Haryono Tjandra
KVI Saputra
ii
ISBN . . .
. . . Publications
To my students
iii
Pengantar
Salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa ketika mereka baru
pertama kali masuk ke tingkat perguruan tinggi adalah cara berpikir. Di
dalam buku ini, mahasiswa tingkat satu program studi Matematika akan dia-
jarkan cara berpikir yang sistematis, cara membuktikan pernyataan-pernyataan
matematika dan aplikasinya di dalam teori himpunan. Buku ini merupakan
dasar dari setiap kuliah-kuliah yang akan mereka ambil di tingkat-tingkat
selanjutnya. Walaupun buku ini dibuat untuk mahasiswa matematika, buku
ini dapat juga dipelajari oleh mahasiswa dari program studi yang lain, yang
juga banyak menggunakan matematika di dalam bidang ilmunya.
iv
Daftar Isi
1 Pengantar Logika 1
1.1 Kalimat matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Penarikan kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
1.3 Kalimat terbuka dan tautologi . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1.4 Kuantor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
2 Bukti Matematika 16
2.1 Bukti Lansung . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
2.2 Bukti Tak Lansung . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
2.2.1 Metode kontradiksi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
2.2.2 Metode kontrapositif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
2.3 Prinsip induksi matematika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
3 Teori Himpunan 26
3.1 Sifat-sifat dasar himpunan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
3.1.1 Hasil Ganda Kartesius . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
3.1.2 Himpunan Kuasa (Power Set) dan indeks . . . . . . . 35
3.2 Relasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 38
3.2.1 Konsep (abstrak) relasi . . . . . . . . . . . . . . . . . 43
3.2.2 Fungsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45
3.2.3 Fungsi Komposisi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50
3.2.4 Fungsi Restriksi (Pembatasan) dan fungsi invers . . . 51
v
Bab 1
Pengantar Logika
3. Bagi yang berumur kurang dari 17 tahun dilarang menonton film itu.
1
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 2
Implikasi
p q p⇒q
B B B
B S S
S B B
S S B
Jadi, suatu implikasi bernilai benar jika anteseden salah atau konsekuen
benar. Dalam percakapan sehari-hari, hubungan antara anteseden dan kon-
sekuen pada suatu implikasi pada umumnya berupa janji, sebab-akibat ataupun
suatu tanda. Dalam matematika, meskipun suatu implikasi sering dibangun
berdasarkan hubungan sebab-akibat antara anteseden dan konsekuennya, se-
cara umum hubungan antara keduanya tidak harus ada. Jadi, meski terasa
aneh menurut percakapan sehari-hari, secara matematis, kalimat semacam
“jika pohon itu tinggi, maka gedung itu indah” logis adanya, sebab nilai
kebenarannya semata-mata hanya ditentukan berdasarkan tabel nilai tanpa
mensyaratkan adanya hubungan apapun antara p dan q. Tabel implikasi
dibuat sedemikian rupa sehingga mencakup seluas mungkin aspek penger-
tian percakapan sehari-hari maupun aspek matematisnya.
Semua P adalah Q
semua Q adalah R
semua P adalah R
(iii) Er falso sequaitur quaodlibet: Jika dari pernyataan p yang salah, den-
gan cara-cara yang sahih diturunkan q (tanpa menggunakan kalimat-
kalimat yang salah yang lainnya, selain p sendiri), maka tidak dapat
disimpulkan tentang nilai kebenaran dari q.
Perhatikan contoh-contoh penarikan kesimpulan berikut:
1 Semua orang Belanda adalah orang Eropa
Semua orang Eropa adalah manusia
Maka menurut modus Barbara: Semua orang Belanda adalah manusia.
Jadi, “p jika dan hanya jika q” benar, jika p dan q mempunyai nilai kebenaran
yang sama. Selanjutnya perhatikan tabel berikut:
p q p⇒q q⇒p (p ⇒ q) ∧ (q ⇒ p)
B B B B B
B S S B S
S B B S S
S S B B B
2. x2 ≤ 1 ⇔ x ≤ 1 ∧ x ≥ −1 (biasanya ditulis: −1 ≤ x ≤ 1)
2. (x + 1)2 = 4x.
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 6
3. (x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 .
“Mahasiswa”, “x”, dan “y” pada masing-masing kalimat tersebut adalah
contoh dari apa yang disebut sebagai peubah, yakni lambang dari unsur
sebarang dalam suatu SP. selanjutnya, perhatikan kalimat-kalimat berikut:
4. Ana tidak boleh malas belajar.
6. (1 + 1)2 = 4.1.
