Anda di halaman 1dari 49

BAB 1: CATATAN RIWAYAT PENYAKIT

IDENTITAS PENDERITA:
Nama : Tn. S
Tanggal lahir : 25 April 1993
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat badan : 61 kg
Tinggi badan : 162 cm
Agama : Islam
Alamat : Makassar
Tanggal pemeriksaan : 18 Oktober 2014

I. SUBJEKTIF
ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA : Bengkak-bengkak
ANAMNESIS TERPIMPIN:

Pasien masuk dengan keluhan utama bengkak-bengkak pada kaki, perut


dan wajah yang dialami sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Penderita awalnya mengeluh bengkak pada kedua kelopak mata, lalu bengkak
ke kaki dan perut. Bengkak pada kemaluan tidak ada. Riwayat bengkak pada
kemaluan ada beberapa bulan yang lalu. Bengkak tidak disertai nyeri. Keluhan
bengkak-bengkak yang sama seperti sekarang pernah dialami pada bulan Juni
tahun 2014. Tidak ada mual dan muntah. Demam tidak ada. Riwayat demam
tidak ada. Batuk tidak ada. Sesak ada. Nyeri dada kadang ada. Buang air kecil
warna kuning pekat dan volumenya dirasakan berkurang sejak tiga hari
terakhir ini. Buang air besar biasa warna kuning kecoklatan. Nafsu makan
baik.

1
Pasien pernah dirawat inap di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo,
(RSWS) beberapa bulan yang lalu dengan keluhan yang sama dan telah
didiagnosa dengan sindrom nefrotik dan setelah keluar dari rumah sakit, pasien
rutin kontrol di poliklinik. Pasien mendapat terapi empat macam obat yaitu
furosemide 40 mg (1 tablet 2 kali sehari), captopril 25 mg (1 tablet 3 kali
sehari), simvastatin 10 mg (1 tablet sekali sehari), dan methylprednisolone 16
mg (3 tablet sekali sehari). Namun akhir-akhir ini pasien tidak rutin kontrol di
poliklinik dan tidak konsumsi obat. Selama pengobatannya pasien belum
pernah dibiopsi.
Riwayat penyakit lain seperti diabetes mellitus, kanker, lupus
disangkal. Riwayat sakit kuning disangkal. Riwayat penyakit infeksi lain
seperti malaria, tuberkulosis dan lain-lain juga disangkal.

II. OBJEKTIF
Status Present

1. Keadaan umum : Sakit sedang


Gizi : Cukup
Kesadaran : Kompos mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
Berat badan : 61 kg Tinggi badan : 162 cm
Berat badan ideal (BBI) : (162-100) x 90 % = 55,8 kg

2. Tanda vital : Tensi : 150/100 mmHg


Nadi : 88 kali/menit
Pernapasan : 24 kali/menit Tipe: Vesikuler
Suhu : 36,6o C

Kepala :
Ekspresi: Normal, tidak nyeri

2
Deformitas: Tidak ada
Simetris muka: Simetris kiri sama dengan kanan
Rambut: Hitam, tebal, sukar dicabut

Mata :
Eksoptalmus/Enoptalmus : Tidak ada
Gerakan bola mata: Dalam batas normal
Tekanan bola mata: Dalam batas normal
Kelopak mata: Edema palpebra ada
Konjungtiva : Tidak pucat
Sklera : Tidak ikterik
Kornea : Normal, jernih
Pupil : Diameter: 2,5 mm/2,5 mm
Simetris: isokor, normal
Reflek cahaya : +/+

Telinga :
Tophi tidak ada
Pendengaran dalam batas normal
Nyeri tekan di prosesus mastoideus tidak ada
Sekret tidak ada

Hidung :
Bentuk: simetris
Perdarahan : tidak ada
Sekret : tidak ada

Mulut :
Bibir: Mukosa bibir basah, sianosis tidak ada

3
Gusi: Tidak mudah berdarah, pembengkakan tidak ada
Gigi geligi : 3 2 1 2 2 1 2 3
3 2 1 2 2 1 2 3

Lidah : Bentuk normal, warna kemerahan, hiperemis tidak ada, kotor tidak
ada, kandidiasis tidak ada, tremor tidak ada

Leher :
Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada
Pembesaran kelenjar gondok: tidak ada
DVS : R-2 cm H 2 0
Pembuluh darah : Pulsasi arteri karotis tidak terlihat
Kaku kuduk : Tidak ada
Tumor : Tidak ada

1. Dada :
a. Dinding dada :
 Inspeksi : Sesak ada, frekuensi pernapasan 24 kali per menit,
simetris kiri dan kanan, permukaan dada tidak ada kelainan,
petechi tidak ada, retraksi dan penggunaan otot bantu
pernapasan tidak ada, iga dan sela iga tidak ada kelainan,
fossa jugularis, intra dan supra clavicularis intak tidak ada
kelainan, pernapasan thorakal.
 Bentuk : Normothorax
 Pembuluh darah : Tidak tampak
 Buah dada : Simetris kiri dan kanan, gynecomasti tidak ada
 Sela iga : Tidak ada kelainan
 Lain-lain : Tidak ada

4
b. Paru :
 Palpasi : Fremitus raba/vokal menurun di basal paru kiri dan
kanan, nyeri tekan tidak ada.
 Perkusi :
 Paru kiri : Pekak setinggi ICS IX-X
 Paru kanan : Pekak setinggi ICS IX-X
 Batas paru hepar : Batas paru hepar ICS VI kanan
 Batas paru belakang kanan : Setinggi vertebra
thorakal IX
 Batas paru belakang kiri : Setinggi vertebra thorakal
IX
 Auskultasi :
 Bunyi pernapasan : Vesikuler, menurun di basal dextra
et sinistra
 Bunyi tambahan : Tidak ada. Rhonki (-/-), Wheezing (-
/-)

c. Jantung :
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, massa tidak ada, nyeri tekan
tidak ada
 Perkusi : Pekak relatif ada, batas jantung kanan relatif pada
linea sternalis kanan, batas jantung kanan absolut pada linea
sternalis kiri, batas jantung kiri relatif pada sela iga 5 linea
medioclavicularis kiri.

5
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, bunyi
tambahan/murmur tidak ada, gallop tidak ada. Frekuensi
jantung 88 x/menit.
d. Abdomen
 Inspeksi : Bentuk cembung, stria tidak ada, ascites ada
 Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada
 Hati : Tidak teraba
 Limpa : Tidak teraba
 Ginjal : Tidak teraba
 Lain-lain : Tidak ada
 Perkusi : Pekak, shifting dullness ada (Volume ~500cc)
 Auskultasi : Peristatik ada kesan normal

e. Alat kelamin
 Edema skrotum tidak ada. Riwayat edema skrotum ada
beberapa bulan yang lalu.

f. Anus dan rectum


 Tidak ada kelainan

g. Punggung
 Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tidak ada
 Nyeri ketok : Tidak ada
 Lain-lain : Tidak ada

h. Ekstremitas
 Akral hangat, sianosis tidak ada, pitting edema ada pada tungkai
bawah (pretibial dan dorsum pedis) bilateral.

