DOSEN PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
Sekar wulandari (201708055)
Diuretika adalah senyawa yang dapat meningkatkan volume urin. Diuretika bekerja dengan
meningkatkan ekskresi ion-ion Na⁺, Cl⁻ atau HCO₃⁻ yang merupakan elektrolit utama dalam
cairan luar sel. Diuretika juga menurunkan reabsorpsi elektrolit tubulus di renalis dengan
melibatkan proses transpor aktif. Diuretika terutama digunakan untuk mengurangi sembab
(edema) yang disebabkan oleh jumlah cairan luar sel, pada keadaan yang berhubungan
dengan kegagalan jantung kongestif, kegagalan ginjal, oligourik, sirosis hepatik, keracunan
kehamilan, glaukoma, hiperkalsemi, diabetes insipidus dan sembab yang disebabkan oleh
penggunaan jangka panjang kortikosteroid atau estrogen. Diuretika juga digunakan sebagai
penunjang pada pengobatan hipertensi. Berdasarkan efek yang dihasilkan diuretika dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Diuretika vang hanya meningkatkan ekskresi air dan tidak meningkatkan kadar elektrolit
tubuh .
Urin diekskresikan oleh ginjal. Unit fungsional dari ginjal adalah nefron, yang terdiri dari
glumerulus, tubulus proksimalis dan distalis, loop of henle dan saluran pengumpul (
collecting duct).
Proses transpor elektrolit dalam nefron yang dipengaruhi oleh diuretika dapat dilihat Gambar
7.1. Diuretika memengaruhi tiga proses fisiologis dalarn transpor elektrolit, yaitu pada
filtrasi glomerulus, reabsorpsi di tubulus atau loop of Henle dan sekresi di tubulus.
Secara umum diuretika dibagi menjadi tujuh kelompok yaitu diuretika osmotic, diuretika
pembentuk asam, diuretika merkuri organik, diuretika penghambat karbonik anhidrase,
diuretika turunan tiazida, diuretic hemat kaliun dan diuretika loop.
A. DIURETIKA OSMOTIK
Diuretika osmotik adalah senyawa yang dapat meningkatkan ekskresi urin dengan
mekanisme kerja berdasarkan perbedaan tekanan osmosa. Diberetika osmotik memiliki berat
molekul rendah, dalam tubuh tidak mengalami metabolisme, secara pasif disaring melalui
kapsula Bowman ginjal, dan tidak direabsorpsi oleh tubulus renalis, Bila diberikan dalam
dosis besar atau larutan pekat akan menarik dan elektrolit ke tubulus renalis, yang
disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan osmosis sehingga terjadi dieresis.
Diuretika osmotik adalah natriuretik, dapat meningkatkan ekskresi natrium dan air. Efek
samping diuretika osmotik di antara lain adalah gangguan keseimbangan, dehidrasi, mata
kabaur, nyeri kepala, dan takikardia. Contoh: manitol, glukosa, sukrosa dan urea.
Gambar 7.1 gambar skematik proses transpor elektrolit dalam nefron yang dapat dipengaruhi
oleh diuretika ( block dan beat 2011 dengan modifikasi)
Diuretik pembentuk asam adalah bahan anorganik yang dapat meyebabkan urin bersifat
asam dan mempunyai efek diuretik. Senyawa golongan ini efek diuretiknya lemah dan
menimbulkan asidosis hiperkloremik sistemik. Efek samping yang ditimbulkan antara lain
adalah iritasi lambung, penurun nafsu makan, mual, asidosis, dan ketidak norlmalan fungsi
hati.
Contoh : ammonium klorida, ammonium nitrat dan kalsium klorida.
Mekanisme kerja
Mekanise kerja terjadi efek dieresis oleh ammonium klorida digambarkn secara dematik
melalui reaksi sebagai berikut :
Selain itu kelebihan ion C⁻l dalam urin akan mengikat ion Na ⁺ membentuk garam NaCl dan
kemudian diekskresikan bersama-sama dengan sejumlah ekivalen air dan terjadi diuresis.
Penggunaan amonium klorida dalam sediaan tunggal kurang efektif karena setelah 1-2 hari,
tubuh (ginjal) mengadakan kompensasi dengan memproduksi amonia, yang akan metralkan
kelebihan asam, membentuk NH₄⁺, yang segera beri nteraksi dengan ion Cr⁻ membentuk NH
₄CI dan kemudian diekskresikan, sehingga efek diuretiknya akan menurun secara drastis.
Oleh karena itu di klinik biasanya digunakan bersama-sama ngan diuretika lain, seperti
turunan merkuri organik. Dosis oral untuk diuretik : 1-1.5 g4 dd.
