Anda di halaman 1dari 11

1

Universitas Mercu Buana


Fakultas Ilmu Komunikasi
Bidang Studi Public Relations - Kelas Karyawan
MATA KULIAH: MANAJEMEN KRISIS PR (3 SKS)
MODUL IV

Dosen: Siti Dewi Sri Ratna Sari, S.S., M.Si.


Pada minggu ke-empat perkuliahan, mahasiswa diharapkan akan dapat mengetahui serta
memahami bagaimana perencanaan untuk memperkirakan nilai krisis, yakni dengan mengenali
rumor/gosip dan cara mengatasinya, bagaimana cara menilai krisis serta pemetaan pihak-pihak yang
dapat membantu dalam mengidentifikasi krisis.

PERENCANAAN PENILAIAN KRISIS

I. MENGENALI RUMOR

1. Contoh Kasus Krisis Akibat Rumor


Sangat menarik mengetahui fakta bahwa masyarakat Amerika Serikat yang berpendidikan
cukup tinggi pun dapat menjadi korban rumor yang tidak memiliki bukti. Beberapa kasus krisis yang
terjadi di sana dan mengakibatkan perusahaan-perusahaan besar terpaksa mengeluarkan dana yang
besar untuk memperbaiki reputasinya disebabkan oleh rumor. Contohnya adalah kasus Febreze, produk
pembersih rumah tangga Procter & Gamble yang diisukan akan meracuni hewan peliharaan sehingga
mengakibatkan pengeluaran biaya sebesar US$100,000,- bagi kampanye perlawanannya terhadap
rumor tersebut, kasus hamburger McDonald’s yang diberitakan mengandung cacing merah sebagai
cara meningkatkan kandungan protein sehingga mengakibatkan penurunan laba perusahaan serta
kasus wanita yang tangannya terpaksa diamputasi akibat digigit ular yang bersembunyi di dalam
mantel Taiwan yang sedang dicobanya di salah satu toko K-Mart. Apalagi masyarakat Indonesia yang
tingkat pendidikannya rata-rata masih rendah. Kasus-kasus akibat rumor sangat banyak, mulai dari
rumor lemak babi hingga masalah likuidasi bank yang mengakibatkan bank-bank tersebut mengalami
“rush” penarikan dana dari para nasabahnya.

2. Definisi & Pengertian Rumor


Rumor (rumour) sama dengan gosip (gossip) atau ‘pernyataan yang tidak bisa diverifikasi’.
Dalam bahasa Indonesia, ‘rumour’ sering diterjemahkan sebagai ‘isu’ sehingga sering rancu dengan
‘isu’ yang merupakan terjemahan dari ‘issue’ dan memiliki arti ‘question for discussion’, ‘subject’,
‘matter’, ‘topic’, ‘concern’, ‘problem’ (‘pertanyaan untuk didiskusikan’, ‘subjek’, ‘topik’, ‘masalah’).
Untuk menghindari kerancuan ini, maka kita tetap menggunakan kata asli ‘issue’ dan ‘rumor’ untuk
terjemahan dari ‘rumour’ dan ‘gossip’.
Suatu rumor atau gosip adalah “sebuah pesan yang tidak bisa dikonfirmasikan, dikirim melalui
saluran antarpribadi sebagai alatnya”. Umumnya rumor/gosip berkembang dalam struktur informal.
Namun rumor tidak bersinonim dengan komunikasi informal. Hanya sebagian kecil dari komunikasi
informal dalam sebuah organisasi yang secara tipikal mengandung rumor.
Menurut Keith Davis, pakar manajemen dari Arizona State University dalam bukunya “Human
Relations at Work: The Dynamics of Organizational Behavior”, secara teknis rumor/ gosip adalah
“informasi grapevine yang dikomunikasikan tanpa standar jaminan akan adanya bukti/fakta”.
Rumor menyebar dengan cepat. Hampir setiap orang, organisasi atau perusahaan dapat
menjadi target. Rumor kadang-kadang tidak mengikuti saluran-saluran resmi, yang menjadi satu alasan
mengapa rumor menyebar sangat cepat. Setiap orang dapat berbicara pada orang lain tentang sebuah
rumor. Tentu saja, rumor hampir seluruhnya lisan, dan fakta bahwa mereka tidak tertulis menjadikan
mereka dapat melompati saluran-saluran komunikasi yang formal. (Rogers & Agarwala-Rogers,
1976:82-83).

