Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bercocok tanam merupakan kegiatan yang sejak dahulu telah dilakukan oleh

nenek moyang kita. Kegiatan bercocok tanam lebih terkhusus pada

sektor pertanian yang dapat menunjang kebutuhan ekonomi masyarakat atau

petani. Petani telah terbiasa melakukan sistem konvensional dalam bertani, yaitu

dengan mengolah lahan terlebih dahulu, kemudian menunggu hujan turun adalah

waktuyang tepat untuk menanam. Tentu saja ini bukanlah kegiatan yang efektif jika

dibandingkan antara zaman dahulu dan zaman modern seperti saat ini.

Kegiatan pertanian dapat dilakukan dengan praktis, lebih terkontrol dan

terjadwal. Sistem bercocok tanam yang dikembangkan namun telah ada sejak

dahulu yaitu sistem hidroponik. Hidroponik merupakan cara bercocok tanam tanpa

menggunakan tanah. Tanah yang sejatinya merupakan tempat tumbuhnya tanaman

dapat digantikan dengan media inert, seperti pasir, arang sekam, rockwool, kapas,

kerikil, dan lain-lain. Hidroponik yang berkembang di Indonesia pertama kali

yaitu hidroponik substrat. Hidroponik substrat merupakan sistem hidroponik yang

mempergunakan media selain tanah seperti arang sekam, pasir, dan serbuk sabut

kelapa yang steril. Teknik hidroponik ini sampai sekarang masih digunakan untuk

mengusahakan sayuran dan buah yang bernilai jual tinggi conntohnya tomat.

Salah satu jenis sayuran yang mempunyai nilai ekonomi dan prospek yang

cerah adalah tanaman tomat. Tanaman tomat merupakan sayuran bergizi tinggi

1
yang mempunyai banyak kegunaan untuk dikonsumsi. Buah tomat selain sebagai

buah segar yang langsung dapat dimakan, dapat juga dijadikan sebagai bahan

penyedap masakan dan bahan industri untuk dikonsumsi dalam bentuk olahan,

misalnya untuk minuman sari buah tomat, jus tomat, saus tomat, sup dan

bubur. Buah tomat juga dimanfaatkan untuk mencegah dan mengobati berbagai

macam penyakit, seperti sariawan, beri-beri, radang syaraf, lemahnya otot-otot,

dermatitis, bibir menjadi merah dan radang lidah. Karena kandungan tomat yang

sangat bermanfaat dan tingkat permintaannya yang tinggi namun tidak diimbangi

dengan ketersediaan lahan yang memadai maka perlu adanya pembahasan

mengenai teknologi produksi tanaman tomat dengan sistem hidroponik.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini, sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan sistem hidroponik?

2. Bagaimana penerapan sistem hidroponik dalam budidaya tanaman tomat

1.3 Manfaat

Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apa manfaat sistem penanaman hidroponik?

2. Apa manfaat penerapan system hidroponik dalam budidaya tanaman

tomat?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Tomat

Tomat (Lycopersicon esculentum) memiliki nama daerah terong kaluwat

(Sumatera), tomat, ranti (Jawa), kemantes (Sulawesi); dan nama asing tomato

(Inggris) dan tomate (Jerman). Tomat termasuk genus Lycopersicon dari keluarga

Solanaceae. Sistematika dari klasifikasi tanaman tomat menurut Pracaya (1998)

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermathopyta

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Lycopersicon

Spesies : Lycopersicon esculentum Mill. sinonim Solanum lycopersicum L.

Tanaman tomat yang banyak beredar di masnyarakat terdiri dari dua subgenus

yang berbeda. Sub genus tersebut adalah Eulycpersicon yang mempunyai buah

berwarna merah dan enak untuk dimakan dan Eripersicon mempunyai buah yang

berwarna hijau (Pracaya, 1998). Berdasarkan dua karakteristik tadi buah tomat

memiliki perbedaan dalam pemanfatannya di masyarakat. Buah tomat dari marga

Eulycpersicon dimanfaatkan untuk olahan jus atau manisan karena rasanya yang

3
lebih enak. Sebaliknya, Marga dari Eriopersicon lebih sering dimanfaatkan untuk

sayur.

Tomat merupakan tanaman sayuran yang sudah dibudidayakan sejak ratusan

tahun silam, tetapi belum diketahui dengan pasti kapan awal penyebarannya. Jika

ditinjau dari sejarahnya, tanaman tomat berasal dari Amerika, yaitu daerah Andean

yang merupakan bagian dari negara Bolivia, Cili, Kolombia, Ekuador, dan Peru.

