Anda di halaman 1dari 35

JOURNAL READING

“Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia : Prevention and


Management”

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang

Pembimbing:
Letkol CKM (K) dr. Susilowati, Sp.KK

Disusun Oleh:
Nadia Desanti Rachmatika
1820221098

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT TENTARA TK II DR. SOEDJONO, MAGELANG
PERIODE 13 MEI – 15 JUNI 2019
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

“Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia : Prevention and Management”

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal: 22 Mei 2019

Dokter Pembimbing

Letkol CKM (K) dr. Susilowati, Sp.KK


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan journal reading dengan judul “Herpes Zoster and
Postherpetic Neuralgia : Prevention and Management”. Journal reading ini ditulis
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono,
Magelang.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada


dosen pembimbing, Letkol (CKM) dr. Susilowati, Sp.KK yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan laporan
kasus ini dari awal hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa journal
reading ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa yang
akan datang. Semoga journal reading ini dapat berguna bagi kita semua.

Magelang, 22 Mei 2019

Penulis
Herpes Zoster dan Neuralgia Pascaherpes :
Pencegahan dan Manajemen
AARON SAGUIL, MD, MPH; SHAWN KANE, MD; and MICHAEL
MERCADO, MD, F. Edward Hébert School of Medicine, Uniformed Services
University of the Health Sciences, Bethesda, Maryland
REBECCA LAUTERS, MD, Nellis Family Medicine Residency, Mike
O’Callaghan Federal Medical Center, Nellis Air Force
Base, Nevada

Herpes zoster atau shingles disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster,
yang menyebabkan cacar air (chicken pox). Diperkirakan terdapat 1 juta
kasus di Amerika Serikat per tahunnya, dengan risiko seumur hidup individu
30%. Pasien dengan kondisi penurunan imunitas yang dimediasi sel 20 hingga
100 kali lebih mungkin untuk mengalami herpes zoster. Pasien dapat
mengalami malaise, sakit kepala, demam ringan, dan sensasi kulit abnormal
selama dua tiga hari sebelum ruam makulopapular klasik muncul. Ruam ini
biasanya unilateral, terbatas pada satu dermatom, dan biasanya berkembang
menjadi vesikel jernih yang berkembang menjadi vesikel keruh dan krusta
dalam tujuh sampai 10 hari. Herpes zoster dapat diobati dengan acyclovir,
valacyclovir, atau famsiclovir, idealnya dalam waktu 72 jam setelah ruam
muncul. Neuralgia pascaherpes adalah komplikasi yang paling umum, terjadi
pada sekitar satu dari lima pasien. Didefinisikan sebagai nyeri pada distribusi
dermatomal yang bertahan selama setidaknya 90 hari setelah herpes zoster
akut. Pengobatan difokuskan pada kontrol gejala dan termasuk lidocaine
topikal atau capsaicin dan gabapentin oral, pregabalin, atau antidepresan
trisiklik. Vaksin virus varicella zoster menurunkan insiden herpes zoster dan
telah disetujui untuk orang dewasa usia 50 tahun atau lebih. Komite Penasihat
Pusat Pengendalian Penyakit dan Pencegahan pada Praktik Imunisasi
merekomendasikan vaksin ini untuk orang dewasa yang berusia 60 tahun atau
lebih kecuali pasien imunokompromais.
Herpes zoster atau shingles disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster (VZV),
yang menyababkan cacar air. Penyakit ini muncul sebagai nyeri lepuh (blister) dan
terjadi ketika kekebalan yang dimediasi oleh sel terhadap VZV berkurang dengan
usia atau imunokompromais. Herpes zoster dapat dikaitkan dengan nyeri akut;
neuralgia pascaherpes; dan komplikasi visual, neurologi atau viseral.

Epidemiologi
Diperkirakan 1 juta kasus herpes zoster terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya,
dengan risiko seumur hidup individu 30%. Sekitar 2% hingga 3% dari pasien
dengan kondisi ini dirawat di rumah sakit setiap tahun, dengan biaya mulai dari $1
miliar hingga $2 miliar per tahun. Pada praktik keluarga khusus dengan 1.500
pasien, 3 sampai 5 kasus herpes dapat diekspektasikan setiap tahun.
Hampir semua orang dewasa di Amerika serikat telah terpapar dengan VZV.
Insiden herpes zoster meningkat dari satu hingga tiga kasus per 1.000 orang per
tahun pada mereka yang lebih muda dari usia 50 tahun. Usia adalah faktor risiko
utama; kekebalan spesifik Limfosit-T terhadap virus berkurang dari waktu ke
waktu, dan lebih dari setengah pasien yang tidak divaksin berusia 85 tahun dan
lebih tua akan terpengaruh. Wanita berisiko lebih tinggi, sedangkan orang kulit
hitam berisiko lebih rendah. Pasien-pasien dengan kondisi yang mengalami
penurunan sel imun (misalnya, gangguan lomfoproliferatif, penggunaan obat-
obatan imunosupresif, seropositive HIV) berada pada 20 sampai 100 kali berisiko
lebih besar dibandingkan dengan kontrol usia yang sama.

