Anda di halaman 1dari 35

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK

MAKALAH
Disusun:
Apriana Rohman S 07023232

FARMAKOLOGI OBAT

(FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK)

OLEH

1. ST. MARHAMAH

2. ABULKHAIR ABDULLAH

3. ADE IRMADWIARTI FIRMANSYAH

4. AGUS SALIM

5. AHMAD ZAKIR

6. MUHAMMAD AKBAR SYAMSUL


JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

SAMATA-GOWA

2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga

dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan sebagaiman mestinya. Salam dan shalawat

semoga tetap tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-sahabatnya, dan

kepada umatnya hingga akhir zaman.

Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan kegigihan dan

keikhlasannya membimbing kami sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit apa yang

sebelumnya kami tidak ketahui. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan yang telah membantu

kami dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini kami buat dengan sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan dalam penulisan

makalah ini, kami berharap dan memohon saran serta kritikan dari pembaca demi kesempurnaan

makalah ini ke depannya. Semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita semua.
Samata, 19 Mei 2013

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................. i

Daftar isi........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................... 1

C. Tujuan Makalah...................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Obat.................................................. 3

B. Apa itu Farmakologi?............................................................. 4

C. Apa itu Farmakokinetik?......................................................... 6

D. Apa itu Farmakodinamik?..................................................... 17

E. Kajian Al-Quran................................................................... 22

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................... 24

B. Saran................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 26
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat

proses kimia khususnya lewat reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan

pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.

Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara

membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat. Farmakologi terutama terfokus pada

dua sub, yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.

Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang farmasis dapat menjadi suatu masalah

untuk bagi pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan penggunaan yang

cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang tidak mengganggu.

Menurut suatu survey di Amerika Serikat, sekitar 5% pasien masuk rumah sakit akibat obat.

Rasio fatalitas kasus akibat obat di rumah sakit bervariasi antara 2-12%. Efek samping obat

meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diminum. Melihat fakta tersebut, pentingnya

pengetahuan farmakologi bagi seorang farmasis.

Dalam makalah ini akan dibahas secara umum mengenai farmakologi (farmakokinetik dan

farmakodinamik) serta hal-hal lain yang berkaitan dengan materi ini.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan obat?

2. Apa itu farmakologi?

3. Apa itu farmakokinetik?

4. Apa itu farmakodinamik?

C. Tujuan Makalah

Setelah terselesaikannya makalah ini, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi

pembaca terlebih pada masalah farmakologi di mana farmakologi ini sangat penting untuk dikuasai

oleh seorang farmasis.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Sejarah Obat

Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis layak dapat

menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit berikut gejalanya.

Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman. Dengan

cara mencoba-coba, secara empiris, m terdahulu mendapatkan pengalaman dengan berbagai

macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun-temurun

disimpan dan dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti pengobatan

tradisional jamu di Indonesia.

Namun, tidak semua obat memulai riwayatnya sebagai obat anti penyakit, ada pula yang pada

awalnya digunakan sebagai alat ilmu sihir, kosmetika, atau racun untuk membunuh musuh.

Misalnya, strychnine dan kurare mulanya digunakan sebagai racun panah penduduk pribumi Afrika

dan Amerika Selatan. Contoh yang lebih baru ialah obat kanker nitrogen-mustard yang semula

digunakan sebagai gas racun (mustard gas) pada perang dunia pertama.

Obat nabati ini digunakan sebagai rebusan atau ekstrak dengan aktivitas dan efek yang sering

kali berbeda-beda tergantung dari asal tana,an dan cara pembuatannya. Kondisi ini dianggap kurang

memuaskan sehingga lambat laun para ahli kimia mulai mencoba mengisolasi zat-zat aktif yang

terkandung di dalamnya. Hasil percobaan mereka adalah serangkaian zat kimia, yang terkenal di

antaranya adalah efedrin dari tanaman Ma Huang (Ephedra vulgaris), kinin dari kulit pohon kina,
atropine dari Atropa belladonna, morfin dari candu (Papaver somniferum), dan digoksin dari Digitalis

lanata, dan masih banyak lagi.

Pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis mulai tampak kemajuannya dengan

ditemukannya obat-obat termashyur, yaitu salvarsan dan aspirin sebagai pelopor yang kemudian

disusul oleh sejumlah obat lain. Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penemuan dan

penggunaan kemoterapeutika sulfanilamide (1935) dan penisilin (1940).