6
III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM SEDERHANA

1. Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 17 Oktober 2014


Pemeriksaan 17/10/2014 Nilai Rujukan / Satuan

RBC 5.70 4.5-6.5 10⁵/mm³


HGB 17.2 L: 14-18 g/dl
HCT 47.8 40.0-54.0 %
MCV 84 80-100 µm³
MCH 30.2 27.0-32.0 pg
MCHC 36.0 32.0-36.0 g/dL
PLT 258 150-400 10³/mm³
WBC 14.8* ↑ L: 4.0-10.0 10³/mm³
Kesan: Leukositosis

2. Pemeriksaan Kimia Darah tanggal 17 Oktober 2014


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Protein total 2,7 g/dl* ↓ 6,7-8,7 g/dl

Albumin 1,0 g/dl* ↓ 3,5-5 g/dl


Ureum 74 mg/dl* ↑ 10-50 mg/dl

Kreatinin 1,20 mg/dl <1,30 mg/dl


SGOT 27 U/L <38 U/L
SGPT 19 U/L <41 U/L
Elektrolit
Natrium 128 mmol/l*↓ 136-145 mmol/l
Kalium 4.2 mmol/l 3.5-5.1 mmol/l
Klorida 102 mmol/l 97-111 mmol/l
Trigliserida 697mg/dl* ↑ 200 mg/dl

7
Kolesterol total 597 mg/dl* ↑ <200 mg/dl
Kolesterol HDL 27 mg/dl* ↓ >45 mg/dl
Kolesterol LDL 461 mg/dl* ↑ <130 mg/dl
Kesan: Hipoalbuminemia, hiponatremia, hiperlipidemia

3. Pemeriksaan Urin (Urinalisa)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Warna Kuning keruh Kuning muda
pH 6.0 4.5-8.0
Berat jenis ≥1.030* ↑ 1.005-1.030
Protein +++/300* Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Nitrit Negatif Negatif
Blood ++/80* Negatif
Lekosit Negatif Negatif
Vit. C Negatif Negatif
Sedimen lekosit 4 <5
Sedimen eritrosis 6* ↑ <5
Sedimen torak Negatif Negatif
Sedimen Kristal Amorf urat (++)
Sedimen epitel sel 4
Sedimen lain-lain Negatif Negatif

4. Tes Protein Esbach: >12 gr/dL / volume 500cc

8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
USG abdomen atas+bawah (whole abdomen) tanggal 20-10-2014:
Kesan:
- Tanda-tanda glomerulonefritis kronik dextra
- Ascites
- Efusi pleura bilateral

V. RESUME

Pasien masuk dengan keluhan utama bengkak-bengkak pada kaki, perut


dan wajah yang dialami sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Penderita awalnya mengeluh bengkak pada kedua kelopak mata, lalu bengkak
ke kaki dan perut. Bengkak pada kemaluan tidak ada. Riwayat bengkak pada
kemaluan ada beberapa bulan yang lalu. Bengkak tidak disertai nyeri. Keluhan
bengkak-bengkak yang sama seperti sekarang pernah dialami pada bulan Juni
tahun 2014. Demam tidak ada, riwayat demam sebelumnya tidak ada. Batuk
tidak ada. Sesak ada. Nyeri dada kadang ada. Buang air kecil warna kuning
pekat dan volumenya dirasakan berkurang sejak tiga hari terakhir ini.

Pasien pernah dirawat inap di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo,


(RSWS) beberapa bulan yang lalu dengan keluhan yang sama dan telah
didiagnosa dengan sindrom nefrotik dan setelah keluar dari rumah sakit, pasien
rutin kontrol di poliklinik. Pasien mendapat terapi empat macam obat yaitu
furosemide 40 mg (1 tablet 2 kali sehari), captopril 25 mg (1 tablet 3 kali
sehari), simvastatin 10 mg (1 tablet sekali sehari), dan methylprednisolone 16
mg (3 tablet sekali sehari). Namun akhir-akhir ini pasien tidak rutin kontrol di
poliklinik dan tidak konsumsi obat. Selama pengobatannya pasien belum
pernah dibiopsi. Riwayat penyakit lain seperti diabetes mellitus, kanker, lupus

9
disangkal. Riwayat sakit kuning disangkal. Riwayat penyakit infeksi lain
seperti malaria, tuberkulosis dan lain-lain juga disangkal.

Keadaan umum : Sakit sedang/gizi cukup


Kesadaran : Kompos mentis GCS : E4-M6-V5
Tensi : 150/100 mmHg
Denyut Nadi : 88 kali/menit
Pernafasan : 24 kali/menit, tipe vesikuler
Suhu : 36,6 °C
Mata : Edema periorbital ada
Thorak/paru : Suara nafas vesikuler, menurun di basal sinistra et. Dextra
yaitu setinggi ICS IX-X, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler
Abdomen : Cembung, asites (+), shifting dullnesss ada, hati dan limfa
tidak teraba, bising usus (+) normal
Ekstremitas : Pitting edema ada pada tungkai bawah (pretibial dan dorsum
pedis) bilateral
Genitalia : Edema skrotum tidak ada. Riwayat edema skrotum ada
beberapa bulan yang lalu.

VI. ASSESMENT
a. Sindrom Nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
b. Hipertensi grade I
c. Hiponatremia
d. Dislipidemia

10
VII. PENATALAKSANAAN
 Bedrest
 Diet rendah garam 2 gram/hari, rendah lemak, asupan protein dibatasi 0,8-1,0
gr/kgBB/hari.
 Terapi diuretik (loop diuretic): Furosemid 40 mg/24 jam/oral (pagi) dengan
evaluasi elektrolit secara rutin.
 Terapi kortikosteroid: methylprednisolone 16 mg (3 tablet sekali sehari)
 Anti proteinurik dan anti hipertensi (ACE inhibitor): Captopril 25 mg/8
jam/oral.
 Anti dislipidemia: Simvastatin 10 mg/24 jam/oral (malam)
 Koreksi hipoalbuminemia: Transfusi albumin 25% 1 botol/hari selama 4 hari

VIII. USULAN PEMERIKSAAN


 Balance cairan dan ukur berat badan setiap hari
 Foto thoraks posterior anterior (PA)

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

11
X. FOLLOW UP
Tanggal Follow up
18/10/14 S: Bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 160/120mmHg, HR: 78x/menit, RR: 24x/menit, Temp: 37°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak ada. RR: 24x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler
menurun di basal, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
Lab:
RBC: 5.700 , WBC: 14.800, HGB: 17.2, HCT: 47.8,
MCV/MCH: 84/30.2, MCHC: 36.0, PLT: 258.000
Protein total: 2.7, Albumin: 1.0, Ur/Cr: 74/1.20,
SGOT/GPT: 27/19, Na/K/Cl: 128/4.2/102, Trigliserida: 697,
Kolesterol total: 597, HDL: 27, LDL: 461
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Suspek efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)

12
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral
Koreksi hipoalbuminemia :
- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari
Urinalisa, protein Esbach
USG abdomen, Foto thorax PA
Biopsi ginjal
19/10/14 S: Pasien mengeluh nyeri dada dan merasa agak sesak.
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 150/100mmHg, HR: 88x/menit, RR: 28x/menit, Temp: 36,6°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak ada. RR: 28x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler
menurun di basal, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
Lab:
Urinalisa: Protein +++/300, blood ++/80
Protein Esbach: >12gr/dL/500cc urin
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Suspek efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral

13
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral
Koreksi hipoalbuminemia :
- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari
USG abdomen, Foto thorax PA
Biopsi ginjal
20/10/14 S: Nyeri dada dan sesak.
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 140/100mmHg, HR: 92x/menit, RR: 28x/menit, Temp: 36,9°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak ada. RR: 28x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler,
menurun di basal dextra et sinistra, rhonkhi tidak ada, wheezing tidak
ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
Radiologi:
USG abdomen atas+bawah (whole abdomen) 20-10-2014
Kesan:
i. Tanda-tanda glomerulonefritis kronik dextra
ii. Ascites
iii. Efusi pleura bilateral
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest

