Anda di halaman 1dari 162

Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek

Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan


Baubau, Sulawesi Tenggara

Laporan Kajian Prastudi Kelayakan


(Draft Final Business Case)

TAHUN ANGGARAN 2015


Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek
Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

Laporan Kajian Prastudi Kelayakan


(Draft Final Business Case)
Kata Pengantar
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

Dalam rangka memulai langkah implementasi pengembangan pelabuhan Baubau di Pulau


Buton, Sulawesi Tenggara yang akan dibangun dengan skema Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha (KPBU), Pemerintah telah melaksanakan Kajian Awal Prastudi
Kelayakan (Outline Business Case) pada Tahun 2013 dengan nama Studi Kerjasama
Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara. Agar dapat segera
dilaksanakan tender investasi secara KPBU, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
No. 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, maka tahapan selanjutnya adalah perlu adanya
Dokumen Tahap Transaksi, berupa Kajian Akhir Prastudi Kelayakan (Final Business
Case), Dokumen Lelang Investasi (Dokumen Prakualifikasi, Dokumen Pelelangan Umum,
dan Rancangan Perjanjian Kerjasama).

Laporan Draft FInal Business Case (FBC) ini merupakan laporan hasil dari kegiatan
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan
Baubau, Sulawesi Tenggara.

Secara garis besar, Laporan Draft FBC ini telah memuat semua materi yang diisyaratkan
dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK).

Jakarta, Oktober 2015

Ketua Tim

|i
Daftar Isi
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ________________________________________________________ 1-1
1.2 Maksud & Tujuan ______________________________________________________ 1-2
1.3 Keluaran _____________________________________________________________ 1-2
1.4 Ruang Lingkup_________________________________________________________ 1-3

Bab 2 Gambaran Umum Lokasi Studi


2.1 Kota Baubau __________________________________________________________ 2-1
2.1.1 Kondisi Fisik Wilayah _____________________________________________ 2-1
2.1.2 Kependudukan __________________________________________________ 2-3
2.1.3 Potensi Wilayah _________________________________________________ 2-4
2.1.3.1 Pertanian _______________________________________________ 2-4
2.1.3.2 Perkebunan _____________________________________________ 2-9
2.1.3.3 Peternakan ______________________________________________ 2-9
2.1.3.4 Perikanan ______________________________________________ 2-10
2.1.4 Perdagangan ___________________________________________________ 2-11
2.1.5 Transportasi ___________________________________________________ 2-15
2.1.5.1 Transportasi Darat_______________________________________ 2-15
2.1.5.2 Transportasi Laut________________________________________ 2-17
2.1.5.3 Transportasi Udara ______________________________________ 2-17
2.1.6 Pariwisata _____________________________________________________ 2-18
2.1.7 Perekonomian __________________________________________________ 2-19
2.2 Pelabuhan Baubau ____________________________________________________ 2-21
2.2.1 Fasilitas Pokok Pelabuhan ________________________________________ 2-21
2.2.2 Armada Angkutan Laut___________________________________________ 2-22
2.2.3 Angkutan Laut Pelabuhan Murhum Baubau __________________________ 2-23
2.2.4 Angkutan Peti Kemas Pelabuhan Murhum ___________________________ 2-25
2.3 Kebutuhan Proyek KPBU Di Pelabuhan Baubau _____________________________ 2-26
2.4 Potensi KPBU di Pelabuhan Baubau ______________________________________ 2-27
2.5 Infrastruktur yang Akan dibangun dengan Skema KPBU ______________________ 2-28
2.6 Pelabuhan Baubau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Baubau __________ 2-29
2.7 Resume Rencana Induk pelabuhan Baubau ________________________________ 2-30

Bab 3 Kajian Hukum dan Kelembagaan


3.1 Analisa Peraturan Perundang-Undangan ___________________________________ 3-1
3.1.1 Aspek Hukum Kepelabuhanan ______________________________________ 3-1
3.1.1.1 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran_____ 3-1
3.1.1.2 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan3-2

| ii
3.1.1.3 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2015 tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan ___________ 3-3
3.1.1.4 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 63 Tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Otoritas
Pelabuhan_______________________________________________ 3-4
3.1.2 Aspek Hukum Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha di bidang
Infrastruktur Pelabuhan ___________________________________ 3-5
3.1.2.1 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 2010
tentang Panduan Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
Transportasi _____________________________________________ 3-5
3.1.2.2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2010
tentang Pembentukan Simpul Kerjasama Pemerintah dan
Swasta (KPS)_____________________________________________ 3-6
3.1.3 Aspek Pendirian Perusahaan dalam rangka Kerjasama Pemerintah
dan Badan Usaha _________________________________________ 3-8
3.1.4 Aspek Hukum Investasi/Penanaman Modal __________________________ 3-12
3.1.5 Aspek Keselamatan Kerja ________________________________________ 3-13
3.1.6 Aspek Hukum Pengadaan Lahan ___________________________________ 3-16
3.1.7 Aspek Pembiayaan ______________________________________________ 3-17
3.1.8 Aspek Hukum Perpajakan ________________________________________ 3-18
3.2 Analisa Mengenai Kebutuhan Peraturan Baru ______________________________ 3-19
3.3 Analisa Jenis-Jenis Perijinan Yang Diperlukan Untuk Proyek _________________ 3-19
3.4 Kajian Kelembagaan___________________________________________________ 3-28
3.4.1 Analisa Kewenangan Kementerian Perhubungan Dalam
Penyelenggaraan Proyek _________________________________________ 3-28
3.4.2 Analisa Pemetaan Stakeholders dan Peran Serta Tanggung
Jawabnya______________________________________________________ 3-29

Bab 4 Kajian Teknis


4.1 Standar Kinerja Teknis Operasional Pelabuhan______________________________ 4-1
4.2 Kondisi Teknis Lingkungan Pelabuhan _____________________________________ 4-6
4.2.1 Elevasi Pasang Surut______________________________________________ 4-6
4.2.2 Tinggi Gelombang dan Kecepatan Arus ______________________________ 4-6
4.2.2.1 Gelombang ______________________________________________ 4-6
4.2.2.2 Arus ____________________________________________________ 4-6
4.3 Analisis Kebutuhan Fasilitas Perairan______________________________________ 4-7
4.3.1 Panjang, Tinggi Dek, dan Lebar Dermaga ____________________________ 4-7
4.3.2 Tipe Dermaga ___________________________________________________ 4-7
4.3.3 Perencanaan Layout dan Elevasi Penting ____________________________ 4-9
4.3.3.1 Panjang Dermaga_________________________________________ 4-9
4.3.3.2 Alur Pelayaran __________________________________________ 4-12
4.3.3.3 Dimensi Kolam Pelabuhan_________________________________ 4-14
4.3.3.4 Layout Pelabuhan _______________________________________ 4-21
4.3.4 Fasilitas Penunjang _____________________________________________ 4-25
4.3.4.1 Kebutuhan Revertment ___________________________________ 4-25

| iii
4.3.4.2 Fasilitas Navigasi ________________________________________ 4-25
4.4 Konfigurasi Tiang Pancang______________________________________________ 4-25
4.4.1 Konfigurasi Tiang Pancang Dermaga _______________________________ 4-25
4.4.2 Konfigurasi Tiang Pancang Trestle _________________________________ 4-26
4.5 Analisis Kebutuhan Fasilitas Darat _______________________________________ 4-27
4.5.1 Lapangan Penumpukan Peti Kemas ________________________________ 4-27
4.5.2 Pelabuhan Barang Umum/Multipurpose_____________________________ 4-29
4.5.3 Parkir Kendaraan _______________________________________________ 4-30
4.5.3.1 Parkir Truk _____________________________________________ 4-31
4.5.3.2 Parkir Non Truk _________________________________________ 4-32
4.5.4 Perkantoran ___________________________________________________ 4-32
4.5.5 Rekapitulasi Kebutuhan Fasilitas Daratan ___________________________ 4-33
4.6 Peralatan Penunjang __________________________________________________ 4-33
4.7 Analisis Risiko ________________________________________________________ 4-37
4.8 Estimasi Kebutuhan Biaya Pekerjaan Konstruksi____________________________ 4-40
4.9 Pendapatan dan Manfaat Pelabuhan _____________________________________ 4-41
4.9.1 Pendapatan Pelabuhan __________________________________________ 4-41
4.9.2 Manfaat Pelabuhan______________________________________________ 4-42

Bab 5 Kajian Ekonomi dan Komersial


5.1 Kajian Ekonomi ________________________________________________________ 5-1
5.2 Kajian Komersial_______________________________________________________ 5-3
5.2.1 Keterkaitan Antar Kajian dengan Model Perhitungan Finansial __________ 5-4
5.2.2 Perhitungan Keuangan ____________________________________________ 5-5

Bab 6 Kajian Lingkungan dan Sosial

Bab 7 Kajian Bentuk KPBU


7.1 Kajian Bentuk Kerjasama________________________________________________ 7-1
7.2 Penentuan LINGKUP kerjasama___________________________________________ 7-3

Bab 8 Kajian Risiko


8.1 Umum________________________________________________________________ 8-1
8.2 Identifikasi Risiko ______________________________________________________ 8-1
8.3 Penilaian Risiko________________________________________________________ 8-2
8.4 Alokasi Risiko _________________________________________________________ 8-3
8.5 Mitigasi Risiko _________________________________________________________ 8-3

Bab 9 Dukungan Pemerintah dan Penjaminan


9.1 Dukungan Pemerintah __________________________________________________ 9-1
9.2 Penjaminan Pemerintah_________________________________________________ 9-1

| iv
Daftar Tabel
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Baubau___________________________________________1


Tabel 2.2 Data Jumlah Penduduk dan KK Per Kecamatan Kota Baubau tahun
2013 _____________________________________________________________3
Tabel 2.3 Data Jumlah Kepadatan Penduduk Perkapita Dalam Wilayah Kota
Baubau Tahun 2013 ________________________________________________4
Tabel 2.4 Luas Penggunaan Tanah menurut Kecamatan (ha) Tahun 2013 ____________5
Tabel 2.5 Luas Panen (Ha), Produksi (Ton), dan Produktivitas (kg/ha) 8
Komoditas Utama Pertanian _________________________________________6
Tabel 2.6 Produksi Tanaman Hortikultura (kuintal) ______________________________8
Tabel 2.7 Luas Areal Tanaman Perkebunan menurut Jenis Tanaman dan
Tingkat Produktivitas Lahan (ha) _____________________________________9
Tabel 2.8 Populasi Ternak Besar dan Kecil menurut Kecamatan (Ekor) ______________9
Tabel 2.9 Populasi Ternak Unggas menurut Kecamatan (Ekor) ____________________10
Tabel 2.10 Produksi Perikanan menurut Kecamatan (ton) _________________________11
Tabel 2.11 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Bumi dan Laut
menurut Jenis Komoditas __________________________________________12
Tabel 2.12 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perkebunan
menurut Jenis Komoditas __________________________________________12
Tabel 2.13 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perikanan menurut
Jenis Komoditas __________________________________________________13
Tabel 2.14 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Kehutanan menurut
Jenis Komoditas __________________________________________________14
Tabel 2.15 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Industri menurut
Jenis Komoditas __________________________________________________14
Tabel 2.16 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau menurut Pelabuhan
Tujuan __________________________________________________________15
Tabel 2.17 Volume Beras, Gula Pasir, Tepung Terigu dan Jagung yang
Disalurkan oleh Perum Bulog Sub Divre Wil I di Kota Baubau (ton) ________15
Tabel 2.18 Panjang Jalan menurut Pemerintah yang Berwenang dan Jenis
Permukaan Jalan (Km)_____________________________________________16
Tabel 2.19 Banyaknya Kendaraan Bermotor menurut Jenis Kendaraan Terdaftar
Pada Samsat di Kota Baubau (unit) __________________________________16
Tabel 2.20 Jumlah Kunjungan Kapal dan Penumpang menurut Jenis Pelayaran di
Kota Baubau _____________________________________________________17
Tabel 2.21 Lalu Lintas Pesawat Terbang dan Penumpang melalui Pelabuhan
Udara Betoambari Tahun 2006 - 2013 ________________________________18
Tabel 2.22 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan
Kota Baubau (Juta Rupiah) _________________________________________20
Tabel 2.23 Fasilitas Pelabuhan di Pelabuhan Murhum Baubau______________________21
Tabel 2.24 Aktifitas Angkutan Laut di Pelabuhan Murhum Baubau __________________23
Tabel 2.25 Produktifitas Angkutan Peti Kemas di Pelabuhan Murhum _______________25

|v
Tabel 2.26 Potensi (Awal) Proyek KPBU di Pelabuhan Baubau______________________27
Tabel 2.27 Rekapitulasi Pengembangan Sarana dan Prasarana Pelabuhan Baubau
________________________________________________________________31

Table 3.1 Jenis Perizinan, Persyaratan dan Jangka Waktu Penerbitan____________ 3-21

Tabel 4.1 Rata-rata Produktifitas Pelabuhan (untuk kapal besar dan kecil)
pergerakan per jam ______________________________________________ 4-5
Tabel 4.2 BOR Maksimum (kinerja dermaga) __________________________________ 4-5
Tabel 4.3 Karakteristik Kapal______________________________________________ 4-10
Tabel 4.4 Kebutuhan Pengembangan Dermaga Pelabuhan Murhum Baubau________ 4-12
Tabel 4.5 Perhitungan Lebar Alur Pelayanan _________________________________ 4-13
Tabel 4.6 Perhitungan Kebutuhan Area Perairan Pelabuhan Baubau _____________ 4-19
Tabel 4.7 Kebutuhan Luasan yang Diperlukan Per TEUS ________________________ 4-28
Tabel 4.8 Luas Container Yard (m2) untuk setiap Tahap Pengembangan _________ 4-29
Tabel 4.9 Komposisi Penanganan Barang di Pelabuhan_________________________ 4-30
Tabel 4.10 Luas Transit Shed, Warehouse, dan Open Storage untuk Dermaga
Multi Purpose yang Diperlukan pada Tiap Tahap Pengembangan (m2) ___ 4-30
Tabel 4.11 Rekapitulasi Kebutuhan Transit Shed, Ware House, dan Open
Storage _______________________________________________________ 4-30
Tabel 4.12 Kebutuhan Parkir Truk Cargo _____________________________________ 4-31
Tabel 4.13 Rekapitulasi Kebutuhan Ruang Perkantoran _________________________ 4-33
Tabel 4.14 Rekapitulasi Kebutuhan Fasilitas Daratan Pelabuhan Baubau___________ 4-33
Tabel 4.15 Kebutuhan Peralatan Terminal Peti Kemas Pelabuhan Baubau _________ 4-37
Tabel 4.16 Perkiraan Biaya Konstruksi Pengembang Dermaga Pelabuhan Baubau____ 4-40

Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Skenario-1: Pesimis _______________________________ 5-5


Tabel 5.2 Hasil Perhitungan Skenario-2: Optimis_______________________________ 5-6
Tabel 5.3 Hasil Perhitungan Metoda AP, Skenario-1: Pesimis ____________________ 5-7

Table 8.1 Tabel Acuan Alokasi Risiko ________________________________________ 8-4

| vi
Daftar Gambar
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

Gambar 2.1 Peta Administrasi Wilayah Kota Baubau ____________________________ 2-2


Gambar 2.2 Produktifitas Angkutan Laut Pelabuhan Murhum ____________________ 2-24
Gambar 2.3 Produktifitas Angkutan Barang Pelabuhan Murhum Baubau ___________ 2-24
Gambar 2.4 Produktifitas Angkutan Penumpang Pelabuhan Murhum ______________ 2-25
Gambar 2.5 Operasional Peti Kemas Pelabuhan Murhum Baubau _________________ 2-26

Gambar 4.1 Waktu pelayanan di dermaga _____________________________________ 4-4


Gambar 4.2 Bentuk tipikal dimensi kapal ____________________________________ 4-11
Gambar 4.3 Lebar alur untuk 1 kapal ________________________________________ 4-18
Gambar 4.4 Lebar alur untuk 2 kapal ________________________________________ 4-18
Gambar 4.5 Denah Pengembangan Dermaga dan Trestle________________________ 4-21
Gambar 4.6 Kondisi gelombang pada area Pelabuhan __________________________ 4-21
Gambar 4.7 Kondisi gelombang pada pengembangan dermaga___________________ 4-22
Gambar 4.8 Kondisi perambatan gelombang pada pengembangan dermaga. _______ 4-22
Gambar 4.9 Kondisi arus di pagi hari pukul 06.00______________________________ 4-23
Gambar 4.10Kondisi arus di siang hari pukul 12.00 _____________________________ 4-23
Gambar 4.11Kondisi arus di sore hari pukul 16.00. _____________________________ 4-24
Gambar 4.12Kondisi arus di malam hari pukul 22.00 ___________________________ 4-24
Gambar 4.13Layout Pengembangan Dermaga Pelabuhan ________________________ 4-25
Gambar 4.14Layout konfigurasi tiang pancang dermaga ________________________ 4-26
Gambar 4.15Tampak konfigurasi tiang pancang dermaga________________________ 4-26
Gambar 4.16Layout konfigurasi tiang pancang trestle __________________________ 4-27
Gambar 4.17Tampak konfigurasi tiang pancang dermaga________________________ 4-27
Gambar 4.18Container Crane _______________________________________________ 4-34
Gambar 4.19Transtainer ___________________________________________________ 4-34
Gambar 4.20Forklift ______________________________________________________ 4-35
Gambar 4.21Mobile Crane (kiri) dan Reach Stacker (kanan) _____________________ 4-35
Gambar 4.22Top Loader ___________________________________________________ 4-36
Gambar 4.23Kondisi Sarana Angkut Peti Kemas di Pelabuhan Baubau _____________ 4-36
Gambar 4.24Orientasi lokasi Pelabuhan dan sumber sedimen ____________________ 4-38
Gambar 4.25Hasil Pemodelan sebaran sedimen________________________________ 4-38
Gambar 4.26Hasil Pemodelan perubahan dasar perairan ________________________ 4-39
Gambar 4.27Grafik perubahan dasar perairan di area Pelabuhan Bau-bau._________ 4-39
Gambar 4.28Lokasi Pelabuhan Ferry dan Kolam Putarnya _______________________ 4-40

Gambar 5.1 Kriteria Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha _________________ 5-4
Gambar 5.2 Keterkaitan Antar Kajian terhadap Model Perhitungan Keuangan ______ 5-5
Gambar 5.3 Pola Perhitungan Proyek Keuangan ________________________________ 5-6

Gambar 8.1 Proses Analisa Risiko ____________________________________________ 8-1

| vii
Bab 1 Pendahuluan
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam rangka memulai langkah implementasi pengembangan pelabuhan Baubau di Pulau


Buton, Sulawesi Tenggara yang akan dibangun dengan skema Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha (KPBU), Pemerintah telah melaksanakan Kajian Awal Prastudi
Kelayakan (Outline Business Case) pada Tahun 2013 dengan nama Studi Kerjasama
Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara. Agar dapat segera
dilaksanakan tender investasi secara KPBU, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
No. 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, maka tahapan selanjutnya adalah perlu adanya
Dokumen Tahap Transaksi, berupa Kajian Akhir Prastudi Kelayakan (Final Business
Case), Dokumen Lelang Investasi (Dokumen Prakualifikasi, Dokumen Pelelangan Umum,
dan Rancangan Perjanjian Kerjasama).

Dikarenakan terdapat perubahan peraturan perundangan mengenai pelaksanaan


kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dimana
Permen PPN No. 3 Tahun 2012 dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Permen
PPN No. 4 Tahun 2015, maka hasil Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk
Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara yang telah dilaksanakan, perlu dilakukan Review
untuk memeriksa kelengkapan persyaratan analisis sesuai dengan peraturan yang baru.
Untuk selanjutnya, dalam pemenuhan lingkup kegiatan maupun keluaran, selain
mengacu kepada Kerangka Acuan Kerja, juga mengacu pada pada Permen PPN No. 4
Tahun 2015 Pasal 42 mengenai Ketentuan Peralihan yang menyatakan bahwa untuk
proyek yang telah melaksanakan Kajian Awal Prastudi Kelayakan, maka Kajian Akhir
Prastudi Kelayakan harus merujuk kepada peraturan ini.

Dalam konsep pembangunan Pemerintah Kota Baubau, pelabuhan ini dibangun untuk
memenuhi tuntutan kebutuhan pelayanan demi mendukung program jangka panjang
menjadikan Kota Baubau Pintu Gerbang Ekonomi dan Pariwisata di Sulawesi Tenggara.
Karena itu kebutuhan dan fasilitas yang terkait dengan pembangunan pelabuhan akan
dilakukan secara bertahap berdasarkan kebutuhan. Rencana pengembangan Pelabuhan

Bab 1 | 1
Baubau meliputi reklamasi, pembangunan penahan dan pengikat talud, penambahan
trestel dermaga, pengembangan ruang kawasan, dan pembangunan terminal
penumpang.

Selain itu, pembangunan gudang transit, penambahan lapangan penumpukan peti


kemas, perluasan areal parkir dan pos jaga, penambahan pagar pengaman, penambahan
jalan akses dan pengaman, serta pembangunan jembatan penghubung. Pelabuhan
Baubau berada di bawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Laut Kemenhub
dengan status Unit Pelaksana Teknis (UPT).

Sesuai dengan hasil screening pada Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk
Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara, ditetapkan dua proyek pembangunan dari
sembilan proyek yang diidentifikasi dapat dilaksanakan di Pelabuhan Baubau, yaitu
Pembangunan Terminal Penumpang dan Terminal Petikemas. Selanjutnya dalam kajian
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau,
Sulawesi Tenggara ini hanya akan dibahas mengenai dua jenis proyek di atas.

1.2 MAKSUD & TUJUAN

Maksud dari pekerjaan ini adalah melanjutkan penyusunan dokumen Kajian Awal
Prastudi Kelayakan (Outline Business Case) Pengembangan Pelabuhan Baubau yang telah
dilakukan sebelumnya, agar Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) siap untuk
masuk dalam tahap Transaksi untuk melaksanakan pelelangan Proyek ini.

Tujuan dari kegiatan ini adalah mereview dokumen kajian awal prastudi kelayakan
(OBC) dan menyusun dokumen Kajian Akhir Prastudi Kelayakan (Final Business Case),
Dokumen Lelang Investasi (Dokumen Prakualifikasi, Dokumen Pelelangan Umum, dan
Rancangan Perjanjian Kerjsama) Pelabuhan Baubau sehingga memenuhi ketentuan
proyek KPS.

1.3 KELUARAN

Keluaran dari kegiatan ini adalah tersedianya 2 Jenis Dokumen Transaksi untuk
mendukung Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi
Tenggara yang terdiri dari:
1. Dokumen Kajian Akhir Prastudi Kelayakan atau Final Business Case Rencana
Pengembangan Pelabuhan Baubau.

Bab 1 | 2
2. Dokumen Lelang Investasi meliputi:
a. Dokumen Prakualifikasi;
b. Dokumen Draft Pelelangan Umum
c. Dokumen Rancangan Perjanjian Kerjasama.

1.4 RUANG LINGKUP

Berdasarkan KAK dan juga hasil rapat kick-off meeting, ruang lingkup kegiatan ini terdiri
dari beberapa hal sebagai berikut:
A. Review Kajian Prastudi Kelayakan (Outline Business Case), sekurang-kurangnya
terdiri dari:
1. Kajian hukum dan kelembagaan
Kajian hukum dan kelembagaan terdiri atas:
a. Analisis peraturan perundang-undangan, yang dilakukan dengan tujuan
untuk:
1) memastikan bahwa KPBU dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan aspek-aspek:
a) pendirian Badan Usaha;
b) penanaman modal;
c) persaingan usaha;
d) lingkungan;
e) keselamatan kerja;
f) pengadaan tanah;
g) pembiayaan KPBU, termasuk mekanisme pembiayaan dan pendapatan;
h) perizinan KPBU;
i) perpajakan; dan
j) peraturan-peraturan terkait lainnya.
2) menentukan risiko hukum dan strategi mitigasinya;
3) mengkaji kemungkinan penyempurnaan peraturan perundang-undangan,
atau penerbitan peraturan perundang-undangan yang baru;
4) menentukan jenis-jenis perizinan/persetujuan yang diperlukan; dan
5) menyiapkan rencana dan jadwal untuk memenuhi persyaratan peraturan
dan hukum berdasarkan kajian pada angka 4.
b. Analisis kelembagaan, yang dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut:
1) memastikan kewenangan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Direksi
Badan Usaha Milik Negara/Direksi Badan Usaha Milik Daerah sebagai PJPK

Bab 1 | 3
dalam melaksanakan KPBU termasuk penentuan PJPK dalam proyek multi
infrastuktur;
2) melakukan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholders mapping)
dengan menentukan peran dan tanggung jawab lembaga-lembaga yang
berkaitan dalam pelaksanaan KPBU;
3) menentukan peran dan tanggung jawab Tim KPBU berkaitan dengan
kegiatan penyiapan kajian awal Prastudi Kelayakan, dan penyelesaian
kajian akhir Prastudi Kelayakan, serta menentukan sistem pelaporan Tim
KPBU kepada PJPK;
4) menentukan dan menyiapkan perangkat regulasi kelembagaan; dan
5) menentukan kerangka acuan pengambilan keputusan.
2. Kajian teknis, terdiri atas:
a. Analisis teknis, yang bertujuan untuk:
1) menetapkan standar kinerja teknis operasional yang diperlukan;
2) mempertimbangkan berbagai alternatif tapak, besaran proyek, kualitas,
teknologi dan waktu pelaksanaan;
3) menetapkan kapasitas keluaran dan standar operasional yang
dibutuhkan, serta menyiapkan rancangan awal yang layak secara teknis;
4) mengidentifikasi dan menilai Barang Milik Negara dan/atau Daerah yang
dibutuhkan dan menyiapkan daftar Barang Milik Negara dan/atau Daerah
yang akan digunakan untuk pelaksanaan KPBU;
5) mengidentifikasi ketersediaan pasokan sumber daya untuk
keberlangsungan KPBU, apabila diperlukan;
6) mengidentifikasi persyaratan dan ketersediaan input sekurang-kurangnya
meliputi sumber daya manusia, bahan baku, pelayanan jasa, akses
menuju tapak;
7) menentukan perkiraan biaya KPBU dan asumsi perhitungan biaya KPBU;
8) memperkirakan dan menentukan pendapatan (revenue), biaya modal,
biaya operasional dan biaya pemeliharaan dengan berbagai pilihan;
9) menyiapkan rencana pembiayaan yang sesuai denga jadwal konstruksi,
perkiraan biaya operasional, perkiraan biaya pemeliharaan, dan estimasi
biaya siklus kesinambungan KPBU; dan
10) mengidentifikasi standar pelayanan minimum.
b. Penyiapan tapak termasuk jalur, apabila diperlukan, yang dilakukan dengan
mempertimbangkan:
1) kesesuaian tapak dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);

Bab 1 | 4
2) kesesuaian tapak dengan kebutuhan operasional dan bahan baku;
3) ketersediaan pelayanan jasa dan bahan baku;
4) kondisi tapak yang diusulkan dan kesesuaian dengan kebutuhan KPBU;
5) konfirmasi kepemilikan tanah dan hambatan-hambatan yang timbul;
6) perkiraan biaya pengadaan tanah dengan berbagai pilihan; dan
7) rencana dan jadwal pelaksanaan program pengadaan tanah dan
pemukiman kembali.
c. Rancang bangun awal, yang memuat rancangan teknis dasar KPBU termasuk
lingkup KPBU yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik dari
masing-masing sektor;
d. Spesifikasi keluaran, yang meliputi:
1) Standar pelayanan minimum yang meliputi kuantitas, kualitas dan
ketersediaan (availibility);
2) Jadwal indikatif untuk pekerjaan konstruksi dan penyediaan peralatan;
3) Kepatuhan atas masalah lingkungan, sosial dan keselamatan;
4) Persyaratan pengalihan aset sesuai perjanjian KPBU; dan
5) Pengaturan pemantauan pada setiap tahapan:
a) konstruksi;
b) operasi komersial; dan
c) berakhirnya perjanjian KPBU.
3. Kajian ekonomi dan komersial, mencakup substansi sebagai berikut:
a. analisis permintaan (demand), yang bertujuan untuk memahami kondisi
pengguna layanan. Analisis permintaan ini dilakukan dengan paling kurang
memuat:
1) Survei kebutuhan nyata (real demand survey) untuk mendapatkan
gambaran yang akurat seperti mengenai perkiraan kebutuhan,
ketertarikan, kemauan dan kemampuan pengguna untuk membayar,
kinerja pembayaran, serta tingkat pelayanan yang diharapkan; dan
2) Penentuan sumber dan tingkat pertumbuhan permintaan dengan berbagai
skenario (uji elastisitas permintaan).
b. Analisis pasar (market), yang bertujuan untuk mengetahui tingkat
ketertarikan industri dan kompetisi. Analisis pasar ini dilakukan dengan
paling kurang memuat:
1) Penyampaian rencana KPBU kepada publik dalam rangka penjajakan
minat calon investor terhadap KPBU;