Sejak tahun 1945, ilmu kimia, fisika, dan kedokteran berkembang pesat dan hal ini

menguntungkan sekali bagi penelitian sistematis obat-obat baru. Menurut taksiran, lebih kurang

80% dari semua obat yang kini digunakan secara klinis merupakan penemuan dari tiga dasawarsa

terakhir.

B. Farmakologi Obat

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat

proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan

pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.

Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan

seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya

dalam organisme hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh manusia

khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit, disebut farmakologi klinis. Ilmu khasiat

obat ini mencakup beberapa bagian, yaitu farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetik,

farmakodinamik, toksikologi, dan farmakoterapi.

Farmakologi sebagai ilmu berbeda dari ilmu lain secara umum pada keterkaitannya yang erat

dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik.


Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara

membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat.

Farmakologi terutama terfokus pada dua sub, yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik.

Farmakokinetik ialah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu absorpsi,

distribusi, biotransformasi, dan ekskresi. Sub farmakologi ini erat sekali hubungannya dengan ilmu

kimia dan biokimia. Farmakodinamik menyangkut pengaruh obat terhadap sel hidup, organ atau

makhluk, secara keseluruhan erat berhubungan dengan fisiologi, biokimia, dan patologi.

Farmakokinetik maupun farmakodinamik obat diteliti terlebih dahulu pada hewan sebelum diteliti

pada manusia dan disebut sebagai farmakologi eksperimental.

C. Farmakokinetik Obat

Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali proses dan kebanyakan proses sangat

rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga fase:

1. Fase farmaseutik;

2. Fase farmakokinetik; dan

3. Fase farmakodinamik.

Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat,

yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya

mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya da dalam darah dan

jarigan sebagai fungsi dari waktu.

Dalam fase farmakokinetik termasuk bagian proses invasi dan proses eliminasi (evasi). Yang

dimaksud dengan invasi ialah proses-proses yang berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat

ke dalam organisme (absorpsi, distribusi), sedangkan eliminasi merupakan proses-proses yang


menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme (metabolisme, ekskresi). Lihat gambar

1.

Invasi

Absorpsi

Distribusi

Eliminasi

Metabolisme

Ekskresi
Gambar 1. Bagian proses farmakokinetik

1. Absorpsi

Umumnya penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui filtrasi, difusi, atau

transport aktif.

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung

pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan

rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.

Pemakaian topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal pada penyakit kulit,

dapat disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau adstringensia, pemakaian bronkholitika

dalam bentuk aerosol, penyuntikan anestetika lokal ke dalam jaringan dan pemakaian lokal

sitostatika ke dalam kandung kemih.

Keuntungannya pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih rendah sedangkan

keburukannya ialah bahaya alergi yang umumnya lebih besar.

Pemakaian parenteral. Penyuntikan intravasal (kebanyakan intravena) termasuk juga infuse

ditandai oleh:

a. Dapat diatur dosis yang tepat dan ketersediaan hayati umumnya sebesar 100%. Hanya dalam hal-hal

khusus terjadi adsorpsi sebagian bahan obat pada peralatan infuse dank arena itu mengakibatkan

penurunan ketersediaan hayati.

b. Akibat pengenceran yang cepat dalam darah dan akibat kapasitas daparnya yang besar maka

persyaratan larutan yang menyangkut isotoni dan isohidri lebih rendah dibandingkan dengan

penyuntikan subkutan.

c. Bahan obat mencapai tempat kerja dengan sangat cepat.

Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama dipakai jika faktor waktu yang sangat penting, misalnya

dalam keadaan darurat serta pada pembiusan intravena.


Keburukannya, jika dibandingkan dengan cara pemberian lain, selain biaya tinggi dan beban

pasien (ketakutan akan penyuntikan) juga risiko yang tinggi.

Pemakaian oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang cocok

dapat relatif mudah diproduksi dan di samping itu, kebanyakan pasien lebih menyukai pemakaian

ini. Akan tetapi pemakaian obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar diabsorpsi

melalui saluran cerna (strofantin dan tubokurarin) atau iritasi mukosa lambung. Untuk kasus terakhir

dibutuhkan pembuatan bentuk obat dengan penyalut yang tahan terhadap cairan lambung.

