Anda di halaman 1dari 57

Logika dalam Matematika

Haryono Tjandra

KVI Saputra
ii

ISBN . . .

. . . Publications
To my students

iii
Pengantar

Salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa ketika mereka baru
pertama kali masuk ke tingkat perguruan tinggi adalah cara berpikir. Di
dalam buku ini, mahasiswa tingkat satu program studi Matematika akan dia-
jarkan cara berpikir yang sistematis, cara membuktikan pernyataan-pernyataan
matematika dan aplikasinya di dalam teori himpunan. Buku ini merupakan
dasar dari setiap kuliah-kuliah yang akan mereka ambil di tingkat-tingkat
selanjutnya. Walaupun buku ini dibuat untuk mahasiswa matematika, buku
ini dapat juga dipelajari oleh mahasiswa dari program studi yang lain, yang
juga banyak menggunakan matematika di dalam bidang ilmunya.

iv
Daftar Isi

1 Pengantar Logika 1
1.1 Kalimat matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Penarikan kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
1.3 Kalimat terbuka dan tautologi . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.4 Kuantor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

2 Bukti Matematika 16
2.1 Bukti Lansung . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
2.2 Bukti Tak Lansung . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
2.2.1 Metode kontradiksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
2.2.2 Metode kontrapositif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
2.3 Prinsip induksi matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23

3 Teori Himpunan 26
3.1 Sifat-sifat dasar himpunan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
3.1.1 Hasil Ganda Kartesius . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
3.1.2 Himpunan Kuasa (Power Set) dan indeks . . . . . . . 35
3.2 Relasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 38
3.2.1 Konsep (abstrak) relasi . . . . . . . . . . . . . . . . . 43
3.2.2 Fungsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45
3.2.3 Fungsi Komposisi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50
3.2.4 Fungsi Restriksi (Pembatasan) dan fungsi invers . . . 51

v
Bab 1

Pengantar Logika

1.1 Kalimat matematika


Himpunan semesta adalah himpunan semua objek yang dibicarakan. Per-
hatikan kalimat-kalimat berikut:

1. Ada bilangan yang terbesar.

2. Dua garis lurus selalu berpotongan atau sejajar.

3. Bagi yang berumur kurang dari 17 tahun dilarang menonton film itu.

4. Bagi yang hamil dilarang masuk ruang ini.

Dalam banyak pembahasan, khususnya dalam matematika, semesta pem-


bicaraan perlu dinyatakan secara eksplisit. kalimat 1) diatas salah jika
semestanya adalah bilangan asli, akan tetapi benar jika semestanya adalah
bilangan asli, akan tetapi benar jika semestanya terdiri atas bilangan-bilangan
1, 2, 3, 4, 5. Pada contoh 2), kalimat benar jika semestanya bidang rata, dan
salah jika semestanya suatu ruang. Namun dalam beberapa kasus, semesta
pembicaraan tidak perlu disebut karena jelas menurut konteksnya. Jelas
bahwa kalimat dalam contoh 3) berada dalam konteks orang-orang seba-
gai semestanya, juga untuk kalimat 4), konteksnya tidak lain adalah para
perempuan.
Beberapa kalimat tidak mempunyai arti atau maknanya tidak jelas. Be-
berapa kalimat lain, meski bermakna dan berstruktur bahasa lengkap, tidak
mengandung nilai kebenaran, yakni nilai benar atau salah. Kalimat yang
mengandung nilai kebenaran disebut kalimat deklaratif. Perhatikan kalimat-
kallimat berikut :

1
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 2

1. SBY apalagi dan begini


2. Tutuplah pintu itu
3. Astaga
4. Bilangan 10 mencintai
5. SBY adalah bilangan prima
6. Perancis berpenduduk 1000 juta
7. Bilangan 9 adalah bilangan ganjil
8. Bilangan π adalah bilangan rasional atau irasional.
Kalimat 1) tidak bermakna, tidak bisa dinilai kebenarannya. Kalimat 4),
relasi mencintai tidak dikenal diantara bilangan-bilangan. Untuk kalimat
5), jika semestanya adalahnya orang-orang, maka ia tidak bermakna; jika
semestanya adalah bilangan-bilangan, maka ia merupakan kalimat deklaratif
bernilai salah. Kalimat 6) adalah kalimat deklaratif (yang secara faktual
bernilai salah). Kalimat 7) merupakan kalimat deklaratif (yang berdasarkan
definisi definisi bilangan ganjil, bernilai benar). Kalimat 8) adalah kalimat
deklaratif (yang secara logis bernilai benar).
Jika kalimat “Pohon itu tinggi” disingkat dengan p, dan “Gedung itu
indah” dengan q, maka kalimat-kalimat
1. Pohon itu tinggi dan gedung itu indah.
2. Pohon itu tinggi atau gedung itu indah
3. Tidak benar bahwa pohon itu tinggi.
masing-masing dapat disingkat dengan p ∧ q, p ∨ q, dan p. Kalimat dengan
kata perangkai “dan” serta “atau”, ditulis dengan “∧” dan “∨”, masing-
masing disebut suatu konjungsi dan disjungsi. Bentuk “tidak p”, ditulis
dengan “p”, disebut suatu negasi (dari p). Masing-masing nilai kebenaran-
nya didefinisikan menurut tabel berikut:
Konjungsi Disjungsi
p q p∧q p q p∨q Negasi
B B B B B B p p
B S S B S B B S
S B S S B B S B
S S S S S S
B adalah lambang jika p (atau q) benar, S jika salah
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 3

Dalam percakapan sehari-hari, suatu bentuk disjungsi digunakan dengan


dua arti : ia bernilai benar jika tepat salah satu komponennya bernilai
benar disebut disjungsi ekslusif, sedang yang lain seperti yang didefinisikan
menurut tabel diatas. Sebagai kontras “Memperhatikan logatnya, ia pasti
berasal dari Malang atau Surabaya” merupakan suatu diskungsi ekslusif,
sedangkan “Mahasiswa atau dosen bisa mendapat potongan harga ” adalah
disjungsi biasa (inklusif).
Kalimat berbentuk “Jika p, maka q”, secara simbolis dituliskan dengan
“p ⇒ q”, disebut suatu implikasi. Di sini p disebut anteseden dan q disebut
konsekuen. Nilai kebenarannya didefinisikan menurut tabel berikut:

Implikasi
p q p⇒q
B B B
B S S
S B B
S S B

Jadi, suatu implikasi bernilai benar jika anteseden salah atau konsekuen
benar. Dalam percakapan sehari-hari, hubungan antara anteseden dan kon-
sekuen pada suatu implikasi pada umumnya berupa janji, sebab-akibat ataupun
suatu tanda. Dalam matematika, meskipun suatu implikasi sering dibangun
berdasarkan hubungan sebab-akibat antara anteseden dan konsekuennya, se-
cara umum hubungan antara keduanya tidak harus ada. Jadi, meski terasa
aneh menurut percakapan sehari-hari, secara matematis, kalimat semacam
“jika pohon itu tinggi, maka gedung itu indah” logis adanya, sebab nilai
kebenarannya semata-mata hanya ditentukan berdasarkan tabel nilai tanpa
mensyaratkan adanya hubungan apapun antara p dan q. Tabel implikasi
dibuat sedemikian rupa sehingga mencakup seluas mungkin aspek penger-
tian percakapan sehari-hari maupun aspek matematisnya.

1.2 Penarikan kesimpulan


Perhatikan prinsip-prinsip berikut:

(i) Jika dari p, dengan langkah-langkah yang betul (sahih/valid), ditu-


runkan pernyataan q, maka pernyataan “p ⇒ q” bernilai benar.

(ii) modus Barbara (MB):


BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 4

Semua P adalah Q
semua Q adalah R
semua P adalah R

(iii) Er falso sequaitur quaodlibet: Jika dari pernyataan p yang salah, den-
gan cara-cara yang sahih diturunkan q (tanpa menggunakan kalimat-
kalimat yang salah yang lainnya, selain p sendiri), maka tidak dapat
disimpulkan tentang nilai kebenaran dari q.
Perhatikan contoh-contoh penarikan kesimpulan berikut:
1 Semua orang Belanda adalah orang Eropa
Semua orang Eropa adalah manusia
Maka menurut modus Barbara: Semua orang Belanda adalah manusia.

2 Semua orang Belanda adalah orang berdosa


Semua orang berdosa melawan kehendak Tuhan
Maka menurut modus Barbara: Semua orang Belanda melawan ke-
hendak Tuhan.

3 Semua orang Belanda adalah orang Indonesia


Semua orang Indonesia adalah manusia
Maka menurut modus Barbara: Semua orang Belanda adalah manusia.
Contoh 1) menguatkan prinsip(i), sedangkan contoh 2) dan 3) men-
guatkan prinsip (iii). Perhatikan bahwa prinsip (i) dan (ii) konsisten dengan
tabel kebenaran implikasi.
Implikasi ”p ⇒ q” selain dibaca sebagai “Jika p maka q”, lazim ju-
ga diucapkan sebagai “q jika p”, atau “p hanya jika q”. Disini, p disebut
syarat cukup untuk q, dan q disebut syarat perlu untuk p. Untuk imp-
likasi “p ⇒ q”, masing-masing “q ⇒ p”, “p ⇒ q”, dan “q ⇒ p” disebut
konvers,invers, dan kontrapositif dari “p ⇒ q”. Masing-masing tabel kebe-
naran sebagai berikut:
p q p q p⇒q q⇒p p⇒q q⇒p
B B S S B B B B
B S S B S B B S
S B B S B S S B
S S B B B B B B
Terlihat jika suatu implikasi benar, maka konvers dan inversnya belum
tentu benar dan sebaliknya. Kebenaran suatu implikasi sama dngan kebe-
naran suatu kontrapositifnya, demikian juga konvers dan inversnya.
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 5

Suatu ekuivalensi (bi-implikasi) dengan komponen-komponen p dan q,


ditulis dengan “p ⇒ q”, diucapkan “p jika dan hanya jika q”, didefinisikan
menurut tabel berikut:
p q p⇔q
B B B
B S S
S B S
S S B

Jadi, “p jika dan hanya jika q” benar, jika p dan q mempunyai nilai kebenaran
yang sama. Selanjutnya perhatikan tabel berikut:

p q p⇒q q⇒p (p ⇒ q) ∧ (q ⇒ p)
B B B B B
B S S B S
S B B S S
S S B B B

Tampak bahwa p ⇔ q dan (p ⇒ q) ∧ (q ⇒ p) mempunyai nilai kebenaran


yang sama, dan karenanya, p ⇔ q diucapkan “p jika dan hanya jika q”.
Contoh-contoh ekuivalensi (pandang untuk SP bilangan-bilangan ):
1. x2 = 1 ⇔ x = 1 ∨ x = −1

2. x2 ≤ 1 ⇔ x ≤ 1 ∧ x ≥ −1 (biasanya ditulis: −1 ≤ x ≤ 1)

3. x2 > 1 ⇔ x > 1 ∨ x < −1


Lazim bahwa dalam suatu definisi, antara konsep yang didefinisikan dan
dekripsinya, terhubung oleh kata-kata “jika” yang maksudnya adalah “jika
dan hanya jika”, sebagai misal: Suatu segiempat disebut jajaran genjang
jika sisi-sisi yang berhadapan sejajar.

1.3 Kalimat terbuka dan tautologi


Sering dalam suatu pembicaraaan kita memerlukan lambang yang mewak-
ili unsur sebarang dalam semesta pembicaraan. Pandang, sebagai misal,
kalimat-kalimat berikut:
1. Mahasiswa tidak boleh malas.

2. (x + 1)2 = 4x.
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 6

3. (x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 .
“Mahasiswa”, “x”, dan “y” pada masing-masing kalimat tersebut adalah
contoh dari apa yang disebut sebagai peubah, yakni lambang dari unsur
sebarang dalam suatu SP. selanjutnya, perhatikan kalimat-kalimat berikut:
4. Ana tidak boleh malas belajar.

5. Bejo tidak boleh malas.

6. (1 + 1)2 = 4.1.

