Anda di halaman 1dari 25

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.

16, Nomor 6, Nopember 2010

“Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan


Kurikulum Sekolah di Indonesia

Hermana Somantrie
Pusat Kurikulum, Balitbang, Depdiknas
Email: hsomantr@hotmail.com/hsomantr@puskur.net

Abstrak: Konsep kompetensi telah digunakan dalam kurikulum sekolah di Indonesia pada awal abad
ke-21. Kompetensi mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Integrasi kompetensi melalui
kurikulum telah memberikan perspektif baru dalam pendidikan di Indonesia. Kurikulum semacam ini
dinamakan dengan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Secara tradisional, kurikulum di Indonesia
diberikan label sesuai dengan tahun pemberlakuannya, seperti Kurikulum 1975 diberlakukan tahun 1975,
begitu pula Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2004.

Kata kunci: kompetensi; pengetahuan, sikap, keterampilan; dan kurikulum berbasis kompetensi.

Abstract: The concept of “competency” has been applied in school’s curriculum in Indonesia in the early
of twenty-first century. Competency includes knowledge, attitude, and skills. The integration of competency
through curriculum has given a new perspective in education world of Indonesia. Such curriculum is
labelled specifically as “Competency-Based Curriculum” or (in Bahasa Indonesia) is “Kurikulum Berbasis
Kompetensi”. Traditionally, curriculum has always been labelled by the year of its promulgation.
For example, the 1975 Curriculum was promulgated in 1975. This kind of curriculum labelling was
also applied to the 1984 Curriculum and the 1994 Curriculum.

Key words: competency, knowledge, attitude, skills, and competencies based curriculum

Pendahuluan secara konseptual maupun secara praktikal. Hal


Menyadari betapa pentingnya kompetensi bagi itu ditemukan dan disimpulkan dari hasil penga-
gene rasi muda bang sa Indone sia, Pemerint ah m at an Pe nu l is se nd i ri d a la m b er b ag ai fo r um
[dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional] pertemuan selama empat tahun terakhir sejak
telah meluncurkan kurikulum berbasis kompetensi tahun 2006 dalam berbagai workshop, seminar,
(KBK) sebagai salah satu unsur kebijakan yang dan layanan professional dengan seluruh unsur
perlu diwujudkan dalam pembaharuan pendidikan p em ang k u k ep en tin g an d i tin g k at p ro v ins i,
di Indonesia. Gagasan KBK itu sendiri telah diper- kabupaten/kota, dan sekolah. Jadi, bagaimana
k e na lk an s ej a k t ah un 2 0 0 0 k e p ad a p ub li k mungkin KBK dapat dilaksanakan secara optimal
Indonesia, terutama para pemangku kepentingan ap abi la ko nsep ko mp ete nsi it u sendi r i bel um
p end id ik an. S eb a g a im an a d i k e t a hui b a hw a dipahami terutama oleh para pengawas, kepala
pengembangan dan pelaksanaan KBK merupakan sekolah, dan guru.
amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Atas dasar itu, penulisan artikel ini bertujuan
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Amanat ini un tu k m e ny aj ik an b ua h p e m i k ir a n m e l alu i
selengkapnya terdapat dalam Pe njelasan Atas pengkajian atau pembedahan konsep kompetensi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sebagaimana yang praksisnya memuat penge-
Sistem Pendidikan Nasio nal yang menyatakan t a hua n , s i ka p , d a n ke t e r a m p i l an . M e n g i ng at
b ahw a strateg i p em b ang un an p end id ik a n kompetensi telah menjadi landasan konseptual
nasional dilaksanakan antara lain melalui “pengem- kebijakan kurikulum, pemikiran ini diharapkan
b a ng a n d a n pe l a ksa n aa n k ur i kul u m be r b as i s dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi
kompetensi”. seluruh pemangku kepentingan pendidikan dalam
Permasalahan muncul ketika banyak diantara r a n g k a p e n i n g k at a n k u a li t a s p e nd id i k a n d i
p ara p em ang k u k ep e nting a n p end id ik an d i Indonesia. Melalui kurikulum yang berbasis pada
berbagai level belum memahami kompetensi, baik kompetensi dan guru yang kompeten dalam me-

684 684
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

ngajar, p endidi kan di Indo nesia dapat meng- penuhi oleh seseorang sebelum melakukan suatu
hasilkan generasi muda bangsa Indonesia yang p ek e rj aa n. J ad i d ala m hal i n i, k o m p e te nsi
mandiri, berdaya saing, dan berperadaban unggul m er up ak an s es ua t u y an g ha ru s terp e n uhi
dalam konteks kehidupan lokal, nasional, dan sebelum sesuatu yang lain terjadi (antecedent).
global. Konstel asi hal te rseb ut dap at dite laah dalam
Ilustrasi 1 sebagai berikut:

Ilustrasi 1. Kompetensi sebagai Antecedent Kinerja.

Sumber: Hermana Somantrie, 2010.

Kajian Literatur dan Bahasan Konstelasi tersebut mendeskripsikan bahwa


Pentingnya Kompetensi Bagi Kehidupan se seo r ang d a p at d ik a ta k a n te la h m e nj ad i
Manusia kompeten (competent) dalam pekerjaan tertentu
Dalam perjalanan dan perkembangan hidupnya apabila kompetensi yang terdapat dalam dirinya
di permukaan bumi, setiap individu manusia akan dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan konteks
m e m er lu k a n b e rb ag ai k o m p etensi un t uk pekerjaan untuk meraih kine rja yang o ptimal
mewujudkan cita-cita hidupnya. Manusia yang (optimum performance). Atas dasar itu, orang
bekerja sebagai petani, pedagang, pengusaha, t e r se b u t b e r h a s i l m e m e n u h i a t a u m e n c a p a i
guru, hakim, dosen, tentara, polisi, jaksa, pilot, kepuasan dalam pekerjaannya.
dokter, buruh, dan lain sebagainya pasti harus Untuk memiliki kompetensi, seseorang perlu
m e m i li k i k o m p ete ns i a g a r m er ek a m e n ja d i mempelajarinya baik dalam jangka pendek mau-
“kompeten” dalam bidang kerja tersebut. Makna pun dalam jangka panjang. Menurut McClelland
“kompeten” adalah seseorang atau orang-orang (1973), competency can be learned and developed
yang dalam pekerjaannya berbasis pada kompe- o ve r t i m e. P ad a d as ar nya , ko m pe te nsi yang
tensi dengan tingkat aplikasi yang optimal untuk dimiliki seseorang bukan pembawaan atau tidak
meraih tingkat kinerja yang berkualitas. Dengan melekat dan/atau tidak dibawa sejak ia dilahirkan.
kata lain, orang yang sudah menunjukkan kinerja Ol eh karena it u, kompe te nsi har us di pel ajari
y a ng o p tim al ad a l a h m e re k a y ang sud ah terlebih dahulu pada kurun waktu tertent u di
kompeten dalam pekerjaan tersebut karena dalam d al am m as a k e hi d u p a nn y a ( li fe sp an ) y an g
pekerjaannya berbasis pada kompetensi. terangkai secara continuum mulai dari sejak lahir
Kompete nsi (compete nce o r compet ency) ke muka bumi, masa kecil, masa belajar, masa
mempunyai makna dan cakupan yang cukup luas. bekerja, dan masa tua sampai dengan berakhir-
B an ya k o ra ng s e ri ngk a l i m en af si r ka n s e c ar a nya usia ke hidup an orang ter seb ut. Li fe span
se m p it b ah w a k o m p ete ns i b erm ak na s a m a manusia yang terkait dengan kompetensi dapat
dengan pekerjaan (occupation). Secara filosofis, dilihat dalam Ilustrasi 2 di bawah ini.
kompetensi tidak sama dengan pekerjaan. Bahwa Lifespan, menurut Robins et. al. (2002) is the
kompetensi dan pekerjaan memiliki keterkaitan phase of life (childhood, adolescence, adulthood, and
yang sangat erat, memang demikian hakikatnya. old age). Selanjutnya, lifespan seseorang akan
Kompetensi dalam konteks ini lebih cenderung ditentukan oleh life expectancy, yaitu jumlah rata-
merupakan prasyarat tertentu yang harus di- r a t a h ar a p a n h i d u p s e s e o r a n g d a l a m s u a t u