NH₄CI lebih sering digunakan sebagai ekspektoran dalam campuran obat batuk, karena
dapat meningkatkan sekresi cairan saluran napas sehigga mudah dikeluarkan .
Diuretika merkuri organik adalah saluretik karena dapat menghambat reabsorpsi ion- ion
Na⁺, CI⁻ dan air. Absorpsi pada saluran cerna rendah dan menimbulkan iritasi lambung
sehingga pada umumnya diberikan secara parenteral. Dibanding obat diuretik lain,
penggunaan diuretika merkuri organik mempunyai merkuri organik beberapa keuntungan,
antara tidak menimbulkan hipokalemi, tidak mengubah keseimbangan elektrolit dan tidak
mempengaruhi metabolism karbohidrat dan asam urat jaringan. Diuretic merkuri organik
menimbulkan reaksi sistemikyang berat sehingga sekarang jarang digunakan sebagai obat
diuretik.
Mekanisme kerja
Diuretic merkuri organik mengandung ion merkuri, yang dapat berinteraksi dengan gugus
SH enzim ginjal ( Na, k- dependent ATP-ase ) yang berpean pada prodksi energy yang
diperlukan untuk reabsorpsi elektrolit dalam membrane tubulus, sehhingga enzim menjadi
tidak katif. Aibatnya reabsorpsi ion- ion Na ⁺, dan CI ⁻ ditubulus menurun kemudian
dikeluarkan bersama –sama dengan sejumlah ekivalen air sehingga terjadi efek dieresis.
Mekanisme reaksi diuretic merkuri organic dengan gugus SH enzim djelaskan sebagai
berikut :
Keterangan :
GII dapat berupa gigis gugus nukleofil, seperti OH, COOH, NH, SH atau cincin imidazol.
Diuretik merkuri organik mempunyai rantai yang terdiri dari 3 atom C dan satu atau Hg pada
salah satu ujung rantai, yang mnegikat gugus hidrofil X.
R = Gugus aromatik, heterosiklik atau alisiklik yang terikat pada rantai propil melalui gugus
karbamoil. Gugus R sangat menentukan distribusi dan kecepatan ekskresi diuretika.
Y= Biasanya gugus metil, dapat pula gugus etil, secara umum pengaruli g terhadap sifat
komposisi adalah kecil. H
X= Substituen yang aktif hidrofil. Biasanya X adalah gugus teofilin, yang dapat menurunkan
toksisitas obat, mengurangi efek iritasi setempat, meningkatkan kecepatan absorpsi, dan juga
memiliki efek diuretik (terjadi potensiasi). Bila X adalah gugus tiol, seperti asam
merkaptoasetat atau tiosorbitol, dapat mengurangi toksisitas terhadap jantung dan efek iritasi
setempat.
Senyawa penghambat karbonik anhidrase adalah saluretik, digunakan luas untuk pengobatan
sembab yang ringan dan moderat, sebelum diketemukan diuretika turunant tiazida. Efek
samping yang ditimbulkan golongan ini antara lain adalah gangguan luran cerna,
menurunnya nafsu makan, parestesia, asidosis sistemik, alkalinisasi urin hipokalemi. Efek
asidosis sistemik dan alkalinisasi irun dapat diubah secara.
Mekanisme kerja
Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk menjelaskan mekanisme pada tingkat molekul.
1. Karena struktur gugus sulfamil mirip dengan asam karbonat, diuretik mengandung gugus
sulfamil, seperti turunan sulfonamida dan tiazida menghambat enzim karbonik anhidrase
dan antagonis ini bukan tipe komponen hipotesis pembentukan kompleks dan
penghambatan enzim karbonik anhidrase dapat dilihat pada gambar 7.2.
2. Yonezawa dan kawan-kawan mengemukakan adanya atom nitrogen gugus sulfonamida
yang sangat nukleofil dapat bereaksi dengan karbonil anhidrase dan menghambat kerja
enzim, yang reaksinya digambarkan berikut :
Gambar 7.2 Pembentukan kompleks dan penghambatan enzim karbonik anhidrase pada sisi
aktif melalui ikatan hidrogen (Korolkovas, 1988 dengan modifikasi)
Hubungan struktur-aktivitas
a. Yang berperan terhadap aktivitas diuretika penghambat karbonik anhidrase adalah gugus
sulfamoil bebas. Gugus sulfamoil harus terikat pada gugus yang bersifat aromatik. Mono
dan disubstitusi pada gugus sulfamoil akan menghilangkan aktivitas diuretik karena
pengikatan obat-reseptor menjadi lemah. Hal ini memberi penjelasan mengapa turunan
sulfonamida, kecuali sulfanilamid, tidak mampu menghambat enzim karbonikanhidrase,
dan tidak menimbulkan efek.
b. pemasukan gugus metil pada asetazolamid (metazolamid) dapat meningkatkan aktivitas
obat dan memperpanjang masa kerja obat. Hal ini disebabkan karena metazolamid
mempunyai kelarutan dalam lemak lebih besar, reabsorpsi pada tubulus menjadi lebih
baik dan afinitas terhadap enzim lebih besar. Metazolamid mempunyai aktivitas diuretik
± 5 kali lebih besar dibanding asetazolamid.
c. Modifikasi yang lain dari struktur asetazolamid secara umum akan menurunkan aktivitas.