7. ( 12 + 12 )2 = 4. 12
8. (2 + 3)2 = 22 + 2.2.3 + 32
Maka, “Ana” dan “Bejo” pada (4) dan (5), “1” dan “ 12 ” pada (6) dan
(7), serta pasangan “2” dan “3” pada (8), masing-masing disebut suatu
konstanta yakni lambang dari unsur tertentu dalam suatu SP.
Perhatikan bahwa kalimat 1) bukanlah suatu pernyataan sebab tidak
deklaratif sedangkan kalimat 2) merupakan pernyataan jika x diganti dengan
konstanta: bernilai benar jika x diganti 1 (contoh 6) dan salah jika x diganti
1
2 (contoh 7). Kalimat 3) merupakan pernyataan yang bernilai benar untuk
setiap penggantian peubah-peubahnya dengan konstanta-konstanta (contoh
8). Kalimat 1), 2), dan 3) adalah contoh-contoh dari suatu kalimat terbuka,
yakni kalimat yang memuat peubah sehingga nilai kebenarannya belum bisa
ditentukan.
Simbol-simbol p, q atau r (huruf-huruf kecil) dalam semesta pernyataan-
pernyataan, seperti yang sudah kita gunakan selama ini, merupakan peubah-
peubah pernyataan. Pada SP pernyataan-pernyataan, suatu bentuk kalimat
terbuka yang bernilai benar untuk setiap penggantian peubah-peubahnya
(dengan konstanta-konstanta) disebut tautologi. Contoh-contoh tautologi:
(1) (p ⇔ q) ⇔ (p ⇔ q) ∧ (q ⇔ p)
(p ⇔ q ∧ q ⇔ r) ⇒ (p ⇔ r)
(ii) p ∨ p ⇒ (p ∧ p)
Melanjutkan contoh-contoh (1) sampai dengan (6) di atas, berikut ini
adalah tautologi-tautologi dasar lainnya yang semuanya menyajikan rumus-
rumus dalam logika kalimat (1 dan 0 masing-masing melambangkan suatu
tautologi dan kontradiksi).
(7) Tertium non datur (the law of the excluded middle) : p ∨ p ⇔ 1
1.4 Kuantor
Perhatikan kalimat
(f) (∃x)(∃y)(x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 (dibaca : ada suatu x dan ada suatu
y sehingga (x + y)2 = x2 + 2xy + y 2 )
Perhatikan bahwa (a) benar, (b) salah sedangkan (c) sampai dengan (f)
semuanya benar.
Di sini kita mempunyai kesepakatan cara menulis secara berurut dari
garis yang paling kuat ke yang paling lemah daya ikatnya: kuantor-kuantor,
∧, ∨, ⇒ atau ⇔ (dua yang terakhir ini sama kuat). Contoh-contoh:
x2 − y 2 = (x − y)(x + y)
(∀x)(∀y)(x2 − y 2 ) = (x − y)(x + y)
Dalam hal ini, pembubuhan suatu kuantor sering diperlukan hanya untuk
mempertegas.
Kita dapat membaca dan mengartikan kalimat-kalimat berkuantor den-
gan kata-kata biasa. Pandang kalimat-kalimat berikut:
1. (∀x)(∃y)y > x
2. (∃x)(∀y)y > x
3. (∀x)(∃y) x = y ⇔ y = x
5. (∃x)(∀y) x + y = y + x = y
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 11
6. (∀x)(∃y) x + y = y + x = 0
7. (∃z)(∀x)(∀y) xy = z ⇒ x = z ∨ y = z
8. (∀x)(∀y)(∃z) xz = y
9. (∃x)(∀y) xy = y
1. Untuk setiap x ada suatu y sehingga y > x, artinya: tidak ada bilangan
real yang terbesar.
2. Ada suatu y sehingga untuk setiap x, y > x artinya: ada bilangan real
yang terbesar.
10. Untuk setiap x dan y, jika x 6= y, maka x < y atau y < x, artinyan:
setiap dua bilangan dapat dibandingkan.
Karena rumus tersebut tidak hanya berlaku untuk suatu predikat P saja,
maka P biasa kita ganti dengan peubah predikat yang biasa ditulis dengan
huruf kecil f,g,h dsb. Jadi kita punya sifat berikut.