Semula di negara asalnya, tanaman tomat hanya dikenal sebagai tanaman gulma.

Namun, seiring dengan perkembangan waktu, tomat mulai ditanam, baik di

lapangan maupun di pekarangan rumah, sebagai tanaman yang dibudidayakan atau

tanaman yang dikonsumsi (Purwati dan Khairunisa, 2007).

Di negara tropis seperti Indonesia, tanaman tomat memiliki daerah

penyebaran yang cukup luas, yaitu di dataran tinggi (≥ 700 m dpl), dataran medium

tinggi (450 - 699 m dpl), dataran medium rendah (200 - 499 m dpl), dan dataran

rendah (≤ 199 m dpl) (Purwati dan Khairunisa., 2007).

2.2. Hidroponik

Hidroponik atau istilah asingnya hydroponics, adalah istilah yang digunakan

untuk menjelaskan beberapa cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai

tempat menanam tanaman. Hidroponik berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari kata

hydro yang berarti air dan kata ponos yang berarti kerja. Jadi definisi hidroponik adalah

pengerjaan atau pengelolaan air yang digunakan sebagai media tumbuh tanaman dan

tempat akar tanaman mengambil unsur hara yang diperlukan. Umumnya media tanam

yang digunakan bersifat poros, seperti pasir, arang sekam, batu apung, kerikil,

rockwool (Lingga, 1999).

4
Prinsip dasar budidaya tanaman secara hidroponik adalah suatu upaya

merekayasa alam dengan menciptakan dan mengatur suatu kondisi lingkungan yang

ideal bagi perkembangan dan pertumbuhan tanaman sehingga ketergantungan tanaman

terhadap alam dapat dikendalikan. Rekayasa faktor lingkungan yang paling menonjol

pada hidroponik adalah dalam hal penyediaan nutrisi yang diperlukan tanaman dalam

jumlah yang tepat dan mudah diserap oleh tanaman. Untuk memenuhi kebutuhan sinar

matahari dan kelembaban udara yang diperlukan tanaman selama masa

pertumbuhannya, perlu dibangun greenhouse yang berfungsi untuk mengatur suhu dan

kelembaban udara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman (Lingga, 1999).

Bertanam secara hidroponik sebenarnya sangat cocok dikembangkan baik skala

rumah tangga maupun skala industri. Menurut Hudoro (2003) keuntungan hidroponik

secara umum yaitu:

1. Tidak memerlukan lahan yang luas, sehingga bertanam dengan cara hidroponik

dapat dilakukan di dalam ruangan sekalipun.

2. Kebutuhan air, unsur hara, maupun sinar matahari dapat diatur menurut jenis

dan kebutuhan tanaman, baik secara manual, maupun mekanik ataupun

elektrik.

3. Pengontrolan hama lebih mudah.

4. Kebutuhan lahan dan tenaga dapat dihemat.

5. Pada lahan yang relatif sama dapat ditanam lebih dari satu tanaman.

6. Kondisi tanaman dan lingkungan lebih bersih.

7. Media tertentu dapat dipakai berulang kali, seperti pecahan batu bata, perlit dan

batu koral split.

5
8. Tidak diperlukan perlakuan khusus seperti penggemburan tanah karena media

tanamnya bukan tanah.

Berdasarkan penggunaan larutan nutrisinya, hidroponik digolongkan menjadi

dua, yaitu hidroponik sistem terbuka dan hidroponik sistem tetutup. Pada hidroponik

sistem terbuka, larutan nutrisi dialirkan ke daerah perakaran tanaman dan kelebihannya

dibiarkan hilang. Sedangkan hidroponik sistem tertutup, kelebihan larutan nutrisi yang

diberikan, ditampung dan disirkulasikan kembali ke daerah perakaran tanaman. Pada

hidroponik sistem tertutup, kandungan unsur-unsur hara dalam larutan nutrisi akan

berubah seiring dengan penyerapannya oleh tanaman (Chadirin, 2007).

Menurut Chadirin (2007) hidroponik juga dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan

tempat tumbuh dan berkembangnya akar, yaitu:

1. Hidroponik kultur air/larutan, jika dalam sistem hidroponik tersebut akar

tanaman tumbuh dan berkembang dalam larutan nutrisi.

2. Hidroponik substrat atau agregat, dimana akar tanaman tumbuh dan

berkembang di dalam media agregat seperti pasir, kerikil, rockwool, ataupun

campuran media organik.

