Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

“SPASMOFILIA”

Disusun Oleh:

Erlin Elizabeth 214 210 152

Agatha Michelle Fridathalia Sihombing 214 210 157

Agnesh Ribka Theresya Sinulingga 214 210 005

Maneshwar Singh 214 210 121

Pembimbing :

dr. Toety Maria Simanjuntak, Sp.S

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU KESDAM I/BB

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA

MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karuniaNya , penulis

dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Semoga penyusunan makalah ini

dapat menjadi wadah pengembangan diri dan kreatifitas, dimana dalam perjalanan akademik

yang sedang ditempuh dalam masa pendidikan kepaniteraan klinik yang dituntut untuk dapat

mengembangkan suatu masalah yang pada akhirnya disusun dalam suatu bacaan ilmiah

(makalah), hal ini akan melatih untuk berfikir secara kritis dalam menguraikan suatu

persoalan.

Dalam makalah ini nantinya akan dibahas mengenai SPASMOFILIA dan cara

menanganinya. Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa

makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya dorongan dan

bimbingan dari beberapa pihak. Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepadadr.

Toety Maria Simanjuntak, Sp.S sebagai dokter pembimbing.

Demikian makalah ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan

pembaca pada umumnya.Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk

membantu lebih menyempurnakan makalah ini.

Medan, 22 Mei 2019

Hormat kami

Penulis

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Pembimbing

dr. Toety Maria Simanjuntak, Sp.S

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 1

LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………………….2
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3

BAB I………………………………………………………………………………………….4
BAB II………………………………………………………………………………………...5
BAB III.................................................................................................................................... 18

LAPORAN KASUS ............................................................................................................... 18

1.1 Anamnesis ................................................................................................................ 18

1.2 Riwayat Perjalanan Penyakit................................................................................. 18

1.3 Pemeriksaan Jasmani ............................................................................................. 20

1.4 Pemeriksaan Neurologis ......................................................................................... 21

1.5 Kesimpulan Pemeriksaan ....................................................................................... 30

1.6 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................................... 32

1.7 Diagnosis .................................................................................................................. 33

1.8 Penatalaksanaan ...................................................................................................... 33

BAB IV .................................................................................................................................... 36

DISKUSI KASUS ................................................................................................................... 36

BAB V ..................................................................................................................................... 40

KESIMPULAN ...................................................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 41

3
BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia, istilah spasmofilia dikenal pada tahun 1972 oleh Prof. Yos Utama.

Spasmofilia dapat terjadi pada semua usia dan tersering pada usia 15-55 tahun.

Spasmofilia merupakan istilah yang sangat popular pada permulaan abad 20 dan

masih sering digunakan. Spasmofilia merupakan suatu keadaan terdapatnya gejala subjektif

yang samar-samar berupa nyeri perut, nyeri kepala, kelelahan, gugup, vertigo, kesemutan,

berdebar, sesak, tercekik, muntah, kehilangan berat badan, nyeri punggung dan nyeri haid

yang disertai tanda-tanda tetani laten atau tanpa memperlihatkan tetani hiperventilasi.

Spasmofilia merupakan suatu tetani laten akibat hiperiritabilitas atau hipereksitabilitas saraf

(neuromuscular) yang bermanifestasi sebagai kejang otot dan berbagai gejala neurastenia

berupa nyeri kepala, gelisah, gangguan gastrointestinal, palpitasi, paresthesia, sinkope,

sampai kejang tonik.

Spasmofilia adalah sebuah gangguan yang ditandai dengan kedutan otot, kram, dan

kejang carpopedal. Jika kondisinya parah bisa menyebabkan kejang-kejang. Kondisi ini

terjadi karena ketidakseimbangan elektrolit di dalam darah yang dapat terjadi karena

kekurangan kalsium (hypocalmia) atau kekurangan serum magnesium yang mungkin terkait

dengan hiperventilasi, hipoparatiroidism, rakhitis, uremia, dan kondisi lain. Untuk

mendiagnosis spasmofilia biasanya dilakukan tes spasmofilia dengan menggunakan alat

elektromiografi (EMG). Pada tes ini akan dilihat gelombang dari sel-sel otot yang biasanya

mengalami kram atau kejang. Spasmofilia juga sering disebut sebagai tetani laten,

kriptogenik tetani, kronik idiopatik tetani, genuine tetani dan sindrom tetani.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Otak

Otak terletak dalam rongga cranium (tengkorak), terdiri atas semua bagian Sistem

Saraf Pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis, terdiri dari cerebrum (otak besar),

cerebellum (otak kecil), brainstem (batang otak) dan limbic system (system limbik).

Cerebrum merupakan bagian terbesar dan teratas dari otak yang terdiri dari dua

bagian, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Otak besar terdiri atas corteks (permukaan

otak), ganglia basalis, dan system limbik. Kedua hemisfer kiri dan kanan dihubungkan oleh

serabut padat yang disebut dengan corpus calosum. Setiap hemisfer dibagi atas 4 lobus, yaitu

lobus frontalis (daerah dahi), lobus oksipitalis (terletak paling belakang), lobus parietalis dan

lobus temporalis.

Cerebellum berada pada bagian bawah dan belakang tengkorak dan melekat pada otak

tengah. Hipotalamus mempunyai beberapa pusat (nuklei) dan thalamus suatu struktur

kompleks tempat integrase sinyal sensori dan memancarkannya ke struktur otak diatasnya,

terutama ke korteks serebri.