Jika kita melihat kembali kasus P&G di atas, mengenali rumor menjadi penting bagi praktisi PR.
Bukan saja karena rumor dapat menjadi penyebab krisis di organisasi/perusahaan, namun juga karena
rumor bisa beredar atas suatu krisis di organisasi/perusahaan yang terjadi akibat hal lain, bila
organisasi/perusahaan tersebut tidak memberikan informasi yang jelas kepada publiknya.
2

3. Grapevine
Untuk memahami darimana asal rumor, ada baiknya kita juga mengetahui yang dimaksud
dengan grapevine, yang dianggap sebagai alat penyebaran rumor di organisasi/ perusahaan bahkan di
masyarakat.

Menurut Keith Davis, istilah grapevine berasal dari Perang Sipil di Amerika Serikat. Saluran
telegraf yang bergantungan bebas dari satu pohon ke pohon lain serta merambat seperti pohon anggur
menyebabkan pesan yang disampaikan sering terganggu dan tidak jelas, sehingga rumor dikatakan
berasal dari ‘rambatan pohon anggur’. Arti ‘grapevine’ sendiri adalah ‘alat tidak resmi yang menjadi
tempat penyebaran berita’. (Goldhaber, 1986:176)

Komunikasi antar karyawan tanpa memandang posisi mereka dalam organisasi menyebabkan
arus informasi yang lebih pribadi. Arah arus informasinya kurang stabil. Informasi dapat mengalir ke
atas, ke bawah, ke samping bahkan melintasi jalur. Karena sifatnya informal, informasi pribadi muncul
dari interaksi di antara mereka dan mengalir ke berbagai arah yang tak dapat diduga. Jaringan inilah
yang diacu sebagai suatu grapevine (rambatan pohon anggur). Suatu metafora yang tepat karena
pohon anggur tumbuh dengan cabang yang merambat ke semua arah, menyembunyikan buah
anggurnya dalam naungan daun-daunnya yang rimbun hingga hampir tak terlihat. Informasi yang
mengalir sepanjang jaringan grapevine juga tampak berubah-ubah dan dilakukan secara
rahasia/sembunyi-sembunyi (Pace & Faules, 1983:136-137).

Dalam terminologi komunikasi menurut Jess Stein dalam kamus “The Random House Dictionary
of the English Language”, ‘grapevine’ digambarkan sebagai ‘suatu metode orang-ke-orang yang
menyampaikan laporan rahasia yang tidak dapat diperoleh melalui saluran yang umum’. (Pace &
Faules, 1983:137)

Keith Davis dalam bukunya “Human Behaviour at Work” menyatakan bahwa terminologi
grapevine dapat diterapkan pada seluruh komunikasi informal. Komunikasi informal cenderung terdiri
atas laporan-laporan “rahasia” tentang orang dan peristiwa yang tidak menyebar melalui saluran resmi
dan formal. Informasi yang diperoleh melalui grapevine lebih menyangkut tentang “apa yang
seseorang katakan atau dengar” dibandingkan dengan apa yang diumumkan oleh otoritas. Setidaknya,
si sumber berita tetap menjadi “rahasia” meski informasi yang disebarkan sebenarnya tidak menjadi
rahasia.

Beberapa riset mengenai grapevine menghasilkan penemuan berikut (Goldhaber, 1986:176-


178):
1) Menyebar cepat  karena grapevine tidak mengikuti saluran formal dan lebih pribadi dalam
transmisinya, pesan yang disebarkan bebas beredar secepat yang diinginkan si pengirim dan si
penerima berita.

2) Akurat  masing-masing peneliti seperti Davis, Marting, Walton dan Rudolph memberikan
keakuratan informasi yang berasal dari grapevine sebesar 78% hingga 90%. Namun justru pihak
manajemen yang sering mempertanyakan keakuratan pesan melalui grapevine. Riset Goldhaber
menunjukkan bahwa para karyawan cenderung mencari informasi tambahan yang mereka inginkan
melalui grapevine karena dianggap cepat dan sering digunakan, namun grapevine dianggap
sebagai sumber informasi yang kurang akurat dibandingkan dengan sumber lain yang lebih jelas
keakuratannya. Keith Davis juga percaya bahwa grapevine dianggap kurang akurat akibat
kesalahan informasinya lebih dramatis. Lagipula, bagian informasi yang tidak akurat ternyata isinya
sering lebih penting daripada bagian yang akurat.

