Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

BUDAYA NUSANTARA
UPACARA/RITUAL TIWAH SUKU DAYAK NGAJU
KALIMANTAN TENGAH
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Budaya Nusantara
Dosen Pembimbing: Dr. Moh. Isa Pramana

Disusun oleh:

KELOMPOK 1 (DK-40-01)

1. Bayu Lintang Andi Atmojo (1601164143)

2. Bella Citra Pratiwi (1601160031)

3. Kandida Alifia Anandarto (1601164323)

4. Moch Fuad Saktian Syah(1601164311)

5. Nurmania Dwi Werdiningsih (1601160407)

6. Zahara Rima Andika (1601160431)

FAKULTAS INDUSTRI KREATIF


TELKOM UNVERSITY
2016

i
DAFTAR ISI

COVER JUDUL............................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................ 2
C. TUJUAN........................................................................................................................................... 2
D. MANFAAT....................................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................................ 3
A. SEJARAH SUKU DAYAK NGAJU............................................................................................... 3
1. MASUKNYA DAYAK KE NUSANTARA..........................................................................3
2. DAYAK NGAJU....................................................................................................................... 5
B. PENGERTIAN RITUAL TIWAH............................................................................................... 7
1. PENGERTIAN JIWA ATAU ROH...................................................................................... 8
2. PENGERTIAN DOSA........................................................................................................... 9
3. JENIS DAN NAMA PETI MATI........................................................................................ 9
C. PELAKSANAAN......................................................................................................................... 11
1. PELAKSANAAN UPACARA SAKRAL.......................................................................... 11
2. PROSES PELAKSANAAN UPACARA TIWAH...........................................................12
D. UPACARA/RITUAL TIWAH PADA ERA MODERN........................................................23
BAB III PENUTUP.................................................................................................................................... 25
A. KESIMPULAN............................................................................................................................. 25
B. SARAN........................................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................................... v

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Suku-Suku Dayak............................................................................................................ 3


Gambar 2.2 Sandung....................................................................................................................................... 9
Gambar 2.3 Rakit Laluha............................................................................................................................. 13
Gambar 2.4 Tarian Manganjan.................................................................................................................. 14
Gambar 2.5 Proses Penusukan Hewan Korban.................................................................................. 18
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim,

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan nikmat serta segala karunia-
Nya kepada kita semua karena bisa menyelesaikan Makalah ini dengan baik. Shalawat serta
salam juga tidak lupa kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Karena telah membawa
kehidupan kita dari zaman kegelapan sampai zaman yang terang benderang seperti sekarang
ini.

Makalah ini disusun agar para pembaca dapat memperluas ilmu pengetahuan
tentang Budaya Upacara/Ritual Tiwah yang kami sajikan dari berbagai sumber yang ada.
Dalam penyusunan Makalah ini, Kami mendapatkan berbagai rintangan yang didapat dari
berbagai hal. Mulai yang datang dari dalam diri Kami sendiri maupun datang dari luar.Untuk
itu, Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca apabila banyak
kesalahan dalam Makalah ini karena kami tahu Makalah ini jauh dari kata “Sempurna”.

Selama menyusun makalah ini, Kami mendapat bantuan dari berbagai pihak dalam
bentuk moral maupun material, oleh karena itu tidak lupa Kami sampaikan ucapan terima
kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang membantu sehingga makalah ini dapat
terselesaikan. Kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT. yang telah mengizinkan Kami untuk menyelesaikan Makalah ini dengan
baik.
2. Nabi Muhammad SAW. Yang menginspirasi Kami agar terus bersemangat dan berjuang
seperti yang beliau lakukan.
3. Orangtua dan keluarga yang telah membantu mendo’akan Kami hingga sampai detik
terakhir pembuatan Makalah ini. Serta senantiasa memberikan motivasi agar selalu
bersemangat.
4. Dr. Moh. Isa Pramana selaku Dosen Pembimbing mata kuliah Budaya Nusantara kelas
DK-40-01 Akademik 2016.
5. Teman-teman seperjuangan yang telah memberikan semangat dan bantuannya. Serta
senantiasa menghibur Kami dalam berbagai rintangan yang Kami dapatkan hingga
diakhir pembuatan Makalah ini.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam pembuatan
Makalah ini. Semoga Allah akan membalas semua pihak yang telah membantu Kami hingga
akhir pembuatan Makalah ini. Sekali lagi Kami ucapkan terima kasih yang sebanyak-
banyaknya.

Bandung, 22 September 2016.


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Budaya Nusantara merupaka cakupan dari hasil proses berpikir manusia yang
beredar disepanjang kawasan Nusantara. Budaya Nusantara sangatlah kaya serta
beraneka ragam dikarenakan bangsa Indonesia yang diwariskan berbagai macam
kebudayaan dan kondisi di Indonesia sebagai negara multicultural. Hal ini tentulah
sangat menguntungkan bangsa kita sendiri, dan membuat Indonesia menjadi lebih
berwarna. Namun disisi lain, kekayaan budaya yang melimpah juga membuat bangsa
Indonesia kesulitan dalam mengurus serta melestarikannya, sehingga banyak budaya
yang hilang dan dilupakan. Selain itu kurangnya data serta arsip membuat budaya-
budaya yang ada di Indonesia tidak dikenal secara luas, serta dampak globalisasi yang
mengakibatkan masyarakat bersikap apatis terhadap Budaya Nusantara dan kurangnya
simpati untuk melestarikan Budaya Nusantara yang dianggap sudah tidak sesuai dengan
zaman, padahal Budaya Nusantara merupakan warisan leluhur yang sepatutunya dijaga
oleh bangsa Indonesia serta dilestarikan, karena Budaya Nusantara juga berperan
penting sebagai identitas bangsa dan simbol dimana dapat dikatakan budaya
merupakan wajah dari bangsa itu sendiri. Maka dari itu, perlu adanya bentuk gerakan
pelestarian terhadap budaya, salah satunya dengan mengenalkan budaya-budaya yang
ada di Nusantara.