Brainsteam (batang otak) terletak diujung atas korda spinalis, berhubungan banyak

dengan korda spinalis. Batang otak terdiri atas diensefalon (bagian batang otak paling atas

terdapat diantara cerebellum dengan mesencephalon, mesencephalon (otak tengah), pons

varoli (terletak di depan cerebellum diantara otak tengah dan medulla oblongata), dan

medulla oblongata (bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons

varoli dengan medulla spinalis.

5
Sistem limbik terletak di bagian tengah otak yang bekerja dalam kaitan ekspresi

perilaku instinktif, emosi dan hasrat-hasrat dan merupakan bagian otak yang paling sensitive

terhadap serangan.

Gambar 1. Anatomi Otak

2.2. Fisiologi Otak

Otak memiliki kurang lebih 15 miliar neuron yang membangun substansia alba dan

substansua grisea. Otak merupakan organ yang sangat kompleksa dan sensitife. Fungsinya

sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas, seperti: gerakan motoric, sensasi berpikir,

dan emosi. Sel-sel otak bekerja bersama-sama dan berkomunikasi melalui signal-signal

listrik. Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari

sekelompok sel yang menghasilkan serangan.

Darah merupakan sarana transportasi oksigen, nutrisi, dan bahan-bahan lain yang

sangat diperlukan untuk mempertahankan fungsi penting jaringan otak dan mengangkat sisa

metabolit. Kehilangan kesadaran terjadi bila aliran darah ke otak berhenti 10 detik atau

6
kurang. Kerusakan jaringan otak yang permanen terjadi bila aliran darah ke otak berhenti

dalam waktu 5 menit.

2.3. Definisi

Spasmofilia merupakan suatu tetani laten akibat hiperiritabilitas atau hipereksibilitas

saraf (neuromuscular) yang bermanifestasi sebagai kejang otot dan gejala neuroastenia

berupa nyeri kepala, gelisah, gangguan gastro intestinal, palpitasi paresthesia, sinkope,

sampai kejang tonik.

Spasmofilia juga disebut sebagai tetani laten, kriptogenik tetani, kriptogenik idiopatik

tetani, genuine tetani dan tetani sindroma.

2.4. Etiologi

Dengan ditemukannya hipokalsemia dan hypomagnesemia pada penderita

spasmofilia, harus dipikirkan adanya suatu gangguan metabolik dari kation-kation tersebut

pada susunan saraf sebagai inti gangguannya. Penurunan kalsium ion dalam plasma akan

menuju kearah hipereksibilitas/hiperirritabilitas neuron yang menimbulkan gejala

spasmofilia. Ansietas yang menginduksi hiperventilasi akan menimbulkan hipokapnia

sehingga terjadi peningkatan eksitabilitas aksonal yang akan menimbulkan gejala klinik

spasmofilia. Spasmofilia juga bisa diturunkan dimana dominan pada gangguan berupa

hiperiritabilitas neuronal.

7
2.5. Patofisiologi

Pada spasmofilia sering terjadi hipokalsemia akibat kelainan sistim regulasi

homeostatic konsentrasi kalsium dalam darah. Dalam darah 45% total kalsium darah terikat

dengan albumin, 10% sebagai ion komplek, 45% sisanya dalam bentuk ion. Fraksi ion yang

diatur oleh hormone tiroid dan vitamin D ternyata berpengaruh terhadap fungsi

neuromuskuler dan neuropsikiatri.

Spasmofilia sama dengan sindroma hiperventilasi, dimana ansietas yang menginduksi

hiperventilasi akan menimbulkan hipokapnia dan hipokalsemia, keadaan ini bermanifestasi

sebagai parestesi pada muka dan tangan. Hal ini terjadi bila PCO2 turun sampai 20 mmHg

namun aktivitas EMG spontan baru akan terlihat bila PCO2 menurun lebih sebesar 4 mmhg.

Penurunan PCO2 akan meningkatkan eksibilitas akson kutan dan motoric saraf perifer dan

perubahan-perubahan kelistrikan selaput akson disebabkan oleh menurunnya kadar ion

kalsium plasma.

Spasmofilia pada normokalsemi tetani idiopatik bersifat herediter dan didapat, dimana

pada keadaan herediter terdapat gen-gen tertentu yang tidak ada fungsinya tidak optimal.

Disebutkan bahwa gen adalah protein, protein yang berfungsi sebagai protein enzim. Protein

enzim berfungsi sebagai metabolisme neuron, pada metabolisme neuron terjadi sintesa zat-zat

aktif yang penting yang digunakan dalam penghantaran impuls. Disamping itu dalam

metabolisme neuron terjadi sintesa protein aktif baik yang bersifat enzim dan zat-zat lainnya

untuk pengganti dan juga terjadi pembentukan energi yang diperlukan untuk memelihara

potensial listrik (Na,K). bila terjadi gangguan dalam metabolisme neuron maka terjadi suatu

keadaan hipereksitibilitas dengan berbagai gejala klinis.