7. ( 12 + 12 )2 = 4. 12

8. (2 + 3)2 = 22 + 2.2.3 + 32
Maka, “Ana” dan “Bejo” pada (4) dan (5), “1” dan “ 12 ” pada (6) dan
(7), serta pasangan “2” dan “3” pada (8), masing-masing disebut suatu
konstanta yakni lambang dari unsur tertentu dalam suatu SP.
Perhatikan bahwa kalimat 1) bukanlah suatu pernyataan sebab tidak
deklaratif sedangkan kalimat 2) merupakan pernyataan jika x diganti dengan
konstanta: bernilai benar jika x diganti 1 (contoh 6) dan salah jika x diganti
1
2 (contoh 7). Kalimat 3) merupakan pernyataan yang bernilai benar untuk
setiap penggantian peubah-peubahnya dengan konstanta-konstanta (contoh
8). Kalimat 1), 2), dan 3) adalah contoh-contoh dari suatu kalimat terbuka,
yakni kalimat yang memuat peubah sehingga nilai kebenarannya belum bisa
ditentukan.
Simbol-simbol p, q atau r (huruf-huruf kecil) dalam semesta pernyataan-
pernyataan, seperti yang sudah kita gunakan selama ini, merupakan peubah-
peubah pernyataan. Pada SP pernyataan-pernyataan, suatu bentuk kalimat
terbuka yang bernilai benar untuk setiap penggantian peubah-peubahnya
(dengan konstanta-konstanta) disebut tautologi. Contoh-contoh tautologi:
(1) (p ⇔ q) ⇔ (p ⇔ q) ∧ (q ⇔ p)

(2) (p ⇔ q ∧ q ⇔ r) ⇒ (p ⇔ r) (sifat transitif dari ⇔)

(3) p ⇔ p (negasi rangkap)



(a) p ∨ q ⇔ p ∧ q
(4) sifat de Morgan
(b) p ∧ q ⇔ p ∨ q
(5) p ⇒ q ⇔ p ∨ q (implikasi material)

(6) p ⇒ q ⇔ p ∧ q (implikasi material)


BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 7

Tautologi (1) sampai dengan (6) tersebut masing-masing dibuktikan den-


gan menentukan tabel kebenaran. Perhatikan bahwa tautologi (6) bisa
dibuktikan berdasarkan tautologi (2), (3), (4)(a) dan (5). Setiap tautologi
selalu dapat dibuktikan lewat tabel kebenaran. Beberapa tautologi dapat
dibuktikan secara relatif dengan cara deskriptif (sebagai contoh, tautologi
(2)).
Contoh 1.3.1. Akan dibuktikan tautologi (2) yakni

(p ⇔ q ∧ q ⇔ r) ⇒ (p ⇔ r)

dengan menggunakan cara deskriptif. Misal (p ⇔ q ∧ q ⇔ r) disingkat


dengan p1 dan (p ⇔ r) disingkat dengan p2 . Akan dibuktikan p1 ⇒ p2 . Ada
2 kemungkinan, yakni p1 salah atau p1 benar. Jika p1 salah maka p1 ⇒ p2
pasti benar. Misal sekarang p1 benar. Akan dibuktikan p2 juga benar agar
p1 ⇒ p2 bernilai benar. Maka p ⇔ q dan q ⇔ r keduanya benar. Maka
ada dua kasus, p salah atau p benar. Jika p salah dan karena p ⇔ q benar,
haruslah q salah. Dan karena q ⇔ r juga benar haruslah r juga salah. Jadi
karena p dan r keduanya salah, maka p ⇔ r atau p2 bernilai benar. Dengan
alasan yang sama, untuk kasus kedua, jika p benar akan didapatkan juga
r benar, sehingga p ⇔ r bernilai benar. Jadi untuk semua kasus p, p ⇔ r
benar. Jadi terbukti p1 ⇒ p2 benar untuk semua kasus.
Bentuk p ⇒ q bukanlah suatu tautologi sebab bisa bernilai benar dan
bisa benilai salah. Suatu bentuk kalimat terbuka yang selalu salah untuk
setiap penggantian peubah-peubahnya disebut suatu kontradiksi. Contoh-
contoh kontradiksi:
(i) p ∧ p

(ii) p ∨ p ⇒ (p ∧ p)
Melanjutkan contoh-contoh (1) sampai dengan (6) di atas, berikut ini
adalah tautologi-tautologi dasar lainnya yang semuanya menyajikan rumus-
rumus dalam logika kalimat (1 dan 0 masing-masing melambangkan suatu
tautologi dan kontradiksi).
(7) Tertium non datur (the law of the excluded middle) : p ∨ p ⇔ 1

(8) Hukum kontradiksi : p ∧ p ⇔ 0

(9) Netralitas 0 dan 1 berturut-turut terhadap disjungsi dan konjungsi:


(a) 0 ∨ p ⇔ p ∨ 0 ⇔ p
(b) 1 ∧ p ⇔ p ∧ 1 ⇔ p
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 8

(10) Negasi rangkap : p ⇔ p

(11) Hukum penyerapan :


(a) p ∨ (p ∧ q) ⇔ p
(b) p ∧ (p ∨ q) ⇔ p

(12) Sifat indempoten :


(a) p ∨ p ⇔ p
(b) p ∧ p ⇔ p

(13) Sifat asosiatif :


(a) (p ∨ q) ∨ r ⇔ p ∨ (q ∨ r)
(b) (p ∧ q) ∧ r ⇔ p ∧ (q ∧ r)

(14) Sifat komutatif :


(a) p ∨ q ⇔ q ∨ q
(b) p ∧ q ⇔ q ∧ p

(15) Sifat distributif :


(a) p ∨ (q ∧ r) ⇔ (p ∨ q) ∧ (p ∨ r)
(b) p ∧ (q ∨ r) ⇔ (p ∧ q) ∨ (p ∧ r)

(16) Sifat importasi : (p ⇒ (q ⇒ r)) ⇒ ((p ∧ q) ⇒ r)

(17) Sifat eksportasi : ((p ∧ q) ⇒ r) ⇒ (p ⇒ (q ⇒ r))

(18) Modus ponens : ((p ⇒ q) ∧ p) ⇒ q

(19) Modus tollens :((p ⇒ q) ∧ q) ⇒ p

(20) Sifat kontrapositif : (p ⇒ q) ⇔ (q ⇒ p)

(21) Sifat reductio ad absurdum : (p ⇒ (q ∧ q)) ⇒ p

1.4 Kuantor
Perhatikan kalimat

(1)(x + 1)2 = 4x; dan (2)(x + y)2 = x2 + 2xy + y 2

masing-masing merupakan kalimat terbuka, dan bahwa penggantian semua


peubahnya dengan konstanta-konstanta menjadikan mereka deklaratif (kali-
mat tertutup). Cara lain untuk menjadikan kalimat “P (x)” (x adalah
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 9

peubah) menjadi tertutup dengan memberinya suatu kuantor, sehingga berben-


tuk
“(∃x)P (x)” (1.1)
yang dibaca dengan ”Ada suatu x sehingga x bersifat P ” atau

“(∀x)P (x)” (1.2)

yang dibaca dengan “Untuk semua (setiap) x, x bersifat P ”. Simbol ”∃”


pada (1.1) melambangkan apa yang disebut sebagai kuantor eksistensial,
sedangkan ”∀” pada (1.2) melambangkan kuantor universal. Maka untuk SP
bilangan-bilangan real, masing-masing bentuk berikut merupakan kalimat
berkuantor yang semuanya deklaratif.

(a) (∃x)(x + 1)2 = 4x (dibaca : Ada suatu x sehingga (x + 1)2 = 4x)

(b) (∀x)(x = 1)2 = 4x (dibaca : Untuk setiap x berlakulah (x + 1)2 = 4x)

(c) (∀x)(∀y)(x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 (dibaca : untuk setiap x dan setiap


y berlakulah (x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 )

(d) (∀x)(∃y)(x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 (dibaca : untuk setiap x dan suatu y


berlakulah (x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 )

(e) (∃x)(∀y)(x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 (dibaca : untuk suatu x sehingga


untuk setiap y berlakulah (x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 )

(f) (∃x)(∃y)(x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 (dibaca : ada suatu x dan ada suatu
y sehingga (x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 )

Perhatikan bahwa (a) benar, (b) salah sedangkan (c) sampai dengan (f)
semuanya benar.
Di sini kita mempunyai kesepakatan cara menulis secara berurut dari
garis yang paling kuat ke yang paling lemah daya ikatnya: kuantor-kuantor,
∧, ∨, ⇒ atau ⇔ (dua yang terakhir ini sama kuat). Contoh-contoh:

(1) (p ∧ q) ⇒ r dapat dituliskan sebagai: p ∧ q ⇒ r

(2) p ⇒ (q ∨ r) dapat dituliskan sebagai: p ⇒ q ∨ r

(3) (p ∧ q) ∨ r dapat dituliskan sebagai: p ∧ q ∨ r

(4) p ⇒ (q ⇔ r) tidak bisa dituliskan tanpa menggunakan tanda kurung


sebab ”⇒” dan ”⇔” sama kuat
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 10

(5) Jika dituliskan (∀x)P (x)∧q ⇒ r, maksudnya adalah ((∀x)P (x))∧q) ⇒


r)
Disamping kesepakatan di atas, cara penulisan dapat dipermudah lagi den-
gan memanfaatkan tanda titik yang dapat berperan menggantikan tanda
kurung. Contoh-contoh:
(1) (∃x)(P (x) ∧ Q(x)) dapat ditulis (∃x).(P (x) ∧ Q(x))

(2) (p1 ⇒ p2 ) ⇔ (q1 ⇒ q2 ) dapat ditulis p1 ⇒ p2 . ⇔ (q1 ⇒ q2 ), atau


(p1 ⇒ p2 ) ⇔ .q1 ⇒ q2 atau p1 ⇒ p2 . ⇔ .q1 ⇒ q2

(3) (p1 ∨ p2 ) ∧ (q1 ∨ q2 ) dapat ditulis p1 ∨ p2 . ∧ .q1 ∨ q2


Kadang-kadang tanda kurung tidak diperlukan jika arti sudah jelas. Sebagai
contoh,
(1) (∀x)((x + 1)2 = 4x) bisa ditulis (∀x)(x + 1)2 = 4x

(2) (∃x)(x2 + x < 2) bisa ditulis (∃x)x2 + x < 2


Pada masing-masing contoh tersebut, tanda kurung tidak diperlukan sebab
kalimat-kalimat tanpa tanda kurung tidak mungkin bisa dibaca lebih dari
satu maksud. Kadang-kadang kuantor pada suatu kalimat tidak dituliskan
secara eksplisit. Jika dituliskan

x2 − y 2 = (x − y)(x + y)

sebagai suatu rumus, maka esensinya adalah kalimat berkuantor

(∀x)(∀y)(x2 − y 2 ) = (x − y)(x + y)

Dalam hal ini, pembubuhan suatu kuantor sering diperlukan hanya untuk
mempertegas.
Kita dapat membaca dan mengartikan kalimat-kalimat berkuantor den-
gan kata-kata biasa. Pandang kalimat-kalimat berikut:
1. (∀x)(∃y)y > x

2. (∃x)(∀y)y > x

3. (∀x)(∃y) x = y ⇔ y = x

4. (∀x)(∀y) x 6= y ⇒ (∃z) x < z < y ∨ y < z < x

5. (∃x)(∀y) x + y = y + x = y
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 11

6. (∀x)(∃y) x + y = y + x = 0

7. (∃z)(∀x)(∀y) xy = z ⇒ x = z ∨ y = z

8. (∀x)(∀y)(∃z) xz = y

9. (∃x)(∀y) xy = y

10. (∀x)(∀y) x 6= y ⇒ x < y ∨ y < x

11. (∃x) x2 < 0 ⇒ x = 1

Masing-masing kalimat tersebut diucapkan dan diartikan sebagai berikut:

1. Untuk setiap x ada suatu y sehingga y > x, artinya: tidak ada bilangan
real yang terbesar.

2. Ada suatu y sehingga untuk setiap x, y > x artinya: ada bilangan real
yang terbesar.

3. Untuk setiap x, ada suatu y sehingga berlakulah x = y jika dan hanya


jika y = x artinya: relasi ”=” di antara bilangan-bilangan real bersifat
simetris.

4. Untuk setiap x dan y berlakulah, jika x 6= y, maka ada suatu z se-


hingga x < z < y atau y < z < x, artinya: untuk setiap dua bilangan
real selalu ada suatu bilangan real di antara mereka (dikatakan bahwa
bilangan-bilangan real bersifat rapat).

5. Ada suatu x sehingga untuk setiap y berlaku x + y = y + x = y,


artinya: terhadap operasi “+”, himpunan bilangan real mempunyai
unsur netral, yakni bilangan 0.

6. Untuk setiap x, ada suatu y sehingga x+y = y +x = 0, artinya: setiap


bilangan real mempunyai invers terhadap operasi jumlah.

7. Ada suatu z sehingga untuk setiap x dan y berlakulah, jika xy = z,


maka x = z atau y = z, artinya: ada suatu bilangan yang tidak
mempunyai pembagi (kecuali dirinya sendiri).

8. Untuk setiap x 6= 0 dan y, ada suatu z sehingga xz = y, artinya:


untuk sembarang bilangan a 6= 0 dan b, persamaan az = b mempunyai
solusi.
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 12

9. Ada suatu x sehingga untuk setiap y, xy = y, artinya terhadap operasi


perkalian, himpunan bilangan real mempunyai unsur identitas, yakni
bilangan 1.

10. Untuk setiap x dan y, jika x 6= y, maka x < y atau y < x, artinyan:
setiap dua bilangan dapat dibandingkan.

11. Ada suatu x sehingga, jika x2 < 0, maka x = 1, artinya: (tidak


mempunyai arti khusus, kecuali bahwa ia secara logis benar sebab
x2 < 0 selalu salah).