Bab 1 | 5
2) Pengumpulan tanggapan dan penilaian calon investor terhadap kelayakan,
risiko serta kebutuhan Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan
Pemerintah untuk KPBU;
3) Pengumpulan tanggapan dan penilaian lembaga keuangan nasional dan
internasional dan/atau institusi lainnya mengenai potensi pemberian dan
indikasi besaran pinjaman yang bisa dialokasikan dalam KPBU;
4) Pemilihan strategi untuk mengurangi risiko pasar dan meningkatkan
persaingan yang sehat dalam proses pengadaan KPBU; dan
5) Penilaian mengenai struktur pasar untuk menentukan tingkat kompetisi
pada sektor yang bersangkutan.
c. Analisis struktur pendapatan KPBU, yang bertujuan untuk mengidentifikasi
sumber-sumber pendapatan yang optimal bagi KPBU dengan
mempertimbangkan hasil analisis permintaan, kemampuan pembiayaan
Kementerian/Lembaga/Daerah yang bersangkutan, serta tingkat kelayakan
KPBU selama masa KPBU. Analisis struktur pendapatan KPBU ini paling kurang
memuat:
1) Perhitungan keseimbangan antara biaya dan pendapatan KPBU selama
masa kerjasama;
2) Identifikasi pembayaran/tarif awal, mekanisme penyesuaian, indeks
acuan untuk membuat penyesuaian atas parameter yang digunakan
selama jangka waktu perjanjian KPBU;
3) Identifikasi dampak terhadap pendapatan dalam hal:
a) Terjadi kenaikan biaya KPBU (cost over run);
b) Pembangunan KPBU selesai lebih awal; dan
c) Pengembalian KPBU melebihi tingkat maksimum yang ditentukan,
sehingga dimungkinkan pemberlakuan mekanisme penambahan
pembagian keuntungan (clawback mechanism);
d) Terjadinya pemberian insentif atau pemotongan pembayaran dalam
hal pemenuhan kewajiban.
d. Analisis Biaya Manfaat Sosial (ABMS), yang bertujuan untuk memastikan
manfaat sosial dan ekonomi serta keberlanjutan KPBU yang berkaitan dengan
efektivitas, ketepatan waktu, penggunaan dana, dan sumber daya publik
selama masa KPBU, selain itu ABMS juga dimaksudkan untuk memberikan
batasan maksimal besarnya Dukungan Pemerintah, sehingga manfaat bersih
KPBU lebih besar dari Dukungan Pemerintah yang diberikan. ABMS ini
dilakukan dengan memuat paling kurang:

Bab 1 | 6
1) Perbandingan biaya dan manfaat dengan ada atau tanpa adanya KPBU;
2) Biaya yang dimaksud dalam angka 1 didasarkan pada harga konstan, yang
meliputi:
a) biaya penyiapan KPBU;
b) biaya modal;
c) biaya operasional;
d) biaya pemeliharaan; dan
e) biaya-biaya lain akibat dari adanya proyek.
3) Penilaian/pengukuran manfaat proyek bagi masyarakat dan negara
dengan mempertimbangkan paling kurang:
a) Penghematan oleh masyarakat; dan
b) penghematan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang diperoleh.
4) Penentuan biaya ekonomi yang dilakukan dengan mengubah harga
finansial menjadi harga ekonomi (shadow price) untuk setiap masukan
dan keluaran berdasarkan faktor konversi ekonomi yang sesuai;
5) Penentuan manfaat ekonomi dilakukan dengan mengkonversikan manfaat
tersebut menjadi kuantitatif;
6) Parameter penilaian kelayakan ekonomi dilakukan melalui pendekatan
EIRR dan ENPV dengan menggunakan tingkat diskonto ekonomi atau sosial
(economic atau social discount rate); dan
7) Analisis sensitivitas untuk mengkaji pengaruh ketidakpastian pelaksanaan
KPBU terhadap tingkat kelayakan ekonomi proyek.
e. Analisis keuangan, dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Analisis keuangan bertujuan untuk menentukan kelayakan finansial KPBU
dengan menggunakan asumsi yang didasarkan pada:
a) Informasi ekonomi makro (nilai tukar, inflasi, dan suku bunga) yang
dikeluarkan oleh otoritas lembaga resmi seperti Bank Indonesia dan
BPS;
b) Analisis biaya modal yang terdiri dari biaya proyek, asumsi bunga dan
eskalasi biaya dari KPBU;
c) Biaya operasional dan pemeliharaan;
d) Biaya penyusutan dan nilai buku pada akhir masa konsesi;
e) Perhitungan biaya-biaya lain terkait KPBU termasuk biaya pemukiman
kembali, pemeliharaan lingkungan, perijinan, dan biaya tidak
langsung (management overhead cost);

Bab 1 | 7
f) Biaya mitigasi risiko; dan
g) Perhitungan pendapatan yang didasarkan pada hasil analisis
kebutuhan dan analisis struktur pendapatan.
2) Analisis keuangan dilakukan dengan cara:
a) Menetapkan rasio ekuitas dan pinjaman yang akan digunakan dalam
KPBU, sesuai dengan rasio yang umum digunakan di Indonesia;
b) Menentukan tingkat biaya modal rata-rata tertimbang/WACC sesuai
dengan rasio ekuitas dan pinjaman yang akan digunakan, tingkat suku
bunga pinjaman, serta biaya ekuitas;
c) Menentukan tingkat imbal hasil keuangan/FIRR pada KPBU;
d) Menentukan rasio cakupan pembayaran hutang (Debt Service Coverage
Ratio - DSCR) dengan menghitung besarnya kas yang tersedia untuk
membayar kewajiban (pokok pinjaman dan bunga) yang akan jatuh
tempo pada tahun berjalan;
e) Menentukan besaran imbal hasil ekuitas (Return On Equity - ROE);
f) Menentukan besaran FNPV dan metode pengembalian investasi
(payback period);
g) Menyajikan proyeksi arus kas KPBU;
h) Menyajikan proyeksi arus kas dan laporan laba rugi Badan Usaha
Pelaksana;
i) Menyajikan sensitivitas KPBU dalam berbagai pilihan analisis keuangan
dalam nilai rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya
disetarakan dengan rupiah;
j) Menentukan bentuk dan nilai Dukungan Pemerintah; dan
k) Menentukan besaran premi Jaminan Pemerintah.
4. Kajian lingkungan dan sosial, meliputi:
a. kajian lingkungan hidup bagi KPBU yang wajib AMDAL, yang dilakukan
mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1) Melakukan penapisan yang bertujuan untuk:
a) menetapkan potensi dampak penting yang akan timbul dari KPBU;
b) menetapkan klasifikasi KPBU dalam memperkirakan dampak yang akan
ditimbulkan terhadap lingkungan hidup sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c) menentukan peningkatan kapasitas dan program pelatihan untuk
melaksanakan program perlindungan lingkungan, jika diperlukan;

Bab 1 | 8
d) memperkirakan biaya yang dikeluarkan untuk perizinan yang berkaitan
dengan kepentingan lingkungan hidup; dan
e) menyiapkan rencana dan jadwal untuk melaksanakan program
kepatuhan lingkungan dan melakukan pencatatan untuk persetujuan
lingkungan.
2) Penyeleksian digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menyusun
kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KAANDAL).
3) Prosedur dalam melakukan kajian dampak lingkungan dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang lingkungan
hidup.
4) PJPK bertanggung jawab untuk menyusun dokumen AMDAL bagi KPBU
yang terdiri dari dokumen KA-ANDAL, ANDAL, Rencana Pengelolaan
Lingkungan Hidup-Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagai dasar
penilaian dan izin lingkungan dari Menteri/Kepala Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
b. Kajian lingkungan hidup bagi KPBU yang wajib memiliki UKL-UPL, dilakukan
mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1) mengisi ringkasan informasi awal yang meliputi:
a) identitas pemrakarsa, yaitu PJPK atau Badan Usaha Calon Pemrakarsa;
b) rencana usaha dan/atau kegiatan;
c) dampak lingkungan yang akan terjadi; dan
d) program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
2) ringkasan informasi awal sebagaimana dimaksud pada angka 1), diajukan
kepada:
a) Bupati/Walikota, untuk KPBU yang berlokasi pada 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota dan di wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga)
dari wilayah laut kewenangan provinsi;
b) Gubernur, untuk KPBU yang berlokasi di lebih dari 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota dalam 1 (satu) propinsi; di lintas kabupaten/kota;
dan/atau di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil dari garis
pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan;
c) Menteri, untuk KPBU yang berlokasi di lebih dari 1 (satu) wilayah
propinsi; di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang
dalam sengketa dengan negara lain; di wilayah laut lebih dari 12 (dua
belas) mil laut diukur dari garis pantai kearah laut lepas; dan/atau di
lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain.

Bab 1 | 9
3) Setelah memeriksa dan menyatakan tidak ada kekurangan dari data yang
diisikan, Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota mengeluarkan rekomendasi
yang selanjutnya diajukan kepada pejabat yang berwenang sebagai dasar
penerbitan izin untuk melakukan usaha atau kegiatan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
c. analisis sosial, diperlukan untuk:
1) menentukan dampak sosial KPBU terhadap masyarakat dan menyusun
rencana mitigasinya;
2) menentukan lembaga yang bertanggung jawab untuk pembebasan tanah
dan pemukiman kembali;
3) menentukan pihak-pihak yang akan terkena dampak oleh proyek dan
kompensasi yang akan diberikan, bila diperlukan;
4) memperkirakan kapasitas lembaga untuk membayar kompensasi dan
melaksanakan rencana pemukiman kembali, bila diperlukan; dan
5) menentukan rencana pelatihan dalam rangka melaksanakan program
perlindungan sosial untuk meningkatkan kapasitas masyarakat yang
terkena dampak.
d. rencana pengadaan tanah dan pemukiman kembali, mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
1) menyiapkan dokumen perencanaan pengadaan tanah terlebih dahulu;
2) PJPK bertanggung jawab untuk menyiapkan dokumen perencanaan
pengadaan tanah yang merupakan persyaratan untuk memperoleh
penetapan lokasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
3) Izin Lingkungan diperlukan untuk memperoleh surat penetapan lokasi,
selain dokumen rencana pengadaan tanah; dan
4) rencana pemukiman kembali, yang merupakan bagian dari rencana
pengadaan tanah, disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5. Kajian bentuk KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur
Kajian bentuk KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
a. pemilihan bentuk KPBU dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
sebagai berikut:
1) kepastian ketersediaan Infrastruktur tepat pada waktunya;
2) optimalisasi investasi oleh Badan Usaha;
3) maksimalisasi efisiensi yang diharapkan dari pengusahaan Infrastruktur
oleh Badan Usaha;

Bab 1 | 10
4) kemampuan Badan Usaha untuk melakukan transaksi;
5) alokasi resiko; dan
6) kepastian adanya pengalihan keterampilan manajemen dan teknis dari
sektor swasta kepada sektor publik.
b. bentuk KPBU harus mencakup sekurang-kurangnya:
1) lingkup KPBU, mencakup sebagian atau seluruh proses kegiatan KPBU,
seperti membiayai, merancang, membangun, merehabilitasi,
mengoperasikan, memelihara, dan lainnya;
2) jangka waktu dan penahapan KPBU;
3) identifikasi keterlibatan pihak ketiga, seperti off-taker, penyedia bahan
baku, dan lainnya;
4) skema pemanfaatan Barang Milik Negara dan/atau Barang Milik Daerah
selama perjanjian KPBU;
5) status kepemilikan aset KPBU selama jangka waktu perjanjian KPBU dan
pengalihan aset setelah berakhirnya perjanjian KPBU; dan
6) bentuk partisipasi pemerintah dalam Badan Usaha Pelaksana KPBU,
seperti penyertaan modal atau bentuk lainnya.
6. Kajian risiko
Kajian risiko dilakukan dengan memenuhi ketentuan, sebagai berikut:
a. analisis risiko bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bagi para
pemangku kepentingan.
b. analisis risiko dilakukan dengan cara:
1) melakukan identifikasi risiko;
2) mengukur besaran risiko;
3) menentukan alokasi risiko; dan
4) menyusun mitigasi risiko.
7. Kajian kebutuhan Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah,
meliputi:
a. Analisis Dukungan Pemerintah, yang bertujuan untuk mengidentifikasi perlu
atau tidaknya Dukungan Pemerintah guna meningkatkan kelayakan keuangan
KPBU.
b. Dukungan Pemerintah dapat diberikan dalam bentuk:
1) dukungan kelayakan KPBU (Viability Gap Fund) yang diatur lebih lanjut
oleh Peraturan Menteri Keuangan;
2) insentif perpajakan; dan/atau

Bab 1 | 11
3) dukungan Pemerintah dalam bentuk lainnya sesuai dengan peraturan
perundang undangan.
c. analisis Jaminan Pemerintah yang bertujuan untuk mengidentifikasi perlu
atau tidaknya Jaminan Pemerintah untuk mengurangi risiko Badan Usaha yang
dapat diberikan oleh Menteri Keuangan melalui BUPI sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
8. Kajian mengenai hal-hal yang perlu ditindaklanjuti, antara lain:
a. Identifikasi isu-isu kritis yang harus ditindaklanjuti;
b. Menyusun rencana penyelesaian isu-isu kritis pada huruf a, termasuk strategi
penyelesaian dan penanggung jawab; dan
c. jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persiapan KPBU.
B. Kajian akhir Prastudi Kelayakan, terdiri dari penyempurnaan data dengan kondisi
terkini dan pemutakhiran atas kelayakan dan kesiapan KPBU yang sebelumnya telah
tercakup dalam kajian awal Prastudi Kelayakan, termasuk penyelesaian hal-hal yang
perlu ditindaklanjuti.
C. Pembuatan Rancangan Dokumen Lelang Investasi yang terdiri atas:
a. Dokumen Prakualifikasi
b. Dokumen Draft Pelelangan Umum
c. Dokumen Rancangan Perjanjian Kerjasama

Bab 1 | 12
Bab 2 Gambaran Umum Lokasi Studi
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

2.1 KOTA BAUBAU

2.1.1 Kondisi Fisik Wilayah

Secara geografis Kota Bau-Bau terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara bagian Selatan
Pulau Buton dengan posisi koordinat sekitar 05°21’ hingga 05°30’ Lintang Selatan dan
122°30’ sampai 122°45’ Bujur Timur. Kota Baubau berada di Pulau Buton, dan tepat
terletak di Selat Buton dengan Pelabuhan Utama menghadap Utara. Di kawasan selat
inilah aktivitas lalu lintas perairan baik nasional, regional maupun lokal sangat intensif.
Batas-batas administrasi wilayah Kota Baubau adalah sebagai berikut:
 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton,
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton,
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga Kabupaten Buton,
 Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Buton.

Secara administrasi, sejak tahun 2013 Kota Baubau terbagi menjadi 8 kecamatan yakni
Betoambari, Bungi, Kokalukuna, Lea-lea, Murhum, Sorawolio, Wolio, dan Batupoaro
dengan luas wilayah 251 km² dengan luas daratan 221 km² dan luas laut sekitar 30 km².
Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Baubau
Luas wilayah Persentase
No Kecamatan
(km²) (%)
1 Wolio 17,33 7,84
2 Betoambari 27,89 12,62
3 Sorawolio 83,25 37,67
4 Bungi 47,71 21,59
5 Murhum 4,90 2,22
6 Kokalukuna 9,44 4,27
7 Lea-lea 28,93 13,09
8 Batupoaro 1,55 0,70
Jumlah 221 100
Sumber: Baubau dalam Angka, 2014

Bab 2 | 1
Gambar 2.1 Peta Administrasi Wilayah Kota Baubau

Bab 2 | 2
Karakteristik Wilayah Kota Baubau untuk wilayah utara cenderung subur dan bisa
dimanfaatkan sebagai wilayah pengembangan pertanian dalam arti luas, yaitu meliputi
wilayah Kecamatan Bungi, Sorawolio, sebagian Kecamatan Wolio dan Betoambari.
Wilayah selatan cenderung kurang subur diperuntukan bagi pengembangan perumahan
dan fasilitas pemerintahan. Sementara wilayah pesisir untuk pengembangan sosial
ekonomi masyarakat.

Kondisi topografi daerah Kota Baubau pada umumnya memiliki permukaan yang
bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Di antara gunung dan bukit–bukit
terbentang dataran yang merupakan daerah potensial untuk mengembangkan sektor
pertanian.

Kota Baubau memiliki sebuah sungai yang besar yaitu sungai Baubau. Sungai tersebut
melewati Kecamatan Wolio, Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro. Sungai
tersebut pada umumnya memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga
listrik, pertanian, perikanan, kebutuhan industri, kebutuhan rumahtangga dan
pariwisata.

2.1.2 Kependudukan

Berdasarkan data Baubau dalam Angka Tahun 2014, penduduk Kota Baubau tahun 2013
berjumlah sebanyak 145.427 orang. Dengan luas 221 km2, maka diperoleh kepadatan
penduduk Kota Baubau tahun 2013 sebesar 658 orang/km². Penduduk Kota Baubau
terdiri dari penduduk laki-laki sejumlah 71.817 jiwa dan penduduk perempuan
berjumlah 73.610 jiwa.
Tabel 2.2 Data Jumlah Penduduk dan KK Per Kecamatan Kota Baubau tahun 2013
Jumlah Penduduk Rasio Jenis Kelamin
No Kecamatan KK Jumlah
L P (%)
1 Wolio 8.859 20.247 20.065 40.312 100,91
2 Betoambari 3.799 8.533 8.753 17.286 97,49
3 Sorawolio 1.662 3.776 3.785 7.561 99,76
4 Bungi 1.665 3.726 3.807 7.533 97,87
5 Murhum 4.493 9.961 10.486 20.447 94,99
6 Kokalukuna 3.906 8.808 8.959 17.767 98,31
7 Lea-lea 1.548 3.421 3.617 7.038 94,58
8 Batupoaro 6.041 13.345 14.138 27.483 94,39
Jumlah 31.973 71.817 73.610 145.427 97,56
Sumber: BPS Kota Baubau, 2014

Bab 2 | 3
Pada Tabel 2.3 di bawah ini dapat diketahui bahwa Kecamatan Batupoaro memiliki
kepadatan paling tinggi yaitu 17.731 orang/km², sedangkan Kecamatan Sorawolio
memiliki kepadatan penduduk terkecil yaitu 91 orang/km².
Tabel 2.3 Data Jumlah Kepadatan Penduduk Perkapita Dalam Wilayah Kota Baubau
Tahun 2013
No Kecamatan Jumlah Penduduk Luas wilayah (km²) Kepadatan / km²
1 Wolio 40.312 17,33 2.326
2 Betoambari 17.286 27,89 620
3 Sorawolio 7.561 83,25 91
4 Bungi 7.533 47,71 158
5 Murhum 20.447 4,90 4.172
6 Kokalukuna 17.767 9,44 1.882
7 Lea-lea 7.038 28,93 243
8 Batupoaro 27.483 1,55 17.731
Jumlah 145.427 221,00 658
Sumber: BPS Kota Baubau, 2014

2.1.3 Potensi Wilayah

2.1.3.1 Pertanian
Sektor pertanian mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan
perekonomian nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting dari
keseluruhan pembangunan nasional. Ada beberapa hal yang mendasari mengapa
pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting, antara lain: potensi
Sumber Daya Alam yang besar dan beragam, pangsa terhadap pendapatan nasional yang
cukup besar, besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor
ini, perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di
pedesaan. Pada bab ini disajikan data hasil pembangunan khususnya sektor pertanian
meliputi penggunaan tanah, tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan.

Penggunaan tanah tahun 2013 yang disajikan pada Tabel 2.4 meliputi jenis penggunaan
tanah sawah, bangunan dan pekarangan, tanah tegalan/kebun, tanah ladang/huma,
tanah padang rumput, tanah rawa yang tidak ditanami, tambak/empang, lahan yang
sementara tidak diusahakan, tanaman kayu-kayuan, hutan negara, perkebunan, dan
lainnya. Dari rincian jumlah tersebut pada tahun 2013 penggunaan yang terluas adalah
hutan negara seluas 8.012 ha dari 22.100 ha seluruh luas penggunaan tanah di Kota
Baubau. Kemudian terluas kedua adalah tegal/ tanah perkebunan seluas 3.289 ha.
Ketiga adalah lainnnya seluas 2.938 ha.

Bab 2 | 4
Tabel 2.4 Luas Penggunaan Tanah menurut Kecamatan (ha) Tahun 2013
Kecamatan

Kokalukuna
Betoambari

Batupoaro

Sorawolio
Murhum

Lea-Lea
Wolio

Bungi
Penggunaan Tanah Jumlah

Tanah Sawah - - - - - 150 1.200 90 1.440


Pekarangan 132 428 110 110 137 250 156 386 1.709
Tegal/Kebun 65 19 - 1.301 454 1.025 169 256 3.289
Ladang/Huma 172 7 - - 220 344 225 116 1.084
Padang rumput 368 3 - - - - 10 28 409
Rawa yang ditanami - - - - 11 41 15 - 67
Kolam/tambak - - - - - 1 34 - 35
Sementara tidak
273 15 - - - 150 71 119 628
diusahakan
Lahan tanaman
32 3 - - - 300 212 171 718
kayu-kayuan
Hutan negara - - - - - 5.860 1.742 410 8.012
Perkebunan rakyat 172 3 - 300 105 150 463 578 1.771
Lainnya 1.575 12 45 22 17 54 474 739 2.938
Jumlah 2.789 490 155 1.733 944 8.325 4.771 2.893 22.100
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Terdapat 8 komoditas utama pertanian yang meliputi padi sawah, padi ladang, jagung,
ubi kayu, ubi jalar, kacang kedelai, kacang tanah dan kacang hijau. Tanaman padi
sawah pada tahun 2013 memiliki luas panen 2.519 ha dengan hasil produksi sebesar
13.657,20 ton. Lokasi penanaman padi terkonsentrasi pada 3 kecamatan yakni
Kecamatan Sorawolio dengan luas panen sebesar 19 ha serta hasil produksi sebesar
72,20 ton, Kecamatan Bungi dengan luas panen 2.335 ha serta hasil produksi sebesar
12.842,5 ton, dan Kecamatan Lea-lea dengan luas panen 165 ha serta hasil produksi
sebesar 742,50 ton. Pada tahun 2013, luas panen tanaman jagung mencapai 215 ha
dengan hasil produksi sebesar 528,70 ton, dengan demikian terjadi penurunan hasil
produksi sebesar 26,30 persen bila dibandingkan dengan hasil produksi pada tahun 2012
yang menghasilkan produksi sebesar 717,40 ton. Untuk tanaman kedelai mengalami
penurunan 100 persen baik luas panen maupun hasil produksinya dimana pada tahun
2013 tidak ada hasil produksi. Sementara untuk tanaman kacang tanah mengalami
peningkatan luas panen dan hasil produksi dibanding tahun 2012. Untuk tanaman ubi
kayu dengan luas panen 120 ha mencapai hasil produksi sebesar 1.112 ton dimana
terjadi penurunan hasil produksi tanaman ubi kayu sebesar 31,79 persen bila
dibandingkan dengan hasil produksi tahun 2012 yang mencapai 1.630,25 ton. Sementara
itu, tanaman ubi jalar mengalami peningkatan hasil produksi sebesar den 44,17 persen
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Bab 2 | 5
Tabel 2.5 Luas Panen (Ha), Produksi (Ton), dan Produktivitas (kg/ha) 8 Komoditas Utama Pertanian
Padi Sawah Padi Ladang Jagung Kedelai
Kecamatan Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk-
Produksi Produksi Produksi Produksi
Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas
Betoambari - - - - - - 34 78,20 23,00 - - -
Murhum - - - - - - 5 10,00 20,00 - - -
Batupoaro - - - - - - - - - - - -
Wolio - - - - - - 49 122,50 25,00 - - -
Kokalukuna - - - - - - 10 21,00 21,00 - - -
Sorawolio 19 72,20 38 202 727.20 36,00 39 101,40 26,00 - - -
Bungi 2334 12.842,50 55 - - - 12 24,00 20,00 - - -
Lea-Lea 165 742,50 45 - - - 66 171,60 26,00 - - -
Kota Batubau
2013 2.519 13.657,20 54,22 202 727,20 36,00 215 528,70 24,59 - - -
2012 2.344 10.652,40 45,45 342 1.162,80 34,00 312 717,40 22,99 4 4 10
2011 2.460 12.214,68 49,65 371 1.187,20 32,00 303 763,90 25,21 1 1 10
2010 2.516 12.364,70 39,00 346 891,85 28,10 198 446,42 23,10 4 4 10
2009 2.040 10.274,56 49,30 562 2.050,59 36,40 277 363,00 22,10 9 9 10

Tabel 2.5 Luas Panen (Ha), Produksi (Ton), dan Produktivitas (kg/ha) 8 Komoditas Utama Pertanian (Lanjutan)
Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar
Kecamatan Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk-
Produksi Produksi Produksi Produksi
Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas
Betoambari - - - - - - 20 184,00 92,00 8 48,00 60,00
Murhum - - - - - - 2 17,50 87,50 2 10,00 50,00
Batupoaro - - - - - - - - - - - -
Wolio 1 1,00 10,00 - - - 26 239,20 92,00 30 186,00 62,00
Kokalukuna 2 2,00 10,00 - - - 6 54,00 90,00 6 34,20 57,00
Sorawolio 7 7,00 10,00 1 0,95 9,50 9 81,90 91,00 7 42,00 60,00
Bungi 3 3,00 10,00 - - - 1 9,00 90,00 - - -
Lea-Lea - - - - - - 56 526,40 94,00 19 117,80 62,00

Bab 2 | 6
Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar
Kecamatan Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk-
Produksi Produksi Produksi Produksi
Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas
Kota
Batubau
2013 13 13,00 10,00 1 0,95 9,50 120 1.112,00 92,67 72 554,75 77,05
2012 5 5,00 10,00 3 2,85 9,50 178 1.630,25 91,59 64 384,80 60,12
2011 9 10,50 11,67 3 2,85 9,50 154 1.411,50 91,66 55 330,00 60,00
2010 10 4,50 9,00 1 0,95 9,50 132 1.265,04 94,90 31 186,50 59,00
2009 14 16,20 10,50 4 3,80 9,50 203 1.957,28 96,20 43 265,93 61,80

Bab 2 | 7
Data tanaman hortikultura yang disajikan pada Tabel 2.6 adalah tanaman sayur-sayuran
serta tanaman buah-buahan.
Tabel 2.6 Produksi Tanaman Hortikultura (kuintal)
Kecamatan

Kokalukuna
Betoambari

Batupoaro

Sorawolio
Murhum
Penggunaan

Lea-Lea
Wolio

Bungi
Jumlah
Tanah

Sayuran dipanen Berkali-kali


Kacang Panjang 14 - - 82 53 75 384 238 846
Cabe - - - 57 38 120 120 - 335
Tomat 14 - - 32 - 90 159 95 390
Terung - - - 49 19 - 439 241 748
Buncis - - - - 20 26 - 22 68
Ketimun - - - - - 34 140 137 311
Labu - - - - - - - - -
Kangkung - - - 15 42 91 555 244 947
Bayam - - - 23 47 93 110 42 315
Jumlah 28 - - 258 219 529 1.907 1.019 3.960
Sayuran dipanen Sekali
Bawang Daun - - - - - 88 - - 88
Kubis - - - - - 94 130 90 314
Petai/Sawi 59 - - 16 - 151 137 154 517
Jumlah 59 - - 16 - 333 267 244 919
Buah-Buahan
Alpokat 47 - - 13 29 19 61 - 169
Mangga 139 393 8 45 64 232 519 651 2.051
Rambutan - - - - 24 17 1.935 - 1.976
Jeruk 1 - 1 36 12 - 631 134 815
Jambu Biji 11 - 4 69 14 18 5 41 162
Jambu Air 1 - 5 28 14 33 - 77 158
Pepaya 116 25 11 235 45 477 217 360 1.486
Pisang 189 38 111 152 60 2.842 1.417 818 5.627
Nanas 2 3 - 5 4 31 9 9 63
Salak - - - 1 1 - - - 2
Sawo - 2 - - 3 - - - 5
Nangka 12 980 5 190 170 681 909 321 3.268
Sukun 7 - - 16 61 27 - 54 165
Belimbing 3 2 6 28 39 25 19 2 124
Sirsak 3 - 6 19 23 113 166 180 510
Jumlah 531 1.443 157 837 563 4.515 5.888 2.647 16.581
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Data jenis tanaman sayur-sayuran yang disajikan pada Tabel 2.6 terdiri dari dua
kelompok, yaitu: kelompok tanaman sayur-sayuran yang dipanen berkali-kali dan sayur-
sayuran yang dipanen sekaligus. Kelompok pertama terdiri dari sembilan jenis, yaitu:
Kacang Panjang, Cabe, Tomat, Terung, Buncis, Ketimun, Labu, Kangkung dan Bayam.

Bab 2 | 8
Sedangkan kelompok kedua terdiri dari 6 jenis tanaman, yaitu: Bawang Merah, Bawang
Putih, Bawang Daun, Kubis, Petsai/Sawi dan Kacang Merah. Pada tahun 2013 produksi
tanaman sayur-sayuran yang dipanen berkali-kali paling banyak adalah jenis kangkung,
kacang panjang dan terung, masing-masing sebanyak 947 kuintal, 846 kuintal dan 748
kuintal.