Sifat: (∃x)(∃y)g(x, y) ⇔ (∃y)(∃x)g(x, y) Demikian juga kita mempunyai
sifat berikut. Sifat: (∀x)(∀y)g(x, y) ⇔ (∀y)(∀x)g(x, y)
Namun, kita tidak menjumpai situasi yang sama untuk penukaran ter-
hadap kuantor-kuantor berlainan jenis. Perhatikan kalimat-kalimat berikut
untuk SP bilangan-bilangan bulat :
(∀x)(∃y)x + y = y + x = 0 (1.3)
(∃y)(∀x)x + y = y + x = 0 (1.4)
Kalimat (1.3) menyatakan bahwa setiap bilangan bulat mempunyai lawan
(inverse penjumlahan), sedang kalimat (1.4) menyatakan bahwa ada suatu
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 13
bilangan bulat yang merupakan lawan dari semua bilangan bulat. Per-
hatikan bahwa yang pertama benar dan yang kedua salah, sehingga ked-
uanya tidak ekuivalen. Demikian, jika R suatu relasi, maka secara umum
kalimat-kalimat berikut tidak ekuivalen:
(∀y)(∃x)R(x, y) (1.5)
(∃y)(∀x)R(x, y) (1.6)
Dengan (1.5), dikatakan bahwa kuantor universal digunakan secara dis-
tributif, sedangkan (1.6) digunakan secara kolektif. Sekarang pandang kali-
mat (1.5) dan (1.5) tersebut dengan
SP := {x | x adalah bilangan 1 sampai dengan 10 }
Lalu definisikan R adalah relasi ” ≤ ”. Maka, (1.6) menyatakan bahwa ada
suatu bilangan terbesar dalam SP, yang bernilai benar karena 10 memenuhi
adalah bilangan terbesar. Dengan mudah terlihat bahwa (1.5) juga benar,
sebab untuk setiap x ∈ SP , ada suatu y (yakni 10 tadi) sehingga x ≤ 10.
Demikianlah, sifat berikut berlaku umum untuk sembarang predikat q.
Sifat: (∃y)(∀x)g(x, y) =⇒ (∀x)(∃y)g(x, y) Namun ingat bahwa kebalikan
sifat tersebut tidak berlaku, seperti yang sudah didiskusikan lewat contoh
kalimat (1.3) dan (1.4) diatas.
Selanjutnya, kita catat suatu pengamatan penting terhadap pekerjaan
mengingkar suatu kalimat berkuantor. Perhatikan bahwa mengingkari se-
mua unsur SP mempunyai sifat g sama dengan mengatakan bahwa ada suatu
unsur (paling sedikit satu) dalam SP yang tidak mempunyai sifat g; yang
secara simbolis kita tulis:
(∀x)g(x) ⇐⇒ (∃x)g(x) (1.7)
Mengingkari ada suatu unsur SP yang memiliki sifat g sama dengan men-
gatakan bahwa semua unsurnya tidak memiliki sifat g; yang secara simbolis
kita tulis:
(∃x)g(x) ⇐⇒ (∀x)g(x) (1.8)
Tampak dari (1.7) dan (1.8) bahwa pekerjaan mengingkar adalah memper-
pendek tanda negasi dan mengganti jenis kuantor. Misalkan SP adalah
himpunan bilangan-bilangan alam, misalnya G(x, y, z) menyatakan “z ter-
letak di antara x dan y”. Memanfaatkan aturan di atas , maka negasi dari
kalimat berikut ini
(∀x)(∀y).x 6= y ⇒ (∃z)G(x, y, z)
BAB 1. PENGANTAR LOGIKA 14
adalah
(∀x)(∀y).x 6= y ⇒ (∃z)G(x, y, z)
⇔ (∃x)(∀y).x 6= y ⇒ (∃z)G(x, y, z)
⇔ (∃x)(∃y).x 6= y ⇒ (∃z)G(x, y, z)
⇔ (∃x)(∃y).x 6= y ∧ (∃z)G(x, y, z)
⇔ (∃x)(∃y).x 6= y ∧ (∀z)G(x, y, z)
Terlihat, ingkaran terhadap kalimat pertama adalah: tidak benar bahwa un-
tuk setiap pasang bilangan-bilangan alam yang berlainan ada (dapat dite-
mukan) suatu bilangan alam yang terletak di antaranya; sedangkan pada
kalimat terakhir terbaca bahwa ada suatu pasang bilangan-bilangan yang
berlainan sedemikian sehingga tidak ada bilangan alam yang terletak di-
antaranya. Demikian, kalimat pertama dan terakhir memang tampak mem-
punyai arti yang sama.
Kita mempunyai penulisan-penulisan singkat dari bentuk-bentuk terten-
tu kalimat berkuantor. Kalimat
Ada tepat satu x yang mempunyai sifat P secara simbolis dapat ditulis:
yang dibaca ”Ada suatu x yang bersifat P , dan untuk setiap y dimana y
bersifat P , maka y = x”. Karena bentuk tersebut lazim muncul dalam
matematika, maka biasa disingkat menjadi
(∃!x)P (x)
dan
Semua x yang positif bersifat P (1.10)
Perhatikan bahwa (1.9) menyatakan adanya suatu x yang positif dan sekali-
gus bersifat P , sehingga ekspresi simbolisnya
Bentuk (1.11) dan (1.12) tersebut lazim muncul dalam matematika; masing-
masing dituliskan secara singkat menjadi:
(∃x > 0)P (x)(dibaca: ada suatu x positif yang bersifat P ) dan
Bukti Matematika
1. Dua garis di suatu bidang sejajar atau berpotongan di tepat satu titik
2. 1 ≥ 0.