Deasetilasi akan menurunkan aktivitas dan perpanjangan gugus alkil pada rantai asetil
akan meningkatkan toksisitas.
d. Studi hubungan struktur-aktivitas turun.an meta-disulfamoilbenzen menunjukan bahwa
senyawa induk tersebut mempunyai aktivitas penghambat karbonik anhidrase relatif
rendah, subtitusi gugus Cl, Br, CF₃ dan NO₂ pada cincin benzen akan meningkatkan
aktivitas. Substitusi 2 gugus Cl pada cincin, seperti pada diklorfenamid, akan
meningkatkan aktivitas penghambat karbonik anhidrase setara dengan aktivitas
asetazolamid. Substitusi gugus amino akan meningkatkan aktivitas saluretik, tetapi
menurunkan efek penghambat karbonik anhidrase, seperti pada kloraminofenamid.
Salah satu gugus sulfamoil dapat diganti dengan gugus yang mempunyai sifat elektrofilik
serupa, seperti gugus karboksil atau karbamole dan kemungkinan akan meningkatkan
aktivitas diuretik dan menurunkanefek penghambat karbonik anhidrase Contoh:
1. Asetazolamid (Diamox, Glaupax), diabsorpsi secara cepat dalam saluran cerna
diekskresikan melalui urin dalam bentuk tak berubah ± 70%. Kadar plasma tertinggi
obat dicapai dalam ± 2 jam setelah pemberian oral, dengan paro waktu paro ± 5 jam.
Asetazolamid juga digunakan untuk pengobatan glaukom dan sebagai penunjang pada
pengobatan epilepsi petit mal, dikombinasi dengan obat antikejang, seperti fenitoin.
Dosis sebagai diuretik dan untuk pengobatan glaukoma: 250 mg 2-4 dd.
2. Metazolamid, dianjurkan sebagai penunjang pada pengobatan glaukoma kronik.
Penurunan tekanan intraokuler terjadi 4 jam setelah pemberian oral dengan efek
puncak dalam 6-8 jam, dan masa kerja 6-8 jam. Dosis pengobatan glaukoma: 50-100
mg 2-3 dd.
3. Etokzolamid, mempunyai aktivitas diuretik dua kali lebih besar dibanding
asetazolamid, digunakan untuk pengobatan glaukoma dan mengontrol serangan
epilepsi. Kadar plasma tertinggi obat dicapai dalam ± 2 jam setelah pemberian oral,
dengan masa kerja 8-12 jam. Dosis seabgai duretik dan untuk pengobatan glaukoma:
125-250 mg 2-4 dd.
4. Diklorfenamid, aktivitas diuretiknya sama dengan metazolamid, digunakan untuk
pengobatan glaukoma dan mengontrol serangan epilepsi. Dosis sebagai diuretik dan
untuk pengobatan glaukoma: 25-100 mg 2-4 dd.
Diuretika turunan tiazida adalah saluretik, yang dapat menekan reabsorpsi ion Na⁺, Cl⁻ dan
air. Turunan ini juga meningkatkan ekskresi ion-ion K⁺, Mg⁺⁺ , HCO₃⁻ dan menurunkan
ekskresi asam urat. Diuretika turunan tiazida terutama digunakan untuk pengobatan sembab
pada keadaan dekompensasi jantung dan sebagai penunjang pada pengobatan hipertensi
karena dapat mengurangi volume darah dan secara langsung menyebabkan relaksasi otot
polos arteriola. Turunan ini dalam sediaan sering dikombinasi dengan obat-obat
antihipertensi, seperti reserpin dan hidralazin, untuk pengobatan hipertensi karena
menimbulkan efek potensiasi. Diuretika turunan tiazid menimbulkan efek samping
hipokalemi, gangguan keseimbangan elektrolit dan menimbulkan penyakit pirai yang akut.
