Anda di halaman 1dari 68

SKRIPSI

RATU CITRA SAKINAH

ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT


(PARACETAMOL dan ASAM MEFENAMAT)
DALAM SEDIAAN JAMU ASAM URAT
DENGAN METODE KROMATOGRAFI
LAPIS TIPIS –DENSITOMETRI

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2013

1
Lembar Pengesahan

ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT


(PARACETAMOL dan ASAM MEFENAMAT)
DALAM SEDIAAN JAMU ASAM URAT
DENGAN METODE KROMATOGRAFI
LAPIS TIPIS –DENSITOMETRI

SKRIPSI

Dibuat untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi


pada Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Malang
2013

Oleh
RATU CITRA SAKINAH
NIM : 09040082

Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. Amirudin Prawita, Apt Drs.H.Achmad Inoni,Apt


NIP. 0020124205

2
Lembar Pengujian
ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT
(PARACETAMOL dan ASAM MEFENAMAT)
DALAM SEDIAAN JAMU ASAM URAT
DENGAN METODE KROMATOGRAFI
LAPIS TIPIS –DENSITOMETRI

SKRIPSI

Telah di uji dan dipertahankan didepan tim penguji


Pada tanggal 20 Juli 2013

Oleh

RATU CITRA SAKINAH


NIM : 09040082
Tim Penguji

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. H. Amirudin Prawita, Apt Drs.H.Achmad Inoni,Apt


NIP. 0020124205
Penguji III Penguji IV

Arina Swastika S.Farm., Apt Siti Rofida S.Si., M.Farm., Apt

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga skripsi dengan judul
“ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT (PARACETAMOL dan ASAM
MEFENAMAT) DALAM SEDIAAN JAMU ASAM URAT DENGAN
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS-DENSITOMETRI ” dapat terselesaikan
dengan baik.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Ibu Tri Lestari Handayani,SKp.,M.Kep.,Sp.Mat selaku Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan yang telah memberikan nasehat serta dorongan semangat selama
proses penyelesaian penelitian.
2. Ibu Dra. Uswatun Chasanah,Apt selaku Ketua Prodi Farmasi Universitas
Muhammadiyah Malang yang telah banyak memberikan nasehat serta
dorongan semangat kepada kami Farmasi Angkatan 2007 sampai selesainya
laporan akhir penelitian .
3. Bapak Prof. Dr. H. Amirudin Prawita, Apt selaku dosen pembimbing I yang
telah membantu dalam memberikan ide, dorongan, nasehat dengan penuh
perhatian dan kesabaran mulai dari awal dilaksanakannya penelitian sampai
selesainya penulisan laporan akhir penelitian.
4. Bapak Drs.H. Achmad Inoni,Apt selaku dosen pembimbing II yang telah
membantu dalam memberikan ide, dorongan, nasehat dengan penuh perhatian
dan kesabaran mulai dari awal dilaksanakannya penelitian sampai selesainya
penulisan laporan akhir penelitian.
5. Ibu Arina Swastika S.Farm., Apt dan Ibu Siti Rofida S.Si., S.Farm., Apt
selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan serta saran
dalam hal penyelesaian laporan akhir penelitian.
6. Ibu Dian Ermawati, S.Farm., Apt selaku dosen wali yang telah banyak
membantu dalam memberi saran, dorongan serta nasehat kepada saya selama
menempuh program S1 Farmasi di Universitas Muhammadiyah Malang.
7. Program Studi Farmasi Universitas Muhammadiyah Malang yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan SKRIPSI untuk
memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi..

4
8. Mb susi (asisten lab di Lab Kimia Terpadu UMM) yang telah banyak
membantu dan mendampingi saya dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini.
9. Pak Kusairi (asisten lab di Lab kimia farmasi analisis UNAIR) yang selalu
mendampingi saya selama mengerjakan skripsi ini, dengan penuh kesabaran
dan ketelatenan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan mudah
dan lancar.
10. Teman-teman Farmasi angkatan ’09, kalian adalah teman-teman yang terbaik.
Selama 4 tahun kita belajar bersama dari yang belum mengerti apa-apa
sampai sekarang. Semoga persahabatan kita kekal hingga akhir waktu. Amin
11. Ayahanda tercinta Bapak H.Tubagus Sadikin Marzuki, SH, MH dan Ibunda
tersayang Hj.Ibu Siti Mien Aminah, yang begitu sabar dalam memberikan
nasehat, saran, motivasi serta semua dukungan selama saya menyelesaikan
skripsi ini.
12. Kakak tersayang Tubagus Rizki Fadli yang selalu sabar, perhatian dengan
saya yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penelitian skripsi ini
dan selalu memberikan solusi dari apa yang saya hadapi dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya saya sebagai penulis menyampaikan permintaan maaf kepada
semua pihak yang mungkin telah mengalami hal yang kurang nyaman dalam
berinteraksi dengan penulis selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT selalu berkenan melimpahkan taufik serta hidayah-Nya
kepada kita semua. Amin ya Rabbal Alamin
Malang, 20 Juli 2013

RATU CITRA SAKINAH

5
ABSTRACT

The purpose of this study to determine whether there Medicinal Chemicals


(BKO) in the preparation of herbal medicine circulating in the district of Sukun
Malang .
This study used qualitative analysis with Thin Layer Chromatography
instrument - Densitometry. The qualitative analysis is done by looking at the value
of Rf, Pattern Spectra and by determining the maximum wavelength. In the
system of specta paracetamol raw and the sample have a long wave maximum 251
nm. Where as the system spekta mefenamic acid raw and the sample have a long
wave maximum 292 nm.
Herbal preparations uric acid circulating in the district of Sukun Malang,
which contain chemicals drugs (BKO) Paracetamol, Mefenamic Acid and a
mixture of Paracetamol and Mefenamic Acid with Thin Layer Chromatography
method – Densitometri. On sample A compound containing paracetamol, while
the sample B containing compounds parcetamol and mefenamic acid, the sample
C containing compounds mefenamic acid.

Keywords: Herb, Medicinal Chemicals (BKO), Qualitative Analysis, TLC -


densitometry.

6
ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya Bahan Kimia Obat
(BKO) dalam sediaan Jamu yang beredar di kecamatan Sukun Malang.
Dalam penelitian ini digunakan analisis kualitatif dengan instrumen
Kromatografi Lapis Tipis - Densitometri. Analisis kualitatif ini yang dilakukan
adalah dengan melihat nilai Rf, Pola Spectra serta dengan menentukan panjang
gelombang maksimum dan Match Factor (MF). Pada Pola spectra baku
paracetamol dan sampel memiliki panjang gelombang maksimum 251 nm.
Sedangkan pada pola spectra baku asam mefenamat dan sampel memiliki panjang
gelombang maksimum 292 nm.
Sediaan jamu asam urat yang beredar di Kecamatan Sukun kota Malang,
yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) Paracetamol, Asam Mefenamat dan
Campuran Paracetamol dengan Asam Mefenemat dengan metode Kromatografi
Lapis Tipis – Densitometri. Pada sampel A hanya mengandung senyawa bahan
kimia obat paracetamol, sedangkan pada sampel B mengandung senyawa bahan
kimia obat paracetamol dan asam mefenamat, pada sampel C mengandung
senyawa bahan kimia obat Asam Mefenamat.

Kata Kunci : Jamu, Bahan Kimia Obat (BKO), Analisis Kualitatif, KLT –
Densitometri

7
RINGKASAN

“ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT (PARACETAMOL dan ASAM


MEFENAMAT) DALAM SEDIAAN JAMU ASAM URAT
DENGAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS-DENSITOMETRI ”

Kecenderungan gaya hidup “Back to Nature” menyebabkan penggunaan


obat tradisional, obat herbal, maupun suplemen makanan cenderung meningkat,
yang terjadi di Negara maju maupun Negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia (Gusmali, D dan Gitawati R, 2001).
Menyikapi kondisi ini banyak Industri Obat Tradisional yang
memproduksi Obat Tradisional (OT), Obat herbal atau pun suplemen sering kali
menyatakan “tanpa efek samping” karena bersifat alami, dan hanya melaporkan
keberhasilannya saja (efektif) sedangkan ke tidak berhasilan obat serta efek
samping tidak dilaporkan (Turana, 2003).
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan asing berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian galenik atau campuran
dari bahan tersebut yang telah digunakan dalam pengobatan berdasarkan
pengalaman (Badan POM RI, 2005).
Pada penelitian ini dipilih dua senyawa obat yaitu Parasetamol dan Asam
Mefenamat karena dari dua senyawa ini yang paling sering dilaporkan sebagai
bahan kimia obat dalam jamu/obat tradisional. Dan jenis yang sering dicampurkan
dari dua senyawa obat tersebut adalah jamu asam urat. Jamu asam urat ini
merupakan salah satu jenis jamu yang paling banyak digunakan oleh masyarakat
luas, sehingga dalam penelitian ini dibatasi untuk sediaan jamu asam urat. Telah
diketahui bahwa penggunaan dua obat tersebut (parasetamol dan asam
mefenamat) jika tidak sesuai dengan dosis atau takarannya akan menyebabkan
beberapa efek samping yang dapat membahayakan kesehatan para konsumen.
Untuk penggunaan parasetamol dalam jangka panjang dapat menyebabkan
kerusakan hati (hepatotoksik) sedangkan pada penggunaan asam mefenamat yang
berlebihan menyebabkan gangguan saluran cerna antara lain dyspepsia dan gejala
iritasi pada mukosa lambung adapun pada usia lanjut dapat menyebabkan diare.
Kejadian tidak diinginkan berupa reaksi efek samping obat (Adverse effect) dapat
terjadi akibat interaksi antar komponen, penggunaan kronik, ataupun interaksi
dengan obat-obat konvensional yang di konsumsi secara bersamaan.
Dalam penelitian ini digunakan analisis kualitatif. Dilakukan penelitian
analisis kualitatif untuk mengetahui ada tidaknya Paracetamol dan asam
mefenamat sebagai bahan kimia obat (BKO) dalam sediaan jamu asam urat
dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis - Densitometri. Analisis kualitatif
ini yang dilakukan adalah dengan melihat nilai Rf, Pola Spectra serta dengan
menentukan panjang gelombang maksimum dan Match Factor (MF)
Penentuan sampel menggunakan metode random sampling dengan cara
pengambilan sampel dilakukan dari 1 toko jamu yang berada di Kecamatan
Sukun, kota malang tersebut diambil 3 sampel jamu asam urat yang berbentuk
kapsul atau serbuk dengan merk yang berbeda, no batch berbeda dan no registrasi

8
berbeda yang nantinya akan dianalisis terhadap ada tidaknya tambahan bahan
kimia obat (BKO).
Dari hasil Analisis Kualitatif meliputi nilai Rf, pola spectra, panjang
gelombang dan nilai Match Factor (MF) dapat mendeteksi adanya bahan kimia
obat paracetamol dan asam mefenamat dalam sediaan sampel jamu asam urat
yang sama dengan baku standarrnya. Pada Pola spectra baku paracetamol dan
sampel memiliki panjang gelombang maksimum 251 nm. Sedangkan pada pola
spectra baku asam mefenamat dan sampel memiliki panjang gelombang
maksimum 292 nm.
Kesimpulan dari hasil penelitian analisis Bahan Kimia Obat (Paracetamol
dan Asam Mefenamat) dalam sediaan obat tradisional (Jamu asam urat) dengan
metode Kromatografi Lapis Tipis-Densitometri sebagai berikut : Jamu asam urat
yang diperoleh di Kecamatan Sukun kota Malang, yang mengandung Bahan
Kimia Obat (BKO) Paracetamol dan Asam Mefenemat dengan metode
Kromatografi Lapis Tipis - Tensitometri pada sampel A mengandung senyawa
paracetamol, sedangkan pada sampel B mengandung senyawa parcetamol dan
asam mefenamat, pada sampel C mengandung senyawa Asam Mefenamat.