16
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 17
u+v =1 (2.3)
2u + v = 2 (2.4)
Jika masing-masing ruas pada (2.4) dikurangi dengan masing-masing
ruas pada (2.3), maka (2u + v) − (u + v) = 2 − 1, sehingga u = 1.
Dengan menggantikan u = 1 pada persamaan (2.3), diperoleh v = 0.
Jadi u = 1 = x dan v = 0 = y.
Bukti. (Soal ini sudah kita buktikan dengan bukti lansung; disini akan kita
buktikan dengan
√ kontradiksi). Andaikan
√ a ≥ 0 dan b ≥ 0, akan tetapi
1
2 (a + b) < ab. Maka a + b < 2 ab, sehinggga (a + b)2 < 4ab, yakni
a2 + 2ab + b2 < 4ab. Akibatnya, (a − b)2 < 0 (padahal (a − b)2 ≥ 0).
Didapatkan suatu kontradiksi.
Bukti. (Kontrapositif dari soal secara simbolis adalah a > b ⇒ (∃c ≥ 0)a
b + c). Misal a > b. Misal c0 := a−b2 . Maka dipenuhi c0 > 0 dan (a − b) >
a−b
2 = c0 . Jadi ada suatu c0 ≥ 0 sehingga a
b + c.
Berikut ini adalah contoh-contoh soal dan jawab (bukti) dari pelbagai
bentuk proposisi yang lazim ditemui sehari-hari.
Contoh 2.2.6. Tunjukkan bahwa, jika x < −1, maka x2 > 1. Tunjukkan
juga bahwa kebalikan pernyataan tersebut tidak berlaku.
Bukti. Diketahui x < −1. Akan ditunjukkan bahwa x2 > 1. Karena x < −1,
maka x + 1 < 0. Perhatikan bahwa x − 1 = (x + 1) − 2 < −2 < 0,
akibatnya, (x − 1)(x + 1) > 0. Jadi x2 − 1 > 0, yakni x2 > 1. Kebalikan
dari pernyataan ini tidak berlaku, yakni ada suatu x sehingga x2 > 1 dan
x ≥ −1, ambil, sebagai contoh, x := 2. Maka dipenuhi x2 = 22 = 4 > 1 dan
x = 2 ≥ −1.
Contoh 2.2.7. Tunjukkan, jika x < −1 atau 0 < x < 1, maka x(x − 1)(x −
2)(x + 1) > 0. Tunjukkan juga bahwa kebalikannya tidak berlaku.
Catatan : Contoh soal berbentuk ini berbentuk
p ⇔ (q ∨ r)
p ⇒ (q ∨ r). ∧ .(q ∨ r) ⇒ p
atau
p ∧ q̄ ⇒ r. ∧ .(q ∨ r) ⇒ p
x+1>0 (2.6)
(x − 1)(x + 1) ≥ 0 (2.7)
Contoh 2.2.9. Misal untuk suatu bilangan a, fungsi real f dan g memenuhi
(i) ab = 0
(iii) b = 0 atau f = g
p⇔q⇔r
f (c) = ac + g(c)
n
X
dengan i = 1 + 2 + . . . + n.
i=1
k(k + 1)
1 + 2 + ... + k =
2
BAB 2. BUKTI MATEMATIKA 24
Maka dipenuhi,
k+1
X
i = 1 + 2 + . . . + k + (k + 1)
i=1
k(k + 1)
= + (k + 1)
2
k(k + 1) + 2(k + 1)
=
2
(k + 1)(k + 2)
=
2
(k + 1)((k + 1) + 1)
=
2
Jadi pernyataan benar untuk n = k +1. Jadi pernyataan benar untuk setiap
bilangan alam n.
yakni
Bukti. Akan dibuktikan dengan induksi kuat. Jelas bahwa pernyataan benar
untuk n = 2. Misal sekarang penyataan benar untuk n dengan 2 ≤ n ≤ k.
Akan dibuktikan bahwa pernyataan benar untuk n = k + 1. Jika k + 1
prima, maka tidak ada yang harus dibuktikan, misal k + 1 bukan prima.
Maka k + 1 = rs untuk suatu bilangan-bilangan bulat r dan s dimana
2 ≤ r, s ≤ k. Karena hipotesis induksi, masing-masing r dan s merupakan
hasil kali hingga para prima. Jadi k + 1 merupakan hasil kali hingga para
prima, sehingga pernyataan benar untuk n = k +1. Menurut prinsip induksi
kuat, pernyataan benar untuk sebarang bilangan bulat n ≥ 2.