MEKANISME KERJA
Diuretic turunan tiazid mengandung gugud sulfamil sehingga dapat menghambat enzim
karbonik inhidrase. Juga diketahui bahwa efek saluretiknya terjadinya karena adanya
pemblokan proses transpor aktif ion klorida dan reabsorpsi ion yang menyertainya pada loop
of henle, dengan mekanisme yang belum jelas, kemungkinan karena peran dari
prostaglandin.turunan tiazid juga menghambat enzim karbonik anhidrase di tubulus distalis
tetapi efeknya relatif lemah.
a. Pada posisi l cincin heterosiklik adalah gugus SO₂ atau CO₂. Gugus SO₂ mempunyai
aktivitas yang lebih besar.
b. Pada posisi 2 ada substituen gugus alkil yang rendah, biasanya gugus metil.
c. Posisi 3 mnerupakan tempat sangat penting untuk modifikasi struktur. Pada posisi 3 ada
substituen lipofil, seperti alkil terhalogenasi (CH₂CI, CH₂SCH₂CF₃), CH₂- C₆H₅ dan
CH₂SCH₂-C₆H₅. Substituen-substituen tersebut memegang peran penting dalam
menentukan potensi dan lama kerja diuretika turunan tiazid.
d. Ada ikatan C₃-C₄ jenuh. Reduksi ikatan rangkap pada C₃-C₄ dapat meningkatkan aktivitas
diuretik ±10 kali.
e. Substitusi langsung pada posisi 4, 5, atau 8 dengan gugus alkil akan menurunkan aktivitas
diuretic.
f. Pada posisi 6 ada gugus penarik elektron (gugus aktivasi) yang sangat penting, seperti
CI, Br, CF₃ dan NO₂. Hilangnya gugus tersebut menyebabkan penurunan aktivitas secara
drastis. Penggantian gugus Cl dengan CF₃ dapat meningkatkan kelarutan senyawa dalam
lemak sehingga memperpanjang masa kerja obat.
g. Pada posisi 7 ada gugus sulfamil yang tidak tersubstitusi, yang merupakan gugus fungsi
untuk aktivitas diuretik. Turunan mono dan disubstitusi dari gugus sulfamil tidak
mempunyai aktivitas diuretik.
h. Gugus sulfamil pada posisi, meta. (I) dapat diganti dengan gugus-gugus elektronegatif
lain, membentuk gugus induk baru yang dinamakan diuretika seperti tiazid (thiazide-like
diuretics) seperti pada turunan salisilanilid (xipamid), turunan benzhidrazid (klopamid
dan indapamid), dan turunan ptalimidin (klortalidon).
Hubungan struktur dan aktivitas diuretika turunan tiazida dapat dilihat Tabel 7.2
Tabel 7.2 Hubungan struktur-aktivitas diuretika türunan tiazida (Lemke el- 2008)
Dari tabel 7.2 terlihat bahwa tidak ada korelasi yang bermakna antara potensi naturetik oral
dengan aktivitas penghambatan karbonik anhidrase, yang dapat dilihat dari dosis penggunaan.
Contoh:
Diuretika hemat kalium adalah senyawa yang mempunyai aktivitas natriuretik ring dan dapat
menurunkan sekresi ion H⁺ dan K⁺. Senyawa tersebut bekerja pada tubulus distalis dengan
memblok penukaran ion Na⁺ dengan ion H⁺ dan K⁺, menyebabkan retensi ion K⁺ dan
meningkatkan sekresi ion Na⁺ dan air. Aktivitas diuretiknya relatif lemah, biasanya diberikan
bersama-sama dengan diuretika turunan tiazida. Kombinasi ini menguntungkan karena dapat
mengurangi sekresi ion K⁺ sehingga menurunkan terjadinya hipokalemi dan menimbulkan
efek aditif. Obat golongan ini menimbulkan ek samping hiperkalemi, dapat memperberat
penyakit diabetes dan pirai, serta nenyebabkan gangguan pada saluran cerna.
Mekanisme kerja
Diuretika hemat kalium bekerja pada saluran pengumpul, dengan mengubah kekuatan pasif
yang mengontrol pergerakan ion-ion, memblok reabsorpsi ion Na⁺ dan ekskresi ion K⁺
sehingga meningkatkan ekskresi ion Na⁺ dan Cl⁺ dalam urin. Duretika hemat kalium dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu diuretika dengan efek langsung dan antagonis aldosteron.
a. Amilorid HCI (Puritrid), selain bekerja melalui mekanisme kerja di atas juga dapat
mengubah permeabilitas membran terhadap ion Na⁺ dan menyebabkan retensi ion K⁺
dan H⁺. Amilorid digunakan untuk mengontrol sembab dan hipertensi. Awal keria
amilorid terjadi 2-3 jam setelah pemberian secara oral, kadar serum tertinggi dicapai
dalam 3-4 jam, waktu paro ± 6 jam dan mempunyai masa kerja cukup panjang 24
jam. Penggunaan obat dapat dalam bentuk tunggal atau dikombinasi dengan diuretika
turunan tiazida. Dosis oral untuk diuretik: 5 mg 1-2 dd, untuk mengontrol hipertensi:
5 mg 1 dd.
b. Triamteren, adalah diuretika turunan pteridin, absorpsi dalam saluran cerna cepat
tetap tidak sempurna. Ketersediaanhayatinya 30-70%, pada cairan tubuh ± 45 75%
terikat oleh protein plasma. Kadar plasma tertinggi obat dicapai dalam 1-2 jam setelah
pemberian oral, dengan waktu paro biologis 2-4 jam. Dosis diuretik 15-300 mg/hari.