Budaya sendiri terbagi kedalam tujuh unsur, yakni bahasa, kepercayaan, sistem
pengetahuan, organisasi sosial, sistem ekonomi, teknologi, dan kesenian. Dari ketujuh
unsur tersebut kami mengangkat kepercayaaan sebagai tema yang termasuk di
dalamnya ritual atau upacara adat. Upacara adat yang kami angkat merupakan sebuah
upacara adat dari Kalimantan Tengah yang terlahir dari kalangan masyarakat Dayak
Ngaju, yaitu Upacara Adat Tiwah yang merupakan upacara prosesi pemakaman yang
terbilang cukup unik dan langka, sehingga kepopulerannya dikalangan masyarakatpun
kurang begitu dikenal. Selain karena kurangnya eksistensi di Masyarakat, Upacara Adat
Tiwah ini tidak memiliki banyak arsip dan dapat dikatakan minim pengulasan. Maka

1
dari itu di Makalah ini Kami mencoba melestarikan budaya tersebut dengan cara
mengenalkannya melalui Makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Latar Belakang penelitian yang telah dipaparkan, rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah dari suku Dayak Ngaju?


2. Apa pengertian dari Ritual Tiwah secara rinci?
3. Bagaimana cara pelaksanaan dari Ritual Tiwah?
4. Bagaimana keberadaan Ritual Tiwah di era modern ini?

C. TUJUAN
Tujuan Penelitian

1. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Budaya Nusantara.


2. Untuk menghimbau masyarakat agar lebih mengenal dan melestarikan
Budaya Nusantara, dengan sesuai ketentuan penganut Agamanya masing-
masing.
3. Mengangkat kembali dan mengenalkan Upacara Adat Tiwah.

D. MANFAAT
Berdasarkan Latar Belakang penelitian yang telah dipaparkan, manfaat penelitian
ini adalah untuk:

1. Menambah wawasan mengenai banyaknya Budaya unik di Indonesia.


2. Mengenal dan mengetahui lebih dalam mengenai apa itu Ritual Tiwah yang
berasal dari Kalimantan Tengah.
3. Memahami bagaimana cara pelaksanaan dari Ritual Tiwah.
4. Menubuhkan rasa simpati serta kemauan yang kuat untuk melestarikan
Budaya unik di Indonesia yang hampir memudar.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH SUKU DAYAK NGAJU

1. MASUKNYA DAYAK KE NUSANTARA

Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok dan tinggal di
pedalaman, seperti rawa, hutan, sungai, dan semacamnya. Kata Dayak sendiri
digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-muslim dan non-melayu yang
diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Menurut seorang
penjelajah yang bernama J. Thomas Linblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari
bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. Sesuai dengan suku Dayak
yang waktu itu tinggal di pedalaman dan di sekitaran sungai.

Suku Dayak sendiri berasal dari Ras Mongoloid yang pernah mengembara dari
Asia menuju pulau Kalimantan melalui perjalanan darat sekitar 60.000 dan 70.000
tahun yang lalu ketika benua Asia dan pulau Kalimantan masih merupakan bagian
Nusantara yang menyatu. Bukti bahwa suku Dayak berasal dari ras Mongoloid bisa
dilihat dari warna kulit yang cerah sedikit kekuningan, dan mata yang sipit.

Di daerah selatan Kalimantan, Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan.


Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut "Nansarunai Usak Jawa", yakni
kerajaan Nansarunai milik suku Dayak Maanyan. Akan tetapi Kerajaan Majapahit
menghancurkan kerajaan Dayak tersebut yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-
1389. Akibat kejadian tersebut Suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar. Arus
besar selanjutnya terjadi pada saat pengaruh Islam masuk Nusantara yang berasal dari
kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu yang terjadi sekitar tahun
1520.

Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur Kalimantan mulai
keluar dari status mereka sebagai orang Dayak dan mulai memeluk Agama Islam, dan
mereka yang memeluk agama Islam di bagian selatan Kalimantan menyebut diri

3
mereka Orang Banjar. Sedangkan mereka yang memeluk agam Islam di bagian timur
Kalimantan menyebut diri mereka sebagai Suku Kutai. Lalu orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai dan masuk ke pedalaman.

Pecahnya Dayak Maanyan karena serangan Majapahit dan juga semakin


berkurangnya suku Dayak karena masuknya Islam ke Nusantara menyebabkan suku
Dayak terbagi-bagi menjadi beberapa suku dengan nama yang berbeda-beda tapi tetap
memiliki etnis Dayak dan memiliki beberapa ciri khas yang sama, seperti rumah
tradisional suku Dayak (Betang), hasil budaya material seperti tembikar, senjata
tradisional suku Dayak (mandau, sumpit, beliong), pandangan terhadap alam, mata
pencaharian (Sistem Perladangan), dan seni tari. Suku Dayak terbagi menjadi 7 suku
besar Dayak yaitu, Dayak Ot Danum, Dayak Punan, Dayak Murut, Dayak Klemanta,
Dayak Iban/Heban, Dayak Apu Kayan, dan Dayak Ngaju. Dan dari 7 suku besar Dayak
tersebut masih dibagi lagi menjadi beberapa suku kecil yang sekitar 405 suku kecil.
Pembagian suku-suku ini terjadi akibat adanya akulturasi atau asimilisasi budaya
antara suku Dayak dan pengaruh dari luar.

Gambar 2.1 Peta Suku-Suku Dayak

2. DAYAK NGAJU

Suku Dayak Ngaju atau Biaju adalah suku asli di Kalimantan Tengah. Ngaju atau
Biaju memiliki arti udik. Sedangkan udik itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa

4
Indonesia bisa berarti hulu sungai. Sesuai dengan suku Dayak Ngaju yang dulunya
memang tinggal di sekitar hulu sungai.

Dalam sejarahnya leluhur Dayak Ngaju diyakini berasal dari kerajaan yang
terletak di lembah pegunungan Yunan bagian Selatan, tepatnya di Cina Barat Laut yang
berbatasan dengan Vietnam sekarang ini. Mereka melakukan perjalanan (migrasi)
besar-besaran dari daratan Asia sekitar 3000-1500 SM. menuju daerah Nusantara. Hal
ini juga berkaitan dengan masuknya Suku Dayak itu sendiri ke Nusantara.