9
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan............................................................................................................i

Lembar Pengujian..............................................................................................................ii

KATA PENGANTAR........................................................................................................iv

ABSTRACT......................................................................................................................vi

ABSTRAK.......................................................................................................................vii

RINGKASAN.................................................................................................................viii

DAFTAR ISI......................................................................................................................x

DAFTAR TABEL..............................................................................................................xi

DAFTAR GAMBAR........................................................................................................xii

DAFTATR LAMPIRAN..................................................................................................xiii

BAB I..............................................................................................................................xiv

PENDAHULUAN...........................................................................................................xiv

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................xiv

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................xvii

1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................xviii

1.4 Manfaat Penelitian..............................................................................................xviii

BAB II.............................................................................................................................xix

TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................xix

2.1 Tinjauan Tentang Obat tradisional.........................................................................xix

2.1.1 Jenis jamu atau obat tradisional...........................................................................xx

2.1.1.1 Jamu.............................................................................................................xx

2.1.1.2 Obat Herbal Terstandar.................................................................................xx

2.1.1.3 Fitofarmaka...................................................................................................xx

10
2.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)............................................................................xxi

2.2.1 Fase Diam......................................................................................................xxii

2.2.2 Fase Gerak.....................................................................................................xxiv

2.2.3 Aplikasi (Penotolan) Sampel.........................................................................xxiv

2.2.4 Pengembangan...............................................................................................xxv

2.2.5 Deteksi Bercak.............................................................................................xxvii

2.3 Metode Densitometri..........................................................................................xxviii

2.3.1 Analisis Kualitatif.........................................................................................xxxii

2.4 Bahan Kimia Obat Dalam jamu Asam Urat.........................................................xxxv

2.4.1 Asam Mefenamat..........................................................................................xxxv

2.4.2 Parasetamol.................................................................................................xxxvi

BAB III.......................................................................................................................xxxviii

KERANGKA KONSEPTUAL...................................................................................xxxviii

3.1 Uraian Kerangka Konseptual..........................................................................xxxviii

4.1 Rancangan penelitian..............................................................................................xli

4.2 Prosedur pembuatan larutan baku standar ( Modifikasi dari FI IV ).......................xli

4.2.1. Parasetamol.....................................................................................................xli

4.2.2 Asam mefenamat.....................................................................................xlii

4.3 Pembuatan Fase Gerak..........................................................................................xliii

4.4 Ekstraksi Jamu Asam Urat....................................................................................xliii

4.5 Cara pengambilan sampel.....................................................................................xliii

4.6 Tempat dan waktu penelitian.................................................................................xliv

4.8 Bahan-bahan penelitian.........................................................................................xliv

4.9 Penentuan Analisis Kualitatif...............................................................................xliv

4.10 Analisis data dalam sediaan jamu asam urat........................................................xlv

BAB V............................................................................................................................xlvi

HASIL PENELITIAN....................................................................................................xlvi

11
5.1 Teknik sampling....................................................................................................xlvi

5.2 Analisis Kualitatif Bahan Kimia Obat Dalam Jamu Asam Urat............................xlvi

5.2.1 Penentuan Nilai Rf........................................................................................xlvii

5.2.2 Penentuan Pola spektra.................................................................................xlviii

5.2.3. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum....................................................lii

5.2.4 Penentuan Match Factor (MF).............................................................................lvi

5.3. Penelitian dengan fase gerak yang lain.................................................................lvii

BAB VI.............................................................................................................................lx

PEMBAHASAN...............................................................................................................lx

BAB VII.........................................................................................................................lxiv

KESIMPULAN & SARAN............................................................................................lxiv

7.1 Kesimpulan.....................................................................................................lxiv

7.2 Saran...............................................................................................................lxiv

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................lxv

12
DAFTAR TABEL

Tabel 5 1 Hasil pengambilan sampel jamu asam urat.......................................................48


Tabel 5 2 Hasil pengamatan Nilai Rf baku pembanding dan sampel.................................50
Tabel 5 3 Hasil pengamatan panjang gelombang maksimum terpilih...............................57
Tabel 5 4 Hasil Perhitungan Nilai MF baku Paracetamol dengan sampel..........................58
Tabel 5 5 Hasil Perhitungan Nilai MF baku Asam Mefenamat dengan sampel.................59
Tabel 5 6 Hasil pengamatan nilai Rf pada baku pembanding dan sampel dengan fase
gerak Kloroform : methanol (36:4)...................................................................................59
Tabel 5 7 Hasil pengamatan nilai Rf pada baku pembanding dan sampel dengan fase
gerak Kloroform : ethanol (36:4)......................................................................................61

13
DAFTAR GAMBAR

Gambar 5. 1 Hasil pengambilan sampel jamu asam urat.................................................47


Gambar 5. 2 Hasil pengamatan Nilai Rf baku pembanding dan sampel...........................49
Gambar 5. 3 Pola spectra baku Parasetamol dan sampel A, B, CKeterangan : Replikasi
dua kali.............................................................................................................................51
Gambar 5. 4 Pola spectra baku Asam Mefenamat dan sampel A, B, C.............................52
Gambar 5. 5 Pola spectra baku Asam Mefenamat dan sampel A, B, C.............................53
Gambar 5. 6 panjang gelombang maksimum baku Parasetamol dan sampel A, B, C.......54
Gambar 5. 7 panjang gelombang maksimum baku Parasetamol dan sampel A, B, CKet :
Replikasi dua kali.............................................................................................................54
Gambar 5. 8 panjang gelombang maksimum baku Asam Mefenamat dan sampel A, B, C
.........................................................................................................................................55
Gambar 5. 9 panjang gelombang maksimum baku Asam Mefenamat dan sampel A, B, C
.........................................................................................................................................55

DAFTATR LAMPIRAN

14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kecenderungan gaya hidup “Back to Nature” menyebabkan penggunaan
obat tradisional, obat herbal, maupun suplemen makanan cenderung meningkat,
yang terjadi di Negara maju maupun Negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia (Gusmali, D dan Gitawati R, 2001).
Menyikapi kondisi ini banyak Industri Obat Tradisional yang
memproduksi Obat Tradisional (OT), Obat herbal atau pun suplemen sering kali
menyatakan “tanpa efek samping” karena bersifat alami, dan hanya melaporkan
keberhasilannya saja (efektif) sedangkan ke tidak berhasilan obat serta efek
samping tidak dilaporkan (Turana, 2003).
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan asing berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian galenik atau campuran
dari bahan tersebut yang telah digunakan dalam pengobatan berdasarkan
pengalaman (Badan POM RI, 2005).
Obat Tradisional dan Obat herbal terdaftar yang ada di pasaran lebih dari
5000 produk, belum termasuk jamu yang tidak wajib daftar (Jamu gendong dan
Racikan) (BPOM,2003).
Obat Tradisional di Indonesia terdiri dari Jamu, Obat Herbal Terstandart,
dan Fitofarmaka. Hampir semua obat tradisional merupakan campuran lebih dari
satu macam tanaman. Lebih dari 90% produk tersebut masih didasarkan manfaat
empirik, tanpa pembuktian praklinik. Di lain pihak, sebagian pengobatan
tradisional juga menggunakan obat tradisional berupa ramuan dalam praktik
pengobatannya dan jenis tanaman obat yang di gunakan kemungkinan besar juga
termasuk bahan yang belum memiliki data uji praklinik dan digunakan
berdasarkan data empirik (BPOM , 2004).
Pada Publik warning Badan POM No. KH.00.01.43.2773 tanggal 2 juni
2008 tentang Obat Tradisional yang mengandung bahan kimia obat disebutkan
bahwa terdapat 54 jamu yang mengandung bahan kimia obat. Seharusnya sediaan
obat tradisional mempunyai kandungan bahan alami sesuai dengan Peraturan

1
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 246/MenKes/Per/V/1990 tentang
izin usaha industri Obat Tradisional dan pendaftaran Obat Tradisional yang
mempersyaratkan bahwa obat tradisional tidak boleh mengandung bahan kimia
sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat dan bahan yang tergolong
obat keras atau narkotika.
Analisis resiko terhadap temuan hasil pengawasan Obat Tradisional yang
mengandung Bahan Kimia Obat oleh Badan POM RI dalam kurun waktu 10 tahun
menunjukan kecenderungan yang semakin meningkat. Bahan menunjukkan
sesuatu yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2001 sampai
dengan 2007 temuan obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat
menunjukkan tren kearah obat rematik, asam urat dan penghilang rasa sakit
Berdasarkan hasil pemeriksaan contoh produk di pasaran tahun 2012 oleh BPOM,
penambahan bahan kimia obat. Obat rematik dan penghilang sakit itu antara lain
fenilbutason, piroksikam, parasetamol, dan asam mefenamat. (Lusia, 2012)
Adanya anggapan bahwa pengobatan tradisional / herbal tidak mempunyai
efek samping/sedikit efek samping dibandingkan pengobatan modern serta
semakin meningkatnya penyakit kronis yang sukar disembuhkan oleh pengobatan
modern seperti kanker, menyebabkan semakin banyaknya masyarakat Indonesia
yang beralih ke pengobatan tradisional. Penggunaan bahan alam, baik sebagai
obat maupun tujuan lain cenderung meningkat, terlebih dengan adanya isu “back
to nature” serta krisis berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli
masyarakat. Secara farmakologis obat tradisional mempunyai efek samping
relative rendah dan dalam suatu tanaman dengan komponen berbeda memiliki
efek saling mendukung karena dalam satu tanaman memiliki lebih dari satu efek
farmakologi. Obat tradisional sering disalahgunakan seperti yang sering terjadi
adalah kasus penyalahgunaan cara pemakaian (contohnya jamu terlambat bulan
dicampur dengan jamu pegel linu untuk abortus) dan yang lebih luas lagi adalah
penyalahgunaan pada proses penyiapan atau produksi dengan cara menambahkan
bahan kimia obat untuk mempercepat dan mempertajam khasiat/efek
farmakologisnya sehingga dikatakan jamunya ‘lebih manjur dan mujarab’ dan
lain-lain. Pada penggunaan obat tradisional yang tidak sesuai dosis aturan atau
dosis yang besar dapat membahayakan kesehatan (Katno & S.Pramono, 2005)

2
Pada penelitian ini dipilih dua senyawa obat yaitu Parasetamol dan Asam
Mefenamat karena dari dua senyawa ini yang paling sering dilaporkan sebagai
bahan kimia obat dalam jamu/obat tradisional. Dan jenis yang sering dicampurkan
dari dua senyawa obat tersebut adalah jamu asam urat. Jamu asam urat ini
merupakan salah satu jenis jamu yang paling banyak digunakan oleh masyarakat
luas, sehingga dalam penelitian ini dibatasi untuk sediaan jamu asam urat. Telah
diketahui bahwa penggunaan dua obat tersebut (parasetamol dan asam
mefenamat) jika tidak sesuai dengan dosis atau takarannya akan menyebabkan
beberapa efek samping yang dapat membahayakan kesehatan para konsumen.
Untuk penggunaan parasetamol dalam jangka panjang dapat menyebabkan
kerusakan hati (hepatotoksik) sedangkan pada penggunaan asam mefenamat yang
berlebihan menyebabkan gangguan saluran cerna antara lain dyspepsia dan gejala
iritasi pada mukosa lambung adapun pada usia lanjut dapat menyebabkan diare.
Kejadian tidak diinginkan berupa reaksi efek samping obat (Adverse effect) dapat
terjadi akibat interaksi antar komponen, penggunaan kronik, ataupun interaksi
dengan obat-obat konvensional yang di konsumsi secara bersamaan.
BKO atau bahan kimia obat adalah senyawa sintetis atau bias juga produk
kimiawi yang berasal dari bahan alam yang umumnya digunakan pada pengobatan
modern. Penggunaan BKO pada pengobatan modern selalu disertai takaran/dosis,
aturan pakai yang jelas dan peringatan-peringatan akan bahaya dalam
penggunaannya demi menjaga keamanan penggunaanya. Meskipun demikian,
sebagai bahan kimia asing bagi tubuh, tetap saja harus waspada karena banyak
kemungkinan terjadinya efek samping.
Selain kemungkinan adannya toksisitas intrinsik yang dimiliki oleh
beberapa tanaman obat dalam ramuan Obat Tradisional, kemungkinan adanya
pencemaran zat-zat yang toksik seperti logam berat dan jamur (Aflatoksin), dan
penambahan secara illegal bahan kimia obat (BKO), merupakan faktor yang
berperan dalam keamanan Obat Tradisional (Marcus dan Grollman, 2002; De
Smet 2004).
Untuk Menjamin Keamanan khasiat dan manfaat sediaan farmasi yang
beredar di pasaran maka perlu dilakukan pengawasan mutu sediaan farmasi.
Pengawasan mutu sediaan farmasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode
Spectrofotometri dan Kromatografi. Metode Kromatografi yang sering digunakan

3
dalam proses analisis adalah Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Gas
(KG) dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Mengingat biaya
pengeluaran yang besar dari penggunaan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT) dan Kromatografi Gas (KG) sehingga banyak dari para peneliti lebih
memilih menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) digunakan untuk analisis senyawa kimia dengan prosedur yang lebih
sederhana dan biaya yang lebih murah.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis dengan menggunakan metode
Kromatografi Lapis Tipis dan Densitometri karena metode KLT- Densitometri
mempunyai keuntungan antara lain dapat digunakan untuk pemisahan dua
komponen atau lebih, dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif,
dan biaya analisis relatif murah sehingga diharapkan dapat digunakan untuk
memisahkan antara parasetamol dan asam mefenamat dengan komponen pada
jamu dan mengidentifikasi adanya BKO parasetamol dan asam mefenamat dalam
sediaan obat tradisional yang beredar di masyarakat.
Penelitian bahan kimia obat pada jamu Asam Urat belum pernah dilakukan
di Kota Malang, sehingga penulis melakukan penelitian ini, disalah satu
Kecamatan yang berada di kota Malang. Kecamatan yang peneliti ambil adalah
Kecamatan Sukun masyarakatnya masih cenderung menggunakan jamu asam urat.
Menyadari hal tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian
tentang
“Analisis bahan kimia obat (paracetamol dan asam mefenamat) dalam sediaan
jamu asam urat dengan metode kromatografi lapis tipis – densitometri”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut muncul permasalahan:
Apakah pada Jamu Asam Urat yang diperoleh di Kecamatan Sukun, Kota
Malang mengandung Bahan Kimia Obat Paracetamol dan Asam Mefenamat?