2. Antagonis Aldosteron
Contoh: spironolakton.
Contoh:
Spironolakton (Aldactone, Idrolatton), diabsorpsi dengan baik dalam saluran cerna ±98%
terikat oleh protein plasma. Spironolakton cepat dimetabolisis di hati menjadi kanrenon,
yaitu bentuk yang bertanggung jawab terhadap 80 % aktivitas diuretiknya Waktu paronya
cukup lama, antara 10-35 jam. Aktivitasnya meningkat bila diben bersama-sama dengan
diuretika turunan tiazida atau diuretika loop. Dosis: 50- mg/hari.
G. DIURETIKA LOOP
Duretika loop merupakan senyawa saluretik yang sangat kuat, aktivitasnya jauh lebih besar
dibanding turunan tiazida dan senyawa saluretik lain. Turunan ini dapat memblok transpor
aktif NaCl pada loop of Henle sehingga menurunkan reabsorpsi NaCI dan meningkatkan
ekskresi NaCl lebih dari 25 %.
Mekanisme kerja
Model kerja diuretika loop pada tingkat molekul belum diketahui secara pasti tetapi ada tiga
hipotesis yang kemungkinan dapat digunakan untuk menjelaskan mode tersebut,yaitu:
Duretika loop menimbulkan efek samping yang cukup serius, seperti hiperurisemi,
hiperglikemi, hipotensi, hipokalemi, hipokloremik alkalosis, kelainan hematologis dan
dehidrasi. Biasanya digunakan untuk pengobatan sembab paru yang akut, sembab karena
kelainan jantung, ginjal atau hati, sembab karena keracunan kehagnilan, sembab otak dan
untuk pengobatan hipertensi ringan. Untuk pengobatan hipertensi yang moderat dan berat
biasanya dikombinasi dengan obat antihipertensi, seperti L- α- netildopa.
Stuktur kimia golongan ini bervariasi dan secara umum dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
turunan asam fenoksiasetat dan turunan sulfamoilbenzoat.
Asam etakrinat menimbulkan aktivitas diuretik karena dapat berinteraksi dengan gugus
sulthidril enzim yang bertanggung jawab pada proses reabsorpsi Na⁺ di tubulus renalis. Yang
berperan pada interaksi tersebut adalah gugus α, β-ikatan rangkap tidak jenuh.
Mekanisme reaksi asam etakrinat dengan gugus sulfhidril enzim dijelaskan sebagai berkut.
Asam etakrinat mempunyai awal kerja yang cepat ±30 menit setelah pemberian oral,dan
efeknya berakhir setelah 6-8 jam. Dosis: 50-100 mg 2-3 dd.
aktivitas relatif beberapa turunan asam etakrinat dapat dilihat pada Tabel 7.3.
a. Reduksi gugus α β-keton tidak jenuh akan menghilangkan aktivitas karena senyawa tidak
mampu berinteraksi dengan gugus SH enzim.
b. Substitusi H pada atom Ca dengan gugus alkil akan menurunkan aktivita
c. Adanya gugus etil pada atom Cβ membust senyawa mempunyai aktivitas maksimal
makin besar jumlah atom C, aktivitas makin menurun.
d. Substitusi pada cincin aromatik. Adanya gugus Cl pada posisi orto cincin aromatik dapat
meningkatkan aktivitas lebih besar dibanding substitusi pada posisi karena efek induktif
gugus penarik elektron tersebut dapat menunjang serangan nukleofil terhadap gugus SH.
Disubstitusi gugus CI atau metil pada posisi orto dan meta akan lebih meningkatkan
aktivitas. Adanya gugus pendorong elektron kuat pada cincin aromatik, seperti gugus
amino atau alkoksi, akan menurunkan aktivitas secara drastis.
e. Adanya guğus oksiasetat pada posisi para dapat meningkatkan aktivitas gugus pada posisi
orto atau meta akan menurunkan aktivitas.
Turunan ini dibagi menjadi dua golongan yaitu turunan asam 5-sulfamoil-2-
aminobenzoat dan 5-sulfamoil-3-aminobenzoat.
contoh turunan asam 5-sulfamoil-2-aminobenzoat : furosemid, dan azosemid.
