopoli perdagangan, yang untuk itu perlu menguasai
daerah-daerah yang menghasilkan tanam-tanaman yang berharga dalam
perdagangan mereka. Jadi berangkat dari tujuan ekonomi itu, mereka ingin
menguasai daerah demi daerah secara politis. Sikap mereka terhadap
agama setempat (Islam dan agama suku) didasarkan atas tujuan ekonomi
dan politis mereka itu. Untuk memelihara rohani orang-orang Belanda di
Indonesia, VOC memperkerjakan sejumlah pendeta dan pelayan-pelayan
gereaja yang lain. Dan sejauh tidak merugikan terhadap usaha dagang
mereka, para pendeta ini juga ditugaskan oleh VOC untuk mengabarkan
Injil di tengah-tengah orang-orang pribumi yang masih menganut agama
suku. VOC dalam hal ini menganggap dirinya sebagai negara yang
berkewajiban mendukung kehidupan bergereja bagi anggota-anggotanya,
dan juga untuk memprotestankan “orang-orang RK dari kalangan pribumi
sebagai peninggalan dari orang-orang Portugis”. Tetapi VOC sebagai
sebuah serikat dagang yang mengutamakan keuntungan ekonomis, tidak
pernah melakukan seluruh tuntutan pasal 36 dari Pengakuan Iman Belanda
terhadap setiap “penguasa Kristen”, yaitu “memelihara gereja yang kudus,
melawan serta memberantas segala agama palsu dan penyembahan
berhala, memusnahkan kerajaan anti Kristus dan memajuka kerajaan
Yesus”. VOC sebagai penguasa Kristen Protestan (Calvinis) di Indonesia,
tidak selalu sependapat dengan negara Belanda dalam bidang keagamaan
86
atau kegerejaan. Gereja Protestan VOC yang secara praktis berpusat di
Batavia, terlalu dikuasai oleh VOC. Penguasaan VOC atas gereja itu
terutama nampak dalam tiga hal, yakni:
 Pertama, di bidang rapat-rapat majelis gereja. Setiap rapat majelis
gereja harus dihadiri oleh orang yang mewakili pemerintah VOC pada
waktu itu. Pemerintah melalui wakilnya itu ingin mengetahui segala
sesuatu yang dibicarakan dan diputuskan dalam rapat, dan kalau perlu
ikut mempengaruhi segala keputusan yang akan diambil oleh rapat.
 Kedua, dalam hal mutasi para pendeta. Hak untuk menempatkan dan
memindahkan para pendeta yang dikirim oleh “gereaja induk” dari
nergeri Belanda, berada di tangan Gubernur Jenderal sebagai penguasa
tertinggi di daerah kekuasaan VOC. Dalam soal penempatan dan mutasi
para pendeta itu sering terjadi perselisihan antara “gereja induk” dan
penguasa Kristen di Indonesia.
 Ketiga, di bidang surat menyurat antara gereja di Indonesia dengan
“gereja induk” di negeri Belanda. Segala surat-surat yang dikirim oleh
gereja VOC di Indonesia harus melalui sensor Gubernur Jenderal,
supaya perbuatan gereja itu selalu sesuai dengan keinginan penguasa
VOC. Hal ini berlangsung terus hingga masa pemerintahan kolonial
Belanda di Indonesia, sampai terjadinya pemisahan secara
“administratif” antara gereja dan negara tahun 1935.

Semuanya ini menunjukkan betapa kedudukan gereja pada zaman VOC


sebagai gereja negara, yang sangat dikuasai oleh pemerintah VOC. Cita-cita
“gereja induk” di negeri Belanda yang mau menerapkan tata gereja
“presbiterial sinodal” di dalam tubuh gereja di Indonesia tidak berhasil, karena
segala sesuatu yang menyangkut persoalan organisasi dalam gereja VOC itu,
adalah ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Setelah VOC bubar, dan digantgi
oleh pemerintahan kolonial Belanda, kebebasan beragama/bergereja telah
dicanangkan di seluruh daerah jajahan Belanda di Indonesia. Itu berarti
bahwa agama yang dianggap resmi di daerah kekuasaan Belanda, bukan lagi
hanya agama Protestan Calvinis, tetapi juga agama-agama Kristen lainnya,
baik yang tergolong kepada Gereja Reformasi, maupun Gereja Roma Katolik.
Itu berarti, bahwa pada dasarnya, tidak ada lagi gereja yang berkedudukan
sebagai gereja negara.

