Bab 1: Catatan Riwayat Penyakit
Bab 1: Catatan Riwayat Penyakit
IDENTITAS PENDERITA:
Nama : Tn. S
Tanggal lahir : 25 April 1993
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat badan : 61 kg
Tinggi badan : 162 cm
Agama : Islam
Alamat : Makassar
Tanggal pemeriksaan : 18 Oktober 2014
I. SUBJEKTIF
ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA : Bengkak-bengkak
ANAMNESIS TERPIMPIN:
1
Pasien pernah dirawat inap di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo,
(RSWS) beberapa bulan yang lalu dengan keluhan yang sama dan telah
didiagnosa dengan sindrom nefrotik dan setelah keluar dari rumah sakit, pasien
rutin kontrol di poliklinik. Pasien mendapat terapi empat macam obat yaitu
furosemide 40 mg (1 tablet 2 kali sehari), captopril 25 mg (1 tablet 3 kali
sehari), simvastatin 10 mg (1 tablet sekali sehari), dan methylprednisolone 16
mg (3 tablet sekali sehari). Namun akhir-akhir ini pasien tidak rutin kontrol di
poliklinik dan tidak konsumsi obat. Selama pengobatannya pasien belum
pernah dibiopsi.
Riwayat penyakit lain seperti diabetes mellitus, kanker, lupus
disangkal. Riwayat sakit kuning disangkal. Riwayat penyakit infeksi lain
seperti malaria, tuberkulosis dan lain-lain juga disangkal.
II. OBJEKTIF
Status Present
Kepala :
Ekspresi: Normal, tidak nyeri
2
Deformitas: Tidak ada
Simetris muka: Simetris kiri sama dengan kanan
Rambut: Hitam, tebal, sukar dicabut
Mata :
Eksoptalmus/Enoptalmus : Tidak ada
Gerakan bola mata: Dalam batas normal
Tekanan bola mata: Dalam batas normal
Kelopak mata: Edema palpebra ada
Konjungtiva : Tidak pucat
Sklera : Tidak ikterik
Kornea : Normal, jernih
Pupil : Diameter: 2,5 mm/2,5 mm
Simetris: isokor, normal
Reflek cahaya : +/+
Telinga :
Tophi tidak ada
Pendengaran dalam batas normal
Nyeri tekan di prosesus mastoideus tidak ada
Sekret tidak ada
Hidung :
Bentuk: simetris
Perdarahan : tidak ada
Sekret : tidak ada
Mulut :
Bibir: Mukosa bibir basah, sianosis tidak ada
3
Gusi: Tidak mudah berdarah, pembengkakan tidak ada
Gigi geligi : 3 2 1 2 2 1 2 3
3 2 1 2 2 1 2 3
Lidah : Bentuk normal, warna kemerahan, hiperemis tidak ada, kotor tidak
ada, kandidiasis tidak ada, tremor tidak ada
Leher :
Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada
Pembesaran kelenjar gondok: tidak ada
DVS : R-2 cm H 2 0
Pembuluh darah : Pulsasi arteri karotis tidak terlihat
Kaku kuduk : Tidak ada
Tumor : Tidak ada
1. Dada :
a. Dinding dada :
Inspeksi : Sesak ada, frekuensi pernapasan 24 kali per menit,
simetris kiri dan kanan, permukaan dada tidak ada kelainan,
petechi tidak ada, retraksi dan penggunaan otot bantu
pernapasan tidak ada, iga dan sela iga tidak ada kelainan,
fossa jugularis, intra dan supra clavicularis intak tidak ada
kelainan, pernapasan thorakal.
Bentuk : Normothorax
Pembuluh darah : Tidak tampak
Buah dada : Simetris kiri dan kanan, gynecomasti tidak ada
Sela iga : Tidak ada kelainan
Lain-lain : Tidak ada
4
b. Paru :
Palpasi : Fremitus raba/vokal menurun di basal paru kiri dan
kanan, nyeri tekan tidak ada.