3) Membawa banyak informasi  grapevine menjadi fakta kehidupan organisasi/ perusahaan. Namun
manajemen dapat menggunakannya sebagai jaringan penyebaran pesan yang tidak bisa disebarkan
melalui saluran formal. Selain itu, grapevine juga memberikan masukan pada pihak manajemen
tentang pandangan karyawan terhadap organisasi/perusahaan. Atribut negatif dari grapevine
3
adalah kesempatannya menjadi jaringan tempat rumor beredar. Suatu topik yang sangat diminati
namun hanya memiliki sedikit sekali informasi beresiko terhadap penyebaran rumor. Contohnya
kenaikan gaji atau jabatan (yang menjadi perhatian utama setiap karyawan) dilakukan oleh
perusahaan tanpa standar yang jelas. Hal ini akan menimbulkan berbagai cerita melalui grapevine
tentang “pilih kasih” dan “kurangnya standar”. Untuk rumor yang mulai beredar, hal terbaik yang
dapat dilakukan adalah segera memberikan fakta bagi mereka yang paling terkena dampak
penyebaran rumor tersebut.

4) Menyebar melalui kelompok (cluster)  konsep yang salah tentang grapevine adalah cara
penyebaran pesan yang digambarkan seperti sekuen rantai dari A ke B ke C ke D dan seterusnya.
Padahal, seperti yang dijelaskan oleh Keith Davis, si A tadi bercerita kepada tiga atau empat orang
lainnya, kemudian satu atau dua orang dari penerima berita tadi menyebarkan informasi ini ke lebih
dari satu orang. Dan ketika informasinya beredar semakin lama, orang-orang yang mengetahui
informasi tersebut menjadi bertambah banyak, hingga perlahan-lahan informasi itu menghilang
karena mereka yang menerimanya tidak mengulanginya lagi. Jaringan ini disebut “rantai kelompok”
karena setiap hubungan dalam rantai cenderung menginformasikan pada sekelompok orang dan
tidak hanya pada satu orang saja.

4. Bagaimana bekerja dengan Grapevine untuk mengatasi rumor


Jumlah dan efek yang mengganggu dari pesan yang beredar melalui grapevine dapat dikontrol
dengan menjaga tetap terbukanya berbagai saluran komunikasi yang formal bagi komunikasi ke atas,
ke bawah, ke samping dan lintas jalur yang tadinya tersembunyi, akurat dan sensitif. Hubungan atasan
- bawahan yang efektif menjadi penting untuk mengontrol informasi grapevine. Para supervisor dan
manajer harus membiarkan para karyawan mengetahui bahwa mereka paham dan dapat menerima
informasi yang berasal dari grapevine, khususnya karena grapevine mengungkapkan apa yang
dirasakan oleh karyawan, meski informasi itu tidak lengkap dan tidak selalu akurat. Sehingga seperti
telah disebutkan di atas, begitu rumor beredar, pendekatan terbaik adalah memberikan penjelasan
yang jelas dengan segera atas fakta-fakta yang ada (Pace & Faules, 1983:137).

Keith Davis menambahkan bahwa “membunuh” grapevine sama sulitnya seperti membunuh
ular mistik dari kaca yang ketika pecah menjadi kepingan-kepingan, maka akan tumbuh ular baru dari
tiap kepingannya. Karena itu ia menyarankan agar pimpinan organisasi yang bijaksana harus,
“memberi pupuk, air dan mengolah grapevine”. Dengan kata lain, memberitahukan hal yang
sebenarnya, dan menginformasikannya dengan segera. (Rogers & Agarwala-Rogers, 1976:82).

II. MENILAI KELEMAHAN PERUSAHAAN/ORGANISASI

1. Mengukur Resiko yang Dihadapi Perusahaan/Organisasi


“Probabilitas terjadinya suatu peristiwa” dan “Keseriusan suatu masalah” adalah dua faktor
penting dalam mengukur resiko. Perusahaan-perusahaan lebih sering mengalami masalah-masalah
kecil dibanding masalah-masalah besar. Semakin serius suatu peristiwa, semakin kecil
kemungkinannya untuk terjadi.

