Oleh:
Magister Akuntansi B
Kelompok 1
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat
menyusun dan menyajikan tugas makalah ini dengan judul “Akuntansi Syariah di
Organisasi Syariah Non-Profit” ini dengan tepat waktu. Tugas makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Seminar Akuntansi Syariah dengan dosen pengampu Dr. Agung
Budi Sulistiyo, S.E, M.Si, Ak.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih banyak atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi dan pikirannya dengan
harapan penulis, semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca dan dapat dikaji ulang.
Penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan tugas ini terdapat kesalahan
pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud
penulis. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan
untuk penyempurnaan dari tugas ini.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
STATEMENT OF AUTHORSHIP......................................................................... ii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Akad Murabahah.......................................................................... 3
B. Karakteristik Akad Murabahah.................................................................. 4
C. Jenis – Jenis Akad Murabahah .................................................................. 5
D. Dasar Syariah Akad Murabahah................................................................ 6
E. Perlakuan Akuntansi Murabahab (PSAK 102).......................................... 8
F. Ilustrasi Akuntansi...................................................................................... 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................ 19
B. Saran.......................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Organisasi syariah non-profit berupa lembaga sosial non komersial merupakan salah satu
lembaga yang tidak mengutamakan laba dalam menjalankan usaha atau kegiatannya. Dalam
lembaga non komersial pada umumnya sumber daya atau dana yang digunakan dalam
menjalankan segala kegiatan yang dilakukan berasal dari donatur atau sumbangan dari orang-
orang yang ingin membantu sesamanya. Tujuan lembaga non komersial yaitu untuk
membantu masyarakat luas yang tidak mampu khususnya dalam hal ekonomi. Dari sini dapat
dijelaskan bagaimana lembaga sosial non profit dalam ekonomi Islam yang berada di
Indonesia yaitu lembaga zakat dengan nama organisasi Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) dan lembaga wakaf dengan nama organisasi Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Dalam laporan keuangan entitas syariah sesuai dengan ED PSAK 101 (Revisi 2014)
disajikan oleh entitas yang melakukan transaksi syariah pada anggaran dasarnya. Terminologi
dalam PSAK ini yang akan dibahas berfokus pada entitas yang tidak berorientasi untuk laba
sehingga terbagi dua yang terdiri atas laporan sumber dan penyaluran dana Zakat dan
penggunaan dana Kebajikan selama periode.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) adalah lembaga yang melakukan pengelolaan
zakat secara nasional. BAZNAS merupakan Lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat
mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. BAZNAS
berkedudukan di ibu kota negara. Keanggotaan BAZNAS terdiri atas 11 orang anggota yakni
delapan orang dari unsur masyarakat (Ulama, tenaga profesional dan tokoh masyarakat
Islam) dan tiga orang dari unsur pemerintah (ditunjuk dari kementerian/instansi yang
berkaitan dengan pengelolaan zakat). BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang
wakil ketua. Masa kerja BAZNAS dijabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk
satu kali masa jabatan. BAZNAS Provinsi dibentuk oleh Menteri Agama atas usul Gubernur
setelah mendapat pertimbangan BAZNAS. BAZNAS Provinsi bertanggung jawab kepada
BAZNAS dan pemerintah daerah provinsi. Saat ini BAZNAS Provinsi telah dibentuk di 34
provinsi. Khusus di Provinsi Aceh tidak menggunakan nama BAZNAS tetapi menggunakan
Baitul Maal Aceh. BAZNAS Kabupaten/Kota dibentuk oleh Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Kementerian Agama atas usul bupati atau wali kota setelah mendapat
pertimbangan BAZNAS. BAZNAS kabupten/kota bertanggung jawab kepada BAZNAS