6
BAB III
PEMBAHASAN

Harjadi (1989) menyatakan hidroponik adalah sistem budidaya yang

menggunakan larutan hara dengan atau tanpa penambahan media inert seperti pasir,

rockwool, atau arang sekam. Pada teknik ini, hara disediakan dalam bentuk larutan

hara, mengandung semua unsur hara esensial yang dibutuhkan oleh tanaman agar

tercapai pertumbuhan normal. Nutrisi yang diperlukan tanaman dapat dipenuhi

dengan meramu sendiri berbagai garam kimia, cara ini memerlukan keterampilan

dan pengetahuan khusus. Pencarian komposisi yang paling baik untuk tiap jenis

tanaman khususnya tomat masih terus dilakukan, mengingat tiap jenis tanaman

membutuhkan nutrisi dengan komposisi berbeda. Salah satu kesulitan di dalam

penyiapan larutan hara ini adalah belum diketahuinya dosis unsur hara yang optimal

bagi pertumbuhan tanaman. Pada dosis yang terlalu rendah, pengaruh larutan hara

tidak nyata, sedangkan pada dosis yang terlalu tinggi selain boros juga akan

mengakibatkan tanaman mengalami plasmolisis, yaitu keluarnya cairan sel karena

tertarik oleh larutan hara yang lebih pekat (Wijayani, 2000 dan Marschner, 1986).

Pengelolaan produksi tomat dengan pengefisienan lahan dan modifikasi

teknologi dapat dilakukan melalui sistem hidroponik. Melalui sistem hidroponik,

proses budidaya dapat menghasilkan jumlah produksi yang lebih tinggi

dibandingkan secara konvensional. Hasil panen yang dapat diperoleh dari sistem

hidroponik yaitu lima sampai sepuluh kali lipat lebih banyak daripada hasil panen

yang diperoleh dengan sistem budidaya konvensional (Harun, 1989). Pernyataan

ini diperkuat oleh Smith (2005), yang menyatakan bahwa tomat yang dihasilkan

7
dengan sistem hidroponik sebesar 55,6 kg m-2 dengan total grade A sebesar 95%.

Sedangkan tomat yang dihasilkan secara konvensional sebesar 5,9 kg m-2 dengan

total grade A sebesar 80%. Oleh karena itu, menurut Indriasti (2013) menanam

sayuran buah secara hidroponik lebih menguntungkan karena mutu produk yang

dihasilkan lebih berkualitas dan aman dari residu pestisida dan bahan kimia.

Menurut Maboko dan Plooy (2009), budidaya tomat dengan sistem

hidroponik dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas dibandingkan dengan

konvensional. Oleh karena itu, sistem budidaya ini perlu dipelajari lebih lanjut

karena memiliki banyak kelebihan. Beberapa kelebihannya yaitu produksi tanaman

lebih tinggi, serangan hama dan penyakit berkurang, dan hasil panen yang kontinyu.

Tanaman yang dibudidayakan secara hidroponik pertumbuhannya lebih cepat dan

2 pemakaian pupuk yang digunakan lebih efisien. Metode kerja yang digunakan

dalam membudidayakan tanaman secara hidroponik sudah distandarisasi sehingga

lebih memudahkan pekerjaan dan penggunaan tenaga kerja kebun yang lebih

efisien (Lingga, 1999).

Prinsip dasar dari hidroponik adalah memberikan atau menyediakan nutrisi

yang dibutuhkan tanaman dalam bentuk larutan. Pemberian nutrisi dilakukan

dengan menyiramkan atau meneteskannya pada tanaman. Larutan hara hidroponik

harus mengandung unsur hara makro seperti N, P, K, Ca, Mg, dan S serta hara

mikro seperti Fe, B, Mn, Zn, Cu, dan Mo. Larutan hara dapat menggunakan pupuk

hidroponik yang tersedia atau mencampur berbagai macam pupuk (Lingga, 1999).

Salah satu nutrisi yang umum digunakan dalam sistem budidaya hidroponik adalah

AB Mix. Nutrisi AB Mix merupakan pupuk yang terdiri atas dua kemasan berbeda.

8
Kemasan pertama merupakan “pupuk A” yang secara umum berisi unsur hara

makro. Kemasan lainnya merupakan “pupuk B” yang secara umum berisi unsur

hara mikro. Pemberian nutrisi pada sistem hidroponik dilakukan bersamaan dengan

penyiraman (fertigasi). Pengelolaan air dan hara dalam sistem hidroponik

difokuskan terhadap cara pemberian yang optimal dengan mengalirkan nutrisi

secara terus-menerus sehingga tidak ada air yang menggenang dan tidak ada unsur

hara yang mengendap melalui sistem irigasi tetes (Siswandi, 2008).