Beberapa resiko tingkat keseriusannya rendah namun sering terjadi, seperti kecelakaan kerja di
perusahaan konstruksi. Meskipun terdapat korban jiwa, biasanya tidak menyebabkan perusahaan harus
menghentikan proses pembangunan dan kerugian yang diderita tidak terlalu besar. Sedangkan
peristiwa bencana seperti pabrik ditabrak pesawat terbang sangat jarang terjadi sehingga perusahaan
tidak bersusah payah mengelola resikonya. Tetapi kebakaran besar di pabrik perusahaan tekstil
misalnya, mungkin terjadi dan cukup menimbulkan bencana, sehingga manajemen harus memikirkan
cara untuk menanggulanginya sebelum peristiwa tersebut benar-benar terjadi.
4
Karena itu, perusahaan/organisasi perlu membuat tabel yang dapat membantunya dalam
memprioritaskan resiko terkecil hingga terbesar yang dapat dihadapinya. Resiko yang memiliki dampak
terbesar harus segera ditangani. Contoh pengukuran resiko yang dihadapi oleh perusahaan/organisasi
dapat dilihat pada tabel 1, “Tabel Tingkat Probabilitas & Keseriusan Resiko”. Caranya adalah dengan
mengalikan angka di bawah garis horizontal (“Tingkat Probabilitas Terjadinya Suatu Resiko”) dengan
angka di sebelah kiri garis vertikal (“Tingkat Keseriusan”). Seperti resiko “Kebakaran Pabrik”, angkanya
adalah 3 X 4 = 12. Semakin tinggi angka suatu resiko, perusahaan/organisasi harus semakin
memperhatikan untuk segera mengelolanya (Sadgrove, 1997:20-22).

2. Mengukur Kelemahan Perusahaan/Organisasi


Setelah mengukur resiko apa saja yang dapat dihadapi oleh perusahaan/organisasi melalui tabel
“Tingkat Probabilitas & Keseriusan Resiko”, tentukan peringkat kelemahan perusahaan/organisasinya
berdasarkan angka resiko-resiko tersebut dan masukkan ke dalam kolom yang tersedia dalam “Tabel
Audit Kelemahan Perusahaan/Organisasi” (lihat Tabel 2). Kemudian beri tanda “Prioritas Tinggi” pada
resiko-resiko yang memiliki nilai tertinggi dan “Tanpa Prioritas” pada resiko-resiko yang memiliki nilai
terendah. (Sadgrove, 1997:30).

III. MENILAI KRISIS

1. Menilai Suatu Peristiwa = Krisis


Ketika perusahaan/oganisasi menghadapi masalah besar, kadang-kadang sulit untuk
menentukan apakah krisis sudah hadir atau belum. Perusahaan/organisasi itu harus menentukan
definisi krisis bagi perusahaan/organisasinya. Beberapa pakar memberikan batasan untuk menentukan
suatu masalah adalah krisis atau bukan:
Menurut Kit Sadgrove (1997:200), sebuah krisis dapat menyebabkan:
1) Ancaman terhadap reputasi jangka panjang bisnis perusahaan/organisasi.
2) Menghabiskan biaya sekian puluh persen dari pemasukan tahunan perusahaan/organisasi yang bisa
berasal dari penurunan penjualan, biaya penarikan produk atau pembersihan area akibat suatu
peristiwa. Besarnya persentase kerugian sehingga dapat disebut krisis dapat ditetapkan sendiri oleh
perusahaan/organisasi.
3) Perusahaan/organisasi beresiko berhadapan dengan hukum suatu negara hingga dapat dituntut ke
pengadilan.
4) Perusahaan/organisasi terganggu kegiatan operasionalnya untuk jangka waktu tertentu. Lamanya
gangguan sehingga dapat disebut krisis juga dapat ditetapkan sendiri oleh perusahaan/organisasi.
Dalam buku ”Overdrive”, Michael Silva & Terry McGann menawarkan “Audit Lima Menit” yang
sangat sederhana untuk menentukan apakah suatu peristiwa adalah sebuah krisis atau bukan. Mereka
menggambarkan krisis sebagai sebuah kejahatan terhadap visi kita, lalu tanyakan empat pertanyaan
berikut (Caywood, 1997:189-190):
1) Seberapa besar skala yang akan diakibatkan peristiwa tersebut terhadap kemampuan kita
memenuhi misi kita?
2) Apa yang menjadi intensitas dan kepentingan dari krisis tersebut? Seberapa besar intensitas dan
pentingnya krisis tersebut?
3) Nilai-nilai kita yang manakah yang terkena dampak krisis serta apa kerusakan jangka panjang
potensialnya?
4) Hubungan apa yang terancam?