Raja Belanda, Willem I, sebagai penguasa tertinggi di negeri Belanda dan


daerah-daerah jajahan ingin menerapkan kehidupan kebebasan beragama di
kalangan orang-orang Kristen Protestan, baik di negeri Belanda maupun
negeri jajahan. Raja ingin mempersatukan berbagai gereja Protestan menjadi
satu Gereja. Untuk menjalankannya, Willem I telah mengumumkan
Penetapan Raja tahun 1815, yang melimpahkan segala urusan kegerejaan
kepada kementerian jajahan. Di samping itu, di Den Haag dibentuk satu
komisi yang disebut “Haagse Commissie” yang bertugas untuk menyediakan
tenaga-tenaga gereja untuk daerah jajahan di Indonesia. Langkah ini adalah
suatu upaya untuk melepaskan Gereja Protestan di Indonesia dari
ketergantungannya dengan “gereja induk” di negeri Belanda, yakni Gereaja

87
Hervormd. Dengan demikian akan terbuka suatu jalan untuk membentuk
suatu “gereja kesatuan” di Indonesia untuk menggantikan “Gereja Calvinis”.
Penetapan “Gereja Kesatuan” itu dikukuhkan oleh Raja tahun 1835 untuk
seluruh gereja-gereja “Kristen Protestan” yang ada di Indonesia, baik yang
berasal dari orang Eropa maupun yang menjadi Kristen dari kalangan
pribumi, tanpa membedakan jenis konfesi tertentu (hervormd, lutheri, baptis,
dll). Dalam peraturan gereja itu tahun 1840, ditetapkan bahwa setiap orang
Protestan adalah anggota dari Gereja tersebut. Ajaran dari Gereja Kesatuan
itu dirumuskan secara sederhana dan singkat, sebagai berikut: “Ajaran
agama dari pada Gereja Protestan Am di Indonesia adalah ajaran dari pada
Injil sesuai dengan asas-asas Protestan”.
Tetapi walau secara teoritis pemerintah Belanda telah menetapkan
kebebasan beragama/bergereja di seluruh daerah yang dikuasai, namun di
Indonesia pemerintah kolonial Belanda tidak memberlakukan kebebasan
bergereja itu bagi Gereja Kesatuan atau “Gereja Protestan di Indonesia” itu.
Secara struktur gereja ini masih tetap diperlakukan sebagai “Gereja
Pemerintah” atau “Gereja Negara”, sebagaimana halnya terjadi pada Gereja
VOC. Pengurus Pusat (Kerkbestuur) dari gereja itu berkedudukan di Jakarta
adalah dibentuk oleh Pemerintah Belanda. Ketuanya adalah salah seorang
anggota “Dewan Hindia Belanda”, anggotanya terdiri adari para pendeta yang
bertugas di Jakarta. Mereka dilantik oleh Gubernur Jenderal sebagai
pelaksana penguasa tertinggi di Indonesia. Pengangkatan, penempatan, dan
pemindahan para pendeta, atau usul dewan pengurus, dilakukan oleh
Gubernur Jenderal. Semua biaya gereja juga ditanggung oleh pemerintah
kolonial Belanda. Dan surat-surat dari Gereja atau dari pendeta yang
bertugas di Indonesia yang ditujukan kepada “gereja induk” di negeri Belanda
juga harus disensor oleh Gubernur Jenderal. Dengan demikian kebebasan
bergereja itu dalam tubuh GPI tidak terlaksana sama sekali, dan bahkan
sebagaiman pada zaman VOC, gereja itu juga dipakai sebagai alat politisnya.