4
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui adanya Bahan Kimia Obat Parasetamol dan Asam Mefenamat
dalam Jamu Asam Urat dengan Metode KLT- Densitometri

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
a. Peneliti dapat mengetahui Obat Tradisional Asam Urat yang beredar di
Kecamatan Sukun, Kota Malang mengandung Bahan Kimia Obat
(BKO) atau tidak.
b. Sebagai tahap pembelajaran dalam penelitian
2. Bagi Instansi penelitian
a. Sebagai bahan refrensi ilmiah bagi mahasiswa dalam melakukan
penelitian selanjutnya.
3. Bagi Masyarakat
a. Menambah pengetahuan masyarakat tentang bahaya Obat Tradisional
Bahan Kimia Obat (OT-BKO).
b. Masyarakat dapat memilih Obat Tradisional yang aman tanpa
campuran Bahan Kimia Obat (BKO).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Obat tradisional


Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Jamu adalah obat tradisional Indonesia
(anonim,2005)
Berdasarkan peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik IndonesiaNo : HK.00.05.41.1384 tentang kriteria dan tata laksana
pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka tahun
2005 dinyatakan bahwa obat tradisional, obat herbal terstandar dan
fitofarmaka dilarang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau sintetik
berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, hewan atau tumbuhan yang
dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pada No: HK.00.05.1.23.3516 tahun 2009 produk obat yang
mengandung alkohol harus mencantumkan kadar alkohol pada komposisi
penandaan / label dan kadar alkohol tersebut harus dicantumkan dalam
presentase.
Mutu jamu ditentukan oleh beberapa persyaratan pokok yaitu
komposisi yang benar meliputi aspek secara kuantitatif dan kualitatif.Secara
kuantitatif jamu diolah dari simplisia berdasarkan jumlahnya sebagaimana
tertera dalam formulir pendaftaran. Kemudian secara kualitatif, ramuan dalam
jamu diolah berdasarkan macam / jenis simplisia yang tertera dalam formulir
pendaftaran serta aman, yang tidak dicampur dengan zat berkhasiat lain seperti
bahan kimia obat. Jamu tidak boleh mengalami perubahan fisik dan kimia
serta tidak boleh tercemar bahan asing (Bambang. R.S, 1986)

6
2.1.1 Jenis jamu atau obat tradisional
Sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM RI No.00.05.4.2411
tahun 2004, berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan
tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan
menjadi tiga jenis, yaitu (BPOM,2004)

2.1.1.1 Jamu
Merupakan obat tradisional warisan nenek moyang. Dipasaran, bias
dijumpai dalam bentuk herbal kering siap seduh atau siap rebus, juga dalam
bentuk segar rebusan sebagaimana dijajakan para penjual jamu gendong
(Yuliarti, 2008)
Menurut Yuliarti (2008), demi alas an kepraktisan, kini jamu juga
diproduksi dalam bentuk kapsul dan dalam bentuk pil siap minum. Pada
umumnya jamu dalam kelompok ini diracik berdasarkan resep peninggalan
leluhur, yang belum diteliti secara ilmiah. Khasiat dan keamanannya dikenal
secara empiris atau berdasarkan pengalaman turun temurun.
Bahan-bahan yang digunakan tidak mengandung bahan kimia sintetik
melainkan menggunakan bermacam-macam tumbuhan yang diambil langsung
dari alam dan efek sampingnya relative lebih kecih disbanding obat medis
(Hermanto,2007)

2.1.1.2 Obat Herbal Terstandar


Sedikit berbeda dengan jamu, herbal terstandar umumnya sudah
mengalami pemprosesan, misalnya berupa ekstrak atau kapsul. Herbal yang
sudah diekstrak tersebut sudah diteliti khasiat dan keamanannya melalui uij
pra klinis (terhadap hewan) di laboratorium. Disebut herbal terstandar, karena
dalam proses pengujiaanya telah diterapkan standar kandungan bahan, proses
pembuatan ekstrak, higenitas, serta uji toksisitas untuk mengetahui ada atau
tidaknya kandungan racun dalam herbal (Yuliarti, 2008)

2.1.1.3 Fitofarmaka
Merupakan jamu dengan kasta tertinggi karena khasiat, keamanan serta
standar proses pembuatan dan bahannya telah diuji secara klinis, jamu

7
berstatus sebagai fitofarmaka juga dijual di apotek dan sering diresepkan oleh
dokter (Yuliarti, 2008)

2.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan senyawa
menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan.
Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sedikit,
baik penyerap maupun cuplikannya yang dapat digunakan untuk memisahkan
senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida-lipida dan
hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas (Gandjar dan
Rohman,2007)
Kromatografi adalah teknik analisis yang sering digunakan dalam
analisis farmasi. Kromatografi lapis tipis merupakan bentuk kromatografi
planar. Ada tiga macam kromatografi planar yaitu kromatografi lapis tipis
(KLT), Kromatografi Kertas, Kromatografi Electro (Electroforesis) (Skoog,
1985)
Sekarang kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk
memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang
kompleks, baik komponen organik maupun komponen anorganik.
Penerapannya di dalam bidang kefarmasian, antara lain, digunakan untuk
menentukan pengotor dalam bahan baku farmasi dan produk yang sudah
diformulasi, sering digunakan sebagai pemeriksaan identitas dasar terhadap
bahan baku farmasi, dan bermanfaat dalam validasi pembersihan yang
merupakan bagian dari pembuatan obat. Beberapa keuntungan kromatografi
lapis tipis, yaitu, KLT banyak digunakan untuk tujuan analisis, deteksi melalui
reaksi kimia dengan dengan menggunakan reagen penampak dapat dilakukan
yang berarti bahwa kurang lebih setiap jenis senyawa dapat dideteksi jika
menggunakan reagen deteksi yang sesuai, dapat dilakukan elusi secara menaik
(ascending) dan menurun (descending) atau dengan cara elusi 2 dimensi,
ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan
ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak, mantap dan murah, dapat
dikombinasikan dengan deteksi densitometri yang dapat digunakan sebagai
teknik kuantitatif untuk senyawa-senyawa yang sulit dianalisis dengan

8
metode-metode kromatografi lain karena tidak adanya kromofor (Gandjar dan
Rohman,2007)
Jenis-jenis kromatografi yang bermanfaat dalam analisis kualitatif dan
kuantitatif yang digunakan dalam penetapan kadar dan pengujian Farmakope
Indonesia adalah Kromatografi Kolom, Kromatografi kertas, kromatografi
Gas, Kromatografi lapis Tipis, dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Kromatografi kolom memberi pilihan fase diam yang lebih luas dan berguna
untuk pemisahan masing-masing senyawa secara kuantitatif dari suatu
campuran. Kromatografi gas dan kromatografi cair kinerja tinggi kedua-
duanya membutuhkan peralatan yang mengidentifikasi serta menetapkan
secara kuantitatif bahan dalam jumlah sangat kecil, kromatografi gas
digunakan terutama untuk analisi senyawa yang mudah menguap, dan
kromatografi cair kinerja tinggi untuk analisi sebagian besar senyawa obat
tetapi memerlukan biaya yang relative mahal (Anonim, 1995)
Jarak pengembangan senyawa kromatogram biasanya dinyatakan
dengan angka Rf. Nilai Rf yaitu perbandingan jarak migrasi noda analit
dengan jarak migrasi fase gerak. Dua senyawa dinyatakan identik jika
mempunyai harga Rf yang sama bila diukur pada kondisi KLT yang sama.
Dalam analisis Bahan Kimia Obat (BKO) pada jamu asam urat ini dengan
membandingkan Rf noda sample dengan Rf standar. Jika Rf noda sampel
sama dengan Rf noda standar maka sample mungkin mengandung bahan
kimia obat. (Stahl egon, 1985)

2.2.1 Fase Diam


Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penyerap berukuran
kecil dengan diameter partikel antara 10-30 mikrometer. Semakin kecil ukuran
rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam,
maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya.
Penyerapan yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa,
sementara mekanisme sorpsi (pemindahan solut dari fase diam ke fase gerak)
yang utama pada KLT adalah partisi (sorpsi yang analog dengan ekstraksi
pelarut) dan absorpsi (penyerapan permukaan saja). Absorpsi pada permukaan
melibatkan interaksi-interaksi elektrostatik seperti ikatan hidrogen, dan

9
penarikan yang diinduksi oleh dipol, dan penarikan dipol-dipol. Solut akan
bersaing dengan fase gerak untuk berikatan dengan sisi polar pada permukaa
absorben. Lapisan tipis yang di gunakan sebagai penjerap dapat juga dibuat
dari silica yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan
siklodekstrin yang digunakan untuk pemisah kiral. Kebanyakan penyerap di
control dengan ukuran partikel dan luas permukaanya (Gandjar dan Rohman,
2007)
Berikut merupakan ringkasan beberapa penjerap (fase diam) yang
sering digunakan dalam kromatografi lapis tipis beserta mekanisme
pemisahannya, serta penggunaannya untuk analisis (Gandjar dan Rohman,
2007)
Penjerap Mekanisme Penggunaan
Silika gel Adsorpsi Asam amino, vitamin,
hidrokarbon, alkaloid
Silica yang Partisi termodifikasi Senyawa-senyawa non
dimodifikasi dengan polar
hidrokarbon
Serbuk selulosa Partisi Asam amino,
nukleotida, karbohidrat
Alumina Adsorpsi Hidrokarbon, ion
logam, pewarna
makanan, alkaloid
Kieselguhr Partisi Gula, asam-asam
lemak
Sellulosa penukar ion Pertukaran ion Asam nukleat,
nukleotida, halide dan
ion-ion logam
Gel sephadex Eksklusi Polimer, protein,
kompleks logam
β-siklodekstrin Interaksi adsopsi Campuran enansiomer
stereospesifik
tabel 2 1 Beberapa penyerap fase diam yang digunakan pada KLT

(sumber: Kealey and Haines, 2002)


Gel silica adalah absorban yang paling banyak digunkan untuk KLT.
Laju migrasi senyawa pada pelat gel silica gel tergantung pada polaritasnya.
Pada lama waktu tertentu, senyawa-senyawa yang paling polar bergerak naik
dengan jarak paling pendek pada pelat tersebut, sedangkan senyawa yang
polaritasnya paling kecil bergeraknya paling jauh (Waston, 2009).

