Anda di halaman 1dari 59

PEDAGANG BESAR FARMASI (PBF)

INDUSTRI FARMASI

UU & ETIKA KESEHATAN


SEM 4 T.A. 2018/2019
AKADEMI FARMASI YPF
Citra Dewi Salasanti, M.Si., Apt.
PBF
 PeraturanMenteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 34 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No
1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 30 Tahun
2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan
No 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar
Farmasi
PBF
 Pedagang Besar Farmasi (PBF) : perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan
 PBF Cabang : cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk
melakukan pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau
bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
 Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) : cara distribusi/
penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan untuk
memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran sesuai
persyaratan dan tujuan penggunaannya
PBF
 Setiap pendirian PBF wajib memiliki izin dari Direktur
Jenderal
 Setiap PBF dapat mendirikan PBF Cabang yang wajib
memperoleh pengakuan dari Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi di wilayah PBF Cabang berada
 Izin PBF berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
selama memenuhi persyaratan
 Pengakuan PBF Cabang berlaku mengikuti jangka waktu izin
PBF
Izin PBF
 Berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi;
 Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
 Memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia
sebagai penanggung jawab;
 Komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak
pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung dalam
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir
Persyaratan Izin PBF :
 Bangunan dan sarana memenuhi syarat dan memadai untuk dapat
melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat serta dapat
menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi PBF
 Gudang sebagai tempat penyimpanan dengan perlengkapan yang dapat
menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan;
 Memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah dari ruangan lain sesuai
CDOB
 Memiliki laboratorium yang mempunyai kemampuan untuk pengujian bahan
obat yang disalurkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktur Jenderal;
 Memiliki gudang khusus tempat penyimpanan bahan obat yang terpisah dari
ruangan lain
Persyaratan Administrasi Izin PBF :
 Pemohon harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
dan Kepala Balai POM dengan menggunakan contoh Formulir 1 yang
ditandatangani oleh direktur/ketua dan apoteker calon penanggung
jawab;
 Fc KTP/identitas direktur/ketua;
 Susunan direksi/pengurus;
 Pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak
pernah terlibat pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang
farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
 Akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
Persyaratan Administrasi Izin PBF :
 Surat Tanda Daftar Perusahaan;
 Fc Surat Izin Usaha Perdagangan;
 Fc Nomor Pokok Wajib Pajak;
 Surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
 Peta lokasi dan denah bangunan
 Surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung
jawab;
 Fc Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung jawab
 Surat bukti penguasaan laboratorium dan daftar peralatan (bahan obat)
Persyaratan Administrasi Izin
PBF Cabang:
 Pemohon harus mengajukan permohonan kepada kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal, Kepala Balai POM, dan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan
contoh Formulir 6 yang ditandatangani oleh Kepala PBF
Cabang dan apoteker calon penanggung jawab;
 Fc KTP/identitas Kepala PBF Cabang;
 Fc PBF yang dilegalisasi oleh Direktur Jenderal;
 Surat penunjukan sebagai kepala PBF Cabang;
Persyaratan Administrasi Izin
PBF Cabang (lanjutan):
 Pernyataan kepala PBF Cabang tidak pernah terlibat pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun
waktu 2 (dua) tahun terakhir;
 Surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker calon
penanggung jawab;
 Surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;

 Peta lokasi dan denah bangunan;

 Fc Surat Tanda Registrasi Apoteker calon penanggung jawab;

 Surat bukti penguasaan laboratorium dan daftar peralatan (bahan obat)


Izin PBF dinyatakan tidak berlaku

• Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang;


• Dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan; atau
• Izin PBF dicabut

Pengakuan Cabang PBF dinyatakan tidak berlaku

• Masa berlaku Izin PBF habis dan tidak diperpanjang;


• Dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan; atau
• Pengakuan dicabut
Perubahan nama dan/atau alamat PBF serta perubahan lingkup
kegiatan penyaluran obat atau bahan obat  wajib dilakukan
pembaharuan izin PBF