Perkusi :
Paru kiri : Pekak setinggi ICS IX-X
Paru kanan : Pekak setinggi ICS IX-X
Batas paru hepar : Batas paru hepar ICS VI kanan
Batas paru belakang kanan : Setinggi vertebra
thorakal IX
Batas paru belakang kiri : Setinggi vertebra thorakal
IX
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler, menurun di basal dextra
et sinistra
Bunyi tambahan : Tidak ada. Rhonki (-/-), Wheezing (-
/-)
c. Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, massa tidak ada, nyeri tekan
tidak ada
Perkusi : Pekak relatif ada, batas jantung kanan relatif pada
linea sternalis kanan, batas jantung kanan absolut pada linea
sternalis kiri, batas jantung kiri relatif pada sela iga 5 linea
medioclavicularis kiri.
5
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, bunyi
tambahan/murmur tidak ada, gallop tidak ada. Frekuensi
jantung 88 x/menit.
d. Abdomen
Inspeksi : Bentuk cembung, stria tidak ada, ascites ada
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Lain-lain : Tidak ada
Perkusi : Pekak, shifting dullness ada (Volume ~500cc)
Auskultasi : Peristatik ada kesan normal
e. Alat kelamin
Edema skrotum tidak ada. Riwayat edema skrotum ada
beberapa bulan yang lalu.
g. Punggung
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tidak ada
Nyeri ketok : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada
h. Ekstremitas
Akral hangat, sianosis tidak ada, pitting edema ada pada tungkai
bawah (pretibial dan dorsum pedis) bilateral.
6
III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM SEDERHANA
7
Kolesterol total 597 mg/dl* ↑ <200 mg/dl
Kolesterol HDL 27 mg/dl* ↓ >45 mg/dl
Kolesterol LDL 461 mg/dl* ↑ <130 mg/dl
Kesan: Hipoalbuminemia, hiponatremia, hiperlipidemia
8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
USG abdomen atas+bawah (whole abdomen) tanggal 20-10-2014:
Kesan:
- Tanda-tanda glomerulonefritis kronik dextra
- Ascites
- Efusi pleura bilateral
V. RESUME
9
disangkal. Riwayat sakit kuning disangkal. Riwayat penyakit infeksi lain
seperti malaria, tuberkulosis dan lain-lain juga disangkal.
VI. ASSESMENT
a. Sindrom Nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
b. Hipertensi grade I
c. Hiponatremia
d. Dislipidemia
10
VII. PENATALAKSANAAN
Bedrest
Diet rendah garam 2 gram/hari, rendah lemak, asupan protein dibatasi 0,8-1,0
gr/kgBB/hari.
Terapi diuretik (loop diuretic): Furosemid 40 mg/24 jam/oral (pagi) dengan
evaluasi elektrolit secara rutin.
Terapi kortikosteroid: methylprednisolone 16 mg (3 tablet sekali sehari)
Anti proteinurik dan anti hipertensi (ACE inhibitor): Captopril 25 mg/8
jam/oral.
Anti dislipidemia: Simvastatin 10 mg/24 jam/oral (malam)
Koreksi hipoalbuminemia: Transfusi albumin 25% 1 botol/hari selama 4 hari
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
11
X. FOLLOW UP
Tanggal Follow up
18/10/14 S: Bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 160/120mmHg, HR: 78x/menit, RR: 24x/menit, Temp: 37°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak ada. RR: 24x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler
menurun di basal, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
Lab:
RBC: 5.700 , WBC: 14.800, HGB: 17.2, HCT: 47.8,
MCV/MCH: 84/30.2, MCHC: 36.0, PLT: 258.000
Protein total: 2.7, Albumin: 1.0, Ur/Cr: 74/1.20,
SGOT/GPT: 27/19, Na/K/Cl: 128/4.2/102, Trigliserida: 697,
Kolesterol total: 597, HDL: 27, LDL: 461
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Suspek efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)
12
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral
Koreksi hipoalbuminemia :
- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari
Urinalisa, protein Esbach
USG abdomen, Foto thorax PA
Biopsi ginjal
19/10/14 S: Pasien mengeluh nyeri dada dan merasa agak sesak.
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 150/100mmHg, HR: 88x/menit, RR: 28x/menit, Temp: 36,6°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak ada. RR: 28x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler
menurun di basal, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
Lab:
Urinalisa: Protein +++/300, blood ++/80
Protein Esbach: >12gr/dL/500cc urin
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Suspek efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral
13
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral
Koreksi hipoalbuminemia :
- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari
USG abdomen, Foto thorax PA
Biopsi ginjal
20/10/14 S: Nyeri dada dan sesak.