14
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral
Koreksi hipoalbuminemia :
- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari
Foto thorax PA
Biopsi ginjal
21/10/14 S: Bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah. Sesak dan nyeri
dada berkurang.
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 140/90mmHg, HR: 86x/menit, RR: 22x/menit, Temp: 36,8°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak berkurang. RR: 22x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler,
menurun di basal dextra et sinistra, rhonkhi tidak ada, wheezing tidak
ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest

15
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral
Koreksi hipoalbuminemia :
- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari
Foto thorax PA
Biopsi ginjal
Kontrol albumin, elektrolit
22/10/14 S: Bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah berkurang
O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis
Bp: 140/90mmHg, HR: 88x/menit, RR: 22x/menit, Temp: 36,6°C
Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Leher: DVS R+2 cm H20
Thorax: Sesak berkurang. RR: 22x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler,
menurun di basal dextra et sinistra, rhonkhi tidak ada, wheezing tidak
ada
Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral
A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps
Hipertensi grade I
Hipoalbuminemia
Hiponatremia
Dislipidemia
Efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik
P: R/ Bedrest

16
Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari
Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :
- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)
Atasi proteinuria dan hipertensi :
- Captopril 25mg/8jam/oral
Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :
- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)
Atasi dislipidemia :
- Simvastatin 10 mg/24jam/oral

17
XI. DISKUSI KASUS

Berdasarkan gejala-gejala klinis dan hasil pemeriksaaan laboratorium,


pasien ini didiagnosa dengan sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik adalah
kelainan glomerulus dengan karakteristik proteinuria (kehilangan protein
melalui urin ≥3,5g/hari), hipoproteinemia (hipoalbuminemia), edema dan
hiperlipidemia. Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara
sel-sel tubuh atau di dalam rongga tubuh sebagai akibat ketidakseimbangan
faktor-faktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan
hemodinamik sistem kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air,
penyakit ginjal serta berpindahnya air dari intravaskular ke interstitium. Hal ini
sesuai dengan kondisi pasien yang masuk dengan keluhan utama bengkak-
bengkak pada kaki, perut dan wajah yang dialami sejak kurang lebih 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Penderita awalnya mengeluh bengkak pada kedua
kelopak mata, lalu bengkak ke kaki dan perut. Bengkak/edema yang dialami
pasien adalah karena perpindahan cairan intravaskular ke interstitium akibat
dari penurunan tekanan osmotik yang berhubungan dengan kehilangan protein
melalui urin. Hal ini terbukti berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
urinalisis didapatkan protein di dalam urin yaitu ≥1,030g/dl serta tes protein
Esbach >12g/dl dalam 500cc urin.

Proteinuria yang terjadi pada pasien sindrom nefrotik adalah


disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membrane basal glomerulus
(MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran
protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size
barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada
sindrom nefrotik kedua mekanisem penghalang tersebut ikut terganggu. Selain
itu konfigurasi molekul protein juga menetukan lolos tidaknya protein melalui

18
MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif bila molekul
yang keluar terdieri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
immunoglobulin. Selektifitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan MBG.

Pada sindrom yang disebabkan glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)


ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron
memperlihatkan fusi foot processus sel epitel visceral glomerulus dan
terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan sulfat
proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif pada MBG menurun
dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS), peningkatan permeabilitas MBG disebabkan suatu faktor
yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral
glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada
glomerulonefritis membrano nefropati (GNMN) kerusakan struktur MBG
terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang
terbentuk pada GNMN akann meningkatkan permeabilitas MBG, walaupun
mekanisme yang pasti belum diketahui.

Edema pada sindrom nefrotik dapat dikaitkan dengan dua mekanisme


yaitu mekanisme underfilling dan overfilling. Pada mekanisme underfilling
terjadinya edema disebabkan rendahnya kadar albumin serum yang
mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma, kemudian akan diikuti
peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan
hukum Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang
(underfilling) yang selanjutnya mengakibatkan peransangan sekunder sistem
renin-angiotensin-aldosteron yang meretensi natrium dan air pada tubulus
distalis. Hipotesis underfilling menempatkan albumin dan volume plasma

19
berperan penting pada aproses terjadinya edema sesuai dengan kondisi pasien
karena berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya
hipoalbuminemia yaitu albumin 1,0g/dl sedangkan nilai rujukan normal
albumin adalah 3,5-5,0g/dl. Hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia terjadi akibat dari
lolosnya protein terutama albumin melalui urin. Hipoalbuminemia
menyebabkan penurunan tekanan oskotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan
tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadilah hipovolemia
yaitu volume plasma berkurang (underfilling), maka ginjal melakukan
konmpensasi dengan mengaktivasi sistem renin angiotensin yang
mengakibatkan terjadinya retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini
akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi
terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.

Mekanisme kedua adalah mekanisme overfilling yang menjelaskan


bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Terdapat kelainan yang
bersifat primer yang mengganggu eksresi natrium pada tubulus distalis,
sebagai akibat terjadinya peningkatan volume darah (overfilling), penekanan
sistem renin-angiotensin dan vasopresin. Kondisi volume darah yang
meningkat (overfilling) yang disertai dengan rendahnya tekanan osmosis
plasma mengakibatkan transudasi cairan dari kapiler ke interstitial sehingga
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan
menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut underfill
dan overfill ditemukan secara bersama pada sindrom nefrotik. Faktor seperti
asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi
ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati
akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.

20
Selain edema, pasien juga mengeluh nyeri dada dan sesak. Hal ini
karena terjadi efusi pleura yang ditegakkan dari hasil pemeriksaan radiologi
USG whole abdomen yang mendapatkan adanya efusi pleura bilateral. Efusi
pleura pada sindrom nefrotik dikenal sebagai efusi pleura transudat yang
terjadi apabila hubungan normal antara tekanan hidrostatik kapiler dan koloid
osmotik terganggu sehingga terbentuk cairan pleura yang melebihi reabsorbsi
pleura. Efusi pleura pada sindrom nefrotik umumnya bersifat bilateral dengan
konsentrasi protein yang rendah. Penyebab terbentuknya efusi pleura pada
sindrom nefrotik adalah karena penurunan kadar albumin plasma yang
mengakibatkan penurun
an tekanan onkotik plasma. Tekanan hidrostatik pada sindrom nefrotik
umumnya meningkat akibat daripada hipervolumia karena adanya retensi
garam (natrium) yang memperberat efusi.

Hipoalbuminemia (albumin <3,5g/dl) pada sindrom nefrotik


disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik
plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha
meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin tidak berhasil
menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat
meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan
eksresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi karena
peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai sindrom


nefrotik. Pada pasien ini dari pemeriksaan profil lipid didapatkan peningkatan
pada komponen lipid trigliserida: 697 mg/dL, kolesterol total: 597 mg/dL, dan
, LDL: 461 mg/dL manakala nilai HDL adalah rendah yaitu 27 mg/dL.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density
lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang

21
tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein).
Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein)
dan lipoprotein (Lp)a sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung
normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik
dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan
menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil
stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Namun karena
sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa
hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia.
Hiperlipidemia dapat juga ditemukan pada pasien dengan kadar albumin
mendekati normal dan sebaliknya pada pasien hipoalbuminemia kadar
kolesterol dapat normal. Tingginya kadar LDL pada sindrom nefrotik
disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan
sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL
menyebabkan kadar VLDL tinggi pada sindrom nefrotik. Menurunnya
aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab
berkurangnya katabolisme VLDL pada sindrom nefrotik. Peningkatan sintesis
lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang
menurun. Penurunan kadar HDL pada sindrom nefrotik diduga karena
berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase)
yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim tersebut juga berperan
mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme.
Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait hipoalbuminemia pada
sindrom nefrotik.

