Anda di halaman 1dari 63

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Teori Jantung

1. Anatomi Fisiologi Jantung

Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat

buah ruang yang terletak di rongga dada, di bawah

perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum.

Ruang jantung terdiri atas dua ruang yang berdinding tipis

disebut atrium (serambi) dan dua ruang yang berdinding

tebal disebut ventrikel (bilik) (Muttaqin, 2009).

Jantung memiliki berat sekitar 300 gr, meskipun berat

danukuranny dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, berat

badan, beratnyaaktifitas fisik, dll. Jantung dewasa normal

berdetak sekitar 60 sampai80 kali per menit, menyemburkan

sekitar 70 ml darah dari keduaventrikel per detakan, dan

keluaran totalnya sekitar 5 L/ menit (Smeltzer dan Bare,

2002).

Gambar 2.1 Anatomi Jantung


Jantung terletak di dalam rongga mediastinum dari rongga dada

(thoraks), diantara kedua paru.Selaput yang mengitari jantung disebut

pericardium, yang terdiri atas 2 lapisan, yauitu pericardium parietalis,

merupakan lapisan luar yang melekat pada tulang dada dan selaput

paru dan pericardium viseralis, yaitu lapisan permukaan dari jantung

itu sendiri, yang juga disebut epikardium.

Di dalam lapisan jantung tersebut terdapat cairan

pericardium,yang berfungsi untuk mengurangi gesekan yang timbul

akibat gerak jantung saat memompa.Dinding jantung terdiri dari 3

lapisan, yaitu lapisan luar yang disebut pericardium, lapisan tengah

atau miokardium merupakan lapisan berotot, dan lapisan dalam disebut

endokardium.Organ jantung terdiri atas 4 ruang, yaitu 2 ruang yang

berdinding tipis, disebut atrium, dan 2 ruang yang berdinding tebal

disebut ventrikel.

a. Atrium

1) Atrium kanan, berfungsi sebagai tempat penampungan

darahyang rendah oksigen dari seluruh tubuh. Darah tersebut

mengalir melalui vena cava superior, vena cava inferior,

sertasinus koronarius yang berasal dari jantung sendiri.

Kemudiandarah dipompakan ke ventrikel kanan dan

selanjutnya ke paru.

2) Atrium kiri, berfungsi sebagai penerima darah yang kaya

oksigen dari kedua paru melalui 4 buah vena


pulmonalis.Kemudian darah mengalir ke ventrikel kiri, dan

selanjutnya keseluruh tubuh melalui aorta.

b. Ventrikel (bilik)

Permukaan dalam ventrikel memperlihatkan alur-alur otot yang

disebut trabekula. Beberapa alur tampak menonjol, yang disebut

muskulus papilaris. Ujung muskulus papilaris dihubungkan dengan

tepi daun katup atrioventrikuler oleh serat-serat yang disebut korda

tendinae.

1) Ventrikel kanan, menerima darah dari atrium kanan dan di

pompakan ke paru-paru melalui arteri pulmonalis.

2) Ventrikel kiri, menerima darah dari atrium kiri

dandipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta.Kedua

ventrikel ini dipisahkan oleh sekat yang disebut septum

ventrikel.

Untuk menghubungkan antara ruang satu dengan yang lain,

jantung dilengkapi dengan katup-katup, diantaranya :

a. Katup atrioventrikuler.

Oleh karena letaknya antara atrium dan ventrikel, maka disebut

katup atrio-ventrikuler, yaitu :

1) Katup trikuspidalis.

Merupakan katup yang terletak di antara atrium kanan dan

ventrikel kanan, serta mempunyai 3 buah daun katup. Katup

mitral/ atau bikuspidalis.Merupakan katup yang terletak di

antara atrium kiri danventrikel kiri, serta mempunyai 2 buah


katup. Selain itu katup atrioventrikuler berfungsi untuk

memungkinkan darah mengalir dari masing-masing atrium ke

ventrikel pada fase diastole ventrikel, dan mencegah aliran

balik pada saat systole ventrikel (kontraksi).

2) Katup semilunar

a) Katup pulmonal terletak pada arteri pulmonalis,

memisahkan pembuluh ini dari ventrikel kanan.

b) Katup aorta, terletak antara ventrikel kiri dan aorta

Kedua Katup semilunar ini mempunyai bentuk yang

sama, yakni terdiri dari 3 daun katup yang simetris

disertai penonjolan menyerupai corong yang dikaitkan

dengan sebuah cincin serabut. Adapun katup semilunar

memungkinkan darah mengalir dari masing masing

ventrikel ke arteri pulmonalis atau aorta selama systole

ventrikel, dan mencegah aliran balik waktu diastole

ventrikel (Ulfah dan Tulandi, 2001).

b. Arteri Koroner

Arteri koroner adalah arteri yang bertanggung jawab dengan

jantung, karena darah bersih yang kaya akan oksigen dan

elektrolit sangat penting agar jantung bisa bekerja sebagaimana

fungsinya. Apabila arteri koroner mengalami pengurangan

suplainya ke jantung atau yang di sebut dengan iskemia, ini

akan menyebabkan terganggunya fungsi jantung. Apalagi arteri

koroner mengalami sumbatan total atau yang disebut dengan


serangan jantung mendadak atau miokardiac infarction dan bisa

menyebabkan kematian. Begitupun apabila otot jantung

dibiarkan dalam keadaan iskemia, ini juga akan berujung

dengan serangan jantung juga atau miokardiac infarction.

Gambar 2.2 Arteri Koroner

Arteri koroner adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik,

dimana muara arteri koroner berada dekat dengan katup aorta

atau tepatnya di sinus valsava. Arteri koroner dibagi dua,yaitu:

1) Arteri Koroner Kiri

Arteri koroner kiri mempunyai 2 cabang yaitu LAD (Left

Anterior Desenden) dan LCX (left Cirkumflex). Kedua

arteri ini melingkari jantung dalam dua lekuk anatomis

eksterna, yaitu sulcus coronary atau sulcus atrioventrikuler

yang melingkari jantung diantara atrium dan ventrikel,

yang kedua yaitu sulcus interventrikuler yang memisahkan

kedua ventrikel. Pertemuan kedua lekuk ini dibagian

permukaan posterior jantung yang merupakan bagian dari

jantung yang sangat penting yaitu kruks jantung. Nodus


AV berada pada titik ini. Arteri LAD bertanggung jawab

untuk mensuplai darah untuk otot ventrikel kiri dan kanan,

serta bagian interventrikuler septum. Arteri LCX

bertanggung jawab untuk mensuplai 45% darah untuk

atrium kiri dan ventrikel kiri, 10% bertanggung jawab

mensuplai SA Node.

2) Arteri koroner kanan

Arteri koroner kanan bertanggung jawab mensuplai darah

ke atrium kanan, ventrikel kanan, permukaan bawah dan

belakang ventrikel kiri, 90% mensuplai AV Node, dan 55%

mensuplai SA Node.

2. Fisiologi Jantung

a. Hemodinamika Jantung

Darah yang kehabisan oksigen dan mengandung banyak

karbondioksida (darah kotor) dari seluruh tubuh mengalir

melalui dua vena berbesar (vena kava) menuju ke dalam atrium

kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, ia akan mendorong

darah ke dalam ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis.

Darah dari ventrikel kanan akan dipompa melalui katup

pulmoner ke dalam arteri pulmonalis menuju ke paru-paru.

Darah akan mengalir melalui pembuluh yang sangat kecil

(pembuluh kapiler) yang mengelilingi kantong udara di paru-

paru, menyerap oksigen, melepaskan karbondioksida dan

selanjutnya dialirkan kembali ke jantung. Darah yang kaya


akan oksigen mengalir di dalam vena pulmonalis bikuspidalis/

mitral, yang selanjutnya akan memompa darah bersih ini

melewati katup aorta masuk ke dalam aorta (arteri terbesar

dalam tubuh). Darah kaya oksigen ini disirkulasikan ke seluruh

tubuh, kecuali paru-paru. menuju ke atrium kiri. Peredaran

darah di antara bagian kanan jantung, paru-paru dan atrium kiri

disebut sirkulasi pulmoner karena darah dialirkan ke paru-paru.

Darah dalam atrium kiri akan didorong menuju ventrikel kiri

melalui katup bikuspidalis/ mitral, yang selanjutnya akan

memompa darah bersih ini melewati katup aorta masuk ke

dalam aorta (arteri terbesar dalam tubuh). Darah kaya oksigen

ini disirkulasikan ke seluruh tubuh, kecuali paru-paru.

b. Siklus Jantung

Secara umum, siklus jantung dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:

1) Sistole atau kontraksi jantung

2) Diastole atau relaksasi atau ekspansi jantung

Secara spesifik, siklus jantung dibagi menjadi 5 fase yaitu :

1) Fase Ventrikel Filling

2) Fase Atrial Contraction

3) Fase Isovolumetric Contraction

4) Fase Ejection

5) Fase Isovolumetric Relaxation

Perlu anda ingat bahwa siklus jantung berjalan secara

bersamaan antara jantung kanan dan jantung kiri, dimana satu


siklus jantung = 1 denyut jantung = 1 beat EKG (P,Q,R,S,T)

hanya membutuhkan waktu kurang dari 0.5 detik.

