Anda di halaman 1dari 11

EKTIMA

I. DEFINISI
Ektima merupakan pioderma ulseratif kulit yang umumnya
disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus.[1-4] Penyebab lainnya bisa
Stafilokokus atau kombinasi dari keduanya. Ektima biasanya terdapat
pada lapisan dermis, sehingga sering juga disebut bentuk dalam dari
impetigo.[1-5]. Ektima menyerang epidermis dan dermis membentuk
ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya terdapat
pada tungkai bawah. Selain itu ektima adalah suatu infeksi kulit yang
mirip dengan impetigo, namun kerusakan dan daya invasifnya pada
kulit lebih dalam daripada impetigo.[2,6-8]

II. ETIOLOGI
Organisme penyebab ektima umumnya disebabkan oleh
Streptokokus β hemolitikus grup A, Stafilokokus atau kedua-duanya.
Di negara berkembang, infeksi biasanya disebabkan oleh Stafilokokus
aureus, juga didapatkan pada pengguna obat-obat intravena dan pasien
HIV dan individu dengan pengobatan imunosuppresan. [1-3]
Streptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang
secara khas membentuk pasangan atau rantai selama masa
pertumbuhannya. Bakteri ini tersebar luas di alam. Beberapa
diantaranya merupakan flora normal pada manusia. Bakteri ini
menghasilkan berbagai zat ekstraseluler dan enzim.[1]
Berbagai proses penyakit dihubungkan dengan infeksi
streptokokus. Sifat-sifat biologik organisme penginfeksi, sifat respon
tubuh dan jalan masuknya infeksi sangat mempengaruhi gambaran
patologik. Ektima mulanya sama dengan impetigo superfisial.
Streptokokus β hemolitikus grup A dapat menyebabkan lesi atau
menginfeksi secara sekunder lesi yang sudah ada sebelumnya. Adanya
kerusakan jaringan (seperti ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis)

1
dan keadaan imunokompromais (seperti diabetes melitus dan
neutropenia) merupakan predisposisi pada pasien untuk timbulnya
ektima.[1]
Status bakteriologi dari ektima pada dasarnya mirip dengan
impetigo. Keduanya dianggap sebagai infeksi Streptokokus, karena
pada banyak kasus didapatkan kultur murni Streptokokus pyogenes.
Selain Streptokokus, penyebab lain dari ektima adalah Stafilokokus
aureus. Dari 66 kasus yang disebabkan Streptokokus group A, 85%
terdapat Stafilokokus. Pada suatu literatur menunjukkan bahwa dari
35 pasien impetigo dan ektima, 15 diantaranya (43%) disebabkan oleh
Stafilokokus aureus, 12 pasien (34%) disebabkan oleh Streptokokus
group A, dan 8 pasien (23%) disebabkan oleh keduanya.[1,2]

III. EPIDEMIOLOGI
Insiden ektima di seluruh dunia secara tepat belum diketahui secara
pasti. Di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, insidennya menduduki tempat
ketiga dan berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi.[1,3]
Ektima sering ditemukan pada anak-anak, orang tua serta orang-orang
dengan gangguan fungsi imun (Human Imunodeficiency Virus).[1,2]
Streptokokus β-hemolitikus group A dapat menyebabkan lesi atau
menimbulkan infeksi sekunder pada lesi yang telah ada sebelumnya.
Kerusakan jaringan (seperti ekskoriasi, gigitan serangga) dan keadaan
imunokompromais merupakan predisposisi pada pasien untuk
timbulnya ektima. Penyebaran infeksi Streptokokus pada kulit
diperbesar oleh kondisi lingkungan yang padat, sanitasi buruk dan
malnutrisi. [1-3]

2
IV. FAKTOR PREDISPOSISI
Ektima dapat dilihat pada daerah kulit yang mengalami kerusakan
atau telah ada infeksi sebelumnya. Misalnya ekskoriasi, gigitan
serangga, dermatitis atau skabies. Ektima juga dapat ditemukan pada
penderita dengan gangguan imunitas (misalnya penderita diabetes
mellitus, HIV). Faktor-faktor penting yang berperan dalam timbulnya
ektima antara lain[1-3] :
a. Temperatur dan kelembaban yang tinggi dan daerah tropis
b. Kondisi lingkungan yang kotor
c. Higiene yang buruk
d. Malnutrisi
e. Gigitan serangga
f. Ulkus
g. Trauma/luka: Luka operasi, abrasi, laserasi, jahitan, gigitan
(manusia, binatang, seragga), luka bakar.
Impetigo yang tidak diobati dengan baik akan berkembang menjadi
ektima biasanya sering pada penderita dengan higiene buruk.[1]
V. PATOFISIOLOGI
Stafilokokus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi kulit
dan sistemik, seperti halnya Stafilokokus aureus, Streptokokus sp, juga
terkenal sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptokokus group A, B,
C, D, dan G merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan
pada manusia. Kandungan M-protein pada bakteri ini menyebabkan
bakteri ini resisten terhadap fagositosis. Stafilokokus aureus dan
Stafilokokus pyogenes menghasilkan beberapa toksin yang dapat
menyebabkan kerusakan lokal atau gejala sistemik. Gejala sistemik
dan lokal dimediasi oleh superantigens (SA). Antigen ini bekerja
dengan cara berikatan langsung pada molekul HLA-DR pada antigen-
presenting cell (APC) tanpa adanya proses antigen. Walaupun
biasanya antigen konvensional memerlukan interaksi dengan kelima
elemen dari kompleks reseptor sel T, superantigen hanya memerlukan

