Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

HERPES ZOSTER

Makalah ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kulit & Kelamin di RSUD Tidar Kota
Magelang

Diajukan Kepada:
dr. Nunik Sriwahyuni, Sp.KK

Oleh :
Annisa
20214010071

Bagian Ilmu Kulit & Kelamin


Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Kota
Magelang Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................1

PENDAHULUAN..................................................................................................2

LAPORAN KASUS...............................................................................................3

A. IDENTITAS PASIEN...................................................................................3
B. ANAMNESIS...............................................................................................3
C. PEMERIKSAAN FISIK...............................................................................4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG..................................................................5
E. DIAGNOSIS.................................................................................................5
F. TATA LAKSANA........................................................................................5
G. PROGNOSIS................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................7

A. DEFINISI HERPES ZOSTER......................................................................7


B. EPIDEMIOLOGI HERPES ZOSTER..........................................................7
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO HERPES ZOSTER...........................9
D. PATOFISIOLOGI HERPES ZOSTER.......................................................10
E. PENDEKATAN DIAGNOSTIK HERPES ZOSTER................................15
F. DIAGNOSIS BANDING............................................................................17
G. TATA LAKSANA......................................................................................18
H. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS...........................................................22
KESIMPULAN....................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24

1
BAB I
PENDAHULUA
N

Varicella zoster virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus
terdiri atas genome DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan
dibungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu
varicella (chickenpox) dan herpes zoster (shingles) (Lichenstein, 2002).
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus
varisela zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel neuronal dan kadang-
kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik saraf kranial
menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang sesuai dengan segmen yang
dipersarafinya (Smith, 2014). Selama fase reaktivasi, dapat terjadi infeksi VVZ di dalam
sel mononuklear darah tepi yang biasanya subklinis. Penyebab reaktivasi tidak
sepenuhnya dimengerti tetapi diperkirakan terjadi pada kondisi gangguan imunitas selular
(Enguist, 2013)
Faktor risiko terjadinya HZ adalah usia tua dan disfungsi imunitas seluler. Pasien
dengan supresi imun memiliki risiko 20-100 kali lebih besar dibanding pasien
imunokompeten. Keadaan imunosupresi yang berhubungan dengan risiko terjadinya HZ
adalah infeksi HIV (Human immunodeficiency virus), pasien yang menjalani
transplantasi organ, leukemia, limfoma, radioterapi, kemoterapi, dan penggunaan
kortikosteroid jangka panjang. Faktor lain yang dilaporkan sebagai salah satu faktor risiko
terjadinya HZ adalah jenis kelamin perempuan, adanya trauma fisik pada 1 dermatom
yang terkena dan tindakan pembedahan (Oxman MN, 2012).
Angka kejadian HZ dan NPH meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Lebih
dari dua pertiga kasus terjadi pada usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20
tahun (Levin MJ, 2019).
Peningkatan kejadian HZ berkorelasi dengan bertambahnya usia terkait perubahan
sistem imunitas terhadap VVZ yang diperantarai sel limfosit T spesifik (Mick G, 2013).
Penderita juga dapat mengalami komplikasi motor neuropati sebanyak 1-5%. Keadaan
imunokompromais lesi kulit tampak lebih berat dan terjadi diseminata pada 6- 26%
kasus. Lesi dapat menyebar ke organ dalam pada 10-40% kasus 5-15% di antaranya
meninggal akibat pneumonitis. Penderita HIV, HZ sering mengalami rekurensi dan
berjalan kronis. Bila menyerang di daerah trigeminal 10-25% terjadi komplikasi pada

2
mata.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. WWJS


Usia : 28 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Magelang Utara
Agama : Islam
Pekerjaan : Supir Pribadi
Status : Belum Menikah
Pemeriksaan : 23 September 23
Ruangan : Poli Kulit RSUD Tidar Magelang

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 23 September 2023 di Poli Kulit RSUD
Tidar Kota Magelang. Anamnesis dilakukan secara langsung dengan pasien.