8
2.6. Gejala Klinis

Gejala klinis spasmofilia yang sering dikeluhkan oleh pasien sangat bervariasi

misalnya spasme laring, spasme karpopedal, nyeri perut, nyeri kepala, kelelahan, ketakutan,

emosi labil, vertigo, kram otot sedangkan gambaran khas yang biasanya didahului dengan

kesemutan pada ekstremitas terutama tangan dan daerah multut disertai paresthesia didaerah

bibir dan lidah. Setelah itu timbul rasa tegang dan spasme pada otot-otot mulut, tangan dan

tungkai bawah, juga meluas ke daerah mulut, muka dan bagian tubuh lainnya. Kontraksi

tonik pada otot-otot distal dengan otot-otot interosa menyebabkan gambaran spasme

karpopedal dimana jari-jari dalam keadaan fleksi pada persendian metakarpopalangeal dan

ekstensi pada sendi interphalangeal, jari-jari dalam keadaan aduksi serta ibu jari dalam

keadaam aduksi dan eksitasi sedangkan pada kaki dijumpai plantar fleksi dipergelangan kaki

dengan aduksi jari-jari.

Hiperiritabilitas saraf somatic terjadi pada spasme otot dan berubah mengalami

distropia sebagai hasil dari nyeri yang kronis seperti nyeri tengkuk, bahu, tangan, dan

punggung, nyeri kepala. Komponen simpatik dari sistim saraf otonom (vasomotor dan

sudomotor) memberikan rasa dingin pada tangan dan kaki, paresthesia pada tangan dan kaki,

sedangkan parasimpatis memberikan gejala nyeri lambung, dyspnea, dan nyeri dada. Untuk

menegakkan diagnosis spasmofilia dengan 2 gejala somatic dan satu gejala otonom tanpa

pemeriksaan tes propokasi EMG.

9
2.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Elektromiografi

Turpin dan kugelberg adalah orang yang pertama kali meneliti tentang

elektromiografi pada penderita tetani.

Spasme pada tetani selain disertai aksi potensial yang repetitif dan ireguler pada

motor unit, dan pada saat tetani selalu motor unit potensial akan melepaskan muatan secara

spontan berkekuatan 5-15 Hz.

Pemeriksaan EMG pada spasmofilia merupakan baku emas dalam menegakkan

diagnosis. Gambaran elektromiografi pada spasmofilia merupakan gambaran yang khas dari

manifestasi neuromuskular perifer dan dimulai dengan adanya fibrilasi dan fasikulasi serta

bersamaan dengan meningkatnya frekuensi akan terlihat twitching otot. Gambaran yang khas

tersebut berupa gambaran-gambaran duplet, triplet, bahkan multiplet yang merupakan

10
potensial aksi yang repetitif dimana gelombang yang belakangan cenderung mempunyai

amplitude yang lebih besar.

Gambaran ini diduga ada hubungannya dengan tempat di kornu anterior dan beberapa

peneliti menduga hal ini sebagai suatu fenomena perifer yang meliputi motor neuron sampai

motor endplate, walaupun secara keseluruhan belum jelas benar mekanismenya.

Gambaran elektromiografi yang khas ini tidak pada keadaan hiperiritabel lainnya.

Pemeriksaan EMG dilakukan dengan cara memasang tourniket pada lengan atas dan dipompa

sampai tekanannya sedikit melebihi tekanan sistolik sampai timbul iskemia. Iskemia ini

dipertahankan selama 5 menit dan pembacaan EMG dilakukan melalui elektroda kulit yang

dipasang pada otot interoseus dorsalis. Pembacaan rekaman EMG baru dilakukan setelah

hiperventilasi selama 3 menit. Spasmofilia positif terlihat adanya potensial repetitif spontan

dengan frekuensi 100 sampai 200 cps yang bermanifestasi sebagai duplet, triplet, kuadripet,

atau multiplet selama 2 menit. Gradasi pemeriksaan ini adalah sebagai berikut :

 Ringan (+): 2-6 potensial repetitif dalam waktu lebih dari 2 menit setelah

hiperventilasi.

 Sedang (++): sekelompok potensial repetitif yang berlangsung lebih dari 2 menit

setelah hiperventilasi atau 2-6 potensial repetitif selama lebih dari 2 menit setelah 10

menit iskemia.

 Berat (+++): tetani yang nyata setelah hiperventilasi atau lebih dari 6 kelompok per

detik potensial repetitif selama minimal 2 menit setelah 10 menit iskemia.

 Sangat berat (++++): langsung tetani atau kelompok potensial repetitif yang terjadi

selama fase iskemik.

11
Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)

Pada penelitian terhadap 100 kasus yang berhasil dikumpulkan, 67% diantaranya

adalah wanita dan 65% dengan spasmofilia. Dari kelompok dengan spasmofilia 73,2% adalah

wanita. Tiga parameter EEG yang diperoleh dari rekaman hiperventilasi menunjukkan

korelasi yang relatof kuat dengan spasmofilia:

1. Peningkatan frekuensi gelombang tajam/runcing

2. Peningkatan amplitude gelombang tajam dan runcing

3. Peningkatan frekuensi gelombang paroksimal lambat.

Rasio prevalensi kedua parameter EEG yang lain adalah:

1. Adanya gelombang tajam/runcing: 2.34 (95%; CI: 0,89-6,71)

2. Adanya gelombang paroksimal lambat beramplitudo tinggi (50V): 3.40 (95%;CI:

1.10-10.55)

12
Selain itu, diketahui bahwa hiperventilasi diinduksi oleh hipokapnea, maka perlu juga

dilakukan pemeriksaan tekanan PCO2 agar dapat kalsium dan magnesium plasma perlu

dilakukan breathing retraining. Begitu juga pemeriksaan kadar kalsium dan magnesium

plasma perlu dilakukan agar dapat mengobati kausa yang mendasari spasmofilia.