1) Fase Ventrikel Filling

Sesaat setelah kedua atrium menerima darah dari

masing- masing cabangnya, dengan demikian akan

menyebabkan tekanan di kedua atrium naik melebihi

tekanan di kedua ventrikel. Keadaan ini akan

menyebabkan terbukanya katup atrioventrikular, sehingga

darah secara pasif mengalir ke kedua ventrikel secara

cepat karena pada saat ini kedua ventrikel dalam keadaan

relaksasi/ diastolik sampai dengan aliran darah pelan

seiring dengan bertambahnya tekanan di kedua ventrikel.

Proses ini dinamakan dengan pengisian ventrikel atau

ventrikel filling. Perlu anda ketahui bahwa 60% sampai

90 % total volume darah di kedua ventrikel berasal dari

pengisian ventrikel secara pasif. Dan 10% sampai 40%

berasal dari kontraksi kedua atrium.

2) Fase Atrial Contraction

Seiring dengan aktifitas listrik jantung yang

menyebabkan kontraksi kedua atrium, dimana setelah

terjadi pengisian ventrikel secara pasif, disusul pengisian

ventrikel secara aktif yaitu dengan adanya kontraksi

atrium yang memompakan darah ke ventrikel atau yang

kita kenal dengan "atrial kick". Dalam grafik EKG akan


terekam gelombang P. Proses pengisian ventrikel secara

keseluruhan tidak mengeluarkan suara, kecuali terjadi

patologi pada jantung yaitu bunyi jantung 3 atau cardiac

murmur.

3) Fase Isovolumetric Contraction

Pada fase ini, tekanan di kedua ventrikel berada

pada puncak tertinggi tekanan yang melebihi tekanan di

kedua atrium dan sirkulasi sistemik maupun sirkulasi

pulmonal. Bersamaan dengan kejadian ini, terjadi

aktivitas listrik jantung di ventrikel yang terekam pada

EKG yaitu komplek QRS atau depolarisasi ventrikel.

Keadaan kedua ventrikel ini akan menyebabkan

darah mengalir balik ke atrium yang menyebabkan

penutupan katup atrioventrikuler untuk mencegah aliran

balik darah tersebut. Penutupan katup atrioventrikuler

akan mengeluarkan bunyi jantung satu (S1) atau sistolik.

Periode waktu antara penutupan katup AV sampai

sebelum pembukaan katup semilunar dimana volume

darah di kedua ventrikel tidak berubah dan semua katup

dalam keadaan tertutup, proses ini dinamakan dengan

fase isovolumetrik contraction.

4) Fase Ejection

Seiring dengan besarnya tekanan di ventrikel dan

proses depolarisasi ventrikel akan menyebabkan


kontraksi kedua ventrikel membuka katup semilunar dan

memompa darah dengan cepat melalui cabangnya

masing-masing. Pembukaan katup semilunar tidak

mengeluarkan bunyi. Bersamaan dengan kontraksi

ventrikel, kedua atrium akan di isi oleh masing-masing

cabangnya.

5) Fase Isovolumetric Relaxation

Setelah kedua ventrikel memompakan darah,

maka tekanan di kedua ventrikel menurun atau relaksasi

sementara tekanan di sirkulasi sistemik dan sirkulasi

pulmonal meningkat. Keadaan ini akan menyebabkan

aliran darah balik ke kedua ventrikel, untuk itu katup

semilunar akan menutup untuk mencegah aliran darah

balik ke ventrikel. Penutupan katup semilunar akan

mengeluarkan bunyi jantung dua (S2) atau diastolik.

Proses relaksasi ventrikel akan terekam dalam EKG

dengan gelombang T, pada saat ini juga aliran darah ke

arteri koroner terjadi. Aliran balik dari sirkulasi sistemik

dan pulmonal ke ventrikel juga di tandai dengan adanya

"dicrotic notch".

a) Total volume darah yang terisi setelah fase

pengisian ventrikel secara pasif maupun aktif ( fase

ventrikel filling dan fase atrial contraction) disebut

dengan End Diastolic Volume (EDV)


b) Total EDV di ventrikel kiri (LVEDV) sekitar 120 ml.

c) Total sisa volume darah di ventrikel kiri setelah

kontraksi/ sistolik disebut End Systolic Volume

(ESV) sekitar 50 ml.

d) Perbedaan volume darah di ventrikel kiri antara

EDV dengan ESV adalah 70 ml atau yang dikenal

dengan stroke volume. (EDV-ESV

= Stroke Volume) (120-50 = 70).

Gambar 2.3 Siklus Jantung

3. Persyarafan Jantung

Jantung dipersyarafi oleh serabut simpatis,

parasimpatis, dan sistem syaraf autonom melalui pleksus

kardiakus. Syaraf simpatis berasal dari trunkus simpatikus

bagian servical dan torakal bagian atas dan syaraf

parasimpatis berasal dari nervous vagus. Sistem persyarafan

jantung banyak dipersyarafi oleh serabut sistem syaraf

otonom (parasimpatis dan simpatis) dengan efek yang saling


berlawanan dan bekerja bertolak belakang untuk

mempengaruhi perubahan pada denyut jantung, yang dapat

mempertinggi ketelitian pengaturan syaraf oleh sistem syaraf

otot.

Gambar 2.4 Sistem Persyarafan Jantung

Serabut parasimpatis mempersyarafi nodus SA, otot-

otot atrium, dan nodus AV melalui nervus vagus. serabut

simpatis menyebar keseluruh sistem konduksi dan

miokardium. Stimulasi simpatis (adregenic) juga

menyebabkan melepasnya epinefrin dan beberapa

norepinefrin dari medulla adrenal. Respon jantung terhadap

stimulasisimpatis diperantai oleh pengikatan norepinefrin

dan epinefrin ke reseptor adregenik tertentu: reseptor α

terletak pada sel-sel otot polos pembuluh darah,

menyebabkan terjadinya vasokonstriksi, dan reseptor β yang


terletak pada nodus AV, nodus SA, dan miokardium,

menyebabkan peningkatan denyut jantung, peningkatan

kecepatan hantaran melewati nodus AV, dan peningkatan

kontraksi miokardium (stimulasi reseptor ini menyebabkan

vasodilatasi). Hubungan sistem syaraf simpatis dan

parasimpatis bekerja untuk menstabilkan tekanan darah arteri

dan curah jantung untuk mengatur aliran darah sesuai

kebutuhan tubuh (Kasron, 2011).

4. Elektrofisiologi jantung

Di dalam otot jantung, terdapat jaringan khusus yang

menghantarkan aliran listrik. Jaringan tersebut mempunyai

sifat-sifat yang khusus, yaitu :

a. Otomatisasi : kemampuan untuk menimbulkan impuls


secaraspontan.

b. Irama : pembentukan impuls yang teratur.

c. Daya konduksi : kemampuan untuk menyalurkan impuls.

d. Daya rangsang : kemampuan untuk bereaksi terhadap


rangsang.
Gambar 2.5 Sistem Kelistrikan Jantung

Berdasarkan sifat-sifat tersebut diatas, maka secara

spontan dan teratur jantung akan menghasilkan impuls-

impuls yang disalurkan melalui sistem hantar untuk

merangsang otot jantung dan dapat menimbulkan kontraksi

otot. Perjalanan impuls dimulai dari nodus SA, nodus AV,

sampai ke serabut purkinye.

a. SA Node

Disebut pemacu alami karena secara teratur

mengeluarkan aliran listrik impuls yang kemudian

menggerakkan jantung secara otomatis. Pada keadaan

normal, impuls yang dikeluarkan frekuensinya 60-100

kali/ menit. Respons dari impuls SA memberikan

dampak pada aktivitas atrium.

SA node dapat menghasilkan impuls karena

adanya sel-sel pacemaker yang mengeluarkan impuls


secara otomatis. Sel ini dipengarungi oleh saraf simpatis

dan parasimpatis.

Stimulasi SA yang menjalar melintasi permukaan

atrium menuju nodus AV memberikan respons terhadap

adanya kontraksi dari dinding atrium untuk melakukan

kontraksi. Bachman bundle menghantarkan impuls dari

nodus SA ke atrium kiri. Waktu yang diperlukan pada

penyebaran impuls SA ke AV berkisar 0,05 atau 50 ml/

detik.

b. Traktus Internodal

Berfungsi sebagai penghantar impuls dari nodus

SA ke Nodus AV. Traktus internodal terdiri dari :

1) Anterior Tract

2) Middle Tract

3) Posterior Tract.

c. Bachman Bundle

Berfungsi untuk menghantarkan impuls dari nodus SA ke


atrium kiri.

d. AV Node

AV node terletak di dalam dinding septum (sekat)

atrium sebelah kanan, tepat diatas katup trikuspid dekat

muara sinus koronarius. AV node mempunya dua fungsi

penting, yaitu :

1) Impuls jantung ditahan selama 0,1 atau 100 ml/ detik,

untuk memungkinkan pengisisan ventrikel selama


atrium berkontraksi.

2) Mengatur jumlah impuls atrium yang mencapai ventrikel.

AV node dapat menghasilkan impuls dengan frekuensi 40-60


kali/ menit.

e. Bundle His

Berfungsi untuk menghantarkan impuls dari nodus AV ke

system bundle branch.

f. Bundle Branch

Merupakan lanjutan dari bundle of his yang

bercabang menjadi dua bagian, yaitu :

1) Righ bundle branch (RBB/ cabang kanan), untuk

mengirimimpuls ke otot jantung ventrikel kanan.