Perubahan izin PBF dan/atau alamat PBF Cabang  wajib dilakukan


pembaharuan pengakuan PBF Cabang
 PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan
menyalurkan obat dan/atau bahan obat yang memenuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri
 PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri
farmasi dan/atau sesama PBF
 PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari
industri farmasi, sesama PBF dan/atau melalui importasi
 Pengadaan bahan obat melalui importasi dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan
 PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat
dan/atau bahan obat dari PBF pusat atau PBF Cabang lain yang
ditunjuk oleh PBF pusatnya
 PBF dan PBF Cabang dalam melaksanakan pengadaan obat atau
bahan obat harus berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani
apoteker penanggung jawab dengan mencantumkan nomor SIPA
 Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker
penanggung jawab
 Apoteker penanggung jawab harus memiliki izin sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan
 Apoteker penanggung jawab dilarang merangkap
jabatan sebagai direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang
 Apoteker penanggung jawab tidak dapat melaksanakan
tugas  menunjuk apoteker pengganti : bertugas
paling lama untuk waktu 3 (tiga) bulan 
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
kepala dinas kesehatan provinsi setempat dengan
tembusan Kepala Balai POM
 PBF dan PBF Cabang harus melaksanakan pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat sesuai
dengan CDOB  dilakukan sesuai pedoman teknis CDOB
yang ditetapkan oleh Kepala Badan
 PBF dan PBF Cabang yang telah menerapkan CDOB 
sertifikat CDOB oleh Kepala Badan
 PBF atau PBF Cabang wajib melaksanakan dokumentasi
sesuai pedoman CDOB  dapat dilakukan secara
elektronik & harus dapat diperiksa oleh petugas yang
berwenang
 PBF dan PBF Cabang dilarang menjual obat atau bahan
obat secara eceran & menerima dan/atau melayani
resep dokter
 PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat kepada
PBF atau PBF Cabang lain, dan fasilitas pelayanan kefarmasian
[apotek, IFRS, puskesmas, klinik, atau toko obat (bukan obat
keras kepada toko obat)
 Untuk memenuhi kebutuhan pemerintah : PBF dan PBF
Cabang dapat menyalurkan obat dan bahan obat kepada instansi
pemerintah yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
 PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di
daerah provinsi sesuai dengan surat pengakuannya
(kecuali untuk dan atas nama PBF pusat yang dibuktikan
dengan Surat Penugasan/ Penunjukan - hanya untuk 1
(satu) daerah provinsi terdekat yang dituju dengan jangka
waktu selama 1 (satu) bulan)
 PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat
berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker
pemegang SIA, apoteker penanggung jawab, atau tenaga teknis
kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat dengan
mencantumkan nomor SIPA atau SIPTTK (kecuali penyaluran
obat berdasarkan pembelian secara elektronik (E-
Purchasing))
 PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan bahan obat
kepada industri farmasi, PBF dan PBF Cabang lain, apotek, IFRS
dan lembaga ilmu pengetahuan  berdasarkan surat pesanan
yang ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker
penanggung jawab, kecuali surat pesanan untuk lembaga ilmu
pengetahuan ditandatangani oleh pimpinan lembaga
 PBF dan PBF Cabang yang melakukan pengadaan,
penyimpanan, dan penyaluran narkotika wajib memiliki
izin khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
 PBF atau PBF Cabang yang melakukan pengubahan
kemasan bahan obat dari kemasan atau pengemasan
kembali bahan obat dari kemasan aslinya  wajib
melakukan pengujian laboratorium & memiliki ruang
pengemasan ulang sesuai persyaratan CDOB
 PBF mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan dan
pelatihan
 PBF dan cabangnya wajib menyampaikan laporan kegiatan
setiap 3 (tiga) bulan sekali meliputi kegiatan penerimaan
dan penyaluran obat dan/atau bahan obat kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM
 PBF dan PBF Cabang yang menyalurkan narkotika dan
psikotropika wajib menyampaikan laporan bulanan
penyaluran narkotika dan psikotropika
Industri Farmasi
Industri Farmasi
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 006 Tahun 2012
tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 16 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 17 Tahun 2017
tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat
Kesehatan
 Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia No.
HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan
Farmakovigilans bagi Industri Farmasi
Industri Farmasi
 Industri Farmasi : badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan
obat
 Pembuatan obat : seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan
obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas,
produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu
sampai diperoleh obat untuk didistribusikan
 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) : cara pembuatan obat
yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan
sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaannya
Industri Farmasi
 Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan
oleh Industri Farmasi
 Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat untuk:
 Semua tahapan; dan/atau
 Sebagian tahapan (berdasarkan penelitian dan pengembangan yang
menyangkut produk sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi)
 Pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi
dari Direktur Jenderal, (golongan narkotika wajib memperoleh
izin khusus untuk memproduksi narkotika sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan)
Izin Industri Farmasi

