Farmakokinetika
Farmakokinetika
MAKALAH
Disusun:
Apriana Rohman S 07023232
FARMAKOLOGI OBAT
OLEH
1. ST. MARHAMAH
2. ABULKHAIR ABDULLAH
4. AGUS SALIM
5. AHMAD ZAKIR
SAMATA-GOWA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga
dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan sebagaiman mestinya. Salam dan shalawat
semoga tetap tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-sahabatnya, dan
Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan kegigihan dan
keikhlasannya membimbing kami sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit apa yang
sebelumnya kami tidak ketahui. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan yang telah membantu
Makalah ini kami buat dengan sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan dalam penulisan
makalah ini, kami berharap dan memohon saran serta kritikan dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini ke depannya. Semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita semua.
Samata, 19 Mei 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................. i
Daftar isi........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................... 1
C. Tujuan Makalah...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
E. Kajian Al-Quran................................................................... 22
A. Kesimpulan.......................................................................... 24
B. Saran................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat
proses kimia khususnya lewat reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara
membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat. Farmakologi terutama terfokus pada
Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang farmasis dapat menjadi suatu masalah
untuk bagi pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan penggunaan yang
cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang tidak mengganggu.
Menurut suatu survey di Amerika Serikat, sekitar 5% pasien masuk rumah sakit akibat obat.
Rasio fatalitas kasus akibat obat di rumah sakit bervariasi antara 2-12%. Efek samping obat
meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diminum. Melihat fakta tersebut, pentingnya
Dalam makalah ini akan dibahas secara umum mengenai farmakologi (farmakokinetik dan
C. Tujuan Makalah
Setelah terselesaikannya makalah ini, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi
pembaca terlebih pada masalah farmakologi di mana farmakologi ini sangat penting untuk dikuasai
PEMBAHASAN
Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis layak dapat
Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman. Dengan
macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun-temurun
disimpan dan dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti pengobatan
Namun, tidak semua obat memulai riwayatnya sebagai obat anti penyakit, ada pula yang pada
awalnya digunakan sebagai alat ilmu sihir, kosmetika, atau racun untuk membunuh musuh.
Misalnya, strychnine dan kurare mulanya digunakan sebagai racun panah penduduk pribumi Afrika
dan Amerika Selatan. Contoh yang lebih baru ialah obat kanker nitrogen-mustard yang semula
digunakan sebagai gas racun (mustard gas) pada perang dunia pertama.
Obat nabati ini digunakan sebagai rebusan atau ekstrak dengan aktivitas dan efek yang sering
kali berbeda-beda tergantung dari asal tana,an dan cara pembuatannya. Kondisi ini dianggap kurang
memuaskan sehingga lambat laun para ahli kimia mulai mencoba mengisolasi zat-zat aktif yang
terkandung di dalamnya. Hasil percobaan mereka adalah serangkaian zat kimia, yang terkenal di
antaranya adalah efedrin dari tanaman Ma Huang (Ephedra vulgaris), kinin dari kulit pohon kina,
atropine dari Atropa belladonna, morfin dari candu (Papaver somniferum), dan digoksin dari Digitalis
Pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis mulai tampak kemajuannya dengan
ditemukannya obat-obat termashyur, yaitu salvarsan dan aspirin sebagai pelopor yang kemudian
disusul oleh sejumlah obat lain. Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penemuan dan
Sejak tahun 1945, ilmu kimia, fisika, dan kedokteran berkembang pesat dan hal ini
menguntungkan sekali bagi penelitian sistematis obat-obat baru. Menurut taksiran, lebih kurang
80% dari semua obat yang kini digunakan secara klinis merupakan penemuan dari tiga dasawarsa
terakhir.
B. Farmakologi Obat
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat
proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan
seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya
dalam organisme hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh manusia
khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit, disebut farmakologi klinis. Ilmu khasiat
Farmakologi sebagai ilmu berbeda dari ilmu lain secara umum pada keterkaitannya yang erat
Farmakologi terutama terfokus pada dua sub, yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik.