22
BAB 2: PEMBAHASAN TEORI
SINDROM NEFROTIK

I. PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinis dari


glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif
≥3,5 g/hari, hipoalbuminemia <2,5mg/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.
Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN,
tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumim serum rendah eksresi protein
dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai
komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan
lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan
metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.
Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang
baik terhadap terapi steroid, tetapi sebahagian yang lain berkembang menjadi
kronik.

II. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI

Sidrom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer atau sekunder akibat


infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin, dan akibat
penyakit sistemik.

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling


sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM),
glomerulosklerosis fokalsegmental (GSFS), GN membranosa, dan GN
membranoproliferatif merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan.

23
Pada anak-anak usia 1-7 tahun paling sering ditemukan glomerulonefritis
akibat lesi primer yaitu glomerulonefritis lesi minimal (75%-85%) dengan umur
rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali
lebih banyak daripada perempuan. Pada orang dewasa, kasus glomerulonefritis
paling banyak didapat akibat manifestasi ginjal karena penyakit sistemik, umur
rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN
idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun.

Kelainan histopatologik GN yang paling sering didapat pada lesi glomerular


primer adalah GN lesi minimal dan glomerulosklerosis fokal segmental. GN lesi
minimal paling banyak didapat pada anak-anak dengan persantase 65%,
manakala glomerulosklerosis fokal segmental biasanya ditemukan pada orang
dewasa.

Tabel 1. Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik


Glomerulonefritis primer:
i. GN lesi minimal
ii. Glomerulosklerosi fokal segmental
iii. GN membranosa
iv. Glomerulonefritis membranoproliferatif
v. GN proliferative lain

Glomerulonefritis sekunder akibat:


a. Infeksi
vi. Hepatis virus (B dan C), HIV
vii. Sifilis, malaria, skistosoma

24
viii. Tuberkulosis, lepra
b. Keganasan
ix. Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,
mieloma multipel, dan karsinoma ginjal
c. Penyakit jaringan penghubung
x. Lupus ertematosus sistemik, artritis reumatoid, MCTD
(mixed connective tissue disease)
d. Efek obat dan toksin
xi. Obat anti inflamasi non-steroid, preparat emas,
penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin
e. Lain-lain
xii. Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

Tabel 2. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer


Kelainan minimal (KM)

Glomerulosklerosis (GS)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif

25
Glomerulonefritis kresentik (GNK)

Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

GNMP tipe II dengan deposit intramembran

GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial

Glomerulopati membranosa (GM)

Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

III. PATOFISIOLOGI

Reaksi antigen antibodi adalah mekanisme utama yang menyebabkan


kerusakan glomerulus terutama menerusi jalur mediasi komplimen dan mediasi
leukosit. Selain itu, antibodi juga dapat langsung menjadi sitotoksik terhadap sel
di dalam glomerulus. Kesemua reaksi imuno-mediasi ini mengakibatkan
permeabilitas membrane basalis glomerulus meningkat dan diikuti kebocoran
sejumlah protein (albumin). Tubuh kehilangan albumin lebih dari 3,5 gram/hari
menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti gambaran klinis sindrom nefrotik lain
seperti edema, hiperlipidemia dan lipiduria.

26
Mekanisme reaksi imuno-mediasi sel pada cedera glomerulus:

 Deposisi atau penompokan kompleks antigen-antibodi yang


larut dalam sistem sirkulasi di dalam glomerulus
 Antibodi yang bereaksi secara in-situ di dalam glomerulus
terhadap antigen tetap yang tidak larut (intrisik) atau terhadap
molekul-molekul yang tetanam dalam glomerulus

Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik :

1. Proteinuria (albuminuria)
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan
negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat
peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai
peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria(albuminuria).
Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria(albuminuria) sangat
komplek:

- Konsentrasi plasma protein


- Berat molekul protein
- Electrical charge protein
- Integritas barier membrane basalis
- Electrical charge pada barier filtrasi
- Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus
- Degradasi intratubular dan urin

27
2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati
ruangan ekstra vaskular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat
molekul 69.000.
Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan
sejumlah protein, baik renal maupun non-renal. Mekanisme kompensasi dari
hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan
komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskular(EV) dan intra vaskular(IV):
NORMAL SINDROM NEFROTIK
Sintesis albumin dalam hepar normal sintesis albumin
meningkat

EV
IV EV IV

Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat


hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa faktor :
- kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus
(protein losing enteropathy)
- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan
menurun dan mual-mual
- Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal

Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin
menurun, keadaan menjadi hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti

28
oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang
terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi
filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi
keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium
Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium Na+ secara pasif
sepanjang ‘Loop of Henle’ bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif
sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air,
H2O yang berhubungan dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA)
dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda
aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini
(aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi
diuretik yang mengandung antagonis aldosteron.

3. Edema
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-
kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial yang
mengakibatkan edema. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan
volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan
air. (lihat skema)
Proteinuria masif menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan
onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi edema.
Mekanisme edema dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
i. Jalur langsung/direk
 Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung
menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan
edema.

ii. Jalur tidak langsung/indirek

29
 Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan
penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:

 Aktivasi system renin angiotensin aldosteron


Kenaikan plasma renin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan
kelenjar adrenal untuk sekresi hormon aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormon
aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion
natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.

 Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.


Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin,
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan
tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma renin dan
angiotensin.

IV. GEJALA KLINIS

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema Pada
fase awal edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-
daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah yaitu daerah dengan
jaringan ikat longgar (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema
menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).

Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab


muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada
ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas
bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih
tipis dan mengalami oozing. Edema biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM

30
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom


nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema
mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau
edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat,
dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena edema dinding
perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan
terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom
nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan
prolaps ani.

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,
maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan
ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum <


3,0 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan
umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL
dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap
tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,


namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom
nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum
biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM. Tidak
perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada

31
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
berkorelasi secara langsung dengan derajat edema dan secara tidak langsung dengan
kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. Ultrasonografi, USG
ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan
dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.
Reaksi Ag-ab
Peradangan glomerulus

Permeabilitas membran basalis meningkat

Proteinuria

Hipoalbuminemia

Tekanan osmotik Lipid serum


Kapiler menurun meningkat

Transudasi ke
Dalam interstisium hipovolemia

ADH meningkat GFR menurun


aldesteron
meningkat

Retensi
Na+ & H2O

Edema

32
V. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.
 Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
 Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi.
 Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai
hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),
hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin
terbalik (albumin menurun, globulin meningkat). Kadar ureum dan kreatinin
umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria
mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis-sclerosis
focal glomerulus).

IV. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN

Pengobatan SN tediri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap


penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam
dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan
dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid.