2) Left bundle branch (LBB/ cabang kiri) yang terbagi

dua, yaitudeviasi ke belakang (left posterior vesicle),

menghantarkan impuls ke endokardium ventrikel kiri

bagian posterior daninferior, dan deviasi ke depan

(left anterior vesicle), menghantarkan impuls ke

endokardium ventrikel kiri bagian anterior dan

superior.

g. Sistem Purkinye

Merupakan bagian ujung dari bundle branch.

Berfungsi untuk menghantarkan/ mengirimkan impuls

menuju lapisan sub-endokard pada kedua ventrikel,

sehingga terjadi depolarisasi yang diikuti oleh kontraksi

ventrikel. Sel-sel pacemaker di subendokard ventrikel


dapat menghasilkan impuls dengan frekuensi 20-40 kali/

menit. Pemacu pemacu cadangan ini mempunyai fungsi

sangat penting, yaitu untuk mencegah berhentinya denyut

jantung pada waktu pemacu alami (SA node) tidak

berfungsi.

Depolarisasi yang dimulai pada SA node

disebarkan secara radial ke seluruh atrium, kemudian

semuanya bertemu di AV node. Seluruh depolarisasi

atrium berlangsung selama kira-kira 0,1 detik. Oleh

karena hantaran di AV node lambat, maka terjadi

perlambatan kira kira 0,1 detik (perlambatan AV node)

sebelum eksitasi menyebar ke ventrikel. Pelambatan ini

diperpendek oleh perangsangan saraf simpatis yang

menuju jantung dan akan memanjang akibat

perangsangan vagus. Dari puncak septum, gelombang

depolarisasi menyebar secara cepat di dalam serat

penghantar purkinye ke semua bagian ventrikel dalam

waktu 0,08-0,1 detik (Ulfah dan Tulandi, 2001;

Muttaqin, 2009).

Jantung berkontraksi atau berdenyut secara

berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkannya

sendiri. Hal ini disebabkan karena jantung memiliki

mekanisme aliran listrik sendiri guna berkontraksi atau

memompa dan berelaksasi. Potensial aksi ini dicetuskan


oleh nodus-nodus pacemaker yang terdapat di jantung

dan dipengaruhi oleh beberapa jenis elektrolit seperti K+,

Na+, dan Ca+. Gangguan terhadap kadar elektrolit

tersebut di dalam tubuh dapat mengganggu mekanisme

aliran listrik jantung. Sumber listrik jantung adalah SA

Node (Nodus Sinoatrial).

Arus listrik yang dihasilkan oleh otot jantung

menyebar ke jaringan di sekitar jantung dan dihantarkan

melalui cairan-cairan tubuh. Sebagian kecil aktivitas

listrik ini mencapai permukaan tubuh dan dapat dideteksi

menggunakan alat khusus. Rekaman aliran listrik jantung

disebut dengan elektrokardiogram atau EKG. EKG

adalah rekaman mengenai aktivitas listrik di cairan tubuh

yang dirangsang oleh aliran listrik jantung yang

mencapai permukaan tubuh. Berbagai komponen pada

rekaman EKG dapat dikorelasikan dengan berbagai

proses spesifik di jantung. EKG dapat digunakan untuk

mendiagnosis kecepatan denyut jantung yang abnormal,

gangguan irama jantung, serta kerusakan otot jantung.

Hal ini disebabkan karena aktivitas listrik akan memicu

aktivitas mekanis sehingga kelainan pola listrik biasanya

akan disertai dengan kelainan mekanis atau otot jantung

sendiri.
5. Curah Jantung

Cardiac Output adalah volume darah yang dipompa

oleh tiap-tiap ventrikel per menit (bukan jumlah total darah

yang dipompa oleh jantung). Selama setiap periode tertentu,

volume darah yang mengalir melalui sirkulasi paru ekuivalen

dengan volume yang mengalir melalui sirkulasi sistemik.

Dengan demikian, curah jantung dari kedua ventrikel dalam

keadaan normal identik, walaupun apabila diperbandingkan

denyut demi denyut, dapat terjadi variasi minor. Dua faktor

yang mempengaruhi kardiak output adalah kecepatan denyut

jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume

darah yang dipompa per denyut). Curah jantung merupakan

faktor utama yang harus diperhitungkan dalam sirkulasi,

karena curah jantung mempunyai peranan penting dalam

transportasi darah yang memasok berbagai nutrisi. Curah

jantung adalah jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel

selama satu menit. Nilai normal pada orang dewasa adalah 5

L/mnt.

Volume sekuncup adalah sejumlah darah yang

disemburkan setiap denyut. Maka curah jantung dapat

dipengaruhi oleh perubahan volume sekuncup maupun

frekuensi jantung. Frekuensi jantung istirahat pada orang

dewasa rata-rata 60 sampai 80 denyut/menit dan rata-rata

volume sekuncup 70 ml/denyut. Perubahan frekuensi jantung


dapat terjadi akibat kontrol refleks yang dimediasi oleh

sistem saraf otonom, meliputi bagian simpatis dan

parasimpatis. Impuls parasimpatis, yang berjalan ke jantung

melalui nervus vagus, dapat memperlambat frekuensi

jantung, sementara impuls simpatis meningkatkannya.

Efeknya terhadap frekwensi jantung berakibat mulai dari

aksi pada Nodus SA untuk meningkatkan maupun

menurunkan kecepatan depolarisasi intrinsiknya.

Keseimbangan antara kedua refleks tadi mengontrol sistem

yang normalnya menentukan frekuensi jantung. Frekuensi

jantung dirangsang juga oleh peningkatan kadar katekolamin

(yang disekresikan oleh kelenjar adrenal) dan oleh adanya

kelebihan hormon tiroid yang menghasilkan efek menyerupai

katekolamin.

Volume sekuncup jantung ditentukan oleh tiga faktor :

1) Kontraktilitas Intrinsik Otot Jantung

Kontraksi intrinsik otot jantung adalah istilah

yang digunakan untuk menyatakan tenaga yang dapat

dibangkitkan oleh kontraksi miokardium pada

kondisi tertentu. Kontraksi ini dapat meningkat akibat

katekolamin yang beredar, aktivitas saraf simpatis

dan berbagai obat seperti digitalis serta dapat

menurun akibat hipoksemia dan

asidosis. Peningkatan kontraktilitas dapat terjadi pada


peningkatan volume sekuncup.

2) Derajat peregangan otot jantung sebelum kontraksi


(preload)

Preload merupakan tenaga yang menyebabkan

otot ventrikel meregang sebelum mengalami eksitasi

dan kontraksi. Preload ventrikel ditentukan oleh

volume darah dalam ventrikel pada akhir diastolik.

Semakin besar preload, semakin besar volume

sekuncupnya, sampai pada titik dimana otot

sedemikian teregangnya dan tidak mampu

berkontraksi lagi. Hubungan antara peningkatan

volume akhir diastolik ventrikel pada kontraktilitas

intrinsik tertentu dinamakan hukum starling jantung,

yang didasarkan pada kenyataan bahwa semakin

besar pula derajat pemendekan yang akan terjadi.

Akibatnya terjadi peningkatan interaksi antara

sarkomer filamen tebal dan tipis.

3) Tekanan yang harus dilawan otot jantung untuk

menyemburkan darah selama kontraksi (afterload).

Afterload adalah suatu tekanan yang harus

dilawan ventrikel untuk menyemburkan darah.

Tahanan terhadap ejeksi ventrikel kiri dinamakan

tahanan vaskuler sistemik. Tahanan oleh tekanan

pulmonal terhadap ejeksi ventrikel dinamakan

tahanan vaskuler pulmonal. Peningkatan afterload


akan mengakibatkan penurunan volume sekuncup.

6. Sistem peredaran darah

Dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dalam setiap

organ ataupun jaringan maupun sel tubuh melalui sistem

peredaran darah. Sistem aliran darah tubuh, secara garis

besar terdiri dari tiga sistem, yaitu :

a. Sistem peredaran darah kecil.

Dimulai dari ventrikel kanan, darah mengalir ke

paru-paru melalui arteri pulmonal untuk mengambil

oksigen dan melepaskan karbon dioksida kemudian

masuk ke atrium kiri. Sistem peredaran darah kecil ini

berfungsi untuk membersihkan darah yang setelah

beredar ke seluruh tubuh memasuki atrium kanan dengan

kadar oksigen yang rendah antara 60-70% serta kadar

karbon dioksida tinggi antara 40-45%. Setelah beredar

melalui kedua paru-paru, kadar zat oksigen meningkat

menjadi sekitar 96% dan sebaliknya kadar zat karbon

dioksida menurun. Proses pembersihan gas dalam

jaringan paru-paru berlangsung di alveoli, dimana gas

oksigen disadap oleh komponen Hb. Sebaliknya gas

karbon dioksida dikeluarkan sebagian melalui udara

pernafasan.

b. Sistem peredaran darah besar

Darah yang kaya oksigen dari atrium kiri memasuki


ventrikel kiri melalui katup mitral/ atau bikuspidal, untuk

kemudian dipompakan ke seluruh tubuh melalui katup

aorta, dimana darah tersebut membawakan zat oksigen

serta nutrisi yang diperlukan oleh tubuh melewati

pembuluh darah besar/ atau arteri, yang kemudian di

suplai ke seluruh tubuh.

c. Sistem peredaran darah koroner.