685 685
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Ilustrasi 2. Rangkaian Lifespan Manusia dalam Konteks Kompetensi.

Sumber : Hermana Somantrie, 2010.

kelompok bangsa atau etnik. Menurut National Ilustrasi 3 tersebut menunjukkan grafik data
Institute on Aging – NIA (2006) bahwa life expec- bahwa rata-rata harapan hidup orang Amerika
tancy is the average number of years a person can Serikat mengalami peningkatan secara evolutif
expect to live. Life expectancy at birth in the United sekitar 29 tahun dalam kurun waktu 100 tahun
States from 1900 to 2000 is shown in the following terakhir. Peningkatan tersebut tampak dari tahun
graphic. 1900 sekitar 47 tahunan dan tahun 2000 sekitar

Ilustrasi 3. Grafik Life Expectancy at Birth in the United States 1900 – 2000"

Sumber: National Institute on Aging – NIA (2006).

686 686
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

76 tahunan. Kondisi terakhir ini tidak terlalu jauh application of many different capacities; (4) the
berbe da de ngan harapan hi dup di Indonesia, integration and application of capacities that underlie
sebab menurut World Bank (2009) bahwa the
average of Indonesian life expectancy is 70’s.
Jelasnya bahwa rata-rata harapan hidup orang
In d o n e s i a a d a l a h s a m p ai d e n g a n s e ki t ar 7 0
tahunan.

Tipologi Kompetensi
Penerapan istilah dan konsep kompetensi bisa
be rlaku di semua bi dang kehi dupan manusia
termasuk bidang pendidikan. Kompetensi secara
histo ris telah muncul dan menjadi kebutuhan
dalam pendidikan sebagai konsekuensi utama
dari pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang
se ma kin ko mpet it if di Ame rik a Se ri kat se jak
pert engahan abad ke -19. Le bih j elasnya, hal
tersebut ditegaskan oleh Cohen (1980) bahwa
the ten decades between the 1830s and the 1930s
saw remarkable economic growth and a flowering of
the compet itive e thnics in American life. The
consequence of this competition is to improve the
attainment of basic competency by students, not to
e st ab li sh a n e w c o nd i t io n fo r p ro m o t io n o r
graduation. Competent students are those who do
better than other students or than required by the
criterion.
Meskipun banyak pengertian umum kompe-
tensi telah dijelaskan oleh para ahli yang ditulis
dalam berbagai buku ilmiah, namun dalam kesem-
patan ini hanya akan di kemukakan beb erapa
pengertian kompe tensi yang dianggap sangat
re le van. Me nu rut Sp e nc er & S pe nce r ( 19 9 3)
bahwa a competency is an underlying characteristic
of an individual that is causally related to criterion-
refferenced effective and/or superior performance in
a jo b or situatio n. Sedangkan, Spady (1980)
menjelaskan bahwa competencies are indicators of
succe ssful pe rfo rmance i n li fe-ro le acti viti es.
Competencies involve the ability to create effective
results in one’s life. Selanjutnya, Spady (1980)
menguraikan elemen-elemen kompetensi, yaitu
bahwa (1) the focus and context of competencies
are real life and various roles; (2) life-role success
fundamentally requires coping with the everchanging
realities of social conditions; (3) competencies are
formed through the highly complex integration and

687 687
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

competency clearly reflect cognitive, skilsl, affective Di bidang manajemen, “the Restaurant and
capacities; and (5) competencies ultimately require Institutional Educators 2004 Annual Conference and
role performance, not just the acquisition of skills, Exposition” di Philadelphia, PA (O’Brien, 2004)
knowledge, or attitude.
Kompetensi sebagai suatu konsep himpunan
kecakapan atau kemampuan terdiri atas penge-
t a hu a n , ke t e r a m p i l a n , d a n s i ka p . B e r ka i t a n
dengan hal itu telah memunculkan banyak per-
tanyaan pragmatik dan teoritik mengenai definisi
dan/atau makna kompetensi. McClelland (1973)
mempertegas bahwa competency comprises of
kn owl e d ge , s ki ll , and at tit ud e. Seb aga ima na
diketahui bahwa David McClelland merupakan ahli
yang memperkenalkan konsep kompetensi terkait
dengan kinerja atau performance setelah melalui
penelitian untuk kepentingan peningkatan kualitas
kinerja pegawai berbasis kompetensi. Selanjut-
nya, banyak penelitian kompetensi telah dilakukan
oleh ahli lainnya pasca penelitian McClelland. Hal
it u d i ungkapkan o leh Rave n and St eph enso n
(2 0 0 1) b ah w a t he re h av e b ee n im p o rta nt
developments in research relating to the nature,
d e ve l o p m e n t , a n d a s s e s s m e n t o f h i g h - l e v e l
competencies in homes, schools, and workplaces.
Se te l ah di l uncur kan un tuk pe rtama kali o le h
McClelland, konsep kompetensi dengan maksud
yang sama dikembangkan terus oleh para ahli lain-
nya terutama yang bergerak di bidang pendidikan,
manajemen, dan pelatihan.
Di bidang pendidikan, “the Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD)
Me m b er Co unt rie s” p ad a t ahun 19 9 7 tel ah
meluncurkan “the Programme for International
St ude nt Assessment (PISA)” untuk mengukur
ko mpe te nsi si swa secar a khusu s dal am Il mu
Pengetahuan Alam. Defi ni si ko mpe tensi yang
sama dengan McClelland dikemukakan oleh OECD
(1997) yaitu bahwa the PISA assessment focuses
on young people´s ability to apply their knowledge,
skill, and attitude to real-life problems and situations.
N a m u n j a uh s e b e l u m i t u , A r m s t r o n g s u d a h
mengemukakan hal yang sama terlebih dahulu.
Selengkapnya dikatakan oleh Armstrong (1980)
bahwa at tention needs t o b e d irected to the
individual characteristics of students in the classroom
that includes knowledge, skills, and attitudes.