10. Keadaan ini tidak diinginkan oleh kalangan tertentu (tokoh gereja dan juga
politis) di negeri Belanda dan juga di daerah jajahan di Indonesia. Sejak tahun
1863 pihak pemerintah kolonial Belanda telah mengupayakan pemisahan
lembaga gereja dari lembaga negara, tetapi gagal, karena belum ada jalan
keluar untuk mengatasi masalah sumber daya dan dana yang selama ini
datang dari pemerintah kolonial Belanda. Persoalan ini juga telah pernah
dibahas selama dalam “Dewan Rakyat” (Volksraad), pemisahan gereja dan
negara bukan hanya di bidang administrasi, tetapi juga di bidang keuangan.
Tetapi usul ini juga tidak berhasil, karena telah muncul pula usaha-usaha dari
gereja-gereja di daerah tertentu yang dulu masuk naungan GPI menjadi
Gereja yang berdiri sendiri. Misalnya GMIM sudah menyatakan berdiri sendiri
tahun 1934 (30 September), satu tahun sebelum Ratu Belanda menetapkan
pemisahan lembaga Gereja dan Negara secara administratif dalam
lingkungan GPI, yakni 1 Agustus 1935. Setelah itu menyusul lagi gereja-
gereja daerah lain yang dulu dalam naungan GPI, menjadi gereja yang berdiri
sendiri, yakni: GPM tahun 1935 (6 September), GMIT tahun 1947 dan GPIB
tahun 1948. Tetapi walaupun GPI dan gereja-gereja itu semua telah
dinyatakan berdiri sendiri, namun masih banyak tergantung dalam bidang
88
keuangan kepada pemerintah kolonial Belanda. Pemisahan di bidang
keuangan barulah dilakukan 15 tahun setelah penetapan raja tahun 1935 itu,
yakni setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia merdeka.
Dengan demikian GPI beserta gereja-gereja daerah dalam lingkungannya
sudah berdiri sendiri dalam segala urusan gereja, terpisah dari lembaga
Negara atau pemerintah. Usaha untuk menjadi gereja yang berdiri sendiri
timbul juga di tengah-tengah gereja-gereja di luar naungan GPI, yakni gereja-
gereja yang dihasilkan oleh berbagai badan zending yang datang dari luar.
Usaha ini erat kaitannya dengan gerakan nasionalisme yang timbul di tengah-
tengah bangsa Indonesia, yang berjuang untuk membebaskan bangsa
Indonesia dari kekuasaan kolonial. Dalam kaitannya dengan gerakan
kemandirian itu, gereja-gereja tersebut telah berusaha untuk melepaskan diri
dari dominasi pendeta-pendeta Eropa/Barat, dan ingin dipimpin oleh putera
daerah sendiri. Peluang untuk memperoleh status sebagai gereja yang
memperoleh pengakuan dari pemerintah telah dimungkinkan oleh Keputusan
Raja (Belanda) tahun 1925, yang menetapkan bahwa: “gereja-gereja serta
perhimpunan-perhimpunan gerejawi, bersama masing-masing unsurnya yang
mandiri…secara hukum memiliki kedudukan badan hukum”. Berdasarkan
Keputusan Raja tahun 1925 itu telah banyak gereja suku dan gereja daerah
yang memohon untuk mendapat pengakuan sebagai badan hukum.
Permohonan itu diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan syarat,
permohonan itu disetujui oleh “gereja induk” atau lembaga PI yang telah
melahirkan gereja tersebut. Pemberian status sebagai badan hukum yang
memperoleh pengakuan dari pemerintah Belanda dimulai kepada HKBP
tahun 1931, setelah gereja ini telah menyusun tata gerejanya yang membuat
gereja itu memperoleh status sebagai gereja yang berdiri sendiri mulai tahun
1930. Setelah HKBP menyusul GKJW (1931) dan Gereja Kristen Pasundan
tahun 1934, dll. Dengan status sebagai badan hukum maka gereja itu dapat
memperoleh perlindungan hukum dari pemerintah, dapat mempunyai hak
milik, melakukan jual-beli, transaksi utang-piutang, gugat-menggugat
berdasarkan peraturannya yang telah ditetapkan, dll.

11. Setelah Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, sebagian kebijaksanaan yang


pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sudah berakhir, sejak
pemerintahan diganti oleh Pemerintah RI. Namun menurut J.R. Hutauruk
(Perjumpaan Gereja dengan Negara dalam Proses Sejarah Gereja di
Indonesia, sebuah makalah dalam Studi Institut Sejarah Gereja 5-15 Juli
1993 di Kaliurang, Yogyakarta), paling sedikit ada tiga hal yang masih tetap
hadir dalam kehidupan bergereja dalam lingkungan pemerintah RI sampai
kini, yakni:

Pertama: kebebasan beragama sebagai salah satu unsur dari hak-hak asasi manusia tetap
berlaku hingga kini, seperti tercantum dalam UUD RI 1945. Sejiwa dengan ini, pemerintah RI
telah mengeluarkan “Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri” No.
01/BER/mdn-mag/1969 tentang: Pelaksanaan tugas aparatur pemerintah dalam menjamin
ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-
pemeluknya”. Keputusan itu telah disambut oleh pihak Kristen Protestan dan Katolik melalui
“Dep. Gereja dan Masyarakat DGI dan Kantor Wali Gereja Indonesia” dalam bentuk
“Memorandum”, Jakarta 10 Oktober 1969. Berdasarkan beberapa konsiderasi historis dan

89
hukum diungkapkan bahwa, “…kami berpendapat bahawa Keputusan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri…tidak dapat menjamin kemerdekaan beragama seperti
tercantum dalam pasal 29 UUD 1945, bahkan dapat membahayakan kesatuan dan persatuan
negara dan bangsa Indonesia…mohon ditinjau kembali”.