Sistem peredaran darah koroner berbeda dengan

menyuplai darah ke otot jantung, yaitu melalui pembuluh

koroner dan kembali sistem peredaran darah kecil

maupun besar. Artinya khusus untuk melalui pembuluh

balik yang kemudian menyatu serta bermuara langsung

ke dalam ventrikel kanan. Melalui sistem peredaran

darah koroner ini, jantung mendapatkan oksigen, nutrisi,

serta zat-zat lain agar dapat menggerakkan jantung sesuai

dengan fungsinya (Soeharto, 2002).

B. Congestive heart failure (CHF)

1. Definisi

Heart Failure (HF) adalah sindrom klinis yang

kompleks yang dihasilkan dari setiap gangguan struktural

atau fungsional dari pengisian ventrikel atau ejeksi darah.

Manifestasi utama dari HF adalah dyspnea dan kelelahan,

yang dapat membatasi toleransi latihan, retensi cairan, yang

dapat menyebabkan paru dan / atau kemacetan splanchnic


dan / atau edema perifer.

Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu

keadaan ketidakmampuan jantung dalam memompa darah

secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolism

tubuh dalam mengedarkan nutrisi dan oksigen ke seluruh

tubuh. Manifestasi yang khas pada gagal jantung kongestif

adalah dyspnea, fatique serta retensi cairan yang

menyebabkan edema paru dan edema perifer.

CHF didefenisikan sebagai kondisi di mana jantung

tidak lagi dapat memompakan cukup darah ke jaringan

tubuh. gagal jantung juga didefinisikan sebagai kondisi di

mana jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah

guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrient dan

oksigen secara adekuat (Udjianti, 2013).

Karena sisi kanan dan kiri jantung berfungsi sebagai

dua sistem pompa yang berbeda, ventrikel kanan dan kiri jug

dapat mengalami kegagalan secara terpisah, gagal ventrikel

kiri disebut merupakan kondisi yang paling sering

mendahului gagal ventrikel kanan. Gagal jantung kiri dalam

jangka panjang dapat diikuti dengan gagal jantung kanan,

demikian pula sebaliknya, gagal jantung kana dalam jangka

panjang dapat diikuti gagal jantung kiri. Bila mana terjadi

kegagalan fungsi pada kedua bagian jantung tersebut pada

saat yang sama maka keadaan ini disebut sebagai gagal


jatung kongestif (Smeltzer and Bare, 2002).

2. Klasifikasi

Penegakan diagnosis CHF dilakukan dengan

ditemukannya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2

kriteria minor, yaitu:

Tabel 2.1 Manifestasi Klinis CHF Menurut


Framinghan
Kriteria Mayor Kriteria Minor
PND atau Ortopnea Edema Kedua Kaki
Distensi Vena Jugular Sesak (dyspnea of effort)
Rales Hepatomegali
Kardiomegali Efusi Pleura
Edem Paru Akut Takikardi
S3 Gallop
Hepatojulgular Refulks
(Mansjoer, Triyanti, Savitrri, Wardhani, dan Setiowulan,
2009)

Klasifikasi gagal jantung yang digunakan di kancah

internsional untuk mengelompokan atau mengklasifikasikan

gagal jantung adalah klasifikasi menurut New York Heart

Association (NYHA). dalam CHF, klasifikasi yang

menunjukan tingkatan keparahan dari kondisi pasien,

menurut New York Heart Association (NYHA) klasifikasi

fungsional CHF dibagi dalam 4 kelas yaitu:


Table 2.2 : Klasifikasi menurut New York Heart
Association (NYHA)
Fc New York Heart Association (NYHA)
Kelas I Bila pasien dapat melakukan aktivitas yang berat
tanpa sesak napas dan keletihan
Kelas II Bila ada sedikit keterbatasan aktivitas fisik,
aktivitas fisik biasa menyebabkan keletihan dan
sesak napas namun gejala akan hilang dengan
istirahat
Klien tidak dapt melakukan aktivitas lebih berat
dari aktivitas sehari-hari
Kelas III Bila klien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-
hari tanpa keluhan, biasanya pada keadaan ini
telah terjadi edem pulmonal
Kelas IV Bila klien sama sekali tidak dapat melakukan
aktivitas apapun dan harus tirah baring, sesak
napas bahkan terjadi ketika klien istirahat
Fc : Kelas Fungsional (Muttaqin, 2009, Mansjoer, et al,
2009)

Klasifiksi diatas menjadi acuan dalam penggolangan

tingkatan gagal jantung. Black & Hawks (2009) membagi

gagal jantung menjadi 4 tingktan. Gagal jantung tingkat

pertama atau disebut dengan istilah disfungsi otot jantung

asimtomatik dengan gagal jantung ringan merupakan

penferita yang sesuai dengan kelas kelas I/II NYHA. Gagal

jantung tingkat kedua atau disebut dnegan istilah gagal

jantung ringan ke sedang merupakan penderita yang sesuai

dengan kelas II/III NYHA. Gagal jantung tingkat ketiga atau

disebut dengan istilah gagal jantung lanjut merupakan


penderita yang kelas III/IV NYHA. Gagal jantung tingkat

keempat atau disebut dengan gagal jantung berat dengan fase

dekompensasi yang berkelanjutan merupakan penderita

dengan kelas III/IV NYHA.

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinik

dengan melihat tanda kongesti (adanya ortopnea, distensi

vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema

perifer, suara jantung pulmonal yang berdiviasi ke kiri atau

square wave blood pressure pada maneuver valsava) dan

kecukupan perfusi (adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus

alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan

penurunan kesadaran). Pasien yang mengalami kongesti

disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien

dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang

tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut

penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu :

Table 2.3 : Klasifikasi CHF berdasarakan keadaan


perfusi-kongesti
Kelas Stevenson
Kelas I (A) Kering dan hangat (dry-warm)
Kelas II (B) Basah dan hangat (wet-warm)
Kelas III (L) Kering dan dingin (dry-cold)
Kelas IV (C) Basah dan dingin (wet-cold)
(Nobria, A., Lewis, E., dan Stevenson, L,W, 2009)
3. Etiologi

Menurut Black & Hawks (2009), ada beberapa faktor yang

menyebabkan penyakit CHF, antara lain:

a. Faktor intrinsik

Penyebab utama dari gagal jantung adalah penyakit arteri

koroner (Mutataqin, 2009). Penyakit arteri koroner ini

menyebabkan berkurangnya aliran darah ke arteri

koroner sehingg menurunkan suplai oksigen dan nutrisi

ke otot jantung. Berkurangnya oksigen dan nutrisi

menyebabkan kerusakan atau bahkan kematian otot

jantung sehingga otot jantung tidak dapat berkontraksi

dengan baik. Kematian otot jantung atau disebut infark

miokard merupakan penyebab tersering lain yang

menyebabkan gagal jantung. Keadaan infark miokard

tersebut akan melemahkan kemampuan jantung dalam

memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen

dan nutrisi tubuh. penyebab intrinsik lain dari gagal

jantung kelainan katup, cardiomyophaty dan aritmia

jantung.

b. Faktor ekstrinsik

Beberapa faktor ekstrinsik yang dapat menyebabkan

gagal jantung meliputi kondisi yang dapat meningkatkan

afterload (seperti hipertensi), peningkatan stroke volume

akibat kelebihan volume atau peningkayan preload dan


peningkayan kebutuhan ( seperti tiritiksikosis,

kehamilan). Kelemahan pada ventrikel kiri. Kondisi ini

termasuk volume abnormal yang masuk ke ventrikel kiri,

otot jantung ventrikel kiri yang abnormal dan masalah

yang menyebabkan penururnan kontraktilitas otot

jantung.

Menurut Udjianti (2010) etiologi gagal jantung kongestif

(CHF) dikelompokan berdasarkan faktor etiolgi eksterna maupun

interna, yaitu:

a. Faktor eksterna (dari luar jantung); hipertensi renal,

hipertiroid, dan anemia kronis/ berat.

b. Faktor interna (dari dalam jantung)

1) Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD),

Atria Septum Defect (ASD), stenosis mitral, dan

insufisiensi mitral

2) Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart


block

3) Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan


infark miokard

4) Infeksi: endokarditis bacterial sub-akut

Menurut Ardiansyah, (2012) penyebab gagal jantung antara lain :

a. Kelainan otot jantung

Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita

kelainan otot jantung yang berdampak pada menurunnya

kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab


kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner,

hipertensi arterial, dan penyakit otot degeneratif atau

inflamasi.

b. Aterosklerosis koroner

Kelainan ini mengakibatkan disfungsi miokardium

karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi

hipoksia dan asidosis (akibat penumoukan asam laktat).

Infark miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal

jantung.

c. Hipertensi sistemik atau hipertensi pulmonal

Peningkatan afterload menyebabkan meningkatnya beban

kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan

hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi

miokard) dapat disebut sebagai mekanisme kompensasi

karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung.

d. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif

Gangguan kesehatan ini berhubungan dengan gagal

jantung karena kondisi ini secara langsung dapat merusak

serabut otot jantung dan menyebabkan kontraktilitas

menurun.

e. Penyakit jantung lainnya

Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit

jantung yang sebenarnya tidak secara langsung

mempengaruhi organ jantung. Mekanisme yang biasa


terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung,

ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah, atu

pengosongan jantung abnormal. Peningkatan mendadak

afterload akibat meningkatnya tekanan darah sistemik

dapat menyebakan gagal jantung meskipun tidak ada

hipertrofi miokardial.

f. Faktor sistemik

Terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam

perkembangan dan beratnya gagal jantung.

