Anda di halaman 1dari 8

asumsi dan dimensi perkembangan peserta didik

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna melebihi makhluk lain di muka
bumi, namun dari kelebihannya itu manusia juga mempunyai kelemahan yaitu mempunyai sifat
yang lebih jahat dari binatang buas dan sebagainya.
Pada dasarnya peserta didik sebagai manusia mempunya kelebihan yaitu fisik yang sempurna,
mempunyai hati dan mempunyai otak yang jika dalam kesehariannya dibiarkan tanpa ada
arahan atau bimbingan yang baik dari guru, orang tua dan sebagainya, maka ketiga unsur
tersebut tidak dapat berjalan dalam arah yang positif, lingkungan sangat mempengaruhi asumsi
dan ketiga dimensi peserta didik tersebut. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut cara yang
harus diambil antara lain adalah dengan membawa peserta didik kepada keaktifan yang lebih
komprehensif yang mengarah ke arah yang positif baik itu secara fisiologis maupun psikisnya.

B. Tujuan
Adapun tujun dari pembuatan makalah ini, yaitu agar pembaca dapat mendeskripsikan
tridimensi peserta didik, dimensi sosial peserta didik, dimensi spiritual dan intelektual peserta
didik serta asumsi-asumsi perkembangan peserta didik.