Tabel 1. Kebutuhan tanaman tomat terhadap hara secara hidroponik.


Kebutuhan hara berdasarkan panduan budidaya tanaman sayuran (Susila, 2006).
Unsur C, N, P, K, Ca, Mg dalam (%), Unsur Fe, Cu, Zn, Mn dalam ppm.

Kondisi nutrisi tanaman dikontrol secara rutin menggunakan EC meter untuk

mengetahui kesesuaian larutan terhadap larutan unsur hara dalam air dan kebutuhan

unsur hara bagi tanaman. Nilai EC menunjukkan jumlah konsentrasi ion di dalam

air. Menurut Puspitasari (2011), jika kepekatan larutan nutrisi dengan EC terlalu

tinggi, maka tanaman sudah tidak sanggup menyerap hara lagi karena telah jenuh.

Aliran hara hanya lewat, tanpa diserap akar. Menurut Prita et al. (2013), semakin

besar nilai EC maka semakin cepat penyerapan unsur hara oleh tanaman sehingga

berpengaruh pada pertumbuhan tanaman yang lebih cepat dan juga berpengaruh

pada umur panen tanaman.

9
Metode hidroponik yang dapat digunakan salah satunya yaitu metode

hidroponik substrat. Sistem hidroponik substrat merupakan metode budidaya

tanaman dimana akar tanaman tumbuh pada media porous selain tanah yang dialiri

larutan nutrisi sehingga memungkinkan tanaman memperoleh air, nutrisi, dan

oksigen secara cukup. Substrat adalah dapat menyerap dan menghantarkan air,

tidak mempengaruhi pH air, tidak berubah warna, dan tidak mudah lapuk.

Karakteristik substrat harus bersifat inert dimana tidak mengandung unsur hara

mineral. Fungsi utama substrat adalah menjaga kelembaban, dapat menyimpan air,

dan bersifat kapiler terhadap air (Zulfitri, 2006).

Unsur hara pada budidaya tanaman tomat secara hidroponik diberikan dalam

bentuk larutan nutrisi. Nutrisi yang diberikan berupa larutan nutrisi AB Mix yang

terdiri atas dua kelompok, yaitu stok A dan stok B (Tabel 2). Wardhani dan Widodo

(2003) menyatakan tanaman dengan hara AB Mix menghasilkan bobot panen dan

bobot buah layak konsumsi lebih tinggi daripada hara dengan pupuk majemuk

lainnya pada tanaman tomat.

Tabel 2. Kandungan unsur hara pada larutan stok.

Nutrisi AB Mix berupa kristal yang harus dilarutkan dengan air. Nutrisi yang

dilarutkan tidak dapat langsung diberikan pada tanaman, karena larutan 14 masih

10
pekat, sehingga nutrisi pekat harus ditambahkan air sesuai dengan kebutuhan agar

dapat diberikan pada tanaman. Larutan diaduk menggunakan mesin pompa dengan

sistem back wash, yaitu mesin pompa akan menyedot air yang ada dalam drum,

kemudian mengalirkannya lagi ke dalam drum tersebut. Back wash dilakukan

hingga larutan homogen, kemudian dilakukan pengecekan EC agar tercapai nilai

EC sekitar 2,0–2,2 mS cm-1. Apabila EC terlalu tinggi, maka perlu ditambahkan

air. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengaplikasian nutrisi ke tanaman adalah

tingkat kepekatan nutrisi yang diberikan. Fase pertumbuhan generatif

mengutamakan proses pembungaan hingga menjadi buah. Oleh sebab itu,

peningkatan kepekatan nutrisi perlu dilakukan guna membantu terbentuknya bunga

dan buah. Larutan nutrisi diberikan dengan cara dialirkan melalui sistem irigasi.

Sistem ini mengalirkan nutrisi secara terus-menerus sehingga tidak ada air yang

menggenang dan tidak ada unsur hara yang mengendap. Larutan nutrisi yang

dipompakan mengandung air, nutrisi, dan oksigen.

Tabel 3. Perbedaan EC dan volume nutrisi berdasarkan umur tanaman.