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 140/100mmHg, HR: 92x/menit, RR: 28x/menit, Temp: 36,9°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak ada. RR: 28x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler,
menurun di basal dextra et sinistra, rhonkhi tidak ada, wheezing tidak
ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
Radiologi:
USG abdomen atas+bawah (whole abdomen) 20-10-2014
Kesan:
i. Tanda-tanda glomerulonefritis kronik dextra
ii. Ascites
iii. Efusi pleura bilateral
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest
14
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral
Koreksi hipoalbuminemia :
- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari
Foto thorax PA
Biopsi ginjal
21/10/14 S: Bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah. Sesak dan nyeri
dada berkurang.
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 140/90mmHg, HR: 86x/menit, RR: 22x/menit, Temp: 36,8°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak berkurang. RR: 22x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler,
menurun di basal dextra et sinistra, rhonkhi tidak ada, wheezing tidak
ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest
15
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral
Koreksi hipoalbuminemia :
- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari
Foto thorax PA
Biopsi ginjal
Kontrol albumin, elektrolit
22/10/14 S: Bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah berkurang
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 140/90mmHg, HR: 88x/menit, RR: 22x/menit, Temp: 36,6°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak berkurang. RR: 22x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler,
menurun di basal dextra et sinistra, rhonkhi tidak ada, wheezing tidak
ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest
16
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral
17
XI. DISKUSI KASUS
18
MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif bila molekul
yang keluar terdieri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
immunoglobulin. Selektifitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan MBG.
19
berperan penting pada aproses terjadinya edema sesuai dengan kondisi pasien
karena berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya
hipoalbuminemia yaitu albumin 1,0g/dl sedangkan nilai rujukan normal
albumin adalah 3,5-5,0g/dl. Hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia terjadi akibat dari
lolosnya protein terutama albumin melalui urin. Hipoalbuminemia
menyebabkan penurunan tekanan oskotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan
tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadilah hipovolemia
yaitu volume plasma berkurang (underfilling), maka ginjal melakukan
konmpensasi dengan mengaktivasi sistem renin angiotensin yang
mengakibatkan terjadinya retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini
akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi
terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
20
Selain edema, pasien juga mengeluh nyeri dada dan sesak. Hal ini
karena terjadi efusi pleura yang ditegakkan dari hasil pemeriksaan radiologi
USG whole abdomen yang mendapatkan adanya efusi pleura bilateral. Efusi
pleura pada sindrom nefrotik dikenal sebagai efusi pleura transudat yang
terjadi apabila hubungan normal antara tekanan hidrostatik kapiler dan koloid
osmotik terganggu sehingga terbentuk cairan pleura yang melebihi reabsorbsi
pleura. Efusi pleura pada sindrom nefrotik umumnya bersifat bilateral dengan
konsentrasi protein yang rendah. Penyebab terbentuknya efusi pleura pada
sindrom nefrotik adalah karena penurunan kadar albumin plasma yang
mengakibatkan penurun
an tekanan onkotik plasma. Tekanan hidrostatik pada sindrom nefrotik
umumnya meningkat akibat daripada hipervolumia karena adanya retensi
garam (natrium) yang memperberat efusi.
21
tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein).
Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein)
dan lipoprotein (Lp)a sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung
normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik
dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan
menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil
stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Namun karena
sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa
hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia.
Hiperlipidemia dapat juga ditemukan pada pasien dengan kadar albumin
mendekati normal dan sebaliknya pada pasien hipoalbuminemia kadar
kolesterol dapat normal. Tingginya kadar LDL pada sindrom nefrotik
disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan
sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL
menyebabkan kadar VLDL tinggi pada sindrom nefrotik. Menurunnya
aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab
berkurangnya katabolisme VLDL pada sindrom nefrotik. Peningkatan sintesis
lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang
menurun. Penurunan kadar HDL pada sindrom nefrotik diduga karena
berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase)
yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim tersebut juga berperan
mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme.
Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait hipoalbuminemia pada
sindrom nefrotik.