Menurut Tetek Tatum (nenek moyang suku Dayak Ngaju) orang Dayak Ngaju
merupakan ciptaan langsung Ranying Hatalla Langit (sebutan suku dayak untuk Tuhan
Yang Maha Esa), yang ditugaskan untuk menjaga bumi dan isinya agar tidak rusak. Dan
Leluhur Dayak Ngaju diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan
Palangka Bulau (Palangka artinya suci, bersih, sebagai tandu yang suci, gandar yang
suci dari emas yang diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau
Kalangkang) diturunkan dari langit ke dalam dunia ini di empat tempat berturut-turut
melalui Palangka Bulau, yaitu:

a. Tantan Puruk Pamatuan di perhuluan Sungai Kahayan dan sungai Barito,


Kalimantan Tengah, maka inilah seorang manusia yang pertama yang menjadi
datuknya orang-orang Dayak yang diturunkan di Tantan Puruk Pamatuan, yang
diberi nama oleh Ranying (Tuhan): Antang Bajela Bulau atau Tunggul Garing
Janjahunan Laut. Dari Antang Bajela Bulau maka terciptalah dua orang laki-laki
yang gagah perkasa dan berani(menteng ureh mamut) bernama Lambung atau
Maharaja Bunu dan Lanting atau Maharaja Sangen.
b. Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting (Bukit Kaminting), Kalimantan Tengah oleh
Ranying (Tuhan) terciptalah seorang yang maha sakti, bernama Kerangkang
Amban Penyang atau Maharaja Sangiang.
c. Datah Takasiang, perhuluan sungai Rakaui Sungai Malahui, Kalimantan Barat, oleh
Ranying (Tuhan) terciptalah 4 orang manusia, satu laki-laki dan tiga perempuan,
yang laki-laki bernama Litih atau Tiung Layang Raca Memegang Jalan Tarusan
Bulan Raca Jagan Pukung Pahewan, yang seketika itu juga menjelma menjadi Jata
(sejenis buaya yang menghuni alam bawah) dan tinggal di dalam tanah di negeri
yang bernama Tumbang Danum Dohong. Ketiga puteri tadi bernama Kamulung
Tenek Bulau, Kameloh Buwooy Bulau, dan Nyai Lentar Katinei Bulau.

5
d. Puruk Kambang Tanah Siang (perhuluan Sungai Barito, Kalimantan Tengah) oleh
Ranying (Tuhan) terciptalah seorang puteri yang bernama Sikan atau Nyai Sikan di
Tantan Puruk Kambang Tanah Siang Hulu Barito.

Suku Dayak dari Kalimantan Tengah sendiri menganut sebuah kepercayaan


yang disebut Kaharingan ketika agama lain belum memasuki Kalimantan. Istilah
Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air
kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat
Dayak di Kalimantan.

Karena pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegaranya


untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia,
maka kepercayaan Kaharingan dimasukan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April
1980, mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam
melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya.
Jadi memiliki tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda
caranya. Kaharingan sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut, seorang
Pahlawan Nasional dari Kalimantan Tengah pada tahun 1944.

Orang Dayak Ngaju terkenal dengan kemampuan spiritualnya yang luar biasa.
Salah satu kemampuan spiritual itu adalah Manajah Antang (Burung Elang), yaitu
memanggil burung elang agar dapat memberi petunjuk untuk berperang atau
mengetahui keadaan seseorang. Mereka meyakini burung yang datang adalah suruhan
leluhur mereka, dan mereka meyakini petunjuk apapun yang diberikan oleh burung
Elang adalah benar.

Suku Dayak Ngaju juga terkenal dengan Tradisi Bertato. Seni tato suku Dayak
Ngaju dilakukan untuk semua kaum, mau itu laki-laki ataupun perempuan. Mentato
dilakukan sebagai simbol status dan juga identitas setiap individu di dalam suku Dayak.
Semakin banyak tato yang dimiliki di tubuh, maka semakin tinggi derajatnya. Mentato
juga didasari oleh kayakinan bahwa kelak setelah meninggal dan sampai ke surga, tato
itu akan bersinar kemilau dan berubah menjadi emas, sehingga dapat dikenali oleh
leluhur mereka nanti di surga.

6
Dan Suku Dayak Ngaju memiliki sebuah ritual atau upacara sakral yang masih
berlanjut hingga sekarang. Ritual tersebut bertujuan untuk mengantarkan roh dari
jasad yang telah lama meninggal menuju tempat yang disebut Lewu Liau (surga). Dan
ritual tersebut bernama Ritual Tiwah.

B. PENGERTIAN RITUAL TIWAH


Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau yang biasa disebut "Magah Salumpuk Liau
Uluh Matei" oleh suku Dayak Ngaju adalah upacara sakral terbesar yang bertujuan
mengantarkan roh sanak saudara yang telah meninggal dunia menuju surga (langit
ketujuh), atau biasa disebut oleh suku Dayak Ngaju sebagai berikut: Lewu Tatau Dia
Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau,
Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau.

Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang
yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa hanya tulang-tulang
dari jenazah tersebut. Tulang-tulang tersebut nantinya akan disucikan dan dipindahkan
dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama Sandung, semacam rumah kecil
yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Ritual ini
selain bertujuan untuk mengantarkan jasad roh ke surga. Juga bertujuan sebagai prosesi
suku Dayak Ngaju untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga
almarhum/almarhumah yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang
melanda.

Melaksanakan Upacara Tiwah bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan


persiapan panjang dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu,
rangkaian prosesi Tiwah ini sendiri dapat memakan waktu berhari-hari (non-stop),
bahkan bisa mencapai satu bulan lebih lamanya. Dan ritual ini sudah dilaksanakan sejak
ratusan tahun silam hingga sekarang. Ritual Tiwah sendiri berasal dari daerah
Kalimantan Tengah, tepatnya dari suku Dayak Ngaju, penganut agama Hindu
Kaharingan.

7
1. PENGERTIAN JIWA ATAU ROH

Jiwa atau roh manusia yang masih hidup di dunia disebut Hambaruan
atau Semenget. Sedangkan Jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia
disebut Salumpuk Liau. Selumpuk Liau harus dikembalikan kepada Ranying
Hatalla (Tuhan). Prinsip keyakinan Kaharingan menyatakan bahwa tanpa
diantar ke Lewu Liau (surga) dengan sarana Upacara Tiwah, tak akan mungkin
arwah mencapai Lewu Liau (surga). Apabila dana belum mencukupi untuk
melaksanakan upacara Tiwah maka pelaksanaan upacara Tiwah boleh ditunda
sampai terkumpulnya dana dan bertambahnya jumlah keluarga yang akan
bergabung untuk bersama melaksanakan upacara sakral tersebut. Upacara
besar yang berlangsung antara tujuh sampai empat puluh hari tentu saja
membutuhkan dana yang tidak sedikit, namun karena adanya sifat gotong
royong dari masyarakat, maka upacara besar ini dapat terlaksanakan.