Kebutuhan volume nutrisi dan EC tanaman tomat mulai dari tahap nursery

sampai pada tahap produksi berbeda berdasarkan umur tanaman. Kebutuhan nutrisi

dipengaruhi oleh kandungan EC yang diberikan pada tanaman tersebut. Semakin

tinggi nilai EC maka semakin banyak unsur hara yang terkandung di dalam larutan

11
nutrisi yang diartikan bahwa kemampuan larutan nutrisi dalam menghantarkan ion-

ion listrik ke akar tanaman semakin meningkat (Fahrizal, 2002).

Nutrisi yang diberikan merupakan larutan pupuk AB Mix yang memiliki

tingkat kepekatan atau EC berkisar 2,0–2,2 mS cm-1 dengan komposisi nutrisi 10

liter stok A ditambah 10 liter stok B untuk dilarutkan dalam 2.000 liter air. Apabila

konsentrasi larutan memiliki nilai EC terlalu tinggi, maka untuk menurunkan nilai

EC dengan ditambah air. Larutan nutrisi yang tepat komposisi dan tepat cara

aplikasi akan menghasilkan kuantitas dan kualitas tomat yang baik. Agar

konsentrasi larutan nutrisi sesuai dengan kebutuhan tanaman maka dilakukan

pengukuran EC secara rutin.

Tabel 4. EC dan volume nutrisi tanaman tomat pada masa generatif di PT


Amazing Farm.

Penggunaan nilai EC dan volume nutrisi tanaman tomat cherry pada masa

generatif mengalami penurunan sebelum topping dilakukan. Hal ini diduga menjadi

salah satu penyebab ukuran buah tomat menurun baik dari segi bobot, panjang atau

12
diameter buah. Selama masa pengisian buah, tanaman membutuhkan EC dan

volume nutrisi yang lebih banyak untuk pertumbuhan dan pembentukan buah.

Pemberian larutan nutrisi dengan nilai EC rendah menyebabkan produktivitas

tanaman menurun. Pemberian larutan nutrisi yang cukup berfluktuatif beberapa

diantaranya juga terjadi karena perubahan cuaca, apabila cuaca mendung atau hujan

volume penyiraman dikurangi sekitar 50 ml seperti pada tanaman tomat beef saat

umur tanaman 17 MST volume nutrisi yang diberikan kurang 50 ml dari standar

volume nutrisi perusahaan.

Menurut Gualberto et al. (2002), konduktivitas listrik (EC) pada tanaman

tomat dengan sistem hidroponik perlu dipertahankan pada 1,5–2,0 mS cm-1 pada

tahap pembibitan dan 2,5–3,5 mS cm-1 pada tahap produksi dengan EC yang

berbeda sesuai tahap perkembangan tanaman. Hal ini diperkuat dengan hasil

penelitian Rosadi at al. (2014), yang menunjukkan bahwa nilai EC tanaman tomat

dapat diberikan hingga mencapai 3 mS cm-1 untuk dapat meningkatkan

pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman tomat secara hidroponik. Berdasarkan

hasil pengamatan Arifianto (2017), penggunaan nilai EC pada tanaman paprika

(famili Solanaceae) sebesar 3,4 mS cm-1 pada umur 15–25 MST, 2,8 mS cm-1 pada

umur 27–29 MST, dan 2,2 mS cm-1 pada umur 31–33 MST.

Frekuensi dan volume siram harus disesuaikan dengan kondisi cuaca, jenis

dan umur tanaman, fase pertumbuhan tanaman dan jenis media yang digunakan.

Cuaca mendung atau hujan (evaporasi kurang) volume dan frekuensi penyiraman

dikurangi karena efek terhadap media menjadi terlalu basah sehingga akar tidak

bisa tumbuh dengan baik. Kondisi yang sesuai untuk tanaman adalah berimbang

13
antara air, udara, pupuk dan media tanam. Sebaliknya apabila cuaca panas

(evaporasi naik) fertigasi harus lebih sering dan volumenya lebih banyak

(Gunawan, 2009).

Kelebihan dari penggunaan hidroponik adalah tanaman dapat berdiri lebih

tegak, kebutuhan nutrisi mudah untuk dipantau, dan biaya operasional tidak terlalu

besar. Kekurangannya adalah populasi tanaman tidak terlalu banyak, terlalu banyak

menggunakan wadah, dan mudah ditumbuhi lumut. Menurut Lingga (2007),

beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya hidroponik substrat terdiri

atas media, sterilisasi media, dan irigasi.