3
interaksi dengan variabel dari pita B. Aktivasi non spesifik dari sel T
menyebabkan pelepasan masif tumor necrosis factor-α (TNF-α),
Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin
ini menyebabkan gejala klinis berupa demam, ruam eritematosa,
hipotensi, dan cedera jaringan.[3]
Ektima bentuk permulaan memiliki kemiripan seperti impetigo
superfisialis. Kuman Streptokokus grup A beta hemolitikus dapat
sebagai penyebab dari lesi atau sekunder infeksi dari luka yang sudah
ada sebelumnya. Kerusakan jaringan yang sudah ada sebelumnya
(misalnya ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis) atau gangguan
imunitas (misalnya penderita diabetes) membolehkan penetrasi oleh
Streptokokus pyogenes pada kulit. Infeksi pada mulanya terjadi di
epidermis kemudian pada lapisan dermis yang lebih dalam dan sistem
limfa.[3]
Adanya trauma atau inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka
bakar, dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor yang berpengaruh
pada patogenesis dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini karena
kerusakan jaringan kulit sebelumnya menyebabkan fungsi kulit
sebagai pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadi
infeksi bakteri.[11]
VI. GAMBARAN KLINIS
Infeksi diawali pada lesi yang disebabkan karena garukan atau
gigitan serangga[1]. Lesi pada ektima awalnya berbentuk vesikel atau
pustul pada daerah inflamasi kulit. Kemudian langsung ditutupi oleh
krusta yang lebih keras dan tebal daripada krusta pada impetigo.
Gejala-gejala yang dapat timbul pada ektima yaitu: [1,4,8]
a. Keluhan utama berupa rasa gatal.
b. Ektima mulai sebagai vesikel atau pustul di atas kulit yang
eritematosa, membesar, dan pecah, terbentuk krusta yang tebal dan
kering yang sukar dilepas dari dasarnya. Bila krusta dilepas
terdapat ulkus dangkal berdiameter 0.5cm hingga 2 cm.

4
c. Krusta bewarna kuning keabuan dan lebih tebal dan keras dari
kusta impetigo
d. Pada ulkus yang lebih dalam dari lapisan dermis tampak daerah
yang menimbul dan indurasi disekeliling tepinya yang berbatas
tegas.
e. Dapat ditemukan adenopati local.
f. Kadang kala dapat ditemukan daerah nekrosis apabila vesikel
pecah dan ulkus tidak kelihatan sehingga lesi nekrosis hilang.
g. Ektima jarang diserta gejala sistemik
VII. STATUS DERMATOLOGIS[1,2,3]
Predileksi : bokong, paha, ekstremitas bawah (kaki dan betis
depan), wajah, dan ketiak atau tempat yang relatif banyak trauma.
Effloresensi : makula eritematosa lentikular hingga numular,
vesikel dan pustul miliar hingga numular, difus, simetris serta krusta
kehijauan yang sukar dilepas.

Gambar 1: Dikutip dari kepustakaan 4

5
Gambar 2: Dikutip dari kepustakaan 5

Gambar 3: Dikutip dari kepustakaan 5

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan gram dan kultur. Bahan untuk pemeriksaan bakteri
sebaiknya diambil dengan mengerok tepi lesi yang aktif.[3]
Pemeriksaan dengan gram merupakan prosedur yang paling
bermanfaat dalam diagnostik ketika dicurigai adanya infeksi bakteri.
Sebagian besar bahan yang diserahkan harus diapus pada gelas objek,
diwarnai gram dan diperiksa secara mikroskopik.[3]
Pada pemeriksaan mikroskopik, reaksi gram (biru-keunguan
menunjukkan organisme gram positif, merah gram negatif), dan