2.1.3.2 Perkebunan
Tanaman perkebunan rakyat yang diusahakan terdiri dari 13 komoditi. Produktifitas
rata-rata tanaman perkebunan pada tahun 2013 mengalami penurunan. Hasil
perkebunan yang paling menonjol pada tahun 2013 adalah tanaman jambu mete dengan
produksi sebesar 75,94 ton, kelapa dalam 20,77 ton. Untuk tanaman perkebunan lainnya
hanya mampu berproduksi dibawah 10 ton.
Tabel 2.7 Luas Areal Tanaman Perkebunan menurut Jenis Tanaman dan Tingkat
Produktivitas Lahan (ha)
Jenis Tanaman Produktif Belum Produktif Tidak Produktif Jumlah
Kelapa Dalam 106,00 20,50 7,00 133,50
Kopi 37,25 18,25 4,00 59,50
Kapuk 22,65 2,85 1,00 26,50
Lada 0,80 2,40 - 3,20
Cengkeh 1,00 - - 1,00
Jambu Mete 372,70 93,00 354,00 819,70
Kemiri 57,45 12,75 3,00 73,20
Coklat 102,00 23,75 43,25 169,00
Enau 9,50 3,00 1,25 13,75
Kelapa Hybrida 17,00 4,00 0,50 21,50
Asam Jawa 8,75 0,75 1,00 10,50
Pinang 1,30 0,10 - 1,40
Panili 1,00 2,00 1,00 4,00
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

2.1.3.3 Peternakan
Rata-rata jumlah populasi ternak besar dan kecil di Kota Baubau tahun 2013 mengalami
peningkatan dibandingkan tahun 2012. Populasi ternak di tahun 2013 seperti sapi dan
babi mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yakni masing-masing sebesar 0,06
persen dan 0,77 persen. Untuk ternak unggas yang mengalami peningkatan hanya ayam
kampung dari 138.626 ekor menjadi 139.594 ekor serta ayam ras dari 36.000 ekor.
menjadi 41.050 eko tahun 2013, sedangkan itik/itik manila mengalami penurunan
populasi dari 5.828 ekor menjadi 5.590 ekor.
Tabel 2.8 Populasi Ternak Besar dan Kecil menurut Kecamatan (Ekor)
Kecamatan Sapi Kambing Babi Jumlah
Betoambari 67 197 - 264
Murhum 90 257 - 347

Bab 2 | 9
Kecamatan Sapi Kambing Babi Jumlah
Batupoaro - - - -
Wolio 157 296 - 453
Kokalukuna 22 295 - 317
Sorawolio 325 338 - 663
Bungi 939 165 1.963 3.067
Lea-Lea 192 133 - 325
Kota Batubau
2013 1.792 1.681 1.963 5.436
2012 1.791 1.983 1.948 5.722
2011 1.657 1.801 1.883 5.341
2010 2.255 1.767 1.818 5.840
2009 2.168 1.694 1.699 5.561
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Tabel 2.9 Populasi Ternak Unggas menurut Kecamatan (Ekor)


Kecamatan Ayam Kampung Ayam Ras Itik Jumlah
Betoambari 23.295 6.000 452 29.747
Murhum 12.333 11.600 811 24.744
Batupoaro - - - -
Wolio 18.633 5.800 378 24.811
Kokalukuna 21.667 3.800 788 26.255
Sorawolio 27.229 1.950 304 29.483
Bungi 19.383 9.000 2.233 30.616
Lea-Lea 17.054 2.900 624 20.578
Kota Batubau
2013 139.594 41.050 5.590 186.234
2012 138.626 36.000 5.828 180.454
2011 134.590 33.500 5.825 173.915
2010 132.120 373.200 5.604 510.924
2009 146.455 354.000 6.428 506.883
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

2.1.3.4 Perikanan
Kegiatan penangkapan ikan dilaksanakan melalui berbagai usaha meliputi perikanan laut
dan usaha perikanan darat (perairan umum, tambak dan kolam). Produksi hasil
perikanan laut dan perikanan darat disajikan pada Tabel 2.10 dan Tabel 2.11. Produksi
perikanan laut dikelompokkan menjadi 3, antara lain: penagkapan Ikan, budidaya
rumput laut dan budidaya mabe. Di tahun 2013 usaha penangkapan ikan di laut
mencapai 7.885,79 ton, budidaya rumput laut 2.668,66 ton dan budidaya mabe sebesar
12,78 ton, sedangkan produksi perikanan darat mencapai 7,30 ton. Usaha perikanan
darat terletak di 3 kecamatan. Produksi ikan darat terbanyak terdapat di Kecamatan
Bungi dengan hasil 6,09 ton. Di Kecamatan Sorawolio sebesar 1,21 ton, sedangkan untuk
tahun 2013 di Kecamatan Lea-lea tidak ada produksi perikanan darat.

Bab 2 | 10
Tabel 2.10 Produksi Perikanan menurut Kecamatan (ton)
Perikanan Laut
Budidaya Budidaya Perikanan
Kecamatan Penangkapan Jumlah
Rumput Mabe Darat
Ikan
Laut
Betoambari 726,84 448,08 - - 1.174,94
Murhum 45,74 - - - 45,74
Batupoaro 3.116,94 235,04 - - 3.351,98
Wolio 165,90 - - - 165,90
Kokalukuna 1.434,17 - - - 1.434,17
Sorawolio - - - 1,21 1,21
Bungi - - - 6,09 6,09
Lea-Lea 2.396,20 1.985,54 12,78 - 4.394,52
Kota Batubau 7.885,79 2.668,66 12,78 7,30 10.574,53
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

2.1.4 Perdagangan

Sektor perdagangan merupakan salah satu sendi perekonomian yang dapat


menyumbangkan pemasukan yang berpengaruh bagi suatu daerah apabila daerah
tersebut memiliki potensi yang cukup besar. Kegiatan perdagangan terdiri dari
perdagangan ekspor dan impor serta perdagangan antar pulau, jenis komoditi yang
diperdagangkan meliputi hasil pertanian, pertambangan, industri, perkebunan,
perikanan, perternakan dan kehutanan, sedangkan untuk impor adalah barang modal
dan bahan baku industry.

Meskipun peranannya masih belum begitu dominan dalam perekonomian daerah, namun
melihat potensi posisi Kota Baubau yang strategis, kegiatan industri memiliki peluang
yang cukup besar untuk dikembangkan. Jenis industri yang dominan yaitu industri
pengolahan makanan dan minuman, pengolahan hasil perikanan (pembekuan ikan dan
pengalengan), industri pengolahan hasil perkebunan dan kehutanan (penggergajian,
meubel, dan gembol).

Jumlah total volume perdagangan sebesar 6.211,68 ton, 10 ekor, 7.277 m3 dan 238.966
buah. Jumlah tersebut terdiri dari 0,16 ton hasil tanaman pangan, 2.819,51 ton hasil
perkebunan, 10 ekor peternakan, 2.613,88 ton hasil perikanan, 567,13 dan 7.202 m3
hasil kehutanan, serta 193 ton, 238.966 buah dan 75 m3 dari industri. Komoditas
tanaman pangan yang diperdagangkan antar pulau adalah bawang merah dengan volume
0,16 ton dan nilainya Rp. 6.400.000 atau menurun sebesar 97,44 persen sebagaimana
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Bab 2 | 11
Tabel 2.11 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Bumi dan Laut menurut
Jenis Komoditas
Jenis Komoditas Satuan Volume Nilai (Rp. 000,-)
Tanaman Pangan Ton 0,16 6.400
Perkebunan Ton 2.819,51 23.431.410
Peternakan Ekor 10 120.000
Perikanan Ton 2.631,88 33.139.992
Ton 567,13 1.809.307
Hasil Kehutanan
m3 7.202 26.583.444
Ton 193 386.000
Industri Buah 238.966 1.462.594
m3 75 675.000
Ton 6.211,68 58.773.109
Jumlah Buah 10 120.000
m3 7.277 27.258.444
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Volume dan nilai perdagangan hasil komoditi perkebunan yang di perdagangkan tahun
2013 mencapai 2.819,51 ton dengan nilai Rp. 23.431.410.000, dimana komoditas kopra
penyumbang volume terbesar yaitu 1.847,93 ton dengan nilai Rp. 12.935.510.000.
Sedangkan nilai perdagangan terkecil dari komoditas buah pala dengan volumen 0,72
ton senilai Rp. 14.400.000.
Tabel 2.12 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perkebunan menurut Jenis
Komoditas
Volume Nilai
Jenis Komoditas
(ton) (Rp. 000,-)
Buah Pala 0,72 14.400
Jahe 2 4.000
Kopi 1,10 16.500
Kopra 1.847,93 12.935.510
Kacang Mete 26,06 1.823.850
Kelapa Biji 6 2.000
Mete Gelondongan 743,15 7.431.500
Biji Kemiri 81,45 366.525
Gula Merah 0,80 5.600
Biji Coklat 71,27 819.525
Asam 39,03 12.000
Jumlah
2013 2.819,51 23.431.410
2012 6.414,95 41.164.800
2011 3.419,62 27.467.479
2010 3.844,86 30.302.150
2009 7.474,88 46.309.664
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Pada sektor peternakan terdapat komoditas sapi/kerbau yang diperdagangan dengan


jumlah 10 ekor dan senilai Rp. 120.000.000. Tabel 2.13 memperlihatkan volume dan
nilai perdagangan antar pulau dari sektor perikanan. Jenis ikan bete-bete dan agar-agar

Bab 2 | 12
memiliki volume perdagangan yang sangat tinggi yaitu 1.144,04 ton dan 964,35 ton.
Meskipun volume aga-agar tidak banyak dibandingkan ikan bete-bete tapi nilai
penjualanya lebih tinggi yaitu 11.572.200 ribu rupiah, sedangkan ikan bete-bete hanya
576.152 ribu rupiah.
Tabel 2.13 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perikanan menurut Jenis
Komoditas
Nilai
Jenis Komoditas Satuan Volume
(Rp. 000,-)
Agar-agar ton 964,35 11.572.200
Biji Mutiara biji 19,45 583.500
Cumi-cumi Kering ton 140 5.600
Ikan Baronang ton 0,35 9.450
Ikan Beku ton 50 1.750
Ikan Bete-bete ton 1.144.04 576.152
Ikan Cakalang ton 206,80 2.068.000
Ikan Deho ton 595 2.380.000
Ikan Ekor Kuning ton 5,20 15.600
Ikan Kaha-kaha ton 8,25 20.625
Ikan Kakap Merah ton 1,00 3.000
Ikan Lansu ton 37,00 148.000
Ikan Layang ton 46,50 186.000
Ikan Segar Campuran ton 0,60 15.000
Ikan Tembang ton 58,05 290.225
Ikan Belah ton 4 100.000
Ikan Tongkol ton 48,25 193.000
Kulit Lokan ton 104,32 365.120
Kulit Mabe ton 2,15 7.525
Kulit Mutiara ton 3,49 20.940
Roci ton 23,84 476.700
Teri Biasa ton 105,39 2.107.800
Teri Masdak ton 230,30 10.361.205
Teripang Campuran ton 15,30 1.300.500
Tongkat Ikan Hiu ton 0,60 27.000
Udang ton 3,40 153.000
Udang Cuci/Pin ton 3,38 152.100
Jumlah
2013 ton 3.821,11 33.139.992
ton 3.704,73 40.886.590
2012
biji 15.800 316.000
ton 3.504,97 36.767.048
2011
biji 31.150 623.000
ton 4.088,34 35.595.384
2010
biji 35.590 711.800
ton 4.664,14 37.383.969
2009
biji 10.300 206.000
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Nilai hasil kehutanan yang diperdagangkan mencapai 1.809.207 ribu rupiah dengan
volume 567,13 ton dan 7.202 m3, dimana nilai terbesar berasal dari kayu jati olahan

Bab 2 | 13
yaitu dengan nilai 14.634.000 ribu rupiah sedangkan volume terkecil dari rotan polish
20,6 ton dengan nilai 195.700 ribu rupiah (Tabel 2.14).
Tabel 2.14 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Kehutanan menurut Jenis
Komoditas
Nilai
Jenis Komoditas Satuan Volume
(Rp. 000,-)
Kayu Jati Logs m3 1.139,00 3.075.300
3
Kayu Jati Olahan m 1.626,00 14.634.000
Kayu Rimba Olahan m3 4.437,00 8.874.144
Rotan Asalan ton 51,97 129.915
Rotan Batang ton 379,76 1.139.292
Rotan Polish ton 20,60 195.700
Kayu Cendana ton 114,80 344.400
Jumlah ton 567,13 1.809.307
2013 m3 7.202,00 26.583.444
ton 532,03 1.992.365
2012
m3 2.779,00 14.130.150
ton 704,07 2.455.126
2011
m3 3.145,00 20.589.607
ton 647,08 6.549.118
2010 3
m 2.963,00 25.921.800
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Volume perdagangan terbesar di sektor industri adalah dari jenis botol kosong sebesar
196.150 buah dengan nilai 196.150 ribu rupiah. Namun jika dilihat dari nilainya maka
jenis bantal memiliki nilai perdagangan yang tinggi yaitu 771.750.000 rupiah dengan
volume 30.870 ton.
Tabel 2.15 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Industri menurut Jenis
Komoditas
Nilai
Jenis Komoditas Satuan Volume
(Rp. 000,-)
Baja/Besi Beton ton 193 386.000
Bantal buah 30.870 771.750
3
Jati Olahan m 75 675.000
Kasur B1 buah 5.310 69.030
Kasur B2 buah 5.226 73.164
Kasur B3 buah 1.410 352.500
Botol Kosong buah 196.150 196.150
ton 193 386.000
Jumlah
buah 238.966 1.462.594
2013
m3 75 675.000
ton 0,12 1.044.000
2012
buah 13.290 1.663.475
ton 1,83 10.457.100
2011
buah 9.537,00 1.179.238
ton - -
2010
buah 16.085 1.937.250
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Bab 2 | 14
Tabel 2.16 menyajikan volume perdagangan antar pulau menurut pelabuhan tujuan
tahun 2013, dimana pelabuhan Surabaya merupakan tujuan terbanyak.
Tabel 2.16 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau menurut Pelabuhan Tujuan
Volume Nilai
Pelabuhan Tujuan Satuan
(ton) (Rp. 000,-)
Jakarta ton 202,14 12.661.775
ton 4.882,04 39.858.697
Surabaya 3
m 7.202 26.583.444
ton 202,82 3.241.360
Makassar
ekor 10 120.000
Lainnya ton 48,41 199.400
ton 5.287 55.761.832
Jumlah
m3 7.202 26.583.444
2013
ekor 10 120.000
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Tabel 2.17 menyajikan volume beras, gula pasir, tepung terigu dan jagung yang
disalurkan oleh Perum Bulog. Tahun 2013 hanya beras lokal yang disalurkan yaitu
sebanyak 7.260 ton. Kebijakan pemerintah dalam pembinaan koperasi ditujukan agar
koperasi menjadi lembaga yang kuat dan wadah utama untuk membina kemampuan
usaha golongan ekonomi lemah.
Tabel 2.17 Volume Beras, Gula Pasir, Tepung Terigu dan Jagung yang Disalurkan oleh
Perum Bulog Sub Divre Wil I di Kota Baubau (ton)
Tahun Beras Lokal Gula Pasir Jagung
2006 5.780,60 10,00 -
2007 5.850,60 - 14,39
2008 10.697,00 - -
2009 9.853,30 - -
2010 9.738,08 - -
2011 10.365,25 - -
2012 8.107.984,00 - -
2013 7.260,00 - -
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

2.1.5 Transportasi

2.1.5.1 Transportasi Darat


Panjang jalan tahun 2013 di Kota Baubau secara keseluruhan adalah 257,44 km, yang
terdiri dari jalan beraspal sepanjang 218,55 km atau 84,89 persen), dan Kerikil 38,89 km
atau 15,11 persen. Bila dilihat dari kondisinya, jalan yang dalam kondisi baik sepanjang
228,80 km, 22,49 km dalam kondisi sedang dan 6,15 km dalam kondisi rusak,
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.18.

Bab 2 | 15
Tabel 2.18 Panjang Jalan menurut Pemerintah yang Berwenang dan Jenis Permukaan
Jalan (Km)
Jenis Tahun Tinjauan Tahun Tinjauan
Status Jalan Kondisi
Permukaan 2012 2013 2012 2013
Diaspal 62,08 62,08 Baik 56,50 50,48
Kerikil - - Sedang 3,83 11,30
Jalan Negara Tanah - - Rusak 1,75 0,30
Lainnya - - Rusak Berat - -
Jumlah 62,08 62,08 Jumlah 62,08 62,08
Jalan Provinsi Jumlah - - Jumlah - -
Diaspal 137,76 156,47 Baik 170,72 178,32
Kerikil 49,99 38,89 Sedang 10,50 11,19
Jalan Kota Tanah - - Rusak 6,53 5,85
Lainnya - - Rusak Berat - -
Jumlah 187,75 195,36 Jumlah 187,75 195,36
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Sarana angkutan darat seperti kendaraan bermotor disamping dapat digunakan oleh
masyarakat sebagai angkutan penumpang, juga dapat digunakan sebagai angkutan
barang, baik barang produksi pabrik maupun barang hasil produksi pertanian dan hasil-
hasil lainnya. Pada Tabel 2.19 disajikan banyaknya kendaraan yang tercatat dan
terproses pada Samsat Kota Baubau. Jenis sarana angkutan tersebut meliputi mobil
penumpang sebanyak 202 buah, mobil barang sebanyak 947 buah, mobil bus sebanyak
1.584 buah dan sepeda motor sebanyak 21.347 buah.
Tabel 2.19 Banyaknya Kendaraan Bermotor menurut Jenis Kendaraan Terdaftar Pada
Samsat di Kota Baubau (unit)
Jenis Kendaraan 2009 2010 2011 2012 2013
Mobil Penumpang 187 285 335 314 202
- Sedan Non Taksi 28 46 45 48 45
- Jeep 59 102 90 100 111
- St. Wagon 100 137 200 166 46
Mobil Barang 597 605 480 613 947
- Truck barang 203 288 246 295 380
- Truck Trail - 15 - - -
- Truck Tangki 14 18 19 17 30
- Pemadam Api 3 - 4 2 5
- Pick Up 377 284 211 299 532
Mobil Bus 783 1.013 1.016 1.111 1.584
- Mikro Bus (12 Seats) 349 489 709 766 1.571
- Mini Bus (12-32 Seats) 407 501 301 343 9
- Bus (32 Seats) 27 23 6 2 4
Sepeda Motor 13.235 18.954 19.538 17.537 21.347
- Scooter 91 28 7.768 262 521
- Motor 13.144 18.926 11.770 17.275 10.826
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Bab 2 | 16
2.1.5.2 Transportasi Laut
Angkutan laut merupakan sarana perhubungan yang sangat penting dan strategis di Kota
Baubau yang merupakan pintu gerbang pelayaran antar pulau di wilayah Indonesia
bagian timur. Hal ini terlihat dari banyaknya kunjungan kapal pada pelabuhan di Kota
Baubau sebagaiman disajikan pada tabel 2.20 yang menggambarkan lalulintas kapal laut
dan Fery selama tahun 2013.
Tabel 2.20 Jumlah Kunjungan Kapal dan Penumpang menurut Jenis Pelayaran di Kota
Baubau
Penumpang
Jenis Pelayaran Call Kapal GRT
Turun Naik
Dalam Negeri 7.568 11.038.283 437.192 453.938
- Umum 2.691 6.631.813 285.031 297.521
- Rakyat 1.672 833.113 10.249 12.796
- Perintis 69 540.992 944 423
- Khusus Pertamina 255 1.299.699 - -
- Lainnya 2.881 1.732.736 140.968 143.198
Luar Negeri 84 2.261.325 - -
Jumlah
2013 7.652 13.299.608 437.192 453.938
2012 8.243 10.577.612 448.585 493.621
2011 8.067 8.426.850 445.723 500.100
2010 8.010 6.046.573 429.655 473.934
2009 7.928 6.151.180 414.833 510.414
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

Jumlah kunjungan kapal laut tahun 2013 tercatat sebanyak 7.652 kunjungan menurun
dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 8.243 kunjungan atau turun 7,17 persen.
Jumlah penumpang naik mencapai 453.938 orang, dan jumlah penumpang turun
sebanyak 437.192 orang. Jumlah penumpang naik mengalami penurunan sebanyak 8,04
persen, sedangkan jumlah penumpang turun juga mengalami penurunan sebesar 2,54
persen.

2.1.5.3 Transportasi Udara


Keberadaan bandar udara sebagai prasarana transportasi udara memberikan andil yang
cukup besar bagi perekonomian Kota Baubau. Dari Tabel 8.1.8 dapat diketahui bahwa
pada tahun 2013 kunjungan pesawat udara yang datang melalui Bandara Betoambari
mengalami penurunan menjadi 730 kali dengan jumlah penumpang datang sebanyak
41.529, sedangkan jumlah penumpang yang berangkat sebanyak 40.186 orang, dan
untuk bagasi melalui bandara Betoambari tahun 2013 mencapai 357.090 kg barang yang
dibongkar serta 259.286 kg untuk barang yang dimuat.

Bab 2 | 17
Tabel 2.21 Lalu Lintas Pesawat Terbang dan Penumpang melalui Pelabuhan Udara
Betoambari Tahun 2006 - 2013
Lalu Lintas Pesawat Penumpang (orang)
Tahun
Datang Berangkat Transit Datang Berangkat Transit
2006 6 6 - 50 53 -
2007 47 47 - 1.322 1.095 -
2008 243 243 - 6.805 4.710 -
2009 282 282 - 5.778 5.250 7
2010 1.224 1.224 2 37.058 34.872 2.810
2011 1.431 1.431 - 48.750 43.658 -
2012 1.471 1.471 - 57.988 56.773 -
2013 730 730 - 41.529 40.186 -
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

2.1.6 Pariwisata

Kota Baubau memiliki potensi wisata dan daya tarik wisata budaya dan wisata alam yang
cukup representatif untuk dikembangkan. Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota
Baubau juga sekaligus sebagai pusat Budaya Kesultanan Buton sehingga menjadikan Kota
Baubau memiliki obyek wisata dari peninggalan sejarah dan kebudayaan yang sangat
menarik bagi wisatawan lokal maupun macananegara.

Berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kota Baubau, kawasan


pariwisata dikelompokan menjadi 6 bagian yaitu:
1. Kota Lama, sebagai pusat pelayanan wisata untuk Kota Bau – Bau dan sekitarnya
serta wisata budaya berbasis pada bangunan tradisional dan pantai sebagai
penunjang, dengan obyek wisata meliputi Pantai Kamali, Malige, Batu Puaro, dan
Kota Lama.
2. Benteng, sebagai kawasan wisata budaya, dengan obyek wisata meliputi Benteng
Wolio dan Benteng Sorawolio.
3. Pantai sebagai kawasan wisata budaya alam berbasis pantai, dengan obyek wisata
meliputi Pantai Nirwana, Pantai Lakeba, Gua Lakasa, dan Gua Moko.
4. Bungi sebagai kawasan wisata alam berbasis air terjun dan ekologi hutan dan pantai
dengan obyek wisata meliputi Air Terjun Bungi, Pantai Kokalukuna, Air Terjun Tirta
Rimba, dan Hutan Wakonti.
5. Samparona sebagai kawasan wisata alam berbasis air terjun dan ekologi hutan
dengan obyek wisata meliputi Air Terjun Samparona dan Air Terjun Kantongara.
6. Pulau Makassar sebagai kawasan wisata budaya berbasis pemukiman dan tata cara
hidup nelayan serta pantai sebagai penunjang, dengan obyek wisata meliputi pulau
makassar.

Bab 2 | 18
Selain enam bagian potensi wisata di Kota Baubau yang telah ada saat ini, Kota Baubau
merupakan salah satu pintu gerbang utama menuju kawasan wisata Kepulauan Wakatobi
melalui lintas angkutan penyeberangan antar pulau yang menghubungkan Kota Baubau
dengan Pulau Kadatua Kabupaten Buton, Pulau Muna Kabupaten Muna dan Pulau
Wakatobi Kabupaten Wakatobi.

Pembangunan pariwisataan diarahkan pada peningkatan peran pariwisata dalam


kegiatan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan kerja serta kesempatan berusaha
dengan tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat serta penerimaan devisa. Upaya
yang dilakukan pemerintah adalah melalui pengembangan dan pendayagunaan berbagai
potensi kepariwisataan daerah, dan dampak yang ditimbulkan dari pembangunan
pariwisata di bidang ekonomi adalah meningkatnya pendapatan karena tercipta peluang
usaha. Jumlah hotel dan penginapan di Kota Baubau sebanyak 56 dengan jumlah kamar
sebanyak 757 dan jumlah tempat tidur sebanyak 1.032. Banyaknya tamu hotel bintang
dan non bintang tahun 2013 sebanyak 81.601 orang, yang terdiri dari 511 tamu asing dan
81.090 orang tamu dalam negeri. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa terjadi
peningkatan jumlah tamu dalam negeri sebesar 15,59 persen.

2.1.7 Perekonomian

Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
keadaan ekonomi suatu daerah dalam suatu periode tertentu. PDRB dihitung
berdasarkan harga berlaku dan harga konstan, dimana PDRB atas dasar harga konstan
digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.

Nilai PDRB Daerah Kota Baubau berdasarkan harga berlaku pada tahun 2012 sebesar
2.634.647,13 juta rupiah, sedangkan berdasarkan harga konstan sebesar 912.758,25 juta
rupiah dengan tahun dasar 2000. Penyajian PDRB menurut lapangan usaha dibagi
menjadi sembilan sektor, dan dirinci masing – masing menjadi sub sektor dengan
perkembangan setiap sektor sebagai berikut:
1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Sektor pertanian
mencakup sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan,
kehutanan dan perikanan. Sektor pertanian pada tahun 2012 memberikan kontribusi
sebesar 12,75 persen terhadap total PDRB Kota Baubau.
2. Pertambangan dan Penggalian Sektor ini terdiri dari 2 sub sektor yakni
pertambangan dan penggalian, dimana sub sektor pertambangan di Kota Baubau
memberikan kontribusi 0,68 persen terhadap total PDRB Daerah Kota Baubau.

Bab 2 | 19
3. Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan yang meliputi industri migas dan non
migas dalam hal ini industri makanan, tekstil, barang dari kayu, semen dan barang
galian bukan logam dan lain-lain pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar
2,43 persen terhadap total Produk Domestik Regional Bruto Daerah Kota Baubau.
4. Listrik, Gas dan Air Bersih Sektor ini merupakan sektor penunjang seluruh kegiatan
perekonomian di Daerah Kota Baubau. Produksi listrik sebagian besar dihasilkan oleh
Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan sebagian oleh listrik non PLN. Sedangkan air
bersih dihasilkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sektor ini pada tahun
2012 memberikan kontribusi sektoral sebesar 1,17 persen.
5. Konstruksi / Bangunan Sektor konstruksi/bangunan pada tahun 2012 memberikan
kontribusi sebesar 21,52 persen terhadap total PDRB Kota Baubau.
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor ini berperan sebagai penunjang kegiatan
ekonomi yang menghasilkan produk barang dan jasa. Secara keseluruhan pada tahun
2012 sektor ini memberikan kontribusi sektoral sebesar 26,73 persen.
7. Pengangkutan dan Komunikasi Sektor pengangkutan dan komunikasi memiliki
peranan sebagai pendorong aktivitas disetiap sektor ekonomi. Sektor ini pada tahun
2012 memberikan kontribusi sebesar 10,00 persen.
8. Keuangan Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor ini mencakup bank, lembaga
keuangan bukan bank, sewa bangunan dan jasa perusahaan disebut sektor finansial
karena secara umum kegiatan utamanya berhubungan dengan kegiatan pengelolaan
keuangan yang bersumber dari penarikan dana masyarakat maupun penyaluran
kembali. Sektor ini pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar 6,39 persen.
9. Jasa - jasa Sektor jasa-jasa meliputi pemerintahan umum dalam hal ini administrasi
pemerintahan dan jasa pemerintahan serta swasta yang mencakup sosial
kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi juga perorangan dan rumah tangga. Sektor
jasa–jasa memberikan kontribusi sebesar 18,32 persen terhadap total PDRB Daerah
Kota Baubau.

Berdasarkan harga konstan tahun 2000, PDRB Kota Baubau pada tahun 2007 sebesar
586.325 juta Rupiah. Sektor listrik, gas dan air bersih mengalami pertumbuhan tertinggi
yaitu sebesar 44 persen, diikuti oleh sektor bangunan sebesar 12 persen dan industri
pengolahan sebesar 11 persen. Secara keseluruhan pendapatan regional dikota Baubau
pada tahun 2007 naik sebesar 7,81 persen bila dibandingkan pada tahun 2006. Nilai
PDRB atas dasar harga konstan tersebut tersajikan pada Tabel 2.22 dan Gambar 3.4.
Tabel 2.22 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Kota
Baubau (Juta Rupiah)
No Sektor 2010 2011 2012 Proporsi 2012 (%)

Bab 2 | 20
No Sektor 2010 2011 2012 Proporsi 2012 (%)
1 Pertanian 64.202,98 65.486,03 66.596,84 7,30
2 Pertambangan dan Penggalian 5.145,29 6.027,71 7.055,97 0,77
3 Industri 32.096,18 34.192,70 36.463,40 3,99
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 7.702,06 8.310,74 9.834,74 1,08
5 Konstruksi 169.353,90 190.202,01 226.916,27 24,86
Perdagangan, Hotel, dan
6 169.891,09 188.502,34 207.084,37 22,69
Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi 85.570,42 92.506,52 97.517,77 10,68
Keuangan, Persewaan dan Jasa
8 54.482,16 67.493,06 72.646,19 7,96
Perusahaan
9 Jasa-jasa 175.541,71 182.726,76 188.642,70 20,67
Total 763.985,79 835.447,87 912.758,25 100,00
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014

2.2 PELABUHAN BAUBAU

Secara Geografis Pelabuhan Baubau terletak diantara 5027’16,5” Lintang Selatan sampai
122036’31,4” Bujur Timur, tepatnya Pelabuhan Baubau terletak di Kota Baubau bagian
selatan Sulawesi Tenggara, untuk lebih tepatnya Pelabuhan Baubau ini berada di Pulau
Buton yang terletak di Selat Buton dengan Pelabuhan Utama menghadap ke utara.