22
BAB 2: PEMBAHASAN TEORI
SINDROM NEFROTIK
I. PENDAHULUAN
23
Pada anak-anak usia 1-7 tahun paling sering ditemukan glomerulonefritis
akibat lesi primer yaitu glomerulonefritis lesi minimal (75%-85%) dengan umur
rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali
lebih banyak daripada perempuan. Pada orang dewasa, kasus glomerulonefritis
paling banyak didapat akibat manifestasi ginjal karena penyakit sistemik, umur
rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN
idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun.
24
viii. Tuberkulosis, lepra
b. Keganasan
ix. Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,
mieloma multipel, dan karsinoma ginjal
c. Penyakit jaringan penghubung
x. Lupus ertematosus sistemik, artritis reumatoid, MCTD
(mixed connective tissue disease)
d. Efek obat dan toksin
xi. Obat anti inflamasi non-steroid, preparat emas,
penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin
e. Lain-lain
xii. Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah
Glomerulosklerosis (GS)
25
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
III. PATOFISIOLOGI
26
Mekanisme reaksi imuno-mediasi sel pada cedera glomerulus:
1. Proteinuria (albuminuria)
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan
negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat
peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai
peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria(albuminuria).
Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria(albuminuria) sangat
komplek:
27
2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati
ruangan ekstra vaskular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat
molekul 69.000.
Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan
sejumlah protein, baik renal maupun non-renal. Mekanisme kompensasi dari
hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan
komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskular(EV) dan intra vaskular(IV):
NORMAL SINDROM NEFROTIK
Sintesis albumin dalam hepar normal sintesis albumin
meningkat
EV
IV EV IV
Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin
menurun, keadaan menjadi hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti
28
oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang
terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi
filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi
keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium
Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium Na+ secara pasif
sepanjang ‘Loop of Henle’ bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif
sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air,
H2O yang berhubungan dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA)
dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda
aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini
(aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi
diuretik yang mengandung antagonis aldosteron.
3. Edema
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-
kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial yang
mengakibatkan edema. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan
volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan
air. (lihat skema)
Proteinuria masif menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan
onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi edema.
Mekanisme edema dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
i. Jalur langsung/direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung
menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan
edema.
29
Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan
penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema Pada
fase awal edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-
daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah yaitu daerah dengan
jaringan ikat longgar (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema
menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).
30
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan
ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
31
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat edema dan secara tidak langsung dengan
kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. Ultrasonografi, USG
ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan
dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.
Reaksi Ag-ab
Peradangan glomerulus
Proteinuria
Hipoalbuminemia
Transudasi ke
Dalam interstisium hipovolemia
Retensi
Na+ & H2O
Edema
32
V. PENEGAKAN DIAGNOSIS
33
Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko
komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg berat
badan/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor
angiotensin II (angiotensin II receptor antagonist) dapat menurunkan tekanan darah
dan kombinasi keduanya mempunyai efek dalam menurunkan proteinuria. Risiko
tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun
pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada suatu studi
terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi
menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak
golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan
kolesterol LDL, trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.
Sebagian dari Glomerulonefritis (GN) primer ini terdapat dalam bentuk yang
ringan sehingga tidak memberikan gejala klinis yang nyata dan hanya diketahui pada
34
saat dilakukan tes kesehatan. Sebagian lain akan memberikan gejala‐gejala klinik
yang khas seperti edema anasarka, yang menyebabkan pasien akan mendatangi
dokter untuk tujuan pengobatan. Glomerulonefritis adalah salah satu penyebab
tersering Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang pada akhirnya akan berkembang
menjadi penyakit ginjal terminal disertai peningkatan risiko terjadinya
penyakit‐penyakit kardiovaskuler. Karena itu penting sekali untuk memulai
pengobatan pada pasien GN primer. Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai
remisi komplit atau paling tidak untuk menekan progresifitas penyakit ginjal
(menekan laju penurunan fungsi ginjal). Pengobatan mencakup evaluasi klinis secara
teratur, mengontrol tekanan darah, restriksi asupan protein dalam makanan,
mengontrol hiperlipidemia, penggunaan preparat ACE‐I (Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin Receptor Blocker), serta pemberian
preparat kortikosteroid dan immunosupresan lainnya.