Pemakaian rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus yang tidak mutlak

diperlukan kadar dalam darah tertentu dan juga tidak terdapat keadaan darurat. Hal ini disebabkan

oleh kuosien absorpsi sangat berbeda dan kebanyakan juga sangat rendah.

Karena itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya pemakaian rektal

analgetika dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil bermanfaat. Di samping itu, pada pasien

yang cenderung muntah atau lambungnya terganggu, lebih disukai pemakaian rektal sejauh tidak

dibutuhkan pemberian parenteral.

2. Distribusi

Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut bersama aliran darah

dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat mencoba

untuk meninggalkan pembuluh darah dan terdistribusi dalam organisme keseluruhan. Penetrasi dari

pembuluh darah ke dalam jaringan dan dengan demikian distribusinya, seperti halnya absorpsi,

bergantung pada banyak peubah.

Berdasarkan fungsinya, organisme dapat dibagi dalam ruang distribusi yang berbeda

(kompartemen):

a. Ruang intrasel dan

b. Ruang ekstrasel. (Lihat gambar 2)

Dalam ruang intrasel (sekitar 75% dari bobot badan) termasuk cairan intrasel dan komponen sel

yang padat. Ruang ektrasel (sekitar 22% dari bobot badan) dibagi lagi atas:
a. Air plasma;

b. Ruang usus; dan

c.

Cairan plasma

Cairan transsel

Ruang ekstrasel

Ruang usus

Ruang intrasel

Cairan intrasel

Komponen sel padat

Cairan transsel.
Gambar 2. Ruang distribusi organisme

Sering kali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan,

misalnya rintangan darah-otak (cerebro-spinal barrier), terikatnya obat pada protein darah atau

jaringan dan lemak.

Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah (ikatan

hidrofobik, van der Waals, hidrogen, dan ionic). Ada beberapa macam protein plasma:

a. Albumin: mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya steroid) serta bilirubin dan asam-

asam lemak.

b. α-glikoprotein: mengikat obat-obat biasa.

c. CBG (corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid.

d. SSBG (sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormon kelamin.

Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Kompleks

obat-protein terdisosiasi dengan sangat cepat (t½ ~ a20 milidetik). Obat bebas akan keluar ke

jaringan (dengan cara yang sama seperti cara masuknya) ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat

depotnya, ke hati (di mana obat mengalami metabolisme menjadi metabolit yang dikeluarkan

melalui empedu atau masuk kembali ke darah) dan ke ginjal (di mana obat/metabolitnya diekskresi

ke dalam urin).

Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di cairan usus) sedangkan obat

yang larut lemak akan berdifusi melintasi membran sel dan masuk ke dalam sel tetapi karena

perbedaan pH di dalam sel (pH = 7) dan di luar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam lebih banyak di

luar sel dan obat-obat basa lebih banyak da dalam sel.


Proses distribusi khusus yang harus dipertimbangkan ialah saluran cerna. Senyawa yang

diekskresi dengan empedu ke dalam usus 12 jari, sebagian atau seluruhnya dapat direabsorpsi dalam

bagian usus yang lebih dalam (sirkulasi enterohepatik). Telah dibuktikan penetrasi senyawa basa dari

darah ka dalam lambung. Juga bahan ini sebagian direabsorpsi dalam usus halus (sirkulasi

enterogaster).

Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi ialah yang disebut pengarahan obat (drug

targetting), artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan. Efek

samping sering terjadi justru karena bahan obat selain bereaksi dengan struktur tubuh yang

diinginkan, ia bereaksi juga dengan struktur yang lain. Pengarahan obat merangsang suatu sistem

pembawa yang sesuai yang memungkinkan satu transport yang selektif ke dalam jaringan yang

dituju dan dengan demikian memungkinkan kekhasan kerja yang diinginkan.

Sebagai pembawa yang mungkin ialah makromolekul tubuh sendiri maupun makromolekul

sintetik atau sel-sel tubuh misalnya eritrosit. Contoh yang sangat menarik ialah pengikatan kovalen

sitostatika kepada antibodi antitumor. Walaupun keberhasilan praktis dengan sistem demikian

sampai sekarang malah mengecewakan, tetapi harapan berkembang bahwa melalui penambahan

antibodi monoklon yang makin banyak tersedia, maka keefektifan dapat diperbaiki.