 Persetujuan Prinsip (berlaku 3 tahun; perpanjang max untuk 1 tahun) 


persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, dan instalasi
peralatan, termasuk produksi percobaan
 Persetujuan prinsip batal demi hukum  setelah jangka waktu 3 (tiga)
tahun dan/atau setelah jangka waktu 1 (satu) tahun perpanjangan,
pemohon belum menyelesaikan pembangunan fisik
 Memenuhi tata ruang dan lingkungan hidup

 Memenuhi persyaratan CPOB  sertifikat CPOB (berlaku 5 tahun)


Persetujuan Prinsip
 Diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
 Surat Persetujuan Penanaman Modal (Industri Penanaman Modal Asing atau Penanaman
Modal Dalam Negeri)
 Kelengkapan administrasi :

 Fc akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
 Fc Kartu Tanda Penduduk/identitas direksi dan komisaris perusahaan;

 Susunan direksi dan komisaris;

 Pernyataan direksi dan komisaris tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan


perundang-undangan di bidang farmasi;
 Fc sertifikat tanah/bukti kepemilikan tanah;

 Fc Surat Izin Tempat Usaha berdasarkan Undang-Undang Gangguan (HO);


Persetujuan Prinsip
 Kelengkapan administrasi (lanjutan):
 Fc Surat Tanda Daftar Perusahaan;
 Fc Surat Izin Usaha Perdagangan;
 Fc Nomor Pokok Wajib Pajak;
 Persetujuan lokasi dari pemerintah daerah provinsi;
 Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan;
 Rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
 Asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing–masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
 Fc surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan
Syarat Izin Industri Farmasi
 Berbadan usaha berupa perseroan terbatas (kecuali milik Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia);
 Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat (kecuali milik
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia);
 Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

 Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker


berkewarganegaraan WNI sebagai penanggung jawab pada pemastian
mutu, produksi, dan pengawasan mutu;
 Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
kefarmasian
Syarat Administasi
Izin Industri Farmasi
 Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh direktur
utama dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu
 Kelengkapan :
 Fc persetujuan prinsip Industri Farmasi;
 Surat Persetujuan Penanaman Modal untuk Industri Farmasi dalam rangka
Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri;
 Daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan;
 Jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya;
 Fc sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan
/Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
 Rekomendasi kelengkapan administratif izin industri farmasi dari kepala dinas
kesehatan provinsi;
 Rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala Badan;
Syarat Administasi
Izin Industri Farmasi
 Kelengkapan (lanjutan):
 Rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala Badan;
 Daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir;
 Asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing apoteker penanggung
jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung
jawab pemastian mutu;
 Fc surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker
penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu
dari pimpinan perusahaan;
 Fc ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dari masingmasing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu; dan
 Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak
langsung dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang kefarmasian
Izin Industri Farmasi
 Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya selama Industri Farmasi yang
bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan
 Industri Farmasi  perubahan bermakna terhadap pemenuhan
persyaratan CPOB (perubahan kapasitas dan/atau fasilitas produksi)  wajib
melapor dan mendapat persetujuan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan
 Perubahan terhadap akte pendirian perseroan terbatas  dilaporkan
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala
dinas kesehatan provinsi
 Perubahan Izin Industri Farmasi : perubahan alamat di lokasi yang sama atau
perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan penanggung jawab, atau nama
industri
Pembaharuan Izin Industri Farmasi
 Surat permohonan pembaharuan izin industri farmasi harus
ditandatangani oleh direktur utama dan apoteker penanggung jawab
pemastian mutu
 Kelengkapan:
 Surat izin industri farmasi sebelumnya yang asli;
 Fc sertifikat CPOB berdasarkan bentuk sediaan;
 Daftar kapasitas produksi pertahun dan bentuk sediaan yang diproduksi;
 Surat persetujuan penanaman modal untuk Industri Farmasi dalam rangka
Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri;
 Daftar peralatan dan mesin yang digunakan;
 Daftar dan jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya;
 Fc sertifikat izin lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
 Fc Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
Pembaharuan Izin Industri Farmasi
 Kelengkapan (lanjutan):
 Rekomendasi pembaharuan izin dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi;
 Daftar pustaka wajib antara lain Farmakope Indonesia edisi terakhir;
 Surat pernyataan yang asli mengenai kesediaan bekerja penuh dari masing-
masing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
 Fc surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab
produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan;
 Fc ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dari masing-masing
apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
 Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat baik langsung
atau tidak langsung dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang
kefarmasian
Farmakovigilans
 Pemantauan dan pelaporan mengenai:

 Aspek keamanan obat dalam rangka deteksi, penilaian, pemahaman, dan pencegahan
efek samping atau masalah lain terkait dengan penggunaan
 Perubahan profil manfaat-risiko obat; dan/atau

 Aspek mutu yang berpengaruh terhadap keamanan obat

 Wajib dilakukan industri farmasi

 Industri Farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil produksinya yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan
mutu  wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan
 Pedoman teknis penerapan farmakovigilans bagi industri farmasi  Lampiran Kepala
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.23.12.11.10690
Tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans bagi Industri Farmasi
Farmakovigilans
 Pelaporan spontan (spontaneous reporting);
 kejadian tidak diinginkan serius dan non-serius pada penggunaan obat
termasuk vaksin  kematian; keadaan yang mengancam jiwa; pasien
memerlukan perawatan rumah sakit; perpanjangan waktu perawatan
rumah sakit; cacat tetap; kelainan kongenital; dan/atau kejadian medis
penting lainnya
 Pelaporan berkala pasca pemasaran (periodic safety update report);
 Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran;
 Pelaporan publikasi/literatur ilmiah;
 Pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain;
 Pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain; dan/atau
 Pelaporan dari perencanaan manajemen risiko
Radiofarmaka
 Senyawa kimia yang mengandung atom radioaktif dalam
strukturnya dan digunakan untuk diagnosis atau terapi.
 Industri Farmasi dan/atau lembaga setelah mendapat
pertimbangan dari lembaga yang berwenang di bidang atom
 Memenuhi persyaratan CPOB
Fungsi Industri Farmasi
 Pembuatan obat dan/atau bahan obat;
 Pendidikan dan pelatihan; dan
 Penelitian dan pengembangan
Distribusi Hasil Produksi
Industri Farmasi
 Obat  pedagang besar farmasi, apotek, IFRS, Puskesmas,
klinik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
 Bahan obat  pedagang besar bahan baku farmasi, dan
instalasi farmasi rumah sakit sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Kontrak Produksi Obat
 Industri Farmasi penerima kontrak yang telah menerapkan CPOB
 Industri Farmasi pemberi kontrak wajib memiliki izin industri
farmasi dan paling sedikit memiliki 1 (satu) fasilitas produksi
sediaan yang telah memenuhi persyaratan CPOB
 Industri Farmasi pemberi kontrak dan Industri Farmasi penerima
kontrak bertanggung jawab terhadap keamanan, khasiat/
kemanfaatan, dan mutu obat
 Industri Farmasi dapat melakukan perjanjian dengan perorangan
atau badan usaha yang memiliki hak kekayaan intelektual di
bidang obat dan/atau bahan obat untuk membuat obat
dan/atau bahan obat  izin edar obat yang diperjanjikan
dimiliki oleh Industri Farmasi
Industri dan Usaha Obat Tradisional
 Obat Tradisional : bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan
dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
 Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) : seluruh aspek kegiatan
pembuatan obat tradisional yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang
dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan
tujuan penggunaannya
 Industri Obat Tradisional (IOT) : industri yang membuat semua bentuk sediaan
obat tradisional
 Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) : industri yang khusus membuat sediaan
dalam bentuk ekstrak sebagai produk akhir
Industri dan Usaha Obat Tradisional
 Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) : usaha yang membuat semua bentuk
sediaan obat tradisional, kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesen
 Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) : usaha yang hanya membuat sediaan
obat tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan
 Usaha Jamu Racikan : usaha yang dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya
yang dimiliki perorangan dengan melakukan pencampuran sediaan jadi dan/atau
sediaan segar obat tradisional untuk dijajakan langsung kepada konsumen