Kedua: lembaga-lembaga gereja yang dulu telah diakui sebagai “gereja” dan dengan
demikian memiliki status badan hukum, seperti nampak dalam kebijakan pemerintah RI
membaharui pengakuan pemerintah terdahulu. Contoh: Pengakuan Pemerintah untuk HKBP
tanggal 11 Juni 1931 No. 48, Lembaran Negara tahun 1932, No. 360, telah dilanjutkan
dengan Pengakuan Ulang Pemerintah RI tanggal 2 April 1968, No. Dd/P/DAK/d/135/68 dan
Pengakuan Ulang Pemerinatah RI Cq. Dep. Agama RI No. 33 tanggal 6 Pebruari 1988.
Sejajar dengan statusnya sebagai Badan Hukum, maka setiap gereja di Indonesia harus
memperhatikan dan melaksanakan ini dari “UU RI No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan”. Dalam pasal 1 disebut: “Dalam UU ini yang dimaksud dengan Organisasi
Kemasyarakatan adalah Organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara
RI secara suka rela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, agama, dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam Pembangunan dalam rangka
mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila”. Dan DGI/PGI melalui keputusan Sidang Raya di Ambon telah menyetujui bahwa
DGI/PGI beserta anggota-anggotanya telah mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sebagaimana tercantum dalam
pasal 2 UU RI No. 8 tahun 1985 di atas. Pengakuan tersebut telah tercantum dalam tata
negara masing-masing Gereja.

Ketiga: dalam bidang PI, misi atau dakwah, yang sejak dulu telah diatur sedemikain rupa
sehingga asas kebebasan beragama dan aspek kehidupan umum yang harus menjaga
“keamanan dan ketertiban” masih mewarnai pergumulan setiap pemeluk agama di Indonesia
saat ini. Keputusan menteri agama No. 70 dan 77 tahun 1978 dalam rangka
penyelenggaraan kebebasan beragama dan pemeliharaan kerukunan nasional telah
disambut oleh pihak Kristen Protestan dan Katolik melalui suatu tinjauan kritis serta
memberikan beberapa alternatif untuk melaksanakannya.

Dari keterangan di atas nampak bahwa gereja- gereja di Indonesia dalam


hubungannya dengan negara (pemerintah) yang berkuasa telah mengalami
pergumulan yang berat sepanjang sejarahnya. Dari sudut pandangan
pemerintah yang berkuasa gereja sering dilihat hanya sebagai suatu
organisasi yang sama sifatnya dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan
lainnya. Karena itu, gereja sering diperlakukan di bawah kedudukan negara
atau di bawah kekuasaan pemerintah yang berkuasa. Akibatnya, gereja
sering tidak bisa secara bebas untuk melakukan tugas panggilannya di
tengah-tengah dunia lingkungannya. Secara ekllesiologis teologis kita
memahami bahwa gereja tidak bisa disamakan dengan organisasi biasa yang
ada di dunia ini, karena yang melahirkan gereja itu bukanlah manusia bukan
pula badan zending atau lembaga negara, melainkan Yesus Kristus yang
adalah kepala gereja itu. Kelahiran gereja itu terjadi melalui baptisan orang-
orang yang mengaku percaya kepada Allah Bapa anakNya Yesus Kristus
dan Roh Kudus. Bukan oleh karena kesepakatan beberapa orang,
sebagaimana lajimnya suatu organisasi biasa di dunia ini. Gereja senantiasa
terpangil untuk bersaksi di tengah-tengah dunia ini, termasuk di tengah-
tengah bangsa dan negara di mana ia berdiri, untuk membawa damai
sejahtera. Dalam menjalankan tugas panggilan ini, gereja perlu bekerjasama
dengan pemerintah yang berkuasa. Ini berarti bahwa kedudukan gereja
bukan di bawah negara dan sebaliknya negara bukan di bawah gereja tetapi

90
gereja dan negara atau pemerintah harus berjalan seiring dalam upaya
membina warganya mencapai kehidupan seutuhnya yang damai sejahtera
baik rohani maupun jasmani.