1. Keluhan Utama
Gatal-gatal disertai plenting-plenting kemerahan didaerah dahi dan
didaerah alis kanan.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli RSUD Tidar Kota Magelang pada hari Sabtu,
23 September 2023 dengan keluhan gatal disertai plenting-plenting
kemerahan yang terasa nyeri dan panas di dahi kanan dan daerah alis
kanan, serta mata kanan terasa pegal yang dirasakan sejak 1 minggu.
Keluhan dirasa terus menerus, membaik bila diberi salep. Pasien mengaku
keluhan diawali muncul jerawat dan gatal sejak 1 minggu. Keluhan telinga
berdenging, penurunan pendengaran, dan kelumpuhan separuh wajah
disangkal. Keluhan gigitan serangga sebelumnya disangkal. Pasien
mengatakan sudah diberikan salep acyclovir tetapi belum membaik.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat sakit kulit sebelumnya
disangkal. Riwayat DM, HT, asma, dan alergi disangkal.

4
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa (-) Riwayat sakit kulit lainnya disangkal.
Riwayat DM, HT, asma, dan alergi disangkal.

5. Riwayat Personal Sosial


Pasien merupakan seorang supir pribadi yang tinggal dengan kedua
orangtua. Pasien mandi 2 kali sehari menggunakan sabun antiseptik. Pasien
tidak berbagi handuk dengan orang lain. Pasien tidak memiliki hewan
peliharaan. Riwayat kontak tetangga/serumah dengan yang menderita
herpes disangkal. Riwayat menerima vaksin cacar air disangkal.
6. Anamnesis Sistem
Pasien menyatakan tidak ada keluhan lainnya.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 September 2023 di Poli Kulit
RSUD Tidar Kota Magelang.
1. Keadaan Umum
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos
mentis
2. Status Lokalis Dermatologis
Lokasi : Dahi bagian kanan, daerah alis kanan
Ujud Kelainan Kulit : vesikel dan bula multiple, krusta. (Gambar 1).

Gambar 1. Lesi pada pasien Tn. WWJS

5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
E. DIAGNOSIS
Mempertimbangkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien
Tn. WWJS dapat dipertimbangkan diagnosis banding herpes zoster, herpes
simpleks dan varicella zoster. Herpes Zoster adalah diagnosis kerja yang
ditegakkan pada pasien tersebut.

F. TATA LAKSANA
Pasien diberikan edukasi yang meliputi:
 Memberi penjelasan mengenai diagnosa, penyebab, faktor risiko, pilihan
terapi, dan komplikasi dari penyakitnya.
 Menghindari menggaruk area lesi.

 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan bergizi dan istirahat cukup.

 Menghindari penggunaan handuk/pakaian bersama orang


lain). Pasien diberikan terapi medikamentosa berupa:
 Acyclovir 5x800 mg
 Cetirizine 1x10 mg
 Gabapentin 300 mg 1x1
 Asam Mefenamat 3x500 mg
 Neurodex 1x1
 Ikagen ointment 2xsehari

6
G. PROGNOSIS
Ad vitam : ad
bonam Ad functionam : ad
bonam Ad sanationam : ad
bonam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Herpes Zoster adalah suatu infeksi kulit dimana akan muncul setelah
infeksi primer yang menyebabkan varicella (cacar air), varicella-
zostervirus (VZV) menetap dengan kondisi latensi dalam ganglia sensorik
dan dapat diaktifkan kembali di kemudian hari yang menimbulkan
penyakit yaitu herpes zoster (HZ) (Kawai & Yawn, 2017). Herpes zoster
menyebabkan ruam yang memberikan sensasi sakit dan melepuh dan dapat
menyebabkan neuralgia postherpetik (PHN), komplikasi nyeri yang
persisten, sangat umum pada pasien yang lebih tua. Postherpetic neuralgia
secara substansial dapatmerusak fungsi fisik, psikologis, dan sosial aspek
kehidupan pasien. Pasien dengan HZ dapat juga mengalami komplikasi
lain yang tidak berhubungan denganrasa sakit yaitu HZ ophthalmicus
dengan keterlibatan mata (Johnson & et al, 2010).