Selain itu, menurut White & Mazur (1995:210), untuk menilai sebuah peristiwa merupakan krisis
atau bukan, kita juga dapat melihat melalui definisinya. Sebuah krisis didefinisikan berdasarkan aspek-
aspek situasi berikut:
1) Ancaman tingkat tinggi terhadap kehidupan, keamanan atau keberadaan suatu organisasi;
2) Tekanan waktu, yang berarti bahwa pengambil keputusan harus bekerja cepat untuk mengatasi
situasi;
3) Stress bagi orang-orang yang bertanggungjawab dalam pengelolaan situasi.
Menurut mereka, sebuah situasi yang telah diantisipasi karena manajemen sebelumnya sudah
memiliki rencana tindakan yang terperinci serta dilatih, bukanlah sebuah krisis meski masalahnya
mungkin sangat serius. Contohnya: jatuhnya pesawat kargo di sebuah pedesaan dekat Amsterdam
ketika baru saja lepas landas dari bandara Schiphol. Walaupun peristiwa ini serius serta mengakibatkan
5
kematian orang-orang yang berada dalam gedung yang ditabrak oleh pesawat tersebut, bukanlah
sebuah krisis karena pelayanan darurat telah berlatih untuk menangani kasus seperti ini hanya
beberapa hari sebelum terjadinya tabrakan maut itu.

2. Memahami Sinyal Peringatan


Tes yang paling signifikan terhadap suatu organisasi/perusahaan adalah ketika suatu krisis
menyerangnya. Bagaimana cara mengatasi krisis tersebut akan sangat mempengaruhi masa depan
organisasi/perusahaan itu. Karena itu, sebaiknya krisis dicegah sebelum ia benar-benar terjadi.
Untuk mengatasi krisis, dapat dibentuk suatu sistem penangkalan. Contohnya alarm di gedung-
gedung modern yang berbunyi ketika mendeteksi asap akibat adanya suatu kebakaran.
Ketika suatu krisis terjadi, biasanya terdapat tujuh sinyal peringatan yang turut menyertai
(Seitel, 2001:211-212):
1) Surprise  ketika suatu krisis terjadi, biasanya kita terkejut karena kedatangannya tidak
diharapkan. Ada dua macam bencana, yakni bencana alam seperti banjir atau badai, dan bencana
buatan manusia seperti terorisme. Seringkali praktisi PR baru menyadari adanya suatu peristiwa
ketika media meneleponnya dan menanyakan tindakan apa yang akan dilakukan oleh
organisasi/perusahaan si PR.
2) Meluasnya rumor akibat informasi yang kurang  rumor dapat timbul bila pihak-pihak yang
seharusnya menangani krisis tidak segera mengontrol informasi. Karena terlalu berhati-hati dan
kurang informasi secara resmi yang bisa diperoleh, masyarakat membuat cerita sendiri sesuai
dengan imajinasi mereka dan potongan informasi yang mereka peroleh. Seperti kasus roti Bread
Talk, akibat tidak adanya informasi resmi tentang bagian roti mana yang tidak halal, masyarakat
mereka-reka sendiri dengan mengatakan bahwa roti yang terdapat daging “bacon” saja yang
mengandung lemak babi. Sebagian orang lagi mengatakan bahwa pelembut rotinyalah yang
menggunakan lemak babi. Sebagian lagi beranggapan meskipun ada pemisahan antara roti yang
mengandung lemak babi dan tidak mengandung lemak babi, peralatan yang digunakan untuk
membuat dan membakar roti tetap saja satu/tidak dipisahkan sehingga makanan tetap dianggap
tidak halal.
3) Eskalasi  krisis meluas dengan cepat. Semua pihak yang berkepentingan (stakeholder)
mengajukan pertanyaan secara bersamaan untuk mengamankan kepentingannya: apakah rumor
yang beredar di masyarakat benar? Apakah organisasi/perusahaan akan mengeluarkan pernyataan.
Akan lebih parah lagi bila mereka percaya pada rumor tersebut, karena informasi resmi tidak
diperoleh. Ketika rumor tidak dapat dikontrol lagi, informasi yang sebenarnya menjadi sulit untuk
diperoleh. PR dan pihak manajemen ingin meresponnya melalui tahapan yang sesuai, namun krisis
terlalu cepat meluas.
4) Lepas kendali  bila perusahaan tidak segera membentuk suatu pusat pengendalian krisis, praktisi
PR pun menjadi kehilangan kendali. Semua orang sibuk sendiri-sendiri dan tidak ada koordinasi.
Eskalasi menimbulkan hal-hal baru yang timbul secara simultan. Pada tahap ini, rumor sudah tidak
mudah lagi untuk dikontrol.
5) Penyelidikan pihak luar meningkat  penyelidikan pihak luar, terutama mereka yang merasa
berkepentingan dengan organisasi/perusahaan meningkat. Badan pengelola pasar modal
mengirimkan tim pemeriksa, bank membentuk tim untuk menyelidiki keamanan uang mereka,
asosiasi usaha sejenis meminta keterangan, penyalur dan pemasok berkali-kali menelepon, pers
berdatangan serta meminta respon organisasi/perusahaan dalam menangani krisis, para investor
menunggu jawaban dan konsumen ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua pihak butuh
kepastian dan perlu mengambil langkah-langkah penyesuaian.