Presentasi Klinis
Ketika infeksi awal VZV teratasi, partikel-partikel virus berjalan sampai ganglia
akar kranial dan dorsal, dimana mereka terlindung dari antibodi darah. Virus tetap
laten dan dapat tereaktivasi ketika imunitas yang diperantarai sel berkurang. Tidak
semua faktor yang berkontribusi dipahami, tetapi pada kondisi yang tepat, virus
bereplikasi, menyebabkan prodromal nonspesifik seperti malaise, sakit kepala,
demam, atau sensasi kulit yang tidak normal (misalnya, gatal, terbakar, nyeri).
Ruam klasik khas muncul setelah dua sampai tiga hari, dengan lesi baru muncul
selama tiga sampai lima hari (Gambar 1). Biasanya memengaruhi sebuah single,
dermatom unilateral, lesi makulopapular proksimal ke distal, berkembang dari
vesikel yang jernih kemudian menjadi keruh dan akhirnya mengeras atau menjadi
krusta dalam tujuh sampai 10 hari. Lesi biasanya dapat sembuh dua hingga empat
minggu setelah onset, tetapi perubahan jaringan parut dan pigmentasi sering terjadi.
Sebagian besar lesi berkembang diantara dermatom T1 dan L2, meskipun
bagian oftalmik (pertama) dari saraf trigeminal berrpengaruh pada 15% kasus.
Dermatom yang berdekatan berpengaruh pada 20% kasus, dan terkadang lesi
melintasi garis tengah, terutama di bagian punggung.

Gambar 1 Presentasi Klinis Herpes Zoster

Diagnosis
Diagnosis herpes zoster biasanya khas secara klinis. Meskipun hepes zoster sulit
untuk diidentifikasi selama prodromal, penampilan eksantema khas nya membantu
dalam diagnosis. Pemeriksaan biasanya tidak diperlukan, tetapi mungkin
dipertimbangkan pada pasien dengan lesi berulang yang mencurigakan untuk
herpes simpleks, atau pada mereka yang diduga zoster sine herpete (ZSH), dimana
virus menyebabkan rasa nyeri tanpa lesi. Pemeriksaan juga dapat dipertimbangkan
dalam presentasi atipikal atau tidak khas, seperti lesi diseminata luas yang dapat
terjadi pada pasien imunokompromais. Pemeriksaan juga membantu dalam
membedakan herpes zoster daripada dermatosis vesicular lainnya seperti dermatitis
kontak dan dermatitis herpetiformis. Pemeriksaan reaksi rantai polymerase (PCR)
dari vesikel atau cairan tubuh lainnya lebih dipilih karena sensitifitas dan
spesifisitasnya tinggi (95% dan 100% secara berurutan) dan pengerjaannya singkat
(biasanya satu hari).

Manajemen Herpes Zoster Akut


Herpes zoster diterapi dengan analog guanosisn oral (Tabel 1). Obat-obatan ini
menargetkan VZV dengan mengandalkan virus kinase untuk fosforilasi, yang
membantu penggabungan ke dalam virus DNA, sehingga mengganggu replikasi.
Acyclovir lebih murah tetapi memiliki bioavailabilitas yang lebih rendah dan harus
dikonsumsi lima kali sehari. Valacyclovir (Valtrex), prodrug dari acyclovir,
dikonsumsi tiga kali sehari, seperti halnya famciclovir. Acyclovir merupakan satu-
satunya terapi antivirus yang disetujui untuk pengobatan herpes zoster pada anak-
anak. Pasien dengan penyakit parah, terutama pasien dengan imunokompromais,
harus diobati dengan acyclovir intravena. Meskipun pengobatan herpes zoster
idealnya harus dimulai dalam waktu 72 jam setelah kemunculan ruam, terapi masih
diperbolehkan diluar 72 jam jendela jika lesi baru berkembang atau jika terdapat
komplikasi oftalmik dan neurologi.
Acyclovir menurunkan durasi terjadinya lesi yang baru dalam 12 jam dan
waktu terbentuknya krusta secara sempurna dalam dua hari, disamping mengurangi
keparahan nyeri. Valacyclovir dan famciclovir memiliki efek yang serupa.
Penggunaan obat antivirus tidak mengurangi insiden neuralgia pascaherpes.
Glukokortikoid merupakan tambahan untuk terapi antivirus, ia mengurangi
nyeri akur dan membantu penyembuhan dini. Glukokortikoid tidak mengurangi
kejadian neuralgia pascaherpes dan tidak boleh digunakan tanpa antivirus.
Pengobatan nyeri akut tergantung pada tingkat keparahan dan dampaknya. Nyeri
ringan hingga sedang dapat dikontrol dengan acetaminophen atau agen NSAID.
Pada kasus yang parah harus mungkin memerlukan opioid, walaupun resepnya
harus mengikuti pedoman yang telah ditetapkan. Antikonvulsan, antidepresan
trisiklik, atau blok saraf dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan kontrol nyeri
suboptimal.
Tabel 1 Terapi Farmakologi Herpes Zoster Akut