Salumpuk Bereng yaitu raga/tubuh manusia yang telah terpisah dari jiwa
karena terjadinya proses kematian. Setelah mengalami kematian, Salumpuk
Bereng diletakkan dalam peti mati, sambil menunggu pelaksanaan Upacara
Tiwah, Salumpuk Bereng dikuburkan terlebih dahulu.

2. PENGERTIAN DOSA

Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk Liau (roh yang
telah meninggal) akibat perbuatannya semasa hidup antara lain:

a. Merampas, mengambil istri orang, mencuri dan merampok. Hukuman yang


harus dijalani oleh Salumpuk Liau untuk perbuatan ini ialah menanggung
siksaan di Tasik Layang Jalajan (goa-goa kecil yang terkunci).
b. Ketidakadilan dalam memutuskan perkara bagi mereka yang berwewenang
memutuskannya, yaitu para kepala kampung, Kepala Suku dan Kepala Adat.
Mereka juga akan dihukum di Tasik Layang Jalajan (goa-goa kecil yang
terkunci) untuk selamanya dalam rupa setengah kijang dan setengah
manusia.
c. Tindakan tidak adil atau menerima suap (korupsi) bagi mereka yang
bertugas mengadili perkara di Pantai Danum Kalunen (dunia). Mereka akan

8
dimasukkan ke dalam Tasik Layang Jalajan (goa-goa kecil yang terkunci)
untuk selamanya.

3. JENIS DAN NAMA PETI MATI

Dalam pelaksanaan Upacara Tiwah memerlukan peti mati untuk


menaruh jasad dari almarhum/almarhumah untuk nantinya jadi sebagai
perantara atau media pengantar Salumpuk Liau (roh manusia yang telah
meninggal) menju Lewu Liau (surga). Berikut adalah jenis dan nama peti mati
tersebut:

a. Runi, yaitu jenis peti mati yang terbuat dari batang kayu bulat, bagian
tengahnya dibuat berongga atau berlubang dan ukuran lubang tengah
disesuaikan dengan ukuran Salumpuk Bereng (jasad) yang akan diletakkan
di situ.
b. Raung, yaitu peti mati terbuat dari kayu bulat, seperti peti mati pada
umumnya, ada tutup peti pada bagian atas. Namun tak memiliki lubang
seperti Runi.
c. Kakurung, yaitu jenis peti mati pada umumnya terbuat dari papan persegi
panjang, dengan tutup dibagian atas.
d. Kakiring, peti mati berbentuk dulang tempat makanan babi, kakinya
berbentuk tiang panjang ukuran satu depa.
e. Sandung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi dengan empat tiang.
f. Sandung Raung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan enam
tiang.
g. Sandung Tulang, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan satu
tiang.
h. Sandung Rahung, umumnya digunakan oleh mereka yang mati terbunuh.
Sandung Rahung juga disebut Balai Telun karena Rawing Tempun Telun
(Tuhan) akan memberikan balasan kepada si pembunuh.
i. Tambak, di kubur di dalam tanah bentuknya persegi empat.
j. Pambak, juga dikubur dalam tanah, namun bentuknya sedikit berbeda
dengan Tambak.
k. Jiwab, bentuknya menyerupai Sandung namun tanpa tiang.

9
l. Sandung Dulang, tempat menyimpan abu jenazah.
m. Sandung Naung, tempat menyimpan tulang belulang.
n. Ambatan, patung-patung yang terbuat dari kayu dan diletakan disekitar
Sandung.
o. Sapundu, patung terbuat dari kayu berukuran besar dan diletakan di depan
rumah.
p. Sandaran Sangkalan Tabalien yaitu patung besar jalan ke langit.
q. Pantar Tabalien yaitu Pantar kayu jalan ke lewu liau.
r. Sandung Balanga, yaitu belanga tempat menyimpan abu jenazah.

Gambar 2.2 Sandung

Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya harus tersedia


hewan korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, bahkan di masa yang telah lalu
persyaratan yang tersedia masih dilengkapi lagi dengan kepala manusia. Makna
persembahan kepala manusia ialah ungkapan rasa hormat dan bakti para ahli
waris kepada Salumpuk Liau (roh jasad yang telah meninggal) yang siap diantar
ke Lewu Liau (surga). Mereka yakin bahwa kelak di kemudian hari apabila
Salumpuk Liau telah mencapai tempat yang dituju yaitu Lewu Liau, maka
sejumlah kepala yang dipersembahkan, sejumlah itu pula pelayan yang
dimilikinya kelak. Mereka yang terpilih dan kepala mereka yang telah
dipersembahkan dalam upacara sakral tersebut, secara otomatis Salumpuk Liau
dari kepala-kepala tersebut akan masuk Lewu Liau tanpa harus ditiwah-kan
walau keberadaan mereka di Lewu Liau hanya sebagai pelayan. Namun di masa
kini hal tersebut telah tidak berlaku lagi.Kepala manusia digantikan oleh kepala
kerbau atau kepala sapi.

