JOURNAL READING DR. SUSI, SP - KK Herpes Zoster Dan Neuralgia Pascaherpes
JOURNAL READING DR. SUSI, SP - KK Herpes Zoster Dan Neuralgia Pascaherpes
Pembimbing:
Letkol CKM (K) dr. Susilowati, Sp.KK
Disusun Oleh:
Nadia Desanti Rachmatika
1820221098
JOURNAL READING
Dokter Pembimbing
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan journal reading dengan judul “Herpes Zoster and
Postherpetic Neuralgia : Prevention and Management”. Journal reading ini ditulis
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono,
Magelang.
Penulis
Herpes Zoster dan Neuralgia Pascaherpes :
Pencegahan dan Manajemen
AARON SAGUIL, MD, MPH; SHAWN KANE, MD; and MICHAEL
MERCADO, MD, F. Edward Hébert School of Medicine, Uniformed Services
University of the Health Sciences, Bethesda, Maryland
REBECCA LAUTERS, MD, Nellis Family Medicine Residency, Mike
O’Callaghan Federal Medical Center, Nellis Air Force
Base, Nevada
Herpes zoster atau shingles disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster,
yang menyebabkan cacar air (chicken pox). Diperkirakan terdapat 1 juta
kasus di Amerika Serikat per tahunnya, dengan risiko seumur hidup individu
30%. Pasien dengan kondisi penurunan imunitas yang dimediasi sel 20 hingga
100 kali lebih mungkin untuk mengalami herpes zoster. Pasien dapat
mengalami malaise, sakit kepala, demam ringan, dan sensasi kulit abnormal
selama dua tiga hari sebelum ruam makulopapular klasik muncul. Ruam ini
biasanya unilateral, terbatas pada satu dermatom, dan biasanya berkembang
menjadi vesikel jernih yang berkembang menjadi vesikel keruh dan krusta
dalam tujuh sampai 10 hari. Herpes zoster dapat diobati dengan acyclovir,
valacyclovir, atau famsiclovir, idealnya dalam waktu 72 jam setelah ruam
muncul. Neuralgia pascaherpes adalah komplikasi yang paling umum, terjadi
pada sekitar satu dari lima pasien. Didefinisikan sebagai nyeri pada distribusi
dermatomal yang bertahan selama setidaknya 90 hari setelah herpes zoster
akut. Pengobatan difokuskan pada kontrol gejala dan termasuk lidocaine
topikal atau capsaicin dan gabapentin oral, pregabalin, atau antidepresan
trisiklik. Vaksin virus varicella zoster menurunkan insiden herpes zoster dan
telah disetujui untuk orang dewasa usia 50 tahun atau lebih. Komite Penasihat
Pusat Pengendalian Penyakit dan Pencegahan pada Praktik Imunisasi
merekomendasikan vaksin ini untuk orang dewasa yang berusia 60 tahun atau
lebih kecuali pasien imunokompromais.
Herpes zoster atau shingles disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster (VZV),
yang menyababkan cacar air. Penyakit ini muncul sebagai nyeri lepuh (blister) dan
terjadi ketika kekebalan yang dimediasi oleh sel terhadap VZV berkurang dengan
usia atau imunokompromais. Herpes zoster dapat dikaitkan dengan nyeri akut;
neuralgia pascaherpes; dan komplikasi visual, neurologi atau viseral.
Epidemiologi
Diperkirakan 1 juta kasus herpes zoster terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya,
dengan risiko seumur hidup individu 30%. Sekitar 2% hingga 3% dari pasien
dengan kondisi ini dirawat di rumah sakit setiap tahun, dengan biaya mulai dari $1
miliar hingga $2 miliar per tahun. Pada praktik keluarga khusus dengan 1.500
pasien, 3 sampai 5 kasus herpes dapat diekspektasikan setiap tahun.
Hampir semua orang dewasa di Amerika serikat telah terpapar dengan VZV.
Insiden herpes zoster meningkat dari satu hingga tiga kasus per 1.000 orang per
tahun pada mereka yang lebih muda dari usia 50 tahun. Usia adalah faktor risiko
utama; kekebalan spesifik Limfosit-T terhadap virus berkurang dari waktu ke
waktu, dan lebih dari setengah pasien yang tidak divaksin berusia 85 tahun dan
lebih tua akan terpengaruh. Wanita berisiko lebih tinggi, sedangkan orang kulit
hitam berisiko lebih rendah. Pasien-pasien dengan kondisi yang mengalami
penurunan sel imun (misalnya, gangguan lomfoproliferatif, penggunaan obat-
obatan imunosupresif, seropositive HIV) berada pada 20 sampai 100 kali berisiko
lebih besar dibandingkan dengan kontrol usia yang sama.