10
2.2.2 Fase Gerak
Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa
pelarut.Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada
gaya kapiler. Yang digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan
bila diperlukan, sistem pelarut multikomponen ini harus berupa campuran
sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimal tiga komponen (Stahl,1984)
Berikut ini beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase
gerak (Gandjar dan Rohman,2007) :
1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena
KLT merupakan teknik yang sensitif
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf
terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silica
gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solute
yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang
bersifat sedikit polar seperti dietil eter kedalam pelarut non polar
seperti metal benzene akan meningkatkan harga Rf secara segnifikan
4. Solut-solut ionic dan solute-solut polar lebih baik digunakan campuran
pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan methanol
dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau
ammonia masing-masing akan meningkatkan solute-solut yang bersifat
basa dan asam.

2.2.3 Aplikasi (Penotolan) Sampel


Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh
hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit
mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel
yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih
daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan
lebih dari 15 μl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak

11
yang menyebar dan puncak ganda. Berdasarkan pada tujuan analisis, berbagai
macam jumlah sampel telah disarankan untuk digunakan dan diringkas pada
tabel dibawah ini.

tabel 2 2 jumlah sampel pada penotolan sampel

(sumber: Admovics, 1997)


Untuk memperoleh roprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan
paling sedikit 0,5 µl. Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10
µl, maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan
pengeringan antar totolan.

2.2.4 Pengembangan
Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah
mengembangkan sampel dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah
dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng tipis yang telah
ditotoli sampel dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi
fase gerak dalam bejana harus dibawah lempeng yang telah berisi totolan
sampel. Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin
volume fase gerak sedikit mungkin (akan tetapi harus mampu mengelusi
lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Untuk melakukan
penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas saring . Jika
fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat dikatakan
bahwa fase gerak telah jenuh. Gambar berikut ini menunjukkan posisi dari
totolan sampel, posisi lempeng dalam bejana serta ketinggian eluen dalam
bejana :

12
Gambar 2. 1 Lempeng dalam beaker (chamber) dengan garis pembataspenotolan sampel dan
batas eluen (Gandjar dan Rohman, 2007)

Gambar 2. 2 Lempeng dengan penunjukan kenaikan bercak dan batas atas pengelusian (Gandjar dan
Rohman,2007)

2.2.5 Deteksi Bercak


Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika.
Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan
suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara
fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan
dengan cara pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet.

13
Fluorosensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat
berfluorosensi, membuat bercak akan terlihat jelas berikut adalah cara-cara
kimiawi untuk mendeteksi bercak :
 Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan
bereaksi secara kimia dengan solute yang mengandung gugus fungsional
tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang dipanaskan
terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan
intensitas warna bercak.
 Mengamati lempeng dibawah lampu ultraviolet yang dipasang panjang
gelombang emisi 254 atau 366 untuk menampakkan solute sebagai
bercak yang gelap atau bercak yang berfluorosensi terang pada dasar
yang berfluorosensi seragam. Lempeng yag diperdagangkan dapat dibeli
dalam bentuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fliorosen yang
tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk memberikan
dasar fluorosensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan
reagen fluorosensi setelah dilakukan pengembangan.
 Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat
lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solute-solut organic yang akan
Nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklat-coklatan.
 Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup.
 Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer,
suatu instrument yang dapat mengukur intensitas radiasi yang
direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV
atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan
dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatatan (recorder).

14
Gambar 2. 3 Lempeng dengan penunjukan kenaikan bercak dan batas atas pengelusian (Gandjar dan
Rohman,2007)

2.3 Metode Densitometri


Densitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan
interaksi radiasi elektromagnetik (REM) dengan analit yang merupakan noda
pada plat KLT (Mulya dan Suharman, 1995).
Densitometer dapat bekerja secara serapan atau flouresensi.
Kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya monokromator
(rentang panjang gelombang 190 s/d 800 nm) untuk memilih panjang
gelombang yang cocok, sistem untuk memfokuskan sinar pada lempeng,
pengganda foton, dan rekorder (Gandjar dan Rohman, 2007).
Penggunaan monokromator lebih menguntungkan karena
memudahkan pengubahan panjang gelombang dan menghasilkan berkas sinar
dengan sedikit panjang gelombang. Jenis sumber cahaya tergantung pada
panjang gelombang cahaya yang digunakan, yaitu: lampu hidrogen, raksa
atau, ksenon untuk pengukuran sinar UV dan lampu wolfram untuk panjang
gelombang sinar tampak (Munson, 1991).
Output detektor dikonversikan menjadi signal dan diamplifikasi.
Sebagai tambahan untuk scanning instrumen densitometer dilengkapi dengan
digital konverter, dan data akan diproses secara digitalisasi oleh komputer.
Analis dapat bekerja dengan densitometri pada jangkauan panjang
gelombang 190 s/d 800 nm. Terjadinya penyimpangan baseline yang
disebabkan oleh variasi ketebalan dan ketidakseragaman lapisan pada
densitometer sangat kecil dan level signalnya relatif tinggi. Analisis
kuantitatif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan TLC biasanya

15
dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng TLC (atau secara in
situ) (Gandjar dan Rohman, 2007).
Prinsip kerja spektrofoto-densitometri berdasarkan interaksi antara
radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda
pada plat. Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh
analit, ditransmisi atau diteruskan jika plat yang digunakan transparan. Radiasi
elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat
diemisikan berupa flouresensi dan fosforesensi (Sherma and Fried 1994).
Sumber radiasi pada spektrodensitometri ada tiga macam tergantung
pada rentang panjang gelombang dan prinsip penentuan. Lampu deuterium
dipakai untuk pengukuran pada daerah ultraviolet (190-400 nm) dan lampu
tungsten digunakan untuk pengukuran pada daerah sinar tampak (400-800 nm)
sedangkan untuk penetuan secara fluoresensi digunakan lampu busur merkuri
bertekanan tinggi (Deinstrop, 2007).

Gambar 2. 4 Densitometer

Untuk penentuan kadar, yang ditetapkan adalah absorpsi maksimum


kurva absorpsi. Jika absorpsi ini untuk penentuan kadar adalah sangat rendah
atau senyawa mula-mula mengabsorpsi di bawah 220 nm, maka seringkali
senyawa diubah dulu menjadi suatu zat warna melalui reaksi kimia, dan
absorpsi ditentukan dalam daerah sinar tampak (kolorimetri). Walaupun pada
semua penentuan kadar absorpsi yang diukur, penyelesaian percobaannnya
sangat berbeda. Berikut ini adalah contoh penyelesaiannya :
 Menggunakan Hukum Lambert Beer
A=εc d

16
A adalah daya serap, ε adalah daya serap molar (dalam mole cm -1), c
adalah kadar (dalam mole liter-1) dan d adalah panjang jalur (dalam cm).
Persamaan di atas berlaku menyeluruh sebagai dasar pokok analisis kuantitatif
dengan spektroskopi serapan. Suatu cara sederhana untuk mengkuantitasi
suatu bahan penyerap ialah dengan mengukur daya serapnya pada panjang
gelombang tertentu dan menyubstitusikan A, ε dan d ke persamaan di atas
untuk mendapatkan c (Munson, 1991).
 Menggunakan Kurva Kalibrasi.
Bila ε tidak diketahui dan terokan murni analit tersedia, kurva kalibrasi
dapat dibuat (daya serap terhadap kadar). Lereng kurva tersebut adalah εd dan
bila d diketahui maka ε dapat dihitung. Terokan tunggal yang diketahui
kadarnya dapat digunakan untuk menentukan ε, tetapi hal ini kurang handal
daripada penggunaan lereng kurva kalibrasi. Selain itu kadar terokan yang tak
diketahui dapat dibaca langsung dari kurva kalibrasi dengan mencari daya
serap yang tak diketahui pada kurva dan menarik garis tegak lurus ke bawah
pada sumbu kadar. Metode ini sangat bermanfaat terutama jika nyata terlihat
adanya penyimpangan terhadap hukum Beer (ketaklurusan) (Munson, 1991).
Dasar teori terapan densitometri dalam analisis kuantitatif lempeng lapisan
tipis adalah persamaan Kubelka dan Munk. Pada Teori Kubelka-Munk
parameter yang diukur adalah absorpsi, transmisi, pantulan (refleksi) pendar
flour atau pemadaman pendar flour dari radiasi semula. Apabila REM dengan
identitas semula (I) jatuh pada permukaan lapis tipis yang tidak homogeny
dengan arah rambatan tegak lurus, maka sebagian dari REM tersebut akan
direfleksikan (Is) dan sebagian diserap oleh analit lapisan tipis (Io) dan
sebagian lagi diteruskan (It). Pada plat KLT selain terjadi penyerapan REM
juga terjadi hamburan radiasi oleh partikel fase diam.
Persamaan Kubelka – Munk :
I = Io + Is + It
Keterangan:
I = radio elektromagnetik dengan intensitas semula
Io = yang jatuh pada permukaan lapis tipis yang tidak homogen
dengan arah rambat tegak lurus

17
Is = di serap oleh analit lapis tipis
It = sebagian diteruskan
Intensitas REM yang direfleksikan tergantung pada koefisien
permukaan lapis tipis E yang dinyatakan sebagai: Is = I. E

Harga E sangat dipengaruhi oleh jenis lapisan tipis yang dipakai.


Apabila lapis tipis tersebut merupakan lapisan tipis yang homogen maka akan

.
berlaku hukum Lambert-Beer seperti pada spektrofotometri It = Io . e-k.x

X= tebal medium lapis tipis


K= koefisien adsorpsi
Harga e-k.x = menyatakan berkurangnya intensitas REM yang
melewati medium
Harga tersebut dikenal juga sebagai kerapatan optic atau “optical
density” dan medium yang dilewati REM. Pada semua plat KLT tidak
memberikan homogenitas fase diam karena ketidakdsamaan partikel-partikel
fase diamnya disamping kerja penyerapan REM juga terjadi peracikan radiasi
oleh partikel fase diam. Pada metode spektrofotodensitometri/densitometry
dikenal dengan parameter koefisien penyerapan (K) dan koefisien
penghamburan (S). Karena adanya koefisien penghamburan inilah terjadi
penurunan intensitas radiasi (dihamburkan) oleh partikel-partikel fase diam
(Mulya dan Suharman, 1995).
Pada densitometri hubungan konsentrasi dan absorpsi radiasi
elektromagnetik ditunjukkan oleh hokum Kubelka-Munk yang secara
matematik dapat dinyatakan dengan persamaan diferensial sebagai berikut :
(Munson, 1991)
= dI = - (S + K) I + S J
dx
= dJ = - (S + K) J + S I
dx
Keterangan :
1. I = Intensitas REM yang arahnya tegak lurus menuju permukaan
lempeng KLT

18
2. J = intensitas REM yang arahnya tegak lurus meninggalkan
permukaan lempeng KLT
3. S = Koefisien penghamburan untuk tiap satuan tebal lempeng KLT
4. K = Koefisien serapan untuk tiap satuan tebal lempeng KLT
5. X = tebal lempeng KLT
Tampak jelas pada hukum Kubelka – Munk bahwa tebal lapisan tipis pada
plat KLT memegang peranan penting dalam perhitungan, oleh sebab itu untuk
menghindari kesalahan sebaiknya dipakai plat KLT yang tebal lapisan tipisnya
sama pada semua permukaan plat KLT ( Sherma dan Fried, 2003 ).

Gambar 2. 5 Kurva Kubelka-Munk

2.3.1 Analisis Kualitatif


Analisa kualitatif dengan metode KLT-Densitometri dilakukan
berdasarkan harga Rf. Dimana harga Rf sampel dibandingkan dengan harga Rf
senyawa standar, yang keduanya, baik sampel maupun senyawa standar,
dieluasi pada kondisi percobaan yang sama. Kesesuaian harga Rf antara
sampel dan standar membuktikan bahwa senyawa dalam sampel dan standar
adalah sama. Selain itu, analisis kualitatif dengan densitometri dapat juga
dilakukan dengan penentuan panjang gelombang maksimum dari noda. Jika
panjang gelombang maksimum noda pembanding sama dengan sampel,
berarti sampel identic dengan pembanding (Sherma dan Fried, 1994)
Pada analisis kualitatif parameter yang berpengaruh adalah faktor
retardasi (Retardation Factor = Rf) Rf yaitu “jarak dari posisi nada awal

19

Rf = Z
dibagi dengan jarak posisi noda setelah elusi”, Nilai Rf dinyatakan hingga
angka 1,0 beberapa pustaka menyatakan nilai Rf yang baik yang menunjukkan
pemisahan yang cukup baik adalah berkisar antara 0,2-0,8. ketentuan ini
dapat dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan :
1. Rf = faktor retardasi (Retardation factor)
2. Z = jarak migrasi analit (cm)
3. X = jarak migrasi fase gerak (cm)

Gambar 2. 6 Perbandingan jarak bercak dan jarak tempuh eluen.