Daftar Beberapa Peristiwa Penting Dalam Sejarah Gereja Indonesia

 1498: Orang-orang Portugis (Vasco Da Gama) menemukan jalan laut ke


Asia
 1510: Orang-orang Portugis menduduki kota Malaka yang dijadikan pusat
kegiatan mereka di kepulauan Nusantara.
 1512: Orang-orang Portugis tiba di Maluku.
 1522: Orang-orang Portugis mendirikan benteng di Ternate yang dijadikan
sebagai pusat kegiatan mereka di Maluku.
 1534: Penduduk Mamuya (Halmahera Utara) menerima agama Kristen.
 1535: Perang antara kerajaan-kerajaan di Maluku Utara. Jemaat-jemaat
Kristen di Halmahera Utara menderita. Martir-martir pertama di Indonesia.
 1536-1540: Antonio Galvao menjadi Gubernur di Ternate, ia memulihkan
keadaan agama kristen di Maluku Utara
 1538: Orang-orang Portugis mengalahkan armada dari Jawa dekat Ambon.
 1546-1547: Franxiscus Xaverius bekerja di Maluku
 1556: Antonio Taveira OP membaptis ribuan orang di Timor dan Flores
 1558: Kota Malaka dijadikan keuskupan yang mencakup sampai ke
Indonesia. Agama Kristen di Maluku mengalami penghambatan akibat tindakan
sewenang-wenang orang Portugis terhadap Sultan Ternate.
 1560-an: Kedudukan agama Kristen di Maluku pulih kembali.
 1561: Nusa Tenggara Timur menjadi daerah misi ordo dominikan
 1563: Fater Magelheisa membawa agama Kristen ke Sulawesi Utara
 1569: Misionaris-misionaris dari ordo Fransiscan dikirim ke Jawa Timur
 1570: Orang-Orang Portugis membunuh Sultan Hairun dari Ternate,
berkobarlah perang antara Ternate dan Portugal. Agama Kristen di seluruh
Maluku sangat menderita.
 1574: Benteng Portugis di Ternate ditinggalkan.
 1578: Orang-orang Portugis membangun benteng baru di Tidore, Tidore
menjadi pusat misi di Maluku dan sekitarnya.
 1590: Perlawanan terhadap Portugis, misi di Solor dan Flores.
 1596: Kapal-kapal Belanda pertama sekali muncul dalam perairan
Nusantara.
 1599: Misi di Jawa Timur berhenti, Panarukan dan Blambangan di Islam-
kan.
 1602: VOC didirikan
 1605: Benteng Portugis di Ambon diserahkan kepada orang Belanda, orang
orang Ambon di jadikan Protestan. Orang-orang Portugis meninggalkan
Maluku.