688 688
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

memfokuskan pada a tripartite of student learning dan keterampilan tetap terjaga. Penurunan atau
competencies that includes knowledge, skills, and kerusakan total akan terjadi apabila tidak dijaga

attitude. Di bidang pelatihan, Petro Skill Compe-


tency System yang dikembangkan oleh Petroleum
Group (2008) juga menggunakan konsep kompe-
tensi yang sama dengan McClelland, yaitu bahwa
competency can refer to knowledge, skill, and
attitude. All of which can be part of the overall task
performance: knowing what to do (knowledge), being
able to do it (skill), and understanding the need for
application of the skill (attitude).
Banyak pandangan lain telah memperkuat
tipologi kompetensi dengan cakupan pengetahu-
an, keterampilan, dan sikap. Pandangan itu muncul
antara lain dari Idialu dan Oghuma (2007) yang
menyatakan bahwa in any society, educational
institutions are established primarily to provide
recipients with the knowledge, skill, and attitude;
Da lt o n d an Wr ig ht (1 99 9) ya ng m e nyat akan
bahwa competency comprises of knowledge, skill,
and attitude; Brophy (1999) yang menyatakan
bahwa goals of education should identify knowledge,
skill , and attitude; dan Gerlach & Ely (198 0)
menyatakan bahwa education establishes condition
which enable the learner to acquire knowledge, skill,
and attitude. Knowledge is acquiring information in
a particular field; skills is a learned ability; and
attitudes is why and how should behave in a certain
wa y . Be b e ra p a p a n d an g a n i t u m e n u nj uk k an
c ak up a n ko m p e t e nsi se car a ko n si s te n, ya it u
bahwa konsep kompetensi terdiri atas pengeta-
huan, sikap, dan keterampilan (knowledge, skill,
and attitude).
P e ng ua s aa n ko m p e t e n s i y an g m e n c ak up
pengetahuan, sikap, dan kete rampilan secara
seimbang akan memungkinkan seseorang menjadi
kompeten (competent) dan menunjukkan kinerja
yang op t i mal (o p t ima l pe r for manc e) s eb ag ai
puncak pencapaian (millestone) dari kompetensi.
Hal itu tampak sebagaimana yang divisualisasikan
dalam Ilustrasi 4 berikut ini.
Pe ng et a huan d an ke t er am pi l an, m e nur ut
teori gunung es, merupakan unsur kompetensi
yang paling rawan berubah. Pemberdayaan atau
pe ng em ba ng an k ed ua uns ur t er se bu t se cara
t e r u s m e ne r u s d a n / a t a u b e r k e s i n a m b u n g a n
sangat diperlukan agar kapabilitas pengetahuan

689 689
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Ilustrasi 4. Kompetensi sebagai Antecedent


Pemunculan Kinerja.

Sumber: Hermana Somantrie, 2010.

kap a b il i t asn ya . Se d ang kan si ka p m e ru p a ka n


unsur yang sangat tergantung pada kecenderung-
an posisi mana yang akan diambil, apakah ke arah
positif atau negatif. Jika sudah berada pada salah
satu posisi yang ditentukan, posisi tersebut akan
menjadi lat en atau tidak b isa be rubah dal am
jangka waktu yang cukup lama. Kerangka berpikir
tersebut divisualkan dalam Ilustrasi 5 berikut ini.

Ilustrasi 5. Kompetensi Dalam Model “Iceberg”.

Sumber: Hermana Somantrie, 2010.

690 690
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Ilust rasi 5 ter sebut menunjukkan se buah competencies understood to cover knowledge, skills,
puncak gunung es yang muncul di atas permukaan attitudes, and values.” Kompetensi di negara-
laut (icebe rg) sebagai suatu analo gi berpi kir negara anggota OECD sangat diutamakan karena
bahwa: pertama, pengetahuan dan keterampilan mereka sangat percaya diri agar standar kehi-
merupakan dua unsur kompetensi yang tampak dupannya berada di atas negara lainnya. Dengan
(visible) di atas permukaan air laut dan sewaktu- memiliki kompetensi, warga negara dari negara
waktu dapat meleleh atau memuai sesuai dengan anggota OECD dapat menghindarkan dirinya dari
tingkatan degradasi (penurunan) unsur tersebut. The Gl obal Achievement Gap. Wagner (200 8)
Ko mpete nsi yang tampak ke permukaan ol eh menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan The
Spencer & Spencer (1993) disebut sebagai surface Global Achievement Gap adalah the gap between
c o m p et e nc y . Pe n g e t a hu an d a n ke t e ra m p i l an what even our best suburban, urban, and rural public
sangat mudah untuk diamati atau diukur dengan schools are teaching and testing versus what all
menggunakan alat ukur yang tepat untuk kedua students will need to succeed as learners, workers,
hal tersebut; dan kedua, sikap merupakan unsur and citizens in today’s global knowledge economy.
kompetensi yang tidak tampak (hidden) karena Se l anjut nya, Wagner me ng atakan bahwa th e
berada di bawah permukaan air dan sulit untuk global achievement gap remains invisible to most of
d i a m a t i a t a u d i uk ur. Ko m p e t e ns i ya n g t i d a k us —in part, because it is fueled by fundamental
tampak ke permukaan oleh Spencer & Spencer economic, social, political, and technological changes
(1993) disebut sebagai core competency. that have taken so rapidly over the last two decades
Mengacu pa da se luruh uraian yang tel ah that they seem more like static people’s lives than
diuraikan dapat disimpulkan bahwa kompetensi like tangible forces that are shaping our future.
y ang m enc ak up p e ng e t a h u a n, s i k ap , d a n Framework yang menggambarkan pentingnya
keterampilan sangat penting untuk dimiliki oleh k o m p eten si b ag i k eb er hasila n ind i v id u d an
se tiap o rang agar da pat be rko ntribusi dal am k eb erhasilan m as y arak at p ad a ab ad k e-2 1
p e m b a n g un a n. Pe nt i ng n ya k o m p e t e ns i ya n g dikemukakan oleh OECD dalam Ilustrasi 6 berikut
terkait dengan pembangunan berkelanjutan dan ini tentang diagram the sum of individual compe-
kerekatan sosial dikemukakan oleh OECD Education tencies also affects the ability to achieve shared
Ministers (2005) bahwa “Sustainable development goals.
an d so ci al c o he si o n d ep en d cr it ic al l y o n the
co mpet enci es of all of o ur po pulatio n – wit h A p a k ah a r t i k o m p e t e n s i y an g m e n c ak up

Ilustrasi 6. Diagram “Individual and Collective Goals and Competencies”

Sumber: OECD Education Ministers (2005).