Diagnosis spasmofilia dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik

neurologis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan elektromiografi sebagai baku emas.

Pada anamnesis, didapatkan penderita dengan keluhan-keluhan nyeri kepala, nyeri

perut, nyeri haid, kram otot, epilepsy, migren, vertigo, ketakutan emosi yang labil,

kesemutan, bahkan pada penderita dengan gejala-gejala psikotik.

Dari pemeriksaan fisik neurologis sangat mungkin timbul tanda-tanda hiperiritabilitas

neuromuskular. Di samping tanda-tanda Erbs, Hoffman, Weiss, Lust dan lain-lain, yang

sangat penting adalah tanda fasial dari Chvostek, Trousseau, serta pemeriksaan hiperventilasi.

Pemeriksaan laboratorium terutama ditunjukkan pada pemeriksaan ion-ion kalsium,

magnesium serta pemeriksaan lain misalnya kalium, fosfat dan analisa gas darah.

Yang paling penting adalah yang dilakukan Widiastuti-Samekto, direkomendasikan

bahwa 6 gejala maupun tanda yang mempunyai nilai diagnostik yang tinggi untuk

spasmofilia tanpa melakukan tes provokasi EMG, yaitu:

1. Kaku otot

2. Nyeri otot sebagai konsekuensi spasme kronik

3. Spasme akut

4. Tanda Chvostek

5. Komponen simpatis (tangan atau kaki basah atau berkeringat)

6. Komponen parasimpatis (nyeri dada, nyeri/ketidaknyamanan pada epigastrium)

13
2.8. Diagnosis Spasmofilia

Selain pemeriksaan elektromiografi pada penderita spasmofilia, dapat diperiksa lebih

dahulu tanda fisik yang berhubungan dengan hiperiritabilitas system neuromuskular.

Pemeriksaan tersebut antara lain : tanda Chvostek, tanda Trosseau, tanda Weiss, tanda Erbs

(arus galvanic), tanda Hoffman (mekanik, elektris), tanda Kashida (termik), tanda Pool

(tegangan), tanda Schlesinger (tegangan), tanda Schultze (ketukan), tanda Lust (ketukan), dan

tanda Hochisngers.

Salah satu tanda yang penting adalah tanda Chvostek yang ditimbulkan melalui ketukan pada

bagian lunak dari pertengahan garis ujung telinga ke ujung mulut tepat di bawah apofisis

zigomatikus. Reaksi positif terdiri atas kontraksi ipsilateral muskulus orbicularis oris yang

terutama nyata pada bagian tengah bibir. Bila tanda ini meragukan sebaiknya dilakukan

dahulu hiperventilasi. Tanda Chvostek ini dikenal ada 3 tingkatan, yaitu :

 Tingkat 1 : bila reaksinya hanya di bibir

 Tingkat 2 : bila reaksinya menjalar ke ujung hidung

 Tingkat 3 : bila seluruh muka ikut berkontraksi

14
Tanda lain yang tak kalah pentingnya adalah tanda Trosseau, kompresi lengan atas, baik

dengan cara meremas atau mengikat dengan torniket atau manset tensimeter, dimana mula-

mula timbul rasa kesemutan pada distal ekstremitas, kemudian timbul kejang pada jari-jari

dan tangan yang membentuk suatu spasme karpopedal (kontraksi otot termasuk fleksi pada

pergelangan tangan dan sendi metakarpofalangeal, hiperekstensi jari-jari, serta fleksi ibu jari).

Modifikasi tehnik ini dengan tehnik Von Bonsdorff dimana manset tensimeter dipertahankan

selama 10 menit kemudian dibuka dan dilakukan hiperventilasi akan mengakibatkan spasme

yang khas (spasme karpopedal) yang lebih cepat pada lengan yang iskemik disbanding

dengan lengan yang lain.

Tanda Weiss ditimbulkan dengan mengetok sudut lateral orbita yang menyebabkan

m.orbikularis okuli mengerut bila positif.

15
2.9. Penatalaksanaan

Pasien disuruh bernafas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam sungkup kantong plastic

bila didapatkan tanda alkalosis agar PCO2 dalam darah naik. Seperti diketahui intervensi

sindroma hiperventilasi adalah dengan menghirup udara dalam kantung, yaitu untuk

meningkatkan kadar PCO2 sehingga eksitabilitas aksonal akan menurun kembali dan

menormalisir kadar kalsium. Belajar bernafas torakoabdominal dengan menggerakkan

diafragma.

Pada keadaan akut dapat diberikan kalsium, terutama kalsium glukonas 10%

sebanyak 10-20 mL intravena atau secara oral diberikan kalsium laktat 12 gram/hari atau

kalsium glukonas 16gram/hari. Bila hipokalsemi sangat berat dapat diberikan 100mL kalsium

glukonas 10% dalam 1 L dekstrose 5% secara lambat, lebih dari 4 jam.

Bila masih belum dapat mengatasi tetani, dapat diberikan magnesium karena tetani

sering berhubungan dengan hypomagnesemia dengan dosis 2 mL MgSO4 50% secara intra

muskuler. Di samping hal tersebut di atas, dapat diberikan juga hidroklortiazid (HCT) dengan

dosis 50-100 miligram/hari, vitamin D, koreksi pH darah bila ada alkalosis.