Dibawah ini akan diuraikan secara lebih rinci penatalaksanaan pada berbagai
bentuk GN primer:
35
beberapa istilah yang berhubungan dengan respon terhadap pengobatan, yang akan
menjadi acuan apakah pengobatan cukup dengan steroid saja atau diperlukan obat
imunosupresan lainnya. Respon terhadap pengobatan berdasarkan penurunan relatif
dari proteinuri sebagai berikut:
Remisi komplit: berkurangnya proteinuri menjadi 300 mg/hari
Remisi parsial: berkurangnya proteinuri sebesar 50% dengan jumlah absolut
antara 300 mg – 3500 mg/hari.
Relaps: timbulnya kembali proteinuri > 3500 mg/hari pada pasien yang
sebelumnya sudah terjadi remisi komplit atau parsial. Disebut sering relaps
bila pada pasien didapatkan paling sedikit 3x relaps dalam setahun
Dependen‐steroid: diperlukan pengobatan steroid yang berkelanjutan untuk
mempertahankan remisi
Resisten‐steroid: tidak terdapat atau sangat sedikit penurunan proteinuri
setelah pemberian steroid yang adekuat selama 16 minggu, atau
berkurangnya proteinuria tapi tidak pernah mencapai kriteria remisi parsial
setelah pemberian steroid > 16 minggu.
A. Terapi imnuno-supresan
Prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari, dengan dosis maksimum 80 mg/hari
Biasanya diberikan dalam dosis tunggal dan dianjurkan diminum antara pukul
7‐9 pagi dengan tujuan untuk meminimalisasi supresi kelenjar adrenal.
Prednison dilanjutkan sampai minimal 8 minggu meskipun pada sebagian
pasien remisi komplit sudah terjadi sebelum 8 minggu. Hal ini dilakukan
dengan maksud untuk mengurangi angka relaps. Pada pasien dengan respon
yang lebih lambat dari 8 minggu, penurunan bertahap prednisone dilakukan 1‐2
minggu setelah didapatkan remisi komplit. Umumnya pada pasien dengan LM,
36
remisi komplit mulai terjadi pada minggu ke 8, terutama pada pasien dewasa
muda seperti terlihat pada gambar 1.
GAMBAR 1
37
metilprednisolon. Regimen ini diberikan biasanya pada pasien LM yang sering
relaps atau dependen‐steroid.
B. Terapi Non‐Imunosupresan
ACE‐I atau ARB dapat digunakan untuk menambah efek penurunan proteinuri.
Kira‐kira 50‐75% pasien yang responsif terhadap steroid akan mengalami satu kali
relaps. Sedangkan pada 10‐25% pasien LM akan mengalami sering relaps. Sangat
penting untuk mengetahui relaps sedini mungkin, sehingga terapi dapat dimulai
kembali. Untuk deteksi relaps disarankan pemeriksaan proteinuri dengan tes celup
urin (dipstick), setiap 2 minggu setelah remisi. Bila didapatkan tes celup urin yang
positif pada 2 hari yang berbeda dengan selang waktu 1‐2 hari, pasien dianjurkan
untuk datang kembali ke dokter. Pasien yang mengalami relaps, diberikan
prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari (dosis maksimal 60‐80 mg/hari), untuk
sedikitnya 4 minggu. Setelah tercapai remisi dilakukan tapering prednison sebesar 5
mg setiap 3‐5 hari.
38
Siklosporin, diberikan dengan dosis 4‐5 mg/kg/hari dan dibagi dalam 2 dosis
per hari (siklosporin dalam bentuk mikroemulsi diberikan dengan dosis 3
mg/kg/hari). Konsenstrasi siklosporin dimonitor secara berkala dan
dipertahankan antara 100‐200 ng/ml. Dosis ini dipertahankan selama 18
bulan untuk meminimalisasi risiko relaps, kemudian dosis siklosporin
diturunkan bertahap menjadi 2,5‐3 mg/kg/hari (preparat non mikroemulsi)
atau 2‐2,5 mg/kg/hari (preparat mikroemulsi) selama 18‐24 bulan. Bila dalam
4‐6 bulan pertama tidak tercapai remisi, maka pemberian siklosporin
dihentikan dan diganti dengan preparat lain.