91
 1606: Orang-orang Spanyol dari Filippina mengalahkan Ternate dan
menempati benteng Portugis di Tidore, mereka mengambil alih usaha misi di
Halmahera dan Sulawesi Utara.
 1607: Orang-orang Belanda mengikat perjanjian dengan Ternate.
 1608: Orang-orang Kristen Ambon meminta supaya sekolah dibuka kembali
 1612: Ambon dan Kupang mendapat seorang pendeta
 1613: Solor direbut orang-orang Belanda, misi di Halmahera ditinggalkan.
 1614: Ds. Wiltens di Ambon
 1619: Misi di Sulut di hidupkan kembali, Batavia didirikan dan dikepung oleh
Sultan Mataram
 1620: Ds. Dackaerts membuka pendidikan guru di Ambon.
 1621: Jemaat Batavia didirikan
 1621-1633: Seminari teologia di Leiden Nederland khusus untuk mendidik
pendeta-pendeta bagi jemaat-jemaat di Asia
 1622: Usaha misi di seluruh dunia ditempatkan di bawah pengawasan
suatu badan pusat di Roma yakni: Congregatio de propaganda vide
 1622: Ds. Hulseboss meninggal di Ambon.
 1623: Peraturan gereja Batavia dikeluarkan
 1624-1633: Ds. Heurnius di Batavia. Pergumulan antara gereja dan
pemerintah VOC mengenai kebebasan gereja. Usaha zending di kalangan
orang-orang Tionghoa.
 1625: Jemaat Ambon mendapat majelis, seorang pendeta ditempatkan di
Banda.
 1628: Misi di Siau dihidupkan kembali.
 1633-1635: Ds. Heurnius di Saparua berusaha untuk memakai bahasa
daerah.
 1635: Heurnius kena racun, ia pindah ke Ambon dan di sana mendidik
calon-calon pendeta dari orang-orang Ambon
 1638: Heurnius meninggalkan Ambon
 1661: Ds. Cornelis Senen meninggal
 1663: Orang-orang Spanyol meninggalkan Maluku
 1666: Orang-orang Belanda membangun Benteng di Manado, orang-orang
Kristen di Minahasa di Protestankan
 1667/1683: Ternate ditaklukkan Belanda.
 1667: Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius terbit.
 1670: Raja Salomo dari Kupang dibaptis; seorang pendeta ditempatkan di
Kupang tetapi segera meninggal.
 1670-1675: Seorang penghibur orang sakit bekerja di pulau Aru.
 1675: Seorang pendeta ditempatkan di Manado, tetapi segera meninggal.
Sangir untuk pertama kali dikunjungi oleh seorang pendeta.
 1676: Belanda dan Ternate merebut pulau-pulau Sangir dan Siau. Orang-
orang Kristen di sana diprotestankan.
 1690: Usaha Missi di Kalimantan. P. Ventimiglaia dibunuh.
 1691: Ds. Leijdecker ditugaskan menerjemahkan Alkitab.
 1701: Ds. Leijdecker meninggal.
 1706: Terjemahan Leijdecker selesai.
92
 1733: Alkitab Terjemahan Leijdecker selesai dicetak.
 1734: Buku Mazmur gubahan Werndly terbit.
 1740 an: Gerakan ke arah Agama Kristen di pulau Rote.
 1743: Zendeling-zendeling Hernhut (Pietis) ditolak VOC.
 1750: Gerakan ke arah Agama Kristen di pulau Sawu.
 1753: Seorang pendeta ditempatkan di Kupang dan Semarang.
 1758: Seorang pendeta ditemaptkan di Surabaya.
 1765: Di Batavia bekerja 13 orang pendeta.
 1797: “Nederlands Zendeling Genootschap” (NZG) didirikan di negeri
Belanda.
 1799: VOC dibubarkan.
 1800:Indonesia di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda.
 1807: Kebebasan beragama mulai berlaku di Hindia Belanda.
 1808: Dua imam Katolik Roma mendarat di Batavia.
 1811 : Pulau Jawa diduduki Inggris. Tinggal tiga orang pendeta di sana.
 1812: William Robinson dari Baptist Missionary Society (BMS) tiba di
Batavia.
 1814: Joseph Kam dan Bruckner tiba di Batavia. Kam bekerja di Surabaya
dan berhasil mengobarkan semangat Emde. Jabez Carey dari BMS tiba di
Ambon.
 1815: Joseph Kam tiba di Ambon. Baseler Mission didirikan.
 1817: Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dibentuk. Joseph Kam
mengadaakan perjalanan ke Ternate, Minahasa dan Sangir.
 1818: Jabez Carey dilarang pemerinatah kolonial Belanda bekerja di Ambon
dan kembali ke India; NZG mengutus rombongan zendeling yang kedua
berjumlah tiga orang.
 1819: Le Bruyn menjadi pejabat pendeta di Kupang.
 1820: NZG mengutus rombongan zendeling yang ketiga berjumlah lima
orang. Bruckner menyelesaikan penerjemahan PB ke dalam bahasa Jawa.
 1822: Dua zendeling ditempatkan di Minahasa.
 1823: Kam mengunjungi pulau-pulau Maluku Selatan.
 1824: “Rheinische Missionsgeselschaft” (RMG) didirikan di Jerman.
 1825/1828: Sejumlah zendeling ditempatkan di pulau-pulau Maluku Selatan.
 1827: Hellendoorn menjadi pejabat pendeta di Manado. Coolen mendirikan
desa Ngoro.
 1831: PB terjemahan Bruckner selesai dicetak, dan disita pemerintah
Belanda.
 1831: Riedel dan Schwarz menetap di Minahasa.
 1833: Joseph Kam meninggal.
 1834: Anggota-anggota kelompok Wiung bertemu dengan Coolen.
 1835: Roskott membuka SPG di Batumerah, Ambon.
 1836: Zendeling RMG yang pertama mendarat di Kalimantan.
 1836-1850: Usaha PI Methodis (Amerika) di Kalimantan Barat.
 1842: Missi RK di Indonesia diangkat menjadi Vikariat Apostolik.
 1842: Daerah Ambon dan sekitarnya ditutup untuk kegiatan PI.