Farmakokinetik ialah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu absorpsi,
distribusi, biotransformasi, dan ekskresi. Sub farmakologi ini erat sekali hubungannya dengan ilmu
kimia dan biokimia. Farmakodinamik menyangkut pengaruh obat terhadap sel hidup, organ atau
makhluk, secara keseluruhan erat berhubungan dengan fisiologi, biokimia, dan patologi.
Farmakokinetik maupun farmakodinamik obat diteliti terlebih dahulu pada hewan sebelum diteliti
C. Farmakokinetik Obat
Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses dan kebanyakan proses sangat
rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga fase:
1. Fase farmaseutik;
3. Fase farmakodinamik.
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat,
yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya
mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya da dalam darah dan
Dalam fase farmakokinetik termasuk bagian proses invasi dan proses eliminasi (evasi). Yang
dimaksud dengan invasi ialah proses-proses yang berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat
1.
Invasi
Absorpsi
Distribusi
Eliminasi
Metabolisme
Ekskresi
Gambar 1. Bagian proses farmakokinetik
1. Absorpsi
Umumnya penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui filtrasi, difusi, atau
transport aktif.
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung
pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan
Pemakaian topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal pada penyakit kulit,
dapat disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau adstringensia, pemakaian bronkholitika
dalam bentuk aerosol, penyuntikan anestetika lokal ke dalam jaringan dan pemakaian lokal
Keuntungannya pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih rendah sedangkan
ditandai oleh:
a. Dapat diatur dosis yang tepat dan ketersediaan hayati umumnya sebesar 100%. Hanya dalam hal-hal
khusus terjadi adsorpsi sebagian bahan obat pada peralatan infuse dank arena itu mengakibatkan
b. Akibat pengenceran yang cepat dalam darah dan akibat kapasitas daparnya yang besar maka
persyaratan larutan yang menyangkut isotoni dan isohidri lebih rendah dibandingkan dengan
penyuntikan subkutan.
Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama dipakai jika faktor waktu yang sangat penting, misalnya
Pemakaian oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang cocok
dapat relatif mudah diproduksi dan di samping itu, kebanyakan pasien lebih menyukai pemakaian
ini. Akan tetapi pemakaian obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar diabsorpsi
melalui saluran cerna (strofantin dan tubokurarin) atau iritasi mukosa lambung. Untuk kasus terakhir
dibutuhkan pembuatan bentuk obat dengan penyalut yang tahan terhadap cairan lambung.
Pemakaian rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus yang tidak mutlak
diperlukan kadar dalam darah tertentu dan juga tidak terdapat keadaan darurat. Hal ini disebabkan
oleh kuosien absorpsi sangat berbeda dan kebanyakan juga sangat rendah.
Karena itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya pemakaian rektal
analgetika dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil bermanfaat. Di samping itu, pada pasien
yang cenderung muntah atau lambungnya terganggu, lebih disukai pemakaian rektal sejauh tidak
2. Distribusi
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut bersama aliran darah
dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat mencoba
untuk meninggalkan pembuluh darah dan terdistribusi dalam organisme keseluruhan. Penetrasi dari
pembuluh darah ke dalam jaringan dan dengan demikian distribusinya, seperti halnya absorpsi,
Berdasarkan fungsinya, organisme dapat dibagi dalam ruang distribusi yang berbeda
(kompartemen):
Dalam ruang intrasel (sekitar 75% dari bobot badan) termasuk cairan intrasel dan komponen sel
yang padat. Ruang ektrasel (sekitar 22% dari bobot badan) dibagi lagi atas:
a. Air plasma;
c.
Cairan plasma
Cairan transsel
Ruang ekstrasel
Ruang usus
Ruang intrasel
Cairan intrasel
Cairan transsel.