Provinsi dan pemerintah daerah kabupten/kota. Unit Pengumpul Zakat (disingkat UPZ)
adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
Hasil pengumpulan zakat oleh UPZ wajib disetorkan ke BAZNAS, BAZNAS provinsi atau
BAZNAS kabupaten/kota.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah lembaga negara independen yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Badan ini dibentuk
dalam rangka mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia. BWI dibentuk
bukan untuk mengambil alih aset-aset wakaf yang selama ini dikelola oleh nazhir (pengelola
5
aset wakaf) yang sudah ada. BWI hadir untuk membina nazhir agar aset wakaf dikelola lebih
baik dan lebih produktif sehingga bisa memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat,
baik dalam bentuk pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi, maupun pembangunan
infrastruktur publik. BWI berkedudukan di ibukota Negara dan dapat membentuk perwakilan
di provinsi, kabupaten, dan/atau kota sesuai dengan kebutuhan. Anggota BWI diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Masa jabatannya selama 3 tahun dan dapat diangkat kembali
untuk satu kali masa jabatan. Jumlah anggota BWI 20 sampai dengan 30 orang yang berasal
dari unsur masyarakat. Anggota BWI periode pertama diusulkan oleh Menteri Agama kepada
Presiden. Periode berikutnya diusulkan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk BWI. Adapun
anggota perwakilan BWI diangkat dan diberhentikan oleh BWI. Struktur kepengurusan BWI
terdiri atas Dewan Pertimbangan dan Badan Pelaksana. Masing-masing dipimpin oleh
seorang ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan Pelaksana merupakan unsur
pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsur pengawas.
Oleh karena itu, dua lembaga diatas adalah lembaga non profit yang sangat membantu
masyarakat untuk memnuhi semua kebutuhan masyarakat dalam mengumpulkan dan
meyalurkan dana yang diterima oleh lembaga tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa organisasi syariah non-profit dalam lembaga zakat dengan nama organisasi Badan
Amil Zakat Nasional (BAZNAS)?
2. Apa organisasi syariah non-profit dalam lembaga wakaf dengan nama organisasi Badan
Wakaf Indonesia (BWI)?
3. Bagaimana perlakuan akuntansi di organisasi syariah non-profit menurut ED PSAK 101
(Revisi 2014)?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan
makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui organisasi syariah non-profit dalam lembaga zakat dengan nama
organisasi Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
2. Untuk mengetahui organisasi syariah non-profit dalam lembaga wakaf dengan nama
organisasi Badan Wakaf Indonesia (BWI).
3. Untuk mengetahui perlakuan akuntansi di organisasi syariah non-profit menurut ED
PSAK 101 (Revisi 2014).
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan dari penulisan makalah ini maka terdapat manfaat yaitu:
1. Bagi penulis, Makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang
organisasi syariah non-profit dan dapat memperoleh nilai tugas untuk mata kuliah seminar
akuntansi syariah.
2. Bagi pihak lain, Makalah ini dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan untuk menambah
wawasan dan pengetahuan serta untuk bahan referensi dalam melakukan penelitian ilmiah.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Zakat dapat disalurkan secara langsung dari pemberi zakat (muzakki) kepada
delapan asnaf yang berhak menerima zakat (mustahik). Zakat juga dapat disalurkan
melalui amil atau lembaga pengelola zakat. Lembaga pengelola zakat ini bertugas untuk
mengumpulkan, menjaga dan menyalurkan zakat seperti BAZNAS atau Organisasi
Pengelola Zakat. Pandangan seperti ini muncul karena peran Organisasi Pengelola Zakat
(OPZ) di satu sisi bertindak sebagai lembaga keuangan syari’ah dan di sisi yang lain ia
merupakan lembaga swadaya masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syari’ah, tugasnya
adalah menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat berupa zakat,
infak, sedekah atau dana lainnya. Karena dana-dana tersebut merupakan hal yang tidak
terlepas dari realisasi keimanan seseorang terhadap syari’ah Islam maka organisasi
pengelola zakat harus mengelola amanah sesuai ketentuan syari’ah-nya. Sebagai
lembaga swadaya masyarakat, tujuannya adalah mengubah keadaan dari mustahiq
menjadi muzakki.