Contoh turunan asam 5-sulfamoil-3-aminobenzoat : bumetanid, dan piretanid.
Hubungan struktur dan aktivitas
a. Substituen pada posisi l harus bersifat asam, gugus karboksilat mempunyai aktivitas
diuretik optimum.
b. Gugus sulfamoil pada posisi 5 merupakan gugus fungsi untuk aktivitas diuretik yang
optimum.
c. Gagus aktivasi pada posisi 4 bersifat penarik elektron, seperti gugus-gugus Cl dan CF₃,
dapat pula diganti dengan gugus fenoksi (C₆H₅-O-), alkoksi, anilino (C₆ H₅- NH-), benzil,
benzoil, atau C₆H₅-S, dengan disertai penurunan aktivitas.
d. pada turunan asam 5-sulfamoil-3-aminobenzoat, substituen pada gugus 3 amino relatif
lebih banyak tanpa mempengaruhi aktivitas diuretik optimal.
Contoh:
1 furosemid (Lasix, Farsix, Salurix, Impugan), merupakan diuretika saluretik yang kuat,
aktivitasnya 8-10 kali diuretika tiazida. Awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 Jam setelah
pemberian oral, dengan masa kerja yang relatif pendek ± 6-8 jam. Absorpsi furosemid
dalam saluran cerna cepat, ketersediaanhayatinya 60-69% pada subyek normal, dan ±91-
99% obat terikat oleh plasma protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah
pemberian secara oral, dengan waktu paro biologis ± 2 jam. Furosemid digunakan untuk
pengobatan hipertensi ringan dan moderat, karena dapat menurunkan tekanan darah.
Dosis: 20-80 mg/hari.
2 Bumetanid (Burinex), merupakan diuretik yang kuat dengati masa kerja pendek ( ± 4
jam). Bumetanid digunakan terutama untuk pengobatan sembab yang berhubungan
dengan penyakit jantung, hati dan ginjal. Pemindahan gugus amin dari posisi 2 ke posisi 3
dapat meningkatkan aktivitas diuretik sampai ± 50 kah, tetapi senyawa mempunyai masa
kerja pendek.
Bumetanid diabsorpsi dalam saluran cerna secara cepat dan sempurna, ± 98 % terikat
oleh protein plasma. Efek maksimum dicapai ± 2 jam setelah pemberian dan waktu
paronya ± 1 jam. Selain sebagai diuretik, bumetanid juga mempun efek antihipertensi.
Dosis: 1-2 mg/hari.
HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA KOLINERGIK
Senyawa kolinergik adalah senyawa yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan efek seperti yang ditunjuk kan oleh asetilkolin. Suatu senyawa normal tubuh
yang disintesis pada jaringan saraf, sinapsis kolinergik dan dinding usus. Ada dua tipe efek
yang dihasilkan asetilkolin yaitu efek maskarinik dan nikotinik.
Efek muskarinik serupa dengan efek yang dihasikan oleh muskarin, suatu alkaloida yang
terdapat pada jamur Anamita muscarina. Efek tersebut terjadi pada resenpor post ganglionik
parasimpatetik, yang dapat menyebabkan antara lain hambatan irama sinus nodal jantung,
vasodilatasi perifer, kontraksi pupil, peningkatan sekresi kelenjar dan salivasi, peningkatan
kontraksi dan aksi peristaltik saluran cerna dan peningkatan kontraksi saluran seni. Efek
muskariaik ini dapat diblok oleh atropin.
Efek nikotinik serupa dengan efek yang dihasilkan oleh nikotin, suatu alkaloida yang terdapat
pada daun tembakau (Nicotiana tabacum). Efek tersebut terjadi pada ganglia dan motor end
plate, yang menyebabkan antara lain peningkatan tonus otot rangka. Efek nikotinik ini dapat
diblok oleh ion tetraetilamonium.
Asetilkolin secara cepat dihidrolisis oleh enzim kolinesterase menjadi kolin dan asam asetat
selingga masa kerjanya pendek. Asetilkolin menimbulkan efek muskarinik dan nikotinik
karena dapat membentuk dua konformasi molekul yang berbeda. Bentuk konformasi
memanjang (transoid) dapat berinteraksi dengan reseptor muskarinik dan menimbulkan efek
muskarinik, sedang bentuk konformasi tertutup (cisaid= quasi- ring), dapat berinteraksi
dengan reseptor nikotinik dan menimbulkan efek rikotinik. Kemungkinan dua bentuk
konformasi asetilkolin adalah sebagai berikut.