Penukaran urutan terhadap dua kuantor sejenis tidak mengubah antar


kalimatnya. Kalimat
(∃x)(∃y)P (x, y)
atau sering ditulis dengan
(∃x, y)P (x, y)
yang diucapkan “Ada suatu x dan y sehingga x berada dalam relasi P
dengan y”, mempunyai arti sama dengan kalimat

(∃y)(∃x)P (x, y).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa

(∃x)(∃y)P (x, y) ⇐⇒ (∃y)(∃x)P (x, y)

Karena rumus tersebut tidak hanya berlaku untuk suatu predikat P saja,
maka P biasa kita ganti dengan peubah predikat yang biasa ditulis dengan
huruf kecil f,g,h dsb. Jadi kita punya sifat berikut.
Sifat: (∃x)(∃y)g(x, y) ⇔ (∃y)(∃x)g(x, y) Demikian juga kita mempunyai
sifat berikut. Sifat: (∀x)(∀y)g(x, y) ⇔ (∀y)(∀x)g(x, y)
Namun, kita tidak menjumpai situasi yang sama untuk penukaran ter-
hadap kuantor-kuantor berlainan jenis. Perhatikan kalimat-kalimat berikut
untuk SP bilangan-bilangan bulat :

(∀x)(∃y)x + y = y + x = 0 (1.3)

(∃y)(∀x)x + y = y + x = 0 (1.4)
Kalimat (1.3) menyatakan bahwa setiap bilangan bulat mempunyai lawan
(inverse penjumlahan), sedang kalimat (1.4) menyatakan bahwa ada suatu
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 13

bilangan bulat yang merupakan lawan dari semua bilangan bulat. Per-
hatikan bahwa yang pertama benar dan yang kedua salah, sehingga ked-
uanya tidak ekuivalen. Demikian, jika R suatu relasi, maka secara umum
kalimat-kalimat berikut tidak ekuivalen:

(∀y)(∃x)R(x, y) (1.5)

(∃y)(∀x)R(x, y) (1.6)
Dengan (1.5), dikatakan bahwa kuantor universal digunakan secara dis-
tributif, sedangkan (1.6) digunakan secara kolektif. Sekarang pandang kali-
mat (1.5) dan (1.5) tersebut dengan
SP := {x | x adalah bilangan 1 sampai dengan 10 }
Lalu definisikan R adalah relasi ” ≤ ”. Maka, (1.6) menyatakan bahwa ada
suatu bilangan terbesar dalam SP, yang bernilai benar karena 10 memenuhi
adalah bilangan terbesar. Dengan mudah terlihat bahwa (1.5) juga benar,
sebab untuk setiap x ∈ SP , ada suatu y (yakni 10 tadi) sehingga x ≤ 10.
Demikianlah, sifat berikut berlaku umum untuk sembarang predikat q.
Sifat: (∃y)(∀x)g(x, y) =⇒ (∀x)(∃y)g(x, y) Namun ingat bahwa kebalikan
sifat tersebut tidak berlaku, seperti yang sudah didiskusikan lewat contoh
kalimat (1.3) dan (1.4) diatas.
Selanjutnya, kita catat suatu pengamatan penting terhadap pekerjaan
mengingkar suatu kalimat berkuantor. Perhatikan bahwa mengingkari se-
mua unsur SP mempunyai sifat g sama dengan mengatakan bahwa ada suatu
unsur (paling sedikit satu) dalam SP yang tidak mempunyai sifat g; yang
secara simbolis kita tulis:
(∀x)g(x) ⇐⇒ (∃x)g(x) (1.7)
Mengingkari ada suatu unsur SP yang memiliki sifat g sama dengan men-
gatakan bahwa semua unsurnya tidak memiliki sifat g; yang secara simbolis
kita tulis:
(∃x)g(x) ⇐⇒ (∀x)g(x) (1.8)
Tampak dari (1.7) dan (1.8) bahwa pekerjaan mengingkar adalah memper-
pendek tanda negasi dan mengganti jenis kuantor. Misalkan SP adalah
himpunan bilangan-bilangan alam, misalnya G(x, y, z) menyatakan “z ter-
letak di antara x dan y”. Memanfaatkan aturan di atas , maka negasi dari
kalimat berikut ini
(∀x)(∀y).x 6= y ⇒ (∃z)G(x, y, z)
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 14

adalah
(∀x)(∀y).x 6= y ⇒ (∃z)G(x, y, z)
⇔ (∃x)(∀y).x 6= y ⇒ (∃z)G(x, y, z)
⇔ (∃x)(∃y).x 6= y ⇒ (∃z)G(x, y, z)
⇔ (∃x)(∃y).x 6= y ∧ (∃z)G(x, y, z)
⇔ (∃x)(∃y).x 6= y ∧ (∀z)G(x, y, z)
Terlihat, ingkaran terhadap kalimat pertama adalah: tidak benar bahwa un-
tuk setiap pasang bilangan-bilangan alam yang berlainan ada (dapat dite-
mukan) suatu bilangan alam yang terletak di antaranya; sedangkan pada
kalimat terakhir terbaca bahwa ada suatu pasang bilangan-bilangan yang
berlainan sedemikian sehingga tidak ada bilangan alam yang terletak di-
antaranya. Demikian, kalimat pertama dan terakhir memang tampak mem-
punyai arti yang sama.
Kita mempunyai penulisan-penulisan singkat dari bentuk-bentuk terten-
tu kalimat berkuantor. Kalimat

Ada tepat satu x yang mempunyai sifat P secara simbolis dapat ditulis:

(∃x).P (x). ∧ .(∀y)(P (y) ⇒ x = y)

yang dibaca ”Ada suatu x yang bersifat P , dan untuk setiap y dimana y
bersifat P , maka y = x”. Karena bentuk tersebut lazim muncul dalam
matematika, maka biasa disingkat menjadi

(∃!x)P (x)

yang dibaca ”Ada dengan tunggal x yang bersifat P ”.


Dengan SP bilangan-bilangan real, pandang kalimat

Ada suatu x yang positif dengan sifat P (1.9)

dan
Semua x yang positif bersifat P (1.10)
Perhatikan bahwa (1.9) menyatakan adanya suatu x yang positif dan sekali-
gus bersifat P , sehingga ekspresi simbolisnya

(∃x).x > 0 ∧ P (x) (1.11)


BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 15

Kalimat (1.10) menyatakan bahwa semua x bersifat P jika x positif, sehingga


secara simbolis dapat di tulis

(∀x).x > 0 ⇒ P (x) (1.12)

Bentuk (1.11) dan (1.12) tersebut lazim muncul dalam matematika; masing-
masing dituliskan secara singkat menjadi:

(∃x > 0)P (x)(dibaca: ada suatu x positif yang bersifat P ) dan

(∀x > 0)P (x)(dibaca: untuk semua x positif, x bersifat P ).


Bab 2

Bukti Matematika

Pandang pernyataan-pernyataan berikut:

1. Dua garis di suatu bidang sejajar atau berpotongan di tepat satu titik

2. 1 ≥ 0.

3. Ada suatu sudut t sehingga cos t = t.

4. Jika x dan y masing-masing tak negatif dan x2 + y 2 = 0, maka x =


y = 0.

5. 2 adalah bilangan rasional

Pada banyak konteks pembahasan dalam matematika, pernyataan (1)


dan (2) barangkali jelas buat kita. Akan tetapi, (3), (4) atau (5) tidak
langsung jelas begitu saja. Mereka masing-masing memerlukan suatu bukti,
yaitu suatu penalaran matematis untuk meyakinkan nilai kebenarannya.
Suatu pernyataan yang dibuktikan bisa berbentuk kalimat atom (contoh(5)),
konjungsi, disjungsi ataupun suatu implikasi. Ada dua metode bukti yakni
bukti langsung dan bukti tak langsung.

2.1 Bukti Lansung


Enam pernyataan berikut dibuktikan dengan metode langsung.
1
(1) Jika (1 + (−1)n ) ganjil, maka n genap.
2

16
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 17

Bukti. Misal S(k) adalah sisa pembagian k oleh 2. Maka S(n) = 0


1
untuk n genap dan S( (1 + (−1)n )) = 0 untuk n ganjil. Jadi untuk
2
sembarang n berlaku
1
S(n) · S( (1 + (−1)n )) = 0 (2.1)
2
1 1
Karena diketahui (1 + (−1)n ) ganjil, maka S( (1 + (−1)n )) = 1, se-
2 2
hingga (1) berakibat S(n) = 0. Jadi n terbukti genap.

(2) Banyaknya bilangan-bilangan prima tak hingga

Bukti. Misal n2 := 2. Misal n3 adalah faktor prima terkecil dari (1.2)+


1, lalu n4 adalah faktor prima terkecil dari n3 ! + 1. Dan seterusnya
sehingga secara umum, ∀k ≥ 3, n( k + 1) adalah faktor prima terkecil
dari nk ! + 1. Fakta bahwa untuk setiap bilangan alam n, n! + 1 tidak
habis dibagi oleh setiap i ∈ 1, 2, . . . , n mengakibatkan n( k + 1) > nk
untuk sembarang bilangan alam k ≥ 3. Maka
n2 < . . . < nk < n( k + 1) < . . .
merupakan barisan naik bilangan-bilangan prima . Ini menunjukan
bilangan-bilangan prima tak hingga.

(3) Jika a dan b bilangan-bilangan real tak negatif, maka 21 (a + b) ≥ ab

Bukti. Misal a ≥ 0 dan b ≥ 0. Karena (a − b)2 ≥ 0, maka berlaku


a2 − 2ab + b2 ≥ 0 (2.2)
Dengan menambah kedua ruas pada ketaksamaan diatas dengan 4ab,
diperoleh
a2 + 2ab + b2 ≥ 4ab
yakni (a + b)2 ≥ 4ab. Selanjutnya, karena a dan bp
masing-masing
√ tak
negatif, maka a√+ b ≥ 0 dan 4ab ≥ √ 2
0, sehingga (a + b) ≥ 4ab,
yakni a + b ≥ 2 ab, atau 21 (a + b) ≥ ab.

(4) Sistem persamaan


x+y =1
2x + y = 2
mempunyai suatu solusi.
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 18

Bukti. Ambil x = 1 dan y = 0. Maka mudah diperiksa bahwa mereka


memenuhi persamaan-persamaan yang diberikan.

(5) Sistem persamaan pada pernyataan (4) mempunyai solusi tunggal.

Bukti. Pertama bahwa sistem persamaan mempunyai solusi, yaitu x =


1 dan y = 0. Selanjutnya, akan ditunjukan bahwa solusi tersebut
tunggal. Misal u dan v adalah bilangan-bilangan yang memenuhi

u+v =1 (2.3)

2u + v = 2 (2.4)
Jika masing-masing ruas pada (2.4) dikurangi dengan masing-masing
ruas pada (2.3), maka (2u + v) − (u + v) = 2 − 1, sehingga u = 1.
Dengan menggantikan u = 1 pada persamaan (2.3), diperoleh v = 0.
Jadi u = 1 = x dan v = 0 = y.

Perhatikan bahwa pernyataan (5) tersebut berbentuk

(∃!x, y)P (x, y)

yakni ”ada dengan tunggal pasang x dan y yang bersifat P ” kalimat


ini ekuivalen dengan

(∃x, y).P (x, y) ∧ (∀u, v)(P (u, v) ⇒ u = x ∧ v = y) (2.5)

Bukti di atas membuktikan kebenaran dari (2.5).

(6) Ada suatu t sehingga cos t = t.

Bukti. (Kita akan menggunakan teorema nilai antara, disingkat TNA,


yakni: Jika fungsi f kontinu pada [a, b] dan d diantara f (a) dan f (b),
maka ada suatu c ∈ (a, b) sehingga f (c) = d.) Pandang fungsi f (t) :=
cos(t)−t. Maka f kontinu pada [0, π2 ], dan memenuhi f (0) = cos 0−0 =
1 dan f ( π2 ) = cos( π2 ) − π2 = 0 − π2 < 0. Karena 0 terletak di antara
f (0) dan f ( π2 ), maka menurut TNA ada suatu c ∈ (0, π2 ) sehingga
f (c) = cos(c) − c = 0. Jadi ada suatu c sehingga cos(c) = c.

Perhatikan bahwa pernyataan (5) dan (6) berbicara mengenai masalah


eksistensi. Pada (5), kebenaran x dan y bisa dikonstruksi (dicari), sedangkan
kebenaran t yang memenuhi persamaan pada (6) tidak bisa di konstruksi
namun keberadaannya dijamin berdasarkan TNA.
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 19

2.2 Bukti Tak Lansung


2.2.1 Metode kontradiksi
Dalam bukti tak langsung, kita mengenal reductio ad absurdum atau metode
kontradiksi. Metode ini mendasarkan prinsipnya pada tautologi reductio ad
absurdum, yakni
p̄ ⇒ (q ∧ q̄). ⇒ .p
Dengan metode ini, misal p adalah proposisi yang akan dibuktikan. Ma-
ka, bukti diawali dengan pengandaian p̄ (tidak p). Lalu, dengan langkah-
langkah yang sahih (betul/valid) diturunkan suatu kontradiksi (q ∧ q̄). Den-
gan tercapainya suatu kontradiksi, maka p terbukti. Contoh-contoh bukti
dengan metode ini adalah sebagai berikut.

Contoh 2.2.1. Buktikan bahwa 2 adalah bilangan irasional.
√ √
Bukti. Akan dibuktikan
√ bahwa 2 irasional. Andaikan 2 rasional. Maka
m
ia dapat dituliskan 2 = n , dengan m dan n dalah bilangan-bilangan bulat
yang tidak memuat faktor prima beserikat. Jadi m2 = 2n2 . Karena kuardrat
bilangan ganjil pasti ganjil, maka m pasti genap. Tuliskan m = 2k untuk
suatu k. Maka m2 = 4k 2 = 2n2 . Akibatnya, n2 = 2k 2 , sehingga n genap.
Fakta bahwa m dan n genap bertentangan dengan fakta bahwa mereka
tidak mempunyai faktor prima berserikat (kedua fakta√ini membentuk suatu
kontradiksi q ∧ q̄). Jadi pengandaian salah, sehingga 2 irasional.

Contoh 2.2.2. Buktikan bahwa, jika a ≥ 0 dan b ≥ 0, maka 21 (a+b) ≥ ab.