Bukti. Akan dibuktikan dengan prinsip induksi kuat. Jelas bahwa perny-
ataan benar untuk n = 1 (suku awal barisan fibonacci). Misal sekarang
pernyataan benar untuk setiap n dengan 1 ≤ n ≤ k. Akan ditunjukan
pernyataan juga benar untuk n = k + 1. Jika k + 1 adalah bilangan Fi-
bonacci(suku barisan Fibonacci), maka pernyataan benar untuk k + 1. Jika
k + 1 bukan bilangan Fibonacci, maka
k + 1 = Fm + (k + 1 − Fm ) (2.11)
Teori Himpunan
26
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 27
Jika N adalah himpunan semua bilangan alam, A pada contoh di atas dapat
ditulis sebagai
A := {x | x ∈ N, 0 < x < 4}
atau secara lebih singkat dengan
Selain cara di atas, suatu himpunan dapat juga dituliskan dengan meru-
muskan unsur-unsurnya, yakni penulisan berbentuk
{P (x) | Q(x)}.
x∈A⇔x∈B (3.1)
(∀x)x ∈ A ⇒ x ∈ B . . . (3.2)
A = B jhj A ⊆ B dan B ⊆ A.
Ac := {x/x ∈ A},
a. A ∪ B = B ∪ A
b. A ∩ B = B ∩ A
a. (A ∪ B) ∪ C = A ∪ (B ∪ C)
b. (A ∩ B) ∩ C = A ∩ (B ∩ C)
3. Sifat distributif
a. A ∪ (B ∩ C) = (A ∪ B) ∩ (A ∪ C) ( ∪ terhadap ∩ )
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 29
b. A ∩ (B ∪ C) = (A ∩ B) ∪ (A ∩ C) (∩ terhadap ∪ )
4. a. A ∪ ∅ = ∅ ∪ A = A (netralitas ∅ terhadap ∪)
b. A ∩ S = S ∩ A = A (netralitas S terhadap ∩)
5. a. A ∪ Ac = Ac ∪ A = S
b. A ∩ Ac = Ac ∩ A = ∅
Sebagai catatan tambahan, di dalam sifat dasar himpunan berlaku apa yang
disebut prinsip dualitas, yang mengatakan bahwa sebarang persamaan yang
diturunkan dari 5 sifat dasar tersebut akan tetap berlaku jika operasi ∪ dan
∩ ditukar, serta ∅ dan S ditukar.
Kelima sifat dasar tersebut masing-masing dapat dibuktikan berdasarkan
definisi dari ∪, ∩, komplementasi, ∅ dan S, serta dengan menggunakan
tautologi-tautologi dalam logika kalimat. Sebagai misal, sifat 2(a) dapat
dibuktikan dengan memanfaatkan sifat asosiatifitas dari disjungsi, sebagai
berikut.
x ∈ (A ∪ B) ∪ C ⇔ x ∈ A ∪ B ∨ x ∈ C
⇔ (x ∈ A ∨ x ∈ B) ∨ x ∈ C
⇔ x ∈ A ∨ (x ∈ B ∨ x ∈ C)
⇔ x∈A∨x∈B∪C
⇔ x ∈ A ∪ (B ∪ C)
Selain kelima sifat-sifat dasar diatas, terdapat juga sifat-sifat dasar him-
punan lainnya yang merupakan turunan dari sifat-sifat dasar diatas. Di
bawah ini adalah sifat-sifat lanjutan, masing-masing dengan pasangan du-
alnya.
a. A ∪ A = A
b. A ∩ A = A
a. A ∪ S = S ∪ A = S
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 30
b. A ∩ ∅ = ∅ ∩ A = ∅
8. Sifat penyerapan:
a. A ∪ (A ∩ B) = A
b. A ∩ (A ∪ B) = A
9. Sifat De Morgan:
a. (A ∪ B)c = Ac ∩ B c
b. (A ∩ B)c = Ac ∪ B c
a. (∅)c = S
b. S c = ∅
Bukti sifat 8. Akan dibuktikan bagian (a). Perhatikan, menurut sifat 7(b),
5(b) dan 2(b),
∅ = ∅∩B
= (Ac ∩ A) ∩ .B
= Ac ∩ (A ∩ B) (P1 )
Sehingga didapatkan
Jadi, A ∪ (A ∩ B) = A.
B1 = B1 ∪ ∅
= B1 ∪ (A ∩ B)
= B1 ∪ A. ∩ .B1 ∪ B
= S. ∩ .B1 ∪ B
= B1 ∪ B
B1 = B1 ∩ S
= B1 ∩ (A ∪ B)
= B1 ∩ A. ∪ .B1 ∩ B
= ∅. ∪ .B1 ∩ B
= B1 ∩ B
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 32
B = B ∪ (B ∩ B1 )
= B ∪ (B ∪ B1 )
= B ∪ B. ∪ .B1
= B ∪ B1
= B1 .