Mikofenolat mofetil, diberikan dengan dosis 750‐1000 mg, 2 kali sehari,
diberikan dalam waktu 6‐26 bulan. Hasil penelitian dengan mikofenolat
mofetil pada LM belum banyak dilaporkan.
Azatioprin, hasil penelitian juga masih terbatas, diberikan selama 4 tahun.
Rituximab, penelitian masih terbatas dan belum direkomendasikan.
39
ACE‐I dan ARB, obat golongan ini terutama diberikan pada pasien LM yang
resisten terhadap steroid, siklofosfamid, siklosporin, dan azatioprin.
2. Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (GSFS)
Pemberian steroid atau imunosupresan lainnya dapat menginduksi remisi pada
GSFS, meskipun responnya lebih rendah dibandingkan hasil pada LM. Umumnya
diperlukan waktu yang lebih lama pemberian steroid untuk menginduksi remisi.
Pemberian steroid atau imunosupresan hanya diberikan pada GSFS primer, dan tidak
diindikasikan pada GSFS sekunder. Umumnya terapi imunosupresif tidak diberikan
pada pasien GSFS primer bila:
a. Fungsi ginjal normal dan proteinuria non‐nefrotik. Golongan ini umumnya
perjalanan kliniknya ringan dan sebagian akan mengalami remisi spontan atau
proteinurinya tetap stabil (non‐nefrotik).
b. Fungsi ginjal sudah menurun dan proteinuria non‐nefrotik. Golongan pasien ini
mungkin mempunyai proteinuria masif (nefrotik) sebelumnya tapi tidak mendapat
pengobatan.
40
ditambahkan siklosporin dengan dosis 3‐4 mg/kg/hari (dalam 2
dosis). Siklosporin diteruskan sampai 1 tahun tapi dengan dosis
terendah untuk mempertahankan remisi (dosis 2‐2,5 mg/kg/hari).
Selain dengan siklosporin, prednison dapat pula diberikan bersama
mikofenolat mofetil dengan dosis 750‐1000 mg, 2 kali sehari selama
6 bulan.
41
takrolimus kemudian ditapering sebanyak 1 mg/minggu. Prednison diberikan
dengan dosis 1 mg/kg/hari dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4
minggu. Kemudian diberikan dosis 1 mg/kg selang sehari sampai minggu ke
8. Setelah itu prednison diturunkan bertahap 0,05 mg/kg sampai 6 bulan.
Mikofenolat mofetil: Diberikan dengan dosis 750‐1000 mg, 2 kali sehari
selama 6 bulan. Penurunan proteinuria minimal 50% didapatkan pada 44%.
Tidak ditemukan pasien yang mengalami remisi komplit, tapi tidak
ditemukan adanya peningkatan kreatinin serum
42
2. Nefropati Membranosa (NM)
Nefropati membranosa merupakan penyebab tersering (30‐40%) dari sindrom
nefrotik yang non‐diabotik pada orang dewasa. Sebanyak 75% kasus NM adalah
idiopatik, sedangkan sisanya disebabkan oleh obat‐obatan (emas, penicillamine),
LES, keganasan, dan infeksi virushepatitis B dan C. Manifestasi klinis NM
terbanyak berupa sindrom nefrotik; sangat sedikit bermanifestasi sebagai proteinuria
yang asimtosmatik. Nefropati membranosa mempunyai perjalanan klinis yang relatif
stabil pada wanita, anak‐anak, dewasa muda, proteinuria non‐nefrotik, dan bila kadar
kreatinin serum normal. Sebaliknya perjalanan klinis lebih buruk pada pasien usia >
50 tahun (onsetnya), laki‐laki, proteinuria yang nefrotik dan kreatinin serum
meningkat pada awal diagnosis. Pasien yang mengalami remisi komplit atau remisi
parsial mempunyai prognosis yang baik (penurunan fungsi ginjal sangat lambat dan
insidens gagal ginjal yang rendah). Pasien dapat dibagi menjadi 3 kelompok risiko
sehubungan dengan terjadinya penurunan ginjal (klirens kreatinin < 60 ml/mg)
setelah 5 tahun:
Risiko rendah
Bila didapatkan proteinuria < 4 gr/hari dan klirens kreatinin tetap selama 6 bulan
periode evaluasi. Golongan ini hanya 8% yang mempunyai risiko terjadinya PGK
setelah 5 tahun
Risiko sedang
Bila proteinuria antara 4‐8 gr/hari yang menetap dalam waktu > 6 bulan. Klirens
kreatinin normal atau mendekati normal. Setelah 6 bulan evaluasi, sebanyak 50%
golongan ini akan berkembang menjadi PGK setelah 5 tahun.