B. Etiologi
Varicella-zoster virus (VZV) adalah herpes virus yang merupakan
penyebab dari 2 penyakit berbeda yaitu varicella (juga dikenal cacar air)
dan herpes zoster (juga dikenal sebagai shingles/cacar ular/cacar
api/dompo). VZV merupakan anggota dari keluarga Herpesviridae, seperti
herpes simplex virus(HSV) tipe 1 dan 2, cytomegalo virus (CMV),
Epstein-Barr virus (EBV), human herpes virus 6 (HHV-6), human herpes
virus 7 (HHV- 7), dan human herpes virus8 (HHV-8) (Herpes, 2014).

C. Epidemiologi

Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa


prevalensi musiman. Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada
prevalensi varisela, dan tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes
zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan varisela atau
herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor- resiko
20

8
9

sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada individu
imunokompeten faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus (Wolff,
Goldsmith, Katz, & Gilchrest, 2008)

Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien


imunosupresif memiliki pada usia yang sama. Immunosupresif kondisi
yang berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk
“human immunodeficiency virus” (HIV), transplantasi sumsum tulang,
leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan
penggunaan kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi oportunistik
terkemuka dan awal pada orang yang terinfeksi dengan HIV, dimana
awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun. Zoster mungkin
merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit AIDS pada
individual dengan resiko tinggi. Dengan demikian, infeksi HIV harus
dipertimbangkan pada individu yang terkena herpes zoster (Habif, 2011).

Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien


dengan varisela. Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes
zoster tanpa komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk
waktu yang lebih lama pada individu immunocompromised. Pasien dengan
zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk menyebarkan infeksi
melalui kontak langsung dengan lesi mereka. Pasien dengan herpes zoster
dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol,
sehingga tindakan pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan
untuk pasien tersebut (Habif, 2011).

Insidensi dan prevalensi infeksi herpes zoster di Indonesia masih


belum diketahui secara pasti. Pada tahun 2011-2013, terdapat 2.232 pasien
herpes zoster pada 13 Rumah Sakit pendidikan di Indonesia, dengan usia
terbanyak antara 45 – 64 tahun (37,95%). Dilaporkan bahwa wanita
cenderung memiliki insidensi yang lebih tinggi. Total kasus post herpetik

9
10

neuralgia (PHN) adalah 593 kasus (26,5%) dengan usia terbanyak adalah
45 – 64 tahun (42%) (Herpes, 2014).

D. Patogenesis

Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet


respiratori. VVZ bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama
kurang lebih 2 minggu sebelum perkembangan kulit yang erupsi. Pasien
infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta (Schalock, 2011).
Selama terjadi kulit yang erupsi, VVZ menyebar dan menyerang saraf
secara retrograde untuk melibatkan ganglion akar dorsalis dimana ia
menjadi laten (Habif, 2011). Virus berjalan sepanjang saraf sensorik ke
area kulit yang dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan cara yang
sama dengan cacar air. Zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ
pada ganglion akar dorsal saraf sensorik. Latensi adalah tanda utama virus
Varisela zoster dan tidak diragukan lagi peranannya dalam patogenitas.
Sifat latensi ini menandakan virus dapat bertahan seumur hidup hospes
dan pada suatu saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai
media transmisi penularan kepada seseorang yang rentan. Reaktivasi
mungkin karena stres, sakit immunosupresi, atau mungkin terjadi secara
spontan. Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala
prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal.
Infeksi primer VVZ memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam
mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster
(Daili & Indriatmi, 2002). Keadaan ini terbukti dengan insidensi herpes
zoster meningkat pada pasien HIV dengan jumlah CD menurun,
dibandingkan dengan orang normal (Schalock, 2011).

Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul


pada keadaan imunosupresi. Insidensi herpes zoster berhubungan dengan
menurunnya imunitas terhadap VZV spesifik (Daili & Indriatmi, 2002).

10
11

Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan


terjadi peradangan ganglion sensoris (Daili & Indriatmi, 2002). Virus
menyebar ke sumsum tulang belakang dan batang otak, dari saraf VZV
spesifik. Sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi kulit vesikuler
yang khas. Pada daerah dengan lesi terbanyak mengalami keadaan laten
dan merupakan daerah terbesar kemungkinannya mengalami herpes zoster.

Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit
dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim
secara sentripetal, naik ke serabut sensoris ke ganglia sensoris. Di
ganglion, virus membentuk infeksi laten yang menetap selama kehidupan.
Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom dimana ruam dari
varisela mencapai densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik)
pertama dari saraf trigeminal ganglion sensoris dan tulang belakang dari
T1 sampai L2. Depresi imunitas selular akibat usia lanjut, penyakit, atau
obat-obatan mempermudah reaktivasi. Herpes zoster pada anak kecil sehat
mungkin berhubungan dengan perkembangan imunitas selular yang
kurang efisien pada saat terjadi infeksi VZV primer baik in utero maupun
pascalahir (Habif, 2011).

Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster diawali dengan:

1. Munculnya lenting – lenting kecil yang berkelompok


2. Lenting – lenting tersebut berubah menjadi bula – bula
3. Bula – bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah
4. Terbentuknya krusta (akibat bula yang pecah dan mongering)
5. Lesi menghilang

Sumber : SCRIBD

11
12

E. Gejala Klinis

Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri


otot, dan kelelahan selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit. Inisial lesi
kutaneus sangat gatal, makula dan papula eritematosa pruritus yang
dimulai pada wajah dan menyebar ke bawah. Papula ini kemudian
berkembang cepat menjadi vesikel kecil yang dikelilingi oleh halo
eritematosa, yang dikenal sebagai “tetesan embun pada kelopak mawar”
( “dew drop on rose petal” ). Setelah vesikel matang, pecah membentuk
krusta. Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan karakteristik dari
varisela. Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit
yang sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan
karakteristik erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang
eritematosa (Schalock, 2011).

Gejala prodormal biasanya nyeri disestesia, parestesia, nyeri tekan


intermitten atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam
terlokalisisr, beberapa dermatom atau difus (Daili & Indriatmi, 2002).
Nyeri prodromal tidak lazim terjadi pada penderita imunokompeten
kurang dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita diatas usia 60
tahun. Nyeri prodromal lamanya kira-kira 2-3 hari, namun dapat lebih
lama (Daili & Indriatmi, 2002).

Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal, malaise, demam,


nyeri kepala, dan limfaadenopati, gatal, tingling. Lebih dari 80% pasien
biasanya diawali prodromal, gejala tersebut umumnya berlangsung
beberapa hari sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit (Daili &
Indriatmi, 2002).

Lesi baru timbul selama 3-5 hari. Bentuk vesikel dalam waktu 12
sampai 24 jam dan berubah menjadi pustule pada hari ketiga. Pecahnya
vesikel serta pemisahan terjadi vesikel berkelompok pada dasar yang
eritematosa. terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir,

12
13

beberapa dermatom atau difus lamanya kira –kira 2 – 3 hari, namun dapat
lebih lama. Dalam 2 – 4 minggu. Krusta yang mongering pada 7 sampai 10
hari. Pada umumnya krusta bertahan dari 2 sampai 3 minggu. Pada orang
yang normal, lesi – lesi baru bermunculan pada 1 sampai 4 hari ( biasanya
sampai selama 7 hari). Rash lebih berat dan bertahan lama pada orang
yang lebih tua., dan lebih ringan dan berdurasi pendek pada anak-anak
(Wolff, Goldsmith, Katz, & Gilchrest, 2008).

Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom dorso lumbal


merupakan lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal
oftalmika, kemudian servikal dan sacral. Ekstremitas paling jarang terkena
(Mandal, 2008).

Keterlibatan saraf kranial ke 5 berhubungan dengan kornea. Pasien


seperti ini harus dievaluasi oleh optalmologi. Varian lain adalah herpes
zoster yang melibatkan telinga atau mangkuk konkal – sindrom Ramsey-
Hunt. Sindrom ini harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelumpuhan
nervus fasialis, hilangnya rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai
tambahan lesi zosterform di telinga. Zoster bilateral jarang terjadi, dan
harus meningkatkan kecurigaan pada imunodefisiensi seperti HIV/AIDS
(Schalock, 2011).