2.2.1 Fasilitas Pokok Pelabuhan

Status Pelabuhan Baubau adalah Pelabuhan yang tidak diusahakan yang diselenggarakan
oleh pengelolaan Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Baubau sebagai UPT Pusat.
Kondisi fasilitas pelabuhan yang ada saat ini pada dasarnya sangat memadai dengan
adanya penambahan dermaga tahun anggaran 2009-2012 dengan panjang total 120
meter. Fasilitas Pelabuhan Baubau secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.23 Fasilitas Pelabuhan di Pelabuhan Murhum Baubau
No Fasilitas Dimensi Keterangan
1 Daerah Kerja Daratan 8 Ha Tanah urugan
Tipe lantai beton, dengan tiang pancang
2 Dermaga I 180 x 12 m
beton
Tipe lantai beton, dengan tiang pancang
3 Dermaga II (Baru) 120 x 15 m
beton
Tipe lantai beton, dengan tiang pancang
Dermaga Finger I 50 x 10 m
beton D=400mm, dibangun tahun 2002
4 Tipe lantai beton, dengan tiang pancang
Dermaga Finger II 50 x 10 m beton D=400mm, dibangun tahun 2012
(sedang berjalan)
5 Trantel I 97 x 8 m Tipe beton dengan tiang beton D=450mm
6 Transtel II 123 x 8 m Tipe beton dengan tiang beton D=450mm
7 Causeway I 55 x 8 m Tipe Gravity Wall
8 Causeway II 30 x 8 m Tipe Gravity Wall
9 Causeway III 60 x 10 m Tipe Gravity Wall
10 Talud I P. 64 m Dinding Penahan Tanah

Bab 2 | 21
No Fasilitas Dimensi Keterangan
Talud II P. 130 m Dinding Penahan Tanah
Tipe beton dengan tiang Pancang Beton
11 Mooring Dolphin 2 unit
D=450mm
12 Kantor Pelabuhan 250 m2 Tipe struktur beton, kondisi cukup baik
13 Terminal Penumpang 780 m2 Tipe struktur beton, kondisi cukup baik
14 Gudang Nihil Tidak ada
15 Rumah Jaga (jalan masuk) 6 x 4 m Tipe struktur beton, kondisi cukup baik
16 Rumah Jaga (jalan keluar) - -
17 Lapangan Penumpukan 1.800 m2 Perkerasan dengan aspal kondisi cukup baik
Jalan – Utama I 94 x 11,5 m
18 Perkerasan dengan aspal kondisi cukup baik
Jalan – Utama II 32 x 6 m
Jalan – Extra 53 x 6,75 m
19 Areal Parkir 42 x 68 m Perkerasan dengan aspal kondisi cukup baik
Klinik Kesehatan Menumpang di terminal
20 12 m2
Pelabuhan
21 Karantina Tumbuhan 1 unit
22 Karantina Hewan -
Kantor Perusahaan
23 3 unit Menumpang pada terminal penumpang
Pelayaran
24 Kantor Buruh / TKBM 24 m3 Menumpang pada terminal penumpang
25 Bak air 300 m3 Kapasitas 90 ton/jam
26 Tangki BBM Tidak ada Memakai mobil tangki
27 Pagar 335 m3 Pagar BRC, kondisi cukup baik
28 Alat Bantu Navigasi 1 unit 1 lampu suar
29 Suplay Listrik 1.500 KVA PLN
30 Suplay Air 100 m3 PDAM
31 Telephone 2 line PT Telkom
32 SRP / Stasiun Radio SSB
Taman I 53 x 6,30 m
33
Taman II 33 x 6 m
34 Lapangan Penumpukan 68 x 64 m
Sumber: KUPP Pelabuhan Baubau, 2013

Pintu utama pelabuhan bagi orang dan kendaraan yang keluar masuk di pelabuhan
mengalami hambatan karena belum terpisahnya pintu pejalan kaki dan kendaraan yang
menyebabkan sering terjadi kemacetan pada pintu utama disaat kegiatan puncak yaitu
embarkasi dan debarkasi penumpang Kapal Pelni.

2.2.2 Armada Angkutan Laut

Berdasarkan data yang didapat dari KUPP Pelabuhan Baubau, potensi armada angkutan
laut yang dioperasikan di Pelabuhan Baubau memiliki jumlah yang sangat besar.
Terdapat 52 kapal yang beroperasi dengan trayek asal Baubau yang dikelola oleh
sebanyak sebelas perusahaan termasuk PT Pelni. Perusahaan-perusahaan tersebut
adalah:
1. PT Pelni

Bab 2 | 22
2. PT Dharma Lautan Utama
3. PT Dharma Indah
4. PT ASDP
5. PT Mira Cipta Sombu
6. PT Global Expres Lines
7. PT Aksar Saputra Lines
8. PT Boy Bahtera Mandiri
9. PT Fungka Permata Group
10. PT Uki Raya Lines
11. PT Wahyu Samudera Timur

Data lengkap mengenai nama kapal, lintasan trayek, serta kapasitas kapal disampaikan
pada Lampiran 1.

2.2.3 Angkutan Laut Pelabuhan Murhum Baubau

Di Pelabuhan Murhum, aktifitas angkutan yang terselenggara meliputi 3 akfititas


pelabuhan yang dicatat sebagai bagian dari aktifitas angkutan laut di Pelabuhan Murhum
Baubau yaitu Pelabuhan Umum Dalam Negeri, Pelabuhan Rakyat dan Pelabuhan Perintis.
Rekapitulasi aktifitas angkutan laut untuk kurun waktu 2010-2013 di Pelabuhan Murhum
ini dijabarkan pada Tabel 2.24 dan digambarkan pada Gambar 2.2-2.4.
Tabel 2.24 Aktifitas Angkutan Laut di Pelabuhan Murhum Baubau
Kapal Barang (T/M3) Penumpang (Org)
Tahun
Call Isi Kotor (GT) Panjang (m) Bongkar Muat Turun Naik
2007 4.260 3.168.789 98.602 93.844 31.164 346.613 450.231
2008 4.441 3.798.409 114.955 103.944 207.387 372.947 504.375
2009 4.941 3.648.801 128.701 133.585 196.147 414.833 511.414
2010 5.052 4.302.453 159.981 189.960 237.218 428.784 473.353
2011 5.232 4.702.322 80.333 228.476 238.074 447.673 500.140
2012 5.230 5.820.272 154.738 254.268 175.264 491.149 532.080
2013 5.593 5.902.455 143.694 290.555 266.239 491.071 519.139
2014 5.802 6.377.392 149.640 325.758 290.628 389.609 458.652
Sumber: KUPP Pelabuhan Baubau, 2015

Bab 2 | 23
Gambar 2.2 Produktifitas Angkutan Laut Pelabuhan Murhum

Gambar 2.3 Produktifitas Angkutan Barang Pelabuhan Murhum Baubau

Bab 2 | 24
Gambar 2.4 Produktifitas Angkutan Penumpang Pelabuhan Murhum

2.2.4 Angkutan Peti Kemas Pelabuhan Murhum

Angkutan peti kemas di Pelabuhan Baubau menunjukkan pertumbuhan yang cukup


besar, ditunjukan dengan data dalam kurun waktu 2010-2013, bongkar peti kemas
menunjukkan pertumbuhan rata-rata sebesar 37,73% (TEUS) / 42,14% (Ton) dan untuk
muat peti kemas, pertumbuhan dalam periode tersebut rata-rata sebesar 41,12% (TEUS)
/ 33,10% (Ton). Penjabaran mengenai data angkutan peti kemas di Pelabuhan Murhum
ini dijabarkan pada Tabel 2.25.
Tabel 2.25 Produktifitas Angkutan Peti Kemas di Pelabuhan Murhum
Bongkar Muat
Tahun
Teus Ton Kosong Teus Ton Kosong
2010 4.049 64.059 36 2.093 41.977 2.079
2011 5.634 90.867 21 2.958 59.115 2.383
2012 7.680 129.430 36 4.168 74.111 3.348
2013 8.580 137.199 0 5.252 86.568 3.401
2014 10.149 182.903 7 6.668 115.068 3.302
Sumber: KUPP Pelabuhan Baubau, 2015

Bab 2 | 25
Operasional Peti Kemas Pelabuhan Murhum Baubau
200,000
180,000
160,000
Bongkar (Teus)
140,000
Bongkar (Ton)
120,000
Bongkar (Kosong)
100,000
80,000 Muat (Teus)

60,000 Muat (Ton)

40,000 Muat (Kosong)

20,000
0
2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 2.5 Operasional Peti Kemas Pelabuhan Murhum Baubau

2.3 KEBUTUHAN PROYEK KPBU DI PELABUHAN BAUBAU

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengindikasikan bahwa


perlunya penyediaan infrastruktur pelabuhan sebagai tempat perpindahan intra dan
antar moda transportasi. Pembangunan pelabuhan tersebut harus direncanakan secara
tepat, memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian lingkungan dan
memperhatikan keterpaduan intra dan antar moda transportasi.

Pendekatan multi-dimensi yang diamanatkan oleh Undang-Undang diharapkan dapat


mendukung dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan
mobilitas manusia, barang dan jasa, membantu terciptanya konektivitas dan pola
distribusi nasional yang mantap dan dinamis serta meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Visi pembangunan dibidang kepelabuhanan ditetapkan sebagai berikut:
“Sistem kepelabuhanan yang efisien, kompetitif dan responsif yang mendukung
perdagangan internasional dan domestic serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan wilayah”.

Untuk memenuhi kebutuhan demand di Pelabuhan Murhum Baubau yang semakin


meningkat setiap tahunnya, serta untuk mendukung program jangka panjang dalam
konsep pembangunan pemerintah Kota Baubau yang bertujuan menjadikan Kota Baubau
Pintu Gerbang Ekonomi dan Pariwisata di Sulawesi Tenggara. Pelabuhan Baubau yang
merupakan salah satu pelabuhan dengan perkembangan kegiatan ekonomi yang lebih

Bab 2 | 26
pesat dibandingkan dua pelabuhan lainnya di Kota Baubau, selain itu Pelabuhan Murhum
Baubau memiliki status sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah
Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Melihat
status serta keberadaannya yang cukup vital bagi transportasi dan perekonomian maka
pemenuhan kebutuhan pergerakan di Pelabuhan Baubau perlu menjadi prioritas
pengembangan. Karena anggaran Pemerintah terbatas, maka perlu dibantu dari
anggaran/investasi swasta untuk mencukupi kebutuhan pendanaan penyediaan
infrastruktur secara berkelanjutan.

2.4 POTENSI KPBU DI PELABUHAN BAUBAU

Berdasarkan dokumen hasil Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan
BaubauSulawesi Tenggara, disampaikan mengenai potensi awal proyek KPBU di
Pelabuhan Murhum Baubau seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.26 Potensi (Awal) Proyek KPBU di Pelabuhan Baubau
No Tipe Proyek Karakteristik Opsi Skema KPBU Prioritas
- Permintaan mapan dan terus
meningkat
- Pengembangan usaha dagang
- BOT
- Kebutuhan lahan 
- Konsesi
Terminal reklamasi/flatform antara 2
1 - Manajemen Tinggi
Penumpang causeway
kontrak 
- Kebutuhan pembangunan gedung
privatisasi
baru
- Telah banyak diterapkan di
beberapa negara
- Permintaan terus meningkat
- Pasar yang mapan
- Dapat terisolasi dari kegiatan
pelabuhan umum - BOT
- Membutuhkan teknologi modern - Konsesi
Teminal Peti
2 untuk mencapai efisiensi - Manajemen Tinggi
Kemas
- Terbatasnya jumlah klien kontrak 
- Dapat dikembangkan dari operator privatisasi
eksisting
- Telah banyak diterapkan di
beberapa negara
- Aset jangka panjang yang tidak
menghasilkan tingkat
pengembalian menarik bagi sektor
swasta karena permintaan
3 Kargo Umum terbatas dan tarif rendah hybrid Rendah
- Pendapatan biasanya menyebar
dan sulit untuk dikumpulkan.
- Dapat dikembangkan sebagai pola
awal pengenalan KPBU
Penyediaan dan - Terlalu kecil untuk
4 hybrid Sedang
pelayanan dipertimbangkan sebagai JV /

Bab 2 | 27
No Tipe Proyek Karakteristik Opsi Skema KPBU Prioritas
peralatan BOT.
pelabuhan - Secara kolektif, masih kurang
(cranes dan besar nilainya sebagai BOT.
gantry) - Sulit untuk diisolasi dari kegiatan
pelabuhan lainnya.
- Keterbatasan lahan di kawasan
pelabuhan
- Sering dilakukan oleh perusahaan
5 Pergudangan swasta yang memberikan layanan BOT Sedang
kepada perusahaan pengguna jasa
pengiriman.
- Nilai terlalu kecil untuk BOT.
- Frekuensi kapal yang masih rendah
- Pada umumnya, nilai terlalu kecil
Pelayanan tunda sebagai BOT/JV. Manajemen
6 Sedang
dan pandu - Investasi kapal yang cukup tinggi kontrak
- Kebutuhan tenaga spesialis
menetap.
- Frekuensi kapal yang masih rendah
- Pada umumnya, nilai terlalu kecil
Supply air bersih sebagai BOT/JV. - Perusda (PDAM)
7 dan air minum - Pemanfaatan fasilitas yang telah - Kontrak Sedang
kapal ada pelayanan
- Kebutuhan supply air yang
menerus
- Fokus pada keselamatan pelayaran
Pengelolaan - Investasi awal cukup tinggi
8 Kontrak pelayanan Rendah
SBNP - Tidak ada pendapatan secara
langsung
Aset yang sangat jangka panjang
atau pengembangan yang belum
9 Reklamasi lahan dapat menghasilkan keuntungan Pemerintah Rendah
yang memadai bagi investor sektor
swasta

2.5 INFRASTRUKTUR YANG AKAN DIBANGUN DENGAN SKEMA KPBU

Dari hasil identifikasi pada Tabel 2.27 di atas, serta perhitungan awal kelayakan studi,
maka ditentukan proyek yang memiliki prioritas tinggi untuk dilaksanakan proyek KPBU
di Pelabuhan Bau Bau adalah Pembangunan Terminal Peti Kemas dan Multipurpose
dengan beberapa informasi kegiatan sebagai berikut:
a. Proyek Kerjasama Permerintah Swasta untuk Penyelenggaraan Terminal Peti Kemas
Pelabuhan Baubau meliputi perencanaan, pengelolaan, pembangunan dan
operasional terminal peti kemas termasuk prasarana dan sarana yang ada
didalamnya.
b. Pelayanan jasa peti kemas di Terminal Peti Kemas Pelabuhan Baubau termasuk hak
untuk menetapkan tarif pelayanan dermaga Peti Kemas yang meliputi:

Bab 2 | 28
1) Kegiatan operasi kapal, terdiri atas:
a) Kegiatan dermaga
b) Stevedoring
c) Haulage/trucking
d) shifting
e) buka tutup palka
f) lift on/lift off
2) Kegiatan operasi lapangan, terdiri atas:
a) penumpukan
b) lift on/lift off
c) gerakan ekstra
d) relokasi
e) angsur
3) Kegiatan operasi container freight station, terdiri atas:
a) stripping/ stuffing
b) penumpukan
c) penerimaan penyerahan
4) kegiatan pelayanan tambahan, terdiri atas:
a) biaya administrasi nota
b) biaya inter terminal transfer
c) biaya SPP (Surat Penyerahan Petikemas)
d) biaya kartu ekspor
e) biaya hi-co scan
f) biaya hi-co scan with behandle
g) biaya stack awal (biaya penumpukan plus gerakan ekstra)
h) biaya batal transaksi
i) biaya after closing time
j) biaya administrasi IT System
k) biaya PLP (Pindah Lokasi Penumpukan)
l) biaya site office
m) biaya monitoring/supervisi

2.6 PELABUHAN BAUBAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA BAUBAU

Pelabuhan Baubau dalam Peraturan Daerah Kota Baubau Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Baubau Tahun 2011-2030 adalah Pelabuhan

Bab 2 | 29
Pengumpan skala regional dengan alur pelayaran regional yang menghubungkan
Pelabuhan Baubau dengan pelabuhan regional dan pelabuhan nasional lainnya.

Berdasarkan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi laut untuk tatanan


kepelabuhanan, mengikuti ketentuan:
1. Kegiatan yang diperbolehkan untuk pelabuhan umum meliputi kegiatan: operasional
pelabuhan, pembangunan prasarana dan sarana penunjang pelabuhan, dan
pengembangan kawasan pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain yang disebutkan
pada nomor 1 yang berada di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah
Lingkungan Kepentingan Pelabuhan, dengan syarat harus mendapat izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan Raperda RTRW Kota Baubau
3. Kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan yang dapat mengganggu kegiatan
di Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan
Pelabuhan, dan jalur transportasi laut.

2.7 RESUME RENCANA INDUK PELABUHAN BAUBAU

Rencana pengembangan fasilitas Pelabuhan Baubau didasarkan pada dokumen Rencana


Induk Pelabuhan yang memuat rencana pengembangan jangka pendek, menengah dan
panjang. Tahapan pengembangan dalam Dokumen Rencana Induk tersebut merupakan
pegangan dalam pengembangan prasarana, sarana maupun fasilitas pendukung pada
pelabuhan.

Bab 2 | 30
Tabel 2.27 Rekapitulasi Pengembangan Sarana dan Prasarana Pelabuhan Baubau

Sumber: Dokumen Draft Rencana Induk Pelabuhan Baubau

Bab 2 | 31
Bab 3 Kajian Hukum dan
Kelembagaan
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

3.1 ANALISA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

3.1.1 Aspek Hukum Kepelabuhanan

3.1.1.1 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran


Dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran daerah untuk
kabupaten/kota yang berskala kabupaten/kota, terdapat beberapa beberapa definisi
yang berhubungan dengan Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan
Baubau Sulawesi Tenggara dijabarkan seperti yang disebutkan oleh pasal sebagai
berikut:
Pelayaran dikuasai oleh Negara dan pembinaannya oleh pemerintah,
pembinaan tersebut meliputi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Pengaturan sebagaimana yang dimaksud meliputi kebijakan umum dan
teknis, antara lain, penentuan norma, standar, pedoman, kriteria,
perencanaan, dan prosedur termasuk keselamatan dan keamanan pelayaran
serta perijinan. Pengendaliaan yang dimaksud adalah pemberian arahan,
bimbingan, pelatihan, perijinan, sertifikasi, serta teknis dibidang
pembangunan dan pengoperasian. Pengawasan yang dimaksud adalah
meliputi pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan
aturan perundang-undangan termasuk dalam tindakan korektif dan
penegakan hukum. Pembinaan yang dimaksud adalah dengan memperhatikan
seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan. Pemerintahan daerah
melakukan pembinaan pelayaran sesuai dengan kewenangannya.

Dalam Undang-Undang 17/2008 tentang Pelayaran disebutkan bahwa Penyelenggaraan


Pelabuhan dilaksanakan oleh pemerintah, dan Badan Usaha Pelabuhan berperan sebagai
operator yang mengoperasikan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya. Penyelenggara
pelabuhan berperan sebagai wakil pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk
lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di
pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian, dimana pemberian konsesi tersebut
dilakukan melalui mekanisme pelelangan. Pasal inilah yang dapat menjadi dasar hukum
untuk pelaksanaan skema Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam
penyelenggaraan/pengusahaan pelabuhan.

Bab 3 | 1
3.1.1.2 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan
Beberapa poin yang diatur dalam Peratuan Pemerintah 61 tahun 2009 yang tentang
Kepelabuhan khususnya yang ada hubungannya dengan penyelenggaraan kegiatan atau
pengusahaan pelabuhan dijabarkan sebagai berikut:
 Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas: penyediaan dan/atau pelayanan
jasa kapal, penumpang, dan barang; dan jasa terkait dengan kepelabuhanan. (Pasal
68)
 Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang,dan barang terdiri atas:
a. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat;
b. penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih;
c. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau
kendaraan;
d. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan
bongkar muat barang dan peti kemas;
e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang,
alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan;
f. penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah
kering, dan ro-ro;
g. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang;
h. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang;
dan/atau
i. penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal.
 Kegiatan-kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang,dan
barang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan.
 Penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan meliputi:
a. Penyediaan fasilitas penampungan limbah;
b. penyediaan depo peti kemas;
c. penyediaan pergudangan;
d. jasa pembersihan dan pemeliharaan gedung kantor;
e. instalasi air bersih dan listrik;
f. pelayanan pengisian air tawar dan minyak;
g. penyediaan perkantoran untuk kepentingan pengguna jasa pelabuhan;
h. penyediaan fasilitas gudang pendingin;
i. perawatan dan perbaikan kapal;
j. pengemasan dan pelabelan;
k. fumigasi dan pembersihan/perbaikan kontainer;

Bab 3 | 2
l. angkutan umum dari dan ke pelabuhan;
m. tempat tunggu kendaraan bermotor;
n. kegiatan industri tertentu;
o. kegiatan perdagangan;
p. kegiatan penyediaan tempat bermain dan rekreasi;
q. jasa periklanan; dan/atau
r. perhotelan, restoran, pariwisata, pos dan telekomunikasi.

 Kegiatan-kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan


kepelabuhanan dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau
badan usaha.
 Badan Usaha Pelabuhan dapat melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan
jasa kapal, penumpang,dan barang pada 1 (satu) atau beberapa terminal dalam 1
(satu) pelabuhan. (Pasal 71)
 Dalam kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan,
penyelenggara pelabuhan dapat melakukan kerjasama dengan orang perseorangan
warga negara Indonesia dan/atau badan usaha. (Pasal 76)

3.1.1.3 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2015 menjelaskan jenis PNBP yang berlaku pada
lingkungan Kementerian Perhubungan yang meliputi jasa transportasi darat, laut, udara
serta pendidikan dan pelatihan. Jasa transportasi laut sendiri, dibagi kedalam 4 jenis
jasa pelayanan yakni:
1. Jasa Kepelabuhanan, terdiri dari:
a. Jasa Pelayanan Kapal, (labuh, pandu, tunda dan tambat)
b. Jasa Pelayanan Barang (bongkar, muat, penumpukan petikemas, gudang)
c. Jasa Pelayanan Alat
2. Jasa Navigasi, terdiri dari:
a. Jasa Bantu Navigasi Pelayaran
b. Sewa Fasilitas Galangan Navigasi
c. Jasa Telekomunikasi Pelayaran
3. Penerimaan Uang Perkapalan, terdiri dari:
a. Pemeriksaan, pengujian dan sertfikasi keselamatan kapal
b. Pengukuran kapal
4. Jasa Angkutan Laut:

Bab 3 | 3
a. Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL)
b. Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus (SIOPSUS)

Adapun point-point penting dalam pasal 6 menjelaskan jasa-jasa yang berkaitan dengan
jasa transportasi laut, yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Besaran tarif jasa pemanduan di luar perairan wajib pandu dan perairan pandu luar
biasa dikenakan tarif PNBP sesuai dengan tarif jasa pemanduan di pelabuhan umum.
2. Besaran tarif jasa pemanduan di luar perairan wajib pandu dan perairan pandu luar
biasa tersebut, tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi.
3. Biaya akomodasi dan tansportasi tersebut dibebankan kepada wajib bayar yang
meminta jasa pemanduan sesuai dengan peraturan perundangan.

3.1.1.4 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 63 Tahun 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Otoritas Pelabuhan
Dalam Undang-undang nomor 63 tahun 2010 tentang organisasi dan tata kerja kantor
otoritas pelabuhan yang berhubungan dengan studi ini adalah sebagai berikut:
1. Kantor Otoritas Pelabuhan mempunyai tugas melaksanakan, pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan kepelabuhan pada pelabuhan yang diusahakan
secara komersial (pasal 2).
2. Kantor otoritas pelabuhan menyelenggaraan fungsi seperti penyusunan rencana
kerja, program dan desain, analisis dan evaluasi penyediaan dan pemeliharaan
fasilitas pelabuhan, penahan gelombang, pengerukan kolam pelabuhan dan alur
pelayaran, reklamasi serta jaringan jalan dan sarana bantu navigasi pelayaran,
sarana dan prasarana jasa kepelabuhanan. Pelaksanaan pegaturan, pengendalian,
dan pengawasan kegiatan lalu lintas dan angkatan laut serta penjaminan arus
barang di pelabuhan. Pelaksanaan dan pengawasan penggunaan lahan daratan dan
perairan, fasilitas dan pengoperasian pelabuhan, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr),
dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan serta keamanan dan
ketertiban keamanan (Pasal 3 dan pasal 9).
3. Beberapa program persiapan, antara lain: Penyiapan bahan penyusunan rencana
kerja, penyiapan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan, penyiapan bahan
penetapan standar kinerja operasional pelayanan jasa pelabuhan, penyiapan bahan
rencana pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan jasa
kepelabuhanan, penyiapan bahan penyusunan rencana desain konstruksi fasilitas
pokok pelabuhan dan fasilitas penunjang kepelabuhanan, penyiapan bahan
penyusunan program pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana

Bab 3 | 4
pelayanan jasa kepelabuhanan, penyiapan bahan analisa dan evaluasi
pembangunan, penyiapan bahan penyusunan dan pengusulan tarif (pasal 10).

3.1.2 Aspek Hukum Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha di bidang Infrastruktur
Pelabuhan

3.1.2.1 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 2010 tentang Panduan


Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur Transportasi
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 2010 tentang Panduan Pelaksanaan
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Transportasi
mengatur mengenai:
1. Penyediaan Infrastuktur adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk
membangun dan meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan
pengelolaan infrastuktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka
meningkatkan kemanfaatan infrastuktur.
2. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) adalah kerjasama pemerintah dengan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Koperasi
3. Perjanjian kerjasama adalah kesepakatan yang tertulis untuk Penyediaan
Infrastruktur antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha
yang ditetapkan melalui pelelangan Umum.
4. Proyek Kerjasama adalah Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan melalui Perjanjian
Kerjasama atau pemberian Izin Pengusahaan antara Menteri/ Kepala
Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha.
5. Dukungan Pemerintah adalah kontribusi fiskal ataupun non fiskal yang diberikan oleh
Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dan/atau Menteri Keuangan sesuai
kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam
rangka meningkatkan kelayakan finansial Proyek Kerjasama.
6. Jaminan Pemerintah adalah kompensasi finansial dan/atau kompensasi dalam bentuk
lain yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Badan Usaha melalui skema
pembagian risiko untuk Proyek Kerjasama.
7. Untuk mengetahui kelayakan KPS, Prastudi Kelayakan dilakukan melalui evaluasi dari
sisi ekonomi dan finansial proyek KPS. Output dari Hasil evaluasi tersebut berupa:
a. Layak ekonomi dan finansial marginal
Kategori kelayakan ini membutuhkan dukungan atau jaminan pemerintah berupa
dukungan fiskal dan non fiskal (perizinan). Fiskal dalam hal ini berupa tanah dan

Bab 3 | 5
infrastruktur dasar yang telah disetujui dalam RKAKL Kementerian Perhubungan
dalam bentuk DIPA (Daftar Isian Pengguna Anggaran).
b. Layak ekonomi dan finansial Kategori ini tidak membutuhkan dukungan fiskal
dari Pemerintah.
8. Usulan proyek yang sudah dinyatakan layak dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya
yaitu konsultasi publik dan market sounding. Proses konsultasi publik dilakukan pada
tahap penyusunan prastdudi kelayakan dengan pemangku kepentingan. Proses
konsultasi publik dilakukan dalam bentuk penyebarluasan informasi pada PPP Book.
9. Semua proyek KPS infrastruktur di Sektor Transportasi harus dilakukan melalui
proses pelelangan yang kompetitif yang didahului proses struktural pada umumnya
termasuk proses pra-kualifikasi meliput.
10. Bentuk Kerja Sama merupakan tinjauan agar kemitraan KPS distrukturkan untuk
mengoptimalkan nilai bagi publik dan pada saat yang bersamaan tidak mengurangi
minat dari mitra swasta. Pada umumnya, Bentuk Kerja Sama ini dilakukan sebagai
bagian dari Studi Kelayakan.

Adapun bentuk-bentuk kerjasama secara garis besar dibagi menjadi:


1. bangun-milik-guna (build-own-operate);
2. bangun-milik-guna-serah (build-own-operate-transfer);
3. bangun-guna-serah (build-operate-transfer);
4. bangun-serah-guna (build-transfer-operate);
5. rehabilitasi-guna-serah (rehabilitate-operate-transfer);
6. kembangkan-guna-serah (develope-operate-transfer); dan
7. bentuk-bentuk kerjasama lainnya.