3. Metabolisme

Pada dasarnya setiap obat merupakan zat asing bagi tubuh yang tidak diinginkan karena obat

dapat merusak sel dan mengganggu fungsinya. Oleh karena itu, tubuh akan berupaya merombak zat

asing ini menjadi metabolit yang tidak aktif lagi dan sekaligus bersifat lebih hidrofil agar

memudahkan proses ekskresinya oleh ginjal.

Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah

terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limpa, otot, kulit, atau dalam darah.
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi, lalu diangkut melalui sistem pembuluh darah

(vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah lambung-usus ke hati. Dengan

pemberian sublingual, intrapulmonal, transkutan, parenteral, atau rektal (sebagian), sistem porta ini

dan hati akan dapat dihindari. Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran lambung-usus seluruh

atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan apda umumnya hasil

perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif lagi. Maka proses ini disebut proses

detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada pula obat yang khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-

aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat

disebut bio-transformasi.

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar

(larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini, obat aktif

umumnya diubah menjadi inaktif tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug),

kurang aktif, atau menjadi toksik.

Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi,

reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah oabt menjadi lebih polar dengan akibat menjadi inaktif, lebih

aktif, atau kurang aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi dengan substrat

endogen: asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi sangat

polar. Dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi

fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus

polar seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfhidril, dan sebagainya untuk dapat bereaksi

dengan substrat endogen pada reaksi fase II. Karena itu, obat yang sudah mempunyai gugus-gugus

tersebut dapat langsung bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat

juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II lebih

dulu.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (CYP) yang

disebut juga enzim mono-oksigenase atau MFO (mixed-function oxidase) dalam endoplasmic

reticulum (mikrosom) hati.

4. Ekskresi

Seperti halnya metabolisme, ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan

konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi bergantung kepada sifat

fisikokimia (bobot molekul, hatga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi.

Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni

disebut ekskresi. Selain itu ada pula beberapa cara lain, yaitu:

a. Kulit, bersama keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian).

b. Paru-paru, melalui pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti alkohol, paraldehida, dan

anastetika (kloroform, halotan, siklopropan).

c. Empedu, ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein

(pencahar).

Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus

proksimal, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia

6-12 bulan dan setelah dewasa menurun 1% per tahun.

Filtrasi glumerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus protein. Jadi semua obat akan

keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam darah.

Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter membran

P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di membran sel epitel

dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan konyugat dan P-gp untuk kation

organik dan zat netral. Dengan demikian terjadi kompetisi antara asam-asam organik maupun antara

basa-basa organik untuk disekresi.


Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang larut lemak. Oleh

karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat

ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa.

Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Lain halnya dengan

pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung, pengurangan fungsi ginjal dapat dihitung

berdasarkan pengurangan kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis obat pada gangguan

ginjal dapat dihitung.

D. Farmakodinamik Obat

Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat

serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek utama

obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek

dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional

dan berguna dalam sintesis obat baru.

Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme.

Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang

merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul

fungsional, hal ini mencakup dua konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan

kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi

yang sudah ada.

Tujuan pokok percobaan farmakologi adalah penjelasan terhadap pertanyaan, apakah senyawa

yang diuji merupakan obat yang bekerja spesifik atau tidak spesifik.

Senyawa yang bekerja tidak spesifik. Zat berkhasiat ini mempunyai ciri:
1. Tidak bereaksi dengan reseptor spesifik;

2. Karena bekerja hanya pada dosis yang relatif besar;

3. Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda; dan

4. Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi yang tidak terlalu besar.

Dalam kebanyakan hal, khasiatnya berhubungan dengan sifat lipofilnya. Oleh karena itu,

perbedaan kerjanya dapat dijelaskan dengan koefifien distribusi yang berbeda. Kemungkinan besar

kerja senyawa demikian menyangkut interaksi dengan struktur lipofil organisme, khususnya struktur

membran dalam hal ini fungsi struktur diubah. Yang termasuk dalam obat yang bekerja tidak spesifik

antara lain, anestetika inhalasi, demikian juga zat desinfektan.