Media yang digunakan dalam hidroponik subtrat antara lain pasir, serbuk

gergaji, atau arang sekam. Media tersebut dapat menyerap nutrisi, air, dan oksigen

serta mendukung akar tanaman sehingga dapat berfungsi seperti tanah. Media

tanam hidroponik harus bebas dari bakteri, racun, jamur, virus, spora yang dapat

menyebabkan patogen bagi tanaman. Media yang baik bersifat ringan dan dapat

sebagai penyangga tanaman. Kemampuan mengikat kelembaban suatu media

tergantung dari ukuran partikel, bentuk, dan porositasnya. Semakin kecil ukuran

partikel, semakin besar luas permukaan jumlah pori, maka semakin besar pula

kemampuan menahan air. Arang sekam mempunyai karakteristik ringan dan kasar

sehingga sirkulasi udara tinggi, kapasitas menahan air tinggi, berwarna hitam

sehingga dapat mengabsorbsi sinar matahari dengan efektif. Rongganya banyak

sehingga aerasi dan drainasenya baik, hal ini juga mempermudah pergerakan akar

tanaman dalam media tanam tersebut (Wuryaningsih et al., 2008).

14
Pendayagunaan sumberdaya sintesis seperti media tanam untuk hidroponik

membuktikan peningkatan hasil tomat (Duriat, 1997). Media tanam yang baik

bersifat porus dan ringan. Tujuanya agar akar tanaman tidak mudah rusak, mampu

menjaga kelembaban dan menyimpan air. Arang sekam (kulit gabah) yang

berwarna hitam menguntungkan sebagai media tanam, karena menghasilkan

pertanaman yang baik, meminimumkan penyakit, dan ekonomis dalam penggunaan

air (Zulfitri, 2005). Media tanam itu sendiri berfungsi sebagai penopang akar dan

meneruskan larutan hara yang berlebihan (Sutiyoso, 2006).

Apabila ditanam pada sembarang substrat untuk waktu yang lama, ada

kemungkinan tanaman terserang mikroorganisme patogen yang berada pada

substrat tersebut. Oleh karena itu, setiap mengganti tanaman baru harus dilakukan

sterilisasi substrat dahulu seperti dengan penguapan atau dengan bahan kimia.

Menurut Supriati dan Herliana (2014), pada media tanam substrat, cara pembuatan

arang sekam dapat disangrai atau dibakar. Proses tersebut menunjukkan adanya

sterilisasi karena dengan suhu yang tinggi benih penyakit yang tersisa akan mati.

Apabila bibit ditanam pada media sekam yang baru, maka media tidak perlu

disterilisasi lagi karena mikroba telah hilang sewaktu pembakaran selama proses

pembuatan arang sekam. Menurut Priono (2013), sterilisasi dilakukan dengan

tujuan agar media tanam tidak terkontaminasi oleh jamur ataupun bakteri dalam

tanah. Sterilisasi media dengan cara disangrai dan mengalirkan uap panas ke dalam

media tanam merupakan cara yang banyak digunakan. Sterilisasi dengan bahan

kimia dilakukan apabila media tanam digunakan kembali pada musim tanam

selanjutnya. Sterilisasi dengan bahan kimia dilakukan dengan cara melarutkan

15
bahan kimia tertentu yang akan meracuni bibit hama dan penyakit yang masuk ke

dalam media tanam. Bahan kimia yang digunakan antara lain Dithane M-45

(fungisida) dengan dosis 1-3 g l -1 air. Cara aplikasinya adalah dengan

menyiramkan larutan Dithane M-45 ke dalam media tanam.

Larutan nutrien dalam sistem irigasi dipompa dan diedarkan ke seluruh

tanaman. Frekuensi irigasi tergantung dari permukaan substrat, tahap pertumbuhan

tanaman, dan faktor iklim. Substrat yang permukaannya kasar dan bentuknya

teratur perlu disiram lebih sering dibanding yang bentuknya tidak teratur, porous,

atau partikelnya berukuran kecil. Berdasarkan penggunaan larutan nutrisi,

hidroponik digolongkan menjadi dua, yaitu hidroponik sistem terbuka dan

hidroponik sistem tetutup. Hidroponik sistem terbuka menggunakan larutan nutrisi

hanya satu kali dalam satu arah melalui daerah perakaran, larutan nutrisi dialirkan

ke daerah perakaran tanaman dan kelebihannya dibiarkan hilang. 6 Sedangkan pada

hidroponik sistem tertutup, kelebihan larutan nutrisi yang diberikan, ditampung dan

disirkulasikan kembali ke daerah perakaran tanaman (Jones, 2008). Pemberian

larutan nutrisi dengan irigasi tetes (drip irrigation) merupakan sistem terbuka.