Gambar 2. Ruang distribusi organisme
Sering kali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan,
misalnya rintangan darah-otak (cerebro-spinal barrier), terikatnya obat pada protein darah atau
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah (ikatan
hidrofobik, van der Waals, hidrogen, dan ionic). Ada beberapa macam protein plasma:
a. Albumin: mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya steroid) serta bilirubin dan asam-
asam lemak.
Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Kompleks
obat-protein terdisosiasi dengan sangat cepat (t½ ~ a20 milidetik). Obat bebas akan keluar ke
jaringan (dengan cara yang sama seperti cara masuknya) ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat
depotnya, ke hati (di mana obat mengalami metabolisme menjadi metabolit yang dikeluarkan
melalui empedu atau masuk kembali ke darah) dan ke ginjal (di mana obat/metabolitnya diekskresi
ke dalam urin).
Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di cairan usus) sedangkan obat
yang larut lemak akan berdifusi melintasi membran sel dan masuk ke dalam sel tetapi karena
perbedaan pH di dalam sel (pH = 7) dan di luar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam lebih banyak di
diekskresi dengan empedu ke dalam usus 12 jari, sebagian atau seluruhnya dapat direabsorpsi dalam
bagian usus yang lebih dalam (sirkulasi enterohepatik). Telah dibuktikan penetrasi senyawa basa dari
darah ka dalam lambung. Juga bahan ini sebagian direabsorpsi dalam usus halus (sirkulasi
enterogaster).
Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi ialah yang disebut pengarahan obat (drug
targetting), artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan. Efek
samping sering terjadi justru karena bahan obat selain bereaksi dengan struktur tubuh yang
diinginkan, ia bereaksi juga dengan struktur yang lain. Pengarahan obat merangsang suatu sistem
pembawa yang sesuai yang memungkinkan satu transport yang selektif ke dalam jaringan yang
Sebagai pembawa yang mungkin ialah makromolekul tubuh sendiri maupun makromolekul
sintetik atau sel-sel tubuh misalnya eritrosit. Contoh yang sangat menarik ialah pengikatan kovalen
sitostatika kepada antibodi antitumor. Walaupun keberhasilan praktis dengan sistem demikian
sampai sekarang malah mengecewakan, tetapi harapan berkembang bahwa melalui penambahan
antibodi monoklon yang makin banyak tersedia, maka keefektifan dapat diperbaiki.
3. Metabolisme
Pada dasarnya setiap obat merupakan zat asing bagi tubuh yang tidak diinginkan karena obat
dapat merusak sel dan mengganggu fungsinya. Oleh karena itu, tubuh akan berupaya merombak zat
asing ini menjadi metabolit yang tidak aktif lagi dan sekaligus bersifat lebih hidrofil agar
Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah
terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limpa, otot, kulit, atau dalam darah.
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi, lalu diangkut melalui sistem pembuluh darah
(vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah lambung-usus ke hati. Dengan
pemberian sublingual, intrapulmonal, transkutan, parenteral, atau rektal (sebagian), sistem porta ini
dan hati akan dapat dihindari. Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran lambung-usus seluruh
atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan apda umumnya hasil
perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif lagi. Maka proses ini disebut proses
detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada pula obat yang khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-
aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat
disebut bio-transformasi.
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar
(larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini, obat aktif
umumnya diubah menjadi inaktif tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug),
Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi,
reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah oabt menjadi lebih polar dengan akibat menjadi inaktif, lebih
aktif, atau kurang aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi dengan substrat
endogen: asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi sangat
polar. Dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi
fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus
polar seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfhidril, dan sebagainya untuk dapat bereaksi
dengan substrat endogen pada reaksi fase II. Karena itu, obat yang sudah mempunyai gugus-gugus
tersebut dapat langsung bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat
juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II lebih
dulu.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (CYP) yang
disebut juga enzim mono-oksigenase atau MFO (mixed-function oxidase) dalam endoplasmic
4. Ekskresi
Seperti halnya metabolisme, ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan
konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi bergantung kepada sifat
fisikokimia (bobot molekul, hatga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi.