3.1.2.2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2010 tentang Pembentukan


Simpul Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)
Beberapa point penting yang dalam Peraturan Menteri Pehubungan Nomor 90 Tahun
2010 yang menjelaskan mengenai simpul KPS dijabarkan sebagai berikut:
1. Simpul KPS Kementerian Perhubungan merupakan unit kerja fungsional yang
bertanggung jawab kepada Menteri.
2. Simpul KPS dibentuk untuk pemberdayaan organisasi unit kerja di lingkungan
Kementerian Perhubungan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing dalam
penyedian dan pembangunan infrastruktur melalui mekanisme KPS;

Bab 3 | 6
3. Simpul KPS mempunyai tugas untuk menyiapkan perumusan kebijakan, sinkronisasi,
koordinasi, pengawasan dan evaluasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur
dengan skema KPS.
4. Simpul Kerjasama Pemerintah Swasta Kementerian Perhubungan akan dievaluasi
secara berkala disesuaikan dengan perkembangan Iingkungan strategisyang terjadi
5. Simpul KPS sebagaimana dimaksud terdiri atas Pengarah dan Pelaksana Pengarah
meliputi:
a. Ketua: Menteri Perhubungan;
b. Wakil Ketua: Wakil Menteri Perhubungan;
c. Sekretaris: Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan;
d. Anggota:
1) Direktorat Jendral Perhubungan Darat
2) Direktorat Jendral Perhubungan Laut
3) Direktorat Jendral Perhubungan Udara
4) Direktorat Jendral Perkeretaapian
5) Kepala Badan Pengembangan Sumber DayaManusia Perhubungan;
6) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan; dan
7) Staf Ahli Bidang Ekonomi dan KemitraanPerhubungan. Pelaksanan meliputi:
e. Ketua Harian: Kepala Pusat Kajian Kemitraan dan Pelayanan Jasa Transportasi;
f. Wakil Ketua I: Kepala Biro Perencanaan;
g. Wakil Ketua II: Kepala Biro Hukum & KSLN;
h. Koordinator:
1) Perencanaan Proyek Kerjasama: Kepala Biro Perencanaan;
2) Penyiapan Prastudi Kelayakan Proyek Kerjasama: Kepala PKKPJT;
3) Transaksi Proyek Kerjasama:
a) Transportasi Darat: Sekretaris Ditjen Perhubungan Darat;
b) Transportasi Laut: Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut;
c) Transportasi Udara: Sekretaris ditjen Perhubungan Udara;
d) Transportasi Perkeretaapian: Sekretaris Ditjen Perkeretaapian;
e) Prasarana/ Sarana Pengembangan SDM Perhubungan: Sekretaris Badan
Pengembangan SDM Perhubungan
4) Manajemen Perjanjian Kerjasama
a) Transportasi Darat: Direktur LLASOP Oitjen Perhubungan Darat dan
Direktur LLAJ Ditjen Perhubungan Darat;
b) Transportasi Laut: Direktur Pelpeng Ditjen Perhubungan Laut;
c) Transportasi Udara: Direktur Bandara Ditjen Perhubungan Udara;

Bab 3 | 7
d) Transportasi Perkeretaapian Direktur LLAKA Oitjen Perkeretaapian;
Prasarana/Sarana Pengembangan SDM Perhubungan Kapus Pengembangan
SDM Perhubungan Darat danPerkeretaapian, Kapus Pengembangan
SDMPerhubungan Laut, Kapus Pengembangan SDM Perhubungan Udara.
5) Anggota:
a) Kepala Biro Keuangan dan Perlengkapan
b) Kepala Data dan Informasi
c) Kepala Komunikasi Publik

3.1.3 Aspek Pendirian Perusahaan dalam rangka Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha

Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“Perpres 38/2015”) dan Peraturan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (“Permen PPN 4/2015”) mengamanatkan
pemenang pelelangan dalam proyek KPBU untuk mendirikan badan usaha pelaksana.
Badan usaha pelaksana selanjutnya akan menandatangani perjanjian kerjasama dengan
penangung jawab perjanjian kerjasama (“PJPK”) dan bertanggung jawab dalam
pelaksanaan proyek.

Perpres 38/2015 dan Permen PPN 4/2015 mengamanatkan badan usaha pelaksana
berbentuk perseroan terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut maka pendirian badan
usaha pelaksana akan tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (“UU 40/2007”).

Terdapat beberapa ketentuan dalam UU 40/2007 yang perlu dipertimbangkan dalam


pembentukan badan usaha pelaksana sebagai berikut:
1. Jangka waktu berdirinya badan usaha pelaksana
Pasal 6 UU 40/2007 mengatur bahwa suatu perseroan terbatas dapat didirikan untuk
jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran
dasar. Dalam kaitannya dengan Proyek, badan usaha pelaksana dibentuk untuk
melaksanakan Proyek dengan jangka waktu perjanjian yang telah ditentukan oleh
PJPK, oleh karenanya badan usaha pelaksana harus memiliki jangka waktu pendirian
yang meliputi seluruh jangka waktu perjanjian kerja sama berikut dengan
perpanjangannya.

Bab 3 | 8
2. Pemegang saham badan usaha pelaksana
Pasal 7 UU 40/2007 mengatur bahwa perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau
lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Dalam kaitannya
dengan proyek KPBU, dalam hal peserta lelang merupakan konsorsium maka sesuai
dengan ketentuan Perpres 38/2015 dan Permen PPN 4/2015 maka seluruh anggota
konsorsium harus menjadi pemegang saham dalam badan usaha pelaksana sesuai
dengan porsi ekuitas yang telah ditentukan dalam perjanjian konsorsium.

Dalam hal ini perlu juga diperhatikan ketentuan dalam Pasal 22 (1) j 2) e) Peraturan
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 19 Tahun
2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“Perka LKPP 19/2015”) yang
mengatur bahwa pimpinan konsorsium harus menguasai mayoritas ekuitas dari badan
usaha pelaksana yang dibentuk oleh pemenang pelelangan. Adapun pimpinan
konsorsium dapat lebih dari 1 (satu) badan usaha.

Ketentuan dalam UU 40/2007 tersebut di atas juga membawa konsekuensi bahwa


dalam hal pemenang lelang merupakan badan usaha tunggal maka badan usaha
tunggal tersebut tidak akan dapat membentuk badan usaha pelaksana. Di sisi lain,
melarang badan usaha tunggal sebagai peserta lelang juga tidak tepat karena Perka
LKPP 19/2015 telah mengatur bahwa badan usaha tunggal dapat menjadi peserta
dalam pelelangan KPBU. Oleh karenanya dalam dokumen pelelangan perlu diatur
mekanisme atau ketentuan yang khusus mengatur mengenai pembentukan badan
usaha pelaksana oleh peserta yang merupakan badan usaha tunggal, yaitu dengan
memberikan kesempatan kepada badan usaha tunggal tersebut untuk melibatkan
pihak lain sebagai pemegang saham sehingga memenuhi syarat pendirian perseroan
terbatas dalam UU 40/2007. Namun demikian karena pihak lain tersebut tidak ikut
dalam proses prakualifikasi dan pelelangan maka jumlah saham dari pemegang
saham lain tersebut harus diatur seminimal mungkin sehingga tidak mereduksi
tujuan dari prakualifikasi dan pelelangan yang telah dilakukan.

3. Status badan hukum dari badan usaha pelaksana


Pasal 7 ayat 4 UU 40/2007 mengatur bahwa suatu perseroan memperoleh status
badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (“Menkumham”) mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.

Bab 3 | 9
Sehubungan dengan pendirian dan status badan hukum dari badan usaha pelaksana,
perlu juga diperhatikan ketentuan dalam Lampiran Permen PPN 4/2015 yang
mengatur bahwa badan usaha pelaksana harus telah didirikan secara sah paling
lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan pemenang pelelangan selanjutnya
perjanjian KPBU harus ditandatangani oleh Penanggung Jawab Proyek Kerjasama
(“PJPK”) dan badan usaha pelaksana selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari
kerja setelah terbentuknya badan usaha pelaksana (Bab IV E 1. b. dan c.).

Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas maka penandatanganan perjanjian


kerjasama antara PJPK dengan badan usaha pelaksana dilaksanakan setelah
pendirian badan usaha pelaksana tersebut telah mendapatkan pengesahan dari
Menkumham.

4. Kegiatan usaha badan usaha pelaksana


Pasal 18 UU 40/2007 mengatur bahwa suatu perseroan harus mempunyai maksud dan
tujuan serta kegiatan usaha yang dicantumkan dalam anggaran dasar perseroan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan
Proyek, badan usaha pelaksana khusus didirikan untuk melaksanakan Proyek,
sehingga dengan demikian badan usaha pelaksana harus mencantumkan dalam
anggaran dasarnya maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang sejalan dengan
Proyek dan tidak mencantumkan jenis usaha atau kegiatan lainnya di luar Proyek.

5. Pemindahan hak atas saham


Pasal 55 dan Pasal 56 UU 40/2007 pada dasarnya memberikan kebebasan kepada
pemegang saham untuk mengalihkan sahamnya sesuai dengan persyaratan yang
diatur dalam anggaran dasar perseroan. Untuk membatasi/mengatur pengalihan
saham dalam badan usaha pelaksana oleh para pemegang sahamnya maka perlu
diatur batasan-batasan pengalihan saham badan usaha pelaksana dalam perjanjian
kerjasama antara PJPK dengan badan usaha pelaksana. Pengaturan pengalihan
saham ini diperlukan untuk memastikan bahwa pengalihan saham dalam badan usaha
pelaksana tidak akan berdampak negatif terhadap Proyek, misalnya mengakibatkan
jadwal pembangunan Proyek menjadi tidak tercapai.

Dalam Bab IV E 2. f. 3. Permen PPN 4/2015 diatur mengenai tugas dari Simpul KPBU
sehubungan dengan pengalihan saham dalam badan usaha pelaksana sebelum proyek

Bab 3 | 10
KPBU beroperasi secara komersial. Dalam hal pengalihan saham tersebut di atas,
Simpul KPBU ditugaskan untuk melakukan kegiatan yang meliputi:
a. Penetapan kriteria pengalihan saham oleh PJPK yang meliputi:
1) pengalihan saham tidak boleh menunda jadwal mulai beroperasinya KPBU;
dan
2) pemegang saham pengendali yang merupakan pemimpin konsorsium dilarang
untuk mengalihkan sahamnya sampai dengan dimulainya operasi komersial
dari KPBU.
b. melakukan kualifikasi terhadap calon pemegang saham baru badan usaha
pelaksana yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada
saat dilaksanakan prakualifikasi pelelangan umum Badan Usaha Pelaksana;
c. mengajukan persetujuan kepada PJPK, apabila calon pemegang saham baru telah
memenuhi seluruh kriteria pengalihan saham yang ditetapkan dan memenuhi
persyaratan kualifikasi; dan
d. menyiapkan konsep persetujuan pengalihan saham yang akan ditandatangani
oleh PJPK.

6. Kewenangan Direksi badan usaha pelaksana untuk menandatangani perjanjian


kerjasama dengan PJPK
Berdasarkan Pasal 98 UU 40/2007 pada dasarnya direksi memiliki kewenangan dalam
mewakili badan usaha pelaksana baik di luar maupun di dalam pengadilan.
Kewenangan direksi untuk mewakili badan usaha pelaksana sebagaimana dimaksud
di atas tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UU
40/2007, anggaran dasar, atau keputusan rapat umum pemegang saham.

Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas maka perlu dipastikan kapasitas atau
kewenangan dari direksi badan usaha pelaksana dalam anggaran dasar badan usaha
pelaksana untuk menandatangani perjanjian kerjasama. Jika dalam anggaran dasar
diatur mengenai persyaratan untuk mendapatkan persetujuan dari organ perseroan
untuk menandatangani perjanjian kerjasama maka persyaratan tersebut harus
diperoleh sebelum penandatanganan perjanjian kerjasama.

Dalam rangka memastikan legal standing dari badan usaha pelaksana termasuk
direksinya dalam menandatangani dan melaksanakan perjanjian kerjasama dan
perjanjian terkait lainnya, maka sebaiknya dalam perjanjian kerjasama disyaratkan
kewajiban dari badan usaha pelaksana untuk menyerahkan pendapat hukum dari

Bab 3 | 11
firma hukum yang menegaskan legal standing termasuk kewenangan dari direksi
badan usaha pelaksana untuk menandatangani dan melaksanakan perjanjian
kerjasama dan perjanjian proyek lainnya.

3.1.4 Aspek Hukum Investasi/Penanaman Modal

Mengenai penanaman modal asing di Indonesia, dalam proyek KPS sektor pelabuhan,
menurut Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal (“Perpres 39/2014”), terdapat batas kepemilikan asing untuk penanaman modal
di dalam perusahaan yang melakukan kegiatan usaha infrastruktur sektor pelabuhan
adalah sebesar 49 %. Oleh karena demikian, investor asing harus bergabung dengan
mitra lokal guna memiliki sedikitnya 51 % saham di Badan Usaha sebagaimana diatur
dalam daftar negatif investasi. Mitra lokal ini harus ikut serta dalam proses tender
sebagai anggota konsorsium investor asing.

Dalam hal perusahaan pemenang tender Proyek adalah badan hukum asing, maka badan
hukum tersebut dalam melakukan penanaman modal di Indonesia harus tunduk pada
ketentuan-ketentuan penanaman modal asing yang diatur dalam UU 25/2007.
Berdasarkan ketentuan UU 25/2007, setiap penanaman modal asing (investasi asing)
yang dilakukan di Indonesia harus dilakukan dalam bentuk perseroan terbatas
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Suatu PT yang memiliki unsur
permodalan asing disebut sebagai perusahaan penanaman modal asing ("Perusahaan
PMA").

Sebelum pendirian atau pembentukan sebuah Perusahaan PMA, calon investor harus
mengajukan permohonan untuk pendaftaran penanaman modal di BKPM. Selama proses
aplikasi pendaftaran penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal ("BKPM")
akan menentukan disetujui atau tidaknya permohonan penanaman modal tersebut.
Langkah-langkah dan prosedur untuk melakukan pendaftaran penanaman modal, izin
prinsip dan izin usaha, dan perubahan status Perusahaan PMA diatur dalam Peraturan
BKPM 5/2013.

Perusahaan PMA bisa mendapatkan insentif penanaman modal dalam bentuk


pembebasan bea masuk untuk mesin, pembebasan bea masuk untuk barang-barang dan
bahan-bahan dan pengurangan pajak pendapatan perusahaan (PPh perusahaan). Dalam

Bab 3 | 12
hal suatu Perusahaan PMA ingin mendapatkan insentif penanaman modal, maka
Perusahaan PMA tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan izin prinsip dari BKPM.

Dalam mengajukan permohonan Izin Prinsip dari BKPM, Penanam Modal asing mengisi
aplikasi pendaftaran penanaman modal asing kepada BKPM sesuai dengan Peraturan
BKPM No.5 Tahun 2013. Setelah dikeluarkan Izin Prinsip dari BKPM, maka penanam
modal dapat mengajukan permohonan pemberian fasilitas investasi (pembebasan bea
masuk barang produksi, penangguhan pajak penghasilan badan). Penanam modal wajib
memperoleh izin usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2013 dan
peraturan lain yang terkait.

3.1.5 Aspek Keselamatan Kerja

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (“UU 1/1970”)


mengatur mengenai hak tenaga kerja untuk mendapatkan perlindungan atas
keselamatannya dalam melakukan pekerjaan. UU 1/1970 berlaku untuk keselamatan
kerja dalam segala tempat kerja, termasuk untuk pekerjaan di darat dan di bawah air.
UU 1/1970 mengatur mengenai kewajiban dan hak dari pekerja terkait dengan
keselamatan kerja yang meliputi:
1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli
keselamatan kerja;
2. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
3. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan yang
diwajibkan;
4. Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan
yang diwajibkan;
5. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan
kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya
kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-
batas yang masih dapat dipertanggung-jawabkan.

UU 1/1970 juga mengatur mengenai kewajiban dari pengurus selaku pimpinan langsung
tempat kerja sebagai berikut:
1. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat
keselamatan kerja yang diwajibkan, sesuai UU 1/1970 dan semua peraturan
pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-

Bab 3 | 13
tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas
atau ahli kesehatan kerja;
2. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja
yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang
mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli
keselamatan kerja;
3. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada
tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang
lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

Pasal 86 dan 87 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU


13/2003”) mengatur bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dengan cara pencegahan
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi
kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Lebih lanjut, untuk memastikan perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja tersebut, setiap perusahaan wajib menerapkan
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem
perusahaan.

Dalam rangka K3, Pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan perundang-


undangan di bidang K3, antara lain:
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.05/MEN/1996 tentang Sistem
Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (“Permenaker 5/1996”);
2. Surat Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
174/MEN/1986 & 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada
Tempat Kegiatan Konstruksi (“SKB 174/1986 & 104/1986”);
3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 09/PER/M/2008 tentang Pedoman Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi Bidang Pekerjaan
Umum (“Permen PU 9/2008”).

Permenaker 5/1996 mengatur bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga


kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang
ditimbulkan oleh karakteristik proses bahan produksi yang dapat mengakibatkan
kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja

Bab 3 | 14
wajib menerapkan Sistem Manajemen K3. Dalam penerapan Sistem Manajemen K3
tersebut, perusahaan wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Menetapkan kebijaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja dan menjamin
komitmen terhadap penerapan Sistem Manajemen K3.
2. Merencanakan pemenuhan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan keselamatan
dan kesehatan kerja;
3. Menerapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif dengan
mengembangkan kemampuan dan mekanisme pendukung yang diperlukan mencapai
kebijakan, tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja.
4. Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja
serta melakukan perbaikan dan pencegahan;
5. Meninjau secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan Sistem Manajemen K3
secara berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kinerja keselamatan dan
kesehatan kerja.

Dalam rangka memastikan penerapan Sistem Manajemen K3 tersebut di atas,


perusahaan dapat melakukan audit melalui badan audit yang ditunjuk oleh Menteri
Tenaga Kerja. Audit Sistem Manajemen K3 meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Pembangunan dan pemeliharaan komitmen;
2. Strategi pendokumentasian;
3. Peninjauan ulang desain dan kontrak;
4. Pengendalian dokumen;
5. Pembelian;
6. Keamanan bekerja berdasarkan Sistem Manajemen K3;
7. Standar Pemantauan;
8. Pelaporan dan perbaikan kekurangan;
9. Pengelolaan material dan pemindahannya;
10. Pengumpulan dan penggunaan data;
11. Pemeriksaan sistem manajemen;
12. Pengembangan keterampilan dan kemampuan

Dalam rangka kegiatan konstruksi, Permen PU 9/2008 mensyaratkan agar pengguna


jasa/penyedia jasa yang aktifitasnya melibatkan tenaga kerja dan peralatan kerja untuk
keperluan pelaksanaan pekerjaan fisik dil lapangan wajib menyelenggarakan sistem
manajemen dan keselamatan kerja (SMK3) konstruksi bidang pekerjaan umum. Lebih
lanjut Permen PU 9/2008 mengatur bahwa dalam rangka penyelenggaraan SMK3

Bab 3 | 15
Konstruksi bidang pekerjaan umum penyedia jasa konstruksi harus membuat Rencana
Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja Kontrak yang disetujui oleh pengguna jasa.
Pasal 3 Permen PU 9/2008 mengatur bahwa untuk instansi di luar Kementerian
Pekerjaan Umum. Penyelenggaraaan SMK3 sebagaimana diatur dalam Permen PU 9/2008
perlu penyesuaian lebih lanjut sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Dalam kaitannya dengan Proyek, untuk memastikan dipenuhinya segala peraturan yang
berlaku di bidang K3 oleh badan usaha pelaksana, perlu diatur dalam perjanjian
kerjasama mengenai kewajiban dari badan usaha pelaksana untuk mematuhi segala
peraturan di bidang K3.

3.1.6 Aspek Hukum Pengadaan Lahan

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang akan digunakan dalam Proyek harus
dilaksanakan dengan berdasarkan UU No. 2/2012, Perpres 71/2012, dan Peraturan BPN
No. 5/2012 ("Kerangka Pengadaan Tanah"). Kerangka Pengadaan Tanah sebagai dasar
diadakannya pengadaan tanah suatu proyek yang terkait dengan kepentingan umum
harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Kerangka Pengadaan
Tanah tersebut.

Berdasarkan Kerangka Pengadaan Tanah, proses pengadaan tanah dibagi dalam tiga
tahap: tahap perencanaan, persiapan dan pelaksanaan. Tahapan pengadaan tanah
tersebut dapat dijalankan secara berdampingan dengan tahapan pelaksanaan proyek
kerjasama pada tahap perencanaan dan penyiapan Proyek.

Tahap pertama dari kerangka pengadaan tanah adalah tahap perencanaan. Tahapan
perencanaan terdiri dari studi kelayakan dan dokumen perencanaan pengadaan tanah.
Terlepas dari hal-hal lain, dokumen perencanaan pengadaan tanah harus menunjukan
bahwa pengadaan tanah tersebut didasarkan kepada:
1. rencana tata ruang dan wilayah yang ada; dan
2. prioritas pengembangan proyek seperti dijelaskan dalam rencana pembangunan
jangka menengah, rencana strategis, dan rencana kerja lembaga pemerintahan.

Tahapan persiapan dilaksanakan setelah rencana pengadaan tanah disetujui oleh


instansi yang memerlukan tanah. Tahapan persiapan terdiri dari, antara lain, konsultasi
publik dan penetapan lokasi awal rencana pembangunan. Tahapan pelaksanaan terdiri

Bab 3 | 16
dari: pendataan status tanah, penilaian atas tanah oleh seorang penilai independen
yang ditunjuk oleh BPN, negosiasi kompensasi dan penyerahan hak atas tanah.

Dalam Kerangka Pengadaan Tanah, bentuk kompensasi dapat berupa pembayaran uang,
tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham dalam proyek, atau bentuk
lain yang disetujui para pihak. Kerangka Pengadaan Tanah menetapkan kriteria yang
luas tentang orang yang berhak untuk mendapatkan kompensasi (tidak hanya pihak yang
memiliki tanah dengan status terdaftar). Kriteria-kriteria ini dijelaskan dalam pasal 17
sampai 26 dari Perpres 71/2012.

Kerangka Pengadaan Tanah memberikan mekanisme pengajuan keberatan bagi seluruh


pihak yang merasa keberatan. Setiap keberatan selama konsultasi publik diberikan
secara langsung pada tim terkait dengan konsultasi publik. Setiap keberatan terkait
inventarisasi status tanah harus disampaikan kepada BPN dalam 14 hari setelah
pengumuman status tanah terkait. Setiap keberatan sebagai hasil dari negosiasi
kompensasi harus diberikan kepada Pengadilan Negeri (dengan hak untuk mengajukan
banding kepada Mahkamah Agung).

Berdasarkan pasal 85 UU 17/2008 diatur bahwa Otoritas Pelabuhan dapat diberikan Hak
Pengelolaan atas tanah dan pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengaturan tersebut dimaksudkan bahwa tanah yang
dipergunakan untuk pengusahaan jasa kepelabuhan hak pengelolaannya diberikan
kepada Otoritas Pelabuhan.

3.1.7 Aspek Pembiayaan


Sebagai proyek infrastruktur yang dikembangkan berdasarkan skema KPBU, maka proyek
pengembangan pelabuhan Bau-Bau diharapkan dapat dibiayai oleh badan usaha
pelaksana. Dalam rangka pembiayaan Proyek, badan usaha pelaksana pada umumnya
akan mendapatkan pembiayaan dari kreditor (lembaga keuangan) dan modal sendiri.
Komposisi antara pembiayaan yang bersumber dari kreditor dalam bentuk pinjaman dan
pembiayaan yang bersumber dari modal sendiri/ekuitas perlu ditetapkan sesuai dengan
kajian kelayakan finansial sehingga Proyek dapat dikembangkan secara efisien dengan
biaya yang terjangkau.

Mengingat Proyek dikembangkan dengan skema pembayaran ketersediaan layanan


sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015

Bab 3 | 17
tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan Dalam Rangka Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (“Permenkeu 190/2015”) maka
pengembalian investasi badan usaha pelaksana didasarkan pada pembayaran berkala
yang dilakukan oleh PJPK atas ketersediaan pelayanan infrastruktur oleh badan usaha
pelaksana. Dalam hal ini, PJPK harus memastikan tersedianya anggaran untuk
melakukan pembayaran ketersediaan layanan tersebut, dan disisi lain badan usaha
pelaksana harus memastikan tersedianya layanan sesuai dengan indikator kinerja yang
telah diperjanjikan untuk memastikan diperolehnya pembayaran dari PJPK.

Sesuai dengan Pasal 3 dan 6 Permenkeu 190/2015, PJPK harus menganggarkan dana
pembayaran ketersediaan layanan dalam APBN dan memastikan melakukan pembayaran
ketersediaan layanan sesuai dengan mekanisme APBN.

3.1.8 Aspek Hukum Perpajakan

Pengaturan perpajakan dalam pelaksanaan pembangunan, pengelolaan dan


penyelenggaraan pelabuhan terkait pelaksanaan Proyek KPBU meliputi,
1. Pajak Penghasilan pada Perusahaan Pelaksana Proyek, dasar hukum Pasal 2 UU
36/2008;
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU 36/2008, badan usaha dapat dikenakan pajak
penghasilan. Pajak penghasilan yang dibayarkan dihitung berdasarkan jumlah
penghasilan kena pajak yaitu jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
langsung ataupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha.

2. Pajak Bumi dan Bangunan pada Perusahaan Pelaksana Proyek, dasar hukum Pasal 3
UU 12/1985 sebagaimana telah diamandemen melalui UU 12/1994;
Badan usaha memiliki kewajiban untuk membayarkan Pajak Bumi dan Bangunan
("PBB") terhadap konstruksi yang dibangun atau ditanamkan secara tetap pada
tanah. Pasal 3 UU 12/1985 sebagaimana telah diamandemen oleh UU 12/1994
menyebutkan bahwa obyek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah obyek pajak
yang:
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan;
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;

Bab 3 | 18
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum
dibebani suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan
timbal balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan.

Menurut ketentuan Pasal 5 UU 12/1985, besarnya PBB yang harus dibayarkan oleh
badan usaha terhadap bangunan yang memiliki fungsi berkaitan dengan Proyek dan
tidak termasuk dalam pengecualian obyek yang dikenakan PBB adalah sebesar 0,5%
(nol koma lima persen).

3. Pajak Pertambahan Nilai pada Perusahaan Pelaksana Proyek, dasar hukum Pasal 4A
UU 42/2009.
Badan Usaha wajib untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan yang
diatur pada Pasal 4A UU 42/2009, tidak menyebutkan bahwa penyelenggara
prasarana transportasi tidak termasuk dalam kategori jenis jasa yang tidak
dikenakan PPN. Oleh karena itu, kegiatan penyelenggaraan pelabuhan terkena
kewajiban membayar PPN yang dibayarkan oleh badan usaha dalam penyelenggaraan
pelabuhan sebesar 10% (sepuluh persen).

3.2 ANALISA MENGENAI KEBUTUHAN PERATURAN BARU

Sejauh ini, untuk kepastian pelaksanaan Proyek tidak teridentifikasi adanya kebutuhan
untuk diterbitkannya Peraturan baru.

3.3 ANALISA JENIS-JENIS PERIJINAN YANG DIPERLUKAN UNTUK PROYEK

Pelaksanaan Proyek tentu harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang


berlaku, termasuk juga ketetuan-ketentuan mengenai perizinan. Secara umum
ketentutan-ketentuan mengenai perizinan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No 61
tahun 2009 tentang Kepelabuhan. Dalam pasal 79 PP 61/2009 disebutkan bahwa
“Pembangunan pelabuhan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan
Nasional (RIPN) dan Rencana Induk Pelabuhan (RIP)”.

Bab 3 | 19
Dalam hal ini rencana Proyek telah sesuai dengan RIPN dan RIP Bau-Bau. Pembangunan
pelabuhan laut oleh penyelenggara pelabuhan hanya dapat dilakukan setelah
diperolehnya izin pembangunan pelabuhan. Dikarenakan pelabuhan Bau-Bau
direncanakan dikategorikan sebagai pelabuhan pengumpul, maka izin pembangunan
pelabuhan Bau-Bau haruslah diajukan kepada Menteri.

Dalam proses pembangunan suatu Pelabuhan Umum terdapat bebeberapa


Penetapan/Perizinan awal yang harus diperoleh oleh Penyelenggara Pelabuhan, dalam
hal pelabuhan Bau-Bau ini dilakukan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan agar dapat
melaksanakan Pembangunan Pelabuhan, adapun Penetapan/Perizinan tersebut
diantaranya adalah:
1. Penetapan Lokasi Pelabuhan
2. Rencana Induk Pelabuhan
3. Penetapan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan
(Penetapan Batas-batas Tanah dan Perairan Pelabuhan)
4. Izin Pembangunan Pelabuhan
5. Perizinan Terkait Fasilitas Pelabuhan
6. Jaminan Kelestarian Lingkungan
7. Jaminan Keamanan dan Ketertiban
8. Izin Mendirikan Bangunan (Untuk Lahan Pelabuhan di daratan)
9. Izin Penggunaan Perairan (Untuk Lahan Pelabuhan di Perairan)
10. Izin Pengerukan dan Izin Reklamasi
11. Izin Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
12. Izin Pekerjaan Di Bawah Air

Bab 3 | 20
Table 3.1 Jenis Perizinan, Persyaratan dan Jangka Waktu Penerbitan
Jangka
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk
No Dokumen Waktu Keterangan
Mendapatkannya
Penerbitan
1 Penetapan Lokasi Dokumen-dokumen yang diperlukan yaitu meliputi: 30 hari Pemohon adalah Pemerintah dan
Pelabuhan 1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional; Pemerintah Daerah.
2) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
3) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/kota;
4) Rencana Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah
Lingkungan Kepentingan Pelabuhan;
5) Hasil Studi Kelayakan mengenai:
a) Kelayakan Teknis;
b) Kelayakan Ekonomi;
c) Kelayakan Lingkungan;
d) Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan social
daerah setempat;
e) Keterpaduan intra dam amtarmoda;
f) Adanya aksesibilitas terhadap hinterland;
g) Keamanan dan keselamatan pelayaran;
h) Pertahanan dan kemanan
i) Rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota.
2 Rencana Induk Dokumen-dokumen yang diperlukan yaitu meliputi: Tidak Ditetapkan oleh Menteri dan Gubernur
Kepelabuhan 1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional ditentukan sesuai dengan kewenangannya
2) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
3) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
4) Keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain
yang terkait di Lokasi Pelabuhan.
5) Kelayakan teknis , ekonomis dan lingkungan
6) Keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal.
3 Penetapan Daerah Dokumen yang diperlukan meliputi: Rekomendasi dari Tidak Ditetapkan oleh:
Lingkungan Kerja gubernur dan bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan ditentukan 1) Menteri untuk Pelabuhan Utama dan
dan Daerah tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Pelabuhan Pengumpul
Lingkungan 2) Gubernur untuk Pelabuhan
Kepentingan Pengumpan regional, dan

Bab 3 | 21
Jangka
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk
No Dokumen Waktu Keterangan
Mendapatkannya
Penerbitan
Pelabuhan. 3) Bupati/Walikota untuk pelabuhan
untuk pelabuhan pengumpan local.