6) Mental blokade  organisasi/perusahaan yang merasa terpojok seperti memblokade diri, ditambah
saran dari pengacara mereka untuk tidak mengatakan apapun yang akan dapat melawan mereka di
kemudian hari. Namun hal ini tidak bisa diterima.
7) Panik  dengan tembok yang dipahat organisasi/perusahaan untuk menutup-nutupi informasi serta
jumlah kebocoran informasi yang terlalu banyak, terjadilah kepanikan yang merupakan gejala
umum yang selalu terjadi. Sulit sekali bagi manajemen mengambil langkah-langkah untuk
mengkomunikasikan apa yang telah terjadi.
6
3. Mengukur Skala Krisis
Jika suatu perusahaan/organisasi sudah menetapkan suatu peristiwa sebagai krisis, mereka
harus mengevaluasi skala krisis tersebut dengan “Tabel Analisis Dampak”. Contoh kasus peristiwa krisis
dapat dilihat pada Tabel 3 dan tindakan penanganannya. (Sadgrove, 1997:202).

4. Penerapan “Komunikasi Resiko”


Tahun 1990 menjadi kemunculan “Komunikasi Resiko” sebagai hasil dari pengembangan
“Manajemen Issue”. “Komunikasi Resiko” pada dasarnya adalah proses mengumpulkan data ilmiah
yang berhubungan dengan bahaya kesehatan dan lingkungan serta mempresentasikan mereka kepada
publik dalam cara yang dapat dimengerti serta bermakna.
Model dari komunikasi resiko telah dikembangkan berdasarkan posisi bahwa “persepsi adalah
kenyataan”, sebuah konsep yang telah menjadi bagian dari PR selama bertahun-tahun. Komunikasi
resiko berhubungan dengan emosi tingkat tinggi. Ketakutan, kebingungan, frustasi serta kemarahan
adalah perasaaan yang sering menyertai masalah lingkungan. Contoh di Amerika Serikat adalah ketika
seorang siswa SMU menembak teman-teman sekelas dan gurunya di Columbine High School Colorado,
masyarakat langsung menyerukan perlawanan terhadap kepemilikan senjata api.
Seringkali, emosi yang intens mengalir dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang
ilmu yang mendasari resiko bermasyarakat. Karena itulah, komunikasi yang sering dan persuasif
diperlukan untuk menginformasikan, mendidik dan bahkan menyurutkan emosi.
Peraturan pertama dalam merespon suatu resiko publik yang terlihat adalah dengan
memperhatikan masalah itu secara serius. Untuk selanjutnya menurut William Adams, pakar
manajemen resiko, terdapat tujuh langkah yang dapat membantu dalam program perencanaan
komunikasi resiko (Seitel, 2001:211):
1) Menyadari komunikasi resiko sebagai bagian dari program manajemen resiko dan memahami
bahwa seluruh program didasarkan pada masalah-masalah politik, kekuasaan serta kontroversial.
2) Mendorong manajemen untuk bergabung dengan “lingkaran komunikasi” dan membantu mereka
melatih diri mereka untuk secara efektif berhadapan dengan media pemberitaan.
3) Merangkul para pakar di luar lingkar organisasi/perusahaan yang mempunyai kredibilitas untuk
bertindak sebagai sumber-sumber berita baru bagi para wartawan.
4) Menjadi seorang pakar internal organisasi/perusahaan, dalam area resiko kita sendiri untuk
meningkatkan kredibilitas di mata para wartawan.
5) Pendekatan kepada media pemberitaan dengan fakta-fakta dan angka-angka yang solid sebelum
mereka mendekati kita serta verifikasikan kebenaran datanya.
6) Penelitian persepsi terhadap organisasi/perusahaan kita oleh media dan publik lainnya untuk
mengukur kredibilitas serta membantu memutuskan apakah pesan kita dapat dipercaya.
7) Memahami publik sasaran kita serta bagaimana media pemberitaan dapat membantu kita dalam
mengkomunikasikan pesan secara efektif.
Seperti halnya area PR yang lain, komunikasi resiko pada dasarnya tergantung pada tindakan
organisasi/perusahaan, bukan pada kata-kata saja.