Secara teknis, hasil kinerja Organisasi Pengelola Zakat disajikan melalui
akuntansi dana, yaitu metode pencatatan dan penampilan entitas dalam akuntansi seperti
aset, dan kewajiban yang dikelompokkan menurut kegunaannya dari masing-masing
item. Oleh karena itu, Organisasi Pengelola Zakat memerlukan sistem akuntansi yang
baik dalam mengumpulkan, mengolah dan menyalurkan dana Zakat, Infaq dan Shadaqah
(ZIS). Dan salah satu hal yang paling utama dalam sistem akuntansi adalah perlakuan
akuntansi zakat. Perlakuan akuntansi disini mencakup pengakuan, pencatatan dan
penyajian laporan keuangan Organisasi Pengelola Zakat.
2. Mustahik
Mustahik adalah mereka-mereka yang berhak untuk menerima pembayaran zakat.
Zakat harus dibagikan kepada:
1. Orang-orang Fakir
2. Orang-orang Miskin
3. Kelompok Amil Zakat
4. Kelompok Muallaf
5. Kelompok Riqab (budak)
6. Kelompok Gharimin (orang yang berutang)
7. Kelompok Fi Sabilillah
8. Kelompok Ibnu Sabil
Besar zakat yang dikeluarkan menurut para ulama adalah sesuai penafsiran
terhadap hadits adalah sebesar satu sha’ atau kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.5 kg
makanan pokok (tepung, kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi di daerah
bersangkutan (Mazhab syafi’i dan Maliki).
2.5 Organisasi Syariah Non-Profit dalam Lembaga Zakat dengan nama Organisasi
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
A. Pemanfaatan Dana Zakat
Satu hal yang menggembirakan bahwa potensi pemanfaatan dana zakat yang dikelola
oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) serta
potensi wakaf telah mendapat rekognisi dari otoritas perencanaan pembangunan nasional.
Hal itu tercermin dari data Kementerian PPN/Bappenas yang tertuang dalam Arsitektur
Keuangan Syariah Indonesiamengasumsikan 70 persen atau Rp 509,6 triliun sumber
keuangan syariah di Indonesia berasal dari dana zakat dan wakaf. Seperti diketahui potensi
penghimpunan zakat per tahun berdasarkan penelitian BAZNAS (2011) adalah Rp 217
triliun, sedangkan potensi wakaf khususnya wakaf uang atau wakaf tunai sebesar Rp 377
triliun per tahun.
Pembentukan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang telah diluncurkan di
Istana Negara pada 27 Juli 2017 diharapkan semakin mempercepat, memperluas, dan
memajukan pengembangan keuangan syariah dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi nasional. Dalam sistem keuangan syariah terdapat sektor sosial yaitu zakat dan
wakaf. Pengelolaan zakat dan wakaf menjadi salah satu instrumen alternatif untuk
mengatasi ketimpangan dan kemiskinan. Pengelolaan zakat di negara kita dalam dekade
terakhir mengalami peningkatan dengan menggunakan dua indikator sebagai berikut:
Pertama, pertumbuhan jumlah operator atau lembaga pengelola zakat, yaitu Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Sesuai nomenklatur resmi
lembaga pengelola zakat saat ini terdapat: 1 BAZNAS (pusat), 34 BAZNAS provinsi, 514
BAZNAS kabupaten/kota, 16 LAZ skala nasional, 7 LAZ skala provinsi, dan 11 LAZ
skala kabupaten/kota. Selain LAZ yang telah berizin atau mau mengajukan izin
operasional kepada Kementerian Agama, terdapat ratusan yayasan dan lembaga sosial
yang mengelola zakat di berbagai tingkatan.
11
Kedua, akumulasi dana zakat dan infak/sedekah yang dihimpun oleh semua operator
zakat. Mengutip Laporan BAZNAS Tahun 2016, realisasi pengumpulan ZIS (Zakat dan
Infak/Sedekah) tahun 2016 mencapai Rp 111,69 milyar, mengalami kenaikan 7,6 % dari
tahun sebelumnya 2015 yaitu Rp 74,59 milyar, dan realisasi pengumpulan zakat secara
nasional oleh semua lembaga pada tahun 2016 sebesar Rp 5,02 triliun, dibandingkan tahun
sebelumnya 2015 sebesar Rp 3,65 triliun, mengalami kenaikan sebesar 37,5 persen.