Bukti. (Soal ini sudah kita buktikan dengan bukti lansung; disini akan kita
buktikan dengan
√ kontradiksi). Andaikan
√ a ≥ 0 dan b ≥ 0, akan tetapi
1
2 (a + b) < ab. Maka a + b < 2 ab, sehinggga (a + b)2 < 4ab, yakni
a2 + 2ab + b2 < 4ab. Akibatnya, (a − b)2 < 0 (padahal (a − b)2 ≥ 0).
Didapatkan suatu kontradiksi.

2.2.2 Metode kontrapositif


Metode lain dalam bukti tak langsung adalah metode kontrapositif. Metode
ini digunakan untuk membuktikan pernyataan berbentuk “p ⇒ q” jika sese-
orang merasa sulit membuktikannya secara langsung, maka ia bisa mencoba
membuktikan kontrapositifnya, yakni “q̄ ⇒ p̄”.
Contoh-contoh bukti dengan metode ini:
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 20

Contoh 2.2.3. Buktikan, jika x dan y masing-masing tak negatif dan x2 +


y 2 = 0, maka x = y = 0.

Bukti. (Kontrapositif dari soal adalah; x 6= 0 ∨ y 6= 0. ⇒ .x < 0 ∨ y <


0. ∨ .x2 + y 2 6= 0) Misal x 6= 0 atau y 6= 0. Maka x > 0 atau y > 0.
Akibatnya, x2 > 0 atau y 2 > 0, sehingga x2 + y 2 > 0, yakni x2 + y 2 6= 0.
1
Contoh 2.2.4. Buktikan, jika (1 + (−1)n ) ganjil, maka n genap
2
Bukti. (Soal ini sudah kita buktikan dengan bukti langsung, sekarang akan
kita buktikan kontrapositifnya). Misal n ganjil maka (−1)n = −1 sehingga
1 n
2 (1 + (−1) ) = 0, yakni bilangan genap.

Contoh 2.2.5. Buktikan, jika a ≤ b + c dipenuhi untuk setiap c ≥ 0, maka


a ≤ b.

Bukti. (Kontrapositif dari soal secara simbolis adalah a > b ⇒ (∃c ≥ 0)a

b + c). Misal a > b. Misal c0 := a−b2 . Maka dipenuhi c0 > 0 dan (a − b) >
a−b
2 = c0 . Jadi ada suatu c0 ≥ 0 sehingga a
b + c.

Berikut ini adalah contoh-contoh soal dan jawab (bukti) dari pelbagai
bentuk proposisi yang lazim ditemui sehari-hari.

Contoh 2.2.6. Tunjukkan bahwa, jika x < −1, maka x2 > 1. Tunjukkan
juga bahwa kebalikan pernyataan tersebut tidak berlaku.

Bukti. Diketahui x < −1. Akan ditunjukkan bahwa x2 > 1. Karena x < −1,
maka x + 1 < 0. Perhatikan bahwa x − 1 = (x + 1) − 2 < −2 < 0,
akibatnya, (x − 1)(x + 1) > 0. Jadi x2 − 1 > 0, yakni x2 > 1. Kebalikan
dari pernyataan ini tidak berlaku, yakni ada suatu x sehingga x2 > 1 dan
x ≥ −1, ambil, sebagai contoh, x := 2. Maka dipenuhi x2 = 22 = 4 > 1 dan
x = 2 ≥ −1.

Contoh 2.2.7. Tunjukkan, jika x < −1 atau 0 < x < 1, maka x(x − 1)(x −
2)(x + 1) > 0. Tunjukkan juga bahwa kebalikannya tidak berlaku.
Catatan : Contoh soal berbentuk ini berbentuk

(∀x)(p(x) ∨ q(x)) ⇒ r(x)

yang equivalen dengan

(∀x)(p(x) ⇒ r(x)) ∧ (q(x) ⇒ r(x))


BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 21

kebalikan pernyataan tersebut yakni r(x) ⇒ (p(x) ∨ q(x) tidak berlaku,


yakni
(∃x)r(x) ∧ p(x) ∧ q(x)

Bukti. Misal x < −1. Maka x + 1 < 0. Karena

(x − 2) < (x − 1) < x < x + 1 < 0

maka x, x − 1, x − 2 dan x + 1 semuanya negatif, sehingga x(x − 1)(x − 2)(x +


2) > 0. Sekarang misal 0 < x < 1. Maka x > 0 dan x − 1 < 0. Karena
x > 0, maka x + 1 > x > 0. Karena x − 1 < 0, maka x − 2 < x − 1 < 0.
Jadi x(x − 1)(x − 2)(x + 1) > 0.
Kebalikan pernyataan tersebut tidak berlaku, yakni ada suatu x sehingga
x(x − 1)(x − 2)(x + 2) > 0 dan x ≥ −1, dan x ≤ 0 atau x ≥ 1. Jadi suatu
contoh penyangkal adalah x = 3, sebab 3(3 − 1)(3 − 2)(3 + 1) > 0 dan
x = 3 ≥ 1.

Contoh 2.2.8. Buktikan bahwa x2 ≥ 1 jika dan hanya jika x ≤ −1 atau


x ≥ 1.
Catatan : Pernyataan yang akan akan dibuktikan berbentuk

p ⇔ (q ∨ r)

yang equivalen dengan

p ⇒ (q ∨ r). ∧ .(q ∨ r) ⇒ p

atau
p ∧ q̄ ⇒ r. ∧ .(q ∨ r) ⇒ p

Bukti. (⇒) Diketahui x2 ≥ 1. Misal x


−1, yakni x > −1, atau

x+1>0 (2.6)

Akan dibuktikan bahwa x ≥ 1. Karena x2 ≥ 1,maka x2 − 1 ≥ 0,yakni

(x − 1)(x + 1) ≥ 0 (2.7)

Pertidaksamaan (2.6) dan (2.7) mengakibatkan x − 1 ≥ 0. Jadi x ≥ 1.


(⇐) Diketahui x ≤ −1 atau x ≥ 1. Misal x ≤ −1. Maka x + 1 ≤ 0.
Jadi dipenuhi x − 1 < x + 1 ≤ 0. Akibatnya(x − 1)(x + 1) ≥ 0, yakni
x2 − 1 ≥ 0 atau x2 ≥ 1. Misal sekarang x ≥ 1. Maka x − 1 ≥ 0. Kadi
dipenuhi x + 1 > x − 1 ≥ 0. Akibatnya, (x − 1)(x + 1) ≥ 0, yakni x2 − 1 ≥ 0.
Jadi x2 ≥ 1
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 22

Contoh 2.2.9. Misal untuk suatu bilangan a, fungsi real f dan g memenuhi

f (x) = ax + g(x) (2.8)

untuk setiap x ∈ R. Buktikan bahwa pernyataan-pernyataan berikut equiv-


alen:

(i) ab = 0

(ii) f (b) = g(b)

(iii) b = 0 atau f = g

Catatan: Pernyataan yang akan dibuktikan berbentuk

p⇔q⇔r

Berdasarkan tautologi: p ⇒ q ⇒ r ⇒ p. ⇒ .p ⇔ q ⇔ r, maka untuk


membuktikannya cukup ditunjukkan bahwa p ⇒ q ⇒ r ⇒ p.

Bukti. ((i)⇒(ii)) Diketahui ab = 0. Akan dibuktikan f (b) = g(b). Dari


(2.8), didapatkan f (b) = ab + g(b). Karena ab = 0, maka f (b) = g(b).
((ii)⇒(iii)) Diketahui f (b) = g(b), akan dibuktikan b = 0 atau f = g.
Misal b 6= 0. Bukti selesai jika kita menunjukkan f = g. Karena (2.8) dan
f (b) = g(b), maka ab = 0. Karena b 6= 0, maka a = 0. Akibatnya,

f (x) = ax + g(x) = 0 + g(x) = g(x)

yang dipenuhi untuk sebarang x ∈ R. Jadi f = g.


((iii)⇒(i)) Diketahui b = 0 atau f = g. Akan ditunjukkan bahwa ab = 0.
Misal b = 0, maka jelas ab = 0. Misal sekarang f = g, yakni f (x) = g(x)
untuk x ∈ R. Jadi khususnya, f (1) = g(1). Karena (2.8) maka f (1) =
a.1 + f (1). Akibatnya a = 0 dan terbukti ab = 0.
Alternatif bukti (ii)⇒(iii) sebagai berikut. Diketahui f (b) = g(b) dan
f 6= g. Akan dibuktikan b = 0. Karena f 6= g, maka ada suatu bilangan real
c sehingga f (c) 6= g(c). Dari (2.8) maka

f (c) = ac + g(c)

yang berakibat ac = f (c) − g(c) 6= 0, yang berarti a 6= 0. Karena diketahui


f (b) = g(b), maka dari (2.8), ab = 0. Karena a 6= 0, maka pastilah b = 0.
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 23

2.3 Prinsip induksi matematika


Ada suatu metode khusus, disebut induksi matematika, yang digunakan un-
tuk membuktikan pernyataan tentang bilangan bulat n. Pada umumnya
pernyataan yang akan dibuktikan berbentuk seperti berikut ini

(∀n 3 N)P (n).

Pernyataan diatas dibaca ”untuk setiap n ∈ N, n bersifat P.”


Prinsip induksi matematika adalah sebagai berikut. Misal pernyataan
P memenuhi

(i) P (n) benar untuk n = n0 ; dan

(ii) Fakta P (n) benar untuk n = k ≥ n0 mengakibatkan P (n) benar untuk


n=k+1

Maka P (n) benar untuk setiap bulat n ≥ n0 .


Berikut adalah contoh-contoh pernyataan yang akan dibuktikan dengan
prinsip induksi matematika.

Contoh 2.3.1. Buktikan bahwa untuk setiap n ≥ 1,


n
X n(n + 1)
i=
2
i=1

n
X
dengan i = 1 + 2 + . . . + n.
i=1

Bukti. Akan dibuktikan dengan prinsip induksi matematika. Pertama per-


n
X n(n + 1)
hatikan bahwa pernyataan benar untuk n=1, sebab i=1=
2
i=1
untuk n=1. Misal sekarang pernyataan benar untuk n = k, yakni

k(k + 1)
1 + 2 + ... + k =
2
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 24

Maka dipenuhi,
k+1
X
i = 1 + 2 + . . . + k + (k + 1)
i=1
k(k + 1)
= + (k + 1)
2
k(k + 1) + 2(k + 1)
=
2
(k + 1)(k + 2)
=
2
(k + 1)((k + 1) + 1)
=
2
Jadi pernyataan benar untuk n = k +1. Jadi pernyataan benar untuk setiap
bilangan alam n.

Contoh 2.3.2. Buktikan bahwa untuk bilangan alam n, 5n + 2.3n−1 + 1


habis dibagi 8.

Bukti. Pernyataan benar untuk n = 1, sebab 51 + 2.31−1 + 1 = 8. Sekarang


misal pernyataan benar untuk n = k, yakni 5n + 2.3n − 1 + 1 habis dibagi
8. Akan dibuktikan bahwa pernyataan benar untuk n = k + 1. Perhatikan
bahwa,

5n+1 + 2.3(n+1)−1 + 1 = 5.5n + 3(2.3n−1 ) + 1


= 2.5n + 3.5n + 3(2.3n−1 ) + 3 − 2
= 2.5n + 3(5n + 2.3n−1 + 1) − 2
= 2(5n − 1) + 3(5n + 2.3n + 1)

yakni

5n+1 + 2.3n + 1 − 1 + 1 = 2(5 − 1)(5n−1 + 5n−2 + . . . + 5 + 1) + 3(5n + 2.3n + 1)


(2.9)
Perhatikan, menurut hipotesis induksi suku ke-2 ruas kanan pada (2.9)
habis dibagi 8. Karena suku pertamanya juga habis dibagi 8, maka 5n+1 +
2.3(n+1)−1 + 1 habis dibagi 8. Jadi pernyataan benar untuk n = k + 1. Jadi
pernyataan benar untuk setiap bilangan alam n.

Bentuk lain yang ekuivalen dengan prinsip induksi matematika dikenal


dengan prinsip induksi kuat. Prinsip induksi kuat adalah sebagai berikut.
Misal pernyataan P memenuhi
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 25

(i) P (n0 ) benar; dan

(ii) Fakta P (n) benar untuk n dengan n0 ≤ n ≤ k, mengakibatkan P (k+1)


benar.
Maka P (n) benar untuk setiap n ≥ n0 .
Berikut contoh-contoh permasalahan yang menggunakan prinsip induksi
kuat dalam penyelesaiannya.
Contoh 2.3.3. Tunjukkan bahwa setiap bilangan bulat n ≥ 2 dapat diny-
atakan sebagai hasil kali hingga dari bilangan-bilangan prima.

Bukti. Akan dibuktikan dengan induksi kuat. Jelas bahwa pernyataan benar
untuk n = 2. Misal sekarang penyataan benar untuk n dengan 2 ≤ n ≤ k.
Akan dibuktikan bahwa pernyataan benar untuk n = k + 1. Jika k + 1
prima, maka tidak ada yang harus dibuktikan, misal k + 1 bukan prima.
Maka k + 1 = rs untuk suatu bilangan-bilangan bulat r dan s dimana
2 ≤ r, s ≤ k. Karena hipotesis induksi, masing-masing r dan s merupakan
hasil kali hingga para prima. Jadi k + 1 merupakan hasil kali hingga para
prima, sehingga pernyataan benar untuk n = k +1. Menurut prinsip induksi
kuat, pernyataan benar untuk sebarang bilangan bulat n ≥ 2.

Contoh 2.3.4. Buktikan bahwa setiap bilangan alam n dapat dinyatakan


sebagai jumlah suku-suku berlainan dari barisan Fibonacci.