691 691
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

pengetahuan, keterampilan, dan sikap? Penje- berikut: (1) The store model: A model of information
la san se car a k o ns ept ual te rha dap ke t ig a hal processing in which information is depicted as moving
tersebut sangat perlu disajikan untuk membantu
m e m a h a m i k o ns e p k o m p e t e n s i s e c ar a u t u h
berdasarkan pada praksis pendukungnya, yaitu
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Penger-
tian ketiga hal tersebut bisa bermacam-macam
dan tergantung pada konteks yang menjadi dasar
pi jak an un tuk m e mb uat p e na fsi ra n t e rhad ap
ketiga unsur tersebut. Konteks yang akan diguna-
kan sebagai dasar untuk membangun pengertian
d i li ha t d a r i p er s p e k t i f i l m u, p s ik o l o g i , d a n
pendidikan.

Kompetensi dalam Perspektif Ilmu dan


Psikologi
Pengetahuan (Knowledge)
De finisi penge tahuan yang dikemukakan ol eh
p ara a hl i b i sa b e rb ed a -b ed a s es u ai d eng a n
perspektifnya masing-masing dalam bidang ilmu
dan psikologi. Definisi pengetahuan dikemukakan
ant ara lain oleh Suri asumantri , Calho un, dan
Gronlund sebagai berikut. Suriasumantri (1995)
menjelaskan bahwa pengetahuan adalah buah
dari suatu proses berpikir. Proses berpi kir ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam
mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya
sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa
pengetahuan; Calhoun et al. (1994) menyatakan
bahwa knowledge is the body of facts and beliefs
people accumulate over time; dan Gronlund (1976)
menyatakan bahwa knowledge is defined as the
remembering of previously learned material in a wide
range from facts to complete theories. Pengetahuan
menurut Taylor (1911), Drucker (1993), dan Toffler
(1990) sama dengan “information and data which
is used interchangeably and contextually”.
Pe ng et ah ua n d ip ero leh s ec ar a si st e m ik
m e l a l u i su a t u r a n g k a i a n s i s t e m p e ng o l a h a n
informasi sebagaimana yang dikemukakan oleh
Hetherington & Parke (1999) bahwa in the store
model of the human information-processing system,
information from the environment that we acquire
through our senses enter the system through the
sensory register. Selanjutnya, Hetherington &
Parke menjelaskan bahwa dalam proses pengo-
lahan informasi mencakup beberapa hal sebagai

690 690
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

through a series of processing units — sensory minkan semakin ber kua lit asnya penget ahuan
register, short-term memory, long-term memory — yang diperoleh.
in each of which it may be stored, either fleetingly or
permanently; (2) Sensory register: the mental
processing unit that receives information from the
environment and stores it fleetingly; (3) Short-term
memory: the mental processing unit in which
information may be stored temporarily; the work
space of the mind, where a decision must be made
to discard information or to transfer it to permanent
storage, in long-term memory; and (4) Long-term
memory: the encyclopedic mental processing unit
in which information may be stored permanently and
from which it may be later retrieved. Wilson (1974)
menambahkan bahwa dalam mengolah informasi
memerlukan intellectual abilities and skills. The
emphasis in this area is on mentally organizing or
recognizing the knowledge basic to the thought
pro c esse s invo l ve d, and no rm ally r e pre se nts
conceptualization.
Menurut Senge (1990), Levitt (‘998), dan
Nonaka & Takeuchi (1995) bahwa knowledge has
two components - the explicit and the tacit. Yang
dimaksud dengan the explicit component adalah
informasi luas dan terbuka yang dapat diperoleh
d a r i b e r b a g a i s u m b e r ; s e d a n g ka n t h e t a c i t
component adalah pengalaman yang diperoleh dari
“schemata, mental models, and beliefs” individu
sebagai faktor yang memungkinkan setiap orang
memperoleh, mengolah, dan menggunakan infor-
masi. Dalam dunia psikologi, setiap kemampuan
dalam p engolahan dan penggunaan informasi
sangat terkait dengan faktor inteligensi, kognisi,
t i n g k a t ko g n i t i f, d a n ke m a m p u a n ko g n i t i f.
Konstelasi hubungan keempat faktor tersebut
akan tampak sebagaimana yang divisualkan dalam
Ilustrasi 7 berikut ini.
Me ng ac u p ad a il u st r a si t er se b u t d a p at
dijelaskan bahwa perolehan pengetahuan akan
s a n g a t t e r g an t u n g p a d a s i s t e m p e ng o l a h a n
informasi yang mencakup kemampuan mental
(intelilgence), proses berpikir (cognition), tingkat
berpikir atau kognitif (cognitive level), dan keteram-
pilan kognitif (cognitive skill). Asumsi positif dan
signifikan dari sistem tersebut adalah semakin
tinggi kemampuan mental, proses berpikir, tingkat
kognitif, dan keterampilan kognitif akan mencer-

691 691
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Ilustrasi 7. Konstelasi Hubungan antara Inteligensi, Kognisi, Tingkat Kognitif, dan Keterampilan
Kognitif dalam memperoleh pengetahuan.

Sumber: Hermana Somantrie, 2010.


Keterampilan (Skill). using technology; (2) People-related skills: such as
“Skill” atau “keterampilan” di berbagai negara communication, interpersonal, teamwork, customer
mempunyai ist ilah dan makna yang berbeda-
beda. Hal i tu dinyatakan ole h Clayto n, Blo m,
Meyers, dan Bateman (2003) bahwa from country
to country, the terminology used to refer to generic
skills differs. The range of terms includes: ‘key
competencies’, ‘soft skills’, or ‘employability skills’
(Australia); ‘key skills’ or ‘core skills’ (United
Kingdom); ‘essential skills’ (New Zealand); and
‘necessary skills’, ‘employability skills’, or ‘workplace
know-how’ (United States). Hal yang menyebabkan
perbedaan itu, menurut Smith dan Comyn (2003),
adalah bahwa the term of employability skills, like
generic skills, is difficult to define and can be
interpreted in a number of different ways. Perbedaan
pendapat terhadap istilah dan makna keteram-
pilan sangat tergantung pada konteksnya. Contoh
dari perbedaan itu ditunjukkan oleh beberapa
pendapat dari para ahli tentang keterampilan.
Pe rt am a, Gib b (2 00 4 ) m e ng i d e nt ifik a si
sebanyak 6 jenis keterampilan, yaitu: (1) Basic/
fundamental Skills: such as literacy, numeracy,