33
Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko
komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg berat
badan/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi
angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor
angiotensin II (angiotensin II receptor antagonist) dapat menurunkan tekanan darah
dan kombinasi keduanya mempunyai efek dalam menurunkan proteinuria. Risiko
tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun
pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada suatu studi
terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi
menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak
golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan
kolesterol LDL, trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.

 IV.I PENATALAKSANAAN KHAS GLOMERULONEFRITIS PRIMER

Glomerulonefritis primer adalah suatu kelainan glomerulus yang disebabkan


oleh terdapatnya proses inflamasi yang dimediasi oleh kompleks antigen‐antibodi.
Kelainan pada glomerulus dapat terjadi pada sel epitel, sel mesangial, dan sel endotel
(1). Proses inflamasi pada sel epitel memberikan gambaran klinis Lesi Minimal
(LM), Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental, dan Nefropati Membranosa. Proses
pada sel mesangial memberikan gambaran klinis berupa Nefropati IgA. Sedangkan
kelainan pada sel endotel memberikan gambaran klinis Glomerulonefritis
Post‐Streptokokkus, Glomerulonefritis Membranoproliferatif dan Penyakit
Anti‐Membran Basalis Glomerulus (Sindrom Goodpasture).

Sebagian dari Glomerulonefritis (GN) primer ini terdapat dalam bentuk yang
ringan sehingga tidak memberikan gejala klinis yang nyata dan hanya diketahui pada

34
saat dilakukan tes kesehatan. Sebagian lain akan memberikan gejala‐gejala klinik
yang khas seperti edema anasarka, yang menyebabkan pasien akan mendatangi
dokter untuk tujuan pengobatan. Glomerulonefritis adalah salah satu penyebab
tersering Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang pada akhirnya akan berkembang
menjadi penyakit ginjal terminal disertai peningkatan risiko terjadinya
penyakit‐penyakit kardiovaskuler. Karena itu penting sekali untuk memulai
pengobatan pada pasien GN primer. Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai
remisi komplit atau paling tidak untuk menekan progresifitas penyakit ginjal
(menekan laju penurunan fungsi ginjal). Pengobatan mencakup evaluasi klinis secara
teratur, mengontrol tekanan darah, restriksi asupan protein dalam makanan,
mengontrol hiperlipidemia, penggunaan preparat ACE‐I (Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin Receptor Blocker), serta pemberian
preparat kortikosteroid dan immunosupresan lainnya.

Dibawah ini akan diuraikan secara lebih rinci penatalaksanaan pada berbagai
bentuk GN primer:

1. Lesi Minimal (LM)

Steroid merupakan terapi pilihan untuk LM dan menghasilkan remisi komplit


dari proteinuria pada 80‐90% kasus. Lesi minimal merupakan 90% dari penyebab
sindrom nefrotik idiopatik pada anak‐anak. Oleh sebab itu pada anak‐anak dengan
sindrom nefrotik dapat langsung diberikan pengobatan dengan steroid tanpa
dilakukan biopsi ginjal. Biopsi ginjal dikerjakan bila hasil pengobatan dengan
steroid tidak memberikan hasil yang memuaskan (resisten terhadap steroid). Pada
orang dewasa, LM didapatkan hanya pada 10‐25% kasus sindrom nefrotik sehingga
pengobatan dengan steroid diberikan setelah hasil biopsi ginjal menunjukkan adanya
LM. Sebelum membahas pengobatan pada LM, perlu lebih dahulu dikemukakan

35
beberapa istilah yang berhubungan dengan respon terhadap pengobatan, yang akan
menjadi acuan apakah pengobatan cukup dengan steroid saja atau diperlukan obat
imunosupresan lainnya. Respon terhadap pengobatan berdasarkan penurunan relatif
dari proteinuri sebagai berikut:
 Remisi komplit: berkurangnya proteinuri menjadi 300 mg/hari
 Remisi parsial: berkurangnya proteinuri sebesar 50% dengan jumlah absolut
antara 300 mg – 3500 mg/hari.
 Relaps: timbulnya kembali proteinuri > 3500 mg/hari pada pasien yang
sebelumnya sudah terjadi remisi komplit atau parsial. Disebut sering relaps
bila pada pasien didapatkan paling sedikit 3x relaps dalam setahun
 Dependen‐steroid: diperlukan pengobatan steroid yang berkelanjutan untuk
mempertahankan remisi
 Resisten‐steroid: tidak terdapat atau sangat sedikit penurunan proteinuri
setelah pemberian steroid yang adekuat selama 16 minggu, atau
berkurangnya proteinuria tapi tidak pernah mencapai kriteria remisi parsial
setelah pemberian steroid > 16 minggu.

Pengobatan pada LM sebagai berikut:

A. Terapi imnuno-supresan
 Prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari, dengan dosis maksimum 80 mg/hari
Biasanya diberikan dalam dosis tunggal dan dianjurkan diminum antara pukul
7‐9 pagi dengan tujuan untuk meminimalisasi supresi kelenjar adrenal.
Prednison dilanjutkan sampai minimal 8 minggu meskipun pada sebagian
pasien remisi komplit sudah terjadi sebelum 8 minggu. Hal ini dilakukan
dengan maksud untuk mengurangi angka relaps. Pada pasien dengan respon
yang lebih lambat dari 8 minggu, penurunan bertahap prednisone dilakukan 1‐2
minggu setelah didapatkan remisi komplit. Umumnya pada pasien dengan LM,

36
remisi komplit mulai terjadi pada minggu ke 8, terutama pada pasien dewasa
muda seperti terlihat pada gambar 1.

GAMBAR 1

Setelah tercapai remisi komplit, dosis prednison diturunkan perlahan‐lahan sebanyak


5 mg/hari setiap 3‐4 hari. Bila dosis prednison yang diberikan mencapai 20‐30 mg,
prednisone dapat diberikan selang sehari (alternate dose), selanjutnya dosis selang
sehari ini diturunkan 5 mg setiap 1‐2 minggu. Penurunan bertahap secara lambat
bertujuan untuk mempertahankan remisi dan untuk menghindari supresi kelenjar
adrenal. Selain itu penurunan bertahap yang cepat setelah remisi dihubungkan
dengan peningkatan risiko relaps
.
 Imunosupresan lain yang dapat dipakai untuk terapi inisial pada LM adalah
siklofosfamid atau siklosporin, sendiri‐sendiri, atau dikombinasikan dengan pulse

37
metilprednisolon. Regimen ini diberikan biasanya pada pasien LM yang sering
relaps atau dependen‐steroid.

B. Terapi Non‐Imunosupresan

 ACE‐I atau ARB dapat digunakan untuk menambah efek penurunan proteinuri.

C. Pengobatan untuk relaps

 Kira‐kira 50‐75% pasien yang responsif terhadap steroid akan mengalami satu kali
relaps. Sedangkan pada 10‐25% pasien LM akan mengalami sering relaps. Sangat
penting untuk mengetahui relaps sedini mungkin, sehingga terapi dapat dimulai
kembali. Untuk deteksi relaps disarankan pemeriksaan proteinuri dengan tes celup
urin (dipstick), setiap 2 minggu setelah remisi. Bila didapatkan tes celup urin yang
positif pada 2 hari yang berbeda dengan selang waktu 1‐2 hari, pasien dianjurkan
untuk datang kembali ke dokter. Pasien yang mengalami relaps, diberikan
prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari (dosis maksimal 60‐80 mg/hari), untuk
sedikitnya 4 minggu. Setelah tercapai remisi dilakukan tapering prednison sebesar 5
mg setiap 3‐5 hari.