Menurut lesinya, herpes zoster dibagi menjadi :

1. Herpes Zoster Oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster


yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut
saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai
erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali dengan nyeri
kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi
seperti lesu, demam ringan. Fotofobia, banyak kelar air mata,
kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

13
14

2. Herpes Zoster Facialis

Merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian


ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII),
ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

3. Herpes Zoster Brachialis

Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang


mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.

4. Herpes Zoster Torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang


mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.

5. Herpes Zoster Lumbalis

Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang


mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.

6. Herpes Zoster Sakralis

Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang


mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.

14
15

F. Penegakan Diagnosis
1. Gejala dan Tanda Muncul
Terdapat beberapa tanda dan gejala yang muncul pada herpes zoster
sebagai berikut (Panduan Praktik Klinis, 2017):
i. Masa inkubasi dalam rentang 7-12 hari, lesi baru akan tetap timbul
selama 1-4 hari dan kadang-kadang selama ±1 minggu.
ii. Pasien mengalami gejala prodromal berupa nyeri dan parestesi di
dermatom yang terkait. Pada umumnya akan didahului erupsi kulit
dan bervariasi mulai dari rasa gatal, parestesi, panas, pedih, nyeri
tekan, hiperestesi, hingga rasa ditusuk-tusuk. Selain itu gejala yang
dirasakan disertai dengan gejala konstitusi seperti malaise, sefalgia,
dan flu like symptoms yang akan menghilang setelah erupsi kulit
muncul.
iii. Kelainan kulit pada pasien akan diawali dengan lesi makulopapular
eritematosa yang dalam 12-48 jam menjadi vesikel berkelompok
dengan dasar kulit eritematosa dan edema. Vesikel tersebut berisi
cairan jernih, setelah itu akan menjadi keruh dan dapat menjadi
pustul maupun krusta dalam 7-10 hari. Krusta tersebut biasanya akan
bertahan hingga 2-3 minggu.
iv. Lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat persarafan

v. Bentuk khusus:

1. Herpes zoster oftalmikus (HZO): timbul kelainan yang terjadi


pada mata dan kulit dimana di daerah persarafan cabang pertama
nervus trigeminus.
2. Sindrom Ramsay-Hunt: pasien akan merasakan gejala paralisis
otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea, juga gangguan
pengecapan.
vi. Neuralgia pasca herpes (NPH) didefinisikan sebagai nyeri menetap
pada dermatom yang terkena setelah erupsi herpes zoster (HZ)
menghilang. Batasan waktunya adalah nyeri yang menetap hingga 3
bulan setelah erupsi kulit menyembuh.
15
16

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Tzank Smear

o Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru,


kemudian diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin,
Giemsa’s, Wright’s, toluidine blue ataupun Papanicolaou’s.
Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai
multinucleated giant cells.
o Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%.
o Test ini tidak dapat membedakan antara virus Varicella zoster dan
herpes simpleks virus.

b. Directfluorescentassay(DFA)

o Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah


berbentuk krusta pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif.
o Hasil pemeriksaan cepat.
o Membutuhkan mikroskop fluorescence.
o Test ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster.
o Pemeriksaan ini dapat membedakan antara VZV dengan herpes
simpleks virus.

c. Polymerase chain reaction

o Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif.


o Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti
scraping dasar vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat
juga digunakan sebagai preparat, dan CSF.
o Sensitifitasnya berkisar 97-100%.
o Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster

d. Biopsi Kulit

Hasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intraepidermal

16
17

dengan degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian


atas dijumpai adanya lymphocytic infiltrate (Mols & Heineman,
2013).