 Usaha Jamu Gendong : usaha yang dilakukan oleh perorangan dengan
menggunakan bahan obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar
dengan tujuan untuk dijajakan langsung kepada konsumen
Industri dan Usaha Obat Tradisional
 IOT  kegiatan proses pembuatan obat tradisional untuk:
 Semua tahapan; dan/atau
 Sebagian tahapan (harus mendapat persetujuan dari Kepala Badan)
 IOT dan IEBA  hanya dapat diselenggarakan oleh badan hukum berbentuk
perseroan terbatas atau koperasi
 UKOT  hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha yang memiliki izin
usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
 UMOT  hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha perorangan yang
memiliki izin usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
 Pendirian IOT dan IEBA : di lokasi yang bebas pencemaran dan tidak
mencemari lingkungan
 Setiap industri dan usaha di bidang obat tradisional wajib memiliki izin dari
Menteri, kecuali usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan
Izin Industri dan Usaha Obat Tradisional
 Berlaku seterusnya selama industri dan usaha obat tradisional
yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan
 Delegasi kewenangan pemberian izin
 IOT dan IEBA  Direktur Jenderal
 UKOT  Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
 UMOT  Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
 Untuk memperoleh izin pendirian IOT dan IEBA diperlukan
persetujuan prinsip yang diberikan oleh Direktur Jenderal
Persetujuan Prinsip
Industri dan Usaha Obat Tradisional
 Diberikan kepada pemohon untuk dapat melakukan
persiapan-persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan,
pemasangan/ instalasi peralatan dan lain-lain yang diperlukan
pada lokasi yang disetujui
 Berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat
diperpanjang paling lama untuk 1 (satu) tahun
 Persetujuan prinsip batal dengan sendirinya  dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun atau melampaui jangka waktu
perpanjangannya pemohon tidak melaksanakan kegiatan
pembangunan secara fisik
Persyaratan Persetujuan Prinsip
Industri dan Usaha Obat Tradisional
 Surat permohonan;
 Fc akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
 Susunan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas;
 Fc KTP/Identitas Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas;
 Pernyataan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas tidak pernah terlibat pelanggaran
peraturan perundang-undangan di bidang farmasi;
 Fc bukti penguasaan tanah dan bangunan;
 Fc Surat Izin Tempat Usaha;
 Surat Tanda Daftar Perusahaan;
 Fc Surat Izin Usaha Perdagangan;
 Fc Nomor Pokok Wajib Pajak;
 Persetujuan lokasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
 Rencana Induk Pembangunan (RIP) yang mengacu pada pemenuhan CPOTB dan disetujui Kepala
Badan;
 Asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari Apoteker penanggung jawab;
 Fc surat pengangkatan Apoteker penanggung jawab dari pimpinan perusahaan;
 Fc Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA);
 Jadwal rencana pendirian bangunan industri dan pemasangan mesin/peralatan
Persyaratan Izin IOT dan Izin IEBA
 Surat permohonan;
 Persetujuan prinsip;
 Daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan;
 Daftar jumlah tenaga kerja beserta tempat penugasannya;
 Diagram/alur proses produksi masing-masing bentuk sediaan obat
tradisional dan ekstrak yang akan dibuat;
 Fc sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup/Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup;
 Rekomendasi pemenuhan CPOTB dari Kepala Badan dengan
melampirkan Berita Acara Pemeriksaan dari Kepala Balai
setempat; dan
 Rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Persyaratan Izin UKOT
 Surat permohonan;
 Fc akta pendirian badan usaha yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
 Susunan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas;
 Fc KTP/Identitas Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas;