93
 1843: Sejumlah orang Jawa dibaptis di GPI Surabaya.
 18475: Mojowarno didirikan.
 1846: PB bahasa Dayak Ngaju terjemahan Hardeland selesai dicetak (di
Afrika Selatan).
 1847: Doopgezinde Zending Vereniging (DZV) atau lembaga PI Mennonit di
Nederland didirikan. Kedudukan Katolik Roma di Hindia Belanda diatur dalam
perjanjian antara pemerintah Belanda dengan Paus. Adrianus Angkuw diangkat
menjadi “penolong” yang pertama. NZG mengajak para pengerjanya untuk
menggunakan unsur-unsur pribumi dalam tata ibadah.
 1848: Heldring mulai mengutus penginjil-penginjil tukang.
 1850: Pemerintah membatasi kegiatan para zendeling/pendeta bantu di
Maluku.
 1851-1864: NZG melakukan usaha PI di Sulawesi Selatan.
 1851: Jellesma menetap di Mojowarno Jawa Timur.
 1852: P. Jansz (DZV) menetap di Jepara (Jawa Tengah).
 1855: Tungggul Wulung di baptis, dua orang penginjil tukang didikan
Gosner dan Heldring mulai bekerja di Papua
 1858: Alkitab bahasa Dayak Ngaju terjemahan Hardeland selesai dicetak
 1858: Nederland Zending Vereeniging (NZV) memisahkan diri dari NZG
 1859: Perang Hidayat. Pekerjaan zending di Kalimantan Selatan dihentikan
sampai tahun 1866. Utrechtse Zending Vereeniging (UZV) memisahkan diri
dari NZG
 1860: Pembaptisan pertama di Poerworejo (Ny. Philips)
 1861: Nederlands Gerevormeerde Zendings Vereeniging (NGZV)
memisahkan diri dari NZG. NZV mulai bekerja di Jawaa Barat dan NGZV mulai
bekerja di Jawa Tengah.
 1863: NZV mendapat ijin bekerja di Cirebon
 1863: UZV mulai bekerja di Papua
 1864: Sekolah Roskott di Batu Merah di Ambon ditutup. NZG memutuskan
kerjasama dengan pemerintah (GPI) di Maluku dan mengundurkna diri dari
daerah itu.
 1866: UZV mulai bekerja di Bali dan Halmahera. RMG kembali ke Kuala
Kapuas.
 1867: Kiai Sadrakh dibaptiss di Batavia. Gereja RK memulia misi Minahasa.
Sentral Komite Depok berdiri. Salatiga zending mulai bekerja di Jawa Tengah
 1875: Minahasa di serahkan NZG kepada GPI
 1878: Seminari Depok dibuka. UZV meninggalkan Bali.
 1879: Alkitab dalam terjemahan Klinkerd terbit.
 1880: Koprensi para zendeling yang pertama di Depok
 1881: NGZV memulai pekerjaan di Sumba. GPI menciptakan jabatan
pendeta pribumi
 1882: Desa Kristen Cideres didirikan
 1884: Neukirchener Mission mulai bekerja di Jawa Tengah Utara
 1885: NZV mengambil alih jemaat-jemaat Anting; STOVIL Ambon didirikan.
Tunggul Wulung meninggal.
 1886: Utusan UZV tiba di Buru. STOVIL Tomohon didirikan.