Tabel 2 Terapi Farmakologi Herpes Zoster


Neuralgia Pascaherpes
Neuralgia pascaherpes merupakan kompllikasi yang paling umum dari herpes
zoster, didefinisikan sebagai nyeri pada distribusi dermatom yang berkelanjutan
selama setidaknya 90 hari setelah ruam. Terjadi sekitar 20% pada pasien dengan
herpes zoster dan 80% kasus terjadi pada pasien usia 50 tahun atau lebih. Nyeri
digambarkan sebagai rasa terbakar atau sengatan listrik dan mungkin berhubungan
dengan allodynia atau hyperalgesia. Neuralgia pascaherpes disebabkan oleh
kerusakan saraf sekunder terhadap respon inflamasi yang disebabkan oleh replikasi
virus di dalam saraf. Faktor risiko termasuk usia tua, prodromal atau ruam berat,
nyeri zoster akut yang berat, keteribatan oftalmika, imunosupresi, dan kondisi
kronis seperti diabetes mellitus dan lupus. Nyeri dari neuralgia pascaherpes sering
melemahkan dan mempengaruhi fungsi fisik, kesehatan psikologis, dan kualitas
hidup. Strategi pelaksanaan nyeri harus fokus pada kontrol gejala. Meskipun
beberapa pasien memiliki resolusi gejala pada beberapa tahun, yang lainnya
melanjutkan terapinya tanpa batas (Tabel 2).

PENGOBATAN TOPIKAL
Ada dua persiapan topical yang telah disetujui dalam pengelolaan neuralgia
pascaherpes. Tambalan (patch) lidocaine 5% memiliki efek samping yang
menguntungkan dan dianggap sebagai lini pertama terapi meskipun bukti
efektivitasnya terbatas. Meskipun satu tinjauan sistematis menunjukkan
peningkatan rasa nyeri, sebuah ulasan Cochrane dari percobaan acak terkontrol
(Randomized Controlled Trial / RCT) memasukkan bukti yang mendukung bahwa
penggunaannya masih kurang.
Capsaicin juga merupakan pilihan untuk meredakan rasa nyeri. Sebuah
metaanalisis dari empat RCT dengan 1.272 pasien menyimpulkan bahwa tambalan
capsaicin 8% yang diterapkan selama 30 hingga 90 menit memberikan efek pereda
rasa sakit yang lebih besar daripada capsaicin topical konsentrasi rendah setelah 12
minggu (jumlah yang perlu untuk mengobati [NNT] = 7; 95% interval kepercayaan
[CI], 5 hingga 15). Namun, tambalan 8% bersifat mengiritasi dan cenderung
menyebabkan rasa sakit ketika digunakan. Seorang dokter klinis harus melakukan
pre pengobatan pada aplikasi di tempat dengan anestesi topical sebelum
menempelkan tambalan. Krim capsaicin (0,075%) potensi rendah juga telah
digunakan untuk mengobati neuralgia pascaherpes, meskipun ulasan Cochrane
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan
penggunaannya.

PENGOBATAN SISTEMIK
Antikonvulsan gabapentin (Neurontin) dan pregabalin (Lyrica) telah disetujui
untuk pengobatan neuralgia pascaherpes. Beberapa penelitian metaanalisis
menunjukkan bahwa gabapentin (1.800 hingga 3.600 mg per hari; NNT = 8; 95%
CI, 5 hingga 14) dan pregabalin (600 mg per hari; NNT = 4; 95% CI, 3 hingga 9)
lebih efektif daripada plasebo dalam mencapai 50% pengurangan nyeri. Meskipun
efektivitasnya, waktu yang dibutukan untuk mentitrasi agen ini ke dosis efektif
(hingga 10 minggu) dan efek sampingnya (misalnya, somnolen) akan membatasi
penggunaannya.
Antidepresan trisiklik juga efektif dalam pengobatan neuralgia pascaherpes.
Sebuah metaanalisis dari empat RCT membandingkan amitriptyline, nortriptyline
(Pamelor), dan desipramine dengan plasebo dipekirakan NNT dari ketiganya (95%
CI, 2 hingga 4) untuk mencapai berkurangnya rasa nyeri yang berarti. Ulasan
Cochrane tidak menemukan perbedaan pereda rasa nyeri antara antidepresan
trisiklik setelah empat minggu, tetapi semua lebih unggul dibandingkan plasebo.
Hingga seperempat dari pasien yang menggunakan antidepresan trisiklik
menghentikan pengobatan karena efek samping seperti kebingungan, sedasi, retensi
urin, dan kardiotoksisitas.
Opioid dianggap sebagai pengobatan lini ketiga untuk neuralgia pascaherpes.
Cochrane menyimpulkan bahwa manfaat opioid untuk nyeri neuropatik tidak pasti
karena kurangnya bukti yang tidak bias. Dua tinjauan sistematis menemukan bahwa
tramadol memberikan efek pereda nyeri yang signifikan pada pasien neuralgia
pascaherpes (NNT = 4 hingga 5).
Potensi bahaya terapi sistemik untuk neuralgia pascaherpes harus
dipertimbangkan sebelum mengobati pasien yang lebih tua atau pasien dengan
komorbiditas. Penilaian menyeluruh, termasuk tinjauan pengobatan dan
pemeriksaan fisik yang berfokus pada keseimbangan, gaya berjalan, dan tanda-
tanda vital ortostatik, akan membantuk meminimalisasi efek samping dari
pengobatan dan interaksi antara terapi dan obat-obatan lainnya. The American
Geriatrics Society menganjurkan memulai pengobatan untuk nyeri persisten pada
dosis rendah dan titrasi perlahan.