III. PEMETAAN PIHAK2 YANG DAPAT MEMBANTU MENGIDENTIFIKASI KRISIS

Bagaimanapun, mencegah suatu krisis lebih baik daripada menanggulanginya. Untuk


mengidentifikasi krisis sebelum benar-benar terjadi, sebuah organisasi/perusahaan dapat meminta
bantuan berbagai pihak yang berada di luar lingkup organisasi/perusahaan.

Pekerjaan mengidentifikasi krisis dilakukan persis seperti seorang dokter melakukan diagnosis
suatu penyakit, yakni meneliti simtom dan menghambat perkembangan penyakit (dalam hal ini krisis)
untuk memperoleh gambaran yang utuh.

Di luar lingkup organisasi/perusahaan, pihak-pihak yang dapat dihubungi untuk membantu


mengidentifikasi krisis adalah sebagai berikut:
1) Para ilmuwan di universitas  mereka yang berkutat dalam bidang penelitian biasanya menemukan
hal-hal mungkin berpotensi untuk menjadi krisis pada suaatu organisasi/ perusahaan. Ingat kasus
7
rumor lemak babi yang berasal dari hasil penelitian seorang peneliti Universitas Brawijaya (bahwa
beberapa produk makanan dan minuman di Indonesia yang memakai gelatin dikhawatirkan
mengandung lemak babi karena di negara-negara maju, gelatin mengandung lemak babi). Suatu
organisasi/perusahaan yang memiliki hubungan baik dengan kalangan ilmuwan dapat mengetahui
bila mereka tengah mengadakan penelitian tentang hal-hal yang berkaitan dengan produk
perusahaan, karena biasanya mereka akan mengontak perusahaan tersebut lebih dahulu sebelum
melakukan penelitian.
2) Para akademisi  selain para ilmuwan, para akademisi juga sangat kritis terhadap hal-hal yang
berpotensi menjadi krisis. Mereka yang selalu memperbaharui materi untuk pengajaran, rajin
memantau perkembangan tren dan issue, baik dalam skala nasional maupun internasional. Materi
yang telah mereka kumpulkan ini bisa berguna bagi organisasi/perusahaan yang membutuhkannya,
terutama bila tidak tersedia tim internal yang cukup untuk memantau perkembangan tren dan issue
tersebut.
3) Futurolog/pengamat  sesuai dengan profesinya, futurolog meramalkan masa depan sehingga
mereka juga mampu mendeteksi tren atau issue apa yang akan mengakibatkan krisis pada suatu
organisasi/perusahaan atau negara sekalipun. Contohnya adalah John E. Naisbitt, pengarang buku
Megatrends. Sedangkan para pengamat (politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dll.) juga adalah
orang-orang yang terus menggali informasi tentang tren dan issue, kemudian menganalisanya
untuk dipaparkan dalam berbagai media massa.
4) Konsultan  para konsultan perusahaan yang memang dikontrak untuk membantu tim internal
organisasi/perusahaan dalam memantau tren dan issue yang berpotensi menjadi suatu krisis, dapat
dimintai saran dan nasehat bagaimana cara mengidentifikasi krisis. Bahkan dewasa ini ada
perusahaan konsultan yang khusus menawarkan jasa untuk crisis assessment.
8

DAFTAR REFERENSI

Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated
Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997.