Bukti. Akan dibuktikan dengan prinsip induksi kuat. Jelas bahwa perny-
ataan benar untuk n = 1 (suku awal barisan fibonacci). Misal sekarang
pernyataan benar untuk setiap n dengan 1 ≤ n ≤ k. Akan ditunjukan
pernyataan juga benar untuk n = k + 1. Jika k + 1 adalah bilangan Fi-
bonacci(suku barisan Fibonacci), maka pernyataan benar untuk k + 1. Jika
k + 1 bukan bilangan Fibonacci, maka

Fm < k + 1 < F( m + 1) (2.10)

untuk suatu bilangan alam m. Tuliskan

k + 1 = Fm + (k + 1 − Fm ) (2.11)

Karena k + 1 − Fm < k + 1, maka menurut hipotesis induksi, suku ke-2


pada ruas kanan (2.11) merupakan jumlah suku-suku belainan dari barisan
Fibonacci. Karena k + 1 − Fm 6= Fm , maka terlihat dari (2.11) bahwa
pernyataan benar untuk k + 1.Jadi pernyataan benar untuk setiap bilangan
alam n.
Bab 3

Teori Himpunan

3.1 Sifat-sifat dasar himpunan


Suatu himpunan adalah kumpulan dari objek-objek; biasa disajikan dengan
huruf besar A, B, C, X, Y dan sebagainya. Anggota atau unsur (elemen) nya
lazim dituliskan dengan huruf kecil a, b, x, y dan sebagainya. Jika a adalah
unsur dari himpunan A, maka kita tuliskan a ∈ A. Sebaliknya, jika a bukan
unsur dari himpunan A maka ditulis a ∈ / A.
Suatu himpunan hingga, yakni himpunan yang banyak unsur-unsurnya
berhingga, dapat ditulis dengan cara mendaftarkan unsur-unsurnya dalam
sebuah kurung kurawal. Sebagai misal A := {1, 2, 3}, atau X := {x1 , x2 , x3 , x4 };
perhatikan di sini bahwa 2 ∈ A, x3 ∈ X, sedangkan 5 ∈ / A. Lalu perhatikan
juga bahwa 2 ∈ / X jika unsur-unsur dari X bukan bilangan.
Pendaftaran unsur-unsur suatu himpunan tidak dengan urutan tertentu.
Jadi, untuk himpunan A tersebut bisa ditulis A := {3, 1, 2} atau A :=
{2, 1, 3} dan sebagainya. Suatu himpunan yang terdiri atas tepat satu unsur
disebut singleton. Jadi, himpunan seperti {1}, {a} dan {0} masing-masing
adalah suatu singleton.
Secara umum, suatu himpunan, termasuk untuk himpunan tak hingga
(yakni yang unsur-unsurnya tak hingga), dituliskan dengan mendeskripsikan
apa yang disebut dengan syarat keanggotaannya. Penulisan ini berbentuk
{x/P (x)} atau {x : P (x)},
yang dibaca: himpunan semua x (dalam SPnya) sehingga x bersifat P . Di
sini P adalah syarat keanggotaannya. Sebagai misal, untuk SP bilangan-
bilangan real, himpunan semua bilangan di antara 0 dan 1 dapat dituliskan
sebagai
{x | 0 < x < 1}.

26
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 27

Jika N adalah himpunan semua bilangan alam, A pada contoh di atas dapat
ditulis sebagai
A := {x | x ∈ N, 0 < x < 4}
atau secara lebih singkat dengan

A := {x ∈ N | 0 < x < 4}.

Selain cara di atas, suatu himpunan dapat juga dituliskan dengan meru-
muskan unsur-unsurnya, yakni penulisan berbentuk

{P (x) | Q(x)}.

Sebagai misal, {4n | n ∈ N}, atau {n | n = 4k untuk suatu k ∈ N}. Pada


contoh pertama P (n) : ”4n” dan Q(n) : ”n ∈ N”, sedang pada contoh yang
kedua P (n) : ”n ∈ SP ” dan Q(n) : ”(∃k ∈ N)n = 4k”.
Dua himpunan A dan B dikatakan sama jika dan hanya jika setiap unsur
di A merupakan unsur di B, dan setiap unsur di B merupakan unsur di A;
secara simbolis: A = B jhj

x∈A⇔x∈B (3.1)

Sebagai misal, jika A := {x | x2 = 1}, B := {4n | n ∈ N}, C := {n | n =


4k untuk suatu k ∈ N}, D := {−1, 1} dan E := {0, −1, 1}. Maka, A = D,
B = C, dan A 6= E.
Himpunan A disebut suatu himpunan bagian (subhimpunan) dari him-
punan B, dituliskan A ⊆ B, jika dan hanya jika setiap unsur di A adalah
unsur di B; secara simbolis: A ⊆ B jhj

(∀x)x ∈ A ⇒ x ∈ B . . . (3.2)

Perhatikan bahwa untuk sebarang x, kalimat ”x ∈ A ⇒ x ∈ A” selalu benar,


sehingga A ⊆ A untuk sebarang himpunan A. Dari (3.1) dan (3.2) diperoleh

A = B jhj A ⊆ B dan B ⊆ A.

Pada contoh-contoh himpunan di atas, A ⊆ D dan D ⊆ A, juga B ⊆ C dan


C ⊆ B, D ⊆ E akan tetapi E * D. Pernyataan terakhir ini artinya: ada
suatu unsur di E yang bukan unsur D.
Himpunan yang tidak mempunyai unsur disebut himpunan kosong, laz-
im ditulis dengan ∅. Jadi, {x/x 6= x} = ∅, sebab tidak ada x yang memenuhi
x 6= x. Perhatikan bahwa himpunan kosong merupakan subhimpunan dari
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 28

sebarang himpunan, yakni ∅ ⊆ A untuk sebarang A, sebab kalimat ”(∀x).x ∈


∅ ⇒ x ∈ A” selalu bernilai benar mengingat x ∈ ∅ bernilai salah.
Irisan himpunan A dan B, ditulis dengan A ∩ B, artinya

A ∩ B := {x/x ∈ A dan x ∈ B}.

Gabungan himpunan A dan B, ditulis dengan A ∪ B, artinya

A ∪ B := {x/x ∈ A atau x ∈ B}.

Selisih A dan B, dituliskan A\B, artinya

A\B := {x/x ∈ A dan x ∈


/ B}.

Komplemen himpunan A, dituliskan dengan Ac , artinya

Ac := {x/x ∈ A},

yakni Ac = S\A dimana S adalah himpunan semesta. Perhatikan bahwa


A\B = A ∩ B c .

Contoh 3.1.1. Untuk SP bilangan-bilangan real, misal


1
A := {x | 0 ≤ x < 1} , B := {0, , 1, 2}.
2
Maka A ∩ B = {0, 21 }, A ∪ B = {x | 0 ≤ x < 1} ∪ {2}, Ac = {x | x <
0} ∪ {x | x ≥ 1}, A ∩ {x | 0 ≤ x ≤ 2} = A, A ∩ {1, 2} = ∅, A ∪ ∅ = A,
A ∩ ∅ = ∅, ∅c = SP, SPc = ∅.

Berikut adalah sifat-sifat dasar aljabar himpunan.

1. Sifat komutatif dari ∪ dan ∩:

a. A ∪ B = B ∪ A
b. A ∩ B = B ∩ A

2. Sifat asosiatif dari ∪ dan ∩:

a. (A ∪ B) ∪ C = A ∪ (B ∪ C)
b. (A ∩ B) ∩ C = A ∩ (B ∩ C)

3. Sifat distributif

a. A ∪ (B ∩ C) = (A ∪ B) ∩ (A ∪ C) ( ∪ terhadap ∩ )
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 29

b. A ∩ (B ∪ C) = (A ∩ B) ∪ (A ∩ C) (∩ terhadap ∪ )

4. a. A ∪ ∅ = ∅ ∪ A = A (netralitas ∅ terhadap ∪)
b. A ∩ S = S ∩ A = A (netralitas S terhadap ∩)

5. a. A ∪ Ac = Ac ∪ A = S
b. A ∩ Ac = Ac ∩ A = ∅

Sebagai catatan tambahan, di dalam sifat dasar himpunan berlaku apa yang
disebut prinsip dualitas, yang mengatakan bahwa sebarang persamaan yang
diturunkan dari 5 sifat dasar tersebut akan tetap berlaku jika operasi ∪ dan
∩ ditukar, serta ∅ dan S ditukar.
Kelima sifat dasar tersebut masing-masing dapat dibuktikan berdasarkan
definisi dari ∪, ∩, komplementasi, ∅ dan S, serta dengan menggunakan
tautologi-tautologi dalam logika kalimat. Sebagai misal, sifat 2(a) dapat
dibuktikan dengan memanfaatkan sifat asosiatifitas dari disjungsi, sebagai
berikut.

Bukti dari sifat 2(a). Untuk setiap x dipenuhi,

x ∈ (A ∪ B) ∪ C ⇔ x ∈ A ∪ B ∨ x ∈ C
⇔ (x ∈ A ∨ x ∈ B) ∨ x ∈ C
⇔ x ∈ A ∨ (x ∈ B ∨ x ∈ C)
⇔ x∈A∨x∈B∪C
⇔ x ∈ A ∪ (B ∪ C)

Jadi (A ∪ B) ∪ C = A ∪ (B ∪ C). (Sifat-sifat yang lain bisa dibuktikan sendiri


oleh para mahasiswa sebagai latihan.)

Selain kelima sifat-sifat dasar diatas, terdapat juga sifat-sifat dasar him-
punan lainnya yang merupakan turunan dari sifat-sifat dasar diatas. Di
bawah ini adalah sifat-sifat lanjutan, masing-masing dengan pasangan du-
alnya.

6. Sifat idempoten dari ∪ dan ∩:

a. A ∪ A = A
b. A ∩ A = A

7. Sifat dominasi S dan ∅ masing-masing terhadap ∪ dan ∩:

a. A ∪ S = S ∪ A = S
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 30

b. A ∩ ∅ = ∅ ∩ A = ∅

8. Sifat penyerapan:

a. A ∪ (A ∩ B) = A
b. A ∩ (A ∪ B) = A

9. Sifat De Morgan:

a. (A ∪ B)c = Ac ∩ B c
b. (A ∩ B)c = Ac ∪ B c

10. Komplementasi ganda: (Ac )c = A

11. Komplementasi dari ∅ dan S:

a. (∅)c = S
b. S c = ∅

Perhatikan bahwa bagian (b) pada masing-masing sifat diatas merupakan


pasangan dual dari bagian (a). Jika salah satu dari (a) atau (b) terbukti,
maka pasangan dualnya secara otomatis terbukti berdasarkan prinsip dual-
itas.
Dibawah ini kita akan membuktikan sifat-sifat lanjutan diatas.

Bukti sifat 6. Cukup dibuktikan bagian (a), yakni A ∪ A = A.

A∪A = (A ∪ A) ∩ S (sifat 4(b))


= (A ∪ A) ∩ (A ∪ Ac ) (sifat 5(a))
= A ∪ (A ∩ Ac ) (sifat 3(a))
= A∪∅ (sifat 5(b))
= A (sifat 4(a))

Jadi disimpulkan bahwa A ∪ A = A.

Bukti sifat 7. Cukup dibuktikan salah satu, katakan (b), yakni A ∩ ∅ = ∅.

A∩∅ = A ∩ (A ∩ Ac ) (sifat 5(b))


= (A ∩ A) ∩ Ac (sifat 2(b))
= A ∩ Ac (sifat 6(b))
= ∅ (sifat 5(b))

Jadi terbukti bahwa A ∩ ∅ = ∅.


BAB 3. TEORI HIMPUNAN 31

Bukti sifat 8. Akan dibuktikan bagian (a). Perhatikan, menurut sifat 7(b),
5(b) dan 2(b),
∅ = ∅∩B
= (Ac ∩ A) ∩ .B
= Ac ∩ (A ∩ B) (P1 )
Sehingga didapatkan

A = A∪∅ (sifat 4(a))


= A ∪ (Ac . ∩ .A ∩ B) (sifat P1 )
= A ∪ Ac . ∩ .A ∪ (A ∩ B) (sifat 3(a))
= S. ∩ .A ∪ (A ∩ B) (sifat 5(a))
= A ∪ (A ∩ B) (sifat 4(b))

Jadi, A ∪ (A ∩ B) = A.

Sebelum membuktikan sifat-sifat 9, 10, dan 11, akan dibuktikan dulu


lemma berikut ini. Lemma berikut ini akan dipakai dalam membuktikan
sifat-sifat yang lain.

Lemma 3.1.2. Misal diketahui A ∩ B = ∅ dan A ∪ B = S. Jika himpunan


B1 , memenuhi A ∩ B1 = ∅ dan A ∪ B1 = S, maka B1 = B.

Bukti. Misal A, B, dan B1 memenuhi hipotesis seperti pada lemma. Maka,

B1 = B1 ∪ ∅
= B1 ∪ (A ∩ B)
= B1 ∪ A. ∩ .B1 ∪ B
= S. ∩ .B1 ∪ B
= B1 ∪ B

Akan tetapi, juga

B1 = B1 ∩ S
= B1 ∩ (A ∪ B)
= B1 ∩ A. ∪ .B1 ∩ B
= ∅. ∪ .B1 ∩ B
= B1 ∩ B
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 32

sehingga menurut sifat penyerapan

B = B ∪ (B ∩ B1 )
= B ∪ (B ∪ B1 )
= B ∪ B. ∪ .B1
= B ∪ B1
= B1 .