Pencegahan
Herpes zoster dan neuralgia pascaherpes dapat dicegah. Vaksin VZV (Zostavax)
telah ditunjukkan ke dalam uji klinis untuk mengurangi insidensi herpes zoster dan
dikembangkan untuk orang dewasa 50 tahun atau lebih. Komite Penasihat Pusat
Pengendalian Penyakit dan Pencegahan pada Praktik Imunisasi merekomendasikan
vaksinasi untuk orang dewasa usia 60 tahun atau lebih, terlepas dari apakah mereka
telah mengalami varicella. Vaksin VZV lebih efektif pada orang usia 60-69 tahun
dibandingkan pada usia 70 tahun atau lebih, dan lebih efektif biaya dalam
memvaksinasi orang-orang dengan usia 60 tahun atau lebih.
Vaksin VZV merupakan kontraindikasi pada orang yang imunokompromais,
orang dengan HIV dan jumlah limfosit CD4 kuran dari 200 per mm3 (0,20 x 109 per
L), pasien yang sedang menjalani pengobatan kanker serta orang-orang dengan
kanker yang memengaruhi tulang atau sistem limfatik. Tingkat efektivitas vaksin
adalah 69% pada tahun pertama, tetapi meningkat 4% pada tahun kedelapan. Tidak
ada rekomendasi untuk vaksinasi ulang pada orang yang menerima vaksin pada usia
60 tahun atau lebih, dan tidak ada rekomendasi untuk orang yang sebelumnya
pernah menerima vaksin varicella.
Karena beberapa pasien yang berisiko tinggi terkena herpes zoster tidak dapat
menerima vaksin VZV hidup, vaksin VZV rekombinan adjuvan telah
dikembangkan. Telah ditunjukkan dalam uji coba klinis di antara orang usia 50
tahun atau lebih yang tidak memiliki riwayat imunosupresi, tetapi belum disetujui
oleh U.S Food and Drug Administration. Insiden herpes zoster pada mereka yang
mendapat vaksin menurun 96% (95% CI, 90% hingga 98%) dibandingkan dengan
plasebo. Seperti vaksin VZV hidup yang dilemahkan, vaksin rekombinan
ditoleransi dengan baik namun efektivitasnya tidak tergantung pada usia, dan tidak
meningkatkan risiko timbulnya herpes zoster.
Cara paling efektif untuk mencegah neuralgia pascaherpes adalah dengan
mencegah herpes zoster. The Shingles Prevention Study menemukan vaksin VZV
hidup 67% efektif (95% CI, 51% hingga 96%) dalam mencegah neuralgia
pascaherpes dengan mengurangi insiden herpes zoster sebanyak 51% (95% CI, 44%
hingga 58%). Efek proteksi vaksin berlangsung rata-rata minimal tiga tahun, dan
simpulan data menunjukkan bahwa vaksin mencegah herpes zoster selama lima
tahun pada pasien usia 60 tahun atau lebih. Pasien yang divaksinasi dan kemudian
mengalami herpes zoster mengalami penurunan durasi dan keparahan gejala
dibandingkan dengan mereka yang menerima plasebo. Di antara orang dewasa usia
65 tahun, jumlah yang butuh divaksinasi untuk mencegah satu kasus herpes zoster
dan satu kasus neuralgia pascaherpes sebanyak 11 dan 43 orang masing-masing.
Walaupun vaksin VZV efektif, penggunaannya jarang, kemungkinan pada
bagian biayanya. Meskipun vaksin ini dicakup oleh Medicare Part D, tetapi ketika
pengurangan dan pembayaran kembali diperhitungkan, vaksin menjadi terkendala
dengan biaya. Pada tahun 2013, rata-rata vaksinasi VZV hanya 24,2% di antara
orang dewasa usia 60 tahun atau lebih. Orang dewasa berkulit putih menerima
vaksin hamper tiga kali lipat dari rata-rata orang kulit hitam dan Hispanik. Edukasi
pasien dapat meningkatkan rata-rata vaksinasi dengan membant pasien memahami
manfaat dan cara agar pasien dapat bekerja dengan perusahaan asuransi untuk
menemukan cara yang terjangkau untuk memperoleh vaksin.
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI HERPES ZOSTER