Presentasi Klinis
Ketika infeksi awal VZV teratasi, partikel-partikel virus berjalan sampai ganglia
akar kranial dan dorsal, dimana mereka terlindung dari antibodi darah. Virus tetap
laten dan dapat tereaktivasi ketika imunitas yang diperantarai sel berkurang. Tidak
semua faktor yang berkontribusi dipahami, tetapi pada kondisi yang tepat, virus
bereplikasi, menyebabkan prodromal nonspesifik seperti malaise, sakit kepala,
demam, atau sensasi kulit yang tidak normal (misalnya, gatal, terbakar, nyeri).
Ruam klasik khas muncul setelah dua sampai tiga hari, dengan lesi baru muncul
selama tiga sampai lima hari (Gambar 1). Biasanya memengaruhi sebuah single,
dermatom unilateral, lesi makulopapular proksimal ke distal, berkembang dari
vesikel yang jernih kemudian menjadi keruh dan akhirnya mengeras atau menjadi
krusta dalam tujuh sampai 10 hari. Lesi biasanya dapat sembuh dua hingga empat
minggu setelah onset, tetapi perubahan jaringan parut dan pigmentasi sering terjadi.
Sebagian besar lesi berkembang diantara dermatom T1 dan L2, meskipun
bagian oftalmik (pertama) dari saraf trigeminal berrpengaruh pada 15% kasus.
Dermatom yang berdekatan berpengaruh pada 20% kasus, dan terkadang lesi
melintasi garis tengah, terutama di bagian punggung.
Diagnosis
Diagnosis herpes zoster biasanya khas secara klinis. Meskipun hepes zoster sulit
untuk diidentifikasi selama prodromal, penampilan eksantema khas nya membantu
dalam diagnosis. Pemeriksaan biasanya tidak diperlukan, tetapi mungkin
dipertimbangkan pada pasien dengan lesi berulang yang mencurigakan untuk
herpes simpleks, atau pada mereka yang diduga zoster sine herpete (ZSH), dimana
virus menyebabkan rasa nyeri tanpa lesi. Pemeriksaan juga dapat dipertimbangkan
dalam presentasi atipikal atau tidak khas, seperti lesi diseminata luas yang dapat
terjadi pada pasien imunokompromais. Pemeriksaan juga membantu dalam
membedakan herpes zoster daripada dermatosis vesicular lainnya seperti dermatitis
kontak dan dermatitis herpetiformis. Pemeriksaan reaksi rantai polymerase (PCR)
dari vesikel atau cairan tubuh lainnya lebih dipilih karena sensitifitas dan
spesifisitasnya tinggi (95% dan 100% secara berurutan) dan pengerjaannya singkat
(biasanya satu hari).
PENGOBATAN TOPIKAL
Ada dua persiapan topical yang telah disetujui dalam pengelolaan neuralgia
pascaherpes. Tambalan (patch) lidocaine 5% memiliki efek samping yang
menguntungkan dan dianggap sebagai lini pertama terapi meskipun bukti
efektivitasnya terbatas. Meskipun satu tinjauan sistematis menunjukkan
peningkatan rasa nyeri, sebuah ulasan Cochrane dari percobaan acak terkontrol
(Randomized Controlled Trial / RCT) memasukkan bukti yang mendukung bahwa
penggunaannya masih kurang.
Capsaicin juga merupakan pilihan untuk meredakan rasa nyeri. Sebuah
metaanalisis dari empat RCT dengan 1.272 pasien menyimpulkan bahwa tambalan
capsaicin 8% yang diterapkan selama 30 hingga 90 menit memberikan efek pereda
rasa sakit yang lebih besar daripada capsaicin topical konsentrasi rendah setelah 12
minggu (jumlah yang perlu untuk mengobati [NNT] = 7; 95% interval kepercayaan
[CI], 5 hingga 15). Namun, tambalan 8% bersifat mengiritasi dan cenderung
menyebabkan rasa sakit ketika digunakan. Seorang dokter klinis harus melakukan
pre pengobatan pada aplikasi di tempat dengan anestesi topical sebelum
menempelkan tambalan. Krim capsaicin (0,075%) potensi rendah juga telah
digunakan untuk mengobati neuralgia pascaherpes, meskipun ulasan Cochrane
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan
penggunaannya.