Untuk analisis kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan noda


kromatogram sampel dengan noda kromatogram yang dikenal sebagai faktor
retensi relative (Rx), yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

Rx = Jarak migrasi komponen


Jarak migrasi standar

Tahapan awal harus dilakukan bila akan melakukan analisis dengan


metode kromatografi ialah memastikan bahwa noda analit pada plat KLT
terpisah sempurna dari zat-zat lain, seperti eksipien obat, hasil degradasi analit
yang strukturnya mirip, dll. Suatu noda kromatogram yang relative bagus dan
terpisah baik dengan noda lainnya, belum menjamin bahwa noda tadi tidak
terkontaminasi dengan zat lain (Dolan, 1989)
Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti profil spectrum,
resolusi, dan lain-lain. Resolusi derajat keterpisahan adalah pemisahan kedua
puncak komponen dengan sempurna hingga garis dasarnya. Resolusi analit
dengan analit lainnya sebaiknya lebih dari 1,5. Bila resolusi kurang baik maka

20
perlu dilakukan optimasi lagi dari kondisi kromatografi yang dilakukan.
Resolusi analit dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : (skoog,1985)

Rs = 2 Z = 2 [(dR) A – (dR) B]
(WA + WB) (WA + WB)

Keterangan:
1. Ks = Resolusi
2. Z = jarak antara dua noda analit
3.WA = lebar noda analit A
4.WB = lebar noda analit B
5.(dR)A = jarak yang ditempuh oleh analit A
6. (dR)B = jarak yang ditempuh oleh analit B

WWwwdfzg
Z WA WaWAkl (dR)A

WB
(dR)A

Gambar 2. 7 Hasil kromatografi lapis tipis dari dua analit A dan B

Analisis kualitatif juga dapat dilakukan dengan pengamatan


noda.Pengamatan noda dapat dilakukan dengan dilakukan melalui visualisasi
secara kimia dan fisika.Visualisasi secara fisika yaitu dengan melihat noda
kromatogram yang mengabsorpsi radiasi ultraviolet pada panjang gelombang 254
nm atau 365 nm.Visualisasi secara kimia dilakukan dengan mereaksikan noda
pereaksi tertentu sehingga memberikan warna atau fluoresensi yang spesifik.
(Channel, 1998)

21
2.4 Bahan Kimia Obat Dalam jamu Asam Urat

2.4.1 Asam Mefenamat

Gambar 2. 8 Struktur Kimia Asam Mefenamat

Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik dan antiinflamasi.Asam


mefenamat terikat kuat pada protein plasma.Dengan demikian interaksi
dengan antikoagulan perlu diperhatikan. Berbagai efek samping yang tidak
diinginkan dari penggunaan obat kimia asam mefenamat antara lain yang
sering timbul terhadap saluran cerna yaitu dyspepsia dan gejala iritasi pada
mukosa lambung. Pada orang usia lanjut efek samping berupa diare sering
terjadi. Efek lainnya berupa bronkokontriksi dan anemia hemolitik
(Ganiswarna et al, 1995)
Dalam Farmakope Indonesia edisi IV disebutkan asam mefenamat
mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 102,0 %
C15H15NO2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Asam mefenamat
larut dalam larutan alkali hidroksida, agak sukar larut dalam kloroform, sukar
larut dalam etanol dan dalam methanol, serta praktis tidak larut dalam air.
Identifikasi berdasarkan pada nilai Rf dan spectra asam mefenamat
pada plat KLT dengan menggunakan fase gerak campuran P-etil Asetat P-
Asam Asetat Glasial P (78:25:1), dengan fase diam silica gel dan pelarut
(Anonim, 1995)

22
2.4.2 Parasetamol

Gambar 2. 9 Struktur Kimia Parasetamol

Parasetamol mempunyai aktifitas analgesik dan antipiretik yang


bersifat sangat hepatotoksik jika overdosis. Parasetamol mengandung tidak
kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO dihitung terhadap zat
anhidrat dan berat molekul 151,16. Puncak dari larutan baku parasetamol
diperoleh dengan mengukur spectrum pada panjang gelombang 200-800 nm.
Dalam larutan asam, paracetamol menunjukkan absorbansi maksimum pada
panjang gelombang 245 nm. (Anonim, 1995)
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik
ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di Indonesia lebih
dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas (Wilmana,
1995). Efek analgetik Paracetamol dapat menghilangkan atau mengurangi
nyeri ringan sampai sedang.Paracetamol menghilangkan nyeri, baik secara
sentral maupun secara perifer.Secara sentral diduga Paracetamol bekerja pada
hipotalamus sedangkan secara perifer, menghambat pembentukan
prostaglandin di tempat inflamasi, mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit
terhadap rangsang mekanik atau kimiawi. Efek antipiretik dapat menurunkan
suhu demam.Pada keadaan demam, diduga termostat di hipotalamus
terganggu sehingga suhu badan lebih tinggi (Zubaidi, 1980).
Pemerian serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit
pahit.Kelarutan larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N,
dan mudah larut dalam etanol.Parasetamol diabsorpsi secara cepat dan
sempurna di saluran Gastrointestinal (GI) pada pemberian oral dan
terdistribusi secara merata pada kebanyakan jaringan tubuh.Sekitar 25 %
parsetamol didalam darah terikat pada protein plasma. Parasetamol
dimetabolisme oleh system enzim microsomal didalam liver dan mempunyai
waktu paruh plasma 1,25-3 jam, dan mungkin lebih lama mengikuti dosis

23
toksik atau pada pasien dengan kerusakan liver. Parasetamol sejumlah 10-15
gram dapat menyebabkan nekrosis hepatoseluler berat dan kadang-kadang
nekrosis tubuli ginjal. Kadar dalam darah antara 4-10 jam setelah minum obat,
yang mencapai 300 μg/ml dapat menyebabkan kerusakan hati (Wenas, 1999)
Parasetamol digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang dan demam.
Efek samping parasetamol antara lain ruam kulit, kelainan darah, pankreatitis
akut dilaporkan setelah penggunaan jangka panjang, penting pada kerusakan
hati (dan lebih jarang kerusakan ginjal) setelah over dosis. Interaksi, pada
dosisi tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa
tidak interaktif. Masa paruh kloramfenikol dapat sangat diperpanjang.
Kombinasi dengan obat AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan
neutropenia (Hoan tjay, 2007)

24
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Uraian Kerangka Konseptual


Kecenderungan gaya hidup “Back to Nature” menyebabkan penggunaan
obat tradisional, obat herbal, maupun suplemen makanan cenderungan meningkat,
yang terjadi baik di Negara maju maupun Negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia (Gusmali dan Gitawati, 2001).
Menyikapi kondisi ini banyak Industri Obat Tradisional yang
memproduksi Obat Tradisional (OT), Obat herbal atau pun suplemen sering kali
menyatakan “tanpa efek samping” karena bersifat alami, dan hanya melaporkan
keberhasilannya saja (efektif) sedangkan ketidakberhasilan obat serta efek
samping enggan dilaporkan (Turana, 2003).
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Jamu adalah obat tradisional Indonesia (anonim,2005)
Mutu jamu ditentukan oleh beberapa persyaratan pokok yaitu komposisi
yang benar meliputi aspek secara kuantitatif dan kualitatif.Secara kuantitatif jamu
diolah dari simplisia berdasarkan jumlahnya sebagaimana tertera dalam formulir
pendaftaran. Kemudian secara kualitatif, ramuan dalam jamu diolah berdasarkan
macam / jenis simplisia yang tertera dalam formulir pendaftaran serta aman, yang
tidak dicampur dengan zat berkhasiat lain seperti bahan kimia obat. Jamu tidak
boleh mengalami perubahan fisik dan kimia serta tidak boleh tercemar bahan
asing (Bambang. R.S, 1986)
BKO yang akan diidentifikasi pada penelitian ini adalah parasetamol, dan
asam mefenamat dalam sampel Obat Tradisional (Jamu) Asam Urat. Identifikasi
dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pilihan pertama jika ingin memisahkan

25
suatu campuran. Terdapat 2 cara yang dapat digunakan untuk analisis kuantitatif
yaitu :
a. Bercak diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran luar atau
dengan teknik Densitometri
b. Dengan mengerok bercak tersebut lalu menetapkan kadar senyawa tersebut
dengan menggunakan metode lain seperti spektrofotometri
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah Kromatografi lapis Tipis
(KLT) – Densitometri. Kromatografi Lapis Tipis biasanya merupakan metode
pilihan pertama jika ingin memisahkan suatu campuran. Hal ini disebabkan
karena KLT merupkan metode yang sesederhana dan cepat serta digunakan
secara luas untuk analisis obat. Pada metode ini digunakan untuk
mengidenfikasi Bahan Kimia Obat dalam sediaan Obat Tradisional (Jamu)
Asam Urat yang beredar di Kecamatan Sukun, Kota malang.

26
Sediaan Obat Tradisional (Jamu Asam Urat)

Obat Tradisional (Jamu) yang diduga adanya Bahan Kimia Obat


(BKO) AsamUrat yang diperoleh di Kecamatan Sukun, Kota
Malang

Peringatan Badan POM RI No KH.00.01.43.2773/2008 tentang


obat tradisional mengandung BKO

Deteksi Adanya Parasetamol dan Asam Mefenamat


(Analisis Kualitatif)

Metode KLT-Densitometri untuk mendeteksi Parasetamol dan


Asam mefenamat

Menentukan adanya Bahan Kimia Obat Parasetamol dan Asam


Mefenamat dalam Jamu Asam Urat dengan
Metode KLT-Densitometri.

Gambar 3. 1 Bagan Alir Kerangka Konseptual

27
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian random sampling dimana peneliti
mengambil sampel dari 1 toko jamu asam urat yang beredar di kecamatan
sukun dengan merk yang berbeda , no batch berbeda dan no registrasi berbeda
yang nantinya akan dianalisis terhadap ada tidaknya tambahan bahan kimia
obat (BKO).

4.2 Prosedur pembuatan larutan baku standar ( Modifikasi dari FI IV )

4.2.1. Parasetamol
- Baku Induk 1 : Ditimbang seksama 100 mg Parasetamol, kemudian
dilarutkan dengan metanol dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100,0 ml
sampai garis tanda, kocok homogen. Sehingga didapatkan kadar baku
untuk Parasetamol 1000 ppm.
- Dipipet 1,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
ditambahkan metanol sampai garis tanda, kocok homogen. Sehingga
didapatkan kadar baku untuk Parasetamol 100 ppm.
- Dipipet 2,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
ditambahkan metanol sampai garis tanda, kocok homogen. Sehingga
didapatkan kadar baku untuk Parasetamol 200 ppm.
- Dipipet 3,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
ditambahkan metanol sampai garis tanda, kocok homogen. Sehingga
didapatkan kadar baku untuk Parasetamol 300 ppm.
- Dipipet 4,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
ditambahkan metanol sampai garis tanda, kocok homogen. Sehingga
didapatkan kadar baku untuk Parasetamol 400 ppm.
- Dipipet 5,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml,
ditambahkan metanol sampai garis tanda, kocok homogen. Sehingga
didapatkan kadar baku untuk Parasetamol 500 ppm.

28
4.2.1.1. Penentuan panjang gelombang maksimum
Larutan baku standar parasetamol ditotolkan pada plat KLT silica gel
60 F 254 sebanyak 5 μl. Setelah totolan kering plat KLT di eluasi dengan fase
gerak di atas, kemudian plat KLT tersebut dimasukkan kedalam bejana
kromatografi yang telah dijenuhkan. Jika fase gerak telah mencapai batas
eluasi, plat tersebut dikeluarkan dan dikeringkan pada suhu kamar. Noda yang
diperoleh diamati dibawah lampu spectra UV dengan menggunakan
Densitometer pada panjang gelombang 200-400 nm.