AC ∪ B C . ∩ .A ∩ B = ∅ dan AC ∪ B C . ∪ .A ∩ B = S (3.3)
(b) (∀C).A ⊆ C ∧ B ⊆ C ⇒ A ∪ B ⊆ C
A × B := {(x, y) | x ∈ A, y ∈ B}
A × B = {(1, −2), (1, 0), (2, −2), (2, 0), (3, −2), (3, 0)}
dan
B × A = {(−2, 1), (−2, 2), (−2, 3), (0, 1), (0, 2), (0, 3)}
Perhatikan bahwa (0, 3) ∈
/ A × B akan tetap (0, 3) ∈ B × A. Jadi secara
umum, A × B 6= B × A.
X := [0, 1] × R = {(x, y) | 0 ≤ x ≤ 1, y ∈ R}
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 34
y y y
X Y
0 x
x x
0 1 0 1
(x, y) ∈ (A ∪ B) × C ⇔ x ∈ A ∪ B ∧ y ∈ C
⇔ (x ∈ A. ∨ .x ∈ B) ∧ y ∈ C
⇔ (x ∈ A ∧ y ∈ C) ∨ (x ∈ B ∧ y ∈ C)
⇔ (x, y) ∈ A × C ∨ (x, y) ∈ B × C
A1 × A2 × . . . × Am := {(x1 , x2 , . . . , xm ) | x1 ∈ A1 , x2 ∈ A2 , . . . , xm ∈ Am }
m
Y
Catatan: A1 × A2 × . . . × Am biasa disingkat dengan Ai .
i=1
2A = {∅, {a}, {b}, {c}, {a, b}, {a, c}, {b, c}, {a, b, c}}
Sifat 3.1.8. Jika A terdiri atas n unsur, maka banyaknya unsur dari 2A
adalah 2n .
Bukti. Dibuktikan secara kombinatorik, sebagai berikut. Banyaknya him-
punan ∅ adalah 1. Banyaknya subhimpunan yang terdiri atas 1 unsur
adalah Cn1 , banyaknya subhimpunan yang terdiri dari 2 unsur adalah Cn2 ,
dan seterusnya. Banyaknya subhimpunan dengan n unsur adalah Cnn . Jadi
(i)
!C
\ [
Ai = Ai C
i∈I i∈I
(ii)
!C
[ \
Ai = Ai C
i∈I i∈I
⇔ (∀i ∈ I)x ∈ Ai
⇔ (∃i ∈ I)x ∈
/ Ai
⇔ (∃i ∈ I)x ∈ (Ai )C
[
⇔x∈ Ai
i∈I
!C
\ [
Diperoleh (∀x)x ∈ Ai ⇔x∈ (Ai )C .
i∈I i∈I
!C
\ [
∴ Ai = Ai C .
i∈I i∈I
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 38
Berikut adalah contoh-contoh soal yang dapat anda pelajari dan ker-
jakan.
!
[ [
Contoh 3.1.10. Buktikan bahwa A ∪ Bi = (A ∩ Bi ).
i∈I i∈I
T T
Contoh 3.1.11. Buktikan bahwa i∈I Ai × A = i∈I (Ai × A)
Jadi diperoleh:
\ \
(∀(x, y)(x, y) ∈ ( Ai ) × A ⇔ (x, y) ∈ (Ai × A)
i∈I i∈I
Maka didapatkan \ \
∴( Ai ) × A = (Ai × A)
i∈I i∈I
3.2 Relasi
Misalkan R adalah suatu relasi dalam semesta pembicaraan S dan a berada
dalam relasi R dengan b, maka dituliskan dengan aRb.
Contoh 3.2.1. Jika Semesta Pembicaraan (SP) adalah S yang terdiri atas
orang-orang dan R adalah relasi mencintai, maka untuk a, b ∈ S dituliskan
aRb jika dan hanya jika a mencintai b. Jika a tidak mencintai b, maka ditulis
aRb, yakni a tidak berada dalam relasi R dengan b.
(∀x)xRx
Contoh 3.2.3. Relasi mencintai pada contoh 3.2.1 di atas merupakan relasi
refleksif, sebab setiap orang mencintai dirinya sendiri.
Contoh 3.2.5. Relasi < pada bilangan-bilangan tidak bersifat refleksif se-
bab ada (sedikitnya satu) bilangan, sebutlah 1, yang bersifat 1 6< 1.
Contoh 3.2.9. Relasi mencintai pada orang tidak simetris sebab tentunya
ada a yang mencintai b akan tetapi b tidak mencintai a.