Senyawa dengan kerja spesifik. Senyawa golongan ini bekerja melalui interaksi dengan

reseptor spesifik. Efeknya sangat bergantung pada struktur kimia dan dengan demikian bergantung

kepada bentuknya, besarnya, dan pengaturan stereokimia molekul. Selain itu, bergantung juga pada

gugus fungsinya serta distribusi elektronnya. Senyawa demikian berkhasiat dalam konsentrasi yang

lebih kecil daripada senyawa yang bekerja tidak spesifik. Bahkan perubahan yang sangat kecil pada

struktur kimianya dapat sangat mempengaruhi khasiat farmakologinya. Senyawa yang berkaitan

dengan reseptor yang sama memiliki banyak unsur struktur yang umum yang disebut gugus

farmakofor, dalam tata susun ruang yang sesuai.

Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat dalam tubuh manusia, akan tetapi

mengenai mekanisme kerjanya belum banyak dipahami dengan baik.

Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Secara fisis, misalnya anestetika terbang, laksansia, dan diuretika osmotis. Aktivitas anestetika

inhalasi berhubungan langsung dengan sifat lipofilnya. Obat ini diperkirakan melarut dalam lapisan

lemak dari membran sel yang karena ini berubah demikian rupa hingga transport normal dari

oksigen dan zat-zat gizi terganggu dan aktivitas sel terhambat. Akibatnya adalah hilangnya perasaan.
Pencahar osmotis (magnesium dan natrium sulfat) lambat sekali diresorpsi usus dan melalui proses

osmosis menarik air dan sekitarnya. Volume isi usus bertambah besar dan dengan demikian

merupakan rangsangan mekanis atas dinding usus untuk memicu peristaltic dan mengeluarkan

isinya.

2. Secara kimiawi, misalnya antasida lambung dan zat-zat chelasi (chelator). Antasida, seperti natrium

bikarbonat, aluminium, dan magnesium hidroksida dapat mengikat kelebihan asam lambung melalui

reaksi netralisasi kimiawi. Zat-zat chelasi mengikat ion-ion logam berat pada molekulnya dengan

suatu ikatan kimiawi khusus. Kompleks yang terbentuk tidak toksis lagi dan mudah diekskresikan

oleh ginjal. Contohnya adalah dimerkaprol (BAL), natrium edetat (EDTA), dan penisilamin

(dimetilsistein) yang digunakan sebagai obat rematik.

3. Melalui proses metabolisme pelbagai cara, misalnya antibiotika yang mengganggu pembentukan

dinding sel kuman, sintesa protein, atau metabolisme asam nukleinat. Begitu pula antimikroba

mencegah pembelahan inti sel dan diuretika yang menghambat atau menstimulir proses filtrasi

contoh lain adalah probenesid, suatu obat encok yang dapat menyaingi penisilin dan derivatnya

(antara lain amoksisilin) pada sekresi tubuler, sehingga ekskresinya diperlambat dan efeknya

diperpanjang.

4. Secara kompetisi (saingan), di mana dapat dibedakan dua jenis, yakni kompetisi untuk reseptor

spesifik atau untuk enzim.

Ikatan antara obat denga reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion,

hidrogen, hidrofobik, van der Waals), mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang terjadi

ikatan kovalen.

Yang dimaksud dengan reseptor adalah makromolekul (biopolimer) khas atau bagiannya dalam

organisme, yakni tempat aktif biologi, tempat obat terikat. Persyaratan untuk interaksi obat-

reseptor adalah pembentukan kompleks obat-reseptor. Apakah kompleks ini terbentuk dan

seberapa besar terbentuknya bergantung pada afinitas obat terhadap reseptor. Kemampuan suatu

obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan dengan demikian efek, setelah membentuk kompleks
dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Aktivitas intrinsik menentukan besarnya efek maksimum

yang dicapai oleh masing-masing senyawa.

Secara farmakodinamik dapat dibedakan dua jenis antagonisme farmakodinamik, yakni:

1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama tetapi pada sistem

reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh

sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.

2. Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor yang sama (antagonisme

antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi

dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama.

Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.

Antagonisme kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis

secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian hambatan efek

agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang

sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efej yang sama.

Antagonism nonkompetitif. Hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat

diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang

tetapi afinitas terhadap reseptornya tidak berubah.