10
C. PELAKSANAAN

1. PELAKSANAAN UPACARA SAKRAL

a. Balian
Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan
komunikator antara manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya
tidak terlihat oleh mata manusia. Balian menyampaikan permohonan-
permohonan manusia kepada Ranying Hatalla dengan perantaraan roh baik
yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla untuk mengayomi
manusia. Tidak setiap orang mampu melakukan tugas dan kewajiban
sebagai Balian. Biasanya hanya orang-orang terpilih saja. Adapun tanda-
tanda yang dapat dijadikan pedoman seorang anak kelak bila telah dewasa
menjadi seorang Balian, antara lain apabila seorang anak perempuan lahir
terbungkus yaitu pada saat dilahirkan plasenta anak tidak pecah karena
proses kelahiran, namun lahir utuh terbungkus plasentanya, juga sikap dan
tingkah laku anak sejak kecil berbeda dengan anak-anak pada umumnya, ia
pun banyak mengalami peristiwa-peristiwa tidak masuk akal bagi
lingkungannya (peristiwa gaib).
b. Basir
Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator manusia
dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata. Di masa
silam, Basir selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku-
layaknya seperti perempuan, namun untuk masa sekarang hal tersebut
sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia spiritual, Basir memiliki kemampuan
lebih dalam hal pengobatan, khususnya penyembuhan penyakit yang
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistik.
c. Telun/Pisur
Telun atau Pisur adalah pangkat atau jabatan dalam agama Kaharingan.
Telun bertugas dalam hal-hal yang berkaitan dengan upacara-upacara adat
keagamaan. Telun tidak termasuk dalam jabatan atau anggota Kerapatan

11
Adat. Dengan demikian Telun tidak punya suara dalam Putusan Kerapatan
Adat.
d. Mahanteran
Mahanteran atau Manjangen adalah mediator dan komunikator manusia
dengan Rawing Tempun Telun (Tuhan). Biasanya seorang Mahanteran atau
Manjangen, selalu duduk di atas gong, sambil memegang Duhung dan
Batanggui Sampule Dare (senjata tradisional suku Dayak Ngaju).

2. PROSES PELAKSANAAN UPACARA TIWAH

Diawali dengan musyawarah para Bakas Lewu (saudara dari jasad yang
telah meninggal), yang hasilnya diumumkan bahwa dalam waktu dekat akan
diadakan Upacara Tiwah, sehingga siapapun yang berniat meniwahkan
keluarganya mengetahui dan dapat turut serta. Setelah diumumkan, siapapun
yang ingin bergabung terlebih dahulu harus menyatakan niatnya dengan
menyebutkan jumlah Salumpuk Liau (roh manusia yang telah meninggal) yang
akan diikutsertakan dalam Upacara Tiwah. Setelah pendataan jumlah Salumpuk
Liau yang akan bergabung untuk diantarkan ke Lewu Liau (surga), barulah
ditentukan dengan pemilihan siapa dari para Bakas Lewu yang pantas menjadi
Bakas Tiwah (Ketua Upacara Tiwah).

Setelah pemilihan Bakas Tiwah, barulah pembicaraan lebih detail


dilaksanakan. Detail pembicaraan antara lain menyangkut jumlah kesanggupan
yang akan diberikan oleh pihak-pihak keluarga yang telah menyatakan diri akan
bergabung. Kesanggupan itu menyangkut masalah konsumsi, hewan-hewan
yang akan dipersembahkan sebagai korban juga bersama memutuskan siapa
pelaksana Upacara Tiwah itu nantinya, apakah Mahanteran atau Balian.

Disamping itu ditawarkannya kebutuhan-kebutuhan Upacara Tiwah


sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga Salumpuk Liau, masih ada
beberapa persyaratan yang wajib disediakan oleh pihak keluarga. Salah satunya,
minimal wajib menyediakan seekor ayam untuk setiap Salumpuk Liau. Upacara
diadakan di rumah Bakas Tiwah, dengan waktu pelaksanaan ditentukan

12
musyawarah. Pada hari yang ditentukan, semua keluarga berkumpul di rumah
Bakas Tiwah.

a. Hari Pertama
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah
yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya
dalam satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang
harus dibunuh sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau
selesai dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sababulu yaitu
memberikan tanda untuk barang-barang yang akan digunakan dalam
Upacara Tiwah nantinya dan menyediakan Dawen Silar
(persembahan/hewan korban) yang nantinya akan digunakan untuk Palas
Bukit (pemolesan).

b. Hari Kedua
Pada hari kedua, para keluarga peserta Tiwah yang tidak tinggal pada
kampung yang sama bersama-sama menumpang Rakit Laluhan seraya
membawa perbekalan dan sumbangan untuk upacara tersebut. Sesampai di
lokasi Tiwah kemudian dilakukan prosesi Potong Pantan (tradisi memotong
batang bambu hijau) yang dipasang melintang di pintu masuk dengan
menggunakan sebilah pedang Mandau (senjata tradisional suku Dayak)
sebagai tanda para tetamu kampung disambut dengan baik oleh tuan
rumah. Secara resmi para keluarga dari lain kampung itu menjadi peserta
Upacara Tiwah tersebut.

Gambar 2.3 Rakit Laluhan

13
Lalu di hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung (salah satu jenis
peti mati) yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk
menyimpan tulang belulang masing-masing Salumpuk Liau. Dilakukan
Pemalasan (ritual pengolesan/pemercikan) dengan membunuh seekor babi
dan diambil darahnya untuk memoles Sangkaraya Sandung Rahung.
Kemudian di sekitar Sangkaraya Sandung Rahung dipasang bambu kuning
dan Lamiang atau Tamiang Palingkau, juga kain-kain warna kuning dan
bendera Panjang Ngambang Kabanteran Bulan Rarusir Ambu Ngekah
Lampung Matanandau.

Di hari kedua ini alat-alat musik bunyi-bunyian seperti gandang, garantung,


kangkanung, toroi, katambung dan tarai mulai dibunyikan. Namun terlebih
dahulu semua peralatan musik, juga semua perkakas yang akan digunakan
dalam Upacara Tiwah dipalas atau dipoles dengan darah binatang yang
telah ditentukan (misalnya darah babi).

Pada hari itu pula seorang Penawur (penabur) mulai melaksanakan


tugasnya menawur (menabur) untuk menghubungi Salumpuk Liau yang
akan diikutsertakan dalam Upacara Tiwah tersebut agar mengetahui dan
memohonkan izin kepada Para Sangiang, Jata, Naga Galang Petak, Nyaring,
Pampahilep (simbol Dewa dalam agama Kaharingan). Juga pemberitahuan
diberikan kepada Sangumang, Sangkanak, Jin, Kambe Hai, Bintang, Bulan,
Patendu, Jakarang Matanandau (symbol alam).