D. Pengobatan LM yang sering relaps atau dependen‐steroid


 Prednison dosis rendah (10‐15 mg/hari) untuk jangka waktu lama dapat
mempertahankan remisi pada pasien LM yang respon terhadap steroid tapi sering
mengalami relaps.
 Obat‐obat lain yang dapat dipakai untuk pasien sering relaps, atau pasien
dependensteroid, atau mempunyai efek samping steroid adalah:
 Siklofosfamid, diberikan 2 mg/kg/hari selama 12 minggu

38
 Siklosporin, diberikan dengan dosis 4‐5 mg/kg/hari dan dibagi dalam 2 dosis
per hari (siklosporin dalam bentuk mikroemulsi diberikan dengan dosis 3
mg/kg/hari). Konsenstrasi siklosporin dimonitor secara berkala dan
dipertahankan antara 100‐200 ng/ml. Dosis ini dipertahankan selama 18
bulan untuk meminimalisasi risiko relaps, kemudian dosis siklosporin
diturunkan bertahap menjadi 2,5‐3 mg/kg/hari (preparat non mikroemulsi)
atau 2‐2,5 mg/kg/hari (preparat mikroemulsi) selama 18‐24 bulan. Bila dalam
4‐6 bulan pertama tidak tercapai remisi, maka pemberian siklosporin
dihentikan dan diganti dengan preparat lain.
 Mikofenolat mofetil, diberikan dengan dosis 750‐1000 mg, 2 kali sehari,
diberikan dalam waktu 6‐26 bulan. Hasil penelitian dengan mikofenolat
mofetil pada LM belum banyak dilaporkan.
 Azatioprin, hasil penelitian juga masih terbatas, diberikan selama 4 tahun.
 Rituximab, penelitian masih terbatas dan belum direkomendasikan.

E. Pengobatan LM yang resisten‐steroid


5‐10% pasien LM termasuk yang resisten‐steroid. Obat‐obat yang dapat dipakai
pada
keadaan ini:
 Siklofosfamid, diberikan dengan dosis 5 mg/kg/hari selama 6 bulan,
kemudian diturunkan bertahap 25% setiap 2 bulan sampai dihentikan.
 Siklosporin, diberikan dengan dosis 5 mg/kg/hari yang terbagi dalam 2 dosis,
dengan atau tanpa prednison (10‐15 mg/hari) (3). Pada 66% pasien
didapatkan remisi komplit atau parsial, terutama pada grup yang dikombinasi
prednison. Tapi proteinuri akan kembali meningkat bila siklosporin
ditapering.
 Azatioprin, data yang terbatas menunjukkan bahwa azatioprin efektif pada
pasien resisten‐steroid. Pengobatan diberikan selama 4 tahun.

39
 ACE‐I dan ARB, obat golongan ini terutama diberikan pada pasien LM yang
resisten terhadap steroid, siklofosfamid, siklosporin, dan azatioprin.
2. Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (GSFS)
Pemberian steroid atau imunosupresan lainnya dapat menginduksi remisi pada
GSFS, meskipun responnya lebih rendah dibandingkan hasil pada LM. Umumnya
diperlukan waktu yang lebih lama pemberian steroid untuk menginduksi remisi.
Pemberian steroid atau imunosupresan hanya diberikan pada GSFS primer, dan tidak
diindikasikan pada GSFS sekunder. Umumnya terapi imunosupresif tidak diberikan
pada pasien GSFS primer bila:
a. Fungsi ginjal normal dan proteinuria non‐nefrotik. Golongan ini umumnya
perjalanan kliniknya ringan dan sebagian akan mengalami remisi spontan atau
proteinurinya tetap stabil (non‐nefrotik).
b. Fungsi ginjal sudah menurun dan proteinuria non‐nefrotik. Golongan pasien ini
mungkin mempunyai proteinuria masif (nefrotik) sebelumnya tapi tidak mendapat
pengobatan.

Pengobatan pada GSFS sebagai berikut:


 Prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari, diberikan 12‐16 minggu. Peneliti lain
menganjurkan pemberian prednison 1 mg/kg/hari selama 6 bulan sebelum
memutuskan terdapatnya resisten‐steroid. Pemberian prednison selanjutnya
bergantung hasil monitoring.
- Bila remisi komplit dicapai dalam 12 minggu dosis penuh (inisial)
tetap diberikan selama 1‐2 minggu lagi. Setelah itu prednison
diturunkan bertahap dalam waktu 2‐3 bulan.
- Bila remisi parsial dicapai dalam 12 minggu, dosis prednison
ditapering ⅓ dosis setiap 6 minggu. Jika proteinuria kembali
meningkat saat penurunan bertahap prednison, penurunan bertahap
prednison dihentikan. Dosis terakhir prednison dipertahankan dan

40
ditambahkan siklosporin dengan dosis 3‐4 mg/kg/hari (dalam 2
dosis). Siklosporin diteruskan sampai 1 tahun tapi dengan dosis
terendah untuk mempertahankan remisi (dosis 2‐2,5 mg/kg/hari).
Selain dengan siklosporin, prednison dapat pula diberikan bersama
mikofenolat mofetil dengan dosis 750‐1000 mg, 2 kali sehari selama
6 bulan.

Pengobatan pada GSFS yang dependen‐steroid dan resisten‐steroid:


 Siklosporin dengan dosis 3‐4 mg/kg/hari (dibagi dalam 2 dosis sehari).
Siklosporin diberikan sampai 6 bulan bila terjadi remisi komplit dan selama 2
tahun bila terjadi remisi parsial. Dalam waktu tersebut dosis siklosporin
diturunkan sampai dosis yang dapat mempertahankan remisi (biasanya 2‐2,5
mg/kg/hari)
 Bersama siklosporin diberikan pula prednison dengan dosis 0,15 mg/kg/hari
(maksimal 15 mg/hari). Setelah 6 bulan prednison diturunkan bertahap
menjadi 5 atau 7,5 mg/hari (10‐15 mg bila diberikan selang sehari) dan tetap
dipertahankan 6‐12 kemudian untuk mempertahankan remisi.
*Catatan:
Pemberian siklosporin dihindari bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan gangguan
vaskuler atau interstitial atau bila GFR<40 ml/mnt (karena sifat nefrotoksisitas dari
siklosporin)
 Takrolimus: Pengalaman pemakaian takrolimus pada GSFS yang
steroid‐dependen atau steroidresisten masih terbatas (10). Satu penelitian
pada 25 orang pasien GSFS yang resisten atau dependen terhadap steroid,
diberikan takrolimus dan prednison selama 6 bulan. Takrolimus diberikan
dengan dosis 0,05 mg/kg/hari (terbagi 2 dosis). Dosis takrolimus kemudian
disesuaikan dengan target konsentrasi takrolimus darah antara 5‐10 ng/ml.
Pada pasien yang mendapat remisi komplit dalam 6 bulan pertama, dosis

41
takrolimus kemudian ditapering sebanyak 1 mg/minggu. Prednison diberikan
dengan dosis 1 mg/kg/hari dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4
minggu. Kemudian diberikan dosis 1 mg/kg selang sehari sampai minggu ke
8. Setelah itu prednison diturunkan bertahap 0,05 mg/kg sampai 6 bulan.
 Mikofenolat mofetil: Diberikan dengan dosis 750‐1000 mg, 2 kali sehari
selama 6 bulan. Penurunan proteinuria minimal 50% didapatkan pada 44%.
Tidak ditemukan pasien yang mengalami remisi komplit, tapi tidak
ditemukan adanya peningkatan kreatinin serum