Risiko tinggi
Bila didapatkan proteinuria > 8 gr/hari yang menetap > 3 bulan dan atau fungsi
ginjal
43
Di bawah normal atau menurun selama periode evaluasi. Kira‐kira 75% golongan ini
akan berkembang menjadi PGK setelah 5 tahun. Perlu ditekankan disini, bahwa
pengukuran proteinuria dengan cara pemeriksaan rasio protein : kreatinin pada
sampel urin sewaktu, tidak dianjurkan untuk menentukan stratifikasi risiko diatas
pada saat awal. Pengukuran rasio protein: kreatinin urin sewaktu hanya digunakan
pada saat evaluasi. Pengobatan pada NM sebagai berikut:
Risiko rendah untuk terjadinya progresi
Pasien dengan risiko rendah tidak diberikan terapi imunosupresif, karena golongan
ini mempunyai prognosis yang baik dan sering mengalami remisi komplit atau
parsial spontan. Hanya diberikan ACE‐I atau ARB dan dilakukan evalulasi secara
berkala untuk menilai progresivitasnya. Pemeriksaan ekskresi protein dan kreatinin
serum dilakukan setiap 3 bulan sampai 2 tahun. Setelah itu dilakukan 2 kali dalam
setahun. Alasannya karena risiko progresivitas akan menurun secara bermakna
setelah 2 tahun.
Risiko sedang untuk terjadinya progresi
Evaluasi yang ketat tanpa pemberian obat‐obat imunosupresif selama 6 bulan pada
pasien‐pasein dengan risiko sedang, fungsi ginjal tetap stabil (CCT ≥ 80 ml/mnt) dan
edema dapat dikontrol dengan diuretik. Hanya diberikan ACEI atau ARB. Bila
proteinuria 24 jam tetap > 4 gr/hari selama 6 bulan dengan ACEI atau ARB, maka
dapat dimulai pemberian siklofosfamid + prednison, atau siklosporin + prednison,
atau takrolimus + prednison. Kombinasi siklofosfamid + prednison atau
siklosporin/takrolimus + prednisone mempunyai efektivitas yang sama, meskipun
relaps lebih sering terjadi pada pemberian inhibitor kalsineurin. Pilihan pengobatan
ini bergantung pada kondisi pasien misalnya pada wanita reproduktif dihindari
pemakaian siklofosfamid. Sedangkan pada pasien yang lebih tua dengan hipertensi
dan untuk menghindari efek samping vaskuler, lebih baik tidak memakai siklosporin
atau takrolimus.
Kombinasi siklofosfamid + prednison
44
- Prednison diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/hari (atau metilprednisolon 0,4
mg/kg/hari); diberikan pada bulan 1, 3, dan 5.
- Siklosfosfamid diberikan dengan dosis 2‐2,5 mg/kg/hari; diberikan pada bulan 2,
4,
dan 6. Pada bulan pemberian prednison (1, 3, dan 5), diberikan pulse metilprenisolon
sebanyak 1 gr/hari selama 3 hari tanpa prednison oral.
Pada pasien yang diberikan takrolimus, bila terjadi remisi komplit atau
parsial, takrolimus dilanjutkan sampai 12 bulan dan kemudian ditapering sebanyak
25% setiap 2 bulan sampai selesai. Siklosporin dan takrolimus tidak perlu
dilanjutkan pemberiannya. Bila tidak ada respon dalam 6 bulan pertama. Biasanya
bila tidak didapatkan respon terhadap obat ini, maka juga tidak akan terdapat respon
terhadap obat lainnya. Sebagian pasien yang tidak memberikan respon terhadap
siklofosfamid, siklosporin, atau takrolimus, disebut pasien yang resisten, yang akan
dibahas dibawah ini.