C. Manfaat
Adapun manfaat dari pembahasan dalam makalah ini agar pembaca dapat menambah wawasan
tentang asumsi dan dimensi perkembangan peserta didik.
BAB II
Pembahasan
A. Asumsi dan Dimensi Perkembangan Peserta Didik
a. Tridimensi Peserta Didik
Hampir semua referensi kependidikan selalu mengawali pembahasan dengan mengedepankan
esensi manusia, yang dalam konteks sekolah disebut peserta didik. Ketika itu pula mncul
pertanyaan mengenai apa esensi manusia? Pertanyaan ini agaknya paling sulit menemukan
jawabannya. Dari sisi pandang positif, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia,
berakal berbudi, insan beradab, paling potensial untuk berkembang, dan sebagainya. Dari sisi
pandang negative, kita pun melihat realitas bahwa sebagian manusia merupakan makhluk
paling rakus, pengguna teknologi yang kejam, penguras sumberdaya alam yang tamak, pebisnis
yang curang, dan sebagainnya. Tugas pendidikan adalah mengoptimasi potensi peserta didik
dari negative ke positive. Serta meningkatkan dan memapankan perilaku positif itu.
Dengan mengikuti pemikiran filsuf kuno, Ban Van Rijken (2009) berpendapat bahwa manusia,
termasuk peserta didik, terdiri dari unsur atau dimensi, yaitu fisik, nurani, dan pikiran.
Fisik manusia adalah penampakan di permukaan : jangkung, pendek, berkulit sawo matang,
berambut ikal, bermuka lonjong, berhidung mancung, berbadan tegap, bermata sipit,
beralis tebal, dan sebagainya. Dari sisi energy yang dikeluarkan, fisik manusia merupakan
sosok yang paling taat menerima perintah dari otak, baik berupa “ kata hati “, bahkan yang
bersifat refleks.
Jadi, fisik sesungguhnya merupakan instrument bagi pembantuan atas sesuatu yang lain.
Bantuan untuk kata hati atau pikiran. Sehebat, seganteng, dan secantik apa pun fisik seseorang,
dia nyaris selalu diperalat oleh kata hati dan pikiran. Sebalikya, karena kata hati dan pikiran itu
pula, fisik manusia menerima perilaku pemanjaan yang luar biasa, karena ia merupakan
penampakan ketika berada dalam konteks sosial. Adakalanya fisik bekerja sampai lelah,
sebaliknya dimanja luar biasa dengan parfum, lipstick, pelindung, dan lain-lain.
Nurani atau “nalar hati” juga dapat dipandang sebagai bantuan sebagai bantuan bagi keinginan
seseorang. Nalar semacam ini sering kali diidentikkan dengan perasaan pribadi, seperti empati,
simpati, bahkan mungkin antipati. Nalar hati esensinya baik bagi seseorang meski tidak selalu
sama tafsirkannya secara sosial. Frasa “ gunakan hati nurani”, konotasinya baik, meski
seringkali sangat subjektif. Sebaliknya, frasa “berhati busuk”, selalu jelek maknanya bagi
pihak ketiga, meski bagi seseorang “pelaku” yang diberi label semacam itu sangat mungkin
maksudnya baik dari sisi pandang dirinya.
Pikiran atau nalar otak juga dapat dipandang sebagai bantuan bagi keinginan seseorang atau
peserta didik. Nalar otak biasanya berupa kesadaran menggunakan pikiran, meski kadang-
kadang tidak harmonis dengan nalar hati.Idealnya nalar otak itu harmonis dengan latar hati,
meski dalam konteks pribadi, sosial, ekonomi, dan cultural saja tidak sejalan.Perpaduan yang
harmonis antara nalar hati dan nalar otak melahirkan kesadaran, harga diri, integritas, atau jati
diri. Kedudukannya lebih penting daripada pemikiran dan nurani yang berjalan sendiri-
sendiri.Kombinasi yang harmonis antara dimensi fisik, nurani, dan pikiran itulah yang menjadi
esensi manusia.Karenanya, esensi manusia lebih dari sekedar unsur-unsur fisik, nurani, dan
pikiran yang berjalan sendiri-sendiri. Fisik memililiki nilai lebih hanya dalam takaran
komparansi fisikal, nurani memiliki nilai lebih dalam komparansi sifat-sifat kemanusiaan , dan
pikiran memiliki nilai lebih dalam komparansi penalaran tingkat tinggi.
Sebagai manusia biasa, peserta didik itu beragam, baik secara fisik, nurani, maupun
penalarannya. Kemampuan mereka berkembang pun untuk ketiga aspek itu beragam
adanya. Keragaman itu haus dipandang sebagai lumrah dan layanan pendidikan untuk
melakukan penguatan. Peserta didik yang “kurang bernurani” (pengganggu, sering bolos,
culas, pembobong, tidak jujur, tidak ada perhatian, dan lain-lain) menginspirasi layanan
pendidikan agar mereka kembali ke koridor pribadi sejati dan memupuknya menuju kesejatian
sebagai manusia.
Peserta didik yang nalar intelektualnya lebih dibandingkan dengan yang lain menginspirasi
layanan pendidikan untuk mengaktivasinya dalam rangka bimbingan sejawat. Peserta didik
yang tingkat penalarannya kurang, menginspirasi layanan pendidikan menjadi lebih intensif,
penyediaan program remedial, bimbingan khusus, dan sebagainya.Jadi, keragaman peserta
didik secara fisik, nurani, dan pikiran menginspirasi aneka jenis layanan pendidikan dan
pembelajaran kepada mereka.Kelemahan yang ada pada diri peserta didik tidak untuk
mendiskriminasikannya, melainkan sebagai inspirator bagi munculnya aneka layanan
pendidikan dan pembelajaran.
b. Dimensi Sosial Peserta Didik
Peserta didik, seperti halnya manusia pada umumnya, dengan cirri dasar memiliki kemampuan
untuk berkembang, menalar abstrak, berbahasa dan berkomunikasi, melakukan introspeksi,
merefleksi, dan memecahkan masalah.Mereka umumnya memiliki kemapuan mental tingkat
tinggi dikombinasikan struktur tubuh yang membebaskan gerakan kaki dan tangan.Kombinasi
keduanya membuat mereka dapat memanipulasi obyek jauh lebih besar daripada kemampuan
spesies lainnya. Pada kalangan peserta didik terdapat keragaman kemampuan atau potensi
dasar pengembangan, mulai dari yang lamban, moderat, hingga luar biasa.
Pada sisi lain, peserta didik merupakan makhluk sosial yang unik dibandingkan dengan primata
lainnya, seperti kemampuan memanfaatkan system komunikasi untuk mengekspresikan diri,