PENGOBATAN SISTEMIK
Antikonvulsan gabapentin (Neurontin) dan pregabalin (Lyrica) telah disetujui
untuk pengobatan neuralgia pascaherpes. Beberapa penelitian metaanalisis
menunjukkan bahwa gabapentin (1.800 hingga 3.600 mg per hari; NNT = 8; 95%
CI, 5 hingga 14) dan pregabalin (600 mg per hari; NNT = 4; 95% CI, 3 hingga 9)
lebih efektif daripada plasebo dalam mencapai 50% pengurangan nyeri. Meskipun
efektivitasnya, waktu yang dibutukan untuk mentitrasi agen ini ke dosis efektif
(hingga 10 minggu) dan efek sampingnya (misalnya, somnolen) akan membatasi
penggunaannya.
Antidepresan trisiklik juga efektif dalam pengobatan neuralgia pascaherpes.
Sebuah metaanalisis dari empat RCT membandingkan amitriptyline, nortriptyline
(Pamelor), dan desipramine dengan plasebo dipekirakan NNT dari ketiganya (95%
CI, 2 hingga 4) untuk mencapai berkurangnya rasa nyeri yang berarti. Ulasan
Cochrane tidak menemukan perbedaan pereda rasa nyeri antara antidepresan
trisiklik setelah empat minggu, tetapi semua lebih unggul dibandingkan plasebo.
Hingga seperempat dari pasien yang menggunakan antidepresan trisiklik
menghentikan pengobatan karena efek samping seperti kebingungan, sedasi, retensi
urin, dan kardiotoksisitas.
Opioid dianggap sebagai pengobatan lini ketiga untuk neuralgia pascaherpes.
Cochrane menyimpulkan bahwa manfaat opioid untuk nyeri neuropatik tidak pasti
karena kurangnya bukti yang tidak bias. Dua tinjauan sistematis menemukan bahwa
tramadol memberikan efek pereda nyeri yang signifikan pada pasien neuralgia
pascaherpes (NNT = 4 hingga 5).
Potensi bahaya terapi sistemik untuk neuralgia pascaherpes harus
dipertimbangkan sebelum mengobati pasien yang lebih tua atau pasien dengan
komorbiditas. Penilaian menyeluruh, termasuk tinjauan pengobatan dan
pemeriksaan fisik yang berfokus pada keseimbangan, gaya berjalan, dan tanda-
tanda vital ortostatik, akan membantuk meminimalisasi efek samping dari
pengobatan dan interaksi antara terapi dan obat-obatan lainnya. The American
Geriatrics Society menganjurkan memulai pengobatan untuk nyeri persisten pada
dosis rendah dan titrasi perlahan.
Pencegahan
Herpes zoster dan neuralgia pascaherpes dapat dicegah. Vaksin VZV (Zostavax)
telah ditunjukkan ke dalam uji klinis untuk mengurangi insidensi herpes zoster dan
dikembangkan untuk orang dewasa 50 tahun atau lebih. Komite Penasihat Pusat
Pengendalian Penyakit dan Pencegahan pada Praktik Imunisasi merekomendasikan
vaksinasi untuk orang dewasa usia 60 tahun atau lebih, terlepas dari apakah mereka
telah mengalami varicella. Vaksin VZV lebih efektif pada orang usia 60-69 tahun
dibandingkan pada usia 70 tahun atau lebih, dan lebih efektif biaya dalam
memvaksinasi orang-orang dengan usia 60 tahun atau lebih.
Vaksin VZV merupakan kontraindikasi pada orang yang imunokompromais,
orang dengan HIV dan jumlah limfosit CD4 kuran dari 200 per mm3 (0,20 x 109 per
L), pasien yang sedang menjalani pengobatan kanker serta orang-orang dengan
kanker yang memengaruhi tulang atau sistem limfatik. Tingkat efektivitas vaksin
adalah 69% pada tahun pertama, tetapi meningkat 4% pada tahun kedelapan. Tidak
ada rekomendasi untuk vaksinasi ulang pada orang yang menerima vaksin pada usia
60 tahun atau lebih, dan tidak ada rekomendasi untuk orang yang sebelumnya
pernah menerima vaksin varicella.
Karena beberapa pasien yang berisiko tinggi terkena herpes zoster tidak dapat
menerima vaksin VZV hidup, vaksin VZV rekombinan adjuvan telah
dikembangkan. Telah ditunjukkan dalam uji coba klinis di antara orang usia 50
tahun atau lebih yang tidak memiliki riwayat imunosupresi, tetapi belum disetujui
oleh U.S Food and Drug Administration. Insiden herpes zoster pada mereka yang
mendapat vaksin menurun 96% (95% CI, 90% hingga 98%) dibandingkan dengan
plasebo. Seperti vaksin VZV hidup yang dilemahkan, vaksin rekombinan
ditoleransi dengan baik namun efektivitasnya tidak tergantung pada usia, dan tidak
meningkatkan risiko timbulnya herpes zoster.