692 692
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

service skills; (3) Conceptual/thinking skills: such


as collecting and organising information, problem
solving, planning and organising, learning-to-learn
skills, thinking innovatively and creatively, systems
thinking; (4) Personal skills and attributes: such as
being responsible, resourceful and flexible, being able
to manage one’s own time, having self-esteem; (5)
Business skills: such as innovation skills, enterprise
skills; and (6) Community skills: such as civic or
citizenship knowledge and skills.
Kedua, Australian Department of Education,
Science, and Training (200 6) mengemukakan
bahwa there are five skill sets that cover the
dimensions of competency and these are defined in
the Australian vocational training system. They are:
(1) Task Skills - the requirement to perform individual
tasks to an acceptable level of skill; (2) Task
Management Skills - the requirement to manage a
number of different tasks within the jo b; (3)
Contingency Management Skills - the requirement
to respond to irregularities and react appropriately
when things go wrong; (4) Job/Role Environment
S k il ls - t he r eq ui re m e nt t o d e al w it h th e
respo nsibil iti es and expect ati o ns o f t he work
environment, including interacting appropriately with

693 693
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

others in the workplace; and (5) Ability to Transfer Bogardus (1931) bahwa an attitude is a tendency
Skills - the requirement to transfer knowledge, skills, to act toward or against something in the environ-
and attitudes to new situations.
Ketiga, Lublin (2003) mengemukakan 8 jenis
keterampilan, yaitu: (1) Creativity and imagination;
(2) Self-assessment ability; (3) Self-directed learning
and information literacy; (4) Problem-solving and
decision-making; (5) Critical thinking and analytic
ability; (6) Writing skills, oral delivery, numeracy,
ICT and second languages; (7) Teamwork; and (8)
Planning and project management.
Keterampilan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi
harus didukung oleh pengetahuan dan sikap yang
tinggi dan kuat sebab seseorang dikatakan telah
menjadi terampil jika didukung oleh kekuatan
pengetahuan dan sikap. Oleh karenanya per-
paduan keterampilan dengan pengetahuan dan
sikap menjadi sangat penting dalam kehidupan
seseo rang.
Dengan keterpaduan itu akan banyak orang
yang memiliki kemampuan atau kapasitas untuk
menghadapi segala situasi dalam kondisi apapun.
Menurut Glendon dan McKenna (1995), without
t he k no wl e d ge and at t i t ude s co nt ri but i ng t o
competency, such skills alone can be demonstrated
as one of the major causative factors in human error.
Put alternatively, skills alone without knowledge and
attitudes can be dangerous - knowledge and attitudes
must support skills. This is seen as a very important
issue in an industry such as fireworks, where the
consequences of an error can be very serious.

Sikap (Attitude).
Penggunaan istilah “sikap” seringkali ditemukan
dalam kehidupan manusia sehari-hari. Banyak
pengertian mengenai sikap telah dikemukan oleh
p a r a a h l i p s i ko l o g i , t e r u t a m a d a l a m b i d a n g
psikologi sosial. Sikap sebagai himpunan organis-
m e se c a r a k e s e l ur u h a n d i k e m u k a k a n o le h
Lundberg (1929) bahwa an attitude denotes the
general set of the organism as a whole toward an
object or a situation which calls for adjustment.
Sikap mempengaruhi dan bertentangan dengan
obyek psikologis seperti dikatakan oleh Thurstone
(1931) bahwa attitude is the affect for or against a
psychological object. Sikap sebagai proses evaluatif
untuk be rt indak sebagai mana dijel askan ol eh

694 694
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

ment, which becomes thereby a positive or negative by evaluating a particular entity with some degree
value. of favor or disfavor. Penggunaan kata sikap perlu
S i kap m e rup a ka n g u m pa l a n p e n g a l am an
yang terkondisikan dan terkontrol seperti yang
diuraikan oleh Krueger & Reckless (1931) bahwa
an attitude, roughly, is a residuum of experience, by
which further activity is conditioned and controlled.
We may think of attitudes as acquired tendencies to
act in specific ways toward objects. Sikap sebagai
ke s i a pa n unt uk b e rt i nd ak di k e muka ka n o l e h
Warren (1934) bahwa attitudes connote a condition
of readiness for a certain type of activity. Sikap
biasanya menetap pada diri manusia sebagai-
mana yang di kemukakan o leh Cantr il (1 93 4)
attitudes represent a more or less permanently
enduring state of readiness of mental organization
which predisposes an individual t o react in a
c h a r a c t e r i s t i c w a y . Pe n g e r t i a n s i ka p s e c a r a
komprehensif dikemukakan oleh Allport (1935)
bahwa an attitude is a mental or neural state of
readiness, organized through experience, exerting a
directive or dynamic influence on the individual’s
response to all objects and situations to which it is
related.
Ko nsep sik ap b erk e m b ang sec ar a ter u s
menerus sesuai dengan perkembangan zaman.
Sikap sebagai predisposisi (the state of being likely
to behave in a particular way) dikemukakan oleh
Smith, Bruner, & White (1956) an attitude is a
predisposition to experience, to be motivated by, and
to act toward, a class of objects in a predictable
m a nn er . S ik ap seb ag ai k o m p o ne n t u ng g al
dikatakan oleh Bem (1970) bahwa attitudes are
likes and dislikes. Sikap oleh Fishbein (1975)
diartikan sebagai “a learned tendency to act in a
consistent way to a particular object or situation”.
Sikap sebagai fungsi pertimbangan dijelaskan oleh
Fa z i o ( 1 9 8 6 ) b a h wa a t t i t ud e s a r e su m m a r y
judgments of an object or event which aid individuals
in structuring their complex social environments.
Fazi o memvisual kan pro ses hubungan antara
sikap dan perilaku dalam diagram skematik model
proses sikap dan perilaku yang divisualkan pada
Ilustrasi 8 berikut ini.
S i ka p s e b a g a i ke c e n d e r un g a n p s i k o l o g i s
diuraikan oleh Eagly & Chaiken (1993) bahwa
attitude is a psychological tendency that is expressed

695 695
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Ilustrasi 8. Diagram Skematik “Model of the Attitude – Behavior Process

Attitude Selection Immediat Definition


activation perception of event Behavio
e
perceptio r
n of the
attitude

Definition
Norms
of event

Sumber: Fazio (1986).

d i i k ut i d e n g an s e su a t u o b j e k ny a a g a r t i d a k skills; (2) the affective domain, which is concerned


mengaburkan maknanya. Hal itu dikemukakan with attitudes, interests, feelings, emotions, and
oleh Rakhmat (1996) bahwa penggunaan kata
sikap harus diikuti dengan oleh kata ‘terhadap’
atau ‘pada’ objek sikap, sehingga apabila ada
orang yang berkata ‘sikap saya positif’ kita harus
m em p er t any a k an ‘sik a p te rhad ap ap a a t au
siapa?’. Jadi pada hakikatnya, sikap merupakan
konstruk hipotesis yang menunjukkan kesenangan
at au k e t id ak s e na ng an s e seo ra ng ter h ad a p
sesuatu. Sikap bisa berbentuk pandangan positif,
negatif, atau netral terhadap obyek-obyek sikap.
Oleh karenanya, sikap seseorang seringkali sulit
diduga secara tepat karena mengandung makna
yang bias dan ambivalen.