Larutan nutrisi pada sistem ini diberikan dengan meneteskannya pada daerah

perakaran tanaman. Keperluan pengairan ini menggunakan instalasi pengairan yang

terdiri atas peralatan pompa, tangki pupuk, pipa-pipa distribusi, filter, pengatur

tekanan hingga emiter yang dipasang di ujung saluran. Air dari bak penampungan

dialirkan ke tangki pupuk untuk dicampur dengan nutrisi yang diperlukan tanaman,

setelah itu larutan nutrisi dipompakan keluar melewati beberapa lapisan filter

16
sebelum masuk ke pipa-pipa distribusi utama, yang selanjutnya masuk pipa-pipa

lateral yang menuju masing-masing tanaman (Poerwanto dan Susila, 2014).

Sistem hidroponik menurut Jones (2005), mempunyai beberapa keunggulan

yakni :

1. Kepadatan tanaman per satuan luas dapat dilipat gandakan sehingga

menghemat penggunaan lahan

2. Mengurangi waktu penanaman pada persiapan lahan

3. Pupuk/nutrisi yaerikan lebih efektif dan efisien

4. pH nutrisi bisa dikontrol untuk memastikan pemasukan nutrisi

5. tidak tergantung musim atau waktu tanam dan panen bisa diatur sesuai

kebutuhan pasar

6. memudahkan pengendalian OPT bila hidroponik diusahakan di green house.

Adapun kelemahan sistem hidroponik menurut Roidah (2014), meliputi :

1. Investasi awal yang mahal.

2. Memerlukan keterampilan khusus untuk menimbang dan meramu bahan

kimia.

3. Ketersediaan dan pemeliharaan perangkat hidroponik agak sulit.

17
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan makalah dapat disimpulkan bahwa:

a. Hidroponik berasal dari bahasa Yunani yaitu hydro berarti air dan ponous

berarti kerja. Sesuai arti tersebut, bertanam secara hidroponik merupakan

teknologi bercocok tanam yang menggunakan air, nutrisi, dan oksigen.

Hidroponik memiliki keunggulan dari segi penggunaan lahan yang hemat,

efisiensi air dan pupuk maksimal, pengendalian hama penyakit yang

mudah, dan lebih bersih.

b. Pengelolaan produksi tomat dengan pengefisienan lahan dan modifikasi

teknologi dapat dilakukan melalui sistem hidroponik. Melalui sistem

hidroponik, proses budidaya dapat menghasilkan jumlah produksi yang

lebih tinggi dibandingkan secara konvensional. Hasil panen yang dapat

diperoleh dari sistem hidroponik yaitu lima sampai sepuluh kali lipat lebih

banyak daripada hasil panen yang diperoleh dengan sistem budidaya

konvensional. Namun dalam pelaksanaannya perlu adanya tenaga ahli yang

benar-benar paham tentang cara budidaya hidroponik. Sehingga hidroponik

dapat berjalan dengan baik.

18
4.2. Saran

Informasi tentang penyakit bercak abu-abu pada stoberi lebih dipahami agar

dapat mengetahui perkembangan, penyebaran, dan pengendalian penyakit bercak

abu-abu pada stoberi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Arifianto M. 2017. Proses pemanenan paprika (Capsicum annum var. tribeli)


hidroponik dalam greenhouse di perusahaan V.O.M & W van Paassen di De
Lier, Belanda Selatan, Belanda. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Chadirin, Y. 2007. Teknologi Greenhouse dan Hidroponik. Diktat Kuliah.
Departemen Teknik Pertanian, IPB.
Gualberto R., Oliveira P.S. and Resende F.V. 2002. Long-life tomato cultivars
growing under the hydroponic nutrient film technique. Sc. Agricola 4(59): 803-
806.
Gunawan H. 2009. Budidaya tomat cherry secara hidroponik di screen house.
www.bbpp-lembang.info. 8 Mei 2019
Harjadi., S.S. 1989. Dasar-Dasar Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Harun R.M. 1989. Potential productivity of hydroponically-grown tomatoes in the
genting highlands, Malaysia. J. Pertanika 12(3): 293-298.
Hudoro, S. 2003. Hidroponik Sederhana Penyejuk Ruang. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Indriasti R. 2013. Analisis usaha sayuran hidroponik pada PT Kebun Sayur Segar
Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jones J.B. 2008. Complete Guide for Growing Plants Hydroponically. CRC Press,
New York.
Jones, J.B. 2005. Hydroponics A Practical Guide for the Soilless Grower, fisrt
edition. CRC Press. New York.
Kartapradja, R. dan D. Djuariah, (1992), “Pengaruh Tingkat Kematangan Buah
Tomat terhadap Daya Kecambah, Pertumbuhan dan Hasil Tomat”, Buletin
Penelitian Hortikultura. vol. 14, no. 2.
Kuo, C.G., C.T. Tsai. 1984. Alternation by high temperature of high temperature of
auxin and giberellin concentration in the floral buds, flower and young fruit of
tomato. Hort Science. 9(6):870-874.
Lakitan, B. 1993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Lingga P. 1999. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya,
Jakarta.