Pengobatan pada GSFS yang mengalami relaps


 Bila pasien tidak mendapatkan remisi komplit atau parsial terhadap steroid,
tidak mempunyai efek samping terhadap steroid, serta remisi telah berjalan
lebih dari satu tahun, maka prednison dapat diberikan kembali dengan dosis
inisiasi (1 mg/kg/hari)
 Bila pasien telah mendapat remisi komplit atau parsial tetapi terjadi relaps
saat tapering steroid atau relaps terjadi kurang dari 1 tahun setelah steroid
dihentikan, maka diberikan terapi seperti pada pasien dependen‐steroid.
 Bila pasien sering mengalami relaps, dapat diberikan siklosporin 3,5
mg/kg/hari dalam 2 dosis, dan dosis rendah prednison. Regimen ini serupa
dengan yang diberikan pada pasien dengan dependen‐steroid atau
resisten‐steroid GSFS

ACEI dan ARB


Obat golongan ACEI atau ARB dianjurkan diberikan pada semua pasien GSFS, baik
yang mendapat obat‐obat imunosupresan atau pasien GSFS yang proteinuria
non‐nefrotik, atau oleh karena alasan lain tidak diberikan imunosupresan.

42
2. Nefropati Membranosa (NM)
Nefropati membranosa merupakan penyebab tersering (30‐40%) dari sindrom
nefrotik yang non‐diabotik pada orang dewasa. Sebanyak 75% kasus NM adalah
idiopatik, sedangkan sisanya disebabkan oleh obat‐obatan (emas, penicillamine),
LES, keganasan, dan infeksi virushepatitis B dan C. Manifestasi klinis NM
terbanyak berupa sindrom nefrotik; sangat sedikit bermanifestasi sebagai proteinuria
yang asimtosmatik. Nefropati membranosa mempunyai perjalanan klinis yang relatif
stabil pada wanita, anak‐anak, dewasa muda, proteinuria non‐nefrotik, dan bila kadar
kreatinin serum normal. Sebaliknya perjalanan klinis lebih buruk pada pasien usia >
50 tahun (onsetnya), laki‐laki, proteinuria yang nefrotik dan kreatinin serum
meningkat pada awal diagnosis. Pasien yang mengalami remisi komplit atau remisi
parsial mempunyai prognosis yang baik (penurunan fungsi ginjal sangat lambat dan
insidens gagal ginjal yang rendah). Pasien dapat dibagi menjadi 3 kelompok risiko
sehubungan dengan terjadinya penurunan ginjal (klirens kreatinin < 60 ml/mg)
setelah 5 tahun:
 Risiko rendah
Bila didapatkan proteinuria < 4 gr/hari dan klirens kreatinin tetap selama 6 bulan
periode evaluasi. Golongan ini hanya 8% yang mempunyai risiko terjadinya PGK
setelah 5 tahun
 Risiko sedang
Bila proteinuria antara 4‐8 gr/hari yang menetap dalam waktu > 6 bulan. Klirens
kreatinin normal atau mendekati normal. Setelah 6 bulan evaluasi, sebanyak 50%
golongan ini akan berkembang menjadi PGK setelah 5 tahun.
 Risiko tinggi
Bila didapatkan proteinuria > 8 gr/hari yang menetap > 3 bulan dan atau fungsi
ginjal

43
Di bawah normal atau menurun selama periode evaluasi. Kira‐kira 75% golongan ini
akan berkembang menjadi PGK setelah 5 tahun. Perlu ditekankan disini, bahwa
pengukuran proteinuria dengan cara pemeriksaan rasio protein : kreatinin pada
sampel urin sewaktu, tidak dianjurkan untuk menentukan stratifikasi risiko diatas
pada saat awal. Pengukuran rasio protein: kreatinin urin sewaktu hanya digunakan
pada saat evaluasi. Pengobatan pada NM sebagai berikut:
 Risiko rendah untuk terjadinya progresi
Pasien dengan risiko rendah tidak diberikan terapi imunosupresif, karena golongan
ini mempunyai prognosis yang baik dan sering mengalami remisi komplit atau
parsial spontan. Hanya diberikan ACE‐I atau ARB dan dilakukan evalulasi secara
berkala untuk menilai progresivitasnya. Pemeriksaan ekskresi protein dan kreatinin
serum dilakukan setiap 3 bulan sampai 2 tahun. Setelah itu dilakukan 2 kali dalam
setahun. Alasannya karena risiko progresivitas akan menurun secara bermakna
setelah 2 tahun.
 Risiko sedang untuk terjadinya progresi
Evaluasi yang ketat tanpa pemberian obat‐obat imunosupresif selama 6 bulan pada
pasien‐pasein dengan risiko sedang, fungsi ginjal tetap stabil (CCT ≥ 80 ml/mnt) dan
edema dapat dikontrol dengan diuretik. Hanya diberikan ACEI atau ARB. Bila
proteinuria 24 jam tetap > 4 gr/hari selama 6 bulan dengan ACEI atau ARB, maka
dapat dimulai pemberian siklofosfamid + prednison, atau siklosporin + prednison,
atau takrolimus + prednison. Kombinasi siklofosfamid + prednison atau
siklosporin/takrolimus + prednisone mempunyai efektivitas yang sama, meskipun
relaps lebih sering terjadi pada pemberian inhibitor kalsineurin. Pilihan pengobatan
ini bergantung pada kondisi pasien misalnya pada wanita reproduktif dihindari
pemakaian siklofosfamid. Sedangkan pada pasien yang lebih tua dengan hipertensi
dan untuk menghindari efek samping vaskuler, lebih baik tidak memakai siklosporin
atau takrolimus.
 Kombinasi siklofosfamid + prednison

44
- Prednison diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/hari (atau metilprednisolon 0,4
mg/kg/hari); diberikan pada bulan 1, 3, dan 5.
- Siklosfosfamid diberikan dengan dosis 2‐2,5 mg/kg/hari; diberikan pada bulan 2,
4,
dan 6. Pada bulan pemberian prednison (1, 3, dan 5), diberikan pulse metilprenisolon
sebanyak 1 gr/hari selama 3 hari tanpa prednison oral.

 Kombinasi siklosporin/ takrolimus + prednison


- Siklosporin (3‐5 mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis), atau takrolimus (0,05
mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis), diberikan selama paling sedikit 6 bulan.
- Sebagian peneliti memberikan prednison dengan dosis 10 mg selang sehari. Terapi
selanjutnya bergantung pada respon terhadap pengobatan diatas. Bila terjadi remisi
komplit, siklosporin diturunkan bertahap sampai dihentikan dalam 2‐ 4 bulan. Bila
terjadi remisi parsial, dosis siklosporin mulai diturunkan menjadi 1,5‐2,5 mg/kg/hari,
yang diberikan paling sedikit 1‐2 tahun. Relaps dari proteinuri dapat terjadi setelah
siklosporin dihentikan.

Pada pasien yang diberikan takrolimus, bila terjadi remisi komplit atau
parsial, takrolimus dilanjutkan sampai 12 bulan dan kemudian ditapering sebanyak
25% setiap 2 bulan sampai selesai. Siklosporin dan takrolimus tidak perlu
dilanjutkan pemberiannya. Bila tidak ada respon dalam 6 bulan pertama. Biasanya
bila tidak didapatkan respon terhadap obat ini, maka juga tidak akan terdapat respon
terhadap obat lainnya. Sebagian pasien yang tidak memberikan respon terhadap
siklofosfamid, siklosporin, atau takrolimus, disebut pasien yang resisten, yang akan
dibahas dibawah ini.