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-
zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Herpes zoster adalah infeksi viral
kutaneus pada umumnya melibatkan kulit dengan dermatom tunggal atau yang
berdekatan.2 Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster
yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox.2 Shingles adalah
nama lain dari herpes zoster 2, Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi
primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis
sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan
bermanifestasi sebagai herpes zoster.1

2. EPIDEMIOLOGI

Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi


musiman. Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan
tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak
dengan orang lain dengan varisela atau herpes.4 Sebaliknya, kejadian herpes zoster
ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus.4

Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif


memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada individu
imunokompeten pada usia yang sama.4 Immunosupresif kondisi yang berhubungan
dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk “human immunodeficiency virus”
(HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan
kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid.4 Herpes zoster adalah
infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang terinfeksi dengan HIV,
dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun.4 Zoster mungkin
merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit AIDS pada individual
dengan resiko tinggi.8 Dengan demikian, infeksi HIV harus dipertimbangkan pada
individu yang terkena herpes zoster.4

Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster termasuk jenis


kelamin perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen interleukin 10
polimorfisme, dan ras hitam, tapi konfirmasi diperlukan.2 Paparan dari anak dan
kontak dengan kasus varisela telah dilaporkan untuk memberikan perlindungan
terhadap penyakit herpes zoster.2 Episode kedua dari herpes zoster jarang terjadi
pada orang imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang.2 Orang yang
menderita lebih dari satu episode mungkin immunocompromised.2 Pasien
imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster yang
mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV) yang
berulang.2

Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien dengan


varisela. Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes zoster tanpa
komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu yang lebih
lama pada individu immunocompromised.2 Pasien dengan zoster tanpa komplikasi
dermatomal muncul untuk menyebarkan infeksi melalui kontak langsung dengan
lesi mereka.2 Pasien dengan herpes zoster dapat disebarluaskan, di samping itu,
menularkan infeksi pada aerosol, sehingga tindakan pencegahan udara, serta
pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut.2
3. PATOGENESIS

Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet


respiratori.3 VVZ bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang lebih
2 minggu sebelum perkembangan kulit yang erupsi.3 Pasien infeksius sampai semua
lesi dari kulit menjadi krusta.3 Selama terjadi kulit yang erupsi, VVZ menyebar dan
menyerang saraf secara retrograde untuk melibatkan ganglion akar dorsalis di mana
ia menjadi laten.

Virus berjalan sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya


dan menimbulkan vesikel dengan cara yang sama dengan cacar air.8 Zoster terjadi
dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion akar dorsal saraf sensorik.1,Latensi
adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak diragukan lagi peranannya dalam
patogenitas.1 Sifat latensi ini menandakan virus dapat bertahan seumur hidup
hospes dan pada suatu saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media
transmisi penularan kepada seseorang yang rentan.1 Reaktivasi mungkin karena
stres, sakit immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan.3 Virus kemudian
menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala prodormal dan erupsi kutaneus
dengan karakteristik yang dermatomal.3 Infeksi primer VVZ memicu imunitas
humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih
penting pada herpes zoster.1 Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes zoster
meningkat pada pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan
orang normal.1
Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada keadaan
imunosupresi.1 Insidensi herpes zoster berhubungan dengan menurunnya imunitas
terhadap VZV spesifik.1

Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan terjadi


peradangan ganglion sensoris.1 Virus menyebar ke sumsum tulang belakang dan
batang otak, dari saraf sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi kulit
vesikuler yang khas.1 Pada daerah dengan lesi terbanyak mengalami keadaan laten
dan merupakan daerah terbesar kemungkinannya mengalami herpes zoster.1

Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara sentripetal,
naik ke serabut sensoris ke ganglia sensoris.4 Di ganglion, virus membentuk infeksi
laten yang menetap selama kehidupan.4 Herpes zoster terjadi paling sering pada
dermatom dimana ruam dari varisela mencapai densitas tertinggi yang diinervasi
oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf trigeminal ganglion sensoris dan tulang
belakang dari T1 sampai L2.4

Depresi imunitas selular akibat usia lanjut, penyakit, atau obat-obatan


mempermudah reaktivasi. Herpes zoster pada anak kecil sehat mungkin
berhubungan dengan perkembangan imunitas selular yang kurang efisien pada saat
terjadi infeksi VZV primer baik in utero maupun pascalahir.8

Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster diawali dengan:

( seperti terlihat pada gambar di atas )

1. Munculnya lenting-lenting kecil yang berkelompok.


2. Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.
3. Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.
4. Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).
5. Lesi menghilang.
sekelompok vesikel – vesikel dalam bentuk bervariasi)

(vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta)

(sekelompok vesikel – vesikel berkonfluens pada kasus inflamasi berat)

(vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi “scar” jika inflamasi
berat)
4. GEJALA KLINIS

Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan
kelelahan selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit.3 Inisial lesi kutaneus sangat
gatal, makula dan papula eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan
menyebar ke bawah.3 Papula ini kemudian berkembang cepat menjadi vesikel kecil
yang dikelilingi oleh halo eritematosa, yang dikenal sebagai “tetesan embun pada
kelopak mawar” ( “dew drop on rose petal” ).3 Setelah vesikel matang, pecah
membentuk krusta.3 Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan karakteristik
dari varisela.3

Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik
erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.3

Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan


intermiten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir, beberapa
dermatom atau difus.1 Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada penderita
imunokompeten kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita mayoritas
diatas usia 60 tahun.4 Nyeri prodormal : lamanya kira –kira 2 – 3 hari, namun dapat
lebih lama.8

Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal1,7, malaise, demam, nyeri
kepala, dan limfadenopati, gatal1,7, tingling.1 Lebih dari 80% pasien biasanya
diawali dengan prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari
sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit.1

Nyeri preeruptif dari herpes zoster (preherpetic neuralgia)7 dapat


menstimulasi migrain6, nyeri pleura4,6, infark miokardial4,6, ulkus duodenum,
kolesistitis, kolik renal dan bilier, apendisitis4,6, prolaps diskus intervertebral, atau
glaucoma dini, dan mungkin mengacu pada intervensi misdiagnosis yang serius.4

Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di
sekitarnya8 herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral.1
Erupsi diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian
makulopapuler muncul secara dermatomal.1
Lesi baru timbul selama 3-5 hari.8 Bentuk vesikel dalam waktu 12 sampai
24 jam dan berubah menjadi pustule pada hari ketiga.4 Pecahnya vesikel serta
pemisahan terjadi dalam 2 – 4 minggu.8 Krusta yang mongering pada 7 sampai 10
hari.4 Pada umumnya krusta bertahan dari 2 sampai 3 minggu.4 Pada orang yang
normal, lesi – lesi baru bermunculan pada 1 sampai 4 hari ( biasanya sampai
selama 7 hari).4 Rash lebih berat dan bertahan lama pada orang yang lebih tua., dan
lebih ringan dan berdurasi pendek pada anak – anak.4

Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom dorsolumbal


merupakan lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal
oftalmika, kemudian servikal dan sakral.8 Ekstremitas merupakan lokasi yang
paling jarang terkena.8

Keterlibatan saraf kranial ke 5 berhubungan dengan kornea.3 Pasien seperti


ini harus dievaluasi oleh optalmologi.3 Varian lain adalah herpes zoster yang
melibatkan telinga atau mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-Hunt.3 Sindrom ini
harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelumpuhan nervus fasialis, hilangnya
rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai tambahan lesi zosteriform di
telinga.3 Secara klasik, erupsi terlokalisir ke dermatom tunggal, namun keterlibatan
dermatom yang berdekatan dapat terjadi, seperti lesi meluas dalam kasus zoster-
diseminata.3 Zoster bilateral jarang terjadi, dan harus meningkatkan kecurigaan
pada imunodefisiensi seperti HIV / AIDS.3

Terbagi menjadi tiga stadium antara lain :

a. Stadium prodromal :
Biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena disertai
dengan panas, malaise dan nyeri kepala.

b. Stadium erupsi :
Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2 hari
akan timbul gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan kulit
diantara gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain adalah
sama sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama. Lokasi
lesi sesuai dermatom, unilateral dan biasanya tidak melewati garis tengah dari
tubuh.

c. Stadium krustasi :

Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2
minggu. Sering terjadi neuralgi pasca herpetica terutama pada orang tua yang
dapat berlangsung berbulan-bulan parestesi yang bersifat sementara.(7,8)

Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi – lesi baru yang tetap
timbul brlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-
kira 1-2 minggu.

Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:


a. Herpes zoster oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus
saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4
hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak
mata bengkak dan sukar dibuka.

b. Herpes zoster fasialis


Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai
erupsi herpetik unilateral pada kulit.
c. Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

d. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

e. Herpes zoster lumbalis


Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

f. Herpes zoster sakralis


Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
5. DIAGNOSIS

Diagnosis herpes zoster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa


neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya
kelainan kulit.3 Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit didahului gejala
prodromal seperti demam, pusing dan malaise.9 Kelainan kulit tersebut
mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan
vesikula yang dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk
bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan
dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat
menjadi krusta.

Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan


penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis,
apendisitis, kolik renal, dan sebagainya.4 Namun bila erupsi sudah terlihat,
diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes
zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa,
unilateral, dan mengenai satu dermatom.

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck


membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti
banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi
dengan mikroskop elektron, serta tes serologik.4,9 Pada pemeriksaan
histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel
dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal
dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan
mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara
imunofluoresensi.
Kultur virus adalah dimungkin, tetapi virus varicella-zoster itu labil
dan relatif sulit untuk pulih dari penyeka lesi kulit. Sebuah uji direct
imunofluorescence lebih sensitif dibandingkan kultur virus dan memiliki
tambahan keuntungan dari biaya yang lebih murah dan waktu yang lebih
cepat. Seperti kultur virus, direct imunofluorescence assay dapat
membedakan infeksi virus herpes simplex dengan infeksi virus varisela-
zoster. Polymerase-chain-reaction techniques yang berguna untuk
mendeteksi DNA virus varicella-zoster di cairan dan jaringan

6. DIANOSIS BANDING

Herpes Simpleks Definisi : Penyakit akut yang ditandai dengan timbulnya


vesikula yang berkelompok diatas dasar eritema, berulang,
mengenai permukaan mukokutaneus.