Akibat 3.1.3. Untuk setiap himpunan A, ada dengan tunggal himpunan B


sehingga A ∩ B = ∅ dan A ∪ B = S.

Bukti sifat 9. Mudah dicek bahwa

AC ∪ B C . ∩ .A ∩ B = ∅ dan AC ∪ B C . ∪ .A ∩ B = S (3.3)

Akan tetapi menurut sifat 5,

(A ∩ B)C . ∩ .A ∩ B = ∅ dan (A ∩ B)C . ∪ .A ∩ B = S (3.4)

Maka menurut lemma di atas (A ∩ B)C = AC ∩ B C

Bukti sifat 10. Di satu pihak, AC ∩ A = ∅ dan AC ∪ A = S. Di lain pihak,


AC ∩(AC )C = ∅ dan AC ∪(AC )C = S, sehingga menurut lemma 3.1.2 diatas,
(AC )C = A.

Bukti sifat 11. Di satu pihak, ∅ ∩ S = ∅ dan ∅ ∪ S = S. Di lain pihak,


∅ ∩ ∅C = ∅ dan ∅ ∪ ∅C = S, sehingga menurut lemma 3.1.2, ∅C = S.

Sifat-sifat aljabar inklusi Melanjutkan sifat-sifat di atas, berikut ini


adalah sifat-sifat dasar dari inklusi ” ⊆ ”.

12. (a) Sifat refleksif: (∀A)A ⊆ A


(b) Sifat asimetris: (∀A)(∀B).A ⊆ B ∧ B ⊆ A ⇒ A = B
(c) Sifat transitif: (∀A)(∀B)(∀C).A ⊆ B ∧ B ⊆ C ⇒ A ⊆ C

Koleksi himpunan (himpunan yang unsur-unsurnya adalah himpunan) yang


memenuhi ketiga sifat-sifat diatas disebut suatu POSET (partially ordered
set) atau himpunan terurut parsial.

13. (a) (∀A)(∀B)A ⊆ A ∪ B ∧ B ⊆ A ∪ B ; dan


BAB 3. TEORI HIMPUNAN 33

(b) (∀C).A ⊆ C ∧ B ⊆ C ⇒ A ∪ B ⊆ C

Perhatikan bahwa sifat 13 mengatakan, untuk sebarang himpunan A dan


B, A ∪ B adalah ”batas atas terkecil ” dari A dan B.

14. (a) (∀A)(∀B)A ∩ B ⊆ A ∧ A ∩ B ⊆ B ; dan


(b) (∀C).C ⊆ A ∧ C ⊆ B ⇒ C ⊆ A ∩ B

Catatan bahwa sifat 14 mengatakan, unutk sebarang A dan B, A capB


adalah ”batas bawah terbesar” dari A dan B. Koleksi himpunan-himpunan
dengan relasi inklusi ” ⊆ ”, yang memenuhi sifat suatu POSET (Sifat
12) dan bahwa setiap dua unsurnya mempunyai batas atas terkecil sekali-
gus batas bawah terbesar (Sifat 13 dan 14), dikatakan memenuhi sifat-sifat
suatu lattice.
Sifat-sifat inklusi yang lain dapat diturunkan berdasarkan sifat-sifat him-
punan sebagai suatu lattice. Bukti masing-masing sifat 12, 13 dan 14 diser-
ahkan untuk mahasiswa sebagai latihan.

3.1.1 Hasil Ganda Kartesius


Suatu pasangan terurut atau (ordered set pair), dituliskan dengan (a, b),
adalah himpunan yang terdiri atas a dan b dengan urutan diperhatikan.
Jika {a, b} = {b, a}, maka (a, b) 6= (b, a) asalkan a 6= b.
Dua pasang terurut (a1 , b1 ) dan (a2 , b2 ) dikatakan sama, dituliskan (a1 , b1 ) =
(a2 , b2 ) jika a1 = a2 dan b1 = b2 .
Jika A dan B adalah himpunan-himpunan, maka hasil ganda kartesius
dari A dan B ditulis A × B adalah

A × B := {(x, y) | x ∈ A, y ∈ B}

Contoh 3.1.4. Misal A := {1, 2, 3} dan B := {−2, 0}. Maka

A × B = {(1, −2), (1, 0), (2, −2), (2, 0), (3, −2), (3, 0)}

dan
B × A = {(−2, 1), (−2, 2), (−2, 3), (0, 1), (0, 2), (0, 3)}
Perhatikan bahwa (0, 3) ∈
/ A × B akan tetap (0, 3) ∈ B × A. Jadi secara
umum, A × B 6= B × A.

Contoh 3.1.5. Misal [0, 1] := {x ∈ R | 0 ≤ x ≤ 1}. Maka

X := [0, 1] × R = {(x, y) | 0 ≤ x ≤ 1, y ∈ R}
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 34

y y y

X Y
0 x
x x
0 1 0 1

Gambar 3.1: Ilustrasi dari contoh 3.1.5.

Y := [0, 1] × [0, 1] = {(x, y) | 0 ≤ x ≤ 1, 0 ≤ y ≤ 1}


Z := R × R = {(x, y) | x, y ∈ R}
Notasi singkat dari R × R adalah R2 . Ilustrasi dari himpunan X, Y dan Z
dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Sifat 3.1.6. Misalkan A, B dan C adalah himpunan-himpunan sebarang.


Maka berlaku
(A ∪ B) × C = (A × C) ∪ (B × C)

Bukti. Untuk sebarang (x, y) berlaku

(x, y) ∈ (A ∪ B) × C ⇔ x ∈ A ∪ B ∧ y ∈ C
⇔ (x ∈ A. ∨ .x ∈ B) ∧ y ∈ C
⇔ (x ∈ A ∧ y ∈ C) ∨ (x ∈ B ∧ y ∈ C)
⇔ (x, y) ∈ A × C ∨ (x, y) ∈ B × C

(∀(x,y) )(x, y ∈ (A ∪ B) × C ⇔ (x, y) ∈ (A × C) ∪ (B × C)


∴ (A ∪ B) × C ⇔ (A × C) ∪ (B × C)

Pasangan terurut dapat diperluas menjadi n-pasangan terurut (n-tupel),


dituliskan
(a1 , a2 , . . . , an )
dengan urutan diperhatikan. Pasangan (a1 , a2 , . . . , an ) dan (b1 , b2 , . . . , bn )
dikatakan sama jika a1 = b1 , a2 = b2 , . . . , an = bn . Jika (A1 , A2 , . . . , Am )
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 35

adalah himpunan-himpunan, maka Hasil Ganda Kartesius dari para him-


punan tersebut dituliskan A1 × A2 × . . . × Am dimana

A1 × A2 × . . . × Am := {(x1 , x2 , . . . , xm ) | x1 ∈ A1 , x2 ∈ A2 , . . . , xm ∈ Am }
m
Y
Catatan: A1 × A2 × . . . × Am biasa disingkat dengan Ai .
i=1

3.1.2 Himpunan Kuasa (Power Set) dan indeks


Himpunan kuasa dari himpunan A, dituliskan 2A , adalah himpunan dari
semua subhimpunan dari A. Perhatikan, 2A memuat ∅ dan A sebagai unsur-
unsurnya.
Contoh 3.1.7. Jika A := {a, b, c}, maka

2A = {∅, {a}, {b}, {c}, {a, b}, {a, c}, {b, c}, {a, b, c}}

Sifat 3.1.8. Jika A terdiri atas n unsur, maka banyaknya unsur dari 2A
adalah 2n .
Bukti. Dibuktikan secara kombinatorik, sebagai berikut. Banyaknya him-
punan ∅ adalah 1. Banyaknya subhimpunan yang terdiri atas 1 unsur
adalah Cn1 , banyaknya subhimpunan yang terdiri dari 2 unsur adalah Cn2 ,
dan seterusnya. Banyaknya subhimpunan dengan n unsur adalah Cnn . Jadi

|2A | = 1 + Cn1 + . . . + Cnn = (1 + 1)n = 2n ,

dimana diketahui bahwa

(a + b)n = Cn0 an + Cn1 an−1 b + . . . + Cnk an−k bk + . . . + Cnn bn .

Catatan: Sifat tersebut dapat dibuktikan dengan cara lain (induksi).


Suatu himpunan yang unsur-unsurnya berupa himpunan lazim dise-
but koleksi atau keluarga himpunan-himpunan. Jadi himpunan kuasa
di atas salah satu contoh dari suatu koleksi himpunan-himpunan. Untuk
menuliskannya biasa digunakan apa yang disebut dengan himpunan in-
deks.
Jika I := {1, 2, 3}, maka koleksi himpunan {A1 , A2 , A3 } dapat ditulis
sebagai {Ai }i∈I , dengan I disini adalah himpunan indeksnya. Koleksi him-
punan tak hingga {A1 , A2 , . . . , Ak , . . .} dapat ditulis sebagai {Ai }i∈N . Jadi
N disini adalah himpunan indeksnya.
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 36

Jika I suatu himpunan indeks,


\ irisan semua Ai dengan i meliputi semua
unsur di I, dituliskan dengan Ai , adalah
i∈I
\
Ai := {x | x ∈ A − i, untuk semua i ∈ I},
i∈I

atau dengan kata lain.


∀i ∈ I, xinAi .
Jika I := {1, 2, 3} , maka
\
Ai = A1 ∩ A2 ∩ A3
i∈I
= {x | x ∈ A1 , x ∈ A2 , x ∈ A3 }
T
Perhatikan bahwa himpunan indeks I padaT i∈I Ai bisa himpunan apa saja,
termasuk I = ∅. Tetapi, apakah arti dari i∈∅ ?
\
x∈ Ai ⇔ (∀i)i ∈ ∅ ⇒ x ∈ Ai
| {z }
i∈∅ selalu benar
\
Jadi x ∈ Ai dipenuhi untuk sebarang x.
i∈∅
\
∴ Ai = S.
i∈∅

Jika I suatu himpunan indeks,Sgabungan semua Ai dengan i meliputi semua


unsur di I, dituliskan dengan i∈I Ai , adalah
[
Ai := {x | x ∈ Ai , untuk suatu i ∈ I},
i∈I

atau dengan kata lain,


(∃i ∈ I)x ∈ Ai .
[
Apakah arti ?
i∈∅ [
x∈ Ai ⇔ (∃i)i ∈ ∅ ∧ x ∈ Ai .
| {z }
i∈∅ selalu salah
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 37
[
Jadi x ∈ Ai tidak dipenuhi oleh x manapun.
i∈∅
[
∴ Ai = ∅.
i∈∅
S
Catatan:
T Jika I diketahui dalam suatu konteks pembicaraan,
S maka
T i∈I Ai
dan i∈I Ai kadang=kadang hanya dituliskan dengan Ai dan Ai .

Sifat 3.1.9. Di bawah ini merupakan perumuman sifat De Morgan.

(i)
!C
\ [
Ai = Ai C
i∈I i∈I

(ii)
!C
[ \
Ai = Ai C
i∈I i∈I

Bukti. Akan dibuktian bagian (i). Ambil sebarang x, maka berlaku


!C !
\ \
x∈ Ai ⇔x∈
/ Ai
i∈I i∈I
!C
\
⇔ Ai
i∈I

⇔ (∀i ∈ I)x ∈ Ai
⇔ (∃i ∈ I)x ∈
/ Ai
⇔ (∃i ∈ I)x ∈ (Ai )C
[
⇔x∈ Ai
i∈I
!C
\ [
Diperoleh (∀x)x ∈ Ai ⇔x∈ (Ai )C .
i∈I i∈I
!C
\ [
∴ Ai = Ai C .
i∈I i∈I
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 38

Berikut adalah contoh-contoh soal yang dapat anda pelajari dan ker-
jakan.
!
[ [
Contoh 3.1.10. Buktikan bahwa A ∪ Bi = (A ∩ Bi ).
i∈I i∈I
T  T
Contoh 3.1.11. Buktikan bahwa i∈I Ai × A = i∈I (Ai × A)

Jawab: Ambil sebarang (x, y)


\ \
(x, y) ∈ ( Ai ) × A ⇔ x ∈ Ai ∧ y ∈ A
i∈I i∈I
⇔ (∀i ∈ I)x ∈ Ai ∧ y ∈ A
⇔ (∀i ∈ I)(x, y) ∈ Ai × A
\
⇔ (x, y) ∈ (Ai × A)
i∈I

Jadi diperoleh:
\ \
(∀(x, y)(x, y) ∈ ( Ai ) × A ⇔ (x, y) ∈ (Ai × A)
i∈I i∈I

Maka didapatkan \ \
∴( Ai ) × A = (Ai × A)
i∈I i∈I

3.2 Relasi
Misalkan R adalah suatu relasi dalam semesta pembicaraan S dan a berada
dalam relasi R dengan b, maka dituliskan dengan aRb.

Contoh 3.2.1. Jika Semesta Pembicaraan (SP) adalah S yang terdiri atas
orang-orang dan R adalah relasi mencintai, maka untuk a, b ∈ S dituliskan
aRb jika dan hanya jika a mencintai b. Jika a tidak mencintai b, maka ditulis
aRb, yakni a tidak berada dalam relasi R dengan b.