Kompetensi dalam Perspektif Pendidikan


Kompetensi mulai diterapkan dalam bidang pendi-
dikan seiring dengan penemuan Benjamin S. Bloom
dan kawan-kawan yang mempublikasikan hasil
p em ik ir a nn y a b er k e na a n d en g a n ti ng k ata n
berpikir, bertindak, dan bersikap sebagai proses
dan produk pendidikan. Secara keseluruhan, hasil
pemikiran tersebut dituangkan ke dalam suatu
fr ame wo r k ko m pe te nsi ya ng d i se but d en ga n
“Taxonomy of Educational Objectives”. Berkenaan
dengan itu, Gronlund (1976) menjelaskan bahwa
Bloom’s Taxonomy model is in three major areas:
(1) the cognitive domain, which is concerned with
knowledge outcomes and intellectual capabilities and

696 696
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

behaviors; and (3) the psychomotor domain, which


is concerned with motor skills such as manual and
physical skills. Dalam taksonomi itu, menurut
Isaacs (1996), bahwa there are: (1) knowledge-
based goals about knowing, (2) skills-based goals
about doing, and (3) affective-based goals about
values, attitudes, and feelings.
Jadi pada intinya, kompetensi dalam perspek-
tif pendidikan sebagaimana yang dikembangkan
oleh Bloom, Krathwohl, dan Masia (1964) menca-
kup tiga hal: (1) cognitive-based education; (2)
affective-based education; dan (3) psychomotor-
based education.
Cognitive-based education adalah proses pendi-
dikan yang tujuannya diarahkan untuk menguasai
pengetahuan dengan melalui tingkatan penca-
paian kognitif. Penemuan ini dipublikasi dengan
judul “Cognitive Domain as the first domain”.
Publikasi ranah kognitif ditampilkan pertama kali
oleh Bloom dan Krathwohl pada tahun 1956 dan
m e n j a d i s e r i p e r t a m a t e r b i t a n b u ku , y ai t u :
“Taxonomy of Educational Objectives: Handbook I,
The Cognitive Domain”.
A ffe c t ive - ba s e d e d uc a t i o n a d al a h p ro s e s
p e n d i d i ka n y a ng t uj ua nn ya d i a r a hk an un t u k
m e ng i nt e rn al is a s i s ik ap , n il ai , d a n p er a saa n
de ng an me lalui ti ngkat an p encapaian afekti f.
Penemuan ini dipublikasi dengan judul “Affective
Domain as the second domain”. Publikasi ranah
afektif ditampilkan pertama kali oleh Bloom, Masia,
dan Krathwohl pada tahun 1964 dan menjadi seri
kedua terbitan buku, yaitu: “Taxonomy Of Educati-

697 697
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

onal Objectives: Handbook II, The Affective Domain”. Khusus untuk ranah kognitif yang dipublikasi
Psychomotor-based education adalah proses pertama kali pada tahun 1956 telah dilakukan
p e n d i d i ka n y a ng t uj ua nn ya d i a r a hk an un t u k revisi oleh Anderson & Krathwohl pada tahun
m e ng ua s ai ke t e r a mp i l a n m e l a ku kan se sua t u 2001. Ranah kognitif sebelumnya yang dirumus-
dengan melalui tingkatan pencapaian psikomotor. kan oleh Bloom menggunakan kata benda (noun),
Pe ne m u an i ni d ip ub l i k a si d eng an jud ul s e d a ng k a n h a s i l p e r u b a h a n t e r h a d a p r a n a h
“Psyc h om o to r D o m a in a s t he thi rd do mai n”. kognitif pada tahun 2001 menggunakan kata kerja
Publikasi ranah psikomotor pada tahun 1966 dan (verb). Hasil perubahan tersebut adalah sebagai-
m e nj ad i se ri k et ig a te rb it an b uk u, y ai t u : mana diuraikan dalam Ilustrasi 10 berikut ini.
“Taxonomy Of Educational Objectives: Handbook III, Perubahan ini yang dilakukan oleh Anderson
The Psychomotor Domain”. & Krathwohl yaitu agar unsur-unsur dalam ranah
Setiap domain mempunyai klasifikasi sesuai kognitif menggunakan kata kerja seperti ranah
dengan karakteristiknya masing-masing sebagai- afektif dan psikomotor. Dalam ilustrasi berikut ini
mana yang dimuat dalam Ilustrasi 9 di bawah ini. Anderson & Krathwohl (2001) mengatakan bahwa
Sejak dipublikasikan, “Taxonomy of Educational some argue that 21st century skills are closely related
Objectives” telah digunakan oleh seluruh kalangan to the Bloom’s Taxonomy often used by teachers to
pendidikan di berbagai negara di seluruh dunia plan lessons. Penjelasan tentang hal tersebut
se b a g ai ac ua n d a l a m m e r u m u s k a n t uj u a n dimuat dalam Ilustrasi 11 berikut ini.
p em b el ajar an. Hal i t u m e n unj uk k an b a hw a Perubahan dengan kata kerja akan memu-
“T ax o n o m y o f E d uc a t i o n a l O b j e c t i v e s ” y an g dahkan guru atau siapapun yang berkepentingan
diciptakan oleh Bloom dan kawan-kawan bisa d a l a m p e r um u s a n t u j u a n p e m b e l a j a r a n d a n
mempengaruhi secara signifikan pola pikir para asesmen. Kedua tujuan tersebut perlu memuat
pendidik di seluruh dunia. secara seimbang dari se tiap klasifikasi ranah

Ilustrasi 9. Tabel “Taxonomy of Educational Objectives”

Cognitive Affective Psychomotor


No. Domain – 2001 No. Domain – 1964 No. Domain – 1966
[Knowledge] [Attitude] [Skills]

1. Remembering 1. Receiving 1. Imitating


2. Und erstanding 2. Responding 2. Manipulating
3. Applying 3. Valuing 3. Developing
4. Analyzing 4. Organizing 4. Articulating
5. Evaluating 5. Characterizing 5. Naturalizing
6. Creat ing

Sumber: Andersen & Kratwohl (2001).

Ilustrasi 10. Tabel Perubahan “Cognitive Domain”

No. Cognitive Domain – 1956 No. Cognitive Cognitive – 2001


Edition Edition

698 698
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

1. Knowl edg e 1. Remembering


2. Comprehension 2. Underst andi ng
3. Application 3. Applying
4. Analysis 4. Analyzing
5. Synthesis 5. Evaluating
6. Evaluation 6. Cre ating
Sumber: Andersen & Kratwohl (2001).