Isi dalam Penetapan, paling tidak


memuat Antara lain:
1) Luas lahan daratan yang digunakan
sebagai Daerah Lingkungan Kerja;
2) Luas perairan yang digunakan
sebagai Daerah Lingkungan Kerja
dan Daerah Lingkungan Kepentingan
pelabuhan;
3) Titik koordinat geografis sebagai
batas Daerah Lingkungan Kerja dan
Daerah Lingkungan Kepentingan
pelabuhan.

Kewajiban-kewajiban yang harus


dipenuhi dalam penetapan:
1) Untuk Daerah Lingkungan Kerja
Daratan:
a) Memasang tanda batas sesuai
dengan batas Daerah Lingkungan
Kerja daratan yang telah
ditetapkan;
b) Memasang papan pengumuman
yang memuat informasi
mengenai batas Daerah
Lingkungan Kerja daratan
pelabuhan;
c) Melaksanakan pengamanan
terhadap aset yang dimiliki;

Bab 3 | 22
Jangka
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk
No Dokumen Waktu Keterangan
Mendapatkannya
Penerbitan
d) Menyelesaikan sertifikat hak
pengelolaan atas tanah sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundangm undangan;
2) Untuk Daerah Lingkungan Kerja
Perairan:
a) Memasang tanda batas sesuai
dengan batas Daerah Lingkungan
Kerja perairan yang telah
ditetapkan;
b) Menginformasikan mengenai
batas Daerah Lingkungan Kerja
perairan pelabuhan kepada
pelaku kegiatan kepelabuhanan;
c) Menyediakan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran;
d) Menyediakan dan memelihara
kolam pelabuhan dan alur-
pelayaran;
e) Menjamin dan memelihara
kelestarian lingkungan;
f) Melaksanakan pengamanan
terhadap aset yang dimiliki
berupa fasilitas pelabuhan di
perairan.
4 Izin Pembangunan Perizinan/ Dokumen yang diperlukan meliputi: 30 hari sejak Pemohon merupakan Penyelenggara
Pelabuhan 1) Rencana Induk Pelabuhan; permohonan Pelabuhan yaitu Otoritas Pelabuhan atau
2) Dokumen kelayakan; diterima Unit Penyelenggara Pelabuhan.
3) Dokumen desain teknis;
4) Dokumen lingkungan.
5 Izin Mendirikan Persyaratan dan prosedur disesuaikan dengan UU No. 28 – –

Bab 3 | 23
Jangka
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk
No Dokumen Waktu Keterangan
Mendapatkannya
Penerbitan
Bangunan (untuk /2002 dan PP No. 36 /2005
lahan daratan
pelabuhan)
6 Izin Pembangunan Peraturan terkait belum diterbitkan – Akan diteliti dan dikonfirmasi lebih
Fasilitas Perairan lanjut apakah yang dimaksud Izin ini
Pembangunan adalah:
1. Izin Pengerukan
2. Izin Reklamasi
3. Izin Pekerjaan di Bawah Air
7 Izin Pembangunan Persyaratan dan prosedur disesuaikan dengan UU No. 38
Jaringan Jalan ke /2002 tentang Jalan dan peraturan pelaksananya
Pelabuhan
8 Izin Pembangunan Ditetapkan oleh menteri. – –
Sarana Bantu
Navigasi Pelayaran
9 Izin Pembangunan Peraturan terkait belum diterbitkan – –
Penahan
Gelombang,Izin
Pembangunan
Kolam Pelabuhan
dan Izin
Pembangunan Alur
Pelayaran
10 Izin Pengerukan 1) Pemenuhan persyaratan Administrasi, meliputi: berdasarkan
a) Akta Pendirian Perusahaan; hasil
b) NPWP penelitian
c) SKDP yang
d) Keterangan Penanggung Jawab dilakukan
2) Pemenuhan Persyaratan Teknis, meliputi: Dirjen,
a) Keterangan mengenai maksud dan tujuan kegiatan Menteri
pengerukan; dalam

Bab 3 | 24
Jangka
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk
No Dokumen Waktu Keterangan
Mendapatkannya
Penerbitan
b) lokasi dan koordinat geografis areal yang akan jangka
dikeruk; waktu 7
c) peta pengukuran kedalaman awal (predredge (tujuh) hari
sounding) dari lokasi yang akan dikerjakan; kerja
d) untuk pekerjaan pengerukan dalam rangka menerbitkan
pemanfaatan material keruk (penambangan) harus izin
mendapat izin terlebih dahulu dari instansi yang pengerukan
berwenang;
e) hasil penyelidikan tanah daerah yang akan dikeruk
untuk mengetahui jenis dan struktur dari tanah;
f) hasil pengukuran dan pengamatan arus di daerah
buang;
g) hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan atau
sesuai ketentuan yang berlaku; dan
h) peta situasi lokasi dan tempat pembuangan yang
telah disetujui oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit
Penyelenggara Pelabuhan, yang dilengkapi dengan
koordinat geografis.
3) Surat pernyataan bahwa pekerjaan pengerukan akan
dilakukan oleh perusahaan pengerukan yang memiliki
izin usaha serta mempunyai kemampuan dan
kompetensi untuk melakukan pengerukan;
4) Rekomendasi dari Syahbandar setempat berkoordinasi
dengan Kantor Distrik Navigasi setempat terhadap
aspek keselamatan pelayaran setelah mendapat
pertimbangan dari Kepala Kantor Distrik Navigasi
setempat.
11 Izin Reklamasi 1) Administrasi, meliputi: hasil
a) Akte Pendirian Perusahaan; penelitian
b) NPWP yang
c) SKDP dilakukan

Bab 3 | 25
Jangka
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk
No Dokumen Waktu Keterangan
Mendapatkannya
Penerbitan
d) Keterangan penanggung jawab Direktur
2) Teknis, meliputi: Jenderal,
a) keterangan mengenai maksud dan tujuan kegiatan Menteri
reklamasi; dalam
b) lokasi dan koordinat geografis areal yang akan jangka
direklamasi; waktu paling
c) peta pengukuran kedalaman awal (predredge lama 7
sounding) dari lokasi yang akan direklamasi; dan (tujuh) hari
d) hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan menerbitkan
atau sesuai ketentuan yang berlaku. izin
3) Surat pernyataan bahwa pekerjaan reklamasi akan reklamasi
dilakukan oleh perusahaan yang memiliki izin usaha
serta mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk
melakukan reklamasi;
4) Rekomendasi dari syahbandar setempat berkoordinasi
dengan Kantor Distrik Navigasi setempat terhadap
aspek keselamatan pelayaran setelah mendapat
pertimbangan dari Kepala Kantor Distrik Navigasi
setempat; dan
5) Rekomendasi dari Otoritas Pelabuhan atau Unit
Penyelenggara Pelabuhan dari pelabuhan setempat
akan kesesuaian dengan Rencana Induk Pelabuhan bagi
pekerjaan reklamasi yang berada di dalam Daerah
Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan
pelabuhan; atau
6) Rekomendasi dari bupati/walikota setempat akan
kesesuaian dengan rencana umum tata ruang wilayah
kabupaten/kota yang bersangkutan bagi pekerjaan
reklamasi di wilayah perairan terminal khusus.
12 Izin Pekerjaan 1) Persyaratan Administrasi: Direktur
Bawah Air (PBA) a) Memiliki kontrak kerja dan atau Letter of Intent Jenderal

Bab 3 | 26
Jangka
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk
No Dokumen Waktu Keterangan
Mendapatkannya
Penerbitan
dari Pemberi Kerja; dalam
b) Fotokopi Surat Izin Usaha perusahaan salvage jangka
dan/atau pekerjaan bawah air; waktu 7
c) Daftar Kapal Kerja yang dilengkapi dengan crew list (tujuh) hari
dan kerja
d) Fotokopi sertifikat/dokumen kelaikan dan menerbitkan
operasional kapal yang masih berlaku. izin kegiatan
2) Persyaratan Teknis, meliputi rencana kerja yang pekerjaan
dilengkapi dengan jadwal, metode kerja, tenaga kerja, bawah
peralatan kerja, dan perta wilayah kerja kegiatan yang
ditandai dengan koordinat geografis.

Bab 3 | 27
3.4 Kajian Kelembagaan

3.4.1 Analisa Kewenangan Kementerian Perhubungan Dalam Penyelenggaraan


Proyek

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama


Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“Perpres 38/2015”)
infrastruktur transportasi merupakan jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan
dengan badan usaha melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
(“KPBU”).

Pasal 6 Perpres 38/2015 mengatur bahwa dalam proyek KPBU, Menteri/Kepala Lembaga
dan Kepala Daerah bertindak sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (“PJPK”).
Penentuan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebagai PJPK dilakukan dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan di sektor infrastruktur yang terkait.

Meskipun Perpres 38/2015 mengatur bahwa PJPK adalah Menteri/Kepala Lembaga dan
Kepala Daerah, namun Perpres 38/2015 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama
Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“Permen PPN
4/2015”) memberikan kewenangan kepada Menteri/Kepala Lembaga dan Kepala Daerah
untuk mendelegasikan kewenangannya kepada pihak yang dapat mewakili
kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang ruang lingkup, tugas, dan tanggung
jawabnya meliputi sektor Infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.

Dalam rangka implementasi skema KPBU dalam Proyek, skema kelembagaan didasarkan
pada pembangunan dan pengembangan pelabuhan pada awalnya. Pelabuhan Baubau
dibangun dan dikembangkan dengan investasi pemerintah pusat dengan sumber
pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan pada hal
tersebut, maka Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (Selanjutnya disebut “PJPK”)
adalah Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Perhubungan. PJPK akan menggunakan dan
mengijinkan Badan Usaha untuk menggunakan, mengoperasikan, merehabilitasi,
meningkatkan, memelihara dan memperbaiki aset eksisting yang dimiliki oleh PJPK,
Pemerintah Pusat c.q Kementerian Perhubungan. Hal ini merupakan bentuk kerjasama
pemanfaatan barang sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun
2014 Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.

Bab 3 | 28
Dalam hal pemilihan bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah terkait Proyek,
skema kerjasama yang dapat diimplementasikan adalah kerjasama pemanfaatan (untuk
aset eksisting) dan skema Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer) untuk aset yang
akan dibangun. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam
pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik
negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dalam hal ini ketentuan mengenai
tata cara yang dimaksud adalah tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.06/2014 Tentang Tata Cara Pemanfaatan Barang Milik Negara.

3.4.2 Analisa Pemetaan Stakeholders dan Peran Serta Tanggung Jawabnya

Stakeholders dan peran serta tanggung jawabnya dalam Proyek Pengembangan


Pelabuhan Bau-Bau dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Kementerian Perhubungan
Menteri Perhubungan merupakan penanggung jawab administrasi transportasi
Indonesia. Menteri Perhubungan atas nama pemerintah melaksanakan fungsi
penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian sektor tranportasi.

Merujuk pada peran dari Menteri Perhubungan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Menteri Perhubungan merupakan penanggung jawab umum atas Proyek
Pengembangan Pelabuhan Bau-Bau.

Khusus dalam kaitannya dengan Proyek Pengembangan Pelabuhan Bau-Bau peran


dari Menteri Perhubungan juga meliputi penerbitan izin yang berada di bawah
kewenangan Menteri Perhubungan, antara lain, Izin Pembangunan Pelabuhan untuk
dapat melakukan pengembangan Pelabuhan Bau-Bau yang meliputi kegiatan
pembangunan dan pengoperasian pelabuhan tersebut.

2. Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut


Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
memiliki peran dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan, standar, norma,
pedoman, kriteria dan prosedur serta bimbingan teknis, evaluasi dan pelaporan di
bidang pengembangan pelabuhan dan perancangan fasilitas pelabuhan, pengerukan
dan reklamasi, pemanduan dan pendundaan kapal, bimbingan pelayanan jasa dan
operasional pelabuhan.

Bab 3 | 29
3. Unit Penyelenggara Pelabuhan Bau-Bau
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan diatur dalam
Keputusan Menteri Perhubungan no. KM 62 Tahun 2010 tentang Sususan Organisasi
dan Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan. Kantor Unit Penyelenggara
Pelabuhan adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Perhubungan
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan melalui
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan mempunyai tugas melaksanakan pengaturan,


pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan
pelayaran pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.

4. Kementerian Keuangan
Mengingat Proyek dikembangkan dengan skema Pembayaran Ketersediaan Layanan,
maka sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015 tentang
Pembayaran Ketersediaan Layanan Dalam Rangka Kerja Sama Pemerintah dengan
Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“PMK 190/2015”) pembayaran
ketersediaan layanan tersebut harus dilakukan melalui mekanisme APBN.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka Kementerian Keuangan memiliki


peranan dalam pengalokasian anggaran pembayaran ketersediaan layanan dalam
APBN, khusunya dalam rangka memastikan:
a. Kemampuan keuangan negara (kapasitas fiskal);
b. Kesinambungan fiskal; dan
c. Pengelolaan risiko fiskal.

5. PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)


Sesuai dengan PMK 190/2015, terhadap proyek kerja sama pemerintah dengan badan
usaha (KPBU) yang dilaksanakan dengan mekanisme pembayaran ketersediaan
layanan dapat diberikan penjaminan infrastruktur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan mengenai penjaminan infrastruktur untuk proyek KPBU.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan


Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan badan Usaha yang
Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (“Perpres 78/2010”)
penjaminan terhadap proyek KPBU di bidang infrastruktur diberikan melalui Badan

Bab 3 | 30
Usaha Penjaminan Infrastuktur (dalam hal ini PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia
(Persero) (“PT PII”)).

PT PII didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Penyertaan Modal Negara untuk Pendirian Badan Usaha Milik Negara di Bidang
Penjaminan Infrastruktur (sebagaimana telah beberapakali diubah). Tujuan utama
pendirian PT II adalah:
a. Menyediakan penjaminan untuk proyek KPBU infrastruktur di Indonesia;
b. Meningkatkan kelayakan kredit (creditworthiness) terutama bankability dari
proyek KPBU dimata investor/kreditor;
c. Meningkatkan tata kelola dan proses yang transparan dalam penyediaan
penjaminan;
d. Meminimalkan kemungkinan kejutan langsung (sudden shock) terhadap APBN dan
memagari (ring-fencing) eksposur kewajiban kontinjensi Pemerintah.
a. Badan Usaha Pelaksana Proyek

Badan usaha pelaksana Proyek merupakan perusahaan yang dibentuk khusus oleh
badan usaha pemenang pelelangan untuk melaksanakan Proyek. Berdasarkan
perjanjian kerja sama yang akan ditandatangani oleh PJPK dan Badan Usaha
Pelaksana Proyek, Badan Usaha Pelaksana Proyek memiliki kewajiban untuk
membiayai, mendesain, membangun dan mengoperasikan pelabuhan bau-bau
selama jangka waktu kerja sama.

b. Pengguna Layanan Jasa Pelabuhan

Proyek Pengembangan Pelabuhan Bau-Bau dimaksudkan untuk melakukan


rehabilitasi pada fasilitas pelabuhan Bau-Bau eksisting dan melakukan
pengembangan terhadap fasilitas eksisting pelabuhan Bau-Bau berupa
pembangunan terminal multipurpose bagi pengguna jasa pelabuhan di wilayah-
pelabuhan Bau-Bau.

Pengguna layanan jasa pelabuhan akan bertindak sebagai pengguna dan memiliki
kewajiban pembayaran tariff jasa kepelabuhanan sesuai yang diterimanya kepada
Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

2.1 ANALISA PERAN DAN TANGGUNG JAWAB TIM/PANITIA DALAM RANGKA


KERJA SAMA

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan


Barang/Jasa Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Bab 3 | 31
Pengadaan Badan Usaha Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur (“Perka LKPP 19/2015”) PJPK memiliki tugas dan
tanggung jawab dalam menetapkan Tim KPBU dan Panitia Pengadaan.

a. Tim KPBU

Berdasarkan Pasal 7 Perka LKPP 19/2015 tujuan pembentukan Tim KPBU


adalah untuk membantu PJPK dalam melaksanakan: (i) kegiatan pada tahap
transaksi hingga tercapainya pemenuhan pembiayaan (financial close); dan
(ii) kegiatan pengadaan badan usaha pelaksana, apabila diperlukan.

Tugas dan tanggung jawab Tim KPBU dalam proses pengadaan meliputi:

(i) berkordinasi dengan Panitia Pengadaan selama proses pengadaan;


(ii) menyusun kerangka acuan kerja untuk pengadaan badan penyiapan;
(iii) membantu PJPK dalam monitoring pelaksanaan pengadaan.

b. Penitia Pengadaan

Pasal 8 Perka LKPP 19/2015 mengatur tugas dan tanggung jawab dari Panitia
Pengadaan sebagai berikut:

(i) Menetapkan dokumen pengadaan dan perubahannya (apabila ada)


setelah mendapatkan persetujuan dari PJPK;
(ii) Mengelola data dan informasi pada ruangan data dan informasi (data
room)
(iii) Mengumumkan pelaksanaan pengadaan;
(iv) Menilai kualifikasi peserta melalui prakualifikasi;
(v) Memberikan penjelasan dokumen pengadaan;
(vi) Melakukan evaluasi administrasi, teknis dan finansial terhadap
penawaran peserta;
(vii) Melakukan diskusi optimalisasi pada metode pelelangan dua tahap;
(viii) Melakukan negosiasi;
(ix) Mengusulkan pemenang seleksi atau pelelangan;
(x) Mengusulkan penetapan badan usaha pelaksana melalui penunjukan
langsung;
(xi) Berkordinasi dengan Tim KPBU selama proses pengadaan;
(xii) Melaporkan proses pelaksanaan pengadaan secara berkala kepada

Bab 3 | 32
PJPK;
(xiii) Menyerahkan dokumen asli proses pengadaan kepada simpul KPBU
setelah proses pengadaan selesai; dan
(xiv) Menyerahkan salinan dokumen proses pengadaan kepada PJPK.

Pasal 9 Perka LKPP 19/2015 mengatur bahwa Panitia Pengadaan berjumlah


minimal 5 (lima) orang dan dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan.
Panitia pengadaan dapat berasal dari personil instansi sendiri dan dapat
berasal dari instansi/satuan kerja terkait serta personil unit layanan
pengadaan pada kementerian/lembaga setempat. Lebih lanjut diatur bahwa
panitia pengadaan terdiri dari anggota yang memahami tentang:

(i) Prosedur pengadaan;


(ii) Prosedur KPBU;
(iii) Ruang lingkup pekerjaan proyek kerjasama;
(iv) Hukum perjanjian dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang infrastruktur sektor bersangkutan;
(v) Aspek teknis terkait dengan proyek kerjasama; dan
(vi) Aspek bisnis dan finansial terkait dengan proyek kerjasama.

Pada tahap persiapan, tugas Panitia Pengadaan meliputi:

(i) Konfirmasi kesiapan proyek KPBU untuk dilanjutkan ke tahap


pengadaan badan usaha pelaksana.
(ii) Konfirmasi minat pasar;
(iii) Penyusunan jadwal pengadaan badan usaha pelaksana dan rancangan
pengumuman;
(iv) Penyusunan dan penetapan dokumen pengadaan badan usaha
pelaksana; dan
(v) Pengelolaan ruang data dan informasi (data room) untuk keperluan uji
tuntas (due diligence).

Dalam Permen PPN 4/2014 diatur bahwa Tim KPBU memiliki peran dan
tanggung jawab untuk:
(i) melakukan kegiatan tahap penyiapan KPBU meliputi, kajian awal Prastudi Kelayakan
dan kajian akhir Prastudi Kelayakan;
(ii) melakukan kegiatan tahap transaksi KPBU hingga tercapainya pemenuhan pembiayaan
(financial close), kecuali kegiatan pengadaan Badan Usaha Pelaksana;
(iii) menyampaikan pelaporan kepada PJPK secara berkala melalui Simpul KPBU; dan
(iv) melakukan koordinasi dengan Simpul KPBU dalam pelaksanaan tugasnya.

Bab 3 | 33
c. Simpul KPBU
Selain Tim KPBU dan Panitia Pengadaan, berdasarkan Pasal 44 Perpres 38/2015, Menteri
diamanatkan untuk menunjuk unit kerja di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah
sebagai Simpul KPBU. Simpul KPBU bertugas untuk menyiapkan perumusan kebijakan,
sinkronisasi, koordinasi, pengawasan, dan evaluasi pembangunan KPBU.

Pasal 41 Permen PPN 4/2015 mengatur lebih lanjut bahwa simpul KPBU dapat melekat pada
unit kerja yang sudah ada di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah atau unit kerja baru
yang dibentuk dalam lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah.

Lebih lanjut dalam Lampiran Permen PPN 4/2014 diatur peran dari Simpul KPBU sebagai
berikut:

(i) Dalam tahap manajemen pelaksanaan KPBU, Simpul KPBU membantu PJPK untuk
mengawasi dan mengendalikan jalannya pelaksanaan KPBU sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang disepakati dan tercantum dalam perjanjian KPBU;

(ii) Dalam masa pra konstruksi, Simpul KPBU bertugas melaksanakan pengawasan
pelaksanaan perjanjian KPBU dan pemenuhan pembiayaan (financial close);

(iii) Dalam masa konstruksi, Simpul KPBU bertugas melaksanakan manajemen pelaksanaan
KPBU atas:

1) rancangan fasilitas baru atau penjelasan atas pelayanan yang akan disediakan;
2) penggabungan fasilitas baru dengan fasilitas yang telah ada;
3) hak untuk menyampaikan permasalahan terkait dengan kegagalan dan
ketidakmampuan Badan Usaha Pelaksana untuk memenuhi perjanjian KPBU;
4) penundaan atau perubahan jadwal konstruksi;
5) variasi disain konstruksi, apabila diminta oleh PJPK;
6) kesiapan pekerjaan/operasi;
7) pemantauan atas kesesuaian perencanaan teknik dengan pelaksanaan konstruksi;
8) permasalahan mengenai tenaga kerja; dan
9) risiko yang ditanggung oleh PJPK.

Apabila terjadi pengalihan saham Badan Usaha Pelaksana sebelum proyek KPBU
beroperasi secara komersial, Simpul KPBU melakukan kegiatan yang meliputi:

1) penetapan kriteria pengalihan saham oleh PJPK yang meliputi:


(a) pengalihan saham tidak boleh menunda jadwal mulai beroperasinya KPBU;
dan

Bab 3 | 34
(b) pemegang saham pengendali yang merupakan pemimpin konsorsium
dilarang untuk mengalihkan sahamnya sampai dengan dimulainya operasi
komersial dari KPBU.
2) melakukan kualifikasi terhadap calon pemegang saham baru Badan Usaha
Pelaksana yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada
saat dilaksanakan prakualifikasi pelelangan umum Badan Usaha Pelaksana;
3) mengajukan persetujuan kepada PJPK, apabila calon pemegang saham baru telah
memenuhi seluruh kriteria pengalihan saham yang ditetapkan dan memenuhi
persyaratan kualifikasi; dan
4) menyiapkan konsep persetujuan pengalihan saham yang akan ditandatangani
oleh PJPK.

(iv) Dalam Masa Operasi, Simpul KPBU melaksanakan manajemen pelaksanaan terhadap:

1) pelaksanaan perjanjian KPBU; dan


2) pemantauan standar kinerja jasa/layanan sesuai dengan perjanjian KPBU.

Lebih lanjut Simpul KPBU juga bertugas untuk melakukan koordinasi dengan BUPI (PT
PII) dalam hal proyek mendapatkan jaminan pemerintah melalui PT PII.

(v) Dalam tahap pengakhiran proyek KPBU, Simpul KPBU melakukan penilaian aset yang
meliputi kegiatan:

1) meneliti dan menilai semua komponen sarana/sistem yang termasuk dalam


perjanjian KPBU (penilaian dilakukan terhadap kondisi atau kinerja dan sisa usia
masing-masing komponen sesuai tolak ukur yang disepakati);
2) menghitung perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk operasi dan pemeliharaan
rutin dan non rutin selama sisa usia;
3) menilai ketersediaan suku cadang untuk sarana dan sistem yang secara teknis
mungkin sudah tidak layak;
4) melakukan evaluasi ketersediaan sumber daya manusia yang dimiliki oleh PJPK;
dan
5) melakukan evaluasi terhadap efisiensi manajemen pelaksanaan selama kerjasama
berlangsung.

Dalam hal pengalihan aset, Simpul KPBU melakukan kegiatan:

1) menyiapkan dan mengajukan izin pemeriksaan/pengujian terhadap semua aset


KPBU untuk kepentingan pengalihan aset;
2) melakukan pengujian dan pemeriksaan sarana fisik dan semua peralatan untuk
kepentingan pengalihan aset sesuai dengan perjanjian KPBU;
3) melakukan tindakan administrasi yang diperlukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan sehingga semua aset tercatat atas nama PJPK; dan
4) menyiapkan dan membuat Berita Acara Serah Terima Aset yang ditandatangani
oleh Badan Usaha Pelaksana dan PJPK.

Bab 3 | 35
Memperhatikan tugas Simpul KPBU dalam Permen PPN 4/2015 tersebut di atas maka
secara umum dapat disimpulkan tugas Simpul KPBU adalah membantu PJPK dalam
pelaksanaan KPBU, terutama dalam tahap pelaksanaan perjanjian kerjasama.

Berikut adalah organisasi kelembagaan dalam pelaksanaan KPBU menurut Permen PPN 4/2015:

2.2 PERANGKAT REGULASI/KEPUTUSAN MENGENAI KELEMBAGAAN

Berdasarkan uraian pada bagian 2.3 di atas maka dapat diidentifikasi perangkat
regulasi/Keputusan yang diperlukan terkait dengan aspek kelembagaan adalah:

a. Surat Keputusan PJPK tentang Tim KPBU; dan


b. Surat Keputusan PJPK tentang Panitia Pengadaan.

2.3 KERANGKA ACUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Bab 3 | 36
Merujuk pada Ketentuan dalam Permen PPN 4/2015 dan Perka LKPP 19/2015
acuan pengambilan keputusan dalam perencanaan, penyiapan dan transaksi
proyek KPBU adalah sebagai berikut:

Jenis Keputusan Penerbit/ Persyaratan/Catatan


Penanggung
Jawab
Tahap Perencanaan
Rencana Anggaran Dana Menteri Penyusunan rencana
KPBU aggaran meliputi setiap
tahap pelaksanaan KPBU
Identifikasi Proyek KPBU Dirjen Dalam rangka identifikasi
proyek KPBU harus
disusun studi
pendahuluan
Penetapan Proyek KPBU Menteri
yang memiliki potensi
untuk dikerjasamakan
Keputusan Lanjut atau Menteri Diputuskan berdasarkan
tidak lanjut dengan hasil identifikasi Proyek
rencana KPBU KPBU
Pengusulan Rencana Menteri Dokumen tersebut
KPBU kepada Menteri dijadikan dasar oleh
Perencanaan Menteri Perencanaan
dalam menyusun Daftar
Rencana KPBU
Tahap Penyiapan
Pembentukan Tim KPBU PJPK Dapat dibantu oleh
Badan penyiapan.
Pada Tahap ini PJPK
dibantu oleh Tim KPBU
melakukan penyiapan
kajian prastudi
kelayakan, konsultasi
publik, penjajakan minat
pasar, penyusunan
rencana pengadaan
tanah dan pemukinam
kembali, proses
perolehan dukungan
pemerintah dan/atau
jaminan pemerintah,
serta proses kajian
lingkungan hidup (jika
proyek disyaratkan
mendapatkan AMDAL)
Tahap Transaksi
Pembentukan Panitia PJPK
Pengadaan

Bab 3 | 37
Konfirmasi Kesiapan Panitia Panitia Pengadaan harus
proyek KPBU Pengadaan melakukan checklist
terhadap kelengkapan
dokumen/data kesiapan
proyek KPBU dengan
mengacu kepada Permen
PPN 4/2015
Konfirmasi minat pasar Panitia Dapat dilakukan dengan
Pengadaan berbagai bentuk, antara
lain dengan mereviu hasil
penjajakan minat pasar
yang dilakukan oleh PJPK
atau melakukan diskusi
dengan forum badan
usaha.
Penyusunan Jadwal Panitia Harus memberikan
Pengadaan Pengadaan alokasi waktu yang cukup
untuk melakukan semua
tahapan pengadaan
Penetapan Dokumen Panitia Berdasarkan persetujuan
Pengadaan dan Pengadaan dari PJPK.
perubahannya (jika ada)
Persetujuan perubahan
dokumen pengadaan
diberikan paling lambat 5
(lima) hari kerja setelah
perubahan diusulkan oleh
Panitia Pengadaan.
Apabila PJPK tidak
memberikan jawaban
dalam jangka waktu
tersebut maka PJPK
dianggap tidak
menyetujui perubahan
Evaluasi sanggah dan PJPK Didasarkan pada kajian
Penetapan Prakualifikasi mengenai penyebab
Ulang kegagalan Prakualifikasi
Berita Acara Hasil Panitia Ditandatangani oleh
Evaluasi Dokumen Pengadaan paling kurang dua pertiga
Penawaran Sampul II dari jumlah anggota
panitia pengadaan
Berita Acara hasil Panitia Ditandatangani oleh
Pelelangan Pengadaan paling kurang dua pertiga
dari jumlah anggota
panitia pengadaan
Jawaban atas sanggahan PJPK Jawaban pertulis atas
pelelangan semua sanggahan
diberikan oleh PJPK
paling lambat 10

Bab 3 | 38
(sepuluh) hari kerja
setelah diterimanya
sanggahan. Apabila PJPK
tidak memberikan
jawaban dalam jangka
waktu tersebut di atas
maka PJPK dianggap
menolak sanggahan.
Apabila sanggahan
dinyatakan benar oleh
PJPK maka PJPK
menyatakan evaluasi
ulang atau menyatakan
pelelangan gagal.
Surat pemenang lelang PJPK PJPK menerbitkan surat
(letter of award) pemenang lelang dengan
ketentuan:
a. Tidak ada sanggahan
dari peserta lelang;
b. Sanggahan terbukti
tidak benar;
c. Masa sanggah telah
berkahir;
d. Pemenang lelang
sudah
memperpanjang surat
jaminan penawaran
yang berlaku sampai
dengan
penandatanganan
perjanjian kerjasama.
PJPK menerbitkan Surat
Pemenang Lelang
selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah
proses sanggah selesai.
Surat penunjukan badan PJPK Surat diterbitkan dalam
usaha Pemenang Lelang jangka waktu paling lama
sebagai Pelaksana 10 (sepuluh) hari kerja
proyek KPBU setelah surat pemenang
lelang diterbitkan

Bab 3 | 39
Bab 3 | 40
Bab 4 KAJIAN TEKNIS
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

4.1 STANDAR KINERJA TEKNIS OPERASIONAL PELABUHAN

Untuk dapat memberikan pelayanan yang baik dalam penyelenggaraan transportasi laut,
maka perlu ditetapkan standar kinerja teknis operasional pelabuhan yang dapat
dijadikan sebagai alat untuk mengukur tingkat keberhasilan penyelenggaraan
transportasi laut, sebagai instrumen perencanaan untuk menggambarkan kondisi yang
ingin dicapai di masa yang akan datang, sebagai instrumen perencanaan untuk
mengalokasikan sumber daya/investasi, sebagai instrumen pemantauan (monitoring) dan
evaluasi kinerja (performance evaluation) untuk pelaksanaan kegiatan, sebagai
instrumen pembantu untuk pengambilan keputusan.