Meningkatnya laju metabolism, hipoksia dan anemia

memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi

kebutuhan oksigen sstemik. Hipoksia atau anemia juga

dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis

dan abnormalitas elektrolit dapat menurunkan

kontraktilitas jantung. Disritmia jantung yang dapat

terjadi dengan sendirinya atau secara sekunder akibat

akibat gagal jantung menurunkan efisiensi keseluruhan

fungsi jantung .

4. Faktor resiko yang dapat menimbulkan CHF

Beberapa kondisi yang beresiko melemahkan jantung antara lain

(Damayanti, 2013)

a. Penuaan

Penuaan akan menyebabkan penurunan fungsi tubuh,

termasuk fungsi sistem kardiovaskular. Penurunan fungsi


kardiovaskular pada lansia disebabkan peningkatan

kolagen, penurunan penggantian sel miosit yang telah

mati, kekakuan dinding arteri dan gangguan sistem

konduksi. Hal- hal tersebut di atas dapat menyebabkan

terjadinya penurunan curah jantung dan hipertensi pada

lansia.

b. Hipertensi

Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung memlaui

dua mekanisme. Mekanisme pertama yaitu terjadinya

hipertrofi ventrikal kiri akaibat peningkatan afterload dan

vasokontriksi akibat efek aktivitas saraf simpati yang

menyebabkan kepayahan otot jantung dalam memompa

darah. Mekanisme kedua merupakan timbulnya penyakit

jantung koroner. Hal ini disebabkan oleh menurunnya

sirkulasi darah ke pembuluh koroner akibat adanya

hipertensi.

c. Diabetes mellitus

Aterosklerosis yang terjadi pada pembuluh darah arteri

koroner menyebakan insiden infark miokard. Gangguan

yang terjadi pada otot

jantung yang terjadi secara progresif dalam waktu yang

lama dapat memicu timbulnya CHF.

d. Merokok

Nikotin merupakan salah satu zat kimia dalam rokok


yang dapat menyebabkan efek berbahaya pada pembuluh

darah akibat pelepasan katekolamin dan vasokontriksi

pembuluh darah. Efek yang ditimbulkan dari proses

tersebut adalah timbulnya hipertensi dan efek nagatif

akan adanya hipertensi.

e. Obesitas

Obesitas memiliki hubungan secara tidak langsung

dengan terjadinya penyakit arteri koroner. Hal tersebut

dapat terjadi karena obesitas dapat menyebabkan

hipertensi, dislipidemia, penurunan kolesterol HDL dan

kerusakan toleransi glukosa.

f. Tingginya kadar kolesterol dalam darah

Peningkatan kadar kolesterol LDL merupakan faktor

resiko utama penyebab aterosklerosis. Aterosklerosis

terjadi kitika terdapat penimbunan lak lemak pada

dinding arteri. Plak tersebut dapat rupture dan

menyebabkan terbentuknya bekuan darah yang

menyumbat aliran darah dan bila hal tersebut terjadi pada

arteri koroner dapat menimbulkan iskemia atau infark

miokard.

5. Patofisiologi

Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa

adaptasi baik pada jantung dan secara sistemik. Jika stroke

volume kedua ventrikel


berkurang oleh karena penekanan kontraktilitas atau after

load yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan pada

akhir diastolik dalam kedua ruang jantung akan meningkat.

Ini akan meningkatkan panjang serabut miokardium akhir

diastolik, menimbulkan waktu sistolik menjadi singkat. Jika

kondisi ini berlangsung lama, terjadi dilatasi ventrikel.

Cardiac output pada saat istirahat masih bisa baik, tapi

peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama /

kronik akan dijalarkan ke kedua atrium dan sirkulasi

pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler

akan meningkat yang akan menyebabkan transudasi cairan

dan timbul edema paru atau edema sistemik. Penurunan

cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan

tekanan arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan

mengaktivasi beberapa sistem saraf dan humoral.

Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu

kontraksi miokardium, frekuensi denyut jantung dan vena;

perubahan yang terkhir ini akan meningkatkan volume darah

sentral yang selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun

adaptasi-adaptasi ini dirancang untuk meningkatkan cardiac

output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh

karena itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas

miokardium dapat memacu terjadinya iskemia pada pasien-

pasien dengan penyakit arterikoroner sebelumnya dan


peningkatan preload dapat memperburuk kongesti pulmoner.

Aktivasi sistem saraf simpatis juga akan meningkatkan

resistensi perifer, adaptasi ini dirancang untuk

mempertahankan perfusi ke organ – organ vital, tetapi jika

aktivasi ini sangat meningkat malah akan menurunkan aliran

ke ginjal dan jaringan. Resitensi vaskuler perifer dapat juga

merupakan determinan utama afterload ventrikel, sehingga

aktivitas simpatis berlebihan dapat meningkatkan fungsi

jantung itu sendiri. Salah satu efek penting penurunan

cardiac output adalah penurunan aliran darah ginjal dan

penurunan kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan

menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem rennin-

angiotensin-aldosteron juga akan teraktivasi, menimbulkan

peningkatan resitensi vaskuler perifer selanjutnya dan

penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi

sodium dan cairan.

Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar

arginine vasopresin dalam sirkulasi yang meningkat, yang juga

bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi cairan. Pada

gagal jantung terjadi peningkatan pepti dan atriuretik atrial

akibat peningkatan tekanan atrium, yang menunjukan bahwa di

sini terjadi resistensi terhadap efek natriuretic dan vasodilator.

Gagal jantung pada masalah utama kerusakan dan kekakuan


serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah

jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup,

jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung

pada tiga faktor :

a. Preload : jumlah darah yang mengisi pada jantung

berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan

oleh panjangnya regangan serabut jantung

b. Kontraktilitas : mengacu pada perubahan kekuatan

kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan b/d perubahan

panjang regangan serabut jantung.

c. Afterload : mengacu pada besarnya tekanan ventrikel

yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan

perbedaan tekanan yg ditimbulkan oleh tekanan arteriole.


Gambar 2.6 Pathway Conghestif Heart Failure

6. Manifestasi Klinis

Gagal jantung menyebabkan beberapa manifestasi

klinis yang dapat teramati dari penderitanya. American Heart

Association (2012, dalam Damayanti, 2013) menjelaskan

beberapa manifestasi klinis yang biasanya muncul, antara

lain:
a. Sesak napas atau dyspnea

Sesak napas atau dyspnea biasanya dialami selama

kegiatan (paling sering), saat istirahat atau saat tidur,

pasien CHF juga akan mengalami kesulitan bernapas saat

berbaring dengan posisi supine sehingga biasanya akan

menopang tubuh bagian atas dan kepala diatas dua

bantal. Hal ini disebabkan karena aliran balik darah di

vena pulmonalis ke paru-paru karena jantung tidak

mempu menyalurkannya. Hal ini menyebabkan

bendungan darah di paru-paru.

b. Batuk persisten atau mengi

Batuk persisten atau mengi ini disebabkan oleh

penumpukan cairan di paru akibat aliran balik darah ke

paru-paru.

c. Penumpukan cairan pada jaringan atau edema

Edema disebabkan oleh aliran darah yang keluar dari

jantung melambat, sehingga darah yang kembali ke

jantung melalui pembuluh darah terhambat. Hal tersebut

mengakibatkan cairan menumpuk di jaringan. Kerusakan

gainjal yang tidak mampu mengeluarkan natrium dan air

juga menyebabkan retensi cairan dalam jaringan.

Penumpukan cairan di jaringan ini dapat terlihat dari

bengkak di kaki maupun pembesaran perut.


d. Kelelahan atau fatigue

Perasaan lelah sepanjang waktu dan kesulitan untuk

melakukan kegiatan sehari-hari merupakan hal yang

biasa didapati pada pasien CHF. Hal tersebut

dikarenakan jantung tidak dapat memompa cukup darah

untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh. tubuh akan

mengalihkan darah dari organ yang kurang penting,

terutama otot-otot pada tungkai dan mengirimkannya ke

jantung dan otak.

e. Penurunan nafsu makan dan mual

Pada pasien CHF biasanya sering mengeluh mual, begah

atau ridak nafsu makan. Hal tersebut dikarenakan darah

yang diterima oleh sistem pencernaan kurang sehingga

menyebabkan masalah dengan pencernaan. Perasaan

mual dan bagah juga dapat disebabkan oleh adanya asites

yang menekan lambung atau saluran pencernaan

f. Peningkatan danyut nadi

Peningkatan denyut nadi dapat teramati dari denyut

jantung yang berdebar-debar (palpitasi). Hal ini

merupakan upaya kompensasi jantung terhadap

penurunan kapasitas memompa darah.

g. Kebingungan, gangguan berpikir

Pada pasien CHF juga sering ditemukan kehilangan

memori atau perasaan disorientasi. Hal tersebut


disebabkan oleh perubahan jumlah zat tertentu dalam

darah, speri sodium yang dapat mnyebabkan penurunan

kerja impuls saraf. Kebingungan dan gangguan berpikir

juga dapat disebabkan oleh penurunan jaringan ke otak

akibat penurunan curah jantung.