Contoh 3.2.2. Jika SP adalah S yang terdiri atas bilangan-bilangan real,


dan R adalah relasi ” ≤ ” (lebih kecil atau sama dengan), maka aRb jika
dan hanya jika a ≤ b.
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 39

Relasi R dikatakan refleksif jika untuk setiap unsur x di semestanya


berlaku xRx, atau secara simbolis:

(∀x)xRx

Jadi R tidak refleksif jika dan hanya jika (∃x)xRx.

Contoh 3.2.3. Relasi mencintai pada contoh 3.2.1 di atas merupakan relasi
refleksif, sebab setiap orang mencintai dirinya sendiri.

Contoh 3.2.4. Relasi ” ≤ ” pada bilangan-bilangan juga bersifat refleksif


sebab untuk setiap x, benar bahwa x ≤ x.

Contoh 3.2.5. Relasi < pada bilangan-bilangan tidak bersifat refleksif se-
bab ada (sedikitnya satu) bilangan, sebutlah 1, yang bersifat 1 6< 1.

Contoh 3.2.6. Definisikan relasi R pada bilangan-bilangan tak nol sebagai


berikut:
1
aRb jika dan hanya jika a =
b
Maka pada umumnya aRa sebab kita dapat mencari a, misalnya a := 1/2
dimana a = 1/2 6= 1/a = 2. Jadi R tidak refleksif.

Relasi R dikatakan simetris jika untuk setiap unsur x dan y di semes-


tanya berlaku:
Jika xRy maka yRx.

Contoh 3.2.7. Dalam semesta orang-orang, ”pasangan menikah” adalah


relasi simetris, sebab untuk setiap orang a dan b, jika a pasangan menikah
b, maka b adalah pasangan menikah a. Perhatikan relasi ini tidak refleksif
sebab setiap orang tidak menikahi dirinya sendiri.

Contoh 3.2.8. Misal R adalah relasi pada bilangan-bilangan yang didefin-


isikan pada contoh 3.2.6, yakni aRb jika dan hanya jika a = 1/b. Maka
relasi R bersifat simetris, sebab untuk bilangan-bilangan tak nol a dan b,
jika a = 1b maka b = a1 .

Contoh 3.2.9. Relasi mencintai pada orang tidak simetris sebab tentunya
ada a yang mencintai b akan tetapi b tidak mencintai a.

Relasi R dikatakan transitif jika untuk setiap x, y dan z dalam semes-


tanya, berlakulah
Jika xRy dan yRz maka xRz.
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 40

Contoh 3.2.10. Relasi lebih tinggi diantara orang-orang adalah relasi tran-
sitif sebab jika a lebih tinggi daripada b, dan b lebih tinggi daripada c, maka
a lebih tinggi daripada c.

Contoh 3.2.11. Jika pada semesta bilangan-bilangan positif didefinisikan


R sbb:
aRb ⇔ 2a < b.
Akan diperiksa apakah R bersifat transitif. Diketahui aRb dan bRc, yakni
2a < b dan 2b < c, maka
c
2a < b < < c
2
sehingga 2a < c, yakni aRc.

Contoh 3.2.12. Relasi “mencintai” pada orang-orang tidak transitif.

Contoh 3.2.13. Relasi R pada bilangan-bilangan pada contoh 3.2.6 tidak


transitif (periksa!).

Sebuah relasi R yang bersifat refleksif, simetris, dan transitif disebut


relasi ekuivalensi. Berikut adalah contoh-contoh relasi ekuivalen.

Contoh 3.2.14. Relasi “tinggal dalam suatu RT” di antara orang-orang


dalam suatu desa.

Contoh 3.2.15. Relasi kesejajaran di antara garis-garis pada suatu bidang.

Contoh 3.2.16. Relasi kesebangunan di antara segitiga-segitiga dalam su-


atu bidang.

Contoh 3.2.17. Relasi kongruensi modulo n di antara bilangan-bilangan


bulat. Misalkan a dan b adalah bilangan-bilangan bulat, maka a dikatakan
berelasi dengan b (aRb) jika a kongruen dengan b modulo n (dimana n
adalah suatu bilangan alam yang dipilih sebelumnya). Definisi a kongruen
modulo n dengan b (disingkat a ≡ b(mod n)) adalah

a ≡ b(mod n) ⇔ a − b = kn untuk suatu bilangan bulat k.

Perlu kita buktikan bahwa relasi ini merupakan relasi ekuivalensi. Pertama-
tama akan dibuktikan sifat refleksifnya. Ambil sebarang bilangan bulat a
maka a − a = 0 = 0.n sehingga a ≡ a(mod n), maka aRa. Untuk sifat
transitif, misalkan diketahui a ≡ b(mod n) dan b ≡ c(mod n) maka a − b =
k1 .n dan b − c = k2 .n untuk suatu bilangan-bilangan bulat k1 dan k2 . Dari
dua persamaan tersebut, kita dapatkan a−c = k1 n+k2 n = (k1 +k2 )n dengan
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 41

S6
S5

S1

S4
...
S2

S3

Gambar 3.2: Himpunan semesta S dipartisi oleh S1 , S2 dan seterusnya

k1 + k2 adalah bilangan bulat sehingga a ≡ c(mod n). Maka terbukti sifat


transitif dari R. Terakhir, misalkan a ≡ b(mod n), maka a − b = kn untuk
suatu bilangan bulat k. Maka b − a = −(a − b) = −kn dengan −k adalah
bilangan bulat, sehingga b ≡ a(mod n). Terbukti bahwa R adalah relasi
simetris. Maka karena R mempunyai sifat refleksif, simetris dan transitif,
terbukti bahwa R adalah sebuah relasi ekuivalensi.
Misalkan I suatu himpunan indeks, maka koleksi himpunan-himpunan
tak kosong {Ai }i∈I disebut suatu partisi pada S jika memenuhi sifat berikut:
S
(i) i∈I Ai = S, dan

(ii) (∀i, j ∈ I)Ai ∩ Aj 6= ∅ ⇒ Ai = Aj .

Sifat 3.2.18. Suatu relasi ekuivalensi R pada suatu himpunan S 6= ∅ men-


gakibatkan suatu penggolongan (partitioning), yakni S terpartisi atas himpunan-
himpunan yang saling asing.
Bukti. Untuk setiap x ∈ S, definisikan

Sx := {s ∈ S | sRx}.

Perhatikan bahwa Sx 6= ∅ karena sedikitnya memuat x. Maka jika semua Sx


dikumpulkanS kita mempunyai koleksi-koleksi himpunan tak kosong {Sx }x∈S .
Jelas bahwa x∈S Sx = S. Akan dibuktikan bahwa

Sx ∩ Sy 6= ∅ ⇒ Sx = Sy

Misal Sx ∩ Sy 6= ∅. Akan dibuktikan bahwa Sx = Sy . Ambil s ∈ Sx . Karena


Sx ∩ Sy 6= ∅, maka terdapat z ∈ Sx ∩ Sy untuk suatu z, maka zRx dan zRy.
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 42

Z mod 5

1 16 2
7
11
-10 6 12
RT 2 RT 3 -5 111 17
RT 1 -4 -14 22 202
RT 4
0 -15 -9 -8
106 -3 257
-13
5 10
4 9
20 23 14 19
15 18
RT 5 RT 8 24 -11
28 13
1000 514 -6
RT 6 RT 7 25 8
-7
1500 338 69 -16
-2 -1
343 3
-17

Gambar 3.3: Kiri: Partisi yang disebabkan oleh relasi pada contoh 3.2.14.
Terlihat bahwa desa tersebut dapat dipartisi menjadi 8 buah RT. Kanan:
Partisi yang disebabkan oleh relasi pada contoh 3.2.17. Relasi disini adalah
kongruen modulo 5 dimana himpunan semua bilangan bulat dapat dipartisi
menjadi 5 buah himpunan yang saling asing.

Karena zRx dan R bersifat simetris, maka xRz. Karena xRz dan zRy, maka
menurut sifat transitif dari R, xRy. Lalu karena sRx dan xRy, maka sRy,
yakni s ∈ Sy . (∴ diperoleh : (∀s)s ∈ Sx ⇒ s ∈ Sy ). Jadi Sx ⊆ Sy . Dengan
cara yang sama, maka diperoleh juga Sy ⊆ Sx . Jadi Sx = Sy . (Diperoleh :
Sx ∩ Sy 6= ∅ ⇒ Sx = Sy ).

Relasi pada contoh 3.2.14 dan 3.2.17 akan menyebabkan partisi yang
diilustrasikan dalam Gambar 3.3.
Untuk x ∈ S, Sx disebut kelas ekuivalensi. Perhatikan bahwa karena
relasi ekuivalensi pada contoh 3.2.14 di atas, maka diperoleh konsep “sekam-
pung’,’ a dan b sekampung jhj mereka tinggal di RT yang sama. Pada contoh
3.2.15, diperoleh konsep “arah” karena 2 garis mempunyai arah yang sama
jika mereka sejajar. Pada contoh 3.2.16 diperoleh konsep “bentuk” dimana
dua segitiga mempunyai bentuk sama jika mereka sebangun. Dari contoh
3.2.17, yakni relasi kongruensi di antara bilangan-bilangan bulat, diperoleh
konsep bilangan bulat modulo n dimana dua bilangan bulat dikatakan sama
jika selisihnya merupakan suatu kelipatan dari n. Bilangan-bilangan bulat
modulo n lazim ditulis 0, 1, 2, ..., n − 1.
Seperti disebut pada sifat di atas, terhadap relasi ekuivalensi, suatu him-
punan S terbagi atas himpunan-himpunan yang saling asing yang disebut
kelas ekuivalensi. Unsur-unsur di kelas ekuivalensi yang sama dipandang se-
bagai unsur-unsur yang identik, yaitu mereka dipandang sama. Jadi dalam
relasi kongruen mod 5, 0 = 5 = 10 = −20, 1 = 6 = 4 = 16, 2 = −3 = 12
dsb. Dalam geometri bidang objek-objek yang berbentuk sama dipandang
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 43

A B A B

1 1
-1 -1
2 2
0 3 0 3
4 4
1 1
5 5

Gambar 3.4: Ilustrasi dari relasi yang didefinisikan pada 3.2.19. Kiri: Dia-
gram relasi R1 . Kanan: Diagram relasi R2 .

sebagai objek yang sama (tidak peduli bagaimana posisi dan letaknya).
Lalu, untuk keperluan suatu penggolongan, orang-orang yang tinggal sekam-
pung (seperti pada contoh 3.2.14)) dipandang sama. Demikianlah, pula,
kesamaan dalam matematika sering didefinisikan atas dasar penggolongan
oleh suatu relasi ekuivalensi. Dua unsur dikatakan sama jika mereka berada
dalam kelas ekuivalensi yang sama.

3.2.1 Konsep (abstrak) relasi


Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya, relasi selalu melibatkan dua pi-
hak. Secara umum, relasi dapat bekerja pada himpunan yang tidak harus
sama. Suatu relasi dari A ke B adalah suatu subhimpunan dari AxB (dis-
imbolkan R ⊆ AxB).
Contoh 3.2.19.
Misal A := {−1, 0, 1} dan B := {1, 2, 3, 4, 5}. Definisikan relasi R1 sebagai
berikut,
R1 := {(−1, 1), (1, 3), (1, 4), (1, 5)}.
R1 merupakan suatu relasi dari A ke B. Relasi yang lain dari A ke B
misalnya R2 sebagai berikut,
R2 := {(−1, 2), (0, 2), (1, 5)}
Ilustrasi secara diagram dari relasi R1 dan R2 dapat dilihat pada Gambar
3.4.
Jika A = B = S, maka relasi R ⊆ A × B = S × S adalah relasi yang
sudah kita bicarakan yang lalu (relasi dari S ke dirinya sendiri).
aRb ⇔ (a, b) ∈ R
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 44

S S S S

0 0 0 0
1 1
1 1
2 2 2 2

S S S S

0 0
0 0
1 1
1 1

2 2 2 2

Gambar 3.5: (Kiri atas) Diagram relasi contoh 3.2.20. (Kanan atas) Di-
agram relasi contoh 3.2.21. (Kiri bawah) Diagram relasi contoh 3.2.22.
(Kanan bawah) Diagram relasi contoh 3.2.23.

Dengan konsep “yang sekarang”, maka R refleksif jhj

(∀x) (x, x) ∈ R

dan R simetris jhj

(∀x)(∀y) (x, y) ∈ R ⇒ (y, x) ∈ R

dan yang terakhir R transitif jhj

(∀x)(∀y)(∀z) (x, y) ∈ R ∧ (y, z) ∈ R ⇒ (x, z) ∈ R

Contoh 3.2.20. Misalkan S := {0, 1, 2} adalah himpunan semesta dengan


relasi R yang didefinisikan sebagai berikut, aRb jhj a ≤ b. Maka penulisan
menurut konsep (abstrak) sekarang ini adalah R ⊆ SxS, yakni

R = {(0, 1), (0, 2), (1, 2), (0, 0), (1, 1), (2, 2)}
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 45

Contoh 3.2.21. Dengan S yang sama dengan contoh diatas, jika R didefin-
isikan sebagai aRb jhj b = a + 1, maka R tidak lain adalah R ⊆ SxS, dengan
R = {(0, 1), (1, 2)}.

Contoh 3.2.22. Sebelumnya pada contoh 3.2.17 bilangan-bilangan bulat


modulo n, yakni Zn := {0, 1, . . . , n − 1} dapat didefinisikan operasi “+”
dan “.” sebagai berikut,

a + b := a + b , a.b := ab

Sekarang, jika R seperti pada contoh 3.2.21, namun sekarang S := Z3 :=


{0, 1, 2} (himp. bilangan-bilangan bulat modulo 3), maka R ⊆ SxS adalah
R := {(0, 1), (1, 2), (2, 0)}.