20
Lingga P. 2007. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Maboko M.M. and Plooy C.P.D. 2009. Comparative performance of tomato on
soilless vs in-soil production systems. Acta Hort. 843: 319-323.
Peet, M.M, M. Bartholemew. 1986. Effect of night temperature on pollen
characteristic, growth, and fruit set in tomato. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 12(3):
514-519.
Poerwanto S. dan Susila A.D. 2014. Teknologi Hortikultura. IPB Press, Bogor.
Pracaya. 1998. Bertanam Tomat. Kanisius. Yogyakarta.
Priono S.H. 2013. Pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan stek
batang tanaman ara (Ficus carica L.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Prita P.F., Koesriharti, Sunaryo. 2013. Pengaruh penambahan unsur hara mikro (Fe
dan Cu) dalam media paitan cair dan kotoran sapi cair terhadap pertumbuhan
dan hasil bayam merah (Amaranthus tricolor L.) dengan sistem hidroponik
rakit apung. J. Prod. Tanaman. 1(3): 48-58.
Purwati, E. dan Khairunisa, 2007, Budi Daya Tomat Dataran Rendah. Penebar
Swadaya. Depok.
Puspitasari D.Y., Aini N. dan Koesriharti. 2014. Respon dua varietas tomat
(Lycopersicon esculentum Mill.) terhadap aplikasi zat pengatur tumbuh
Naphthalene Acetic Acid (NAA). J. Prod. Tanaman. 2(7): 566-575.
Roidah, I.S. 2014. Pemanfaatan Lahan dengan Menggunakan Sistem Hidroponik.
Jurnal Universitas Tulungagung BONOROWO. 1 (2) : 43-50.
Rosadi R.A., Senge M., Suhandy D. and Tusi A. 2014. The effect of ec levels of
nutrient solution on the growth, yield, and quality of tomatoes (Solanum
lycopersicum) under the hydroponic system. J. of Agricultural Engineering
and Biotechnology. 2(1): 7-12.
Siswadi. 2008. Berbagai formulasi nutrisi pada sistem hidroponik. J. inov. pertanian
7(1): 103-110.
Smith G. 2005. Overview of the australian protected cropping industry.
www.ahga.org.au. 8 Mei 2019.
Sundstrom, A.C., (1982), “Simple Hydroponics for Australian Home Gardeners”,
Melbourne
Supriati Y. dan Herlina E. 2014. 15 Sayuran Organik Dalam Pot. Penebar Swadaya,
Jakarta.

21
Susila, A.D. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Institut pertanian Bogor.
Bogor.
Sutiyoso, Y. 2006. Hidroponik ala Yos. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wardhani A.K. dan Widodo W.D. 2003. Pemanfaatan pupuk majemuk sebagai
sumber hara budidaya tomat secara hidroponik. Bul. Agron. 31(1): 15-20. 56
Wijayani A. dan Widodo W. 2005. Usaha meningkatkan kualitas beberapa varietas
tomat dengan sistem budidaya hidroponik. J. Ilmu Pertanian. 12(1): 77-83.
Wijayani, A., (2000), “Budi daya Paprika secara Piroponik: Pengaruhnya terhadap
Serapan Nitrogen dalam Buah”, Agrivet, vol. 4, pp. 60–65.
Wuryaningsih, Muharam dan Rusyadi. 2008. Tanggapan tiga kultivar mawar
terhadap media tumbuh tanpa tanah. J.Hort. 13(1): 28-40.
Zulfitri. 2005. Analisis varietas dan polybag terhadap pertumbuhan dan hasil cabai
(Capsicum annum l.) sistem hidroponik. Buletin Penelitian 8.

22

Anda mungkin juga menyukai