Black & Hawks (2009) mengelompokan manifestasi

klinik dari gagal jantung berdasarkan kekhasan yang

timbul dari tipe gagal jantung yang dialami. Pada gagal

jantung dengan kegagalan ventrikel kiri, manifestasi

yang biasa muncul antara lain dyspnea, paroxysmal

nocturnal disease (PND), pernapasan cheyne-strokes,

abtuk, kecemasan, kebingungan, insomnia, kerusakan

memori, kelelahan dan kelamahan otot dan nokturia.

Sementara itu, gagal jantung dengan kegagalan ventrikel

kanan biasanya mengakibatkan edema, pembesaran hati

(hepatomegaly), penurunan nafsu makan, mual dan

perasaan begah.

7. Pemeriksaan penunjang

Menurut Doengoes (2000) pemeriksaan penunjang yang

dapat dilakukan anatar lain:

a. EKG

Hipertrofi atrial atau ventricular, penyimpangan aksis,

iskemia, dan kerusakan pola mungkin terlihat, misalnya

takikardia, fibrilasi atrial, mungkin sering terdapat KVP.


Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih

setelah infark miokard menunjukkan adanya aneurisma

ventricular (dapat menyebabkan gagal/ disfungsi

jantung).

b. Sonogram

Sonogram dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik.

Perubahan dalam fungsi/ struktur katup, atau area

penurunan kontraktilitas ventricular.

c. Kateterisasi jantung

Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu

membedakan gagal jantung sisi kanan versus sisi kiri,

dan stenosis katup atau insufisiensi. Juga mengkaji

patensi arteri koroner. Zat kontras disuntikan kedalam

ventrikel menunjukkan ukuran abnormal dan ejeksi

fraksi/ perubahan kontraktilitas.

d. Rontgen dada

Rontgen dada dapat menunjukkan perbesaran jantung,

bayangan mencerminkan dilatasi/ hipertrofi bilik, atau

perubahan dalam pembuluh darah mencerminkan

peningkatan tekanan pulmonal Kontur abnormal,

misalnya bulging pada perbatasan jantung kiri, dapat

menunjukkan aneurisma ventrikel.

e. Enzim hepar

Enzim hepar meningkat dalam gagal/ kongesti hepar.


f. Elektrolit, mungkin berubah karena perpindahan cairan /

penurunan fungsi ginjal, terapi diuretik.

g. Oksimetri nadi, saturasi oksigen mungkin rendah,

terutama jika GJK akut memperburuk PPOM atau GJK

kronis.

h. AGD, gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis

respiratorik ringan (dini) atau hipoksemia dengan

peningkatan PCO2 (akhir).

i. BUN, kreatinin, peningkatan BUN menandakan penurunan


perfusi ginjal.

Kenaikan baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal


ginjal.

j. Albumin/ transferin serum, mungkin menurun sebagai

akibat penurunan masukan protein atau penurunan

sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti.

k. HSD, mungkin menunjukkan anemia, polisitemia, atau

perubahan kepekatan menandakan retensi air. SDP

mungkin meningkat, mencerminkan MI baru/ akut,

perikarditis, atau status inflamasi atau infeksius lain.

l. Pemeriksaan tiroid, peningkatan aktivitas tiroid

menunjukkan hiper aktivitas tiroid sebagai pre-

pencetus GJK.

8. Komplikasi

Gagal jantung kongestif dapat menyebabkan

beberapa kompikasi, Damayanti (2013) komplikasi utama


dari gagal jantung kongestife meliputi efusi pleura, aritmia,

pembentukan thrombus pada ventrikel kiri dan pembesaran

hati (hepatomegali)

a. Efusi pleura

Efusi pleura merupakan hasil dari peningkayan tekanan

pada pembuluh kapiler pleura. Peningkatan tekanan

menyebabkan cairan transudate pada pembuluh kapiler

pleura berpindah ke dalam pleura. Efusi pleura

menyebabkan pengembangan paru-paru tidak optimal

sehingga oksigen yang diperoleh tidak optimal.

b. Aritmia

Pasien dengan gagal jantung kongestif kronik memiliki

kemungkinan besar mengalami aritmia. Hal tersebut

dikarenakan adanya pembesaran ruangan jantung

(peregangan jaringan atrium dan ventrikel) menyebabkan

gangguan kelistrikan jantung. Gangguan kelistrikan yang

sering terjadi adalah fibrilasi atrium. Pada keadaan

tersebut, depolarisasi otot jantung timbul secara cepat

dan tidak terorganisir sehingga jantung tidak mamu

berkontraksi secara normal. Hal tersebut menyebbakan

penurunan cardiac output dan resiko pembentukan

thrombus ataupun emboli. Jenis aritmia lain yang sering

dialami oleh pasien gagal jantung kongestif adalah

ventrikuler takiaritmia, yang dapat menyebabkan


kematian mendadak pada penderita.

c. Pembentukan thrombus pada ventrikel kiri

Penyumbatan thrombus pada ventrikel kiri dapat terjadi

pada pasien gagal jantung kongestif akut maupun kronik.

Kondisi tersebut diakibatkan oleh adanya pembesaran

ventrikel kiri dan penurunan curah jantung. Kombinasi

kedua kondisi tersebut meningkatkan terjadinya

pembentukan trombus di ventrikel kiri. Hal yang paling

berbahaya adalah bila terbentuknya emboli dari thrombus

tersebut karena besar kemumungkinan dapat

menyebabkan stroke.

d. Pembesaran hati (Hepatomegali)

Pemebesaran hati dapat terjadi pada gagal jantung berat,

trutama dengan kegagalan ventrikel kanan. Lobules hati

akan mengalami kongesti dari darah bena. Kongesti pada

hati menyebabkan kerusakan fungsi hati. Keadaan

tersebut menyebabkan sel hati akan mati, terjadi fibrosis

dan serosis dapat terjadi.

9. Penatalaksanaan

Menurut Philip dan Jeremy (2010) terapi gagal

jantung kronik (CHF) bertujuan untuk memperbaiki kualitas

hidup dengan mengurangi gejala, memperpanjang usia

harapan hidup, memperlambat progresi perburukan jantung


Respon fisiologis pada gagal jantung membentuk dasar

rasional untuk tindakan. Selain dengan pemberian oksigen

secara adekuat, sasaran penatalaksanaan gagal jantung

kongestif adalah untuk menurunkan kerja jantung, untuk

meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard, dan

untuk menurunkan retensi garam dan air.

Terapi gagal jantung terdiri dari terapi non-

farmakologik dan terapi farmakologik. Terapi non-

farmakologik yang dapat dilakukan, antara lain :

a. Terapi non farmakologik

1) Tirah baring

Melalui inaktivitas, kebutuhan pemompaan jantung

diturunkan. Selain itu tirah baring membantu dalam

menurunkan beban kerja dengan menurunkan volume

intravascular melalui induksi diuresis.

2) Pemberian oksigen

Terutama pada klien gagal jantung disertai dengan

edema paru. Pemenuhan oksigen akan mengurangi

kebutuhan miokardium dan membantu memenuhi

kebutuhan oksigen tubuh.

3) Pembatasan diet

Rasional dukungan diet adalah mengatur diet

sehingga kerja dan ketegangan otot jantung minimal,

dan status nutrisi terpelihara sesuai


dengan selera dan pola makan klien. Selain itu,

pembatasan konsumsi natrium dilakukan untuk

mencegah, mengatur, atau mengurangi edema pada

kondisi gagal jantung. Selain itu, merokok harus

dihentikan bila pasien seorang perokok.

4) Aktivitas fisik

Olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda

dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil

(NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman

bagi pasien.

b. Terapi farmaklogik

Jika disfungsi miokard sudah terjadi, pemberian

terapi/pengobatan secara farmakologik dilakukan dengan

tujuan untuk :

1) Mencegah memburuknya fungsi jantung

(memperlambat progresi remodeling miokard), dapat

diberikan :

a) ACE-I (Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitor)

Penghambat ACE, menghibisi konversi

angiotensin I menjadi angiotensin II, sehingga

menyebabkan dilatasi arteri dan vena, serta

menurunkan volume darah dan edema.

Vasodilatasi arteri menurunkan afterload dan

kerka jantung, dan memperbaiki perfusi jaringan


dengan meningkatkan isi sekuncup dan curah

jantung. Dilatasi vena dan penurunan retensi

cairan mengurangi kongesti pulmonal, edema,

dan tekanan vena sentral (CVP) (preload).

Pengurangan preload menurunkan tekanan

pengisian ventrikel, sehingga menurunkan

tegangan dinding jantung, beban kerja , dan

iskemia. ACEI juga memperlambat terjadinya

hipertrofi dan fibrosis jantung abnormal, yang

diperkirakan dipacu oleh angiotensin II. Contoh :

Kaptopril, Enalapril, dll.

b) β – Blocker

Pemberian β – Blocker pada gagal jantung

sistolik akan mengurangi kejadian iskemia

miokard, mengurangi stimulasi sel- sel automatik

jantung dan efek aritmia lainnya, sehingga

mengurangi risiko terjadinya aritmia jantung, dan

dengan demikian mengurangi risiko terjadinya

kematian mendadak.

β – Blocker juga menghambat pelepasan

renin sehingga menghambat aktivasi sistem RAA.