Mereka yang hadir dalam acara tersebut berbusana Penyang Gawing


Haramaung, Baju Kalambi Barun Rakawan Salingkat Sangkurat, Benang
Ranggam Malahui, Ewah Bumbun dengan memakai ikat kepala atau
LawungSansulai Dare Nucung Dandang Tingang, serta di pinggang diikat
senjata Dohong Sanaman Mantikei. Pada leher dikalungkan Lamiang Saling
Santagi Raja. Ketika bendera dinaikkan di atas Sangkaraya, mereka yang
hadir baik laki-laki atau perempuan, tua, maupun muda berdiri mengelilingi
Sangkaraya, dilanjutkan Menganjan untuk menyambut dan menghormati

14
Para Sangiang yang telah hadir bersama mereka untuk mengantarkan
Salumpuk Liau menuju Lewu Liau.

c. Hari Ketiga
Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya.
Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar
mengelilingi Sangkaraya. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, pekik sorak
kegembiraan terdengar disana-sini, suasana meriah riang gembira. Pada
hari itu beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah
Menganjan selesai, mulailah acara membunuh binatang korban. Darah
binatang yang dibunuh dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan
digunakan untuk membasuh segala kotoran. Diyakini bahwa darah binatang
yang dikorbankan tersebut adalah darah Raja Agung Rawing Tempun Telun
yang telah disucikan oleh Hatalla (Allah SWT).

Gambar 2.4 Tarian Manganjan

Kemudian darah tersebut digunakan untuk memoles semua orang yang


berada dalam kampung tersebut, juga memoles batu-batuan, pangantuhu,
minyak sangkalemu, minyak tatamba, ramu, rakas, mandau, penyang,
karuhei, tatau, serta semua peralatan yang digunakan dalam Upacara Tiwah
itu. Di samping untuk memoles, darah binatang korban tadi juga dicampur
beras, kemudian dilemparkan ke atas, serta segala penjuru, juga ke arah
mereka yang hadir dalam upacara. Dengan melempar beras yang telah
dicampur darah Rawing Tempun Telun tersebut diharapkan semua jadi baik,
jauh dari segala penyakit dan gangguan, panjang umur dan banyak rezeki.

15
d. Hari Keempat
Pada hari keempat ini diyakini bahwa Salumpuk Liau-pun turut hadir serta
aktif berperan dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya tidak
terlihat oleh mata manusia. Salumpuk Liau jadi semakin bahagia dan
gembira ketika para keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek
neneknya hadir berkumpul di situ, dan menemui mereka yang hadir dalam
perayaan tersebut, mereka menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan
kaki mereka yang hadir, menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu,
sambil menuangkan baram dan anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki
ayam, serta lemak babi yang diakhiri dengan menyuguhkan rokok dan sipa.

Setelah itu di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang bernama Tihang


Mandera yang maknanya pemberitahuan kepada siapapun yang datang ke
kampung tersebut ketika sedang berlangsung pesta Tiwah, berarti kampung
tersebut tertutup bagi lalu lintas umum. Mereka yang belum memenuhi
persyaratan yang harus dilakukan dalam pesta Tiwah, antara lain belum
dipoles dengan darah hewan korban (babi) dilarang menginjakkan kaki di
kampung itu. Jika tidak mentaati peraturan ada kemungkinan ditangkap dan
pada hari itu pula dibunuh lalu ditaruh di Sangkaraya, dipotong kepalanya
sebagai pelengkap Upacara Tiwah.

Kemudian seorang penawur duduk di atas gong, sambil memegangDohong


Nucung Dandang Tingang (senjata tradisional suku Dayak). Pertama-tama
penawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah meninggal dunia
untuk memberitahukan bahwa mereka yang nama-namanya disebut akan
diantarkan ke Lewu Liau. Kemudian berkomunikasi dengan para Tuhan
Bawah/Tanah (Sangiang Jata), untuk memohon perlindungan bagi semua
sanak keluarga Salumpuk Liau yang ditiwahkan serta para hadirin yang
hadir dalam upacara tersebut agar dijauhkan dari penyakit serta jauh dari
kesusahan selama terlaksananya Upacara Tiwah tersebut.

Komunikasi selanjutnya ditujukan kepada setan-setan, kambe dan jin-jin


agar tidak mengganggu jalannya upacara, jangan sampai terjadi kematian

16
mendadak, orang terluka, sakit, jangan terjadi tulah malai dan jangan
sampai terjadi perkelahian. Setelah itu Antang penghuni Tuhan Atas/Langit
(Tumbang Lawang Langit) dipanggil untuk mengamati, serta menjaga
kemungkinan datangnya musuh yang berniat mengganggu proses
pelaksanaan upacara sakral tersebut. Setelah itu burung elang datang dan
terbang melayang-layang diatas tempat Upacara Tiwah berlangsung untuk
mengawasi suasana serta menjaga keamanan kampung itu.

Selanjutnya penawur berkomunikasi kepada Gunjuh Apang Pangcono yaitu


“Raja Pali” Sang Penguasa segala bentuk larangan yang harus ditaati
penduduk bumi. Pemberitahuan dan permohonan izin pelaksanaan Tiwah
yang dilaksanakan selama tujuh atau empat puluh hari dimaksud untuk
menghindari kesalahpahaman Raja Pali akan peristiwa sakral tersebut.

Proses selanjutnya didirikan Hampatung Halu, yang diikat sebutir manik


hitam dengan tengang beliat yang ditanam pada tanah perbatasan kampung
dimana Upacara Tiwah sedang dilangsungkan dengan perkampungan lain
yang tidak sedang mengadakan Upacara Tiwah. Sejak hari itu hukum pali
mulai dilaksanakan oleh para ahli waris Salumpuk Liau. Batas waktu
pelaksanaan Hukum Pali telah ditentukan yang artinya bukan selamanya.

Adapun larangan-larangan itu adalah sebagai berikut:


1) Pali makan Rusa - Dilarang memakan Rusa.
2) Pali makan Kijang.
3) Pali makan Kancil/Pelanduk
4) Pali makan Kelep dan Kura-kura.
5) Pali makan Kera.
6) Pali makan Beruk.
7) Pali makan Buhis.
8) Pali makan Kalawet.
9) Pali makan Burung Tingang/Burung Enggang.
10)Pali makan Burung Tanjaku.
11)Pali makan Ahom.

17
12)Pali makan Mahar.
13)Pali makan Ular.
14)Pali makan Tahatung.
15)Pali makan Angkes.
16)Pali makan Buah Rimbang.
17)Pali makan Daun Keladi.
18)Pali makan Ujau.
19)Pali makan Dawen Bajai/Daun Bajai.