Contoh 3.2.10. Relasi lebih tinggi diantara orang-orang adalah relasi tran-
sitif sebab jika a lebih tinggi daripada b, dan b lebih tinggi daripada c, maka
a lebih tinggi daripada c.
Perlu kita buktikan bahwa relasi ini merupakan relasi ekuivalensi. Pertama-
tama akan dibuktikan sifat refleksifnya. Ambil sebarang bilangan bulat a
maka a − a = 0 = 0.n sehingga a ≡ a(mod n), maka aRa. Untuk sifat
transitif, misalkan diketahui a ≡ b(mod n) dan b ≡ c(mod n) maka a − b =
k1 .n dan b − c = k2 .n untuk suatu bilangan-bilangan bulat k1 dan k2 . Dari
dua persamaan tersebut, kita dapatkan a−c = k1 n+k2 n = (k1 +k2 )n dengan
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 41
S6
S5
S1
S4
...
S2
S3
Sx := {s ∈ S | sRx}.
Sx ∩ Sy 6= ∅ ⇒ Sx = Sy
Z mod 5
1 16 2
7
11
-10 6 12
RT 2 RT 3 -5 111 17
RT 1 -4 -14 22 202
RT 4
0 -15 -9 -8
106 -3 257
-13
5 10
4 9
20 23 14 19
15 18
RT 5 RT 8 24 -11
28 13
1000 514 -6
RT 6 RT 7 25 8
-7
1500 338 69 -16
-2 -1
343 3
-17
Gambar 3.3: Kiri: Partisi yang disebabkan oleh relasi pada contoh 3.2.14.
Terlihat bahwa desa tersebut dapat dipartisi menjadi 8 buah RT. Kanan:
Partisi yang disebabkan oleh relasi pada contoh 3.2.17. Relasi disini adalah
kongruen modulo 5 dimana himpunan semua bilangan bulat dapat dipartisi
menjadi 5 buah himpunan yang saling asing.
Karena zRx dan R bersifat simetris, maka xRz. Karena xRz dan zRy, maka
menurut sifat transitif dari R, xRy. Lalu karena sRx dan xRy, maka sRy,
yakni s ∈ Sy . (∴ diperoleh : (∀s)s ∈ Sx ⇒ s ∈ Sy ). Jadi Sx ⊆ Sy . Dengan
cara yang sama, maka diperoleh juga Sy ⊆ Sx . Jadi Sx = Sy . (Diperoleh :
Sx ∩ Sy 6= ∅ ⇒ Sx = Sy ).
Relasi pada contoh 3.2.14 dan 3.2.17 akan menyebabkan partisi yang
diilustrasikan dalam Gambar 3.3.
Untuk x ∈ S, Sx disebut kelas ekuivalensi. Perhatikan bahwa karena
relasi ekuivalensi pada contoh 3.2.14 di atas, maka diperoleh konsep “sekam-
pung’,’ a dan b sekampung jhj mereka tinggal di RT yang sama. Pada contoh
3.2.15, diperoleh konsep “arah” karena 2 garis mempunyai arah yang sama
jika mereka sejajar. Pada contoh 3.2.16 diperoleh konsep “bentuk” dimana
dua segitiga mempunyai bentuk sama jika mereka sebangun. Dari contoh
3.2.17, yakni relasi kongruensi di antara bilangan-bilangan bulat, diperoleh
konsep bilangan bulat modulo n dimana dua bilangan bulat dikatakan sama
jika selisihnya merupakan suatu kelipatan dari n. Bilangan-bilangan bulat
modulo n lazim ditulis 0, 1, 2, ..., n − 1.
Seperti disebut pada sifat di atas, terhadap relasi ekuivalensi, suatu him-
punan S terbagi atas himpunan-himpunan yang saling asing yang disebut
kelas ekuivalensi. Unsur-unsur di kelas ekuivalensi yang sama dipandang se-
bagai unsur-unsur yang identik, yaitu mereka dipandang sama. Jadi dalam
relasi kongruen mod 5, 0 = 5 = 10 = −20, 1 = 6 = 4 = 16, 2 = −3 = 12
dsb. Dalam geometri bidang objek-objek yang berbentuk sama dipandang
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 43
A B A B
1 1
-1 -1
2 2
0 3 0 3
4 4
1 1
5 5
Gambar 3.4: Ilustrasi dari relasi yang didefinisikan pada 3.2.19. Kiri: Dia-
gram relasi R1 . Kanan: Diagram relasi R2 .
sebagai objek yang sama (tidak peduli bagaimana posisi dan letaknya).
Lalu, untuk keperluan suatu penggolongan, orang-orang yang tinggal sekam-
pung (seperti pada contoh 3.2.14)) dipandang sama. Demikianlah, pula,
kesamaan dalam matematika sering didefinisikan atas dasar penggolongan
oleh suatu relasi ekuivalensi. Dua unsur dikatakan sama jika mereka berada
dalam kelas ekuivalensi yang sama.
