I. MENGENALI RUMOR
Jika kita melihat kembali kasus P&G di atas, mengenali rumor menjadi penting bagi praktisi PR.
Bukan saja karena rumor dapat menjadi penyebab krisis di organisasi/perusahaan, namun juga karena
rumor bisa beredar atas suatu krisis di organisasi/perusahaan yang terjadi akibat hal lain, bila
organisasi/perusahaan tersebut tidak memberikan informasi yang jelas kepada publiknya.
2
3. Grapevine
Untuk memahami darimana asal rumor, ada baiknya kita juga mengetahui yang dimaksud
dengan grapevine, yang dianggap sebagai alat penyebaran rumor di organisasi/ perusahaan bahkan di
masyarakat.
Menurut Keith Davis, istilah grapevine berasal dari Perang Sipil di Amerika Serikat. Saluran
telegraf yang bergantungan bebas dari satu pohon ke pohon lain serta merambat seperti pohon anggur
menyebabkan pesan yang disampaikan sering terganggu dan tidak jelas, sehingga rumor dikatakan
berasal dari ‘rambatan pohon anggur’. Arti ‘grapevine’ sendiri adalah ‘alat tidak resmi yang menjadi
tempat penyebaran berita’. (Goldhaber, 1986:176)
Komunikasi antar karyawan tanpa memandang posisi mereka dalam organisasi menyebabkan
arus informasi yang lebih pribadi. Arah arus informasinya kurang stabil. Informasi dapat mengalir ke
atas, ke bawah, ke samping bahkan melintasi jalur. Karena sifatnya informal, informasi pribadi muncul
dari interaksi di antara mereka dan mengalir ke berbagai arah yang tak dapat diduga. Jaringan inilah
yang diacu sebagai suatu grapevine (rambatan pohon anggur). Suatu metafora yang tepat karena
pohon anggur tumbuh dengan cabang yang merambat ke semua arah, menyembunyikan buah
anggurnya dalam naungan daun-daunnya yang rimbun hingga hampir tak terlihat. Informasi yang
mengalir sepanjang jaringan grapevine juga tampak berubah-ubah dan dilakukan secara
rahasia/sembunyi-sembunyi (Pace & Faules, 1983:136-137).
Dalam terminologi komunikasi menurut Jess Stein dalam kamus “The Random House Dictionary
of the English Language”, ‘grapevine’ digambarkan sebagai ‘suatu metode orang-ke-orang yang
menyampaikan laporan rahasia yang tidak dapat diperoleh melalui saluran yang umum’. (Pace &
Faules, 1983:137)
Keith Davis dalam bukunya “Human Behaviour at Work” menyatakan bahwa terminologi
grapevine dapat diterapkan pada seluruh komunikasi informal. Komunikasi informal cenderung terdiri
atas laporan-laporan “rahasia” tentang orang dan peristiwa yang tidak menyebar melalui saluran resmi
dan formal. Informasi yang diperoleh melalui grapevine lebih menyangkut tentang “apa yang
seseorang katakan atau dengar” dibandingkan dengan apa yang diumumkan oleh otoritas. Setidaknya,
si sumber berita tetap menjadi “rahasia” meski informasi yang disebarkan sebenarnya tidak menjadi
rahasia.
2) Akurat masing-masing peneliti seperti Davis, Marting, Walton dan Rudolph memberikan
keakuratan informasi yang berasal dari grapevine sebesar 78% hingga 90%. Namun justru pihak
manajemen yang sering mempertanyakan keakuratan pesan melalui grapevine. Riset Goldhaber
menunjukkan bahwa para karyawan cenderung mencari informasi tambahan yang mereka inginkan
melalui grapevine karena dianggap cepat dan sering digunakan, namun grapevine dianggap
sebagai sumber informasi yang kurang akurat dibandingkan dengan sumber lain yang lebih jelas
keakuratannya. Keith Davis juga percaya bahwa grapevine dianggap kurang akurat akibat
kesalahan informasinya lebih dramatis. Lagipula, bagian informasi yang tidak akurat ternyata isinya
sering lebih penting daripada bagian yang akurat.