Chothia (1970), menjelaskan bahwa efek ganda asetilkolin disebabkan karena asetilkolin
berinteraksi dengan kedua reseptor pada sisi yang berbeda. Reseptor muskarinik berinteraksi
melalui sisi metil dan reseptor nikotinik melalui sisi karbonil. Interaksi asetilkolin deagan
reseptor nikotinik dan reseptor muskarinik dapat dilihat pada Gambar 12.1
Gambar 12.1 interaksi asetilkolin dengan (a) reseptor nikotinik dan (b) reseptor muskarinik
Pada Gambar 12.1 terlihat bahwa asetilkolin berinteraksi derngan reseptor muskarinik
melalui daya tarik menar k elektrostatik (E) dengan ion amonium kuarterner, ikatan hidrogen
(P) dengan ester oksigen, melalui ikatan hidrofob (H) dan van der Waals (W) dengan gugus
metil.
Asetilkolin berinteraksi dengan reseptor nikotinik melalui daya tarik menarik elektrostatik (E)
dengan ion amonium kuarterner dan melalui ikatan hidrogen (P) dengan oksigen karbonil.
a. Rangsangan pada tempat reseptor spesifik dan bekerja secara langsung pada sel efektor
saraf parasimpatetik, menghasilkan efek yang serupa dengan efek yang dihasilkan oleh
rangsangan saraf post ganglionik parasimpatetik.
b. Penghambatan enzim asetilkolinesterase dan menimbulkan efek kolinergik secara tidak
langsung.
Obat kolinergik terutama digunakan untuk pengohatan gangguan saluran cerna dar saluran
seni. Beberapa diantaranya digunakan untuk pengobatan glaukoma dan miastenia gravis.
Efek samping yang ditimbulkan antara lain miosis, berkeringat, air liur berlebih, bradikardia
dan penurunan tekanan darah.
Berdasarkan mekanisme kerjanya senyawa kolinergik dibagi menjadi tiga kelompok yaitu,
senyawa kolinergik dengan efek langsung, senyawa kolinergik dengan efek tidak langsung
dan reaktivator kolinesterase.
Obat golongan ini ada yang menunjukkan efek muskarinik atau nikotinik saja tetapi adapula
yang menunjukkan kedua efek tersebut. Kolinomimetik yang menunjukkan efek muskarinik
biasanya mengandung rantai lima alon yang mengikat N-kuarterner. Banyak senyawa
kolinomimetik dihasilkan oleh penggantian isosterik yang sistematik dari atom atau gugus
tertentu dalam molekul transmiter kimianya.
Karlin dan Changeux, memberikan postulat untuk menjelaskan mekanisme kerja senyawa
kolinergik dan antikolinergik, yaitu bahwa reseptor asetilkolin dalam membran postsinaptik
dapat membentuk dua konformasi
Bila tidak ada rangsangan senyawa agonis (asetilkolin atau senyawa kolinergik lain).
konformasi terdapat dalam bentuk istirahat yang tidak aktif dan keadaan saluran tertutup.
Senyawa kolinergik dapat aembentuk kompleks dengan bentuk konformasi reseptor yang
aktif dan mengubah keseimbangan menuju ke bentuk konfomasi yang keadaan salurannya
terbuka. Senyawa antikolinergik (antagonis) mengikat bentuk konformasi reseptor yang
istirahat dan tidak aktif, dan mengubah keseimbengan menuju ke bentuk konformasi yang
keadaan salurannya tertutup. Menurut Karlin dan Changeux, ketiga bentuk konformasi yang
berbeda dari reseptor asetilkolin di atas dapat dijelaskan pada Gambar 12.2.
Gambar 12.2 reseptor asetilkolin menurut Karlin dan Changeux ada tiga bentuk konformasi yang
berbeda yaitu keadaan istirahat (R), tetutup terhadap ion-ion keadaan aktif (A) terbuka terhadapion-
ion, dan keadaan tidak aktif (I)
a. Aktivitas akan meningkat secara tetap scsuai dengan peningkatan jumlah atom C yang
terikat pada gugus oniun (-N+(CH3)3 ) sampai R=5. Bila R lebih besar dari 5 aktivitas
akan menurun secara tetap pula. Perubahan aktivitas ini berhubungan dengan perubahan
sifat lipofilik senyawa.
b. Gugus onium (N-katiorik) sangat penting antuk aktivitas kolinergik Penggantian atom N
dengan gugus elektronegatif yang lain (P, S, As) dan penggantian gugus metil dengan
gugus alkil yang lebih inggi (etil) akau menurunkan aktivitas dengan urutan: N+(Me)3
>N+(Me)2Et > P+(Me)3> N+(Me)2H > As+(Me)3>N+(Me)(Et)2>N+(Et)3.