94
 1887/1891: Panitia Sangir Talaud (VTC) dibentuk.
 1891: NGZV menolak Kiai Sadrakh.
 1892: A.C Kruyt Mulai bekerja di Poso. RS di Mojowarno dibuka.
 1894: Bala Keselamatan mulai bekerja di Indonesia
 1895: UZV memulai karya PI di Sulsel
 1898: Gerakan kebangunan di Tobelo. Sadrakh diangkat menjadi Rasul
Jawa
 1900: GPI memperluas pekerjaannya di Maluku Selatan. Gereja Advent
mulai bekerja di Indonesia
 1902: Stovil Timor didirikan.
 1903: NZG mulai bekerja di Bolang Mongondow.
 1905: Zending Metodis mulai bekerja di Jawa Barat. UZV menghentikan PI
Sulsel. Pemerintah Belanda menegakkan kekuasaannya di sejumlah daerah di
luar Jawa (Sulawesi Tengah, Sumba dan lain-lain).
 1906: Gerakan Pentakosta dimulai. Sekolah guru Injil di Jogja, Konsulat
Zending di Jakarta (sampai 1953)
 1907: Gerakan kebangunan di Irian (Papua)
 1908: Mazmur dan nyanyian rohani gubahan Schroeder terbit
 1909: Pembaptisan pertama di Poso.(Papa I Woente).
 1910: RS Imanuel di bandung dibuka
 1911: Pendeta Kitjftenbelt ke Makasar. GPI mulai bekerja di Sulawesi
Tengah.
 1912: Kelling membaptis sejumlah orang Toraja
 1913-1917: Zending diberi mopoli sekolah desa di sejumlah daerah
 1915: NZV mulai bekerja di Sulawesi Tenggara. Pembaptisan I di Rantepao.
 1916: Sidang Am pertama GPI. GPI mulai membuka pedalaman Timor
 1917: Penahbisan pendeta Sunda yang pertama
 1919: Gerakan Pentekosta (J. Barnhard) masuk ke Indonesia. HIK Kristen
di Solo dibuka.
 1920/5: RMG menyerahkan Kalimantan Selatan kepada Basler Mission.
 1922: Jemaat-jemaat zending Metodis berdiri sendiri. H. Kraemer datang ke
Indonesia
 1923: Jemaat Mojowarno dinyatakan berdiri sendiri, pendeta Jawa pertama
di Jawa Timur ditahbiskan. Gereja Pentakosta di Indonesia berdiri.
 1924: Kiai Sadrakh meninggal
 1925: Jemaat margareza berdiri sendiri.
 1926: Bale Wiyata di Malang didirikan. Seminari Depok ditutup. Pendeta
Jawa pertama di tahbiskan di Jawa Tengah. Kristen Studentent Vereeniging
(CSV) didirikan.
 1928: Zending Methodist menarik diri dari Jawa dan Kalimantar Barat.
 1929: J.A. Jefry (CAMA) menetap di Makasar.
 1931: GKJ berdiri. CAMA mulai bekerja di Kalimantan Timur
 1932: GKJW menerima tugas PI di Bali
 1933: Sidang Am GPI dan gereja Gereevormed memulai PI di Sulawesi
Selatan. Beberapa orang Bali dibaptis di Mojowarno.

95
 1934: GMIM, GKP dan GKI Jatim berdiri. HTS didirikan di Bogor dan 1936
dipindahkan ke Jakarta
 1935: Pemisahan Administratif GPI dari negara. GPM dan GDE (1954 GKE)
berdiri. Pendeta Dayak yang pertama ditahbiskan.
 1936: Sinode Am pertama GPI. GPM menerima tugas PI di Papua Selatan.
DMIM di Gorontalo dan Donggala. GKI Jateng berdiri.
 1938: GKI Jabar berdiri. Cama memulai PI di pedalaman Irian.
 1939: Jemaat-jemaat sending di Sumba retak.
 1940: GMI BM, GITJ (Patunggilan) bediri.
 1941: Pendeta Toraja yqang pertama ditahbiskan (Tator).
 1942: Pendeta Sumba yang pertama ditahbiskan.
 1946: Pendeta pertama ditahbiskan di Halmahera dan Papua
 947: GKS, GMIST, GTR, GKST, GMIT berdiri.
 1948: Pembentukan GPIB. GTM dan GKBP berdiri.
 1949 (6 Juni): GMIH berdiri.
 1950: DGI berdiri. Pemisahan GPI dari negara secara keuangan
 1954:: LAI didirikan.
 1956: GKI Papua berdiri.
 1957: Gepsultra berdiri
 1961: Paus Johanes XXIII mendirikan Hierarki di Indonesia. A. Jaya
Seputra dan A. Sugiapranata Uskup pertama bangsa Indonesia.
 1963: KINGMI dibentuk.
 1965-1969: Gerakan kebangunan di Timor.
 1966: GKSS berdiri.
 1979: Dewan Pentakosta di Indonesia didirikan. GKBP menerima
pengakuan iman.
 1980: Aliansi Baptis didirikan. GTR menerima pengakuan iman.
 1983: KINGMI menjadi GKII.
 1984: Pemebentukan PGI.

96

Anda mungkin juga menyukai