Indikator Kinerja Pelayanan Operasional adalah variabel-variabel Pelayanan,


penggunaan fasilitas dan peralatan pelabuhan. Indikator tersebut terdiri dari Waiting
Time (WT) atau waktu tunggu kapal, Approach Time (AT) atau waktu pelayanan
pemanduan, Effektive Time dibanding Berth Time (ET: BT), Produktivitas Kerja (T/G/J
dan B/C/H), Receiving/Delivery Petikemas, Berth Occupancy Ratio (BOR) atau atau
tingkat penggunaan dermaga, Shed Occupancy Ratio (SOR) atau tingkat penggunaan
gudang, Yard Occupancy Ratio (YOR) atau tingkat penggunaan lapangan penumpukan,
Kesiapan operasi peralatan.

Beberapa definisi yang berkaitan dengan kinerja pelayanan adalah sebagai berikut:
1. Kinerja Terminal Petikemas
Kriteria kinerja Terminal Petikemas, salah satunya dapat dilihat dari produktivitas
alat bongkar muat. Kemampuan alat bongkar muat yang dimiliki oleh Terminal
Petikemas harus dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk melakukan kegiatan bongkar
muat Peti Kemas yang keluar masuk terminal, antara lain di definisikan sebagai
berikut:
a. Produktifitas Alat Bongkar Muat (Crane)

/ / =

Bab 4 | 1
b. Produktifitas Dermaga (berth)

/ / =

dengan:
B = box
C = crane
S = ship
H = hour

c. Kinerja arus lalu tambatan / dermaga (Berth Through-Put, BTP)


∑( / , )
=

dengan:
BTP = jumlah ton barang di dermaga konvensional atau TEU’s petikemas di
dermaga petikemas dalam satu periode (bulan/tahun) yang melewati
dermaga yang tersedia dalam satuan meter.

d. Kinerja dermaga (Berthing Occupancy Ratio, BOR)


BOR merupakan indicator pemanfaatan dermaga yang menyatakan tingkat
pemaiakaian dermaga terhadap waktu tersedia. Dermaga yang tidak terbagi atas
beberapa tempat tambatan (continous berth), perhitungan penggunaan
tambatan didasarkan pada panjang kapal ditambah 5m sebagai pengaman depan
dan belakang.
∑ ( + 5)
= 100%

Dengan Nilai BOR, maka diketahui tingkat kepadatan sebuah pelabuhan. BOR
juga merupakan indikator yang menentukan apakah sebuah pelabuhan masih
memenuhi sarat untuk melayani kapal dan barang atau membutuhkan
pengembangan, dan BOR juga menggambarkan produktifitas pelabuhan.

e. Kinerja lapangan penumpukan (Container Yard Occupancy Ratio)


Tingkat pemakaian lapangan penumpukan petikemas CYOR atau YOR, merupakan
perbandingan jumlah pemakaian lapangan penumpukan petikemas yang dihitung
dalam 1 TEU per hari atau m² per hari dengan kapasitas penumpukan yang
tersedia.
Container Yard:

Bab 4 | 2

= 100%

Container Freight Station



= 100%
ℎ 1 / ℎ

Untuk mengatasi kondisi kritis (over load) dan menjamin kelancaran operasi di
lapangan penumpukan petikemas, maka dalam perencanaan harus
dipertimbangkan kapasitas lapangan penumpukan yang dapat menampung
petikemas denga jumlah minimal disesuaiakan dalam 3 hari kerja (Kramadibrata
S, 1985).

2. Pengukuran Kinerja Pelayanan Terminal Petikemas


a. Pelayanan Kapal
Dalam perhitungan kinerja operasional terminal, terdapat beberapa indikator
terutama yang berkaitan dengan pelayanan kapal di dermaga, yaitu waktu
pelayanan. Waktu pelayanan ini terdiri dari:
1) Berthing time, yaitu total waktu yang digunakanoleh kapalselama berada di
tambatan. Berthing time terdiri dari berth working time dan not operation
time Berthing time (BT)
BT = BWT + NOT
dengan:
BT = jumlah jam satu kapal selama berada di tambahan
2) Berth working time yaitu waktu yang direncanakan untuk melakukan kegiatan
bongkar muat, yang terdiri dari effective time dan idle time. Berth Working
Time (BWT):
BWT = ET + IT
BWT = BT - NOT
dengan:
BWT = jumlah jam satu kapal yang direncanakan untuk melakukan kegiatan
bongkar / muat petikemas selama berada di tambatan.
3) Not operation time, yaitu waktu yang direncanakan untuk tidak bekerja
(tidak melakukan kegiatan bongkar muat), seperti waktu istirahat yaitu 30
menit tiap Shift.
4) Effective time, yaitu waktu yang digunakan untuk melakukan kegiatan
bongkar muat secara efektif.

Bab 4 | 3
5) Idle time, yaitu waktu yang tidak digunakan untuk melakukan kegiatan
bongkar muat atau waktu menganggur, seperti waktu yang terbuang saat
peralatan bongkar muat rusak.

Gambar 4.1 Waktu pelayanan di dermaga

Waktu pelayanan kapal dermaga tersebut akan mempengaruhi indikator


pemanfaatan (utilitas) yang dikenal dengan BOR. Karena secara keseluruhan dari
indikator waktu pelayanan tersebut akan menjadi dasar perhitungan rasio
penggunaan dermaga (BOR).

Rasio penggunaan dermaga yang dinyatakan dalam satuan persen (%)


memberikan informasi mengenai seberapa padat arus kapal yang tambat dan
melakukan kegiatan bongkar muat di dermaga sebuah pelabuhan.

b. Pelayanan Petikemas
Kecepatan bongkar / muat Per Kapal.
1) Kecepatan bongkar / Muat di pelabuhan (Ton per Ship Hour in Port)
∑( / )
=

dengan:
TSHP = kecepatan bongkar muat di pelabuhan (ton jam).
2) Kecepatan Bongkar / Muat di Tambatan (Ton per Ship Hour in Berth)
∑( / )
=

∑( / )
=

Bab 4 | 4
dengan:
TSHB = kecepatan bongkar muat per shift di tambatan (ton jam)

3. Kongesti Pelabuhan
Kongesti/kemacetan pelabuhan akan timbul apabila kapasitas pelabuhan tidak
sebanding dengan jumlah kapal dan barang yang akan masuk ke pelabuhan untuk
melakukan kegiatan bongkar muat uang ditandai oleh indikator kinerja pelabuhan
(BOR). Gejala ini dapat terjadi apabila pada suatu pelabuhan terjadi kebutuhan yang
mendadak atau kelambatan kerja pelayanan bongkar muat di pelabuhan.

Kapal dan barang dapat menunggu berhari-hari bahkan berminggu-minggu di luar


pelabuhan untuk membongkar muatannya. Bila hal ini terjadi, perekonomian suatu
negara akan sangat terpengaruh dan pelayaran secara keseluruhan akan merasakan
akibatnya. Oleh karena itu, BIMCO (The Baltic and International Maritime
Conference), yaitu perkumpulan pemilik kapal yang dalam hal ini mewakili UNCTAD
membuat saran untuk menghindari kongesti pelabuhan (Shipping Pengangkutan
Intermodal Ekspor Impor Melalui Laut, R.P.Suyono, 2001).
Tabel 4.1 Rata-rata Produktifitas Pelabuhan (untuk kapal besar dan kecil)
pergerakan per jam
Produktifitas untuk Kapal Kecil Produktifitas untuk Kapal Besar
Pelabuhan
Crane Dermaga Crane Dermaga
Singapore 23 45 36 140
UEA Rashid & Jebel Ali 22 40 30 110
Khor-Fakkan 20 32 28 100
Salalah - - 29 90
Adem - - 28 70
India Nhava Sheva 18 30 22 40
Jawaharlal Nehru 16 24 20 36
Tuticorin 14 14 - -
Colombo-SLPA 14 23 18 45
Colombo-SAGT 13 25 - -
Sumber : Container Terminal Productivity, 2007
Kapal Kecil: 400-1.800 TEU, Kapal Besar 1.800 TEU ke atas

Tabel 4.2 BOR Maksimum (kinerja dermaga)


Number of Berth in the Group Recommended maximum Bert Ocupancy Ratio (%)
1 40
2 50
3 55
4 60
5 65
6-10 70
>10 80
Tergantung kondisi pelabuhan
Sumber : Port development A Handbook for Planners in Developing Countries UNCTAD

Bab 4 | 5
Untuk mengatasi kongesti di pelabuhan dapat dilakukan dengan:
a) Pemakaian pelabuhan lain yang berada di dekat pelabuhan
b) Pemakaian kapal jenis lain
c) Melakukan perubahan dalam peraturan dan undang-undang segingga barang lebih
mudah keluar atau masuk pelabuhan.
d) Indikasi untuk pengembangan pelabuhan (perluasan atau pengembangan baru).

Dengan memberikan pelayanan yang effisien akan memberikan dampak terhadap


peningkatan indikator kinerja (BOR), mengurangi waktu tidak efektif atau Waiting Time
(Port Development A handbook for planners in developing countries, UNCTAD, 1985)
Dari referensi lain, diperoleh informasi bahwa ketentuan BOR maksimum adalah 70%
yang direkomendasikan oleh UNCTAD (Studi Tolok Ukur Kinerja Fasilitas Pelabuhan,
Badan Penelitian dan Pengembangan, Devisi. Proyek Penelitian dan Pengkajian Sistem
Transportasi Laut, ITS).

4.2 KONDISI TEKNIS LINGKUNGAN PELABUHAN

4.2.1 Elevasi Pasang Surut

Data elevasi pasang surut tertinggi dan terendah berdasarkan peramalan adalah sebagai
berikut:
Mean High Water Level (MHWL) = + 2.00 m
Mean Low Water level (MLWL) = + 0.00 m

4.2.2 Tinggi Gelombang dan Kecepatan Arus

4.2.2.1 Gelombang
Tinggi gelombang rencana berdasarkan hasil simulasi perambatan gelombang laut dalam
dari arah utara:
Tinggi Gelombang = 1.0 m
Periode = 6.0 s
Bilangan gelombang = 0.086

4.2.2.2 Arus
Kecepatan arus rencana berdasarkan hasil simulasi arus pasang surut yang telah
dilakukan:
Kecepatan Arus (U) = 0.5 m/s

Bab 4 | 6
Koefisien Drag = 1
Koefisien Inersia = 2

4.3 ANALISIS KEBUTUHAN FASILITAS PERAIRAN

Analisis kebutuhan fasilitas perairan ini meliputi:


1. Analisis Fasilitas Pokok, yang terdiri dari:
a. Panjang, Tinggi Dek, dan Lebar Dermaga;
b. Kolam Putar (Turning Basin);
c. Area Tambat dan Sandar Kapal;
d. Luas dan kedalaman Kolam;
e. Panjang, Kedalaman, dan Lebar Alur Pelayaran; dan
f. Luas Areal Tempat Labuh.
2. Analisis Fasilitas Penunjang.

4.3.1 Panjang, Tinggi Dek, dan Lebar Dermaga

Dermaga adalah suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan
menambat kapal yang melakukan bongkar muat barang dan menaik-turunkan
penumpang. Dimensi dermaga didasarkan pada jenis dan ukuran kapal yang merapat
dan bertambat pada dermaga tersebut. Pertimbangan ukuran dermaga harus
berdasarkan pada ukuran-ukuran minimal sehingga kapal dapat bertambat atau
meninggalkan dermaga maupun melakukan bongkar muat barang dengan aman, cepat
dan lancar.

Dermaga dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu wharf atau quay dan jetty atau pier.
Wharf adalah dermaga yang paralel dengan pantai dan biasanya berimpit dengan garis
pantai. Wharf juga dapat berfungsi sebagai penahan tanah yang ada di belakangnya.
Jetty atau pier adalah dermaga yang menjorok ke laut. Berbeda dengan wharf yang
digunakan untuk merapat pada satu sisi, pier bisa digunakan pada satu sisi atau dua
sisinya.

4.3.2 Tipe Dermaga

Pemilihan tipe dermaga sangat dipengaruhi oleh kebutuhan yang akan dilayani (dermaga
penumpang atau barang yang bisa berupa barang satuan, curah atau cair), ukuran kapal,
arah gelombang dan angin, kondisi topografi dan tanah dasar laut, dan yang paling

Bab 4 | 7
penting adalah tinjauan ekonomi untuk mendapatkan bangunan yang paling ekonomis.
Pemilihan tipe dermaga didasarkan pada tinjauan berikut:
1. Tinjauan Topografi Daerah Pantai
Di perairan yang dangkal sehingga kedalaman yang cukup agak jauh dari darat,
penggunaan jetty akan lebih ekonomis karena tidak diperlukan pengerukan yang
besar. Sedang di lokasi dimana kemiringan dasar cukup curam, pembuatan pier
dengan melakukan pemancangan tiang di perairan yang dalam menjadi tidak praktis
dan sangat mahal. Dalam hal ini pembuatan wharf adalah lebih tepat. Di suatu
daerah yang akan dibangun daerah industri atau pertambangan dekat pantai, di
mana daerah daratan rendah maka diperlukan penimbunan dengan menggunakan
pasir hasil pengerukan di laut. Untuk menahan tanah timbunan diperlukan dinding
penahan tanah. Dinding penahan tanah tersebut dapat juga sebagai dermaga dengan
menambah fasilitas tambatan, bongkar-muat, perkerasan halaman dermaga, dan
sebagainya. Dermaga ini disebut bulkhead wharf (wharf penahan tanah).

2. Jenis Kapal yang Dilayani


Dermaga yang melayani kapal kontiner (container cargo) memerlukan peralatan
bongkar-muat barang yang besar, rel khusus crane, gudang-gudang, dan lain-lain.
Karena kebutuhan fasilitas bongkar muat tersebut, areal darat lebih cocok berupa
timbunan. Apabila areal darat Untuk melayani kapal tersebut penggunaan pier atau
jetty akan lebih ekonomis.

3. Daya Dukung Tanah


Kondisi tanah sangat menentukan dalam pemilihan tipe dermaga. Pada umumnya
tanah di dekat daratan mempunyai daya dukung yang lebih besar daripada tanah di
dasar laut. Dasar laut umumnya terdiri dari dari endapan yang belum padat.
Ditinjau dari daya dukung tanah, pembuatan wharf atau dinding penahan tanah
lebih menguntungkan. Tetapi apabila tanah dasar berupa karang, pembuatan wharf
akan mahal karena untuk memperoleh kedalaman yang cukup di depan wharf
diperlukan pengerukan. Dalam hal ini pembuatan pier akan lebih murah karena tidak
diperlukan pengerukan dasar karang.

Dengan melihat kondisi di lapangan dan mengacu kepada pertimbangan-


pertimbangan diatas dipilihlah tipe pier atau jetty untuk struktur dermaga karena
dinilai lebih ekonomis. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi pantai yang curam dan
jenis kapal yang dilayani adalah kargo dengan spesifikasi 30.000 DWT.

Bab 4 | 8
4.3.3 Perencanaan Layout dan Elevasi Penting

4.3.3.1 Panjang Dermaga


Dermaga berfungsi sebagai tempat membongkar-muat (loading-unloading) dan berlabuh
(berthing). Dasar pertimbangan dalam perencanaan dermaga:
1. Arah angin, arah arus, dan perilaku kestabilan pantai.
2. Panjang dan lebar dermaga disesuaikan dengan kapasitas/jumlah kapal berlabuh.
3. Letak dermaga dipilih sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan terhadap
fasilitas darat yang tersedia dengan mempertimbangkan kedalaman perairan.
4. Elevasi lantai dermaga dengan memperhitungkan kondisi pasang surut dan
gelombang.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dermaga diuraikan di bawah
ini.
1. Elevasi Dermaga
Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dermaga adalah elevasi
dermaga. Elevasi dermaga dibuat sedemikian rupa sehingga pada saat pasang tinggi
air tidak melimpas ke permukaan dermaga. Penentuan elevasi lantai dermaga sesuai
dengan kondisi pasang surut yaitu:
E = MHWL + 1/2H + F
dengan:
E = Elevasi dermaga
MHWL = Mean High Water Level, elevasi pasut tertinggi. (3.56m)
H = tinggi gelombang. (1.0m)
F = free board, tinggi jagaan (0.5-1.0 m)

Dari data-data yang dimiliki didapatkan elevasi dermaga:


E = 2.00 + ½(1.0) + 1.00 = 3.5 m

2. Panjang Dermaga
Penentuan kebutuhan panjang dermaga ditentukan oleh arus bongkar muat
berdasarkan jenis komoditi, volume barang, dan jenis kemasan, dimana penentuan
kebutuhan fasilitas tiap tahapan pengembangan dibagi menjadi tiga masa rencana,
yaitu:
a. Kebutuhan fasilitas pelabuhan untuk 5 tahun kedepan;
b. Kebutuhan fasilitas pelabuhan untuk 10 tahun kedepan, dan;

Bab 4 | 9
c. Kebutuhan fasilitas pelabuhan untuk 20 tahun kedepan.

Dalam perhitungan kebutuhan dermaga diperlukan pengetahuan mengenai


karakterisitik kapal yang akan digunakan dalam perencanaan seperti panjang (loa),
lebar dan draft. Karakteristik kapal yang digunakan dalam pengembangan Pelabuhan
Baubau dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.3 Karakteristik Kapal
Panjang Loa Lebar Draft Panjang Lebar Draft
Bobot Bobot
(m) (m) (m) Loa (m) (m) (m)
Kapal Penumpang (GRT) Kapal Minyak (DWT)
500 51 10,2 2,9 700 50 8,5 3,7
1.000 68 11,9 3,6 100 61 9,8 4,0
2.000 88 13,2 4,0 2.000 77 12,2 5,0
3.000 99 14,7 4,5 3.000 88 13,8 5,6
5.000 120 16,9 5,2 5.000 104 16,2 6,5
8.000 142 19,2 5,8 10.000 130 20,1 8,0
10.000 154 20,9 6,2 15.000 148 22,8 9,0
15.000 179 22,8 6,8 20.000 162 24,9 9,8
20.000 198 24,7 7,5 30.000 185 28,3 10,9
30.000 230 27,5 8,5 40.000 204 30,9 11,8
50.000 219 33,1 12,7
Kapal Barang (DWT) 60.000 232 35,0 13,6
700 58 9,7 3,7 70.000 244 36,7 14,3
1.000 64 10,4 4,2 80.000 255 38,3 14,9
2.000 81 12,7 4,9 30.000 185 28,3 10,9
3.000 92 14,2 5,7
5.000 109 16,4 6,8 Kapal Peti Kemas (DWT)
8.000 126 18,7 8,0 20.000 201 27,1 10,6
10.000 137 19,9 8,5 30.000 237 30,7 11,6
15.000 153 22,3 9,3 40.000 263 33,5 12,4
20.000 177 23,4 10,0 50.000 280 35,8 13,0
30.000 186 27,1 10,9
40.000 201 29,4 11,7
50.000 216 31,5 12,4
Kapal Barang Curah (DWT) Kapal Ferry (GRT)
10.000 140 18,7 8,1 1.000 73 14,3 3,7
15.000 157 21,5 9,0 2.000 90 16,2 4,3
20.000 170 23,7 9,8 3.000 113 18,9 4,9
30.000 192 27,3 10,6 4.000 127 20,2 5,3
40.000 208 30,2 11,4 6.000 138 22,4 5,9
50.000 222 32,6 11,9 8.000 155 21,8 6,1
70.000 244 37,8 13,3 10.000 170 25,4 6,5
90.000 250 38,5 14,5 13.000 188 27,1 6,7
100.000 275 42,0 16,1
150.000 313 44,5 18,0
Sumber : Perencanaan Pelabuhan, Bambang Triatmodjo, 2010

Bab 4 | 10
Gambar 4.2 Bentuk tipikal dimensi kapal

Berikut ini disampaikan perhitungan panjang dermaga, berdasarkan proyeksi lalu


lintas peti kemas untuk tahun 2020:
1. Jumlah bongkar muat peti kemas : 34.538 TEUS
2. Jumlah efektif hari kerja setahun : 300 hari (Hari Minggu dan Libur Nasional
tidak beroperasi)
3. Jumlah efektif hari kerja perhari : 12 jam
4. Berth Occupancy Ratio : 60%
5. Produktifitas crane darat perjam : 5 box/jam
6. Produktifitas crane perhari, dihitung berdasarkan:
= jumlah efektif kerja perhari x produktifitas crane perjam
= 12 jam/hari x 5 box/jam = 60 box/hari
7. Total kebutuhan efektif hari kerja:
= ship call kapal pertahun x (jumlah hari kerja/produktifitas crane perhari)/BOR
= 128 x (300/60)/60% = 1.066 hari
8. Kebutuhan Jumlah Dermaga Peti Kemas
Dihitung berdasarkan asumsi jenis kapal standar (rata-rata yang bersandar):
Jenis kapal: tahap 1 = 7.000 GT, tahap 2 = 10.000 GT dan tahap 3 = 15.000 GT
Panjang kapal masing-masing 130, 145, dan 160m.
Jumlah kapal dihitung dengan mengiterasi proporsi ketiga ukuran kapal diatas
sehingga mendapatkan jumlah kapal ideal
= 438 ~ 2 buah kapal yang bersandar pada saat yang sama
300
9. Jumlah kapal perhari tahun 2020 setelah proses iterasi adalah:
 Tahap 1: 2 buah kapal bobot 5.000 DWT;
 Tahap 2: 2 buah kapal bobot 10.000 DWT;
 Tahap 3: 2 buah kapal bobot 15.000 DWT.
10. Total panjang dermaga peti kemas tahun 2020: 260 meter.

Bab 4 | 11
Peningkatan kinerja operasional pelabuhan yang meliputi BOR, jumlah jam operasi,
jumlah gang, serta produktifitas alat/gang mempengaruhi kebutuhan dermaga pada
pelabuhan yang dikaji. Pada kasus Pelabuhan Baubau, terdapat tiga jenis angkutan
utama yaitu angkutan penumpang, angkutan barang umum dan angkutan peti
kemas.

Perhitungan tiap tahapan pengembangan panjang dermaga Pelabuhan Murhum


Baubau lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 4.4 Kebutuhan Pengembangan Dermaga Pelabuhan Murhum Baubau
Eksisting Pendek Menengah Panjang
No Uraian Satuan
2015 2016-2020 2016-2025 2016-2035
Terminal Peti Kemas
1 Bongka r mua t conta i ner TEUS 11.848 31.564 45.833 81.073
2 Juml a h efekti f kerja per ha ri ja m 12 14 14 18
3 Berth Occupa ncy Ra ti o % 63 60 55 55
4 Produkti vi ta s cra ne da ra t per ja m box 5 8 10 12
5 Produkti vi ta s cra ne da ra t per ha ri box 60 112 140 216
6 Jeni s Ka pa l Si ngga h GT 5.000 7.000 10.000 15.000
7 Pendeka ta n Pa nja ng Derma ga (ukura n ka pa l ) m 130 130 160 160
8 Ka pa s i ta s Ka pa l box 206 288 412 618
9 Shi p ca l l per ta hun ka l i 58 110 112 132
10 Tota l Kebutuha n Efekti f Ha ri Kerja s el uruh ta mba ta n ha ri 316 472 599 687
11 Juml a h ha ri kerja ha ri 330 330 330 330
12 Juml a h Derma ga Conta i ner berth 1,0 2,0 2,0 3
13 Tota l Pa nja ng derma ga ka pa l peti kema s m 130 260 320 480
Terminal Multi Purpose
1 Bongka r mua t ca rgo Ton 529.532 1.088.340 1.544.458 2.890.237
2 Produkti vi ta s ga ng per ja m Ton 15 15 25 35
3 Produkti vi ta s ga ng per ha ri Ton 180 210 350 630
4 Berth Occupa ncy Ra ti o % 68 70 70 70
5 Juml a h Ga ng per ha ri ga ng 8,91 15,70 13,37 14
6 Kebutuha n Pa nja ng Derma ga Ca rgo m 655 1122 955 993
7 Jeni s Ka pa l Si ngga h GT 1.000 2.000 3.000 5.000
8 Pendeka ta n Pa nja ng Derma ga (ukura n ka pa l ) m 68 100 110 130
9 Juml a h Derma ga Ca rgo berth 10,0 12,0 9,0 8
10 Tota l Pa nja ng derma ga ka pa l ca rgo m 680 1200 990 1.040

Sumber : Hasil Analisis, 2015

3. Lebar Dermaga
Lebar dermaga ditentukan bedasarkan peralatan dan kebutuhan bongkar muat
barang di atas dermaga. Dalam hal ini alat-alat yang disediakan. Dalam studi ini
lebar dermaga di desain sepanjang 20 m untuk memenuhi kebutuhan bongkar muat
kontainer.

4.3.3.2 Alur Pelayaran


1. Panjang Alur

Bab 4 | 12
Panjang alur pelayaran tergantung dari topografi dasar perairan (bathimetri) dan
kedalaman alur yang diinginkan, sedangkan arah alur pelayaran tergantung dari arah
angin dominan, topografi dasar perairan, dan material dasar perairan. Berdasarkan
pada karakteristik geografis Baubau, kedalaman alur pelayaran di Selat Masiri dan
Selat Buton berkisar antara 10 – 20 meter dengan lebar alur pelayaran yang cukup
memadai. Sedangkan arah alur pelayaran adalah dari arah barat daya Pelabuhan
Baubau dan khusus alur dari Kendari, alur pelayaran dari arah utara pelabuhan.

2. Lebar Alur
Untuk lebar alur dapat dihitung dengan menggunakan rumus seperti yang terlihat
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Perhitungan Lebar Alur Pelayanan
No Pemanfaatan alur Kondisi Alur Lebar Alur
1 Satu jalur Kapal tidak berpapasan 5B
Kapal sering berpapasan
7B + 30 M
Dua jalur dan alur (frekwensi lalu lintas kapal cukup banyak)
2
relatif panjang Kapal jarang berpapasan
4B + 30 M
(frekwensi lalu lintas kapal relatif sedikit)
Dua jalur dan alur Kapal sering berpapasan 9B + 30 M
3
melengkung Kapal jarang berpapasan 6B + 30 M
Ket: B = lebar kapal rencana (dalam meter)

Dengan menggunakan kapal standar sebagaimana ditetapkan dalam rencana


pengembangan, maka kebutuhan alur pelayaran didasarkan pada untuk ukuran kapal
maksimum yaitu kapal dengan ukuran 15.000 DWT. Dengan asumsi alur pelayaran
adalah dua jalur dengan alur pelayaran relatif panjang dengan kondisi alur kapal
sering berpapasan, maka direncanakan lebar alur pelayaran sebesar = (7 x 24m) +
30m = 198 meter. Dengan penetapan lebar alur pelayaran sebesar 14,5 mil (232
meter), alur pelayaran Pelabuhan Baubau cukup untuk memenuhi kebutuhan
pelayaran sampai dengan jangka panjang.