3) Membawa banyak informasi grapevine menjadi fakta kehidupan organisasi/ perusahaan. Namun
manajemen dapat menggunakannya sebagai jaringan penyebaran pesan yang tidak bisa disebarkan
melalui saluran formal. Selain itu, grapevine juga memberikan masukan pada pihak manajemen
tentang pandangan karyawan terhadap organisasi/perusahaan. Atribut negatif dari grapevine
3
adalah kesempatannya menjadi jaringan tempat rumor beredar. Suatu topik yang sangat diminati
namun hanya memiliki sedikit sekali informasi beresiko terhadap penyebaran rumor. Contohnya
kenaikan gaji atau jabatan (yang menjadi perhatian utama setiap karyawan) dilakukan oleh
perusahaan tanpa standar yang jelas. Hal ini akan menimbulkan berbagai cerita melalui grapevine
tentang “pilih kasih” dan “kurangnya standar”. Untuk rumor yang mulai beredar, hal terbaik yang
dapat dilakukan adalah segera memberikan fakta bagi mereka yang paling terkena dampak
penyebaran rumor tersebut.
4) Menyebar melalui kelompok (cluster) konsep yang salah tentang grapevine adalah cara
penyebaran pesan yang digambarkan seperti sekuen rantai dari A ke B ke C ke D dan seterusnya.
Padahal, seperti yang dijelaskan oleh Keith Davis, si A tadi bercerita kepada tiga atau empat orang
lainnya, kemudian satu atau dua orang dari penerima berita tadi menyebarkan informasi ini ke lebih
dari satu orang. Dan ketika informasinya beredar semakin lama, orang-orang yang mengetahui
informasi tersebut menjadi bertambah banyak, hingga perlahan-lahan informasi itu menghilang
karena mereka yang menerimanya tidak mengulanginya lagi. Jaringan ini disebut “rantai kelompok”
karena setiap hubungan dalam rantai cenderung menginformasikan pada sekelompok orang dan
tidak hanya pada satu orang saja.
Keith Davis menambahkan bahwa “membunuh” grapevine sama sulitnya seperti membunuh
ular mistik dari kaca yang ketika pecah menjadi kepingan-kepingan, maka akan tumbuh ular baru dari
tiap kepingannya. Karena itu ia menyarankan agar pimpinan organisasi yang bijaksana harus,
“memberi pupuk, air dan mengolah grapevine”. Dengan kata lain, memberitahukan hal yang
sebenarnya, dan menginformasikannya dengan segera. (Rogers & Agarwala-Rogers, 1976:82).
Beberapa resiko tingkat keseriusannya rendah namun sering terjadi, seperti kecelakaan kerja di
perusahaan konstruksi. Meskipun terdapat korban jiwa, biasanya tidak menyebabkan perusahaan harus
menghentikan proses pembangunan dan kerugian yang diderita tidak terlalu besar. Sedangkan
peristiwa bencana seperti pabrik ditabrak pesawat terbang sangat jarang terjadi sehingga perusahaan
tidak bersusah payah mengelola resikonya. Tetapi kebakaran besar di pabrik perusahaan tekstil
misalnya, mungkin terjadi dan cukup menimbulkan bencana, sehingga manajemen harus memikirkan
cara untuk menanggulanginya sebelum peristiwa tersebut benar-benar terjadi.
4
Karena itu, perusahaan/organisasi perlu membuat tabel yang dapat membantunya dalam
memprioritaskan resiko terkecil hingga terbesar yang dapat dihadapinya. Resiko yang memiliki dampak
terbesar harus segera ditangani. Contoh pengukuran resiko yang dihadapi oleh perusahaan/organisasi
dapat dilihat pada tabel 1, “Tabel Tingkat Probabilitas & Keseriusan Resiko”. Caranya adalah dengan
mengalikan angka di bawah garis horizontal (“Tingkat Probabilitas Terjadinya Suatu Resiko”) dengan
angka di sebelah kiri garis vertikal (“Tingkat Keseriusan”). Seperti resiko “Kebakaran Pabrik”, angkanya
adalah 3 X 4 = 12. Semakin tinggi angka suatu resiko, perusahaan/organisasi harus semakin
memperhatikan untuk segera mengelolanya (Sadgrove, 1997:20-22).