Pemberian vitamin B6 100mg dapat membantu metabolism serotonin serta absorpsi

dan uptake magnesium oleh sel.

Selain itu, psikoterapi dapat membantu dalam penatalaksanaan spasmofilia.

Psikoterapi membantu menyelesaikan masalah emosional pada pasien termasuk di dalamnya

adalah terapi perilaku (cognitive behavioral therapy)

Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan panik maka dapat

diberikan obat antiansietas golongan benzodiazepine atau SSRI (selective serotonin reuptake

inhibitor).

16
2.10. Prognosis

Spasmofilia dapat disembuhkan. Pasien biasanya dapat diberikan asupan suplemen

kalsium, magnesium, dan kalium. Selain itu pasien juga perlu memperbaiki pola diet dengan

mengonsumsi makanan-makanan. Yang banyak mengandung sumber kalsium, kalium dan

magnesium. Selain itu, pasien juga perlu berolahraga ringan dan melakukan pemijatan otot

untuk relaksasi otot.

Prognosis serangan akut adalah baik. Pada kasus kronik 65% mengalami perbaikan

dan 26% keluhan hilang dalam 7 tahun. Prognosis dapat diperbaiki dengan latihan pernafasan

dan psikoterapi.

17
BAB III

LAPORAN KASUS

1.1 Anamnesis

Identitas Pasien

Nama : Dika Bima

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 21 Tahun

Pekerjaan : TNI AU

Agama : Islam

Status perkawinan : Belum menikah

Alamat : Mess Jatayu Kosekhanud

Tanggal MRS : 25-05-2019

Pukul : 19.30 WIB

1.2 Riwayat Perjalanan Penyakit

A. Keluhan

Keluhan Utama : Nyeri di seluruh wajah menjalar sampai ke kepala

Telaah : Pasien mengalami nyeri di seluruh wajah, terutama di daerah

hidungnya. Nyeri menjalar sampai ke kepala dan

menyebabkan pasien mengalami penurunan kesadaran secara

tiba-tiba (pingsan). Ketika OS sadar dari pingsannya, kepala

OS terasa sangat nyeri dan perlahan-lahan berkurang. Riwayat

demam (-), mual (-), muntah menyembur (-), kejang (+)

dengan durasi kurang lebih 10 menit setiap kejang. Riwayat

18
jatuh (+), BAK dan BAB normal. Dari pemeriksaan fisik

didapatkkan GCS 15 (E4 V5 M6)

Riwayat Penyakit Terdahulu : Epilepsi

Riwayat penggunaan obat : Venitoin

B. Anamnesa Traktus

Traktus Sirkulatorius : Dbn

Traktus Respiratorius : Dbn

Traktus Digestivus : Dbn

Traktus Urogenitalis : Dbn

Penyakit Terdahulu : (-)

Intoksikasi dan Obat-obatan : (-)

C. Anamnesa Keluarga

Faktor Herediter :-

Faktor Familier :-

Lain-lain :-

D. Anamnesa Sosial

Kelahiran dan Pertumbuhan : baik

Imunisasi : lengkap

Pekerjaan : TNI AU

Perkawinan : belum menikah

19
1.3 Pemeriksaan Jasmani

1. Pemeriksaan Umum

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi : 80x/menit

Frekuensi Nafas : 23x/menit

Temperatur : 36,7oC

Kulit : Turgor baik

Leher : Dbn

Persendian : Dbn

2. Kepala dan Leher

Bentuk dan Posisi : Normocephali, simetris

Pergerakan : Bebas

Kelainan Panca Indera :-

Rongga Mulut dan Gigi : Dbn

Kelenjar Parotis : Dbn

Desah : Tidak dijumpai

Dan Lain-lain :-

3. Rongga Dada dan Abdomen

Rongga Dada Rongga Abdomen

Inspeksi : Simetris Fusiformis Simetris

Palpasi : Fremitus melemah Soepel

Perkusi : Beda Timpani

Auskultasi : SP vesikuler Normoperistaltik

20
4. Genitalia

Toucher : TDP

1.4 Pemeriksaan Neurologis

1. Sensorium : Compos Mentis GCS E4 V5 M6

2. Kranium

Bentuk : Normocephali

Fontanella : Tertutup

Palpasi : Pulsasi a. temporalis (+)

Perkusi : Dbn

Auskultasi : Bruit (-)

Transilumnasi : TDP

3. Perangsangan Meningeal

Kaku Kuduk : (-)

Kernig : (-)

Tanda Brudzinski I : (-)

Tanda Brudzinski II : (-)

4. Peningkatan Tekanan Intrakranial

Muntah proyektil : (-)

Sakit Kepala : (-)

Kejang : (-)

21
5. Saraf Otak/Nervus Kranialis

Nervus I Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra

Normosmia : SDN SDN

Anosmia : (-) (-)

Parosmia : (-) (-)

Hiposmia : (-) (-)

Nervus II & III Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)