E. Kajian Al-Quran
QS. An-Nahl ayat 11:

|=»uZôãF{$#ur Ÿ@‹Ï‚¨Z9$#ur šcqçG÷ƒ¨“9$#ur tíö‘¨“9$# ÏmÎ/ /ä3s9 àMÎ6/Zãƒ


5Qöqs)Ïj9 ZptƒUy š•Ï9ºsŒ ’Îû ¨bÎ) 3 ÏNºt•yJ¨V9$# Èe@à2 `ÏBur
ÇÊÊÈ šcr㕤6xÿtGtƒ
Artinya: Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur

dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda

(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.

QS. An-Nahl ayat 11:

Å7În/u‘ Ÿ@ç7ß™ ’Å5è=ó™$$sù ÏNºt•yJ¨W9$# Èe@ä. `ÏB ’Í?ä. §NèO


¼çmçRºuqø9r& ì#Î=tFøƒ’C Ò>#uŽŸ° $ygÏRqäÜç/ .`ÏB ßlã•øƒs† 4 Wxä9èŒ
5Qöqs)Ïj9 ZptƒUy y7Ï9ºsŒ ’Îû ¨bÎ) 3 Ĩ$¨Z=Ïj9 Öä!$xÿÏ© ÏmŠÏù
È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ Yysø9$# (#qÝ¡Î6ù=s? Ÿwur ÇÏÒÈ tbrã•©3xÿtGtƒ
ÇÍËÈ tbqçHs>÷ès? öNçFRr&ur ¨,ysø9$# (#qãKçGõ3s?ur
Artinya: Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu

yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-

macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang

memikirkan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman. Dengan

cara mencoba-coba, secara empiris, m terdahulu mendapatkan pengalaman dengan berbagai

macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun-temurun

disimpan dan dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti pengobatan

tradisional jamu di Indonesia.

Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat

proses kimia khususnya reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan

pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.

Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap obat,

yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya

mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya dalam darah dan jarigan

sebagai fungsi dari waktu.

Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat

serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek utama

obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek

dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional

dan berguna dalam sintesis obat baru.


B. Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jika terdapat kesalahan pada makalah

ini mohon dimaklumi dan kami sangat membutuhkan saran atau kritikan demi perbaikan makalah

kami ke depannya. Terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran

Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat Edisi 5. Bandung: Penerbit ITB.

Syarif, Amir, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Tjay, Tan Hoan, dkk. Obat-Obat Penting Edisi 6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting, 2007, hal. 3

Ibid, hal. 3

Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3
Ibid, hal. 3-4
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 4
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 1
Ibid, hal. 1
Ibid, hal. 1
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 22
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5-6
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 23
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 2
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 5
Ibid, hal. 7
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 7
Ibid, hal. 7
Ibid, hal. 7
Ibid, hal. 8
Ibid, hal. 9
Ibid, hal. 9
Ibid, hal. 16
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 16
Ibid, hal. 16
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 27
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 6
Ibid, hal. 6
Ibid, hal. 6
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 18
Ibid, hal. 19
Ibid, hal. 19
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 24
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 20
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 25
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 8
Ibid, hal. 8
Ibid, hal. 8
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 34
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 29-30
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 11
Ibid, hal. 12
Ibid, hal. 12
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 52
Ibid, hal. 52
Ibid, hal. 52
Ibid, hal. 52
Lihat Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 35
Ibid, hal. 35
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 17
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999, hal. 52
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 20
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007, hal. 20
Ibid, hal. 21
Ibid, hal. 21
A. LATAR BELAKANG

Farmakologi adalah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia
khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa tersebut disebut obat, dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari mafaat dan resiko penggunaan obat (Setiawati, 2007).
Farmakologi terutama terfokus pada dua subdisiplin, yaitu farmakodinamik dan farmakokinetik.
Farmakokinetik adalah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu absorpsi,
distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.
Kesuksesan dari terapi obat adalah sangat tergantung pada pilihan produk obat dan obat dan pada
desain pengaturan dosis. Pilihan produk obat dan obat, misalnya, intermediete release (ini sediaan
konvensional seperti tablet, kapsul, dsb) vs modified release (seperti transdermal), ini berdasar
pada karakteristik pasien dan farmakokinetika obat. Dengan merancang pengaturan dosis
mencoba untuk mencapai konsentrasi spesifik obat pada reseptor untuk menghasilkan respon
optimal dengan efek samping yang minimal. Variasi individu di dalam farmakokinetika dan
farmakodinamik membuat desain pengaturan dosis menjadi sulit. Oleh karena itu, aplikasi
farmakokinetika untuk desain pengaturan dosis harus diatur dengan benar pada evaluasi klinis
pasien dan pemantauan.
Di sinilah imu farmakokinetik berbicara, salah satu disiplin ilmu sebagi tools dalam memprediksi
nasib obat dalam badan meliputi ADME-nya (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi).
Farmakokinetik klinik adalah disiplin ilmu yang menerapkan konsep dan prinsip farmakokinetik
pada manusia, bertujuan untuk merancang aturan dosis secara individual sehingga dapat
mengoptimalkan respon terapeutik obat seraya meminimalkan kemungkinan efek sampingnya.
B. PEMBAHASAN