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni
disebut ekskresi. Selain itu ada pula beberapa cara lain, yaitu:
b. Paru-paru, melalui pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti alkohol, paraldehida, dan
c. Empedu, ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein
(pencahar).
Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus
proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia
Filtrasi glumerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus protein. Jadi semua obat akan
keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah.
Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran
P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di membran sel epitel
dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan konyugat dan P-gp untuk kation
organik dan zat netral. Dengan demikian terjadi kompetisi antara asam-asam organik maupun antara
karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat
ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa.
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Lain halnya dengan
pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung, pengurangan fungsi ginjal dapat dihitung
berdasarkan pengurangan kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis obat pada gangguan
D. Farmakodinamik Obat
Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek utama
obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek
dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme.
Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang
merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul
fungsional, hal ini mencakup dua konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan
kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi
Tujuan pokok percobaan farmakologi adalah penjelasan terhadap pertanyaan, apakah senyawa
yang diuji merupakan obat yang bekerja spesifik atau tidak spesifik.
Senyawa yang bekerja tidak spesifik. Zat berkhasiat ini mempunyai ciri:
1. Tidak bereaksi dengan reseptor spesifik;
4. Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi yang tidak terlalu besar.
Dalam kebanyakan hal, khasiatnya berhubungan dengan sifat lipofilnya. Oleh karena itu,
perbedaan kerjanya dapat dijelaskan dengan koefifien distribusi yang berbeda. Kemungkinan besar
kerja senyawa demikian menyangkut interaksi dengan struktur lipofil organisme, khususnya struktur
membran dalam hal ini fungsi struktur diubah. Yang termasuk dalam obat yang bekerja tidak spesifik
Senyawa dengan kerja spesifik. Senyawa golongan ini bekerja melalui interaksi dengan
reseptor spesifik. Efeknya sangat bergantung pada struktur kimia dan dengan demikian bergantung
kepada bentuknya, besarnya, dan pengaturan stereokimia molekul. Selain itu, bergantung juga pada
gugus fungsinya serta distribusi elektronnya. Senyawa demikian berkhasiat dalam konsentrasi yang
lebih kecil daripada senyawa yang bekerja tidak spesifik. Bahkan perubahan yang sangat kecil pada
struktur kimianya dapat sangat mempengaruhi khasiat farmakologinya. Senyawa yang berkaitan
dengan reseptor yang sama memiliki banyak unsur struktur yang umum yang disebut gugus
Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat dalam tubuh manusia, akan tetapi
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Secara fisis, misalnya anestetika terbang, laksansia, dan diuretika osmotis. Aktivitas anestetika
inhalasi berhubungan langsung dengan sifat lipofilnya. Obat ini diperkirakan melarut dalam lapisan
lemak dari membran sel yang karena ini berubah demikian rupa hingga transport normal dari
oksigen dan zat-zat gizi terganggu dan aktivitas sel terhambat. Akibatnya adalah hilangnya perasaan.
Pencahar osmotis (magnesium dan natrium sulfat) lambat sekali diresorpsi usus dan melalui proses
osmosis menarik air dan sekitarnya. Volume isi usus bertambah besar dan dengan demikian
merupakan rangsangan mekanis atas dinding usus untuk memicu peristaltic dan mengeluarkan
isinya.