mengadopsi budaya. Beretika, bertukar ide, dan mengorganisasikan diri. Di sekolah dan di
masyarakat, mereka merupakan bagian dari struktur sosial yang kompleks, yang
memungkinkannya terlibat dalam kerjasama dan persaingan, sekaligus mengembangkan
norma-norma sosial, spiritual, serta bersama-sama membentuk dasar-dasar kehidupan
masyarakat pada umumnya.
Peserta didik memiliki keinginan untuk memahami dan menerima pengaruh lingkungan
mereka, berusaha menjelaskan dan memanipulasi fenomena alam melalui ilmu pengetahuan,
penalaran, percobaan, bahkan juga dengan filsafat, serta mitologi dan agama. Rasa ingin tau,
baik alami maupun direncanakan, akan mendorong peserta didik menjadi manusia masa depan
yang mampu menciptakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tekonologi, alat-alat
canggih, serta keterampilan lain yang bermaslahat bagi diri sendiri dan kehidupan.
c. Dimensi Spritual dan Intelektual Peserta Didik
Sebagai makhluk spiritual, peserta didik memiliki jiwa dan sangat pribadi. Di dalamnya
terkandung sikap yang suci untuk saling mengasihi, membangun aspirasi dan harapan, serta
visi. Dimensi spiritual ini merupakan nilai kemanusian sejati.Kemanusiaaan merupakan salah
satu “tuan rumah” dari entitas spiritual. Ia menyediakan “kekuataan bawaan” dalam diri
manusia dan alam semesta, sekaligus merupakan pusat proses pemahaman dan pertumbuhan.
Dengan nilai-nilai spiritual itu pun peserta didik akan dapat mengenal dirinya sendiri. Kita
memang belum banyak memahami dan mengeksplorasi tentang cara kerja pikiran manusia
sebagai bagian dari kecerdasan reflektif diri sendiri.
Peserta didik adalah insan yang kesadran dan memiliki pusat kesadaran, berupa “diri sejati”
atau “jati diri”, yang di dalamnya terkandung rasa cinta, inspirasi, kasih saying, hati nurani,
bahkan iluminasi. Dimensi spiritual dan intelektual pun sesuai dengan kepentingannya menjadi
alat bagi peserta didik untuk belajar, mengingat fakta, menghitung persamaan, merencanakan
kegiatan, dan sebagainya.Dimensi-dimensi ini harus diaktivasi melalui layanan
pendidikan. Satu hal yang tidak kalah penting dalam dimensi spiritual adalah kesadaran,
sesuatu yang diidentifikasi sebagai dapat menembus semua lini kehidupan. Kesadaran peserta
didik adalah hubungan mereka dengan dunianya, sementara kemampuan berpikir merupakan
alat membuat keputusan.
Memang, hingga kini masih bnayak orang mencoba mendefinisikan peserta didik dan
hubungan interpersonal mereka dalam tafsir yang matrealistik. Hal ini dapat dipahami, karena
dengan evolusi kesadaran diri, mayoritas orang tertarik pada hal-hal material, bukan
menjelajahi misteri interaksi antara semangat universal dan dunia fisik. Idealnya, apa yang
peserta didik inginkan dalam pembelajaran adalah pengetahuan dan kepastian baginya bahwa
hal itu bermaslahat bagi kehidupan kelak.
Keinginan peserta didik mengakuisisi pengetahuan memberi preferensi bagi mereka untuk
mencari bukti ilmiah, memecahkan masalah, dan berdiskusi menurut fokus substansi yang
dipelajari. Peserta didik pun memiliki daya kreatif yang perkembangannya tidak selalu tunduk
dengan “hukum” di luar dirinya dan tidak akan menjadi terhenti, melainkan akan terus
memasuki arena yang tidak terbatas, berkembang terus dengan tingkat validitas tertentu.
Ketika peserta didik telah mencapai tingkat kesadaran ini, perkembangan bahasa mereka pun
berlanjut. Perkembangan inilah yang kemudian akan mencapai hasil yang luar biasa dalam
bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ke depan. Dimensi spiritual dan
penalaran ini pun akan mendorong peserta didik menjadi reseptor sekaligus mengembangkan
komunikasi sebagai akibat dari emosi dan sensasi mereka.
d. Asumsi-asumsi Perkembangan Peserta Didik
Pemahaman mengenai “Perkembangan Peserta Didik” dan “Tugas-tugas Perkembangannya”
merupakan instrumen untuk memberikan layanan kependidikan yang prima sesuai dengan
tahap-tahap perkembangan mereka menurut usia atau jenjang persekolahan yang dijalaninya.
Teoritikus kependidikan biasanya berpijak pada tiga aliran berfikir yang menjadi asumsi dasar
layanan kependidikan, aspek tersebut yaitu :
1. ketika dilahirkan anak manusia yang kemudian menjadi peserta didik di bangku sekolah
diasumsikan sudah memiliki bawaan tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Pemikiran
ini dianut oleh aliran Nativisme atau aliran Naturalisme. Nativisme berasal dari kata
nativesyang berarti kelahiran, sedangkan Naturalisme berasal dari kata Natur yang berarti alam.
Asumsi dasar aliran ini adalah perkembangan anak atau peserta didik ditentukan oleh
bawaannya sejak lahir. Menurut pandangan ini, lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat tidak banyak mempengaruhi perkembangan peserta didik lebih lanjut.
2. perkembangan anak atau peserta didik merupakan fenomena buatan dan karenanya
proses pengembangan mereka harus dioptimasi. Pemikiran ini dianut oleh aliran empirisme.
Empirisme berasal dari kata empire yang bermakna pengalaman artinya perkembangan anak
atau peserta didik lebih dipengaruhi lingkungan atau pengalamannya sendiri.
3. perkembangan anak merupakan fungsi dari interaksi faktor bawaan dan lingkungan.
Perkembangan anak ibaratkan bibit yang baik ditanam pada tempat yg cocok. Dengan
pemeliharaan yang prima, pemikiran ini dianut oleh aliran konvergensi yang berpendapat
bahwa kombinasi yang kongruen antara pembawaan dan lingkungan menetukan
perkembangan anak.
Dalam kerangka layanan pendidikan, ini bermakna bahwa perkembangan peserta didik akan
teroptimasi, jika guru dan tenaga kependidikannya mampu memerankan fungsi pada tempat
dan ruang yang sesuai. Namun demikian, kapasitas guru dan tenaga kependidikan tetap ada
batas-batasnya.
BAB III
Penutup

