Anda di halaman 1dari 2

Disusun oleh: Raditya Pranadi

NPM. 1706130185

POST-POSITIVISME, FALSIFIKASI POPPER, DAN PARADIGMA KUHN


A. Perkembangan Post-Positivisme
Post-positivisme merupakan sebuah pemikiran yang melengkapi paradigma Positivisme
dalam memandang ilmu pengetahuan. Namun disisi lain, Post-Positivisme dapat dikatakan juga
sebagai sebuah bentuk kritik terhadap paradigma Positivisme. Pemikiran Post-Positivisme
dimulai pada tahun 1970an dengan tokoh-tokohnya seperti Karl. R. Popper dan Thomas Kuhn.
Post-Positivisme menolak pandangan ilmu pengetahuan itu benar hanya berdasarkan gejala-
gejala yang dapat dilihat dan dirasakan secara nyata dan konkret. Para filsuf penganut Post-
Positivisme memandang bahwa ilmu-ilmu tentang manusia tidak bisa disamakan dengan ilmu
alam disebabkan tindakan manusia yang tidak dapat diprediksi dengan penjelasan yang pasti.
Dalam paradigma Positivisme, secara ontologis dan epistemologis pertanyaan yang harus
dijawab oleh seorang ilmuwan adalah hal yang nyata dan hubungan antara pencari ilmu (peneliti)
dengan objek yang ditemukan (objek yang diteliti) harus dipisahkan atau memiliki jarak. Namun
kemudian hal tersebut dikoreksi oleh pemikiran Post-Positivisme yang secara ontologis bersifat
critical realism dan memandang realitas yang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam
mustahil dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistemologis, peneliti dan realitas
sebagai objek yang diteliti tidak bisa dipisahkan dan harus interaktif dengan kadar subjektivitas
yang sedikit mungkin.
B. Falsifikasi Popper
Karl. R. Popper, seorang filsuf ilmu pengetahuan berpendapat bahwa sebuah teori dalam
ilmu pengetahuan harus diuji dalam rangka untuk membuktikan bahwa teori tersebut bisa jadi
salah atau yang disebut dengan istilah falsifikasi. Suatu teori atau ilmu pengetahuan tidak dapat
dipandang bersifat ilmiah hanya karena dapat dibuktikan melalui proses verifikasi. Bagi Popper
(dalam Komarudin, 2016), setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotesis atau dugaan
sementara dan tidak akan ada kebenaran yang bersifat final karena setiap teori selalu terbuka
untuk digantikan teori baru yang lebih tepat.
Oleh karena itu Popper kemudian menawarkan gagasan falsifikasi sebagai penentu batas
antara teori yang ilmiah dan tidak ilmiah. Melalui gagasan falsifikasi, suatu teori empiris harus
dilihat potensi kesalahannya. Apabila suatu teori atau hipotesa bertahan dalam upaya falsifikasi,
maka dianggap semakin kokoh. Suatu teori bersifat ilmiah jika secara prinsip dapat ditunjukkan
kesalahannya serta akan diabaikan jika memang dan diganti dengan teori baru. Sehingga
keberadaan ilmu pengetahuan akan selalu berkembang.
C. Paradigma Kuhn dan Perkembangannya terhadap Ilmu Pengetahuan Saat ini
Pendapat Popper kemudian ditentang oleh Thomas Kuhn, seorang fisikawan dan filsuf asal
Amerika. Menurut Kuhn, sebuah paradigma ilmu pengetahuan dapat berhasil berkembang
Disusun oleh: Raditya Pranadi
NPM. 1706130185

apabila terdapat komitmen dan keyakinan kuat dari komunitas ilmiah terkait terhadap teori, nilai,
instrumen, hingga metafisis yang mereka sebarkan. Kuhn berpandangan seorang
ilmuwan/peneliti tidak melakukan pengujian kesalahan sebagai sebuah anomaly (falsifikasi) terus
menerus untuk mengonfirmasi teori yang telah dihasilkan.
Anomali terhadap ilmu pengetahuan dipandang akan selalu ada secara terus menerus. Jika
anomali terjadi dalam jumlah yang banyak hingga suatu komunitas ilmiah mengumpulkan data-
data yang tidak sejalan dengan paradigma yang dipercaya dan mulai mempertanyakan
kebenaran paradigma tersebut, maka sebuah ilmu pengetahuan akan memasuki masa krisis.
Dalam masa tersebut, komunitas ilmiah akan berupaya menyelesaikan hingga pada akhirnya
dihadapkan pada dua pilihan: kembali kepada paradigma lama atau berpindah ke sebuah
paradigma baru. Perpindahan ke paradigma baru disebut Kuhn sebagai “Revolusi Ilmu
Pengetahuan”. Pada kondisi inilah Kuhn menganggap bahwa ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan.
Penerapan pemikiran Kuhn tentang pergeseran paradigma telah meluas ke wacana tentang
kebijakan perencanaan kota. Garde (2008, dalam Hu 2013) mengidentifikasi masalah
pembangunan kota yang degeneratif membentuk perubahan paradigma dalam kebijakan
perencanaan kota. Richard Hu dalam penelitiannya tahun 2013 mencoba menerapkan pemikiran
Kuhn untuk melihat hubungannya terhadap perubahan kebijakan perencanaan kota yang terjadi
di San Fransisco dengan membandingkan rencana desain perkotaan San Fransisco tahun 1972
dengan 1985. Hu mendapatkan bahwa telah terjadi perubahan metodologi yang signifikan
terhadap kebijakan perencanaan kota di San Fransisco, dari pendekatan arsitektural yang melihat
kota hanya sebagai sebuah produk rancang bangun (fisik) ke pendekatan perencanaan kota
dilihat sebagai sebuah kebijakan publik dimana memperhatikan masyarakat sebagai bagaian
entitas yang harus diperhatikan dalam perencanaan kota.
Sumber Referensi:
(1) Fox, N.J. (2008). Post-positivism. dalam: Given, L.M. (ed.) The SAGE Encyclopaedia of
Qualitative Research Methods. London: Sage.
(2) Husin, M. Fahri, dkk. (2013). Paradigma Positivisme dan Postpositivisme. Tangerang:
Universitas Muhammadiyah Tangerang.
(3) Komarudin, K. (2016). Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinan Penerapannya Dalam
Keilmuan Islam. At-Taqaddum, Vol. 6 (No. 2), Hal. 444-465.
(4) Kuhn’s “Paradigm” & “Normal Science”. (n.d.). Diakses dari laman Department of Physics
Weber State University: http://physics.weber.edu/johnston/mundane/kuhn.htm.
(5) Hu, R. (2013). Urban Design Plans for Downtown San Francisco: A Paradigm Shift?. Journal
of Urban Design, Vol. 18 (No, 4), Hal. 517-533.

Anda mungkin juga menyukai