4.2.2 Asam mefenamat


- Baku Induk 1 : Ditimbang seksama 50 mg Asam Mefenamat,
kemudian dilarutkan dengan kloroform – metanol (3:1) dan
dimasukkan ke dalam labu ukur 100,0 ml sampai garis tanda, kocok
homogen. Sehingga didapatkan kadar baku untuk Asam mefenamat
500 ppm.
- Dipipet 1,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0
ml, ditambahkan kloroform – metanol (3:1) sampai garis tanda,
kocok homogen. Sehingga didapatkan kadar baku untuk Asam
mefenamat 50 ppm.
- Dipipet 2,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0
ml, ditambahkan kloroform – metanol (3:1) sampai garis tanda,
kocok homogen. Sehingga didapatkan kadar baku untuk Asam
mefenamat 100 ppm.
- Dipipet 3,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0
ml, ditambahkan kloroform – metanol (3:1) sampai garis tanda,
kocok homogen. Sehingga didapatkan kadar baku untuk Asam
mefenamat 150 ppm.
- Dipipet 4,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0
ml, ditambahkan kloroform – metanol (3:1) sampai garis tanda,
kocok homogen. Sehingga didapatkan kadar baku untuk Asam
mefenamat 200 ppm.
- Dipipet 5,0 ml baku induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0
ml, ditambahkan kloroform – metanol (3:1) sampai garis tanda,

29
kocok homogen. Sehingga didapatkan kadar baku untuk Asam
mefenamat 250 ppm.

4.2.2.1 Penentuan panjang gelombang maksimum


Larutan baku standar Asam mefenamat ditotolkan pada plat KLT silica
gel 60 F 254 sebanyak 5 μl. Setelah totolan kering plat KLT di eluasi dengan
fase gerak di atas, kemudian plat KLT tersebut dimasukkan kedalam bejana
kromatografi yang telah dijenuhkan. Jika fase gerak telah mencapai batas
eluasi, plat tersebut dikeluarkan dan dikeringkan pada suhu kamar. Noda yang
diperoleh diamati dibawah lampu spectra UV dengan menggunakan
Densitometer pada panjang gelombang 200-400 nm.

4.3 Pembuatan Fase Gerak


Komposisi fase gerak yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Kloroform : Aseton (32:8) (Clarke’s, 2004)
Selain fase gerak diatas, akan diteliti dengan fase gerak yang lain yaitu:
1. Kloroform : methanol (36:4) (Clarke’s, 2004)
2. Kloroform : etanol (36:4) (Clarke’s, 2004)

4.4 Ekstraksi Jamu Asam Urat


Timbang sediaan jamu asam urat setara dengan berat 0,5 – 8 gram.
Masukkan ke dalam beaker glass kemudian diekstraksi dengan metanol ad 25,
0 ml dan digetarkan dalam pengocok ultrasonic selama kurang lebih 15 menit
sampai larut dan homogen. Setelah itu, di saring dan hasilnya ditampung pada
vial dan ditotolkan dengan plat KLT.

4.5 Cara pengambilan sampel


Dalam penelitian ini dilakukan random sampling dengan cara pengambilan
sampel dilakukan dari 1 toko jamu yang berada di Kecamatan Sukun, kota
malang tersebut diambil 3 sampel jamu asam urat yang berbentuk kapsul atau
serbuk dengan merk yang berbeda, no batch berbeda dan no registrasi berbeda
yang nantinya akan dianalisis terhadap ada tidaknya tambahan bahan kimia
obat (BKO).

30
4.6 Tempat dan waktu penelitian
 Tempat penelitian : Laboratorium Kimia Terpadu Farmasi UMM dan Lab
Kimia Analisis UNAIR
 Waktu penelitian : Waktu penelitian dilakukan bulan mei tahun 2013
4.7 Alat-Alat penelitian
1. Densitometer (CAMAG TLC Scanner 3)
2. Bejana Kromatografi
3. Pipa kapiler
4. Alat-alat gelas
5. Neraca Analitik
6. Spektro UV 254-365 nm
7. Ultrasonic bath

4.8 Bahan-bahan penelitian


1. Parasetamol (PT. Brataco)
2. Asam mefenamat (PT. Brataco)
3. Plat silica gel 60 F 254, 20 x 10 cm
4. Kertas saring whatman
5. Kloroform pro analisa
6. Aseton pro analisa
7. Methanol pro analisa
8. Etanol pro analisa
9. Sampel jamu Asam urat

4.9 Penentuan Analisis Kualitatif


1. Analisisis Kualitatif dengan Metode KLT – Densitometri dilakukan
berdasarkan harga Rf. Dimana harga Rf sampel dibandingkan dengan
harga Rf senyawa standar, yang keduanya, baik sampel maupun senyawa
standar, dieluasi pada kondisi percobaan yang sama.
2. Penotolan sampel untuk volume sampel yang ditotolkan paling sedikit
5 μl.
3. Analisis kualitatif dengan Densitometri dilakukan dengan penentuan
panjang gelombang maksimum dari noda. Jika panjang gelombang
maksimum noda pembanding sama dengan sampel, berarti sampel identik
dengan pembanding.
4. Pengamatan noda dilakukan dengan melihat noda kromatogram yang
mengabsorpsi radiasi ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm atau 365
nm.

31
5. Ukur jarak noda ke tempat totolan dibandingkan dengan jarak elusi
sehingga di dapatkan harga Rf.

4.10 Analisis data dalam sediaan jamu asam urat


1. Untuk mengetahui ada tidaknya bahan kimia obat (BKO) Parasetamol dan
asam mefenamat dalam sediaan jamu asam urat yang terdapat pada
kecamatan sukun, kota malang, dengan membandingkan nilai Rf noda
sampel dan pembanding.
2. Untuk membandingkan pola spectra antara sampel jamu dengan pola
spectra baku pembanding. Untuk melihat kesamaan pola spectra dapat
dilihat dengan menghitung nilai MF (match factor).
3. Untuk membandingkan panjang gelombang sampel jamu dengan panjang
gelombang baku pembanding.

32
BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Teknik sampling


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan random sampling.
Diambil 1 toko jamu yang terdapat di kecamatan sukun, kota malang. Dari
toko tersebut diambil 3 sampel jamu asam urat dengan merk yang berbeda, no
batch berbeda, dan no registrasi yang berbeda. Dari 3 sampel tersebut
dilakukan replikasi 5x, sehingga peneliti mendapatkan 15 sampel jamu asam
urat. Dengan rincian sebagai berikut:

Toko Sampel No. registrasi


X sampel A POM. TR.043231099
X sampel B POM.TR.043231061
DEPKES R.I.No. TR.
X sampel C 001209151
Gambar 5. 1 Hasil pengambilan sampel jamu asam urat

5.2 Analisis Kualitatif Bahan Kimia Obat Dalam Jamu Asam Urat
1. Masukkan eluen Kloroform : aseton (32:8) pada chamber untuk
dijenuhkan selama 30 menit.
2. Bahan baku pembanding paracetamol dan asam mefenamat dengan sampel
ditotolkan pada plat KLT berukuran 20 x 20 cm dengan menggunakan
pipa kapiler 5 µl pada fase diam silica gel F 254 pada jarak 1,5 cm dari
bagian bawah plat, jarak antara noda adalah 0,5 cm. kemudian dibiarkan
beberapa saat hingga mengering.
3. pada plat KLT yang telah mengandung cuplikan dimasukkan ke dalam
chamber yang lebih terdahulu telah dijenuhkan dengan fase gerak berupa
kloroform : aseton (32:8).

33
4. Setelah mencapai batas eluasi kemudian dikeringkan pada lemari asam
setelah beberapa menit.
5. noda hasil pemisahan diamati dibawah sinar uv 254 nm kemudian dihitung
nilai Rf

5.2.1 Penentuan Nilai Rf


Dilakukan menghitung nilai Rf merupakan petunjuk awal untuk analisis
kualitatif untuk mengetahui adanya bahan kimia obat dalam sedian jamu asam
urat. Harga Rf digunakan sebagai parameter untuk menentukan letak noda
pada plat KLT, dengan menggunakan rumus hasil bagi jarak migrasi
komponen dengan jarak migrasi fase gerak. Setelah dilakukan preparasi dan
uji kromatografi lapis tipis, kemudian dilakukan menggunakan lampu UV 254
nm. Kemudian menentukan nilai Rf dengan membandingkan nilai Rf antara
noda sampel dengan noda pembanding, sehingga didapatkan nilai Rf sebagai
berikut:
Lempeng I II III IV
Rf Baku Rf Asam Rf Baku Rf Asam
Elemen Paracetamol Mefenamat Paracetamol Mefenamat
Baku Paracetamol 1 0,23 0,20
Baku Paracetamol 2 0,23 0,20
Baku Paracetamol 3 0,23 0,20
Baku Paracetamol 4 0,23 0,20
Baku Paracetamol 5 0,21 0,20
Baku Asam Mefenamat 1 0,63 0,63
Baku Asam Mefenamat 2 0,60 0,58
Baku Asam Mefenamat 3 0,60 0,59
Baku Asam Mefenamat 4 0,65 0,64
Baku Asam Mefenamat 5 0,68 0,65

Lempeng I II III IV
Sampel Rf Sampel
Sampel A1 0,24 -
Sampel B1 0,24 0,61
Sampel C1 - 0,60
Sampel A2 0,23 -
Sampel B2 0,23 0,59
Sampel C2 - 0,59

34
Sampel A3 0,23 -
Sampel B3 0,23 0,59
Sampel C3 - 0,60
Sampel A4 0,23 -
Sampel B4 0,21 0,59
Sampel C4 - 0,58
Sampel A5 0,20 -
Sampel B5 0,20 0,59
Sampel C5 - 0,59
Gambar 5. 2 Hasil pengamatan Nilai Rf baku pembanding dan sampel

Pada sampel A hanya terlihat satu noda dengan mempunyai nilai Rf


(0,20, 0,23, dan 0,24) yang memiliki nilai Rf yang sama dengan Baku
paracetamol yaitu (0,20, 0,21, dan 0,23). Pada sampel B telihat ada dua noda
yang mempunyai nilai Rf (0,20, 0,23, dan 0,24) yang memiliki nilai Rf yang
sama dengan baku Paracetamol yaitu (0,20, 0,21, dan 0,23) dan nilai Rf (0,59
dan 0,61) yang memiliki nilai Rf yang sama dengan baku Asam mefenamat
yaitu (0,58, 0,59, 0,60, 0,63, 0,64, 0,65, dan 0,68) . Sedangkan pada sampel C
haya terlihat satu noda dengan mempunyai nilai Rf (0,58, 059, dan 0,60) yang
mempunyai nilai Rf yang sama dengan Baku Asam mefenamat yaitu (0,58,
0,59, 0,60, 0,63, 0,64, 0,65, dan 0,68).

5.2.2 Penentuan Pola spektra


Hasil scanning noda analit baku Parasetamol dan asam mefenamat
dengan noda analit dalam sampel jamu asam urat dengan menghasilkan profil
spectra yang berbeda pada masing-masing baku pembanding. Noda - noda
yang dibaca pada densitometri adalah sampel-sampel yang diduga
mengandung bahan kimia obat (BKO) yang memiliki keterdekatan nilai Rf
antara baku pembanding dengan baku sampel. Hasil spectra dapat dilihat pada
gambar dibawah ini:

35
Gambar 5.1 Pola spectra baku Parasetamol dan sampel A, B, C
Keterangan : Replikasi tiga kali
Pada pola spectra (sampel A1 dan B1) dan (sampel A2 dan B2) mempunyai pola
spectra yang sama dengan baku 1, baku 2 dan baku 3 . Kemudian pada pola
spectra (sampel A3 dan B3) juga mempunyai pola spectra yang sama dengan
baku 4 dan 5.

36
Gambar 5. 3 Pola spectra baku Parasetamol dan sampel A, B, CKeterangan : Replikasi dua
kali
Pada pola spectra (sampel A4 dan B4) mempunyai pola spectra yang sama
dengan baku 1 replikasi 4. Kemudian pada pola spectra (sampel A 5dan B5)
mempunyai pola spectra yang sama dengan baku 2 dan baku 3.

37
Gambar 5. 4 Pola spectra baku Asam Mefenamat dan sampel A, B, C

Keterangan : Replikasi tiga kali


Pada pola spectra (sampel B1 dan sampel C1) mempunyai pola spectra yang
sama dengan baku 1. Sedangkan pada pola spectra (sampel B2 dan sampel C2)
mempunyai pola spectra yang sama dengan baku 2 dan baku 3.