 Pernyataan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas tidak pernah
terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi;
 Fc bukti penguasaan tanah dan bangunan;
 Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup
(SPPL);
 Surat Tanda Daftar Perusahaan;
 Fc Surat Izin Usaha Perdagangan;
 Fc Nomor Pokok Wajib Pajak;
Persyaratan Izin UKOT (lanjutan)
 Persetujuan lokasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
 Asli Surat Pernyataan kesediaan bekerja penuh dari Tenaga Teknis
Kefarmasian sebagai penanggung jawab;
 Fc surat pengangkatan penanggung jawab dari pimpinan
perusahaan;
 Fc Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian;
 Daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan;
 Diagram/alur proses produksi masing-masing bentuk sediaan obat
tradisional yang akan dibuat;
 Daftar jumlah tenaga kerja dan tempat penugasannya;
 Rekomendasi dari Kepala Balai setempat; dan
 Rekomendasi dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
UKOT
 UKOT memproduksi bentuk sediaan kapsul dan/atau cairan
obat dalam
 Memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab yang bekerja
penuh;
 Memenuhi persyaratan CPOTB (sertifikat CPOTB)
Persyaratan Izin UMOT
 Surat permohonan;
 Fc akta pendirian badan usaha perorangan yang sah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
 Susunan Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas dalam hal permohonan
bukan perseorangan;
 Fc KTP/identitas pemohon dan/atau Direksi/Pengurus dan Komisaris/Badan Pengawas;
 Pernyataan pemohon dan/atau Direksi/Pengurus dan
 Komisaris/Badan Pengawas tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-
undangan di bidang farmasi;
 Fc bukti penguasaan tanah dan bangunan;
 Surat Tanda Daftar Perusahaan dalam hal permohonan bukan perseorangan;
 Fc Surat Izin Usaha Perdagangan dalam hal permohonan bukan perseorangan;
 Fc Nomor Pokok Wajib Pajak;
 Fc Surat Keterangan Domisili
 Industri dan usaha obat tradisional berkewajiban:
 Menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk obat
tradisional yang dihasilkan;
 Melakukan penarikan produk obat tradisional yang tidak memenuhi
ketentuan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu dari peredaran;
 Memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang
berlaku
 Setiap IOT dan IEBA wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu)
orang Apoteker WNI sebagai Penanggung Jawab
 Setiap UKOT wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
Tenaga Teknis Kefarmasian Warga Negara Indonesia sebagai
Penanggung Jawab yang memiliki sertifikat pelatihan CPOTB
 Pembuatan obat tradisional wajib memenuhi pedoman CPOTB
 Setiap industri dan usaha obat tradisional dilarang membuat:
 Segala jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia hasil
isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat;
 Obat tradisional dalam bentuk intravaginal, tetes mata, sediaan
parenteral, supositoria kecuali untuk wasir; dan/atau
 Obat tradisional dalam bentuk cairan obat dalam yang
mengandung etanol dengan kadar lebih dari 1% (satu persen)
Produksi Produk Kontrak
 IOT, UKOT, atau UMOT dapat membuat obat tradisional secara
kontrak kepada IOT atau UKOT lain yang telah menerapkan
CPOTB
 Izin edar obat tradisional yang dibuat secara kontrak dipegang oleh
pemberi kontrak
 IOT, UKOT, atau UMOT pemberi kontrak dan IOT atau UKOT
penerima kontrak bertanggung jawab terhadap keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu obat tradisional
 IOT, UKOT, atau UMOT dapat melakukan perjanjian dengan
perorangan atau badan usaha yang memiliki hak kekayaan intelektual
di bidang obat tradisional untuk membuat obat tradisional  ketentuan
bahwa izin edar obat tradisional yang diperjanjikan
dimiliki oleh IOT, UKOT atau UMOT
Tugas
 Sebutkan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang industri kosmetik!
 Apa yang dimaksud dengan industri kosmetik?
 Jelaskan kelas atau klasifikasi industri kosmetik!

Anda mungkin juga menyukai