Visus : TDP TDP

Lapangan Pandang

Normal : SDN SDN

Menyempit : SDN SDN

Hemianopsia : SDN SDN

Scotoma : SDN SDN

Refleks Ancaman : TDP TDP

Fundus Okuli

Warna : SDN

Batas : SDN

Ekskavasio : SDN

Arteri : SDN

Vena : SDN

22
Pupil

Lebar : Ø 3 mm Ø 3 mm

Bentuk : bulat bulat

Refleks Cahaya Langsung : (+) (+)

Refleks Cahaya tidak Langsung: (+) (+)

Nervus III, IV, VI Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)

Gerakan Bola Mata : DBN DBN

Nistagmus : TDP TDP

Deviasi Konjugate : (-) (-)

Fenomena Doll’s Eye : (-) (-)

Strabismus : (-) (-)

Nervus V Kanan Kiri

Motorik

Membuka dan menutup mulut : SDN SDN

Palpasi otot masseter dan temporalis : SDN SDN

Kekuatan gigitan : SDN SDN

Sensorik Kulit : SDN SDN

Selaput lendir : SDN SDN

Refleks Kornea : (+)

Refleks Masseter : SDN

Refleks bersin : TDP

23
Nervus VII Kanan Kiri

Motorik

Mimik : simetris simetris

Kerut Kening : SDN SDN

Menutup Mata : SDN SDN

Meniup Sekuatnya : SDN SDN

Memperlihatkan Gigi : SDN SDN

Tertawa : SDN

Sensorik

Pengecapan 2/3 Depan Lidah : TDP

Produksi Kelenjar Ludah : TDP

Hiperakusis : TDP

Nervus VIII Kanan Kiri

Auditorius

Pendengaran : SDN SDN

Test Rinne : SDN SDN

Test Weber : SDN SDN

Test Schwabach : SDN SDN

Vestibularis

Nistagmus : TDP TDP

Reaksi Kalori : TDP TDP

Vertigo : TDP TDP

24
Tinnitus : TDP TDP

Nervus IX, X

Pallatum Mole : SDN

Uvula : SDN

Disfagia : SDN

Disfonia : SDN

Refleks Muntah : SDN

Pengecapan 1/3 Belakang Lidah : TDP

Nervus XI Kanan Kiri

Mengangkat Bahu : SDN SDN

Fungsi Otot Sternocleidomastoideus : SDN SDN

Nervus XII

Lidah : SDN

Tremor : SDN

Atrofi : SDN

Fasikulasi : SDN

Disartria : SDN

Ujung Lidah Sewaktu Istirahat : SDN

Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan : SDN

25
6. Sistem Motorik

Trofi : Eutrofi

Tonus Otot : Eutonus

Kekuatan Otot :5

Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring): Duduk

Gerakan Spontan Abnormal

Tremor : (-)

Khorea : (-)

Ballismus : (-)

Mioklonus : (-)

Atetotis : (-)

Distonia : (-)

Spasme : (+)

Tic : (-)

Chvostek Sign : (+)

Dan Lain-lain : (-)

7. Tes Sensibilitas

Eksteroseptif : TDP

Proprioseptif : TDP

8. Refleks Kanan Kiri

Refleks Fisiologis

Biceps : (+ +) (++)

Triceps : (+ +) (++)

26
APR : (+ +) (++)

KPR : (+ +) (++)

Refleks Patologis

Babinski : (-) (-)

Oppenheim : (-) (-)

Chaddock : (-) (-)

Gordon : (-) (-)

Schaefer : (-) (-)

Hoffman-Tromner : (-) (-)

Klonus Lutut : (-) (-)

Klonus Kaki : (-) (-)

Refleks Primitif : (-) (-)

9. Koordinasi

Bicara : SDN

Menulis : SDN

Percobaan Apraksia : SDN

Mimik : SDN

Test Telunjuk-Telunjuk : SDN

Test Telunjuk-Hidung : SDN

Diadokhokinesia : SDN

Test Tumit-Lutut : SDN

Test Romberg : SDN

27
10. Vegetatif

Vasomotorik : TDP

Sudomotorik : TDP

Pilo-Erektor : TDP

Miksi : (+)

Defekasi : (+)

Potens dan Libido : TDP

11. Vertebra

Bentuk

Normal : (+)

Scoliosis : (-)

Hiperlordosis : (-)

Pergerakan

Leher : TDP

Pinggang : TDP

12. Tanda Perangsangan Radikuler

Laseque : (-)

Cross Laseque : (-)

Test Lhermitte : TDP

Test Naffziger : TDP

28
13. Gejala-Gejala Serebelar

Ataksia : (-)

Disartria : (-)

Tremor : (-)

Nistagmus : (-)

Fenomena Rebound : (-)

Vertigo : (-)

Dan Lain-lain : (-)

14. Gejala-Gejala Ekstrapiramidal

Tremor : (-)

Rigiditas : (-)

Bradikinesia : (-)

Dan Lain-lain : (-)