45
Risiko tinggi untuk terjadinya progresi.
Efikasi pengobatan pada golongan ini hanya sedikit yang berasal dari penelitian
yang dirancang dengan baik. Kebanyakan data berasal dari penelitian
observasional Retrospektif
Kombinasi siklosfosfamid dan prednison
- Siklosfosfamid diberikan dengan dosis 1,5‐2 mg/kg/hari selama 1 tahun.
- Metilprednisolon dengan dosis 1 gram IV, diberikan selama 3 hari berturut‐turut,
pada bulan 1, 3, dan 5 serta prednison oral dengan 0,5 mg/kg/hari selang sehari
selama 6 bulan. Prednison selanjutnya diturunkan bertahap.
- Untuk meminimalisasi efek toksik siklosfosfamid, maka bila dalam 6 bulan tidak
terjadi penurunan proteinuria dan stabilisasi fungsi ginjal, siklosfosfamid dihentikan.
Siklosporin
Diberikan dengan dosis 3,5 mg/kg/hari selama 12 bulan. Oleh karena efek
nefrotoksik dan siklosporin, perlu dilakukan pemeriksaan kreatinin serum secara
berkala.
46
Relaps dapat terjadi saat siklosporin diturunkan bertahap atau setelah
dihentikan. Bila terjadi relaps dapat diberikan kembali siklosporin dengan dosis
3‐5 mg/kg/hari. Evaluasi dengan pemeriksaan kreatinin serum harus dilakukan
secara berkala untuk monitoring perburukan fungsi ginjal akibat efek samping
siklosporin.
47
500 mg. Pada pasien yang mendapat ACE‐I atau ARB diberikan pula fish‐oil
dengan jumlah 12 gr/hari.
c) Pasien sindrom nefrotik dan atau PGK yang disertai dislipidemia diberikan
pula preparat statin untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler.
d) Pasien dengan sindrom nefrotik dan LM disertai deposit IgA pada mesangial
diberikan terapi steroid. Metilprednisolon 1 gram IV per hari selama 3 hari
berturut‐turut diberikan pada bulan 1, 3, dan 5 disertai prednison oral 0,5
mg/kg/hari yang diberikan selang sehari sampai 6 bulan.
e) Pasien dengan progresivitas penyakitnya aktif (hematuria dengan
peningkatan proteinuri, dan atau kadar kreatinin serum meningkat), diberikan
ACE atau ARB serta steroid seperti pada butir (d) diatas.
f) Untuk pasien dengan kondisi yang berat pada saat awal (kreatinin serum >
1,5 mg/dl) atau progresivitas penyakit dengan pemberian steroid saja,
diberikan kombinasi prednison dan siklosfosfamid. Prednison diberikan
dengan dosis 40 mg/hari, ditapering menjadi 10 mg/hari dalam dan
dikombinasikan dengan siklofosfamid dengan dosis 1,5 mg/kg/hari selama 3
bulan pertama. Siklofosfamid kemudian diganti dengan azatioprin dengan
dosis 1,5 mg/kg/hari selama minimal 2 tahun
48
6. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
Pengobatan GNMP secara optimal belum dapat ditentukan secara pasti. Hasil
penelitian terutama berasal dari pasien dengan GNMP tipe 1. Meskipun lebih
sedikit penelitian pada GNMP tipe 2 dan 3, perjalanan klinis dan hasil
pengobatan hampir serupa. Sedangkan peneliti lain menyimpulkan bahwa
GNMP tipe 2 dan 3 kurang mempunyai respon terhadap pengobatan. Pengobatan
dengan steroid hanya diberikan pada orang dewasa dengan gejala klinis sindrom
nefrotik atau terdapat gangguan fungsi ginjal. Pengobatan dipertahankan selama
6 bulan dan bisa diperpanjang untuk mencapai remisi dengan dosis minimal.
Pasien dengan gejala klinis proteinuria asimtomatik dan pasien yang tidak
mempunyai respon terhadap steroid, hanya diberikan terapi konservatif. ACE‐I
atau ARB terbukti efektif menurunkan jumlah proteinuri. Dari beberapa
penelitian obat‐obat antiplatelet (aspirin, dipiridamol) memperlambat
progresivitas penyakit ginjal pada pasien GNMP.
49