Cara paling efektif untuk mencegah neuralgia pascaherpes adalah dengan
mencegah herpes zoster. The Shingles Prevention Study menemukan vaksin VZV
hidup 67% efektif (95% CI, 51% hingga 96%) dalam mencegah neuralgia
pascaherpes dengan mengurangi insiden herpes zoster sebanyak 51% (95% CI, 44%
hingga 58%). Efek proteksi vaksin berlangsung rata-rata minimal tiga tahun, dan
simpulan data menunjukkan bahwa vaksin mencegah herpes zoster selama lima
tahun pada pasien usia 60 tahun atau lebih. Pasien yang divaksinasi dan kemudian
mengalami herpes zoster mengalami penurunan durasi dan keparahan gejala
dibandingkan dengan mereka yang menerima plasebo. Di antara orang dewasa usia
65 tahun, jumlah yang butuh divaksinasi untuk mencegah satu kasus herpes zoster
dan satu kasus neuralgia pascaherpes sebanyak 11 dan 43 orang masing-masing.
Walaupun vaksin VZV efektif, penggunaannya jarang, kemungkinan pada
bagian biayanya. Meskipun vaksin ini dicakup oleh Medicare Part D, tetapi ketika
pengurangan dan pembayaran kembali diperhitungkan, vaksin menjadi terkendala
dengan biaya. Pada tahun 2013, rata-rata vaksinasi VZV hanya 24,2% di antara
orang dewasa usia 60 tahun atau lebih. Orang dewasa berkulit putih menerima
vaksin hamper tiga kali lipat dari rata-rata orang kulit hitam dan Hispanik. Edukasi
pasien dapat meningkatkan rata-rata vaksinasi dengan membant pasien memahami
manfaat dan cara agar pasien dapat bekerja dengan perusahaan asuransi untuk
menemukan cara yang terjangkau untuk memperoleh vaksin.
TINJAUAN PUSTAKA
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-
zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Herpes zoster adalah infeksi viral
kutaneus pada umumnya melibatkan kulit dengan dermatom tunggal atau yang
berdekatan.2 Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster
yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox.2 Shingles adalah
nama lain dari herpes zoster 2, Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi
primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis
sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan
bermanifestasi sebagai herpes zoster.1
2. EPIDEMIOLOGI
Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara sentripetal,
naik ke serabut sensoris ke ganglia sensoris.4 Di ganglion, virus membentuk infeksi
laten yang menetap selama kehidupan.4 Herpes zoster terjadi paling sering pada
dermatom dimana ruam dari varisela mencapai densitas tertinggi yang diinervasi
oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf trigeminal ganglion sensoris dan tulang
belakang dari T1 sampai L2.4
(vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi “scar” jika inflamasi
berat)
4. GEJALA KLINIS
Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan
kelelahan selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit.3 Inisial lesi kutaneus sangat
gatal, makula dan papula eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan
menyebar ke bawah.3 Papula ini kemudian berkembang cepat menjadi vesikel kecil
yang dikelilingi oleh halo eritematosa, yang dikenal sebagai “tetesan embun pada
kelopak mawar” ( “dew drop on rose petal” ).3 Setelah vesikel matang, pecah
membentuk krusta.3 Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan karakteristik
dari varisela.3
Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik
erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.3
Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal1,7, malaise, demam, nyeri
kepala, dan limfadenopati, gatal1,7, tingling.1 Lebih dari 80% pasien biasanya
diawali dengan prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari
sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit.1
Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di
sekitarnya8 herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral.1
Erupsi diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian
makulopapuler muncul secara dermatomal.1
Lesi baru timbul selama 3-5 hari.8 Bentuk vesikel dalam waktu 12 sampai
24 jam dan berubah menjadi pustule pada hari ketiga.4 Pecahnya vesikel serta
pemisahan terjadi dalam 2 – 4 minggu.8 Krusta yang mongering pada 7 sampai 10
hari.4 Pada umumnya krusta bertahan dari 2 sampai 3 minggu.4 Pada orang yang
normal, lesi – lesi baru bermunculan pada 1 sampai 4 hari ( biasanya sampai
selama 7 hari).4 Rash lebih berat dan bertahan lama pada orang yang lebih tua., dan
lebih ringan dan berdurasi pendek pada anak – anak.4
a. Stadium prodromal :
Biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena disertai
dengan panas, malaise dan nyeri kepala.
b. Stadium erupsi :
Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2 hari
akan timbul gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan kulit
diantara gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain adalah
sama sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama. Lokasi
lesi sesuai dermatom, unilateral dan biasanya tidak melewati garis tengah dari
tubuh.
c. Stadium krustasi :
Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2
minggu. Sering terjadi neuralgi pasca herpetica terutama pada orang tua yang
dapat berlangsung berbulan-bulan parestesi yang bersifat sementara.(7,8)
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi – lesi baru yang tetap
timbul brlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-
kira 1-2 minggu.