Sementara realisasi penyaluran ZIS nasional tahun 2016 sebesar Rp 2,89 triliun,
dibandingkan tahun sebelumnya 2015 Rp 2,25 triliun, mengalami kenaikan 28,4 %.
Dalam deskripsi laporan BAZNAS, strategi penyaluran ZIS dititik-beratkan pada
program pendayagunaan yang bersifat produktif 70 % dan program yang bersifat karitas,
dakwah, sosial, dan tanggap bencana sebesar 30 %. Perbandingan porsi 70 : 30 % untuk
penyaluran zakat secara produktif dan konsumtif (karitas) tidak bersifat mutlak karena
masing-masing lembaga pengelola zakat memiliki domain kebijakan sendiri dalam
menentukan prioritas penyaluran zakat yang dikelolanya. Dalam Statistik Zakat Nasional
2016 dirinci penerima manfaat zakat berdasarkan ashnaf meliputi: Fakir Miskin (89,60
%), Amil (0,15 %), Muallaf (0,16 %), Riqab (0,00 %), Gharimin (0,11 %), Sabilillah (9,72
%), dan Ibnu Sabil (0,26 %).
Pengembangan konsep Zakat Inclusion yang diluncurkan BAZNAS merupakan
langkah positif. Dalam konteks inklusi zakat, strategi penyaluran harus menyentuh sampai
ke masyarakat paling bawah sebagai upaya untuk memoderasi ketimpangan. Senyatanya
tidak semua orang miskin datang ke lembaga pengelola zakat. Karena itu tugas amil zakat
adalah menemu-kenali siapa-siapa yang berhak menerima zakat di wilayahnya.
Dari sisi pengumpulan, zakat yang dihimpun oleh badan/lembaga akan meningkat
seiring dengan literasi zakat dan kesadaran beragama semakin baik. Sementara dari sisi
penyaluran, dibutuhkan kemampuan dalam mengembangkan konsep penanggulangan
kemiskinan dan merealisasikannya di tataran praksis. Sejauh ini pemanfaatan dana zakat
telah memberi kontribusi sebagai sumber dana pembangunan infrastruktur sosial.
Infrastruktur sosial yang dimaksud adalah rumah ibadah (masjid, mushalla), sarana
kesehatan, dan sarana pendidikan.
Ketersediaan infrastruktur sosial harus senantiasa menjadi perhatian para pegiat
filantropi karena terkait dengan ketahanan hidup manusia dan pembebasan masyarakat
dari faktor penyebab kemiskinan. Hal itu sejalan dengan kerangka konseptual zakat yang
harus digunakan untuk meningkatkan taraf hidup fakir miskin. Menurut Prof. T.M. Hasbi
Ash Shiddieqy (1969) untuk mencapai tujuan dimaksud, dana zakat dapat digunakan
untuk membuka lapangan kerja baru dengan tujuan menampung fakir miskin dan
penganggur untuk beroleh kerja. Zakat dapat juga digunakan untuk membuka kursus-
kursus latihan kerja dan keterampilan bagi fakir miskin agar kesejahteraan mereka dapat
meningkat. Dengan cara demikian secara berangsur-angsur jumlah fakir miskin dapat
dikurangi.
Strategi pelayanan lembaga pengelola zakat terhadap mustahik tidak sama dengan
pelayanan terhadap muzaki yang kepentingannya hanya satu yaitu membayar zakat.
12
Sedangkan pelayanan mustahik membutuhkan empati, kepekaan, kesabaran serta
tanggungjawab moral untuk membantu perbaikan nasib mereka. Salah satu tantangan buat
para pengelola zakat dan pegiat filantropi islam adalah memastikan pencapaian tujuan
pengelolaan zakat dan mengukur indeks zakat nasional dalam penanggulangan
kemiskinan.