S S S S
0 0 0 0
1 1
1 1
2 2 2 2
S S S S
0 0
0 0
1 1
1 1
2 2 2 2
Gambar 3.5: (Kiri atas) Diagram relasi contoh 3.2.20. (Kanan atas) Di-
agram relasi contoh 3.2.21. (Kiri bawah) Diagram relasi contoh 3.2.22.
(Kanan bawah) Diagram relasi contoh 3.2.23.
(∀x) (x, x) ∈ R
R = {(0, 1), (0, 2), (1, 2), (0, 0), (1, 1), (2, 2)}
BAB 3. TEORI HIMPUNAN 45
Contoh 3.2.21. Dengan S yang sama dengan contoh diatas, jika R didefin-
isikan sebagai aRb jhj b = a + 1, maka R tidak lain adalah R ⊆ SxS, dengan
R = {(0, 1), (1, 2)}.
a + b := a + b , a.b := ab
Contoh 3.2.23. Jika S seperti pada contoh 3.2.22 diatas dan R didefin-
isikan xRy jhj y = x2 , maka R ⊆ SxS adalah R := {(0, 0), (1, 1), (2, 1)}.
Contoh-contoh dari relasi ini dapat juga disajikan secara grafis, yang
dapat anda lihat pada Gambar 3.6, 3.7 dan 3.8
3.2.2 Fungsi
Fungsi dari himpunan A ke himpunan B adalah sebuah relasi f ⊆ AxB
dengan sifat sebagai berikut,
y y
1
0 1 x
x
0 1
Gambar 3.6: Penyajian secara grafis contoh relasi yang didefinisikan pada
contoh 3.2.24 (kiri) dan contoh 3.2.25 (kanan).
ii) Setiap unsur di A mempunyai pasangan tidak lebih dengan satu unsur
di B
f :A→B
y
y =x+1
y
1 y = x2
-1
0 x
x
-1 0 1
Gambar 3.7: Penyajian secara grafis contoh relasi yang didefinisikan pada
contoh 3.2.26 (kiri) dan contoh 3.2.27 (kanan).
Masing-masing relasi pada contoh 3.2.22 dan 3.2.26 merupakan fungsi satu-
satu, sedangkan R2 pada contoh 3.2.19 dan relasi R pada masing-masing
contoh 3.2.23 dan 3.2.27 bukan merupakan fungsi satu-satu.
Fungsi f : A → B dikatakan pada atau surjektif jika untuk setiap b ∈ B,
ada a ∈ A sehingga b = f (a), atau secara simbolis,
x
-1 0 1
Gambar 3.8: Penyajian secara grafis contoh relasi yang didefinisikan pada
contoh 3.2.28.
Bukti. Dengan menggunakan notasi himpunan, f ([1, 2]) = {f (x) | x ∈ [1, 2]}.
x ∈ [1, 2] ⇔ 1 6 x 6 2 ⇒ 1 6 x2 6 4
Jadi kita dapatkan f ([1, 2]) = [1, 4]. Untuk f (R) = {f (x) | x ∈ R} =
{x2 | x2 > 0}. Jadi
x ∈ R ⇒ x2 > 0.
Terakhir, f −1 ([1, 4]) = {x ∈ R | f (x) ∈ [1, 4]}.
f (A) = [0, ∞]
x > 1 ⇔ x − 3 > −2
⇔ −2 6 x − 3 6 0 atau x − 3 > 0
⇔ 0 6 (x − 3)2 6 4 atau (x − 3)2 > 0
⇔ 0 6 f (x) 6 4 atau f (x) > 0
⇔ f (x) > 0
Dg◦f = {x ∈ Df | f (x) ∈ Dg }
Rf ∩ Dg = {y | y > 0} ∩ {x | x 6 1}
= {x | 0 6 x 6 1} = ∅
f (x) ∈ Dg ⇔ x2 ∈ Dg
⇔ x2 6 1
⇔ −1 6 x 6 1.
Dg◦f = Df ∩ {x| − 1 6 x 6 1}
= R ∩ {x| − 1 6 x 6 1}
= {x| − 1 6 x 6 1}
Catatan: Misal f dan g sama seperti di atas, kecuali bahwa f dibatasi pada
Df ∩ := {x|x > 0}. Maka rumus g ◦ f sama seperti di atas, akan tetapi
dengan
Dg◦f = Df ∩ {x| − 1 6 x 6 1}
= {x|0 6 x 6 1}
Df of := {x ∈ Df |f (x) ∈ Df }.
f1 :f |A1 : A1 → B,
1. Misal f : R → R dengan
x2
jika x > 0
f (x) :=
−x2 jika x < 0