Akibatnya terjadi penurunan hipertrofi miokard,

apoptosis dan fibrosis miokard, dan remodelling


miokard, sehingga progresi gagal jantung akan

terhambat, dan dengan demikian menghambat

memburuknya kondisi klinik. Contoh :

Bisoprolol, Metoprolol, karvedilol.

2) Mengurangi gejala-gejala gagal jantung, dengan


diberikan:

a) Diuretik

Diuretik mengurangi akumulasi cairan

dengan meningkatkan ekskresi garam dan air

di ginjal, sehingga preload,

kongestifpulmonal, dan edema sistemik dapat

berkurang. Furosemide adalah salah satu

diuretic yang dikenal luas dan mempunyai

efek sangat kuat. Dikenal pula sebagai loop

diuretic, sebab bekerja di medular pada loop

Henle dimana terjadi penyekatan reabsorpsi

Na dan Cl. Furosemide merupakan kontra

indikasi bagi pasienpasien dengan asidosis

metabolik, peningkatan azotemia, kehamilan

atau menyusui, dan pasien-pasien yang

sensitive terhadap obat-obat sulfa. Sediaan:

oral, intravena, intra muscular. (ex: furosemic,

bumetanic, torasemid, asam etakrinat, dll).

b) Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE


Inhibitor)

ACE hinbitor adalah agent yang

menghambat (menyekat) pembentukan

angiotensin II, sehingga menurunkan tekanan

darah. ACE inhibitor juga dapat menurunkan

beban awal (preload) dan beban akhir

(afterload), sehingga dapat mengatasi

kegagalan fungsi ventrikel atau gagal jantung

kongestif.

Berbagai jenis ACE inhibitor yang

sering digunakan untuk pengobatan pasien

dengan gagal jantung atau hipertensi adalah

captopril, quinapril, ramipril, trandolapril,

cilazapril, enalapril, fosinopril dan peridopril.

c) Digitalis

Digitalis mempunyai efek menyekat

sodium yang merupakan membran bound,

yaitu suatu system transport enzym yang

mempengaruhi pertukaran Na – Ca di

intraseluler, sehingga meningkatkan jumlah

cytosolik Ca yang secara langsung dapat

meningkatkan kontraktilitas miokard

(inotropik positif).

Digitalis juga mempunyai efek


kronotropik negative, yaitu menurunkan

denyut jantung. Digoxin adalah salah satu

jenis digitalis yang sangat bermanfaat untuk

pengobatan gagal jantung yang disebabkan

oleh penurunan fungsi ventrikel. Pada pasien-

pasien dengan total AV block, kardiomiopati

dan sindroma WPW, hipokalemia, gagal

ginjal, tidak dapat diberikan karena dapat

memperburuk kondisinya.

d) Obat inotropik

Diberikan untuk meningkatkan

kontraktilitas jantung, sehingga meningkatkan

curah jantung (contoh : digoksin, dopamine

dan dobutamin IV).

C. Konsep Dyspneu pada pasien Congestive Heart Failure (CHF)

Sesak napas atau disebut juga dyspneu merupakan perasaan

subyektif di mana seseorang merasa kekurangan udara untuk

bernafas. Keadaan ini merupakan akibat kurang lancarnya

pemasukan udara pada saat inspirasi atau pengeluaran udara saat

ekspirasi, yang disebabkan oleh adanya penyempitan ataupun

penyumbatan pada tingkat bronkeolus/ bronkus/trakea/laring. Sebab

lain adalah karena berkurangnya volume paru yang masih berfungsi

baik, berkurangnya elastis paru, bisa juga karena ekspansi paru

terhambat (Danusantoso, 2012).


Adapun masalah keperawatan yang sering muncul pada

penderita Congestive Heart Failure (CHF) diantaranya, takikardia,

dispneu, nyeri dada, sianosis, penurunan perfusi jaringan, edema

kedua tungkai, asites, hepatosplenomegali, peningkatan vena jagular,

yang menyebabkan kelebihan volume cairan, intoleransi aktivitas,

gangguan perfusi jaringan, resiko kerusakan integritas kulit (Aspiani,

2014).

Mekanisme akibat faktor jantung dapat disebabkan oleh adanya

heart failure. Denyut jantung yang tidak teratur dapat menyebabkan

tubuh berkompensasi dan menimbulkan nafas yang tidak beraturan

untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Hal ini terjadi karena

reseptor O2 di pembuluh darah memberi sinyal bahwa tubuh butuh

oksigen lebih banyak sehingga sinyal tersebut menjadi pemicu sistem

pernafasan untuk bernafas lebih sering untuk mencukupi kebutuhan

oksigen.

Dyspnea biasanya dialami selama kegiatan (paling sering), saat

istirahat atau saat tidur. Pasien Congestive heart failure (CHF) juga

akan mengalami kesulitan bernafas saat berbaring dengan posisi

supine sehingga biasanya akan menopang tubuh bagian atas dan

kepala diatas dua bantal. Hal ini disebabkan karena aliran balik darah

di vena pulmonalis ke paru-paru karena jantung tidak mampu

menyalurkannya, hal ini menyebabkan bendungan darah di paru-paru

(Damayanti, 2013).
Gagal Jantung

Bendungan paru
(Hipertensi Pulmonal)

Refleks Bronkokonstriksi Volume vaskular Pulmonal naik


(pada fase akut) Cairan Interstisial paru naik
(edema paru)

Ventilasi paru menurun Kapasitas total paru meningkat.


Restrictive Work menurun Lung Compliance berkurang
(Frictional Resistance naik) Resistensu elastic meningkat

Dyspneu

Gambar 2.2 Mekanisme sesak nafas pada pasien gagal jantung

Hubungan antara sesak dan derajat keparahan CHF dapat dilihat

dari klasifikasi CHF menurut New York Hearth Association (NYHA)

klasifikasi fungsional CHF dibagi dalam empat kelas yaitu:

1. Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktivitas yang berat

tanpa sesak nafas dan keletihan

2. Kelas II : Bila ada sedikit keterbatasan aktifitas fisik, aktivitas

fisik bisa menyebabkan keletihan dan sesak nafas namun

gejala akan hilang dengan istirahat. Klien tidak melakukan

aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari


3. Kelas III : Bila klien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari

tanpa keluhan, biasanya pada keadaan ini telah terjadi edem

pulmonal

4. Kelas IV : Bila klien sama sekali tidak dapat melakukan

aktivitas apapun dan harus tirah baring, sesak nafas bahkan

terjadi ketika klien istirahat.

D. Konsep Dasar Inovasi

1. Konsep Deep Breathing

a. Pengertian

Deep breathing merupakan tindakan yang disadari

untuk mengatur pernapasan secara dalam dan lambat yang

dapat menimbulkan efek relaksasi (Tarwoto, 2012). Deep

breathing adalah metode bernapas yang frekuensi bernapas

kurang dari 10 kali per menit dengan fase ekshalasi yang

panjang (Breathesy, 2007).

Deep breathing merupakan teknik pernapasan dengan

frekuensi bernapas kurang dari 10 kali permenit dan fase

inhalasi yang panjang. Latihan deep breathing dapat

meningkatkan suplai oksigen ke otak dan dapat menurunkan

metabolisme otak sehingga kebutuhan oksigen otak

menurun.

Pada saat relaksasi terjadi perpanjangan serabut otot,

menurunnya pengiriman impuls saraf ke otak, menurunnya


aktivitas otak dan fungsi tubuh yang lain karakteristik dari

respon relaksasi ditandai oleh menurunnya denyut nadi,

jumlah pernafasan dan penurunan tekanan darah

(Budiansyah, 2015).

b. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dan manfaat teknik relaksasi nafas dalam

menurut National Safety Council (Budiansyah, 2015), bahwa

teknik deep breathing saat ini masih menjadi metode relaksasi

yang termudah. Metode ini mudah dilakukan karena

pernafasan itu sendiri merupakan tindakan yang dapat

dilakukan secara normal tanpa perlu berfikir atau merasa

ragu.

Sementara Brunner & Suddart tahun 2014 menyatakan

bahwa tujuan dari teknik relaksasi nafas dalam adalah

meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas,

mencegah atelektasi paru, meningkatkan efisiensi batuk

mengurangi stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan

intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan. Sedangkan

manfaat yang dirasakan oleh klien setelah melakukan teknik

relaksasi nafas dalam adalah dapat menghilangkan nyeri dan

berkurang cemas.

Tujuan nafas dalam adalah untuk mencapai ventilasi

yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja

bernafas, meningkatkan inflasi alveolar maksimal,


meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas,

menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernafasan yang tidak

berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi

pernafasan, mengurangi udara yang terperangkap serta

mengurangi kerja bernafas (Suddarth & Brunner, 2014 dalam

Budiansyah, 2015).

Latihan nafas dalam bukanlah bentuk dari latihan fisik, ini

merupakan teknik jiwa dan tubuh yang bisa ditambahkan

dalam berbagai rutinitas guna mendapatkan efek relaks.