Menarik diperhatikan penelitian Irfan Syauqi Beik (IPB, 2011) yang menyusun
evaluasi dampak zakat dari ukuran-ukuran standar kemiskinan. Kajian Beik memasukkan
aspek spiritual dengan nama metode CIBEST (Center of Islamic Business and Economic
Studies). Saya mencatat kuadran CIBEST yang diperkenalkan Beik terbagi menjadi empat
area, yaitu area kesejahteraan, kemiskinan spiritual, kemiskinan materiil, dan kemiskinan
absolut. Dalam dimensi mikro, seperti dicatat dalam Indeks Zakat Nasional (BAZNAS,
2016) dampak zakat terhadap mustahik dapat dinilai dengan materi, ruhani, tingkat
harapan hidup, literasi, dan akses pendidikan.
Sejauh ini lembaga-lembaga yang mengelola zakat di Tanah Air telah melakukan
berbagai program dan inovasi untuk mengatasi ketimpangan infrastruktur sosial, seperti
sekolah dan layanan kesehatan untuk warga miskin atau masyarakat berpenghasilan
rendah. Pertanyaan dan diskursus yang sering mengemuka, manakah yang lebih efektif
dan efisien lembaga zakat mendirikan sekolah sendiri atau membantu murid dari keluarga
miskin dan membantu pembangunan fasilitas sekolah-sekolah terutama sekolah milik
umat yang mengalami kekurangan. Demikian pula, apakah lembaga zakat perlu
mendirikan rumah sakit yang khusus melayani warga miskin secara gratis atau membantu
mereka yang tidak mampu untuk bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan terbaik tanpa
kendala biaya. Semua opsi di atas memiliki akurasinya masing-masing sesuai tempat dan
waktu.
Penyaluran zakat tetap harus memperhatikan secara realistis perimbangan antara pola
penyaluran konsumtif untuk karitas dan produktif untuk pemberdayaan ekonomi dengan
memperhatikan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di suatu wilayah. Dalam
sebuah workshop dengan jajaran BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota di satu
daerah, salah satu peserta mengemukakan pendapatnya, sebaiknya seluruh dana zakat
disalurkan dalam bentuk program produktif supaya bisa mengentaskan kemiskinan.
Penyaluran zakat yang bersifat konsumtif tidak akan mengentaskan kemiskinan. Tak
mungkin hari ini diberi zakat, bulan depan menjadi sejahtera. Persoalan ini harus dilihat
dari sudut pandang yang lain, yaitu menyelamatkan hidup orang miskin, menyelamatkan
akidah kaum dhuafa, menyelamatkan orang miskin dari jeratan rentenir dan mencegah
mereka dari putus asa. Saudara bisa bayangkan risiko sosial yang timbul andaikata semua
lembaga zakat menghentikan layanan penyaluran zakat yang bersifat konsumtif.
Seandainya seluruh dana zakat itu disalurkan kepada program ekonomi produktif
dikhawatirkan banyak mustahik yang terabaikan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang
mendesak.
14
3. Laporan perubahan aset kelolaan
4. Laporan aruskas
5. Catatan atas laporan keuangan
Keterangan Rp Keterangan Rp
Laporan Posisi Keuangan
Aset Kewajiban
Contoh laporan keuangan Badan Amil Zakat dapat dilihat seperti berikut ini.