G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding vesikel yang berkelompok dan eritematous sebagai
berikut (Daili, Menaldi, & Wisnu, 2005) :
1. Herpes Simpleks
Gejala Efloresensi pada Herpes Zoster sama dengan Efloresensi pada
Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang
bergerombol, di atas dasar kulit yang kemerahan. Sebelum timbul
vesikel, biasanya didahului oleh rasa gatal atau seperti terbakar yang
terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah kulit. Herpes simpleks
terdiri atas 2, yaitu tipe 1 dan 2. Namun, yang membedakannya
dengan herpes simpleks yaitu Lesi yang disebabkan herpes simpleks
tipe 1 biasanya ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan
jari tangan. Lokalisasi penyakit yang disebabkan oleh herpes simpleks
tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat, terutama di sekitar alat
genitalia eksterna.
2. Varicella
Varisela adalah penyakit menular akut yang disebabkan infeksi primer
virus varisela-zoster (VVZ). Penyakit ini terutama mengenai anak-
anak dan sangat menular, dapat melalui kontak langsung dengan lesi,
tetapi terutama melalui udara (droplet infection). Masa inkubasi pada
pasien imunokompeten 10-21 hari, sedangkan pada pasien
imunokompromais lebih singkat, yakni kurang dari 14 hari. Lesi awal
berupa makula eritematosa yang cepat menjadi papul,vesikel, pustul,
dan krusta dalam beberapa hari. Gambaran khas adalah terdapatnya
semua munculnya lesi secara bersamaan pada satu saat. Pada pasien
imunokompromais lesi kulit lebih luas dan dalam, sering terdapat
bula, serta nekrotik. Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain super-
infeksi bakterial, pneumonia, varisela, ensefalitis/meningoensefalitis
varisela. 17
18

3. Dermatitis kontak alergika


Dermatitis kontak alergika terjadi berdasarkan mekanisme
hipersensitivitas tipe IV (Gell dan Coomb). Terdapat 3 tipe sesuai dengan
perjalanan penyakit, yaitu akut (eritem, edema, papul, vesikel, dan bula);
sub-akut (eritem, edema ringan, dan krusta); dan kronik (hiperpigmentasi,
likenifikasi, dan skuamasi). Lokasi dermatitis umumnya terjadi pada
daerah yang berkontak dengan bahanpenyebab dan berbatas relatif tegas,
kecuali untuk bahan yang bersifat gas/ uap karena dapat juga mengenai
daerah yang tertutup pakaian.

H. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa obat yang dipilih sesuai dengan indikasi
sebagai berikut (Panduan Praktik Klinis, 2017) :
1. Terapi Sistemik
i. Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada :
 usia > 50 thn
 dengan risiko terjadinya NPH
 HZO / sindrom Ramsay Hunt / HZ servikal / HZ sakral
 imunokompromais, diseminata/ generalisata, dengan komplikasi
 anak-•anak, usia < 50 tahun dan perempuan hamil diberikan terapi
antiviral bila disertai: risiko terjadinya NPH, HZO/sindrom
Ramsay Hunt, imunokompromais, diseminata/generalisata,
dengan komplikasi.
ii. Pengobatan Antivirus :

 Asiklovir dewasa : 5 x 800 mg/hari selama 7-10hari atau


 Asiklovir iv 3x10 mg/kgBB/hari
 Valasiklovir untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari atau
 Famsiklovir untuk dewasa: 3x250 mg/hari selama 7 hari

iii. Catatan khusus :

18
19

 Pemberian antivirus masih dapat diberikan setelah 72 jam bila


masih timbul lesi baru/ terdapat vesikel berumur < 3 hari.
 Bila disertai keterlibatan organ viseral diberikan asiklovir
intravena 10 mg/kgBB, 3x per hari selama 5-10 hari. Asiklovir
dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% dan diberikan tetes selama
satu jam.
 Untuk wanita hamil diberikan asiklovir
 Untuk herpes zoster dengan paralisis fasial/kranial, polineuritis,
dan keterlibatan SSP dikombinasikan dengan kortikosteroid
walaupun keuntungannya belum dievaluasi secara sistematis
iv. Simptomatik
 Nyeri ringan: parasetamol 3x500 mg/hari atau NSAID.
 Nyeri sedang-berat: kombinasi dengan tramadol atau opioid ringan.
 Pada pasien dengan kemungkinan terjadinya neuralgia pasca
herpes zoster selain diberi asiklovir pada fase akut, dapat
diberikan:
o Antidepresan trisiklik (amitriptilin dosis awal 10 mg/hari
ditingkatkan
20 mg setiap 7 hari hingga 150 mg. Pemberian hingga 3 bulan,
diberikan setiap malam sebelum tidur
o Gabapentin 300 mg/hari 4-6 minggu
o Pregabalin 2x75 mg/hari 2-4 minggu.
v. Kondisi tertentu
 Herpes zoster oftalmikus
o Asiklovir/valasiklovir diberikan hingga 10 hari pada semua
pasien.
o Rujuk ke dokter spesialis mata.
 Herpes zoster otikus dengan paresis nervus fasial
o Asiklovir/valasiklovir oral 7-14 hari dan kortikosteroid 40-60
mg/hariselama 1 minggu pada semua pasien.
o Rujuk ke dokter spesialis THT.
 Herpes zoster pada pasien imunokompromais