Praktik jangka panjang dari latihan pernafasan dalam akan

memperbaiki kesehatan. Bernafas pelan adalah bentuk paling

sehat dari pernafasan dalam (Brunner & Suddarth, 2014

dalam Budiansyah, 2015).

c. Pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap

penurunan dyspnea

Pernapasan dengan metode latihan slow deep breathing

akan menyebabkan relaksasi sehingga menstimulasi

pengeluaran hormon endorphine yang berefek langsung

terhadap sistem syaraf otonom dan menyebabkan penurunan

kerja sistem saraf simpatis dan peningkatan kerja sistem saraf

parasimpatis sehingga terjadi penurunan tekanan darah

(Lovastatin, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian Anderson et al, (2010);

Heather et al, (2012) dan Turankar et al, (2013), menunjukkan


dengan ekshalasi yang panjang dari metode latihan deep

breathing akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan

intratoraks di paru selama inspirasi yang akan menyebabkan

peningkatan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh

(Budiansyah, 2015).

Oksigen yang meningkat akan mengaktivasi refleks

kemoreseptor yang banyak terdapat di badan karotis, badan

aorta dan sedikit pada rongga toraks dan paru. Aktivasi

kemoreseptor ini akan mentransmisikan sinyal saraf ke pusat

pernapasan tepatnya di medula oblongata yang juga menjadi

tempat medullary cardiovascular centre.

Sinyal yang di kirim ke otak akan menyebabkan aktivitas

kerja saraf parasimpatis meningkat dan menurunkan aktivitas

kerja saraf simpatis sehingga akan menyebabkan penurunan

tekanan darah.

Peningkatan tekanan intratoraks di paru tidak hanya

menyebabkan peningkatan oksigen jaringan, namun juga

menyebabkan penurunan tekanan di vena sentral yang

mengakibatkan aliran balik vena dan peningkatan volume

vena sentral sehingga curah jantung dan stroke volume akan

meningkat di jantung kiri.

Hal ini mengaktivasi refleks baroreseptor melalui

peningkatan tekanan arteri di pembuluh akibat terjadinya

peningkatan stroke volume dan curah jantung di jantung kiri


sehingga terjadi penurunan tekanan darah dari aktivasi refleks

baroreseptor yang mengirimkan sinyal ke medullary

cardiovascular centre di medula oblongata yang

menyebabkan peningkatan kerja saraf parasimpatis dan

penurunan kerja saraf simpatis.

Deep breathing dapat meningkatkan refleks baroreseptor

melalui peningkatan vagal dan penurunan aktivitas simpatik.

Peningkatan volume tidal yang mengkompensasi tingkat

pernafasan berkurang untuk mempertahankan minute

ventilation, bisa bertanggung jawab untuk perubahan otonom

melalui penurunan aktivitas simpatis.

Menurut penelitian Sepdianto (2013), breathing exercise

pada pasien gagal jantung yang dilakukan selama 15 menit

sebanyak tiga kali sehari dalam waktu 14 hari terbukti efektif

menurunkan dyspneu.

d. Metode Latihan Deep Breathing

Deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi

bernapas kurang dari 10 kali permenit dengan fase ekshalasi

yang panjang (Breathesy, 2007). Deep breathing adalah

gabungan dari metode napas dalam (deep breathing) dan

napas lambat sehingga dalam pelaksanaan latihan pasien

melakukan napas dalam frekuensi kurang dari atau sama

dengan 10 kali permenit.

Langkah-langkah dalam latihan deep breat hing,


(University of Pittsburgh Medical Center (2003 dalam Tarwoto,

2012) adalah sebagai berikut :

1. Atur pasien dengan posisi duduk atau berbaring

2. Kedua tangan pasien diletakkan di atas abdomen

3. Anjurkan melakukan napas secara perlahan dan dalam

melalui hidung dan tarik napas selama 3 detik, rasakan

abdomen mengembang saat menarik napas

4. Tahan napas selama 3 detik

5. Kerutkan bibir, keluarkan melalui mulut dan hembuskan

napas secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen

bergerak ke bawah

6. Ulangi langkah 1 sampai 5 menit

7. Latihin deep breathing dilakukan dengan frekuensi 2 kali

sehari.

2. Konsep Active Range of Motion (ROM)

a. Pengertian

Range of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk

menyatakan batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM

juga di gunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya

kelainan batas gerakan sendi abnormal (Helmi, 2012).

Menurut (Potter, 2010) Rentang gerak adalah jumlah

pergerakan maksimum yang dapat di lakukan pada sendi, di

salah satu dari tiga bidang yaitu: sagital, frontal, atau

transversal.
Range of Motion (ROM)adalah gerakan yang dalam

keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang

bersangkutan. Range of Motion (ROM) dibagi menjadi dua

jenis yaitu ROM aktif dan ROM pasif. (Suratun, 2008). Range

of Motion (ROM) adalah latihan gerakan sendi yang

memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di

mana klien menggerakan masing-masing persendiannya

sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.

b. Klasifikasi Range of Motion (ROM)

Menurut (Suratun, 2008) klasifikasi Range of Motion (ROM)

sebagai berikut:

1) Range of Motion (ROM) aktif adalah latihan Range of Motion

(ROM) yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa bantuan

perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi Range

of Motion (ROM) aktif adalah semua pasien yang dirawat

dan mampu melakukan Range of Motion (ROM) sendi dan

kooperatif.

2) Range of Motion (ROM) pasif adalah latihan yang di berikan

kepada klien yang mengalami kelemahan otot lengan

maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi

dimana klien tidak dapat melakukannya sendiri, sehingga

klien memerlukan bantuan perawat atau keluarga.


c. Tujuan ROM

Tujuan latihan ROM menurut Suratun (2008) adalah:

1) Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot

2) Memelihara mobilitas persendian

3) Merangsang sirkulsi darah

4) Mencegah kelainan bentuk

d. Prinsip Dasar ROM

Prinsip dasar latihan Range of Motion (ROM) menurut

Suratun (2008) yaitu:

1) ROM harus di ulangi sekitar 8 kali dan di kerjakan minimal 2

kali sehari

2) ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehinga tidak

melelahkan pasien

3) Dalam merencanakan program latihan Range of Motion

(ROM), memperhatikan umur pasien, diagnosis, tanda vital

dan lamanya tirah baring

4) ROM sering di programkan oleh dokter dan di kerjakan oleh

ahli

5) Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah

leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, atau pergelangan kaki

6) ROM dapat dilakukan pada semua persendian yang di

curigai mengurangi proses penyakit

7) Melakukan ROM harus sesuai waktunya, misalnya setelah

mandi atau perawatan rutin telah dilakukan.


e. Pengaruh Active Range of Motion (ROM) Terhadap

Penurunan Dyspnea

Program rehabilitasi pada penderita gangguan jantung

merupakan program multi fase yang dirancang untuk

memulihkan gangguan jantung terutama gangguan pembuluh

darah koroner jantung. Program rehabilitasi meliputi perubahan

gaya hidup yang antara lain meliputi pengaturan pola makan,

manajemen stress dan latihan fisik. Program latihan fisik

didasarkan pada tingkat kesadaran pasien dan kebutuhan

individual (Novita, 2012).

Program latihan rehabilitasi fisik pada penderita penyakit

jantung meliputi fase Inpatient (di dalam rumah sakit), Out

Patient (pulang dari rumah sakit sampai dengan 12 minggu

merupakan program dalam pengawasan) dan fase

pemeliharaan.

Program latihan inpatient dapat dilakukan sejak 48 jam

setelah gangguan jantung sepanjang tidak terdapat kontra

indikasi. Latihan fisik yang dilakukan terbatas pada aktivitas

sehari-hari, misalnya gerakan tangan, kaki dan perubahan

postur (Novita, 2012).

AHA merekomendasikan latihan fisik dilakukan pada pasien

dengan CHF yang sudah stabil. Latihan fisik dilakukan 20-30

menit dengan frekuensi 3-5 kali setiap minggu. Latihan ini

merupakan salah satu latihan yang berada di rumah sakit


(inpatient) yang dapat dilakukan oleh pasien CHF. Manajemen

aktivitas bertahap pada pasien tersebut merupakan kegiatan

fisik yang ringan dan teratur sehingga kondisi sirkulasi darah

perifer dan perfusi jaringan dapat diperbaiki (Nirmalasari, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Babu (2010) menunjukkan

bahwa latihan ROM bertujuan untuk meningkatkan aliran darah

ke otot sehingga meningkatkan perfusi jaringan perifer.

Menurut penelitian Muhamat Noviyanto (2016), terdapat

perbedaan yang signifikan nilai frekuensi nafas, frekuensi

jantung antara sebelum dan selama mobilisasi. Kondisi tersebut

terjadi karena adanya mekanisme kompensasi terhadap

adanya aktivitas yang dapat memberikan rangsangan simpatis

untuk meningkatkan fungsi organ kardiorespirasi guna

mencukupi kebutuhan oksigenasi (curah jantung) dan perfusi

jaringan.

ROM merupakan latihan gerak dengan menggerakkan

sendi seluas gerak sendi dan dilakukan secara teratur.

Pergerakan tubuh yang sifatnya teratur sangat penting untuk

menurunkan resistensi pembuluh darah perifer melalui dilatasi

arteri pada otot yang bekerja sehingga meningkatkan sirkulasi

darah. Sirkulasi darah yang lancar akan melancarkan

transportasi oksigen ke jaringan sehingga kebutuhan oksigen

akan terpenuhi dengan adekuat. Latihan fisik akan

mencurahkan curah jantung. Peningkatan curah jantung akan


meningkatkan volume darah dan hemoglobin sehingga akan

memperbaiki penghantaran oksigen di dalam tubuh. Hal ini

berdampak pada penurunan dyspnea ( Nirmalasari, 2017)

Anda mungkin juga menyukai