Pengaruh klinik atau terapeutik suatu obat pada seorang pasien sebenarnya merupakan hasil dari
daya farmakologik obat tersebut, di man hal yang terakhir ini akan sangat tergantung pada kadar
yang bisa dicapai pada tempat kerja obat (reseptor). Sayangnya, pengukuran kadar obat pada
reseptor hampir selalu tidak dimungkinkan. Namun demikian, karena setiap perubahan kadar obat
yang terukur dalam cairan darah secara praktis akan mencerminkan perubahan pada reseptor,
dengan pengukuran kadar obat dalam cairan darah akan bisa diperhitungkan atau diramalkan
tingkat aktifitas farmakologik yang tercapai (Barbour, 2007).
Tinggi rendahnya kadar obat dalam cairan darah merupakan hasil dari besarnya dosis yang
diberikan, dan pengaruh-pengaruh proses-proses alami dalam tubuh mulai dari absorpsi,
distribusi, metabolisme sampai ekskresi obat. Melalui data absoprsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi tersebut mempunyai peran penting dalam aplikasi farmasi klinis, diantaranya adalah
untuk penentuan dosis pemakaian obat, penentuan frekuensi pemakaian obat, penentuan dosis
ganda, penentuan infus intra vena, dan penyesuaian dosis jika terjadi kerusakan renal maupun
hepar.
a. Penentuan dosis pemakaian

Dosis suatu obat diperkirakan dengan tujuan dapat memberikan kadar terapeutik obat yang
diinginkan dalam tubuh. Obat akan memberikan efek terapi jika kadar obat dalam plasma sudah
mencapai area terapi yaitu diatas MEC (minimum effective concentration) dan dibawah MTC
(minimum toxic concentrstion). Penentuan dosis obat ditentukan dari data kadar obat dalam
plasma dengan mencari nilai konsentrasi maksimum obat dalam plasma (C max), waktu yang
diperlukan untuk mencapai C max (t max), dan profil pelepasan obatnya (AUC).
b. Penentuan frekuensi pemberian obat

Obat merupakan senyawa xenobiotika yaitu senyawa yang dalam keadaan normal tidak
diperlukan oleh tubuh. Oleh karena itu obat dalam badan
akan mengalami proses metabolisme dan ekskresi. Akibatnya kadar obat dalam plasma akan
menurun. Penurunan kadar obat dalam plasma akibat metabolisme dan ekskresi akan menjadikan
respon terapi turun. Penentuan kapan seseorang itu harus minum lagi obat dapat ditentukan
dengan melihat nilai t ½ eliminasi obat dan nilai clearance obat.
c. Pengaturan dosis ganda

Banyak obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda untuk memperpanjang aktivitas terapeutik.
Kadar plasma obat ini harus dipertahankan di dalam batas yang sempit untuk mencapai
efektivitas klinik yang maksimal. Secara ideal suatu aturan dosis untuk tiap obat ditetapkan untuk
memberikan kadar plasma yang benar tanpa fluktuasi dan akumulasi obat yang berlebihan.
Untuk obat-obat tertentu, seperti antibiotik, dapat ditentukan kadar efektif minimum yang
diinginkan. Obat-obat lain dengan indeks terapi sempit, seperti digoksin dan fenitoin,
memerlukan batasan kadar plasma terapeutik minimum dan konsentrasi plasma non-toksis
maksimum. Dalam memperhitingkan suatu aturan dosis ganda, kadar plasma yang diinginkan
harus dikaitkan dengan suatu respon terapeutik.
Untuk memperkirakan kadar obat dalam plasma selama pemberian dosis ganda, parameter-
parameter farmakokinetik diperoleh dari kurva kadar plasma-waktu yang didapat melalui dosisi
tunggal. Dengan parameter-parameter ini, dan mengetahui tentang ukuran dosis dan jarak waktu
pemberian memungkinkan untuk memperkirakan kurva kadar plasma-waktu yang lengkap atau
kadar plasma pada setiap waktu setelah dimulainya pengaturan dosis (Shargel, 2005).
d. Pengaturan infuse intravena