38
Gambar 5. 5 Pola spectra baku Asam Mefenamat dan sampel A, B, C

Pada pola spectra (sampel B4 dan sampel C4) mempunyai pola spectra yang
sama dengan baku 2 dan baku 3. Sedangkan pada pola spectra (sampel B 5 dan
sampel C5) juga mempunyai pola spectra yang sama dengan baku 2 dan baku
3.

5.2.3. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum


Dilakukan penentuan panjang gelombang terpilih dari hasil KLT dengan
visualisasi Lampu UV dengan menggunakan Densitometer. Setelah hasil pola
spectra terbentuk, maka dihitung puncak gelombang maksimum atau puncak
tertinggi dari gambar pola spectra tersebut. Hasil pengamatan panjang
gelombang terpilih Paracetamol dan Asam mefenamat adalah sebagai berikut:

39
Gambar 5. 6 panjang gelombang maksimum baku Parasetamol dan sampel A, B, C

Ket : Replikasi tiga kali

Gambar 5. 7 panjang gelombang maksimum baku Parasetamol dan sampel A, B, CKet :


Replikasi dua kali

40
Gambar 5. 8 panjang gelombang maksimum baku Asam Mefenamat dan sampel A, B, C

Keterangan : Replikasi tiga kali

Gambar 5. 9 panjang gelombang maksimum baku Asam Mefenamat dan sampel A, B, C

keterangan: Replikasi dua kali

Lempeng I II III IV

41
λmaks λmaks λmaks λmaks
Baku Asam Baku Asam
Elemen Paracetamo
Paracetamo Mefenama Mefenamat
l (nm) t (nm) l (nm) (nm)
Baku Paracetamol 1 250 249
Baku Paracetamol 2 250 251
Baku Paracetamol 3 250 251
Baku Paracetamol 4 250 251
Baku Paracetamol 5 250 251
Baku Asam Mefenamat 1 292 291
Baku Asam Mefenamat 2 292 291
Baku Asam Mefenamat 3 292 291
Baku Asam Mefenamat 4 290 292
Baku Asam Mefenamat 5 290 292

Lempeng I II III IV
Sampel λmaks Sampel (nm)
Sampel A1 252 -
Sampel B1 250 280
Sampel C1 - 294
Sampel A2 252 -
Sampel B2 250 -
Sampel C2 - 292
Sampel A3 250 -
Sampel B3 252 -
Sampel C3 - -
Sampel A4 252 -
Sampel B4 251 -
Sampel C4 - 292
Sampel A5 251 -
Sampel B5 - 278
Sampel C5 - 292

Tabel 5 1 Hasil pengamatan panjang gelombang maksimum terpilih

Pola spectra baku paracetamol dan sampel memiliki panjang gelombang


maksimum 251 nm. Sedangkan pada pola spectra baku asam mefenamat dan
sampel memiliki panjang gelombang maksimum 292 nm.

42
5.2.4 Penentuan Match Factor (MF)
Penentuan Match Factor dilakukan setelah hasil pengukuran densitometer.
MF (Match Factor) yang dirumuskan sebagai berikut:

∑ X∑ X

Y❑
(
2−¿
n )
∑¿
¿

{( ∑ X∑ X
n
¿ )}
MF=
103 {
∑ X.Y− (∑ X∑ Y
n )}
❑2

¿
Keterangan:
X = Absorbansi spectrum pertama
Y = Absorbansi spectrum kedua
n = Banyaknya tempat penentuan
Harga MF = 900 -1000 menunjukkan kedua spectra tersebut identic sedangkan
kedua spectra dikatan tidak identik jika didapatkan harga MF < 900 (Mulya &
Suharman, 1995)

Absorbansi
λ
BK Sampel A Sampel B
220 0,43 0,43 0,51
220 0,61 0,63 0,60
220 0,71 0,64 0,70
220 0,58 0,56 0,59
220 0,56 0,54 0,55
TOTAL 2,89 2,8 2,95
MF 901,87 913,23

Tabel 5 2 Hasil Perhitungan Nilai MF baku Paracetamol dengan sampel

43
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa pada sampel A dan Sampel B positif
mengandung bahan kimia oba (BKO) Paracetamol, hal ini dikarenakan Match
Factor lebih dari 900 yang berarti sampel tersebut identik dengan Paracetamol.

Absorbansi
λ
BK Sampel B Sampel C
260 0,63 0,61 0,64
260 0,61 0,59 0,42
260 0,65 0,64 0,72
260 0,64 0,63 0,62
260 0,65 0,63 0,72
TOTAL 3,18 3,10 3,12
MF 943,08 919,51

Tabel 5 3 Hasil Perhitungan Nilai MF baku Asam Mefenamat dengan sampel

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa pada sampel A dan Sampel B positif
mengandung bahan kimia oba (BKO) Paracetamol, hal ini dikarenakan Match
Factor lebih dari 900 yang berarti sampel tersebut identik dengan Paracetamol.

5.3. Penelitian dengan fase gerak yang lain


Dalam penelitian ini dilakukan pada penelitian dengan fase gerak yang
lain yaitu, Kloroform : methanol (36:4) dan Kloroform : ethanol (36:4) dari
hasil penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Fase Gerak Kloroform-metanol (36:4)


Rf
Baku Paracetamol 0,23
Baku Paracetamol 0,24
Baku Paracetamol 0,20
Sampel A1 0,25
Sampel A2 0,25
Sampel A3 0,25
Sampel A4 0,24
Sampel A5 0,25
Sampel B1 0,30 & 0,85
Sampel B2 0,30 & 0,83

44
Sampel B3 0,29 & 0,83
Sampel B4 0,30 & 0,85
Sampel B5 0,29 & 0,85
Tabel 5 4 Hasil pengamatan nilai Rf pada baku pembanding dan sampel dengan fase gerak Kloroform :
methanol (36:4)

Fase Gerak Kloroform-metanol (36:4)


Rf
Baku Asam Mefenamat -
Baku Asam Mefenamat 0,89
Baku Asam Mefenamat 0,81
Sampel B1 0,94 & 0,35
Sampel B2 0,93 & 0,35
Sampel B3 0,91 & 0,36
Sampel B4 0,91 & 0,35
Sampel B5 0,91 & 0,34
Sampel C1 0,89
Sampel C2 0,86
Sampel C3 0,86
Sampel C4 0,86
Sampel C5 0,86

Fase Gerak Kloroform-etanol (36:4)


Rf
Baku Paracetamol 0,18
Baku Paracetamol 0,21
Baku Paracetamol 0,24
Sampel A1 0,18
Sampel A2 0,15
Sampel A3 0,16
Sampel A4 0,16
Sampel A5 0,18
Sampel B1 -
Sampel B2 0,20 & 0,80
Sampel B3 0,20 & 0,82
Sampel B4 0,20 & 0,82
Sampel B5 0,20 & 0,82

Fase Gerak Kloroform-etanol (36:4)


Rf
Baku Asam Mefenamat -
Baku Asam Mefenamat 0,79
Baku Asam Mefenamat 0,76

45
Sampel B1 0,89 & 0,28
Sampel B2 0,86 & 0,25
Sampel B3 0,84 & 0,24
Sampel B4 0,24
Sampel B5 0,20
Sampel C1 0,85
Sampel C2 0,83
Sampel C3 0,81
Sampel C4 0,81
Sampel C5 0,81

Tabel 5 5 Hasil pengamatan nilai Rf pada baku pembanding dan sampel dengan fase gerak Kloroform :
ethanol (36:4)

Dari hasil pengamatan nilai Rf dengan fase gerak tersebut maka dapat diambil
kesimpulan bahwa dengan kedua macam fase gerak tersebut dapat
memisahkan pula bahan kimia obat paracetamol dan asam mefenamat dalam
sediaan jamu asam urat. Pada sampel A yang mengandung bahan kimia obat
paracetamol, sedangkan pada sampel B mengandung bahan kimia obat
paracetamol dan Asam mefenamat, dan pada sampel C mengandung bahan
kimia obat asam mefenamat.

46
BAB VI

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini telah dilakukan analisis bahan kimia obat


(paracetamol dan asam mefenamat) dalam sediaan obat tradisional dengan
metode kromatografi lapis tipis-densitometri. Pada pengambilan sampel,
diambil 1 toko jamu yang terdapat di kecamatan sukun, kota malang. Dari
toko tersebut diambil 3 sampel jamu asam urat dengan merk yang berbeda, no
batch berbeda, dan no registrasi yang berbeda. Dari 3 sampel tersebut
dilakukan replikasi 5x, sehingga peneliti mendapatkan 15 sampel jamu asam
urat.
Dalam penelitian ini digunakan analisis kualitatif. Dilakukan penelitian
analisis kualitatif adalah untuk mengetahui ada tidaknya Paracetamol dan
asam mefenamat sebagai bahan kimia obat (BKO) dalam sediaan jamu asam
urat dengan menggunakan kromatografi lapis tipis-densitometri. Analisis
kualitatif ini yang dilakukan adalah dengan melihat nilai Rf, pola spectra serta
dengan menentukan panjang gelombang maksimum, dan nilai Macth Factor
(MF).
Tahap pertama yang dilakukan adalah membuat larutan baku induk
paracetamol dan asam mefenamat sebagai pembanding dalam pengujian yang
sesuai dengan prosedur analisis kualitatif yang tercantum pada bab IV. larutan
baku induk paracetamol dengan konsentrasi 1000 ppm. Kemudian membuat
baku kerja paracetamol dengan konsentrasi 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm, 400
ppm, 500 ppm. Sedangkan baku induk asam mefenamat dengan konsentrasi
500 ppm. Kemudian membuat baku kerja asam mefenamat dengan konsentrasi
50 ppm, 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, 250 ppm. Kemudian 3 sampel jamu
asam urat diektraksi dengan metanol dengan cara 5x replikasi. Setelah itu
larutan baku kerja paracetamol dan asam mefenamat dengan sampel jamu
ditotolkan sebanyak 5μl pada fase diam silika gel 60F 254 dan kemudian
dieluasi dengan fase gerak kloroform – aseton (32:8). Setelah mencapai batas

47
eluasi dan telah dikeringkan pada lemari asam setelah beberapa menit, noda
diamati dengan menggunakan sinar UV.
Pada pengamatan ini masing-masing noda baku paracetamol dan asam
mefenamat mempunyai lima noda yang sangat jelas dan terpisah dengan baik.
Dimana dalam penelitian ini menggunakan empat lempeng plat KLT untuk
menganalisis sampel jamu yang telah didapat. Untuk noda baku paracetamol
pada replikasi 1-5 lempeng I, noda baku 1- 4 dengan nilai Rf 0,23 sedangkan
pada baku 5 dengan nilai Rf 0,21. Kemudian pada replikasi 1-5 lempeng III,
noda baku 1-5 mempunyai nilai Rf 0,2. Pada (sampel A 1 dan B1) mempunyai
harga Rf yang sama yaitu 0,24. Pada (sampel A2, B2, A3, B3) juga mempunyai
harga Rf yang sama yaitu 0,23. Pada (sampel A 4) nilai Rf 0,23, (sampel B4)
nilai Rf 0,21. Sedangkan pada (sampel A5 dan B5) mempunyai nilai Rf yang
sama yaitu 0,2. Sehingga pada sampel A dan B diduga mengandung bahan
kimia obat parasetamol sedangkan pada sampel C tidak mengandung bahan
kimia obat paracetamol.
Untuk noda asam mefenamat pada replikasi 1-5 lempeng II, noda
baku1 mempunyai nilai Rf 0,63, noda baku 2 dan baku 3 mempunyai nilai Rf
yang sama yaitu 0,6, sedangkan pada baku 4 dan baku 5 mempunyai nilai Rf
0,65 dan 0,68. Kemudian pada replikasi 1-5 lempeng IV, noda baku asam
mefenamat 1-5 mempunyai nilai Rf yang berbeda yaitu 0,63, 0,58, 0,59, 0,64,
0,65. Pada (sampel B1) mempunyai nilai Rf 0,61 dan (sampel C1) mempunyai
nilai Rf 0,60. Pada (sampel B2 dan C2) mempunyai nilai Rf yang sama yaitu
0,59. Pada (sampel B3) mempunyai nilai Rf 0,59 dan (sampel C 3) nilai Rf
0,60. Pada (sampel B4) mempunyai nilai Rf 0,59, (sampel C4) nilai Rf 0,58.
Sedangkan pada (sampel B5 dan C5) mempunyai nilai Rf yang sama yaitu
0,59. Sehingga pada sampel B dan C diduga mengandung bahan kimia obat
asam mefenamat sedangkan pada sampel A tidak mengandung bahan kimia
obat asam mefenamat.
Komposisi fase gerak Kloroform : Aseton (32:8) terhadap 3 sampel
jamu asam urat yang bersifat relative non polar dan fase diamnya yaitu silica
gel 60F 254 yang bersifat relatif polar. Sehingga komponen yang bersifat polar
lebih tertahan pada fase diam dan didapatkan harga Rf yang lebih kecil