c. Perpanjangan gugus asil akan meningkatkau aktivitas muskarinik dan menurankan
aktivitas nikotinik, sehingga senyawa Me3 C-COO-CH2-CH2-N (Me)3 tujuh sampai
sepuluh kali lebih aktif dibanding asetilkolin pada reseptor muskarinik dan sepuluh kali
kurang aktif pada resepior nikotinik.
d. Penggantian gugus metil ujung dari asetilkolin dengan gugus NH2 (karbakol)
menyebabkan senyawa lebih tahan terhadap hidrolisis sehingga dapat diberikan secara
oral. Karbakol tetap mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik. Penggantian yang
sama dari asetil-𝛽-metilkolin menghasilkan betanekol yang cukup stabil terhadap
hidrolisis, dapat diberikan secara oral dan mempunyai masa kerja yang lebilh lama.
e. Pemasukan satu gugus metil pada posisi 𝛼 jembatan etil menghasilkan senyawa asetil- 𝛼
-metilkolin deagan aktivitas nikotinik yang kuat dan aktivitas muskarinik yang lemah.
Isomer (+) dan (-) menunjukkan intensitas efek yang sama.
f. Pemasukan satu gugus metil pada posisi 6 jembatan etil menghasilkan senyawa asetil-𝛽-
metilkolin (metakolin) dengan aktivitas nikotinik yang lemah dan aktivitas muskarinik
yang kuat. Isomer L(+) sukar dihidrolisis oleh enzim kolinesterase sehingga 300 kali
lebih aktif dibanding isomer D (-). Pemasukan gugus alkil yang lebih besar (etil, propil)
pada posisi 𝛼 atau 𝛽 jembatan etil akan menurunkan aktivitas.
g. Gugus ester kurang penting untuk aktivitas kolinergik. Gugus ini dapat diganti dengan
gugus keton, eter, hidroksil atau gugus lain tanpa kehilangan aktivitas kolinergik.
Penggantian ester dengan gugus-gugus di atas dalam kenyataannya justru dapat
menimbulkan aktivitas yang lebih besar dibanding senyawa induknya (asetilkolin).
Modifikasi gugus ester asetilkolin dan pengaruhnya terhadap aktivitas kolinergik dapat dilihat
pada Tabel 12.
Struktur senyawa kolinergik dengan efek langsung dapat dilihat pada Tabel 12.2.
Tabel 12.1 Modifikasi gugus ester asetilkolin dan perubahan aktivitas kolinergik.
B. SENYAWA KOLINERGIK DENGAN EFEK TIDAK LANGSUNG
Mekanisme kerja
Pada antikolinesterase dengan masa kerja pendek, seperti fisostigmin dan neostigmin,
kekuatan ikatan kompleks obat-enzim lebih lemah dibanding dengan antikolinesterase
dengan masa kerja panjang, seperti demekarium dan senyawa organofosfat; ikatan tersebut
bersifat reversibel.
Senyawa organofosfat mempunyai masa kerja yang panjang, kadang-kadang sampai beberapa
minggu, oleh karena ikatan Enzim-O-P inempunyai energi yang lebih besar, sehingga
dihidrolisis secara lebih lambat dibanding ikatan Enzim-0-C. Beberapa literatur mengatakan
bahwa ikatan di atas bersifat ireversibel.
Antikolinesterase dibagi menjadi dua kelompok yaitu turunan karbamat dan senyawa organofosfat
1. Turunan Karbamat
Studi hubungan struktur dan aktivitas turunan karbamat menunjukkan bahwa gugus yang
berperan untuk aktivitas antikolinesterase adalah gugus amino yang tersubstitusi dan gugus
N,N-dimetil karbanat.
Mekanisme reaksi tuunan karbamat dengan enzim asetillkolinesterase dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Kecepatan hidrolisis enzim terkartaroilasi lehih lambat dibanding asetilkolin sehingga masa
kerja lebih panjang.
Struktur senyawa kolinergik dengan efek tidak langsung dan dosis yang digunakan untuk
pergobatan dapat dilihat pada Tabel 12.3.
2. Senyawa Organofosfat
R dan R' dapat berupa gugus alkil, alkoksi, ariloksi, amido atau merkaptan.
X adalah gugus halogen, siano, karboksil, fosfono oksi, fenoksi, tiofenoksi atau tiosianat.
Mekanisme reaksi senyawa organofosfat dengan enzim asetilkolinesterase dijelaskan sebagai
berikut.
Gugus hidroksil enzim yang bersifat nuklefil kuat akan berinteraksi dengan atom fosfor
membentuk ikatan kovalen yang ireversibel, sehingga enzim menjadi inaktif, terjadi
akumulasi asetilkolin dan meninbulkan efek kolinergik.
C. REAKTIVATOR KOLINESTERASE
Mekanisme kerja