Pemberian obat secara intravena memberikan beberapa keuntungan diantaranya obat mudah
diberikan ayitu melalui infuse bersama-sama dengan cairan iv, laju infuse dapat dengan mudah
diatur sesuai kebutuhan penderita, dan ketiga adalah infuse konstan mencegah fluktuasi puncak
dan palung kadar obat dalam darah.
Setelah beberapa saat obat akan mencapai konsentrasi tunak yaitu suatu keadaan dimana laju obat
yang meninggalkan tubuh sama dengan laju obat yang
masuk dalam tubuh. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar tunak dalam darah terutama
tergantung pada waktu-paruh eliminasi (Shargel, 2005).
Farmakokinetika berperan dalam pengaturan kecepatan tetesan cairan infus. Jika obat diberikan
dengan laju yang tinggi akan diperoleh kadar tunak yang lebih tinggi tetapi waktu yang
diperlukan untuk mencapai keadaan tunak tetap sama.
e. Penyesuaian dosis

Ginjal merupakan organ yang enting dalam pengaturan kadar cairan tubuh, keseimbangan
elektrolit, dan pembuangan metabolit-metabolit sisa dan obat dari tubuh. Kerusakan atau degerasi
fungsi ginjal akan mempunyai pengaruh pada farmakokinetika obat. Ganguan elektrolit dan
cairan dalam tubuh sehubungan dengan kegagalan ginjal dapat menyebabkan perubahn pada
volume distribusi obat (Shargel, 2005)
Ekskresi ginjal merupakan rute terbesar eliminasi untuk beberapa obat. Obat-obat yang larut
dalam air mempunyai berat molekul rendah atau mengalami biotransformasi secara lambat oleh
hati akan dieliminasi dengan sekresi ginjal.
Sementara itu, proses fabrikasi obat tidak melihat fisiologis pasien secara khusus. Misalnya
fabrikasi paracetamol, dibuat dengan dosis 500 mg dan 250 mg. maka tugas apotekerlah yang
kemudian melakukan penyesuaikan dosis apabila pasiennya mengalami serosis hati. Begitu juga
pada obat-obat yang meiliki rasio ekstraksi renalnya tinggi sementara pasien mengalami gagal
ginjal.
Farmakokinetika sangat berperan penting dalam menentukan penyesuaian dosis ini. Fungsi kerja
ginjal dapat dilihat dari nilai clearance yaitu volume darah yang dapat dibersihkan dari obat
dalam satu satuan waktu. Penyesuaian dosis obat kemudiaan didasarkan atas nilai clerence obat
tesrsebut.
C. KESIMPULAN

1. Famakokinetika atau kinetika obat adalah ilmu yang mempelajari nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat mencakup empat proses yaitu absoprsi, distribusi, metabolism, dan
ekskresi.

2. Melalui data absoprsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi tersebut farmakokinetika


mempunyai peran penting dalam aplikasi farmasi klinis, diantaranya adalah untuk penentuan
dosis pemakaian obat, penentuan frekuensi pemakaian obat, penentuan dosis ganda, penentuan
infus intra vena, dan penyesuaian dosis jika terjadi kerusakan renal maupun hepar.
Daftar Pustaka
Shargel, Leon., Yu, Andrew B. C., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, edisi ke
dua, diterjemahkan oleh Sjamsiah, Surabaya, Airlangga University Press.
Setiawati, Arini., F.D Suryatna., Gan, Sulistia., 2007, Pengantar Farmakologi dalam Farmakologi
dan Terapi, Edisi 5, Gunawan, Sulistia Gan (editor)., Departemen Farmakologik dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.
Barbour, Nancy P., Lipper, Robert A., 2007, Introduction to Biopharmaceutics and its Role in
Drug Development in Biopharmaceutical Application in Drug Development, Informa Healthcare
USA, New York.

Anda mungkin juga menyukai