Selain larangan menyantap beberapa jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan,


juga ada pali berkelahi. Bila terjadi perkelahian maka mereka yang
berkelahi wajib membayar denda kepada Bakas Tiwah, Jipen, Ije, dan
kewajiban potong babi, darah babi digunakan untuk memoles mereka yang
berkelahi.

e. Hari Kelima
Hari ini Pantar Tabalien didirikan.Yaitu jalan yang akan dilalui Salumpuk
Liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau
kayu besi yang menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai
60 meter dari tanah.

Pada hari ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau, sapi atau
babi diikat di Patung Tinggi (Sapundu) dan mereka yang hadir mengelilingi
Sapundu tersebut, menusuki hewan korban dengan Tombak Lunju tanpa
henti baik siang maupun malam. Saat itu pula Sandung dan Pambak tempat
menyimpan Tubuh Jasad (Salumpuk Bereng) mulai dibuat, yang setelah siap
terlebih dulu dipoles dengan darah kerbau, sapi atau babi. Kemudian selama
tujuh hari Sandung tersebut dipali yaitu selama tujuh hari mereka yang lalu
lalang di kampung tersebut terkena larangan (pali), dan wajib menyerahkan
sesuatu miliknya berupa benda apa saja untuk menetralisir pali yang
menimpanya. Kemudian Talin Pali diputuskan.

18
Gambar 2.5 Proses Penusukan Hewan Korban

Sebuah Tajau atau Belanga dengan ukuran besar dan mahal harganya
diletakkan disamping patung besar yang terbuat dari kayu, namanya
Sandaran Sangkalan Tabalien, Ingarungkung dengan Lalang Pehuk Barahan.
Keyakinan suku Dayak belanga berasal dari langit ketujuh oleh karena itu
siapapun yang ingin diantar ke Lewu Liau yang terletak di langit ketujuh
wajib memenuhi persyaratan sebuah belanga, dan tentu saja juga
menyediakan binatang-binatang korban karena sejak hari ke lima dan
seterusnya akan banyak masyarakat berdatangan, berkumpul, bergabung-
menganjan mengelilingi hewan-hewan yang akan dikorbankan, baik siang
maupun malam untuk menghormati Salumpuk Liau yang segera akan
dihantar ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih dilengkapi lagi, bambu
dan, daun itik mulai dikumpulkan karena makanan akan dimasak di dalam
bambu, kemudian dibungkus dengan daun itik.

f. Hari Keenam
Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah, Basir dikenakan pakaian khusus yang
memang telah dipersiapkan untuk upacara. Penawur dan masyarakat yang
hadir untuk menyaksikan upacara telah berkumpul di Balai. Basir dan
Balian didudukkan diatas Katil Garing (panggung) dan siap memegang alat
musik (Sambang/Ketambung). Posisi duduk Basir di tengah dan diapit oleh

19
dua orang, serta empat orang duduk di belakangnya. Penawur mengawali
Tatulak Balian yang artinya buang sial, maksudnya membuang segala
bencana yang mungkin terjadi selama prosesi sakral berlangsung.

Salah satu persyaratan yang diminta oleh Hatalla (Allah SWT), dengan
perantaraan Rawing Tempun Telun kepada mereka yang melaksanakan
Upacara Tiwah ialah sifat ksatria, memiliki keberanian luar biasa, gagah
perkasa pantang menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya
sebuah Lanting Rakit dari sebelah hulu. Kedatangan rombongan tamu saat
Upacara Tiwah dengan membawa binatang-binatang korban seperti kerbau,
sapi, babi, ayam, tidak begitu saja diterima. Mereka yang datang, terlebih
dahulu di uji keberaniannya.

Begitu rombongan tamu turun dari Lanting Rakit yang ditumpangi, mereka
disambut dengan laluhan, taharang dan manetek pantan. Batang kayu bulat
yang panjangnya dua meter, diikat melintang pada tiang setinggi pinggang
dan diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada tamu yang datang,
Bakas Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang, tujuan
kedatangan juga nama dan jenis binatang yang dibawa.

Kemudian rombongan tamu akan menjawab pertanyaan tersebut bahkan


tidak lupa menceritakan tindak kepahlawanan yang pernah mereka
lakukan. Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah
meminta kepada para tamunya untuk memotong kayu penghalang yang ada
di depan mata mereka. Apabila mampu memotong hingga patah berarti
benar mereka adalah para ksatria yang memiliki keberanian luar biasa,
gagah perkasa pantang menyerah, baru kemudian mereka dipersilahkan
bergabung.

g. Hari Ketujuh
Hari ketujuh yang disebut hari manggetu rutas pakasindus yaitu hari
melepaskan segala kesialan (Kawe Rutas Matei), pada hari ketujuh inilah
salumpuk liau mengawali perjalanan menuju Lewu Liau diawali dengan

20
penikaman dengan menggunakan tombak atau lunju pada binatang korban
yang telah dipersiapkan, dan diikat di sapundu tempat dimana masyarakat
yang hadir telah menganjan siang malam tanpa henti.

Tidak setiap orang diperkenankan menikam binatang korban, semua ada


aturannya.

Cara pertama:
1) Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas bunuhan.
Ia berhak mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.
2) Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya
disebut pekas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kiri dari
binatang yang telah ditombaknya
3) Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas
tikamannya disebut timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada
dan jantung binatang korban yang telah ditombaknya.

Cara kedua:
1) Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian ia
berhak menerima paha kanan binatang yang telah ditombaknya.
2) Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting
rakit dan telah berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha
kiri binatang yang ditombaknya.
3) Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan
dada dan jantung binatang yang ditombaknya.

Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu tarian kanjan yang hanya dilakukan oleh
laki-laki. Selesai kanjan hatue dilanjutkan acara masak memasak
mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring, Pampahilep, Sangkanak,
Kambe, Burung Bahotok, Burung Papau, Burung Antang (hewan mistis tak
terlihat oleh mata).