2. Secara kimiawi, misalnya antasida lambung dan zat-zat chelasi (chelator). Antasida, seperti natrium
bikarbonat, aluminium, dan magnesium hidroksida dapat mengikat kelebihan asam lambung melalui
reaksi netralisasi kimiawi. Zat-zat chelasi mengikat ion-ion logam berat pada molekulnya dengan
suatu ikatan kimiawi khusus. Kompleks yang terbentuk tidak toksis lagi dan mudah diekskresikan
oleh ginjal. Contohnya adalah dimerkaprol (BAL), natrium edetat (EDTA), dan penisilamin
3. Melalui proses metabolisme pelbagai cara, misalnya antibiotika yang mengganggu pembentukan
dinding sel kuman, sintesa protein, atau metabolisme asam nukleinat. Begitu pula antimikroba
mencegah pembelahan inti sel dan diuretika yang menghambat atau menstimulir proses filtrasi
contoh lain adalah probenesid, suatu obat encok yang dapat menyaingi penisilin dan derivatnya
(antara lain amoksisilin) pada sekresi tubuler, sehingga ekskresinya diperlambat dan efeknya
diperpanjang.
4. Secara kompetisi (saingan), di mana dapat dibedakan dua jenis, yakni kompetisi untuk reseptor
Ikatan antara obat denga reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion,
hidrogen, hidrofobik, van der Waals), mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang terjadi
ikatan kovalen.
Yang dimaksud dengan reseptor adalah makromolekul (biopolimer) khas atau bagiannya dalam
organisme, yakni tempat aktif biologi, tempat obat terikat. Persyaratan untuk interaksi obat-
reseptor adalah pembentukan kompleks obat-reseptor. Apakah kompleks ini terbentuk dan
seberapa besar terbentuknya bergantung pada afinitas obat terhadap reseptor. Kemampuan suatu
obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan dengan demikian efek, setelah membentuk kompleks
dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Aktivitas intrinsik menentukan besarnya efek maksimum
1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama tetapi pada sistem
reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh
2. Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor yang sama (antagonisme
antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi
dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama.
Antagonisme kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis
secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian hambatan efek
agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang
sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efej yang sama.
Antagonism nonkompetitif. Hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat
diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang
E. Kajian Al-Quran
QS. An-Nahl ayat 11:
dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda
yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman. Dengan
macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun-temurun
disimpan dan dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti pengobatan
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat
proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat,
yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya
mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya dalam darah dan jarigan
Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek utama
obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek
dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kesalahan pada makalah
ini mohon dimaklumi dan kami sangat membutuhkan saran atau kritikan demi perbaikan makalah
Al-Quran
Syarif, Amir, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Tjay, Tan Hoan, dkk. Obat-Obat Penting Edisi 6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3-4
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 4
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1
Ibid, hal. 1
Ibid, hal. 1
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 22
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5-6
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 23
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 2
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5
Ibid, hal. 7
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 7
Ibid, hal. 7
Ibid, hal. 7
Ibid, hal. 8
Ibid, hal. 9
Ibid, hal. 9
Ibid, hal. 16
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 16
Ibid, hal. 16
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 27
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 6
Ibid, hal. 6
Ibid, hal. 6
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 18
Ibid, hal. 19
Ibid, hal. 19
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 24
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 20
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 25
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 8
Ibid, hal. 8
Ibid, hal. 8
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 34
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 29-30
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 12
Ibid, hal. 12
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 52
Ibid, hal. 52
Ibid, hal. 52
Ibid, hal. 52
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 35
Ibid, hal. 35
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 17
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 52
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 20
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 20
Ibid, hal. 21
Ibid, hal. 21
A. LATAR BELAKANG
Farmakologi adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia
khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa tersebut disebut obat, dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari mafaat dan resiko penggunaan obat (Setiawati, 2007).
Farmakologi terutama terfokus pada dua subdisiplin, yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik.
Farmakokinetik adalah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu absorpsi,
distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.