A. Kesimmpulan
Asumsi dan Perkembangan Peserta Didik meliputi :
a. Tridimensi peserta didik.
Dengan mengikuti pemikiran filsuf kuno, Ban Van Rijken (2009) berpendapat bahwa manusia,
termasuk peserta didik, terdiri dari 3 unsur atau dimensi, yaitu fisik, nurani, dan pikiran.
b. Dimensi sosial peserta didik.
Peserta didik, seperti halnya manusia pada umumnya, dengan cirri dasar memiliki kemampuan
untuk berkembang, menalar abstrak, berbahasa dan berkomunikasi, melakukan introspeksi,
merefleksi, dan memecahkan masalah. Mereka umumnya memiliki kemapuan mental tingkat
tinggi dikombinasikan struktur tubuh yang membebaskan gerakan kaki dan tangan. Kombinasi
keduanya membuat mereka dapat memanipulasi obyek jauh lebih besar daripada kemampuan
spesies lainnya.

Pada sisi lain, peserta didik merupakan makhluk sosial yang unik dibandingkan dengan primata
lainnya, seperti kemampuan memanfaatkan system komunikasi untuk mengekspresikan diri,
mengadopsi budaya. Beretika, bertukar ide, dan mengorganisasikan diri. Di sekolah dan di
masyarakat, mereka merupakan bagian dari struktur sosial yang kompleks, yang
memungkinkannya terlibat dalam kerjasama dan persaingan, sekaligus mengembangkan
norma-norma sosial, spiritual, serta bersama-sama membentuk dasar-dasar kehidupan
masyarakat pada umumnya.

c. Dimensi spiritual dan intelektual peserta didik


Dimensi spiritual dan intelektual pun sesuai dengan kepentingannya menjadi alat bagi peserta
didik untuk belajar, mengingat fakta, menghitung persamaan, merencanakan kegiatan, dan
sebagainya.Dimensi-dimensi ini harus diaktivasi melalui layanan pendidikan. Satu hal yang
tidak kalah penting dalam dimensi spiritual adalah kesadaran, sesuatu yang diidentifikasi
sebagai dapat menembus semua lini kehidupan. Kesadaran peserta didik adalah hubungan
mereka dengan dunianya, sementara kemampuan berpikir merupakan alat membuat keputusan.
d. Asumsi-asumsi perkembangan peserta didik
1. ketika dilahirkan anak manusia yang kemudian menjadi peserta didik di
bangku sekolah diasumsikan sudah memiliki bawaan tersendiri yang berbeda dengan
yang lainnya.
2. perkembangan anak atau peserta didik merupakan fenomena buatan dan karenanya proses
pengembangan mereka harus dioptimasi.
3. perkembangan anak merupakan fungsi dari interaksi faktor bawaan dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarman. 2010. Perkembangan Peserta Didik. Bandung : ALFABETA


whira paputungan di 02.52

Anda mungkin juga menyukai