Selain itu, menurut White & Mazur (1995:210), untuk menilai sebuah peristiwa merupakan krisis
atau bukan, kita juga dapat melihat melalui definisinya. Sebuah krisis didefinisikan berdasarkan aspek-
aspek situasi berikut:
1) Ancaman tingkat tinggi terhadap kehidupan, keamanan atau keberadaan suatu organisasi;
2) Tekanan waktu, yang berarti bahwa pengambil keputusan harus bekerja cepat untuk mengatasi
situasi;
3) Stress bagi orang-orang yang bertanggungjawab dalam pengelolaan situasi.
Menurut mereka, sebuah situasi yang telah diantisipasi karena manajemen sebelumnya sudah
memiliki rencana tindakan yang terperinci serta dilatih, bukanlah sebuah krisis meski masalahnya
mungkin sangat serius. Contohnya: jatuhnya pesawat kargo di sebuah pedesaan dekat Amsterdam
ketika baru saja lepas landas dari bandara Schiphol. Walaupun peristiwa ini serius serta mengakibatkan
5
kematian orang-orang yang berada dalam gedung yang ditabrak oleh pesawat tersebut, bukanlah
sebuah krisis karena pelayanan darurat telah berlatih untuk menangani kasus seperti ini hanya
beberapa hari sebelum terjadinya tabrakan maut itu.
6) Mental blokade organisasi/perusahaan yang merasa terpojok seperti memblokade diri, ditambah
saran dari pengacara mereka untuk tidak mengatakan apapun yang akan dapat melawan mereka di
kemudian hari. Namun hal ini tidak bisa diterima.
7) Panik dengan tembok yang dipahat organisasi/perusahaan untuk menutup-nutupi informasi serta
jumlah kebocoran informasi yang terlalu banyak, terjadilah kepanikan yang merupakan gejala
umum yang selalu terjadi. Sulit sekali bagi manajemen mengambil langkah-langkah untuk
mengkomunikasikan apa yang telah terjadi.
6
3. Mengukur Skala Krisis
Jika suatu perusahaan/organisasi sudah menetapkan suatu peristiwa sebagai krisis, mereka
harus mengevaluasi skala krisis tersebut dengan “Tabel Analisis Dampak”. Contoh kasus peristiwa krisis
dapat dilihat pada Tabel 3 dan tindakan penanganannya. (Sadgrove, 1997:202).
Pekerjaan mengidentifikasi krisis dilakukan persis seperti seorang dokter melakukan diagnosis
suatu penyakit, yakni meneliti simtom dan menghambat perkembangan penyakit (dalam hal ini krisis)
untuk memperoleh gambaran yang utuh.
DAFTAR REFERENSI
Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated
Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997.
Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT.
Pusaka Utama Grafiti, 2003.
Pace, R. Wayne, Don F. Faules. Organizational Communication. Third Edition. Englewood Cliffs,
New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1983.
Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 1999.
Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New
Delhi: Crest Publishing House, 2003.
Rogers, Everett M., Rekha Agarwala-Rogers. Communication in Organization. New York: The Free
press, 1976.
Ruslan, Rosady, SH, MBA. Seri-1: Praktik dan Solusi Public Relations dalam Situasi Krisis dan
Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, Juni 1999.
Sadgrove, Kit. The Complete Guide to Business Risk Management. Mumbai: Jaico Publishing
House, 1997.
Seitel, Fraser P. The Practice of Public Relations. Eight Edition. Upper Saddle River, New Jersey:
Prentice-Hall, Inc., 2001.
White, John, Laura Mazur. Strategic Communications Management: Making Public Relations
Work. Great Britain: Addison-Wesley Publishers Ltd., 1995.
TABEL 2
TABEL AUDIT KELEMAHAN PERUSAHAAN/ORGANISASI
Kualitas
1.
produk/jasa
2. Lingkungan
Kesehatan &
3. keamanan tempat
kerja
4. Kebakaran
Keamanan dari
5.
kejahatan
6. Penipuan
7. Keuangan
8. IT
9. Pemasaran
10. Karyawan
11. …………
12. …………
13. …………
14. …………
15. …………
TABEL 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
TABEL 3