Tabel 12
Kriteria Penentuan SKL Morfologi
Peta Kemiringan
Peta Morfologi SKL Morfologi Nilai
Lereng
Pegunungan/perbukitan Kemampuan lahan dari
> 40 % 1
sangat terjal morfologi rendah
Kemampuan lahan dari
Perbukitan terjal 15 – 40 % 2
morfologi kurang
Kemampuan lahan dari
Perbukitan Sedang 5 – 15 % 3
morfologi sedang
Kemampuan lahan dari
Landai 2–5% 4
morfologi cukup
Kemampuan lahan dari
Datar 0–2% 5
morfologi tinggi
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007
Tabel 13
Kriteria Penentuan SKL Kemudahan Dikerjakan
Peta Peta SKL
Peta Peta Jenis Penggunaan
Kemiringan Ketinggian Kemudahan Nilai
Morfologi Tanah Lahan
Lereng (mdpl) Dikerjakan
Pegunungan Kemudahan
/perbukitan > 40 % >3.000 Regosol Hutan dikerjakan 1
sangat terjal rendah
Pertanian,
Perkebunan, Kemudahan
Perbukitan Podsol,
15 – 40 % 2.000-3.000 Pertanian dikerjakan 2
terjal Andosol
tanah kering kurang
semusim
Mediteran, Kemudahan
Perbukitan
5 – 15 % 1.000-2.000 Brown Semak belukar dikerjakan 3
Sedang
Forest sedang
Peta Peta SKL
Peta Peta Jenis Penggunaan
Kemiringan Ketinggian Kemudahan Nilai
Morfologi Tanah Lahan
Lereng (mdpl) Dikerjakan
Kemudahan
Tegalan,
Landai 2–5% 500-1.000 Latosol dikerjakan 4
Tanah kosong
cukup
Kemudahan
Datar 0–2% 0-500 Alluvial Permukiman dikerjakan 5
tinggi
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/Prt/M/2007
Pegunungan
Semak belukar,
>3.000 > 40 % Rendah 1
/Perbukitan ladang, hutan
Sangat Terjal
Zona 1
(Rendah)
Pegunungan/
Kebun, hutan,
2.000-3.000 15 – 40 % Kurang 2
Perbukitan hutan belukar
Terjal
Perbukitan Zona 2
1.000- 2.000 5 – 15 % Semua Sedang 3
Sedang (Menengah)
Pegunungan
>3.000 > 40 % Regosol Rendah 1
/Perbukitan
Sangat Terjal
Zona 3
(Tinggi)
Pegunungan/
Podsol Merah
2.000-3.000 15 – 40 % Kurang 2
Perbukitan Kuning,Andosol
Terjal
Sedang 3
1.000 – Zona 2 Meditera,
5 – 15 % Perbukitan
2.000 (Menengah) Brown Forest
Cukup 4
Tabel 16
Kriteria Penentuan SKL Ketersediaan Air
Peta Peta Curah
Peta Penggunaan SKL
Kemiringan Hujan Hidrogeologi Jenis Tanah Nilai
Morfologi Lahan Ketersediaan Air
Lereng (mm/th)
Pegunungan/
Semak belukar,
Perbukitan > 40 % 2.500-3.000 Alluvial Sangat Rendah 1
ladang, hutan
Sangat Terjal Rendah
(Setempat
Pegunungan/P terbatas)
Kebun, hutan,
erbukitan 15 – 40 % 3.000-3.500 Latosol Rendah 2
hutan belukar
Terjal
Tabel 17
Kriteria Penentuan SKL Drainase
Peta Peta Curah
Peta Peta Jenis Penggunaan SKL
Ketinggian Hujan Nilai
Morfologi Lereng Tanah Lahan Drainase
(mdpl) (mm/tahun)
Meditera,
1.000-2.000 Perbukitan 5-15 % 3.500-4.000 Brown Semua Sedang 3
Forest
Podsol
Pegunungan Semak
15-40 Merah
2.000-3.000 /Perbukitan 4.000-4.500 belukar, Cukup 4
% Kuning,
Terjal ladang, hutan
Andosol
Pegunungan
/ Perbukitan Kebun, hutan,
>3.000 >40 % >4.500 Regosol Tinggi 5
Sangat hutan belukar
Terjal
Tabel 18
Kriteria Penentuan SKL Erosi
Curah Hujan Kemiringan Penggunaan SKL
Morfologi Jenis Tanah Nilai
(mm/tahun) Lereng Lahan Erosi
Pegungan/ Semak
>4.500 > 40 % Perbukitan Regosol Belukar, Tinggi 1
Sangat Terjal Ladang
Podsol
Pegunungan/
Merah Kebun, Hutan Cukup
4.000-4.500 15 – 40 % Perbukitan 2
Kuning, Belukar Tinggi
Terjal
Andosol
Meditera,
3.500-4.000 5 – 15 % Perbukitan Brown Semua Sedang 3
Forest
Sangat
3.000-3.500 2–5% Landai Latosol Semua 4
rendah
Tidak
2.500-3.000 0–2% Dataran Alluvial Semua 5
ada eros
Hasil dari analisis SKL terhadap bencana alam ini akan menunjukkan kelas potensi
kawasan dengan risiko kerentanan bencana alam rendah, menengah, dan tinggi. Kelas potensi
rawan bencana tersebut menunjukkan tingkatan dimana potensi rendah berarti kawasan tersebut
aman untuk dikembangkan menjadi kawasan budidaya dan permukiman. Berikut merupakan
kriteria penentuan SKL Bencana Alam.