Contoh 3.2.23. Jika S seperti pada contoh 3.2.22 diatas dan R didefin-
isikan xRy jhj y = x2 , maka R ⊆ SxS adalah R := {(0, 0), (1, 1), (2, 1)}.

Secara diagram, relasi-relasi pada contoh 3.2.20–3.2.23 dapat dilihat pada


Gambar 3.5.
Sekarang misalkan S adalah himpunan bilangan-bilangan real. Berikut
ini adalah contoh-contoh relasi pada S.

Contoh 3.2.24. Ra := {(x, y) | 0 ≤ x ≤ 1, y ∈ R}

Contoh 3.2.25. Rb := {(x, y) | x2 + y 2 = 1}

Contoh 3.2.26. Rc := {(x, y) | y = x + 1}

Contoh 3.2.27. Rd := {(x, y) | y = x2 }

Contoh 3.2.28. Re := {(x, y) | x2 = y 2 }

Contoh-contoh dari relasi ini dapat juga disajikan secara grafis, yang
dapat anda lihat pada Gambar 3.6, 3.7 dan 3.8

3.2.2 Fungsi
Fungsi dari himpunan A ke himpunan B adalah sebuah relasi f ⊆ AxB
dengan sifat sebagai berikut,

i) Setiap unsur di A mempunyai pasangan unsur di B, dengan kata lain

(∀a ∈ A)(∃b ∈ B) (a, b) ∈ f


BAB 3. TEORI HIMPUNAN 46

y y
1

0 1 x
x
0 1

Gambar 3.6: Penyajian secara grafis contoh relasi yang didefinisikan pada
contoh 3.2.24 (kiri) dan contoh 3.2.25 (kanan).

ii) Setiap unsur di A mempunyai pasangan tidak lebih dengan satu unsur
di B

(∀a ∈ A)(∀b1 , b2 ∈ B) (a, b1 ) ∈ f ∧ (a, b2 ) ∈ f ⇒ b1 = b2

Relasi R1 pada contoh 3.2.19 bukan merupakan fungsi, sedangkan relasi


R2 merupakan fungsi. Relasi-relasi pada contoh 3.2.20 dan 3.2.21 masing-
masing bukan fungsi, sedangkan relasi pada contoh 3.2.22 dan 3.2.23 masing-
masing merupakan fungsi. Pada contoh 3.2.26 dan contoh 3.2.27 masing-
masing merupakan fungsi relasi pada contoh 3.2.24, 3.2.25 dan 3.2.28 bukan
fungsi.
Suatu fungsi f dari A ke B, secara ekuivalen, dapat didefinisikan sebagai
aturan pengawanan yang mengaitkan setiap unsur di A ke tepat satu unsur
di B. Fungsi f dari A ke B lazim ditulis dengan

f :A→B

dengan A disebut domain dari f dan B disebut kodomain dari f . Jika


(a, b) ∈ f , maka dituliskan b = f (a); b disebut nilai fungsi f di a. Untuk
peubah x ∈ A, f (x) menyajikan rumus fungsi f . Jika dituliskan y = f (x),
maka x disebut peubah bebas dan y peubah tak bebas.

Contoh 3.2.29. Berikut adalah contoh-contoh penyajian fungsi.

1. Relasi R2 pada contoh 3.2.19 merupakan fungsi f : A → B dengan


f (−1) = 2, f (0) = 2, dan f (1) = 5.
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 47

y
y =x+1
y

1 y = x2
-1
0 x

x
-1 0 1

Gambar 3.7: Penyajian secara grafis contoh relasi yang didefinisikan pada
contoh 3.2.26 (kiri) dan contoh 3.2.27 (kanan).

2. Relasi R pada contoh 3.2.22 tidak lain adalah fungsi f : Z3 → Z3


dengan f (i) = i + 1.

3. Relasi pada contoh 3.2.23 adalah fungsi g : Z3 ⇒ Z3 dengan g(i) =


(i)2 .

4. Relasi pada contoh 3.2.26 tidak lain adalah fungsi f : R → R dengan


rumus f (x) = x + 1 atau y = x + 1.

5. Relasi pada contoh 3.2.27 juga merupakan fungsi, g : R → R dengan


g(x) = x2 .

Fungsi f : A → B dikatakan satu-satu atau injektif jika untuk setiap


x 6= y di A, f (x) 6= f (y); atau secara simbolis

(∀x, y ∈ A)f (x) = f (y) → x = y.

Masing-masing relasi pada contoh 3.2.22 dan 3.2.26 merupakan fungsi satu-
satu, sedangkan R2 pada contoh 3.2.19 dan relasi R pada masing-masing
contoh 3.2.23 dan 3.2.27 bukan merupakan fungsi satu-satu.
Fungsi f : A → B dikatakan pada atau surjektif jika untuk setiap b ∈ B,
ada a ∈ A sehingga b = f (a), atau secara simbolis,

(∀b ∈ B)(∃a∈A )b = f (a).

Relasi R pada masing-masing contoh 3.2.22 dan 3.2.26 merupakan fungsi


pada sedangkan fungsi pada contoh 3.2.23 dan 3.2.27 tidak pada.
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 48

x
-1 0 1

Gambar 3.8: Penyajian secara grafis contoh relasi yang didefinisikan pada
contoh 3.2.28.

Pada fungsi f : A → B, jika X ⊆ A, maka


f (X) := {f (x)/x ∈ X}
disebut bayangan atau peta fungsi f pada X. Jika Y ⊆ B, maka
f −1 (Y ) := {x ∈ Af (x) ∈ X}
disebut bayangan invers atau prapeta fungsi f pada Y . Jika X := A maka
f (X) = f (A) disebut range dari f .
Contoh 3.2.30. Pandang fungsi f : Z3 → Z3 dengan f (a) = (a)2 (lihat
contoh 3.2.23). Maka berlaku
f ({1, 2}) = {1},
f (Z3 ) = {0, 1},
−1
f ({1, 2}) = {1, 2},
f −1 ({0}) = {0}.
Contoh 3.2.31. Pandang fungsi f : R → R dengan f (x) = x2 . Jika
[a, b] := {x ∈ R | a 6 x 6 b} maka
f ([1, 2]) = [1, 4]
f (R = [0, ∞]
−1
f ([1, 4]) = [1, 2] ∪ [−2, −1].
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 49

Bukti. Dengan menggunakan notasi himpunan, f ([1, 2]) = {f (x) | x ∈ [1, 2]}.

x ∈ [1, 2] ⇔ 1 6 x 6 2 ⇒ 1 6 x2 6 4

Jadi kita dapatkan f ([1, 2]) = [1, 4]. Untuk f (R) = {f (x) | x ∈ R} =
{x2 | x2 > 0}. Jadi
x ∈ R ⇒ x2 > 0.
Terakhir, f −1 ([1, 4]) = {x ∈ R | f (x) ∈ [1, 4]}.

f (x) ∈ [1, 4] ⇔ x2 ∈ [1, 4]


⇔ 1 6 x2 6 4
⇔ x2 > 1 dan x2 > 4
⇔ x 6 −1 atau x > 1 dan − 2 6 x 6 4

Jadi didapatkan f −1 ([1, 4]) = [−2, −1] ∪ [1, 2].

Contoh 3.2.32. Misal f : R → R adalah fungsi dengan f (x) = (x − 3)2 .


Jika A := {x | x > 1}, maka

f (A) = [0, ∞]

f −1 (A) = (−∞, 2] ∪ [4, ∞)

Bukti. Akan dibuktikan f (A) = [0, ∞]. Pertama-tama, f (A) = {f (x) | x ∈


A} = {f (x) | x > 1}. Maka,

x > 1 ⇔ x − 3 > −2
⇔ −2 6 x − 3 6 0 atau x − 3 > 0
⇔ 0 6 (x − 3)2 6 4 atau (x − 3)2 > 0
⇔ 0 6 f (x) 6 4 atau f (x) > 0
⇔ f (x) > 0

Jadi didapatkan f (A) = {y/y > 0}.


Akan dibuktikan f −1 (A) = (−∞, 2] ∪ [4, ∞). Lihat bahwa f −1 (A) =
{x ∈ R | f (x) ∈ A}. Maka,

f (x) ∈ A ⇔ (x − 3)2 > 1


x − 3 6 −1 atau x − 3 > 1
x 6 atau x > 4

Jadi didapatkan f −1 (A) = {x | x 6 2} ∪ {x | x > 4}.


BAB 3. TEORI HIMPUNAN 50

3.2.3 Fungsi Komposisi


Misal f : A → B dan g : C → D masing-masing adalah fungsi dengan
Rf ∩ Dg 6= 0. Maka komposisi g ◦ f adalah fungsi dengan syarat g ◦ f :=
g(f (x)), ∀x ∈ Dg◦f dengan

Dg◦f = {x ∈ Df | f (x) ∈ Dg }

Misal f dan g adalah fungsi-fungsi real dengan f (x) = x2 dan g(x) =



1 − x. Maka,

Rf ∩ Dg = {y | y > 0} ∩ {x | x 6 1}
= {x | 0 6 x 6 1} = ∅

Catatan: Untuk menunjukkan bahwa Rf ∩ Dg 6= 0, selain dengan cara di


atas, bisa dipilih suatu x0 ∈ Df sehingga f (x0 ) ∈ Dg . Dalam hal ini, misal
dipilih x0 := 0 ∈ Df . Maka dipenuhi, f (x0 ) = f (0) = 0 ∈ Dg .
Rumus g ◦ f adalah sebagai berikut,
p
(g ◦ f )(x) = g(f (x)) = 1 − x2 , ∀x∈Dg◦f

dengan Dg◦f = {x ∈ Df | f (x) ∈ Dg }. Pertama-tama,

f (x) ∈ Dg ⇔ x2 ∈ Dg
⇔ x2 6 1
⇔ −1 6 x 6 1.

Dari persamaan-persamaan diatas didapatkan,

Dg◦f = Df ∩ {x| − 1 6 x 6 1}
= R ∩ {x| − 1 6 x 6 1}
= {x| − 1 6 x 6 1}

Catatan: Misal f dan g sama seperti di atas, kecuali bahwa f dibatasi pada
Df ∩ := {x|x > 0}. Maka rumus g ◦ f sama seperti di atas, akan tetapi
dengan

Dg◦f = Df ∩ {x| − 1 6 x 6 1}
= {x|0 6 x 6 1}

Perhatikan bahwa menghitung Dg◦f dibolehkan (benar) jika Df maupun Dg


adalah daerah-daerah definisi natural.
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 51

Contoh 3.2.33. Misal f adalah fungsi dengan

f (x) = (x − 3)2 , x≥1

(a) Jelaskan bahwa f ◦ f itu terdefinisi dengan mencari suatu x0 ∈ Df


sehingga f (x0 ) ∈ Df

(b) Rumuskan f ◦ f dengan menyajikan daerah definisinya

Df of := {x ∈ Df |f (x) ∈ Df }.

3.2.4 Fungsi Restriksi (Pembatasan) dan fungsi invers


Misal f : A → B suatu fungsi, fungsi restriksi f pada A1 ⊆ A, dituliskan
dengan f |A1 , adalah fungsi

f1 :f |A1 : A1 → B,

dengan f1 (x) = f (x) untuk setiap x ∈ A1 .

1. Fungsi restriksi dari f : R → R, f (x) = x2 pada A := {x | x > 0}


adalah fungsi dengan rumus yang sama dengan f , dengan domain A.

2. Fungsi restriksi dari f : R → R, f (x) = sin x pada A := {x | − π2 ⊆ x ⊆


π
2 } adalah funsi dengan rumus yang sama dengan f , dengan domain
A.

Perhatian: Pada masing-masing contoh 1) dan 2) tersebut, fungsi f tidak


satu-satu, akan tetapi fungsi restriksinya adalah fungsi satu-satu.
Misal f := A → B adalah fungsi bijektif (satu-satu dan pada). Fungsi
invers dari B ke A, dituliskan f −1 : B → A, adalah fungsi dengan sifat,
untuk setiap b ∈ B, maka f −1 (b) = a jika f (a) = b.

1. Misal f : R → R dengan

x2

jika x > 0
f (x) :=
−x2 jika x < 0

Maka f bijektif dan inversnya adalah f −1 (x) : R → R dengan


 √
−1
f (x) = √x jika x > 0
− −x jika x < 0
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 52

2. Fungsi f : R → R dengan f (x) = x3 (merupakan fungsi bijektif)



mempunyai inversnya adalah f −1 : R → R dengan f −1 = 3 x.

Sifat 3.2.34. Misalkan f : A → B, g : C → D merupakan fungsi-fungsi


dengan Rf ∩ Dg 6= 0, (maka g ◦ f terdefinisi). Misalkan pula H ⊆ D maka
(g ◦ f )−1 (H) = f −1 (g −1 (H)).

Bukti. Untuk setiap x ∈ A, berlaku

x ∈ (g ◦ f )−1 (H) ⇔ (g ◦ f )(x) ∈ H


⇔ g(f (x)) ∈ H
⇔ f (x) ∈ g −1 (H)
⇔ x ∈ f −1 (g −1 (H))

Maka diperoleh: (∀x∈A )x ∈ (g ◦ f )−1 (H) ⇔ x ∈ f −1 (g −1 (H)). jadi terbukti


bahwa (g ◦ f )−1 (H) = f −1 (g −1 (H))

Anda mungkin juga menyukai