Kesuksesan dari terapi obat adalah sangat tergantung pada pilihan produk obat dan obat dan pada
desain pengaturan dosis. Pilihan produk obat dan obat, misalnya, intermediete release (ini sediaan
konvensional seperti tablet, kapsul, dsb) vs modified release (seperti transdermal), ini berdasar
pada karakteristik pasien dan farmakokinetika obat. Dengan merancang pengaturan dosis
mencoba untuk mencapai konsentrasi spesifik obat pada reseptor untuk menghasilkan respon
optimal dengan efek samping yang minimal. Variasi individu di dalam farmakokinetika dan
farmakodinamik membuat desain pengaturan dosis menjadi sulit. Oleh karena itu, aplikasi
farmakokinetika untuk desain pengaturan dosis harus diatur dengan benar pada evaluasi klinis
pasien dan pemantauan.
Di sinilah imu farmakokinetik berbicara, salah satu disiplin ilmu sebagi tools dalam memprediksi
nasib obat dalam badan meliputi ADME-nya (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi).
Farmakokinetik klinik adalah disiplin ilmu yang menerapkan konsep dan prinsip farmakokinetik
pada manusia, bertujuan untuk merancang aturan dosis secara individual sehingga dapat
mengoptimalkan respon terapeutik obat seraya meminimalkan kemungkinan efek sampingnya.
B. PEMBAHASAN
Pengaruh klinik atau terapeutik suatu obat pada seorang pasien sebenarnya merupakan hasil dari
daya farmakologik obat tersebut, di man hal yang terakhir ini akan sangat tergantung pada kadar
yang bisa dicapai pada tempat kerja obat (reseptor). Sayangnya, pengukuran kadar obat pada
reseptor hampir selalu tidak dimungkinkan. Namun demikian, karena setiap perubahan kadar obat
yang terukur dalam cairan darah secara praktis akan mencerminkan perubahan pada reseptor,
dengan pengukuran kadar obat dalam cairan darah akan bisa diperhitungkan atau diramalkan
tingkat aktifitas farmakologik yang tercapai (Barbour, 2007).
Tinggi rendahnya kadar obat dalam cairan darah merupakan hasil dari besarnya dosis yang
diberikan, dan pengaruh-pengaruh proses-proses alami dalam tubuh mulai dari absorpsi,
distribusi, metabolisme sampai ekskresi obat. Melalui data absoprsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi tersebut mempunyai peran penting dalam aplikasi farmasi klinis, diantaranya adalah
untuk penentuan dosis pemakaian obat, penentuan frekuensi pemakaian obat, penentuan dosis
ganda, penentuan infus intra vena, dan penyesuaian dosis jika terjadi kerusakan renal maupun
hepar.
a. Penentuan dosis pemakaian
Dosis suatu obat diperkirakan dengan tujuan dapat memberikan kadar terapeutik obat yang
diinginkan dalam tubuh. Obat akan memberikan efek terapi jika kadar obat dalam plasma sudah
mencapai area terapi yaitu diatas MEC (minimum effective concentration) dan dibawah MTC
(minimum toxic concentrstion). Penentuan dosis obat ditentukan dari data kadar obat dalam
plasma dengan mencari nilai konsentrasi maksimum obat dalam plasma (C max), waktu yang
diperlukan untuk mencapai C max (t max), dan profil pelepasan obatnya (AUC).
b. Penentuan frekuensi pemberian obat
Obat merupakan senyawa xenobiotika yaitu senyawa yang dalam keadaan normal tidak
diperlukan oleh tubuh. Oleh karena itu obat dalam badan
akan mengalami proses metabolisme dan ekskresi. Akibatnya kadar obat dalam plasma akan
menurun. Penurunan kadar obat dalam plasma akibat metabolisme dan ekskresi akan menjadikan
respon terapi turun. Penentuan kapan seseorang itu harus minum lagi obat dapat ditentukan
dengan melihat nilai t ½ eliminasi obat dan nilai clearance obat.
c. Pengaturan dosis ganda
Banyak obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda untuk memperpanjang aktivitas terapeutik.
Kadar plasma obat ini harus dipertahankan di dalam batas yang sempit untuk mencapai
efektivitas klinik yang maksimal. Secara ideal suatu aturan dosis untuk tiap obat ditetapkan untuk
memberikan kadar plasma yang benar tanpa fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan.