Etiologi : Disebabkan oleh virus herpes simplex.

Gejala klinis :Lesi primer didahului gejala prodromal berupa


rasa panas ( terbakar ) dan gatal. Setelah timbul lesi dapat
terjadi demam, malaise dan nyeri otot.

Predileksi : mukosa

Status dermatologi : berupa vesikel yang mudah pecah,


erosi, ulcus dangkal bergerombol di atas dasar eritema
dan disertai rasa nyeri. Predileksi pada wanita antara lain
labium mayor, labium minor, klitoris, vagina, serviks
dan anus. Pada laki-laki antara lain di batang penis, glans
penis dan anus. Ekstragenital yaitu hidung, bibir, lidah,
palatum dan faring.
(3)

Varisella Definisi : vesikula yang tersebar, terutama menyerang


anak-anak, bersifat mudah menular
Etiologi : virus Varisela zoster.
Predileksi : Paling banyak di badan, kemudian muka,
kepala dan ekstremitas.
Gejala Klinis : Pada stadium prodomal timbul banyak
makula atau papula yang cepat berubah menjadi
vesikula, yang umur dari lesi tersebut tidak sama. Kulit
sekitar lesi eritematus. Pada anamnesa ada kontak
dengan penderita varisela atau herpes zoster. Khas pada
infeksi virus pada vesikula ada bentukan umbilikasi
(delle) yaitu vesikula yang ditengah nya cekung
kedalam. Distribusinya bersifat sentripetal.
Dermatitis Kontak Definisi : Dermatitis yang disebabkan terpaparnya kulit
Alergika
dengan bahan yang bersifat sebagai alergen. Disini ada
riwayat alergi dan merupakan paparan ulang.
Predileksi : Seluruh tubuh
Status dermatologis : Dapat akut, subakut dan kronis.
Lesi akut berupa lesi polimorf yaitu tampak makula yang
eritematus, batas tidak jelas pada efloresensi dan diatas
makula yang eritematus terdapat papul, vesikel, bula
yang bila pecah menjadi lesi yang eksudatif.

Dermatitis Definisi : Dermatitis yang bersifat kronis dan rasa gatal


herpetivormis
yang sangat dengan kekambuhan yang tinggi.
Status dermatologi : berupa berupa lesi polimorf yang
bergerombol pada dasar yang eritematus.
Predileksi : pada kepala, kuduk, lipatan ketiak bagian
belakang, sakrum, bokong dan lengan bawah.
Distribusinya simetris, akut dan polimorf)
Dermatitis Definisi : Dermatitis venenata adalah kelainan akibat gigitan
Venenata atau tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap toksin
atau alergen yang dikeluarkan arthropoda penyerang

Predileksi : Seluruh tubuh

Status Dermatologis : Berupa eritema, edema, panas, nyeri,


bisa berbentuk papula, pustule, maupun krusta.

Terdapat 2 macam lesi yang diakibatkan oleh gigitan


serangga, yaitu :

a. Nodul eritematus, akibat serangga memasukkan


(menyuntikkan) bahan – bahan berbahaya ke dalam kulit
yang menyebabkan keradangan.
b. Dermatitis kontak iritan, akibat cairan yang dikeluarkan
serangga waktu berbenturan / bersentuhan dengan kulit.
7. KOMPLIKASI

1. Neuralgia paska herpetic

Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan
sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40
tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi..
Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.

Patogenesa Nyeri pada Herpes Zoster dan Postherpetic Neuralgia

Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Didahului dengan gejala
ini dan umumnya disertai ruam, dan gejala ini sering berlanjut walau ruam
sudah sembuh, dengan komplikasi yang dikenal sebagai postherpetic neuralgia
(PHN). Sejumlah mekanisme yang berbeda tetapi tumpang tindih tampaknya
terlibat dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster dan PHN.
Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf di
ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang lebih terasa
nyeri di kulit. Rilis yang berlebihan dari pengeluaran asam amino dan
neuropeptida yang disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari impuls afferent
selama fase akut dan prodormal pada herpes zoster kemungkinan dapat
menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya hambatan interneuron di
sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang,
ganglion dan saraf perifer, adalah penting dalam patogenesis PHN. Kerusakan
saraf aferen primer dapat menjadi aktif secara spontan dan peka terhadap
rangsangan perifer dan simpatis. Aktivasi nosiseptor yang berlebihan dan
impuls ektopik mungkin, menurunkan sesitivitas SSP. penambahan dan
perpanjangan rangsangat pada pusat itu berbahaya. Pada klinis, ini dinamakan
allodynia (nyeri dan / atau sensasi yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan
oleh rangsangan yang biasanya tidak menyakitkan (sentuhan ringan) dengan
rangsang sensori sedikit atau tidak ada sama sekali.

2. Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.


Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan,
atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus
dengan jaringan nekrotik.

3. Zoster trigeminalis

Herpes zoster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus, tetapi
paling sering terkena adalah bagian oftalmika.11,15 Gangguan mata seperti
konjungitvitis, keratitis, dan/atau iridosiklitis bisa terjadi bila cabang
nasosiliaris dari bagian oftalmika terkena (ditunjukkan oleh adanya vesikel –
vesikel di sisi hidung), dan pasien dengan zoster oftalmika hendaknya diperiksa
oleh oftalmolog.11

Herpes keratokonjungtivitis : termasuk HZO, dalam waktu 3 minggu selama


rash, terdapat ulkus kornea, keratitis punctata.15
 Infeksi pada bagian maksila dari saraf trigeminus menimbulkan vesikel
– vesikel unilateral pada pipi dan pada palatum11.

4. Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan
otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell),
kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.

5. Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf
yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah, diafragma,
batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh
spontan.
8. PENATALAKSANAAN

1. Pengobatan Umum

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat
menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan
orang dengan defisiensi imun.

Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai
baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.

2. Pengobatan Khusus

A. Sistemik

a. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,
misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai
inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan
peroral ataupun intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama
sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah
5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui intravena biasanya
hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau
penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat
digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir.
Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena
konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat
dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari.

c. Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan


oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam
mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan
sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri
muncul.

d. Kortikosteroid

Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay


Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya
paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednison dengan dosis 3×20
mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan
dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih
baik digabung dengan obat antivirus.

B. Pengobatan topikal

Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim


capsaicin dapat digunakan untuk neuralgia paska herpes.3,7 Solutio Burrow
dapat digunakan untuk kompres basah.7 Kompres diletakkan selama 20
menit beberapa kali sehari, untuk maserasi dari vesikel, membersihkan
serum dan krusta, dan menekan pertumbuhan bakteri.7 Solutio Povidone-
iodine sangat membantu membersihkan krusta dan serum yang muncul
pada erupsi berat dari orang tua.7 Acyclovir topikal ointment diberikan 4
kali sehari selama 10 hari untuk pasien imunokompromised yang
memerlukan waktu penyembuhan jangka pendek.7

9. PROGNOSIS

Infeksi primer herpes virus merupakan penyakit yang dapat sembuh


spontan,biasanya berlangsung selama 1-2 minggu. Kematian dapat terjadi
pada masa neonates, anakdengan malnutrisi berat, kasus meningo-
ensefalitis, dan eksema herpetikum yang berat,diluar keadaan ini biasanya
prognosis baik. Mungkin sering ditemukan serangan berulang,tetapi
serangan ulang tersebut jarang berat, kecuali serangan ulang pada mata yang
dapatmenyebabkan timbulnya jaringan parut pada kornea dan menimbulkan
kebutaan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2002.

2. Habif, T.P. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd
ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2011 .p. 235 -239.

3. Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In :
Lippincott’s Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer
Health. 2011 .p. 148 -151.

4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General
Medicine. 7 thed. New York : McGraw Hill Company.2008.p. 1885-1898.

5. James, W.D. Viral Diseases. In : Andrew’s Disease of the Skin Clinical


Dermatology. 11th ed. USA : Elseiver Saunder. 2011 .p. 372 – 376.

6. Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and
Marks’ Principles of Dermatology. 4th ed. Philadelphia : Elseiver Saunders.
2006 .p.145-148.

7. Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In :


Clinical Dermatology. 5 thed. United States of America : Elseiver Saunders.
2010.p. 479 – 490.

8. Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga
Medical Series. 2008 : 115 – 119.

9. Sehgal, V.N. Herpes Zoster. In : Textbook of Clinical Dermatology. 4th ed.


New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers. 2006.p. 83 – 84.

10. Mayeaux EJ. Viral Infection. In : The Color Atlas of Family Medicine.
United State of America : Mc Graw-Hill Companies, 2009 : 493 – 502.

11. Brown, R.G. Lecture Notes Dermatology: Penyakit Infeksi.8th ed. Jakarta :
Erlangga Medical Series. 2005 : 29 – 31.
12. Brown, R.G.Dermatology Fundamentals of Practice. Philadelphia : Mosby
Elseiver. 2008.p. 212-214.

13. Chang Sung Eun, Bae Gee Young, Moon Kee Chan, Do Sang Hwan, Lim
Young Jin. Subcutaneous granuloma annulare following herpes zoster. In :
International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 298 – 299.

14. The International Society of Dermatology.Herpes zoster and pruritus. In :


International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 779 -780.

15. Ali Asra. Varicella zoster virus (VZV). In : Dermatology a Pictorial Review.
New York : Mc Graw Hill Companies. 2007.p. 22 -23.

16. Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Cetakan V, Jakarta : Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 : 110-112.

17. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu


Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001.

18. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates,
2000; 92-4.

Anda mungkin juga menyukai