Tabel 19
Kriteria Penentuan SKL Bencana Alam
Kerentanan Kerentanan SKL
Kemiringan Penggunaan
Morfologi Topografi Gerakan Gunung Bencana Nilai
Lereng Lahan
Tanah Berapi Alam
Pegungan/
Semak
Perbukitan
> 40 % >3.000 Belukar, 1
Sangat Potensi
Ladang
Terjal Zona 3 Zona 3 Bencana
(Tinggi) (Tinggi) Alam
Pegunungan/ Kebun, Tinggi
2.000-
25 – 40 % Perbukitan Hutan 2
3.000
Terjal Belukar
Potensi
1.000- Zona 2 Zona 2
15 – 25 % Perbukitan Semua Bencana 3
2.000 (Menengah) (Menengah)
Menengah
Tabel 20
Pembobotan Total SKL
SKL Bobot Hasil nilai x bobot
Morfologi 5 5 10 15 20 25
Kemudahan dikerjakan 1 1 2 3 4 5
Kestabilan Lereng 5 5 10 15 20 25
Kestabilan Pondasi 3 3 6 9 12 15
Ketersediaan Air 5 5 10 15 20 25
Drainase 5 5 10 15 20 25
Terhadap Erosi 3 3 6 9 12 15
Pembuangan Limbah 0 0 0 0 0 0
SKL Bobot Hasil nilai x bobot
Bencana Alam 5 5 10 15 20 25
Dari total nilai pembobotan diatas, dapat ditentukan beberapa kelas kemampuan lahan
yang memperhatikan nilai minimum dan maksimum dari total nilai. Dari angka di atas, nilai
minimum yang mungkin didapat adalah 32 sedangkan nilai maksimum yang mungkin didapat
adalah 160. Kelas dan klasifikasi pengembangan berdasarkan total nilai pembobotan dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 21
Klasifikasi Pengembangan
Total Nilai Kelas Klasifikasi Pengembangan
Data mengenai luas lahan yang sesuai untuk permukiman dapat diketahui dengan
menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan tata ruang dan pendekatan kemampuan lahan.
Pada analisis yang dilakukan ini pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan tata ruang, maka
dari itu luas lahan yang layak untuk permukiman adalah area yang ada di suatu wilayah diluar
kawasan lindung dan terbebas dari bahaya lingkungan seperti banjir, tanah longsor, instrusi air
tanah dan abrasi serta berbagai macam ancaman bahaya geologi lainnya.
Pendekatan tata ruang tersebut berguna untuk mengidentifikasi daya dukung lahan yang
terdiri dari kawasan limitasi, kawasan kendala dan kawasan potensial. Pengertian dan kriteria dari
ketiga wilayah tersebut adalah sebagai berikut :
Kawasan limitasi, adalah wilayah dengan fisik dasarnya memiliki tingkat kesesuaian
lahan yang tidak layak dikembangkan untuk permukiman berdasarkan batasan-batasan
fisik wilayah.
Kawasan kendala, atau bersayarat adalah wilayah yang memerlukan masukan teknologi
bagi pembangunan dan pengembangan permukiman, dengan konsekuensi perlu biaya
tambahan untuk menanggulangi kendala tersebut seperti untuk perbaikan kontur yang
membutuhkan cut and fill.
Kawasan potensial, sering dikatakan sebagai kawasan manfaat atau kawasan
kemungkinan, yaitu kawasan yang lingkungan fisik dasarnya memiliki tingkat kesesuaian
lahan yang akurat untuk dibangun dan dikembangkan bagi kawasan permukiman.