15. Fungsi Luhur

Kesadaran Kualitatif : compos mentis

Ingatan Baru : baik

Ingatan Lama : baik

Orientasi

Diri : baik

Tempat : baik

Waktu : baik

Situasi : baik

29
Intelegensia : baik

Daya Pertimbangan : baik

Reaksi Emosi : baik

Afasia

Ekspresif : SDN

Reseptif : SDN

Apraksia : SDN

Agnosia

Agnosia visual : TDP

Agnosia Jari-jari : TDP

Akalkulia : TDP

Disorientasi Kanan-Kiri : TDP

1.5 Kesimpulan Pemeriksaan

Keluhan Utama : Nyeri di seluruh wajah menjalar sampai ke kepala

Telaah : Pasien mengalami nyeri di seluruh wajah, terutama di daerah

hidungnya. Nyeri menjalar sampai ke kepala dan

menyebabkan pasien mengalami penurunan kesadaran secara

tiba-tiba (pingsan). Ketika OS sadar dari pingsannya, kepala

OS terasa sangat nyeri dan perlahan-lahan berkurang. Riwayat

demam (-), mual (-), muntah menyembur (-), kejang (+)

dengan durasi kurang lebih 10 menit setiap kejang. Riwayat

30
jatuh (+), BAK dan BAB normal. Dari pemeriksaan fisik

didapatkkan GCS 15 (E4 V5 M6)

Starus Present

Tekanan Darah : 143/96 mmHg

Nadi : 88x/menit

Frekuensi Nafas : 20x/menit

Temperatur : 37oC

STATUS NEUROLOGIS

Sensorium : Compos Mentis

Peningkatan TIK : Sakit kepala (-)

Muntah proyektil (-)

Kejang (-)

Rangsang Meningeal : (-)

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

B/T : ++/++ ++/++

APR/KPR : ++/++ ++/++

Refleks Patologis Kanan Kiri

H/T : -/- -/-

Babinski : - -

Kekuatan Motorik : SDN

Nervus Kranialis

N.I : SDN

31
N.II, III : Pupil bulat diameter 3mm, kanan=kiri, Refleks cahaya (+/+)

N.III, IV, VI : SDN

N. V : Reflek Kornea (+)

N. VII : Simetris

N. VIII : SDN

N. IX, X : SDN

N. XI : SDN

N. XII : SDN

1.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 11 Mei 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Darah Rutin

L: 13-16g/dL
Hemoglobin 15.18
P: 12- 14g/dL

Eritrosit 4.71 4.50-6.50.10⁶/µL

L : 40 – 48 %
Hematokrit 42.4
P : 37 – 42 %

Leukosit 8.790 5 – 10. 103/µL

Trombosit 324.100 150 – 400. 103 µL

Kimia Klinik

Ureum 17 <50 mg/dl

L : 0.8 – 1.3 mg/dL


Kreatinin 0.7
P : 0.6 – 1.2 mg/dL

32
Elektrolit

Natrium 145 135-145 mmol/L

Kalium 4.4 3.5 – 5.5 mmol/L

Klorida 107 96 – 106 mmol/L

Tes Spasmofilia

- Chvostek sign : +/+

- Tes iskemik : multiplet (-), obstetric hand (-)

- Tes hiperventilasi : multiplet (+), obstetric hand (+)

1.7 Diagnosis

DIAGNOSA : Epilepsi

DIAGNOSA BANDING : 1. Cephalic Tetanus

1.8 Penatalaksanaan

 Bedrest

 Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam

 Tab betahistin 3x1

 Tab flunarizine 5 mg 2x1

 Tab phenitoin 100 mg 3x1

 Tab bamgetol 200 mg 3x1

 Tab na diclofenac 500 mg 2x1

 Tab devacote 50 mg 2x1

33
1.9 Rencana Prosedur Diagnostik

 EMG

FOLLOW UP

(Sabtu, 25 Mei 2019)

S Nyeri Kepala

O TD = 130/80 mmHg

HR = 88x/i

RR = 80x/i

Temp = 36oC

A Epilepsi

- IVFD RL 20 gtt/I

P  Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam

 Tab betahistin 3x1

 Tab flunarizine 5 mg 2x1

 Tab phenitoin 100 mg 3x1

 Tab bamgetol 200 mg 3x1

 Tab na diclofenac 500 mg 2x1

 Tab devacote 50 mg 2x1

34
(Minggu, 26 Mei 2019)

S Nyeri kepala

O TD = 105/72 mmHg

HR = 80x/i

RR = 20x/i

Temp = 36,5oC

A Status epileptikus + vertigo

 Tab phenitoin 100 mg 3x1

P  Tab devacote 50 mg 2x1

 Tab betahistin 3x1

(Senin, 27 Mei 2019)

S Nyeri kepala

O TD = 110/80 mmHg

HR = 81x/i

RR = 22x/i

Temp = 36,8oC

A Status epileptikus + vertigo

35
 Tab phenitoin 100 mg 3x1

P  Tab devacote 50 mg 2x1

 Tab betahistin 3x1

Selasa 28 mei 2019

S Nyeri kepala + kejang

O TD = 120/80 mmHg

HR = 84x/i

RR = 22x/i

Temp = 36,4oC

A Status epileptikus + vertigo

 Tab phenitoin 100 mg 3x1

P  Tab devacote 50 mg 2x1

 Tab betahistin 3x1

 Diazepam (k/p)

BAB IV

DISKUSI KASUS

Pada kasus ini, pasien di diagnosa mengalami Spasmofilia.

36
.

TEORI KASUS

DEFINISI

Spasmofilia merupakan suatu tetani laten Pasien mengalami nyeri di seluruh wajah,

akibat hiperiritabilitas atau hipereksibilitas terutama di daerah hidungnya. Nyeri

saraf (neuromuscular) yang bermanifestasi menjalar sampai ke kepala dan

sebagai kejang otot dan gejala neuroastenia menyebabkan pasien mengalami penurunan

berupa nyeri kepala, gelisah, gangguan kesadaran secara tiba-tiba (pingsan). Ketika

gastro intestinal, palpitasi paresthesia, OS sadar dari pingsannya, kepala OS terasa

sinkope, sampai kejang tonik. sangat nyeri dan perlahan-lahan berkurang.

