Anda di halaman 1dari 5

CLINICAL PATHWAY CKD

(CHRONICAL KIDNEY DISEASE)

Oleh :

Aufa Widya Hapsari


(010218A019)

Program Studi S1 Ilmu Keperawatan


Fakultas Keperawatan
Universitas Ngudi Waluyo
Ungaran
2019
CLINICAL PATHWAY

1. Diagnosa Medis : CKD (Cronical Kidney Disease)


2. Diagnosa Keperawatan : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan
haluaran urine, dan retensi cairan serta natrium ( Nur Arif Amin Huda, 2015)
3. Tindakan Keperawatan : Pemberian terapi injeksi furosemide.
4. Tujuan dilakukan terapi injeksi furosemide:
- Mengurangi cairan berlebih dalam tubuh (edema).
- Menyebabkan lebih sering buang air kecil untuk membantu membuang air dan
natrium yang berlebihan dari tubuh.
5. Patofisiologi :
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung penyakit awal yang
mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi adalah sama.
Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang
sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth
factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa, dan
akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin
aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi
sklerosis dan progresifitas penyakit. Stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih
normal atau meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Pasien yang mengalami LFG sebesar 60% masih belum merasakan
keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30 %, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Pasien pada LFG
di bawah 30 %, memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. (Price, Sylvia A & Wilson,
Lorraine M. 2015)
6. Analisa Tindakan
Berdasarkan diagnosa kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan
haluaran urin, dan retensi cairan dan natrium. Menurut teori, kelebihan volume cairan
berhubungan dengan penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium, peningkatan
aldosteron sekunder dari penurunan laju filtrasi glomerulus(GFR). Jika jumlah nefron
yang sudah tidak berfungsi menjadi meningkat, maka ginjal akan tidak mampu dalam
menyaring urin. Kemudian dalam hal ini glomerulus akan kaku dan palsma tidak dapat
difilter dengan mudahnya lewat tubulus, maka terjadilah kelebihan cairan dengan retensi
natrium dan air. Pada gagal ginjal kronik memiliki masalah kelebihan volume cairan
yang dapat disebabkan oleh retensi Na+ dan air yang dapat mengakibatkan edema Pada
pasien gagal ginjal akan sedikit banyak mengalami kelebihan natrium dan air, yang
menggambarkan berkurangnya eksresi garam dan air oleh ginjal. Kelebihan Na+ dan air
dalam kondisi derajat sedang dapat terjadi tanpa adanya tanda objektif kelebihan CES
atau cairan ekstraselular Cairan ekstraselular (CES) merupakan cairan yang terdapat di
luar sel dan menyusun sekitar 30% dari total cairan yang ada di dalam tubuh. CES
meliputi cairan intravaskular, cairan transelular dan cairan interstisisal. Injeksi
furosemid diberikan tiap 24 jam ini termasuk dalam terapi diuretik, yang berguna untuk
meningkatkan aliran urin guna mencegah keadaan oliguria, untuk menurunkan kelebihan
beban cairan, dan furosemid terbukti bermanfaat untuk mencegah sumbatan di tubulus
Sedangkan menurut diuretik ini digunakan untuk meningkatkan output urin dan dapat
meminimalkan keseimbangan cairan. Diuretik merupakan obat yang dapat
meningkatkan eksresi natrium, sehingga dapat membuang air dari ginjal. Diuretik dapat
berfungsi guna mengatasi edema yang berkaitan dengan penyakit jantung kongestif
gagal hati dan sirosis hepatis, edema paru, macam-macam penyakit ginjal dan juga
berfungsi sebagai obat tambahan dalam pengobatan hipertensi (Morton, 2014).

Dosis furosemide untuk edema

Intravena / Intramuscular

Dewasa

Dosis Awal

20-40 mg, bila hasilnya belum memuaskan, dosis dapat ditingkatkan 20 mg (1 ampul)
tiap interval waktu 2 jam sampai diperoleh hasil yang memuaskan. Selanjutnya
tergantung pada eliminasi urin, termasuk penggantian cairan elektrolit yang hilang.

Oral:

Awal: 20-80 mg per dosis.

Rumatan: Naikkan 20-40 mg/dosis setiap 6-8 jam untuk efek yang diinginkan. Interval
dosis biasanya 1 atau 2 kali sehari, dengan dosis maksimal harian 600 mg.

Infus:

10-20 mg sekali selama 1-2 menit. Dosis ulangan yang sama dengan dosis awal dapat
diberikan dalam 2 jam jika belum berespon baik. Setelah dosis ulangan, jika masih
belum berespon dalam 2 jam kemudian, dosis IV terakhir dapat ditingkatkan 20-40 mg
hingga terjadi diuresis.Dosis tunggal melebihi 200 mg jarang dibutuhkan.

Furosemid merupakan obat golongan loop diuretic berpotensi tinggi yang banyak
digunakan dalam aplikasi klinik pasien dengan kondisi hipervolemik (Kitsios et al.,
2014). Lokasi aksi furosemid adalah pada lapisan tebal loop henle ascenden di nefron
(Phakdeekitcharoen dan Boonyawat, 2012). Hal-hal yang menentukan aktivitas diuretik
furosemid, yaitu pertama konsentrasi furosemid dalam sistem urinari yang dipengaruhi
oleh adanya asam-asam organik yang berkompetisi dalam pengangkutan menuju
tubulus proksimal, kedua waktu penghantaran furosemid ke site of action yang
dipengaruhi oleh cardiac output dan rute pemberian furosemid, ketiga kadar albumin
plasma yang dapat membantu sekresi furosemid ke lumen tubulus dan keempat respon
dinamik dari site of action yang dipengaruhi oleh karena aktifitas RAAS (Ho dan Power,
2010).(Robiatul, 2016)

7. Evaluasi Tindakan

Setelah dilakukan pemberian terapi diuretic (injeksi furosemide) tidak terjadi edema,
dapat meningkatkan output urine, meningkatkan eksresi natrium, sehingga dapat
membuang air dari ginjal.(Morton, 2014)

8. Referensi :

Ainiyah, Robiyatul. 2016. Studi Penggunaan Terapi Furosemid Pada Pasien Penyakit
Ginjal Kronik (Pgk) Stadium V Di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. ADLN-
PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA.
https://repository.unair.ac.id/53878 . Diakses pada 11 Maret 2019
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.Yogyakarta : MediAction.
Jilid 1.
Morton, P. G., dkk. (2014). Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik Volume 1.
Jakarta : EGC.
Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC. Edisi 6.

Anda mungkin juga menyukai