Berdasarkan pengertian dari ketiga wilayah daya dukung lahan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa wilayah yang dapat dikembangkan untuk permukiman sekaligus untuk menampung
penduduk yaitu wilayah potensial. Namun meskipun demikian wilayah potensial tidak dapat
dikembangkan untuk permukiman secara keseluruhan, melainkan harus disediakan ruang untuk
penggunaan lainnya yaitu untuk jaringan utilitas dan prasarana umum. Oleh karena itu untuk
pembangunan dan pengembangan permukiman harus mempertimbangkan rasio tutupan lahan
sebesar 60% dari luas wilayah potensial yang ada sesuai dengan kriteria dari permen PU Nomor
20 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Analisis Fisik dan Lingkungan. Dalam mendapatkan
luas lahan yang dapat dikembangan untuk permukiman dari wilayah potensial tersebut dapat
dihitung dengan menggunakan rumus :
Setelah luas lahan yang dapat dikembangkan untuk permukiman tersebut diketahui dengan
menggunakan rumus diatas, maka tahapan selanjutnya dalam menganalisis daya dukung wilayah
untuk permukiman yaitu menghitung nilai indeks dari luas wilayah potensial yang ada dengan
memperhatikan standar kebutuhan ruang perkapita berdasarkan lokasi geografis (Perdesaan dan
Perkotaan) serta jumlah penduduk tahun terakhir. Tujuan menghitung nilai indeks tersebut adalah
untuk mengetahui kemampuan dari wilayah potensial dalam menampung penduduk optimal.
Berikut merupakan standar kebutuhan ruang perkapita yang dapat digunakan. serta rumus
perhitungan nilai indeks daya dukung permukiman.
Tabel 18
Kebutuhan Ruang per Kapita menurut Lokasi Geografis (Zona Kawasan)
No Lokasi Geografis (Perdesaan-Perkotaan) Kebutuhan Ruang (ha/kapita)
1 Zona Perdesaan 0,0133
2 Zona Pinggiran Kota 0,0080
3 Zona Perkotaan 0,0026
4 Zona Pusat Kota 0,0016
5 Zona Pusat Kota Metropolitan 0,0006
Sumber : Permen PU Nomor 11/PERMEN/M/2008 dalam Lutfi Muta’ali, 2012
𝑳𝑷𝒎/𝑱𝑷
𝑫𝑫𝑷𝒎
𝒂
Keterangan :
DDPm = Daya Dukung Permukiman
LPm = Luas Lahan yang dapat dikembangkan untuk
permukiman (ha)
JP = Jumlah Penduduk (jiwa)
a = Koefisien luas kebutuhan ruang (ha/kapita)
Sumber : Lutfi Muta’ali, 2012
Setelah daya dukung permukiman dihitung dengan rumus tersebut maka akan diperoleh
kisaran nilai indeks daya dukung permukiman sebagai berikut :
Nilai DDPm >1, artinya bahwa daya dukung permukiman tinggi, masih mampu
menampung penduduk untuk bermukim (membangun rumah) dalam wilayah
potensial tersebut.
Nilai DDPm =1, artinya bahwa daya dukung permukiman optimal, terjadi
keseimbangan antara antara penduduk yang bermukim (membangun rumah) dengan
luas wilayah potensial yang ada.
Nilai DDPm <1, artinya bahwa daya dukung permukiman rendah, tidak mampu lagi
menampung penduduk untuk bermukim (membangun rumah) dalam wilayah
potensial tersebut.
t) Analisis Daya Dukung
Daya tampung adalah kemampuan dari suatu wilayah untuk menerima dan menampung
jumlah penduduk optimal. Analisis daya tampung ini diperlukan sebagai bentuk responsif
terhadap dinamika pertumbuhan penduduk yang saat ini tidak terhindarkan. Konsekuensi
pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang menempati lahan, menyebabkan kepadatan
hunian menjadi bertambah.
Dalam melakukan analisis daya tampung diperlukan beberapa data, yaitu hasil analisis
daya dukung permukiman (DDPm) dan data mengenai jumlah penduduk tahun terakhir. Sehingga
daya tampung penduduk optimal dapat diketahui dengan menggunakan rumus perhitungan
sebagai berikut :
𝑫𝑻 𝑫𝑫𝑷𝒎 𝒙 𝑱𝑷
Keterangan :
DT = Daya Tampung (jiwa)
DDPm = Daya Dukung Permukiman
JP = Jumlah Penduduk