6
morfologi bakteri (bentuk: kokus, batang, fusiform atau yang lain)
harus diperhatikan.[12]
Pada kultur atau biakan, kebanyakan streptokokus tumbuh dalam
pembenihan padat sebagai koloni diskoid dengan diameter 1-2 mm.
Strain yang menghasilkan bahan sampai sering membentuk koloni
mukoid.[12]
IX. DIAGNOSIS
Diagnosis juga ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran
klinis yang didapatkan. Dan dapat juga dilakukan kultur dan
pemeriksaan dari kerokan kulit yang terinfeksi dan kultur darah.[1]
X. DIAGNOSIS BANDING
a. Impetigo Krustosa: didiagnosa banding dengan ektima karena
memberikan gambaran efloresensi yang hampir sama berupa lesi
yang ditutupi krusta. Bedanya, pada impetigo krustosa lesi
biasanya lebih dangkal, krustanya lebih mudah diangkat, dan
tempat predileksinya biasanya pada wajah dan punggung serta
terdapat pada anak-anak sedangkan pada ektima lesi biasanya lebih
dalam berupa ulkus, krustanya lebih sulit diangkat dan tempat
predileksinya biasanya pada tungkai bawah serta bisa terdapat pada
usia dewasa muda.[1,6,7]
b.
Folikulitis: didiagnosis banding dengan ektima sebab predileksi
biasanya di tungkai bawah dengan kelainan berupa papul atau
pustul yang eritematosa. Perbedaannya, pada folikulitis, di tengah
papul atau pustul terdapat rambut dan biasanya multiple.[1,3,6,11]
c. Ektima Gangrenosum: Secara klinis nyeri pada lesi makula
eritema. Di tengahnya dapat ditemukan vesikel atau pustul yang
cepat berubah menjadi ulkus. Ulkus biasanya berwarna hitam dan
berkrusta dengan tepi yang lebih tinggi. Biasanya disebabkan oleh
Pseudomonas sp. [13-16]

7
d. Furunkel: Infeksi akut pada folikel rambut dan sekitarnya, bulat,
nyeri, berbatas tegas yang berakhir dengan supurasi di tengahnya
akibat dari bakteri S.aureus.[11]
XI. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya penyakit ektima ini pada mayoritas lesi membaik dalam
15 hingga 20 hari tanpa pengobatan.[5]
Penatalaksanaan secara umum : [2,8]
a. Memperbaiki higiene dan kebersihan, memperbaiki makanan.
b. Menghindari faktor predisposisi/pemicu terjadinya ektima.
c. Penatalaksanaan pada ektima ialah penggunaan sabun antiseptik
atau bahan peroksidan yang dicuci pada luka dapat mengurangi
infeksi. Lesi dicuci dengan air dan sabun lalu diolesi dengan
mupirocin atau bacitracin ointment 2 kali sehari.
d. Lesi yang direndam pada air panas dapat membantu terlepasnya
krusta.

Penatalaksanaan secara khusus :[5,9]

a. Jika terdapat sedikit, krusta diangkat lalu diolesi dengan salap


antibiotik. Kalau lesi banyak, diobati juga dengan antibiotik
sistemik.
Terapi topikal dengan kompres terbuka seperti larutan
permanganas kalikus 1/5000 untuk melunakkan krusta dan
membersihkan debris.

Sistemik

Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas.


Pengobatan sistemik dibagi menjadi pengobatan lini pertama dan
pengobatan lini kedua. [3]

1. Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)


a. Dikloksasilin 4 x 250 – 500 mg selama 5 – 7 hari.

8
b. Amoksisilin + Asam klavulanat 25 mg/kgBB, 3x sehari
c. Sefaleksin 40 – 50 mg/kgBB/hari selama 10 hari
2. Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)
a. Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4
hari
b. Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10
hari
c. Eritomisin 4 x 250 – 500 mg selama 5 – 7 hari.

Topikal

Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir,


tetapi jika luas maka digunakan pengobatan sistemik. Neomisin,
asam fusidat 2%, Mupirosin 2%, dan Basitrasin merupakan
antibiotik yang dapat digunakan secara topikal. [3]

Indikasi penggunaan mupirosin pada penyakit kulit yang


disebabkan oleh Stafilokokus aureus, Streptokokus pyogenes, dan
Streptokokus B hemolitikus. Mekanisme kerja mupirosin untuk
menghambat sintesis protein bakteri begitu juga dengan neomisin.
Basitrasin memilki mekanisme kerja menghambat sintesisdinding
sel bakteri. Baik digunakan pada bakteri gram positif [3].