48
daripada komponen yang bersifat non polar (skoog, 1985). Oleh karena
kepolaran paracetamol lebih tinggi disbanding asam mefenamat, maka
diperoleh harga Rf paracetamol lebih kecil dari harga Rf Asam Mefenamat.
Selanjutnya nilai Rf yang sama dapat diukur ketahap selanjutnya,
dilakukan scanning pola spectra yang nantinya diperoleh untuk menentukan
panjang gelombang maksimum dan nilai Match Factor (MF). Dilihat dari hasil
spectra dan panjang gelombang paracetamol dari lempeng I (baku 1, 3, 4, dan
baku 5) mempunyai pola spectra dan panjang gelombang yang sama, dengan
λmax 250 nm. Kemudian pada lempeng III (baku 2, 3, 4) dan (baku 5)
mempunyai pola spectra dan panjang gelombang yang sama, dengan λmax
251 nm. Pada (sampel B1, B2, A3) mempunyai pola spectra dan λmax yang
sama yaitu 250 nm. Sedangkan pada (sampel A1, A2, B3) mempunyai pola
spectra dan λmax yang sama yaitu 252 nm. Sedangkan pada (sampel B 4 dan
A5) mempunyai pola spectra dan panjang gelombang yang sama, dengan λmax
251 nm.
Kemudian dilihat dari hasil spectra dan panjang gelombang asam
mefenamat dari lempeng II pada (baku1, 2 dan baku 3) mempunyai pola
spectra dan panjang gelombang yang sama, dengan λmax 292 nm. Sedangkan
pada (baku 4 dan baku 5) mempunyai pola spectra dan panjang gelombang
yang sama, dengan λmax 290 nm. Pada lempeng IV (baku 1, 2, dan baku 3)
mempunyai pola spectra dan panjang gelombang yang sama, dengan λmax
291 nm. Sedangkan pada (baku 4 dan baku 5) mempunyai pola spectra yang
sama dan panjang gelombang yang sama yaitu λmax 292 nm. Pada (sampel
B1) dengan λmax 280 nm, (sampel C1) dengan λmax 294nm, (sampel (C2)
dengan λmax 292 nm. Sedangkan pada (sampel C4 dan C5) mempunyai pola
spectra yang sama dan panjang gelombang yang sama yaitu λmax 292 nm.
Pada (sampel B5) mempunyai λmax 278 nm.
Setelah menentukan pola spectra dan panjang gelombang maka,
kemudian menghitung nilai Macth Factor (MF). Dari Sampel A dan Sampel B
mempunyai nilai MF (>900) yang identik dengan baku pembanding
paracetamol. Sedangkan pada sampel B dan sampel C juga mempunyai nilai
MF (>900) yang identik dengan baku pembanding asam mefenamat. Dari

49
hasil tersebut maka dapat memperkuat adanya bahan kimia obat (BKO)
paracetamol dan asam mefenamat dalam sediaan jamu asam urat. Apabila
profil spectra dan panjang gelombang maksimum sama antara sampel jamu
dengan pembanding dan mempunyai nilai MF (>900), maka data ini lebih
menjamin bahwa suatu sampel tersebut mengandung bahan kimia obat (BKO).
Kemudian dilakukan penelitian penggunaan fase gerak yang lain yaitu
kloroform : methanol (36:4) dan kloroform : etanol (36:4). Dari hasil yang
didapatkan bahwa pada fase gerak kloroform : methanol (36:4) diperoleh nilai
Rf untuk Baku Paracetamol 0,23, 0,24, dan 0,20. Untuk sampel A mempunyai
nilai Rf 0,24- 0,25, sedangkan untuk sampel B mempunyai nilai Rf 0,29-0,30
dan mempunyai nilai Rf 0,83-0,85. Untuk fase gerak kloroform : etanol (36:4)
diperoleh nilai Rf untuk Baku Paracetamol 0,18, 0,21 dan 0,24.Untuk sampel
A mempunyai nilai Rf 0,18 – 0,16, sedangkan untuk sampel B 0,20 dan 0,82.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada sampel A mengandung paracetamol,
sedangkan pada sampel B mengandung Paracetamol dan Asam mefenamat.
Dari hasil yang didapatkan bahwa pada fase gerak kloroform :
methanol (36:4) diperoleh nilai Rf untuk Baku Asam mefenamat 0,81 dan
0,89. Untuk sampel B mempunyai nilai Rf 0,91- 0,94 dan mempunyai nilai Rf
0,34-0,36, sedangkan untuk sampel C mempunyai nilai Rf 0,86 dan 0,89.
Untuk fase gerak kloroform : etanol (36:4) diperoleh nilai Rf untuk Baku
Asam mefenamat 0,76 dan 0,79.Untuk sampel B mempunyai nilai Rf 0,84-
0,89 dan mempunyai nilai Rf 0,20-0,28. Untuk sampel C mempunyai nilai Rf
0,81-0,85. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada sampel C mengandung
Asam mefenamat, sedangkan pada sampel B mengandung Paracetamol dan
Asam mefenamat.

50
BAB VII

KESIMPULAN & SARAN

7.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian analisis bahan kimia obat
(paracetamol dan asam mefenamat) dalam sediaan obat tradisional (jamu asam
urat) dengan metode kromatografi lapis tipis-densitometri sebagai berikut:
Jamu asam urat yang diperoleh di kecamatan sukun kota malang, yang
mengandung bahan kimia obat (BKO) paracetamol dan asam mefenemat
dengan metode kromatografi lapis tipis - densitometri pada sampel A
mengandung senyawa paracetamol, sedangkan pada sampel B mengandung
senyawa parcetamol dan asam mefenamat, pada sampel C mengandung
senyawa Asam Mefenamat.

7.2 Saran
1. Perlu dilakukan analisis kuantitatif untuk mengetahui seberapa besar
kadar bahan kimia obat dalam sediaan jamu asam urat.
2. Perlu dilakukan peningkatan pengawasan yang lebih ketat oleh Balai
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tehadap sediaan jamu asam urat
yang beredar di masyarakat. Serta pabrik jamu yang beredar di
masyarakat terjamin mutu dan keamananya.

51
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995. Farmakope Indonesia edisi IV, Jakarta : Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, hal 286, 537, 664 dan 649.

Anonim, 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan


Republik Indonesia No: HK.00.05.41.1384 tentang kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal dan
Fitofarmaka tahun 2005, www.pom.go.id. Diakses tanggal 10 Januari
2013

Anonim, 2010. Public Warning/Peringatan Badan Pengawas Obat dan


Makanan Republik Indonesia tentang Obat Tradisional Mengandung
Bahan Kimia Obat No : HM.03.03.1.43.08.10.8013, Jakarta, 13
Agustus 2010,http://www.pom.go.id/public/peringatan publik/default.asp.
Diakses tanggal 14 Januari 2013.

Anonim, 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan


Republik Indonesia No : HK.00.05.1.23.3516 tahun 2009 Tentang
Kriteria dan tata laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal
dan fitifarmaka tahun 2009, www.pom.go.id. Diakses tanggal 26 Januari
2013.

Badan POM, 2003. Daftar Nomor Pendaftaran Obat Tradisional dan


Suplemen Makanan yang disetujui.

Badan POM, 2003. Public Warning tentang Obat Tradisional mengandung


BKO; No: KB.01.04.11.22.2003.

Badan POM, 2004. Survei Aktif Keamanan Obat Tradisional Pelangsing di


Jabotabek. Laporan

Badan POM RI, 2005. Peraturan Perundang-undangan Di bidang Obat


Tradisional, Obat Herbal Tersatandar, fitofarmaka, Jakarta.

Bambang, R.S., 1986. Analisis Jamu. Jakarta : Fakultas Farmasi Universitas


Pancasila., p.95-105.

Channel, R.J.P., 1998. How To Approach The Isolation of A Natural Product.


In: Cannel, R.J.P. (Eds) Natural Products Isolation, New Jersey :
Humana Press Inc., pp.11, 40-41.

Clarke’s, E.G.C., 2004. Analysis of drugs and poisons., London : the


pharmaceutical press, hal 403-408.

52
De Smet PAG., 2004. Towards Safer Herbal Medicines Eur Phyto J.
www.ex.ac.uk/Phytonet/Phytojournal/ diakses Tanggal 19 Maret 2013

Dolan, W.,and Snyder, L.R., 1989. Troubleshootings LC systems. Human Press


Inc., p.470-471.

Fried, B. And Sherma, J., 1994. Thin layer Chromatography Techniques and
Applications. 3rd edition,. New York: Marcell Dekke, Inc. Hal 3-22

Gandjar, L.G., and Rohman, A., 2007. Kimia Farmasi Analisis. Jogjakarta :
pustaka pelajar, hal 353-377

Ganiswarna, S. G., 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi VI, Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia, hal 217

Gusmali, D dan Gitawati R., 2001. Kajian Keamanan Beberapa Food


Supplement yang beredar di tiga kota besar berdasarkan informasi
dari penandaan dan pengalaman konsumen. Laporan Penelitian
Puslitbang Farmasi, Badan Litbang Kesehatan

Hermanto dan Subroto, 2007. Pilih Jamu Dan Herbal Tanpa Efek Samping.
Penerbit PT Elex Media Komputindo, Jakarta

Hoan tjay, Tan dan Kirana Raharja., 2007, Obat-obat penting, Ed. VI, cetakan
keenam, Gramedia, Jakarta hal 315-318

Katno, S. Parmono, Tingkat Manfaat Dan KeamananTanaman Obat Dan


Obat Tradisional, Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu,
Fakultas Farmasi UGM.

Kromatografi Lapis Tipis. 2009. http://www.chemistry.org/materi_kimia/


instrumen_analisis/kromatografi1/kromatografi_lapis_tipis/ . Diakses
tangal 26 Februari 2013.

Lusia, 2012. Penambahan Obat Rematik dalam Obat Tradisional.


http://health.kompas.com/read/2012/09/19/07134743/Marak.Penambahan.
Obat.Rematik.dalam.Obat.Tradisional. Diakses Tanggal 2 Maret 2013

Marcus DM, Grollman AP., 2002. Sounding Board Botanical Medicines-The


need for new regulations. N Engl J. Med. 347 (25): 2073-2076

Mulya, M dan suharman., 1995. Analisis Instrumental. Airlangga University


Press; Surabaya, hal 147-235

Munson, J.W., 1991. Analisis Farmasi Metode Modern, vol 11. . Airlangga
University Press; hal 125-134

53
Roy J. Gritter, James M. Bobbit, Arthur E. S., 1991. Pengantar Kromatografi.
Penerbit ITB. Bandung.

Skoog, D.A., 1985. Principle of Instrumental Analysis, 3rd ed. New York.
Philadelphia : CBS College Publishing, hal 837-847

Stahl, Egon, 1984, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, ITB :
Bandung

Turana Y., 2003. Meuju pengobatan alternative yang lebih rasional.


www.medikaholistik.com . diakses tanggal 24 Februari 2013

Watson, and David, G., 2009. Analisis Farmasi, Buku Ajar Untuk Mahasiswa
farmasi dan praktis Kimia Farmasi, 2nd ed. Jakarta : Egc, hal 367-378

Wenas, 1999. Kelainan Hati Akibat Obat. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid 1.
Edisi 3, gaya baru, Jakarta, hal 363-369

Yuliarti, Nurheti, 2008. Tips Cerdas Mengkonsumsi Jamu, Penerbit Banyu


Media, Yogyakarta

54

Anda mungkin juga menyukai