Goldhaber, Gerald M. Organizational Communication. Fourth Edition. Dubuque, Iowa: Wm. C.


Brown Publishers, 1986.

Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT.
Pusaka Utama Grafiti, 2003.

Pace, R. Wayne, Don F. Faules. Organizational Communication. Third Edition. Englewood Cliffs,
New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1983.

Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 1999.

Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New
Delhi: Crest Publishing House, 2003.

Rogers, Everett M., Rekha Agarwala-Rogers. Communication in Organization. New York: The Free
press, 1976.
Ruslan, Rosady, SH, MBA. Seri-1: Praktik dan Solusi Public Relations dalam Situasi Krisis dan
Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, Juni 1999.

Sadgrove, Kit. The Complete Guide to Business Risk Management. Mumbai: Jaico Publishing
House, 1997.

Seitel, Fraser P. The Practice of Public Relations. Eight Edition. Upper Saddle River, New Jersey:
Prentice-Hall, Inc., 2001.

White, John, Laura Mazur. Strategic Communications Management: Making Public Relations
Work. Great Britain: Addison-Wesley Publishers Ltd., 1995.

Artikel-artikel dari internet.


9

TABEL 2
TABEL AUDIT KELEMAHAN PERUSAHAAN/ORGANISASI

No TIPE RESIKO KELEMAHAN PRIORITAS TINDAKAN BIAYA


(Rendah ke Tinggi)* (“Prioritas (Langkah-
Utama” langkah yang
ke diambil untuk
“Tanpa mengurangi
Prioritas”) kelemahan)

Kualitas
1.
produk/jasa
2. Lingkungan

Kesehatan &
3. keamanan tempat
kerja

4. Kebakaran
Keamanan dari
5.
kejahatan
6. Penipuan
7. Keuangan
8. IT
9. Pemasaran
10. Karyawan
11. …………
12. …………
13. …………
14. …………
15. …………

* Berdasarkan “Tabel Tingkat Probabilitas & Keseriusan Resiko”


10

TABEL 2

TABEL AUDIT KELEMAHAN PERUSAHAAN/ORGANISASI

No TIPE RESIKO ISSUE/PERISTIWA NILAI TOTAL NILAI


RESIKO (Tinggi ke rendah)*

1.

2.

3.

4.

5.

6.

* Berdasarkan nilai dari “Tabel Tingkat Probabilitas & Keseriusan Resiko”


11

TABEL 3

TABEL ANALISIS DAMPAK

1. Masalah Perusahaan kompetitor bangkrut sehingga permintaan akan


produk perusahaan melebihi kapasitas 30 persen.
2. Skala Para pelanggan penting akan sangat marah sehingga mereka
dapat membeli dari perusahaan-perusahaan kompetitor di luar
negeri.
3. Skala Waktu Masalah ini mendesak.
Persediaan beberapa item produk habis, sedangkan perencanaan
produksi memperkirakan waktu 3 bulan untuk pengiriman.
Persediaan beberapa item produk lain akan habis dalam jangka
waktu 5 – 30 hari.
4. Kontrol Solusi masa depan ada dalam kontrol perusahaan
5. Pilihan Jangka Pendek:
1. Membeli produk dari perusahaan kompetitor luar negeri
2. Pembagian suplai produk
3. Menambah shift kerja ekstra
4. Meningkatkan produktivitas
Jangka Menengah:
Menyewa atau membeli peralatan baru untuk memproduksi lebih
banyak produk.
6. Tindakan yg Diawali dengan pembagian suplai produk dengan prioritas para
disetujui pelanggan utama.
 Meningkatkan produktivitas – menugaskan para teknisi untuk
memaksimalkan output, mungkin dengan mengalokasikan
lebih banyak truk forklift untuk meningkatkan kecepatan
penanganan bahan baku.
 Mengkalkulasi biaya untuk shift kerja tambahan.
 Review permasalahan dalam waktu 1 (satu) minggu.

Anda mungkin juga menyukai