699 699
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Ilustrasi 11. Tabel Perubahan “Cognitive Domain”

Sumber: Andersen & Kratwohl (2001). keunggulan hidupnya. Keunggulan tersebut akan
d it e ntu k an o l eh k ualit as k o m p et en si y a ng
untuk memberdayakan potensi peserta didik dari
s e g i p en g e t a hu an , k e te r a m p i l a n , d an s i ka p .
Konstelasi mengenai hal itu dapat dicermati dalam
Ilustrasi 12 berikut ini.
Mengacu pada Ilustrasi 12 dapat dijelaskan
bahwa tujuan pe mbelajaran yang dirumuskan
secara seimbang antara pengetahuan, keteram-
p i l a n, d a n s i k a p a kan m e nj ad i a c u an d al a m
p elak sanaa n p e m b el aj ar an d an a sesm en.
Semakin baik rumusan tujuan pembelajaran dan
asesmen akan semakin berkualitas pula pelak-
sana an pembe l ajaran dan ase sme n sehi ngga
akan memungkinkan semakin baik kinerja dan
hasil belajar peserta didik.

Simpulan dan Saran


Simpulan
Pembahasan terhadap kompetensi, baik secara
konseptual maupun secara praktikal, menunjuk-
kan bahwa ko mpet ensi sangat penting dal am
kehidupan manusia. Memiliki kompetensi berarti
akan menjadi modal bagi seseorang dalam meraih

700 700
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Ilustrasi 12. Skema Konstelasi antara


Kompetensi, Pembelajaran & Penilaian, dan
Hasil Belajar Peserta Didik

Sumber: Hermana Somantrie, 2010.

701 701
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

mencakup secara seimbang unsur pengetahuan, m e m ili k i hub u ng a n y a ng sig nifik an d eng an
sikap, dan keterampilan. Atas dasar itu dapat pengetahuan dan sikap. Semakin positif sikap
dikatakan bahwa diantara ketiga unsur tersebut seseorang akan semakin tinggi pula korelasinya
memiliki keterkaitan yang sangat erat sebagai dengan pengetahuan dan keterampilannya.
berikut:
Pertama, Perwujudan potensi pengetahuan Saran
pada diri seseorang bisa tampak lebih dinamis Mengingat pentingnya kompetensi bagi setiap
apabila diikuti oleh aspek keterampilan dan sikap orang yang hendak meraih keunggulan diharap-
secara seimbang. Jika tidak demikian, pengeta- kan agar: 1) Para Pembina Pendidikan di tingkat
huan hanya tinggal dan tidak lebih sebagai infor- dinas pendidikan melakukan pembinaan kepada
masi yang statis. Diasumsikan bahwa pengeta- pada pelaksana di lapangan untuk menerapkan
huan memiliki hubungan yang signifikan dengan kompetensi dalam kurikulum dan pembelajaran-
sikap dan keterampilan. Semakin tinggi pengeta- nya. Oleh karenanya; para Pembina Pendidikan
hu an s es eo r a ng ak a n s e m ak i n ti ng g i p ul a harus terlebih dahulu memahami kompetensi, baik
korelasinya dengan keterampilan dan sikapnya. secara konseptual maupun secara praktikal; 2)
Kedua, Perwujudan potensi keterampilan P ar a P e n el i ti me l aku kan pe nge m ba n g an da n
pada diri seseorang bisa tampak lebih dinamis penelitian t entang ko mpete nsi secara ilmi ah-
apabila disertai dengan pengetahuan dan sikap konseptual-praktikal untuk kepentingan pening-
se c ara s ei mba ng. Po t ensi ket e rampi lan a kan katan mutu pendidikan; dan 3) Kepala sekolah
berkembang secara optimal dengan dukungan dan guru hendaknya mendalami secara sungguh-
pengetahuan dan sikap yang memadai. Diasumsi- sungguh bagaimana penerapan secara praktikal
k an b ah w a si k ap m em il ik i h ub un g an y a n g kompetensi yang menjadi kekuatan atau daya
signifikan dengan pengetahuan dan keterampilan. batin kurikulum dan pembelajaran.
Se makin tinggi ke te rampil an seseorang akan Dalam merumuskan tujuan pembelajaran,
semakin tinggi pula korelasinya dengan penge- guru senantiasa mempertimbangkan “Taxonomy
tahuan dan sikapnya. o f Ed uc at io nal Ob je c t iv es ” se su ai d eng a n
Ketiga, Perwujudan potensi sikap pada diri konteksnya. Sebagai acuan dalam perumusan
se seo r ang sa ng at terk ait d eng an ting k at tujuan p em b elajaran y ang m en g ac u p ad a
pengetahuan dan keterampilannya. Seseorang “Taxonomy of Educational Objectives” yaitu: 1)
yang kompeten harus mempunyai kesadaran yang boleh memuat klasifikasi tertentu hanya dari salah
tinggi, terkontrol, dan konsisten dalam melakukan satu m ac a m ra n a h : k o g n i t i f, sik ap , d an
tindakan sesuai dengan situasi yang dihadapinya. keterampilan; 2) boleh memuat klasifikasi tertentu
Jika demikian, aspek pengetahuan dan keteram- hanya dari dua macam ranah: kognitif, sikap, dan
pilan tanpa sikap yang positif tidak bermanfaat keterampilan; dan 3) boleh memuat klasifikasi
ap ap un u nt uk m en g o nt ro l k e c e nd er ung a n tertentu dari seluruh ranah: kognitif, sikap, dan
b e rt i nd ak . D i a su m si k an b a hwa k e t e r a m p il a n keterampilan.

Pustaka Acuan
Allport, Gordon. 1935. “Attitudes” in A Handbook of Social Psychology (pp. 798-844). Worchester, MA:
Clark University Press.
Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. (eds.). 2001. A Taxonomy of Learning, Teaching, and Assessment: a
Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman.
Armstrong, David G. 1980. Social Studies in Secondary Education. New York: Macmillan Publishing Co.,
Inc.
Australian Department of Education, Science, and Training. 2006. Employability Skills: From Framework
to Practice. Melbourne, Australia: Commonwealth of Australia.
Bem, Daryl J. 1970. Beliefs, Attitudes, and Human Affairs. Monterey, CA: Brooks/Cole.

702 702
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Bloom, B. S. 1956. Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals. Handbook
1; Cognitive Domain. New York: David McKay Co. Inc.