45
 Risiko tinggi untuk terjadinya progresi.
Efikasi pengobatan pada golongan ini hanya sedikit yang berasal dari penelitian
yang dirancang dengan baik. Kebanyakan data berasal dari penelitian
observasional Retrospektif
Kombinasi siklosfosfamid dan prednison
- Siklosfosfamid diberikan dengan dosis 1,5‐2 mg/kg/hari selama 1 tahun.
- Metilprednisolon dengan dosis 1 gram IV, diberikan selama 3 hari berturut‐turut,
pada bulan 1, 3, dan 5 serta prednison oral dengan 0,5 mg/kg/hari selang sehari
selama 6 bulan. Prednison selanjutnya diturunkan bertahap.
- Untuk meminimalisasi efek toksik siklosfosfamid, maka bila dalam 6 bulan tidak
terjadi penurunan proteinuria dan stabilisasi fungsi ginjal, siklosfosfamid dihentikan.

Siklosporin
Diberikan dengan dosis 3,5 mg/kg/hari selama 12 bulan. Oleh karena efek
nefrotoksik dan siklosporin, perlu dilakukan pemeriksaan kreatinin serum secara
berkala.

3. Nefropati membranosa relaps


Pada pasien yang diberikan siklosfosfamid, relaps dan proteinuri terjadi pada
25‐30% kasus. Pada proses relaps dapat dilakukan pemberian kembali
siklofosfamid atau diganti dengan siklosporin atau takrolimus. Apabila
dikhawatirkan akan terjadi efek samping hipoplasi ovarium, maka dapat
diberikan siklosporin atau takrolimus
Pada pasien yang diberikan siklosporin atau takrolimus, angka kemungkinan
relaps lebih tinggi bila dibandingkan dengan siklofosfamid. Relaps lebih sering
terjadi bila diberikan dosis rendah siklosporin (1,0‐1,1 mg/kg/hari), atau bila
siklosporin tak diberikan bersama prednison.

46
Relaps dapat terjadi saat siklosporin diturunkan bertahap atau setelah
dihentikan. Bila terjadi relaps dapat diberikan kembali siklosporin dengan dosis
3‐5 mg/kg/hari. Evaluasi dengan pemeriksaan kreatinin serum harus dilakukan
secara berkala untuk monitoring perburukan fungsi ginjal akibat efek samping
siklosporin.

4. Nefropati membranosa resisten


Dapat diberikan takrolimus 1 gram IV yang diulang setiap 2 minggu, dan
diberikan sampai 4 minggu. Bila proteinuria menetap cara pemberian ini dapat
diulang pada bulan ke 6.
5. Nefropati IgA (NIgA)
Nefropati IgA merupakan penyebab terbanyak dari glomerulonefritis primer
di negara‐negara berkembang. Sebanyak 50% pasien NIgA secara perlahan‐lahan
berkembang menjadi gagal ginjal. Sisanya akan mengalami remisi atau secara
klinis mempunyai manifestasi sebagai hematuri atau proteinuri yang ringan.
Presentasi klasik dari NIgA adalah gross hematuria, sering berulang, tak lama
setelah adanya infeksi saluran pernapasan bagian atas (18,19). Sebagian besar
pasien didiagnosis setelah evaluasi terjadinya hematuri mikroskopik asimtomatik
dan atau proteinuri yang ringan.

 Pengobatan pada Nefropati IgA:


a) Pada pasien dengan gejala klinik hematuria terisolasi, tidak ada atau minimal
proteinuri dan CCT yang normal, tidak diberikan terapi. Hanya dilakukan
pemeriksaan secara berkala (proteinuri dan kreatinin serum), setiap 6 bulan
untuk menilai progresivitas penyakit.
b) Pasien dengan proteinuri persisten (500‐1000 mg/hari) diberikan ACE‐I atau
ARB. Dimulai dengan monoterapi dengan target penurunan ekskresi protein
urin minimal 60% dari awal pemeriksaan atau jumlah proteinuri 24 jam <

47
500 mg. Pada pasien yang mendapat ACE‐I atau ARB diberikan pula fish‐oil
dengan jumlah 12 gr/hari.
c) Pasien sindrom nefrotik dan atau PGK yang disertai dislipidemia diberikan
pula preparat statin untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler.
d) Pasien dengan sindrom nefrotik dan LM disertai deposit IgA pada mesangial
diberikan terapi steroid. Metilprednisolon 1 gram IV per hari selama 3 hari
berturut‐turut diberikan pada bulan 1, 3, dan 5 disertai prednison oral 0,5
mg/kg/hari yang diberikan selang sehari sampai 6 bulan.
e) Pasien dengan progresivitas penyakitnya aktif (hematuria dengan
peningkatan proteinuri, dan atau kadar kreatinin serum meningkat), diberikan
ACE atau ARB serta steroid seperti pada butir (d) diatas.
f) Untuk pasien dengan kondisi yang berat pada saat awal (kreatinin serum >
1,5 mg/dl) atau progresivitas penyakit dengan pemberian steroid saja,
diberikan kombinasi prednison dan siklosfosfamid. Prednison diberikan
dengan dosis 40 mg/hari, ditapering menjadi 10 mg/hari dalam dan
dikombinasikan dengan siklofosfamid dengan dosis 1,5 mg/kg/hari selama 3
bulan pertama. Siklofosfamid kemudian diganti dengan azatioprin dengan
dosis 1,5 mg/kg/hari selama minimal 2 tahun

Obat‐obat imunosupresan lain yang dapat diberikan sesuai dengan indikasi


pemberian imunosupresan adalah:
 Siklosporin
Beberapa penelitian kecil menunjukkan bahwa siklosporin dapat mengurangi
proteinuri. Tapi penggunaan siklosporin terbatas karena sifat nefrotoksiknya.
Selain itu relap sering terjadi setelah obat ini dihentikan.
 Mikofenolat mofetil
Efikasi mikofenolat mofetil pada pengobatan NIgA juga terbatas. Beberapa hasil
penelitian dengan jumlah pasien kecil menunjukkan hasil yang bertentangan.

48
6. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)

Pengobatan GNMP secara optimal belum dapat ditentukan secara pasti. Hasil
penelitian terutama berasal dari pasien dengan GNMP tipe 1. Meskipun lebih
sedikit penelitian pada GNMP tipe 2 dan 3, perjalanan klinis dan hasil
pengobatan hampir serupa. Sedangkan peneliti lain menyimpulkan bahwa
GNMP tipe 2 dan 3 kurang mempunyai respon terhadap pengobatan. Pengobatan
dengan steroid hanya diberikan pada orang dewasa dengan gejala klinis sindrom
nefrotik atau terdapat gangguan fungsi ginjal. Pengobatan dipertahankan selama
6 bulan dan bisa diperpanjang untuk mencapai remisi dengan dosis minimal.
Pasien dengan gejala klinis proteinuria asimtomatik dan pasien yang tidak
mempunyai respon terhadap steroid, hanya diberikan terapi konservatif. ACE‐I
atau ARB terbukti efektif menurunkan jumlah proteinuri. Dari beberapa
penelitian obat‐obat antiplatelet (aspirin, dipiridamol) memperlambat
progresivitas penyakit ginjal pada pasien GNMP.

49

Anda mungkin juga menyukai