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus
saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4
hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak
mata bengkak dan sukar dibuka.
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
6. DIANOSIS BANDING
Predileksi : mukosa
Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan
sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40
tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi..
Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.
Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Didahului dengan gejala
ini dan umumnya disertai ruam, dan gejala ini sering berlanjut walau ruam
sudah sembuh, dengan komplikasi yang dikenal sebagai postherpetic neuralgia
(PHN). Sejumlah mekanisme yang berbeda tetapi tumpang tindih tampaknya
terlibat dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster dan PHN.
Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf di
ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang lebih terasa
nyeri di kulit. Rilis yang berlebihan dari pengeluaran asam amino dan
neuropeptida yang disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari impuls afferent
selama fase akut dan prodormal pada herpes zoster kemungkinan dapat
menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya hambatan interneuron di
sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang,
ganglion dan saraf perifer, adalah penting dalam patogenesis PHN. Kerusakan
saraf aferen primer dapat menjadi aktif secara spontan dan peka terhadap
rangsangan perifer dan simpatis. Aktivasi nosiseptor yang berlebihan dan
impuls ektopik mungkin, menurunkan sesitivitas SSP. penambahan dan
perpanjangan rangsangat pada pusat itu berbahaya. Pada klinis, ini dinamakan
allodynia (nyeri dan / atau sensasi yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan
oleh rangsangan yang biasanya tidak menyakitkan (sentuhan ringan) dengan
rangsang sensori sedikit atau tidak ada sama sekali.
2. Infeksi sekunder
3. Zoster trigeminalis
Herpes zoster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus, tetapi
paling sering terkena adalah bagian oftalmika.11,15 Gangguan mata seperti
konjungitvitis, keratitis, dan/atau iridosiklitis bisa terjadi bila cabang
nasosiliaris dari bagian oftalmika terkena (ditunjukkan oleh adanya vesikel –
vesikel di sisi hidung), dan pasien dengan zoster oftalmika hendaknya diperiksa
oleh oftalmolog.11
Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan
otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell),
kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.
5. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf
yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah, diafragma,
batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh
spontan.
8. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat
menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan
orang dengan defisiensi imun.
Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai
baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
2. Pengobatan Khusus
A. Sistemik
a. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,
misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan
peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama
sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah
5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena biasanya
hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau
penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat
digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir.
Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena
konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat
dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari.
c. Analgetik
d. Kortikosteroid
B. Pengobatan topikal
9. PROGNOSIS
2. Habif, T.P. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd
ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2011 .p. 235 -239.
3. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In :
Lippincott’s Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer
Health. 2011 .p. 148 -151.
4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General
Medicine. 7 thed. New York : McGraw Hill Company.2008.p. 1885-1898.
6. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and
Marks’ Principles of Dermatology. 4th ed. Philadelphia : Elseiver Saunders.
2006 .p.145-148.
8. Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga
Medical Series. 2008 : 115 – 119.
10. Mayeaux EJ. Viral Infection. In : The Color Atlas of Family Medicine.
United State of America : Mc Graw-Hill Companies, 2009 : 493 – 502.
11. Brown, R.G. Lecture Notes Dermatology: Penyakit Infeksi.8th ed. Jakarta :
Erlangga Medical Series. 2005 : 29 – 31.
12. Brown, R.G.Dermatology Fundamentals of Practice. Philadelphia : Mosby
Elseiver. 2008.p. 212-214.
13. Chang Sung Eun, Bae Gee Young, Moon Kee Chan, Do Sang Hwan, Lim
Young Jin. Subcutaneous granuloma annulare following herpes zoster. In :
International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 298 – 299.
15. Ali Asra. Varicella zoster virus (VZV). In : Dermatology a Pictorial Review.
New York : Mc Graw Hill Companies. 2007.p. 22 -23.
16. Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Cetakan V, Jakarta : Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 : 110-112.
18. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates,
2000; 92-4.