Dalam sebuah penelitian kecil didapatkan bahwa asam


fusidat secara signifikan lebih efektif dibandingkan dengan
neomisin. Mupirosin dan asam fusidat dalam beberapa penelitian
memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan
antibiotik oral yang lain, disamping itu keduanya memiliki efek
samping yang minimal. Selain itu asam fusidat dan mupirosin
setelah dibandingkan dengan plasebo terbukti lebih efektif.[3]

Antiseptik topikal seperti povidin iodin atau hidrogen


peroksida dapat digunakan. Bisa digunakan tiga kali sehari pada

9
area yang luka dan disekitarnya. Terapi ini dapat dilakukan setelah
krustanya terangkat. Lanjutkan beberapa hari setelah
penyembuhan.[3]

XII. KOMPLIKASI
Ektima jarang menyebabkan gejala sistemik. Komplikasi invasif
pada infeksi kulit streptokokus termasuk selulitis, erysipelas, gangren,
limfadenitis supuratif dan bakterimia.[3]
Komplikasi non supuratif infeksi kulit streptokokus misalnya
Scarlet Fever dan Glomerulonefritis akut. Pemberian terapi antibiotik
cepat tidak menunjukkan pengurangan angka kejadian
glomerulonefritis pasca streptokokus. Akibat sekunder dari pioderma
yang disebabkan oleh S. Aureus yang tidak diterapi termasuk selulitis,
limfangitis, osteomielitis dan endokarditis infeksi akut. Beberapa strain
S. Aureus menghasilkan eksotoksin yang dapat menyebabkan
staphylococcal scalded skin syndrome dan toxic shock syndrome.[3]

XIII. PROGNOSIS
Tanpa pengobatan, proses dapat menetap dan lesi-lesi baru dapat
berkembang lebih berat dalam beberapa minggu. Kemudian infeksi
cenderung akan menghilang secara spontan kecuali ada beberapa
kelainan kulit dasar seperti eksema.[3]
Ektima adalah lesi dengan masa penyembuhan yang lama tetapi
memberikan respon yang baik terhadap antibiotik dalam beberapa
minggu. Sehingga memberikan prognosis yang baik .[3]

Faktor-faktor yang memperburuk prognosis, bila terdapat :

a. Lesi multipel
b. Pemberian antibiotika yang tidak adekuat
c. Persisten neutopenia

10
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Pioderma. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010. p. 59-60.
2. James WD, Berger TG, Eleston DM. Streptococcal Skin Infections. In:
James WD, Berger TG, Eleston DM, editors. Andrews' Disease Of The
Skin: Clinical Dermatology. 10th ed. Canada2006. p. 259-70.
3. Janik MP, Hefferman MP. Yeast Infection: Candidiasis and Tinea
(Putyriasis) Vesicolor. In: Wolff K, Golsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology In General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2009. p. 1822-4.
4. Mallory SB. Ecthyma. In: Mallory SB, Bree A, Chern P, editors. Pediatric
Dermatology Diagnosis and Management. London: Taylor & Francis;
2005. p. 98.
5. Cortes-Franco R. Ecthyma/Erysipelas. In: Arenas R, Estrada R, editors.
Tropical Dermatology. Texas: Landes Bioscience; 2001. p. 149-51.
6. Gwkrodger DJ. Bacterial Infection - staphylococcal and streptococcal.
Dermatology An Illustrated Colour Text. 3th ed. China2002. p. 44-5.
7. Ameen M, Adriaans B. How we manage pyoderma in the community J
Comm Dermatol. 2006;3(4):17-9.
8. Wolff K, Johnson RA. Pyoderma. In: Wolff K, Johnson RA, editors.
Fitzpatrick's Color Atlas & SInopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New
York: McGraw-Hill; 2009.
9. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Ecthyma. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of
Dermatology. 8th ed. London: Wiley-Black Well; 2010. p. 30.
10. Sanchez RL, Raimer SS. Diffuse Interstitial Infiltrates.
Dermatopathology. Georgetown, Texas2001. p. 83-4.
11. Hay RJ. Bacterial Infection. In: Buxton PK, editor. ABC of Dermatology.
London: BMJ Publishing; 2003. p. 87-91.
12. Malhotra SK, Malhotra S, Dhaliwal GS, Thakur A. Bacteriological Study
of Pyoderma in a Tertiary Care Dermatological Center. Indian Journal of
Dermatology. 2012;57(5):358-61.
13. Gencer S, Ozer S, Gul AE, Dogan M, Ak O. Ecthyma gangrenosum
without bacteremia in a previously healthy man: a case report. J of Med
Case Report. 2008:1-3.
14. Bryan CS. Fatal Pyoderma Gangrenosum with Pathergy after Coronary
Artery Bypass Grafting. 2012;39(6):894-7. Departement of International
Medicine.
15. Bhat RM. Pyoderma: An update. Indian Dermatology Online Journal.
2012;3(1):7-13.
16. Nourani H, Maleki M. Contagious ecthyma : case report and review.
Pakistan J of Biological Sciences. 2006;9(13):2543-5.

11

Anda mungkin juga menyukai