21
Ada ketentuan cara memberi makan kepada mereka yang tidak terlihat
mata jasmani yaitu dilempar ke arah bawah ditujukan kepada Salumpuk
Liau yang sedang diantar ke Lewu Liau, lemparan ke arah kanan ditujukan
kepada Raja Untung dan Para Sangiang. Lemparan ke arah belakang
ditujukan kepada Raja Sial. Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang
ditujukan kepada Sangumang dan Sangkanak, ke arah atas ditujukan kepada
Bulan, Bintang, Matahari, Patendu, Kilat dan Nyahu. Selesai acara pemberian
makan kembali masyarakat yang hadir berkumpul.

Tibalah saatnya Salumpuk Bereng digali atau diambil dari tempat


penyimpanan sementara. Tulang belulang yang ditemukan dikumpulkan,
dan pada hari itu pula dimasukkan dalam tambak atau pambak atau
sandung. Kemudian pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk atau hapuar.
Upacara ini dianggap selesai apabila seluruh prosesi Upacara Tiwah telah
dilaksanakan dengan lengkap, dengan demikian keluarga yang ditinggalkan
merasa lega karena telah berhasil melaksanakan tugas dan kewajibanya
kepada orang-orang yang dicintai. Salumpuk Liau telah sampai ke tempat
yang dituju yaitu Lewu Liau.

Setelah hari ketujuh, Basir dan Balian diberi kesempatan beristirahat


namun hanya sehari saja karena setelah itu acara akan dilanjutkan lagi
selama tiga hari berturut-turut. Maksud acara lanjutan yang juga dilengkapi
dengan potong babi, minum tuak/baram adalah ungkapan rasa syukur dan
terima kasih oleh ahli waris salumpuk liau kepada para tamu yang telah
hadir bersama mereka. Terima Kasih dan selamat jalan, itulah ungkapan
yang ingin mereka sampaikan. Kepada Rawing Tempun Telun tidak lupa
mereka selalu mohon perlindungan. Pada hari yang sama diadakan juga
acara Balian Balaku Untung yaitu dengan perantaraan Rawing Tempun Telun
mohon rezeki kepada Hatalla (Allah SWT).

Sebagai ungkapan terima kasih kepada Basir, Balian, Mahanteran dan


Penawur yang telah terlibat aktif sebagi perantara dalam semua prosesi
Upacara Tiwah ini demi mengantarkan Salumpuk Liau ke Lewu Liau, cindera

22
mata diberikan kepada mereka, bahkan ketika mereka yang melaksanakan
upacara akan pulang ke kampung dan rumah mereka masing-masing,
masyarakat yang telah turut hadir dalam Upacara Tiwah berbondong-
bondong mengantarkan mereka sampai ketempat yang dituju.

D. UPACARA/RITUAL TIWAH PADA ERA MODERN


Pada era modern ini, berbagai macam teknologi dan pola pikir manusia semakin
maju dan perlahan mulai melupakan hal-hal yang bersifat tradisional atau hal yang
mistis. Misalnya Upacara Adat Tiwah ini. Upacara atau ritual ini sebenarnya sudah ada di
Nusantara sejak lama, namun hanya sedikit yang mengetahui budaya ini. Mungkin hanya
beberapa masyarakat di Kalimantan Tengah itu sendiri yang mengetahuinya. Di media
sendiri juga begitu sedikit yang mau mengekspos budaya yang ada di Kalimantan,
kebanyakan adalah budaya yang berasal dari Jawa atau sekitarnya.

Dan sekarang upacara atau ritual Tiwah sendiri sudah amat jarang dilakukan
karena biayanya yang tak sedikit, caranya yang terlalu rumit dan pemikiran masyarakat
yang tak mau repot-repot lagi dengan acara yang memang menghabiskan banyak biaya,
waktu dan tenaga. Padahal budaya ini merupakan salah satu ciri khas dari Kalimantan
Tengah. Dan seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia harus mau mencari tahu,
mempulikasikan, atau melestarikan budaya yang kita miliki. Jangan hanya melestarikan
budaya dari daerah yang sudah terkenal, tapi juga dari daerah yang sering tak
diperhatikan seperti Kalimantan.

23
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang Kami dapatkan bahwa Upacara Tiwah adalah upacara/ritual sakral
yang dilakukan untuk jenazah yang telah meninggal agar rohnya sampai di surga. Upacara
Tiwah akan diadakan jika salah satu kampung Suku Dayak tersebut menyatakan bahwa
kampung mereka akan mengadakan upacara Tiwah. Tahap pertama adalah merencanakan
siapa yang ingin mengikuti upacara tersebut harus menyerahkan nama keluarga yang ingin di
ikut sertakan. Kedua, merencanakan siapa yang akan memimpin upacara Tiwah tersebut.
Ketiga, mempersiapkan apa yang akan dikorbankan dalam upacara tersebut. Keempat,
membuat bangunan yang hanya dipakai sehari lalu di kemudian dihancurkan kembali.
Selanjutnya, jika ada dari keluarga yang akan melakukan upacara Tiwah berada di luar
kampung mereka, maka wajib menumpang pada Rakit Laluhan. Setelah itu, dilakukan
kegiatan yang lainnya sampai hari ketujuh non-stop.

B. SARAN
Saran yang dapat kita ambil dari pembahasan diatas adalah:

1. Tetap melestarikan budaya tiwah yang semakin hari semakin terlupakan oleh
masyarakat modern.
2. Menjunjung tinggi adat budaya Indonesia, khususnya daerah Kalimantan yang
sebenarnya mempunyai banyak budaya unik namun tak banyak orang yang tahu.

24
DAFTAR PUSTAKA

____,2010, Upacara Tiwah Adat Dayak,[online], , (diakses pada tanggal 19 September 2016)

____, 2016, Suku Dayak, [online], , (diakses pada tanggal 20 September 2016)

____, 2016, Suku Dayak Ngaju [online], , (diakses pada tanggal 20 September 2016)

Wiryawan, Rika, 2011, Ritual Tiwah, [online], , (diakses pada tanggal 20 September 2016)

Irfan, Jejen, 2013, Adat Istiadat Suku Dayak Upacara Tiwah, [online], , (diakses pada tanggal 20
September 2016)

Harysakti, Ave dan Mulyadi, Lalu, 2014, Penelusuran Genius Loci Pada Permukiman Suku Dayak
Ngaju Di Kalimantan Tengah, [PDF], , (diakses pada tanggal 21 September 2016)

5i

Anda mungkin juga menyukai