15
Laporan Perubahan Dana
Amil menyajikan laporan perubahan dana zakat, dana infak/sedekah, dana
amil, dan dana nonhalal. Penyajian laporan perubahan dana mencakup, tetapi
tidak
terbatas pada pos-pos berikut:
KETERANGAN Rph
DANA ZAKAT
Penerimaan
Penerimaan dari Muzakki
Muzakki Entitas Muzakki Individual Hasil xxx xxx
Penempatan xxx xxx
Jumlah penerimaan Dana Zakat
Penyaluran
Surplus/Defisit Xxx
Saldo Awal Xxx
Saldo Akhir Xxx
16
Infaq/Sedekah terikat atau xxx xxx
muqayyadah Infaq/Sedekah tidak xxx xxx
terikat atau mutlaqah Alokasi xxx
pemanfaatan asset kelolaan
KETERANGAN Rph
DANA AMIL
Penerimaan
Penggunaan
XXXX
Penyaluran dana Infaq/Sedeqah XXXX
Jumlah Kas Keluarterikat
Infaq/Sedekah dari aktivitas
atau operasi XXXX
Jumlah Arus Kas dari aktiviatas Operasi XXXX
18
LAPORAN ARUS KAS (Lanjutan)
BAZ “XXX”
Untuk Periode Yang Berakhir 31 Desember 2xx2
19
LAPORAN PERUBAHAN ASSET
KELOLAAN
BAZ
“XXX”
Saldo Akumulasi Akumulasi Saldo
Keterangan UntukPenambahan
Periode Yang Pengurangan
Berakhir 31 Desember penyusuta
Awal
2xx2 Penyisihan Akhir
n
Dana
Infaq/Sedeqa
h- Asset
Kelolaan
Lancar (Misal xxx xxx (xxx) (xxx) xxx
Piutang
Bergulir)
Dana
Infaq/Sedeqah-
Asset Kelolaan
Tidak Lancar
(Misal Rumah
Sakit atau
sekolah) xxx Xxx (xxx) (xxx) xxx
Amil menyajikan catatan atas laporan keuangan sesuai dengan PSAK 101: Penya- jian Laporan Keuangan
Syariah dan PSAK yang relevan
20
2.7 Definisi Waqaf
Kata “Wakaf” atau “Waqf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata
“Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau tetap
berdiri”. Kata “Waqafa-Yuqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa Yahbisu-
Tahbisan”. Menurut arti bahasanya, waqafa berarti menahan atau mencegah,
misalnya “ و اsaya menahan diri dari berjalan” Pengertian menghentikan ini. Jika
dikaitkan dengan waqaf dalam
istilah ilmu Tajwid, ialah tanda berhenti dalam bacaan Al-Qur’an. Begitu pula bila
dihubungkan dalam masalah ibadah haji, yaitu wuquf, berarti berdiam diri atau
bertahan di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Jenis wakaf ini dijelaskan dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yang
menceritakan tentang wakaf sahabat Umar Bin Khatab. Beliau memberikan
hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan
hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada
umum dengan tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek
untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.
Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan social, pendidikan,
kesehatan, pertahanan, keamanan, dan lainnya sepenjang tidak menyalahi
aturan syariah dan wakaf. Wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya
dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak
yang dapat mengambil manfaat darinya. Dan jenis wakaf inilah yang
sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara
umum.
1
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Nurul; Anggraini, Desti; Rini, Nova; Hudori; Mardoni, Yosi. 2014. Akuntabilitas
Sebagai Sebuah Solusi Pengelolaan Wakaf. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, JAMAL,
Volume 5 Nomor 3 Halaman 345-510, pISSN 2086-7603, eISSN 2089-5879
Nasar, M. Fuad. 2017. Zakat dan Wakaf Membangun Infrastruktur Sosial Alumni YISC Al-
Azhar dan Pascasarjana UGM, Pengurus dan Wakil Sekretaris BAZNAS 2004 – 2015
Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2015. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
P, Ari Kristin dan Umah, Umi Khoirul. 2011. Penerapan Akuntansi Zakat pada Lembaga Amil
Zakat (Studi pada LAZ DPU DT cabang Semarang). IAIN Walisongo Semarang ,
VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011
Rusydiana, Aam S. & Devi, Abrista. 2017. Analisis Pengelolaan Dana Wakaf Uang di
Indonesia: Pendekatan Metode Analytic Network Process (ANP). Jurnal Wakaf dan
Ekonomi Islam Volume 10 No. 2 Edisi Desember, Hal: 115 – 133, ISSN 2085-0824