Untuk obat-obat tertentu, seperti antibiotik, dapat ditentukan kadar efektif minimum yang
diinginkan. Obat-obat lain dengan indeks terapi sempit, seperti digoksin dan fenitoin,
memerlukan batasan kadar plasma terapeutik minimum dan konsentrasi plasma non-toksis
maksimum. Dalam memperhitingkan suatu aturan dosis ganda, kadar plasma yang diinginkan
harus dikaitkan dengan suatu respon terapeutik.
Untuk memperkirakan kadar obat dalam plasma selama pemberian dosis ganda, parameter-
parameter farmakokinetik diperoleh dari kurva kadar plasma-waktu yang didapat melalui dosisi
tunggal. Dengan parameter-parameter ini, dan mengetahui tentang ukuran dosis dan jarak waktu
pemberian memungkinkan untuk memperkirakan kurva kadar plasma-waktu yang lengkap atau
kadar plasma pada setiap waktu setelah dimulainya pengaturan dosis (Shargel, 2005).
d. Pengaturan infuse intravena
Pemberian obat secara intravena memberikan beberapa keuntungan diantaranya obat mudah
diberikan ayitu melalui infuse bersama-sama dengan cairan iv, laju infuse dapat dengan mudah
diatur sesuai kebutuhan penderita, dan ketiga adalah infuse konstan mencegah fluktuasi puncak
dan palung kadar obat dalam darah.
Setelah beberapa saat obat akan mencapai konsentrasi tunak yaitu suatu keadaan dimana laju obat
yang meninggalkan tubuh sama dengan laju obat yang
masuk dalam tubuh. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar tunak dalam darah terutama
tergantung pada waktu-paruh eliminasi (Shargel, 2005).
Farmakokinetika berperan dalam pengaturan kecepatan tetesan cairan infus. Jika obat diberikan
dengan laju yang tinggi akan diperoleh kadar tunak yang lebih tinggi tetapi waktu yang
diperlukan untuk mencapai keadaan tunak tetap sama.
e. Penyesuaian dosis
Ginjal merupakan organ yang enting dalam pengaturan kadar cairan tubuh, keseimbangan
elektrolit, dan pembuangan metabolit-metabolit sisa dan obat dari tubuh. Kerusakan atau degerasi
fungsi ginjal akan mempunyai pengaruh pada farmakokinetika obat. Ganguan elektrolit dan
cairan dalam tubuh sehubungan dengan kegagalan ginjal dapat menyebabkan perubahn pada
volume distribusi obat (Shargel, 2005)
Ekskresi ginjal merupakan rute terbesar eliminasi untuk beberapa obat. Obat-obat yang larut
dalam air mempunyai berat molekul rendah atau mengalami biotransformasi secara lambat oleh
hati akan dieliminasi dengan sekresi ginjal.
Sementara itu, proses fabrikasi obat tidak melihat fisiologis pasien secara khusus. Misalnya
fabrikasi paracetamol, dibuat dengan dosis 500 mg dan 250 mg. maka tugas apotekerlah yang
kemudian melakukan penyesuaikan dosis apabila pasiennya mengalami serosis hati. Begitu juga
pada obat-obat yang meiliki rasio ekstraksi renalnya tinggi sementara pasien mengalami gagal
ginjal.
Farmakokinetika sangat berperan penting dalam menentukan penyesuaian dosis ini. Fungsi kerja
ginjal dapat dilihat dari nilai clearance yaitu volume darah yang dapat dibersihkan dari obat
dalam satu satuan waktu. Penyesuaian dosis obat kemudiaan didasarkan atas nilai clerence obat
tesrsebut.
C. KESIMPULAN
1. Famakokinetika atau kinetika obat adalah ilmu yang mempelajari nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat mencakup empat proses yaitu absoprsi, distribusi, metabolism, dan
ekskresi.