19
20

Pada herpes zoster lokalisata, sebagian besar pasien dapat


diberikan asiklovir atau valasiklovir atau famsiklovir oral
dengan follow up yang baik. Terapi asiklovir intravena
dicadangkan untuk pasien dengan infeksi diseminata,
imunosupresi sangat berat, didapatkan keterlibatan mata, dan
ada kendala pemberian obat oral.

2. Terapi Topikal
i. Stadium vesikular: bedak salisil 2% untuk mencegah vesikel pecah
ataubedak kocok kalamin untuk mengurangi nyeri dan gatal.

ii. Bila vesikel pecah dan basah dapat diberikan kompres terbuka
denganlarutan antiseptik dan krim antiseptik/antibiotik.

iii. Jika timbul luka dengan tanda infeksi sekunder dapat diberikan
krim/salepantibiotik.

3. Vaksinasi
Strategi vaksinasi direkomendasikan kepada semua orang yang
immunokompeten berusia ≥ 50 tahun, dengan atau tanpa episode zoster
sebelumnya, dan tanpa perlu dilakukan pemeriksaan antibodi sebelumnya.
Vaksin herpes zoster merupakan vaksin virus hidup sehingga
penggunaannya pada penderita imunokompromais harus dilakukan secara
hati-hati. Mengingat kebutuhan pencegahan herpes zoster pada kondisi
imunokompromais maka perlu dilakukan uji klinik untuk menilai manfaat
dan efek samping yang mungkin timbul. Pemberian vaksin herpes zoster
pada penderita yang menjalani terapi imunosupresi dianjurkan 14 hari
sebelum mendapat terapi imunokompresi atau satu bulan sesudah terapi
imunosupresi dihentikan. Sedangkan pada keadaan penderita dengan
penyakit akut atau berat vaksinasi ditunda sampai penyakit sembuh.
I. Komplikasi

Komplikasi yang dapat dijumpai pada herpes zoster yaitu :

a. Infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan bakteri.

20
21

b. Posherpetic neuralgia (PHN) :


Insidennya meningkat dengan bertambahnya umur dimana lebih
kurang 50 % penderita PHN berusia lebih dari 60 tahun dan PHN
biasanya jarang terjadi pada anak-anak. Nyeri ini dapat
berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun- tahun dengan
gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pada daerah ophthalmic dapat terjadi keratitis, episcleritis, iritis,
papillitis dan kerusakan syaraf.
d. Herpes zoster yang desiminata yang dapat mengenai organ tubuh
seperti otak, paru dan organ lain dan dapat berakibat fatal.
e. Meningoencephalitis : Penanda lain dari peningkatan risiko
keterlibatan SSP yaitu: HZ di dermatom saraf kranial atau adanya
penyebaran daerah kutan. Gejala yang paling sering adalah akut
atau delirium subakut disertai dengan beberapa tanda neurologis
fokal. Temuan lain dapat mencakup sakit kepala, meningismus,
demam, ataksia, dan kejang.
f. Motor Paresis
g. Timbulnya scar
h. Sindrom Ramsay Hunt : Gangguan pada nervus fasialis dan
outikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis
Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan,
tinnitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmis, nausea, dan
gangguan pengecapan.

21
22

J. Edukasi
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena
dapat menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela
dan orang dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah,
misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah
infeksi sekunder jaga kebersihan badan (Thomas, 2010).