Spasmofilia juga disebut sebagai tetani Riwayat demam (-), mual (-), muntah

laten, kriptogenik tetani, kriptogenik menyembur (-), kejang (+) dengan durasi

idiopatik tetani, genuine tetani dan tetani kurang lebih 10 menit setiap kejang.

sindroma. Riwayat jatuh (+), BAK dan BAB normal.

Dari pemeriksaan fisik didapatkkan GCS 15

(E4 V5 M6)

37
TANDA DAN GEJALA

- Spasme laring, nyeri perut, nyeri Dari hasil anamnesis diketahui bahwa pasien

kepala, kelelahan, ketakutan, emosi mengalami nyeri seluruh bagian wajah yang

labil, vertigo, kram otot menjalar sampai ke kepala.

- Gambaran yang khas biasanya

didahului rasa kesemutan pada

ekstremitas disertai daerah bibir dan

lidah

- Setelah itu timbul rasa tegang dan

spasme pada otot mulut, tangan, dan

tungkai bawah, serta meluas ke daerah

muka dan bagian tubuh lainnya

DIAGNOSA

Berdasarkan teori untuk mendiagnosa Dari hasil pemeriksaan elektrolit didapati

spasmofilia diperlukan anamnesis yang peningkatan kadar Klorida.

cermat, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang berupa

pemeriksaan laboratorium darah dan EMG.

38
TATALAKSANA

Penatalaksanaan pada spasmofilia berupa Dalam kasus ini pasien telah diberikan

pemberian kalsium, hidroklortiazid, penatalaksanaan tirah baring, dan pemberian

vitamin D, koreksi pH pada alkalosis dan medikamentosa yaitu ranitidine, calcium

hormone paratiroid, dan tambahan berupa lactat, dan vitamin B complex.

obat-obat penenang.

39
BAB V

KESIMPULAN

Pasien mengalami nyeri di seluruh wajah, terutama di daerah hidungnya. Nyeri menjalar

sampai ke kepala dan menyebabkan pasien mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba

(pingsan). Ketika OS sadar dari pingsannya, kepala OS terasa sangat nyeri dan

perlahan-lahan berkurang. Riwayat demam (-), mual (-), muntah menyembur (-), kejang (+)

dengan durasi kurang lebih 10 menit setiap kejang. Riwayat jatuh (+), BAK dan BAB

normal. Dari pemeriksaan fisik didapatkkan GCS 15 (E4 V5 M6)

Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan temuan klinis yang dilakukan dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Pasien di berikan terapi oleh dokter :

- Bed rest

- Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam

- Calcium Lactat 2x1

- Vitamin B Complex 2x1

40
DAFTAR PUSTAKA

Alvikha, S. dkk. 2015. Stroke Iskemik. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Available from: https://www.scribd.com/document/286214906/Laporan-Kasus-Stroke-

Iskemik-RUMKIT [Accesed 18 April 2019]

Chaeruninisa, G. 2017. Stroke Infark. Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan

Nasional.Available from: https://sarafambarawa.files.wordpress.com/2018/02/lapsus-saraf-

gesti-.pdf[Accesed 18 April 2019]

Perdossi : 2011. Guideline Stroke. Jakarta

Prince, Sylvia and Wilson, Lorraine. 1995. Penyakit serebrovaskular dalam patofisiologi edisi 6

editor Hartanto H et al. EGC, Jakarta. Hal 1105-1130.

Putri, S. 2013. Stroke Iskemik. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Available from:

https://www.scribd.com/document/135541620/Stroke-Iskemik [Accesed 18 April 2019]

Rio, Y., Putra. 2014. Stroke Iskemik. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Available from:

https://www.scribd.com/document/278681960/Stroke-Iskemik [Accesed 18 April 2019]

Lazuardi S. Spasmofilia dan nyeri kepala. Neurona Majalah Kedokteran Neurosains. PERDOSSI.

1995;2(4):27-35

Widiastuti MS. Simple clinical symptom and signs for diagnosing spasmophillia. Yogyakarta.

Universitas Gajah Mada. 1995.

Maruli M, Anna MG, Hadinoto S. Spasmofilia aspek klinis dan elektromiografi. Dalam: Hadinoto

S, Timotius J. Kejang Otot. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1995:39-47

41
Day JW, Parry GJ. Normocalcemic tetany abolished by calcium infusion. Ann Neurol.

1990;27(4):438-440

Riggs JE. Neurological manifestation of fluid and electrolyte disturbances. Neurol Clin.

1989;7(3):509-523

Paci. A, Sartucci. F, Rossi B,Migliaccio P, Palleri R. Clinical manifestation of spasmophilia in

developing age. Pediatr Med Chir 1984.6 (6):823-829

Nuti R, Turchetti V, Martini G, Righig, Galli M, Lore F. Pathophysiological aspects of calcium

metabolism spasmophilia.Biomed Pharmacother.1987.41(2):96-100

Gregory J,Richard K.O Absences spells hyperventilation syndrome as previously un recognized

cause. The American journal of medicine 1984.76:905-909

42

Anda mungkin juga menyukai