703 703
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Bogardus, E. S. 1931. Fundamentals of Social Psychology. (2nd ed.) New York: Century.
Brophy, Jere. 1999. Toward a Model of the Value Aspects of Motivation in Education: Developing
Appreciation for Particular Learning Domains and Activities. Journal of Educational Psychologist.
Volume: 34. Issue: 2. Publication Year: 1999.
Calhoun, Craig, Donald Light, & Suzanne Keller. 1994. Sociology. New York: McGraw-Hill, Inc.
Clayton, Berwyn; Kaaren Blom; David Meyers; and Andrea Bateman. 2003. Assessing and Certifying
Generic Skills: What Is Happening In Vocational Education and Training? Adelaide, Australia:
National Centre for Vocational Education Research (NCVER).
Cantril, H. 1934. “The Roles of the Situation and Adrenalin in the Induction of Emotion.” The American
Journal of Psychology, Vol. 45, pp. 568 – 579.
Cohen, David K. 1980. “Minimums, Competency Testing, and Social Policy” in Minimum Competency
Achievement Testing, Edited by Richard M. Jaeger & Carol Kehr Tittle. Berkeley, CA: McCutchan
Publishing Company.
Dalton, Bruce and Lois Wright. 1999. Using Community Input for the Curriculum Review Process.
Journal of Social Work Education. Volume: 35. Issue: 2. Publication Year: 1999.
Drucker, P.F. 1993. Post-Capitalist Society. London: HarperCollins.
Eagly, Alice and Chaiken, Shelly. 1993. The Psychology of Attitudes, Fort Worth, TX: Harcourt Brace
Jovanovich
Fazio, Russel H. 1986. Multiple Processes by Which Attitudes Guide Behavior: The Mode Model as an
Integrative Framework. San Diego, CA: Academic Press, Inc.
Fishbein, M. and Ajzan,I. 1975. Belief Attitude Intention and Behavior: and Introduction to Theory and
Research. Reading, MA: Addison-Wesley.
Gerlach, Vernon S. & Donald P. Ely. 1980. Teaching and Media: A Systematic Approach. Princeton, NJ:
Prentice Hall Inc.
Gibb, Je (ed.). 2004. Generic Skills in Vocational Education and Training. Adelaide, Australia: National
Centre for Vocational Education Research (NCVER).
Glendon, I.A. and McKenna, E.F. 1995. Human Safety and Risk Management. London: Chapman and
Hale.
Gronlund, Norman E. 1976. Measurement and Evaluation in Teaching. New York: Mac-Millan Publishing
Company.
Hetherington & Parke. 1999. Child Psychology: A Contemporary Viewpoint, 5th ed. New York: McGraw-
Hill, Inc.
Idialu, Jeremiah Uwaifo and Richard Iyere Oghuma. 2007. Educating Accountants in Corruption
Pervasive Societies: A Focus on Nigeria. College Student Journal. Volume: 41. Issue: 4. Publication
Year: 2007.
Isaacs, Geoff. 1996. Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Queensland, Australia: University of
Queensland, Teaching and Educational Development Institute.
Krathwohl, D.R., Bloom, B.S., & Masia, B.B. 1964. Taxonomy of Educational Objectives. The Classification
of Educational Goals, Handbook II: Affective Domain. New York: David McKay Company, Inc.
Krueger, E. T., & Reckless, W. C. 1931. Social Psychology. New York: Longmans, Green.
Levitt, B., March, J.G. 1998, “Organizational Learning”, Annual Review of Sociology, Vol. 14 pp.319-40.
Lublin, Jackie. 2003. Generic objectives and Transferable Skills. Dublin, UK: Center for Teaching and
Learning.
Lundberg, GA. 1929. “The Measurement of Attitudes.” Editor Lundberg. Social Research: In Study in
Methods of Gathering Data. New York: Longman, Green.
McClelland, David C. 1973. Testing for competence rather than for intelligence. American Psychologist,
28, 1-14

704 704
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

National Institute on Aging. 2006. Research Highlights in the Demography and Economics of Aging.
Bethesda, MD: NIA Office.

705 705
Hermana Somantrie, “Kompetensi” Sebagai Landasan Konseptual Kebijakan Kurikulum
JurnalSekolah
Pendidikan
di Indonesia
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 6, Nopember 2010

Nonaka, L., Takeuchi, H. 1995. The Knowledge-Creating Company: How Japanese Companies Create the
Dynamics of Innovation. New York, NY: Oxford University Press.
O’Brien, Kathleen M. 2004. A Tripartite of Student Learning for “Real World” Experiences in Hospitality
Programs. Buffalo, NY: Buffalo State College, Carnegie Academy for the Scholarship of Teaching
and Learning Faculty Fellowship.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). 1997. Programme for International
Student Assessment (PISA). Paris, French: Directorate of Education, OECD Office.
Organization for Economic Cooperation and Development Education Ministers. 2005. The Definition
And Selection Of Key Competencies: Executive Summary. Paris, French: OECD Office.
Petro Skill Competency System Bulletin. 2008. Competent People – Competent Workforce. Tulsa, OK:
Petroleum Office.
Rakhmat, Jalaluddin. 1996. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Raven, J., & Stephenson, J. (Eds.). 2001. Competence in the Learning Society. New York: Peter Lang.
Robins, Richard W, Kali H. Trzesniewski, Jessica L. Tracy, Davis Samuel D. Gosling, & Jeff Potter. 2002.
“Global Self-Esteem Across the Life Span”. Psychology and Aging 2002, Vol. 17, No. 3, pp. 423–
434.
Senge, P.M. 1990, The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. Thousand Oaks,
CA: Doubleday/Currency.
Smith, Erica and Paul Comyn. 2003. The Development of Employability Skills and Novice Workers. Station
Arcade, Australia: National Centre for Vocational Education Research (NCVER).
Smith, MB., Bruner, JS., & White, RW. 1956. Opinions and Personality. New York: Wiley.
Spady, William G. 1980. “The Concept and Implications of Competency-Based Education” in Minimum
Competency Achievement Testing, Edited by Richard M. Jaeger & Carol Kehr Tittle. Berkeley, CA:
McCutchan Publishing Company.
Spencer, Lyle M. & Signe M. Spencer. 1993. Competence at Work: Models for Superior Performance. New
York: John Wiley & Sons, Inc.
Suriasumantri, Jujun S. 1995. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Taylor, F.W.1911, The Principles of Scientific Management. Newbury Park, CA: Norton, Inc.
Toffler, Alvin. 1990. Powershift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21 st Century. New
York: Bantam.
Thurstone, LL. 1931. “The measurement of change in social attitude.” Journal of Social Psychology, Vol
2, 230-235.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wagner, Toni. 2008. The Global Achievement Gap. New York: Basic Books, A Member of the Perseus
Books Group.
Warren, H. 1934. Dictionary of Education. Cambridge, MA: Houghton Mifflin.
Wilson, James AR., Mildred C. Robeck, & William B. Michael. 1974. Psychological Foundations of Learning
and Teaching. New York: McGraw-Hill, Inc.
World Bank. 2009. World Development Indicators. Washington, DC: The World Bank Office.

706 706

Anda mungkin juga menyukai