K. Prognosis

Infeksi primer herpes virus merupakan penyakit yang dapat


sembuh spontan, biasanya berlangsung selama 1-2 minggu. Kematian
dapat terjadi pada masa neonates, anak dengan malnutrisi berat, kasus
meningo- ensefalitis, dan eksema herpetikum yang berat,diluar keadaan ini
biasanya prognosis baik. Mungkin sering ditemukan serangan berulang,t
etapi serangan ulang tersebut jarang berat, kecuali serangan ulang pada
mata yang dapat menyebabkan timbulnya jaringan parut pada kornea dan
menimbulkan kebutaan (Mols & Heineman, 2013).

22
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien datang ke Poli RSUD Tidar Kota Magelang pada hari

Sabtu, dengan keluhan gatal disertai plenting-plenting kemerahan yang

terasa nyeri dan panas di dahi kanan dan daerah alis kanan, serta mata

kanan terasa pegal yang dirasakan sejak 1 minggu. Keluhan dirasa terus

menerus, membaik bila diberi salep. Pasien mengaku keluhan diawali

muncul jerawat dan gatal sejak 1 minggu. Keluhan telinga berdenging,

penurunan pendengaran, dan kelumpuhan separuh wajah disangkal.

Keluhan gigitan serangga sebelumnya disangkal. Pasien mengatakan sudah

diberikan salep acyclovir tapi belum membaik.

Pada pemeriksaan fisik lokalis (status dermatologi) tampak

vesikel dan bula multiple, krusta pada area dahi kanan dan daerah alis

kanan. Pasien didiagnosis herpes zoster dan mendapat terapi Acyclovir

5x800 mg, Cetirizine 1x10 mg, Gabapentin 300 mg 1x1, Asam Mefenamat

3x500 mg, Neurodex 1x1 dan Ikagen ointment 2xsehari.

23
DAFTAR PUSTAKA

Lichenstein, R. (2002). Chicken Pox or Varicella. Pediatrics.


Smith, G. (2014). Herpesvirus Transport to the Nervous System and Back Again,
Bone. Herpes Virus, 10.1146.
Enguist, T. K. (2013). Directional spread of alpha herpes viruses in the nervous
system. Viruses, 678-707.
K E Scmader, D. (2018). Natural History and Treatment of Herpes Zoster . Jurnal
of Pain, 3-9.
Oxman MN, S. K. (2012). Varicella and Herpes Zoster. Fitzpatrick dermatology
in general medicine. New York: McGraw Hill Companies.
Levin MJ, S. K. (2019). Varicella and herpes zoster. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. Edisi ke-9. New York: McGraw-Hill.
Mick G, H. G. (2013). Postherpetic neuralgia in Europe. he scale of the problem
and outlook for the future.
Herpes, K. S. (2014). Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia.
Kawai, K., & Yawn, B. (2017). Risk Factors for herpes zoster. mayo clinic
proceedings, mayo foundation for medical educaton and research, 1806-
1821.
Johnson, R., & et al. (2010). The impact of herpes zoster and post herpetic
neuralgia ono quality life. BMC medicine.
Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., & Gilchrest, B. (2008). Varicella and Herpes
Zoster. New York: Fitzpatrick Dermatology in General Medicine.
Habif, T. (2011). Viral infection in : skin desease diagnosis and treatment.
Philadephia : Walter Kluwer Health.
Schalock, C. P. (2011). Lippincott primary care dermatology. Philadelphia :
Walter Kluwer Health.
Daili, S., & Indriatmi, W. (2002). Infeksi Virus Herpes. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Mandal, B. (2008). Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical.
Indonesia, P. D. (2017). Panduan Praktik Klinis. Journal of Organic chemistry.

24
Mols, J. F., & Heineman, T. (2013). Sampling of herpes zoster skin lesion types
and the impact on viral DNA detection. Jurnal of Viroligacal, 145-147.
Daili, E., Menaldi, S., & Wisnu. (2005). Penyakit Kulit Yang Umum Di Indinesia.
Jakarta Pusat: Medical Multimedia Indonesia.

25
26
27
28

Anda mungkin juga menyukai