3. Kedalaman alur
Kedalaman air diukur terhadap muka air referensi nilai rata-rata dari muka air surut
terendah pada saat pasang kecil (neap tide) dalam periode panjang yang disebut
LLWL (Lowest Low Water Level), agar kapal dapat masuk dan keluar dengan lancar
pada saat muka air rendah. Kedalaman alur pelayaran berdasarkan Technical
Standards and Commentaries for Port and Harbour Facilities In Japan ditentukan
dengan rumus:

Bab 4 | 13
D = d + 0.5H + s + c
Keterangan:
d : Draft kapal (meter)
D : Kedalaman pelabuhan pada saat muka air terendah (meter)
H : Tinggi gelombang maksimum diambil 1.5 m
s : Squat (tinggi ayunan kapal yang berlayar, tergantung besarnya kapal),
dimana s dan C diambil 0.5 untuk kapal >1.000 GT
c : Clearance sebagai pengaman, antara 25 – 100 cm, tergantung kondisi
kekerasan dasar perairan

Perhitungan kedalaman alur pelayaran didasarkan kepada pertimbangan draft kapal


maksimum (kapal peti kemas 15.000 DWT) adalah 8,7 meter. Berdasarkan pada
kebutuhan draft kapal ini, direncanakan sisi luar dermaga dengan kedalaman
minimum 9 meter.

4.3.3.3 Dimensi Kolam Pelabuhan


a. Areal Alur Pelayaran dari dan ke Pelabuhan
Berdasarkan ‘Pedoman Teknis Rencana Induk Pelabuhan’ yang diterbitkan oleh
Direktorat Perhubungan Laut, Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan Tahun 2002, untuk
perhitungan alur pelayaran pelayaran dari dan ke pelabuhan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Alur = (9B + 30) x Lajur
Keterangan:
B = Lebar kapal maksimum
Lalur = Panjang alur pemanduan dan penundaan

b. Areal Tempat Sandar


Area tambat/sandar kapal digunakan untuk menampung kapal yang bertambat dengan
syarat tidak mengganggu kegiatan bongkar muat dan manuver kapal yang akan keluar
masuk kolam pelabuhan. Kebutuhan luas area tambat yang diperlukan berdasarkan KM
No.52 Tahun 2004 diperoleh dengan rumus:
Luas areal tempat sandar kapal = jumlah kapal x (1.8 L x 1.5 L)
Keterangan:
1,8L x 1,5L: Luas perairan untuk tempat sandar 1 kapal (A)
L: Panjang kapal (meter)

c. Areal Kolam Putar


kolam putar diperlukan agar kapal dapat mudah berbalik arah. Luas area untuk
perputaran kapal sangat dipengaruhi oleh ukuran kapal, sistem operasi, dan jenis kapal.

Bab 4 | 14
Radius kolam putar berdasarkan KM No.52 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan
Pelabuhan menggunakan rumus:
A = ¼ x N x π x D²
Keterangan:
A: Luas kolam putar (m2)
N: Jumlah kolam putar
D: Diameter areal kolam putar dengan tunda = 2L
D: Diameter areal kolam putar tanpa tunda = 3L
L: Panjang kapal maksimum

d. Areal Tempat Labuh


Penentuan luas areal berlabuh tergantung pada jumlah dan panjang kapal yang akan
direncanakan berlabuh. Perhitungan luas areal tempat labuh adalah sebagai berikut:
A = N x π x R²
R = L + 6D + 30 m
Keterangan:
R : Jari-jari areal untuk berlabuh kapal (meter);
L : Panjang kapal yang berlabuh (meter);
D : Kedalaman air (meter).

e. Areal Pindah Labuh Kapal


Penentuan luas areal pindah labuh kapal tergantung pada jumlah dan panjang kapal
yang akan direncanakan berlabuh. Perhitungan luas areal pindah labuh kapal adalah
sebagai berikut:
A = N x π x R²
R = L + 6D + 30 m
Keterangan:
R : Jari-jari areal untuk berlabuh kapal (meter);
L : Panjang kapal yang berlabuh (meter);
D : Kedalaman air (meter).

f. Areal Alih Muat Kapal


Penentuan luas areal alih kapal tergantung pada jumlah dan panjang kapal yang akan
direncanakan berlabuh. Perhitungan luas areal alih kapal adalah sebagai berikut:
A = N x π x R²
R = L + 6D + 30 m
Keterangan:
R : Jari-jari areal untuk berlabuh kapal (meter);
L : Panjang kapal yang berlabuh (meter);
D : Kedalaman air (meter).

Bab 4 | 15
g. Areal Penempatan Kapal Mati
Faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan luas area untuk penempatan kapal
mati adalah jumlah kapal dan ukuran kapal.

h. Areal Keperluan Keadaan Darurat


Faktor yang perlu diperhatikan adalah kecelakaan kapal, kebakaran kapal, kapal kandas
dan lain-lainnya. Salvage area diperkirakan luasnya 50% dari luas areal pindah labuh
kapal.

i. Areal Percobaan Berlayar


Faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan luasan area untuk percobaan berlayar
adalah ukuran kapal rencana.

j. Kolam Pelabuhan
Kolam pelabuhan adalah lokasi perairan tempat kapal berlabuh, mengisi perbekalan,
atau melakukan aktivitas bongkar-muat. Secara fungsional batas-batas kolam pelabuhan
sulit ditentukan dengan tepat, tetapi secara teknis kolam pelabuhan dibatasi oleh
daratan, pemecah gelombang, dermaga, atau batas administrasi pelabuhan.

Dasar pertimbangan perencanaan kolam pelabuhan:


 Perairan harus cukup tenang (memenuhi syarat harbor tranquility).
 Lebar dan kedalaman perairan kolam disesuaikan dengan fungsi dan kebutuhan.
 Kemudahan gerak (manuver) kapal.

Kolam pelabuhan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:


 Cukup luas supaya dapat menampung semua kapal yang datang berlabuh dan masih
tersedia cukup ruang bebas supaya kapal masih dapat bergerak dengan bebas.
 Cukup lebar supaya kapal dapat melakukan manuver dengan bebas, sebaiknya
merupakan lintasan memutar yang tidak terputus.
 Cukup dalam supaya kapal terbesar masih dapat masuk pada saat air surut terendah.

Untuk memenuhi syarat-syarat tersebut di atas kolam pelabuhan harus direncanakan


sekurang-kurangnya sesuai dengan kriteria sebagai berikut:

Bab 4 | 16
a. Kedalaman Kolam
Perairan kolam harus memiliki kedalaman yang cukup supaya kapal-kapal dapat
keluar-masuk dengan aman pada saat air surut terendah (LLWL). Kedalaman kolam
dihitung dengan persamaan di bawah ini.
h = d + ½H + C
dengan:
h = Kedalaman kolam pelabuhan saat surut terrendah.
d = draft = tinggi bagian kapal yang terrendam air pada saat muatan penuh (8.2 m)
H = Tinggi gelombang rencana (1.0 m)
C = keel clearence = sebagai pengaman, diambil nilai 10-100 cm.

Dari data-data yang dimiliki didapatkan kedalaman kolam putar:


h = 11.0 + ½(1.0) + 0.5 = 12.0 m

b. Diameter Kolam Putar (Turning Basin)


Kawasan kolam tempat kapal melakukan gerak putar untuk berganti haluan harus
direncanakan sedemikian rupa sehingga memberikan ruang cukup luas dan
kenyamanan.

Diameter putar turning basin yang ideal adalah:


D = 2 x LOA
dengan:
D = diameter putar turning basin.
LOA = length overall = panjang total kapal (185 m)

Dari data-data yang dimiliki didapatkan diameter kolam putar:


D = 2 x 185 = 370 m

c. Lebar Alur
Lebar alur biasanya diukur pada kaki sisi-sisi miring saluran atau pada kedalaman
yang direncanakan. Lebar alur tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
 Lebar, kecepatan dan gerak kapal
 Trafik kapal, perencanaan alur dilewati satu atau dua kapal
 Kedalaman alur pelabuhan
 Stabilitas tebing alur
 Angin, gelombang, dan arus

Bab 4 | 17
1,5 B 1,8 B 1,5 B

Kapal

Gambar 4.3 Lebar alur untuk 1 kapal

1,5 B 1,8 B C 1,8 B 1,5 B

B B

Kapal Kapal

Gambar 4.4 Lebar alur untuk 2 kapal

Lebar alur pelabuhan yang ideal untuk 2 kapal sering berpapasan adalah:
D = 7.6B
dengan:
B = Lebar kapal terbesar yang akan masuk pelabuhan. (27.5)

Dari data-data yang dimiliki didapatkan lebar alur:


B = 7.6 x 27.5
D = 209 ~ 210 m

d. Luas Kolam Pelabuhan


Perencanaan luas kolam harus menunjang kemudahan manuver kapal dan dapat
menampung kegiatan yang dilakukan oleh kapal mulai dari kedatangan sampai
berangkat. Formula perhitungan kebutuhan luas kolam pelabuhan adalah:
A = A kolam putar + A sandar kapal

Berdasarkan pada asumsi kapal maksimum (Peti Kemas dan Barang Umum) pada masing-
masing tahapan pengembangan, diperhitungkan kebutuhan luar area dalam wilayah

Bab 4 | 18
pelabuhan yang meliputi area alur pelayanan dari dan ke pelabuhan, tempat sandar,
kolam putar, tempat labuh, pindah labuh kapal, alih muat kapal, area penempatan
kapal mati, area keperluan darurat, percobaan berlayar, luas kolam pelabuhan
dijabarkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Perhitungan Kebutuhan Area Perairan Pelabuhan Baubau
Pendek Menengah Panjang
(2014-2018) (2014-2023) (2014-2033)
No Uraian Satuan
Peti Barang Peti Barang Peti Barang
Kemas Umum Kemas Umum Kemas Umum
Karakteristik Kapal
1 Desain/Standar
a. Ukuran DWT 7,000 2,000 10,000 3,000 15,000 5,000
b. LOA (Panjang), L m 109 81 135 92 158 109
c. Beam (lebar), B m 20.1 12.7 20.8 14.2 23.3 16.4
d. Draft minimum, D m 6.8 4.9 7.6 5.7 8.7 6.8
2 Jumlah Kapal dilayani
a. Kedatangan unit 7 7 7 7 8 7
b. Sandar, N unit 7 7 7 7 8 7
c. Labuh unit 1 1 1 1 1 1
d. Alih Muat unit 1 1 1 1 1 1
e. Kapal Mati unit 1 1 1 1 1 1
3 Panjang Dermaga
a. Panjang Eksisting, Le m 180 512 260 576 320 562
b. Panjang rencana, Lr m 260 576 320 562 320 630
c. Panjang Tambahan, Lt m 80 64 60 - - 68
4 Dimensi Alur
Panjang Alur (Lalur) eksisting m 17,000 17,000 17,000 17,000 17,000 17,000
Lebar Alur eksisting m 232 232 232 232 232 232
Lebar Alur ukuran kapal
a. 1-way m 101 64 104 71 117 82
b. 2-ways m 171 119 176 129 193 145
Kedalaman Alur m 9-12 9-12 9-12 9-12 9-12 9-12
5 Dimensi Kolam
a. Areal Alur Pelayaran dari
Ha 359 245 369 268 407
dan ke Pelabuhan 359
b. Areal Tempat Sandar
Lebar m 164 122 203 138 237 164
Panjang m 196 146 243 166 284 196
Luas untuk 1 kapal m2 32,079 17,715 49,208 22,853 67,403 32,079
Luas Total Ha 22 12 34 16 54 22
c. Areal Kolam Putar -
Diameter (dgn tunda) m 218 162 270 184 316 218
Luas Ha 26 14 40 19 63 26
Diameter (tanpa tunda) m 327 243 405 276 474 327
Luas Ha 59 32 90 42 141 59
d. Areal Tempat Labuh -
Jari-jari m 180 140 211 156 240 180
181,25 101,56
Luas m2 101,562 61,928 139,337 76,650
7 2
Luas Total Ha 10 6 14 8 18 10

Bab 4 | 19
Pendek Menengah Panjang
(2014-2018) (2014-2023) (2014-2033)
No Uraian Satuan
Peti Barang Peti Barang Peti Barang
Kemas Umum Kemas Umum Kemas Umum
e. Areal Pindah Labuh Kapal
Jari-jari m 180 140 211 156 240 180
181,25 101,56
Luas m2 101,562 61,928 139,337 76,650
7 2
Luas Total Ha 10 6 14 8 18 10
f. Areal Alih Muat Kapal Ha 10 6 14 8 18 10
g. Areal Penempatan Kapal
Ha 5 6 14 8 18
Mati 5
h. Areal Keperluan Keadaan
Ha 5 3 7 4 9 5
Darurat
i .Areal Percobaan Berlayar Ha 30 15 38 19 49 30
Lebar (Minimum) m 171 119 176 129 193 171
Panjang (Minimum) m 1,744 1,296 2,160 1,472 2,528 1,744
j. Luas kolam pelabuhan
Dengan tunda 48.58 26.83 74.52 34.61 116.66 48.58
Tanpa tunda 81.24 44.86 124.62 57.88 195.09 81.24
Sumber : Analisis Konsultan, 2015

4. Sistem Fender
Sistem fender ditujukan untuk menjamin kapal pada saat berlabuh dari kerusakan
yang mungkin terjadi karena benturan antara lambung kapal dengan dermaga. Tipe
fender yang akan digunakan disesuaikan dengan gaya tambat dan energi reaksi pada
fender itu sendiri.

5. Alat Penambat Kapal


Alat-alat penambat berfungsi untuk menjaga kapal yang berlabuh dari gerakan yang
dapat mengganggu aktivitas bongkar muat. Gerakan-gerakan yang biasanya paling
mengganggu operasional kapal adalah gerak vertikal (heave) dan gerak horisontal
(surge). Penambatan kapal dilakukan dengan tali yang diikatkan pada bollard.
Bollard terbuat dari kayu atau baja yang ditanam dalam blok beton pada lantai
dermaga. Peralatan penambatan didesain dengan memperhitungkan gaya-gaya tarik
yang ditimbulkan oleh kapal. Gaya tarik oleh kapal pada saat ditambat dipengaruhi
oleh bobot kapal, gelombang, angin, dan arus.

6. Kebutuhan Trestle
Tipe dermaga terpilih berupa pier atau jetty yang dihubungkan oleh trestle ke
daratan. Kebutuhan panjang trestle disesuaikan hingga mencapai kedalaman

Bab 4 | 20
rencana dermaga. Sedangkan kebutuhan lebar trestle disesuaikan dengan aktifitas
kendaraan yang akan melakukan bongkar muat kontainer.

Gambar 4.5 Denah Pengembangan Dermaga dan Trestle

4.3.3.4 Layout Pelabuhan


Penentuan layout pengembangan dermaga Pelabuhan Baubau berdasarkan karakteristik
lingkungan berupa kondisi gelombang dan arah arus. Pertimbangan arah pengembangan
dermaga mengikuti arah datang gelombang dan arus.

Gambar 4.6 Kondisi gelombang pada area Pelabuhan

Bab 4 | 21
Gambar 4.7 Kondisi gelombang pada pengembangan dermaga

Gambar 4.8 Kondisi perambatan gelombang pada pengembangan dermaga.

Bab 4 | 22
Gambar 4.9 Kondisi arus di pagi hari pukul 06.00

Gambar 4.10 Kondisi arus di siang hari pukul 12.00

Bab 4 | 23
Gambar 4.11 Kondisi arus di sore hari pukul 16.00.

Gambar 4.12 Kondisi arus di malam hari pukul 22.00

Dengan mempertimbangkan aspek yang telah di paparkan sebelumnya, layout


Pengembangan Pelabuhan Baubau disajikan pada gambar berikut.

Bab 4 | 24
Gambar 4.13 Layout Pengembangan Dermaga Pelabuhan

4.3.4 Fasilitas Penunjang

4.3.4.1 Kebutuhan Revertment


Revertment direncanakan berfungsi menjadi bangunan pelindung tebing terhadap
pengaruh air (gelombang, arus, dan lain-lain) yang dapat menyebabkan bahaya
kelongsoran. Perencanaan revertment harus memperhatikan ketersediaan material,
koefisien gesekan, tinggi muka air, run up gelombang, dan kemiringan revertment.

4.3.4.2 Fasilitas Navigasi


Alat navigasi pelayaran diperlukan untuk keselamatan, efisiensi, dan kenyamanan
pelayaran kapal. Alat ini dipasang pada alur masuk dan sepanjang alur pelayaran agar
kapal tidak menyimpang dari jalurnya, alat ini terdiri dariMenara Suar, Rambu Suar,
Kapal Tunda, dan Kapal Pandu.

4.4 KONFIGURASI TIANG PANCANG

4.4.1 Konfigurasi Tiang Pancang Dermaga

Penentuan konfigurasi tiang pancang didasarkan pada layout dan beban yang akan
bekerja. Pada studi tesis ini, komponen beban vertikal terbesar akibat Mobile crane
dengan bobot 60 ton. Selain itu juga terdapat komponen beban horizontal akibat
berthing dan mooring. Dalam tahap awal, ditetapkan konfigurasi menggunakan tiang

Bab 4 | 25
tegak dengan jarak antar tiang maksimum 5m. Adapun layout dan tampat samping
konfigurasi tiang pancang adalah sebagai berikut.

Gambar 4.14 Layout konfigurasi tiang pancang dermaga

Gambar 4.15 Tampak konfigurasi tiang pancang dermaga

4.4.2 Konfigurasi Tiang Pancang Trestle

Sama seperti penentuan konfigurasi tiang pancang pada dermaga, penentuan konfigurasi
didasarkan pada beban-beban yang bekerja di atas trestle. Pada struktur trestle, beban
yang bekerja hanya beban sendiri dan beban hidup merata. Beban yang bekerja di atas
struktur trestle lebih sedikit jika dibandingkan dengan struktur dermaga, karena itu
jarak antar tiang apabila menggunakan tiang yang sama seharusnya bisa lebih panjang.
Namun, selain pertimbangan beban, pada trestle juga dipertimbangkan lebar struktur
untuk penentuan panjang tiang. Dengan lebar trestle 8m, ditetapkan jarak antar tiang

Bab 4 | 26
pancang sepanjang 6m, dengan jarak tiang ke tepi dermaga sepanjang 1m. Adapun
layout dan tampat samping konfigurasi tiang pancang adalah sebagai berikut.

Gambar 4.16 Layout konfigurasi tiang pancang trestle

1 6 1

Gambar 4.17 Tampak konfigurasi tiang pancang dermaga

4.5 ANALISIS KEBUTUHAN FASILITAS DARAT

4.5.1 Lapangan Penumpukan Peti Kemas

Lapangan penumpukan peti kemas/Container Yard (CY) harus memiliki luasan yang
cukup untuk menampung peti kemas yang datang maupun yang akan diangkut. Letak
lapangan ini sebaiknya dekat dengan dermaga untuk mengurangi perjalanan dari
traktor-trailer.

Formulasi untuk menghitung luas lapangan penumpukan peti kemas adalah sebagai
berikut:
HCR = CMPY x ATT/365

Bab 4 | 27
NTSR = HCR x ARPTEU
GTSAR = NTSR/RAMSH
CPA = GTSAR x (1 + RCSF/100)

Keterangan:
HCR = Holding Capacity Required
CMPY = Container Movements Per Year (1 tambatan)
ATT = Average Transit Time
NTSR = Net Transit Storage Requirement
ARPTEU = Area Requirement per TEU’s
GTSAR = Gross Transit Storage Area Requirement
RAMSH = Ratio Of Average To Maximum Stacking Height
RCSF = Reserve Capacity Safety Factor
CPA = Container Park Area
Berat 1 TEU’s diambil 20 ton

Luas area penumpukan dihitung dengan pendekatan sebagai berikut:


{Bongkar muat pertahun X prosentase penumpukan di area terbuka X waktu tinggal X
kebutuhan ruang X Fk X (1 + faktor keamanan)}/ jumlah hari kalender per tahun X rata
rata tinggi tumpukan)

di mana Fk = 1,25 adalah faktor musim sibuk (peak season factor).

Selain pendekatan yang dilakukan diatas dilakukan juga pendekatan jumlah


penumpukan petikemas yang terdpat di Pelabuhan Baubau pada jangka pendek, jangka
menengah serta jangka panjang. Pendekatan ini menghasilkan jumlah kebutuhan luasan
yang diperlukan per TEUS (ARPTEU), dengan mengacu kepada Tabel 4.8. Hasil
perhitungan yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.7 Kebutuhan Luasan yang Diperlukan Per TEUS
Peralatan dan Luasan yang diperlukan per
Tinggi teus (m2/teus)
metode
penumpukan
penanganan pk 20 feet pk 40 feet
trailer 1 60 45
1 60 80
truk forklift 2 30 40
3 20 27
1 30
straddle carrier 2 15
3 10
2 15
rubber tyred gantry
3 10
crane
4 7,5
Sumber : Perencanaan Pelabuhan, Bambang Triatmodjo, 2010

Bab 4 | 28
Tabel 4.8 Luas Container Yard (m2) untuk setiap Tahap Pengembangan
Tahun ATF CMPY ATT ARPTEU RAMSH RSCF HCR NTSR GTSAR CPA
(ton/th) (TEU) (hari) (m2) (TEU) (m2) (m2) (m2)
2020 473.467 31.564 4 7,5 0,6 25 346 2.594 4.324 5.405
2025 687.498 45.833 4 7,5 0,6 25 502 3.767 6.279 7.848
2035 1.216.101 81.073 4 7,5 0,6 25 888 6.664 11.106 13.882
Sumber : Analisis Konsultan, 2015

4.5.2 Pelabuhan Barang Umum/Multipurpose

Muatan yang diangkut kapal dapat dibedakan menjadi barang cargo dan barang curah.
Dengan harapan dapat memberikan pelayanan dalam tingkat internasional, sudah
barang tentu diperlukan fasilitas dan prasarana sehingga barang tersebut dapat dimuat
atau dibongkar dengan cepat, efisien dan aman. Berikut ini akan dijelaskan secara
umum metode perhitungan yang digunakan sehingga diperoleh besaran luasan dari
fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan multipurpose.

Perhitungan luas area transit shed dihitung berdasarkan bongkar muat barang jenis
general cargo.
Untuk menghitung Luas Transit Shed dan Ware House adalah sebagai berikut:
HCR = ATTS x ATT/365
NHVR = HCR/DOC
GHVR = 1,2 x NHVR
ASAR 1 = GHVR/ASH
ASAR 2 = 1,4 x ASAR 1
DSA = ASAR 2 x (A+RCSF/100)

Keterangan:
HCR = Holding capacity requires
ATTS = Annual tonnage through store
ATT = Average transit time
NHVR = Net holding volume required
GHVR = Gross holding volume required
RCSF = Reserve capacity safety factor
ASAR 1 = Average stacking area required
ASAR 2 = Average storage area required
DSA = Design storage area
DOC = Density of cargo
ASH = Average stacking height

Perhitungan luas area warehouse dihitung berdasarkan bongkar muat barang di mana
dengan pendekatan luas gudang tertutup adalah {Bongkar muat per tahun x prosentase
penumpukan di gudang x waktu tinggal x kebutuhan ruang x 1.25 x (1+ faktor

Bab 4 | 29
keamanan)}/ jumlah hari kalender per tahun x rata rata tinggi tumpukan), di mana 1,25
adalah faktor perhitungan pada waktu sibuk.

Perbandingan luas areal warehouse dengan transit shed adalah 1:2 dengan skenario
komposisi barang sebagaimana dijabarkan pada Tabel 8.
Tabel 4.9 Komposisi Penanganan Barang di Pelabuhan
Komposisi Barang Pendek Menengah Panjang
disimpan di Gudang 20% 20% 10%
disimpan di Open Storage 10% 10% 10%
langsung dibawa 70% 70% 80%
Sumber : Analisis Konsultan, 2015

Hasil perhitungan yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 4.11.


Tabel 4.10 Luas Transit Shed, Warehouse, dan Open Storage untuk Dermaga Multi
Purpose yang Diperlukan pada Tiap Tahap Pengembangan (m2)
Storage Tahun ATF ATTS ATT DOC ASH RCSF HCR NHVR GHVR ASAR1 ASAR2 DSA

(ton/th) (ton/th) (hari) (ton/m3) (m) (ton) m3 m3 m2 m2 m2


Transit Shed
dan Ware 2020 1.088.340 217.668 6 0,7 4 40 3578 5112 6134 1533 2147 3006
House 2025 1.544.458 308.892 6 0,7 4 40 5078 7254 8705 2176 3047 4265
2035 2.890.237 289.024 6 0,7 4 40 4751 6787 8145 2036 2851 3991
Open Storage
2020 1.088.340 108.834 10 1 2,5 50 2982 2982 3578 1431 2004 3.006
2025 1.544.458 154.446 10 1 2,5 50 4231 4231 5078 2031 2843 4.265
2035 2.890.237 289.024 10 1 2,5 50 7918 7918 9502 3801 5321 7.982
Sumber : Analisis Konsultan, 2015

Tabel 4.11 Rekapitulasi Kebutuhan Transit Shed, Ware House, dan Open Storage
Transit Ware Open
Tahun
Shed House Storage
2020 2.100 1.100 3.006
2025 2.900 1.500 4.265
2035 2.700 1.400 7.982
Sumber : Analisis Konsultan, 2015

4.5.3 Parkir Kendaraan

Parkir kendaraan di pelabuhan (berdasarkan parkir mobil yang dirancang untuk fasilitas
pelabuhan) hendaknya juga mengacu pada standar struktur dan peralatan yang berlaku.
Tempat parkir terbesar sesuai daerah pelayanan masing-masing bangunan yaitu daerah
sekitar dermaga dan daerah sekitar bangunan fasilitas perkantoran. Ukuran dan lokasi
parkir mobil hendaknya ditentukan sehingga tidak menemui perintang untuk
menggunakan fasilitas pelabuhan dengan pertimbangan lalu lintas yang digerakkan dan
kondisi jalan di sekitarnya.

Bab 4 | 30
Parkir kendaraan sebaiknya tidak ditempatkan di jalan, jika kondisi topografis atau
alasan lainnya mengharuskannya, maka ukuran dan lokasi parkir mobil harus memenuhi
persyaratan berikut:
 Tidak di jalan penghubung pelabuhan dan jalan utama;
 Tidak diletakkan di tempat yang menutupi kendaraan ke tempat penanganan kargo
atau gudang;
 Tidak diletakkan di dekat tempat penanganan barang berbahaya, kecuali
dibutuhkan karena alasan topografis atau alasan lain;
 Lebar jalan di dalam tempat parkir dan lebar untuk memundurkan dan
membelokkan kendaraan ke tempat parkir harus ditentukan dengan tepat sesuai
tipe kendaraan yang menggunakannya, sudut parkir, dan metode parkir.

Kebutuhan ruang area parkir untuk pelabuhan terdiri dari kebutuhan ruang untuk area
parkir kendaraan yang menyeberang serta area parkir kendaraan penjemput dan
transportasi umum.

4.5.3.1 Parkir Truk


Untuk perhitungan luas areal parkir truk untuk setiap pengembangannya dapat lihat
sebagai berikut dengan asumsi:
 Waktu menunggu maksiumum (jam) = pada jangka pendek dan menengah 4 jam,
pada jangka panjang 3 jam
 Jam kerja bongkar muat (jam) = pada jangka pendek 15 jam, jangka menengah 18
jam, dan jangka panjang 18 jam
 Tipe Truk yang dipergunakan:
- Panjang truk = 20 feet
- Daya muat = 20 ton
- Truk + ruang gerak truk = 54 m²
 Hari kerja = 365 hari dalam setahun
Tabel 4.12 Kebutuhan Parkir Truk Cargo
Dermaga Bongkar Muat Barang Jumlah Truk Luas Lahan
per jam (ton) Parkir (m2)
Tahap 1 220 26 1.404
Tahap 2 260 29 1.566
Tahap 3 487 52 2.808
Sumber : Analisis Konsultan, 2015

Bab 4 | 31
4.5.3.2 Parkir Non Truk
 Parkir Kendaraan Non Bus
 Mobil + Ruang Gerak Mobil = 14,4 m²
 Jumlah Karyawan = 61 orang
 Jumlah Mobil Karyawan = 15 unit
 Jumlah Mobil Tamu = 15 unit
 Jumlah Mobil Penumpang Maksimum = 20 unit
 Jumlah Total = 50 unit
Jadi kebutuhan luas lahan parkir = Jumlah Total Mobil x Ruang Gerak Mobil = 720 m²

4.5.4 Perkantoran

Kebutuhan ruang luasan perkantoran pada Pelabuhan Baubau ini dapat dijelaskan pada
tabel berikut.
Asumsi:
Berdasarkan kondisi yang terdapat dilapangan kebutuhan karyawan untuk setiap 750.000
TEUS (kontainer) dibutuhkan 165 karyawan, kebutuhan karyawan untuk Pelabuhan
Baubau berdasarkan proyeksi kebutuhan petikemas dan Cargo adalah 54 orang
karyawan. Adapun perkiraan jumlah karyawan / kelompok kerja per sub bidang, yaitu:
- Pusat administrasi pelabuhan : 20 orang, 4 kelompok kerja
- Pusat bea cukai : 4 orang, 2 kelompok kerja
- Admistrasi pelabuhan pembantu: 12 orang, 3 kelompok kerja
- EMKL : 4 orang, 2 kelompok kerja
- Amenities : 4 orang, 2 kelompok kerja
- Keagenan : 2 kelompok kerja
- Terminal Penumpang:
 2.907 orang
 6 pemberangkatan
 485 orang/pemberangkatan
 1,5 faktor arus maksimum
- Karantina : 10 orang
 Luas ruang kerja / kel.kerja = 45 m²
 Luas ruang kerja / kel.kerja + R.Meeting = 60 m²
 Luas sirkulasi (%) dari luas lantai efektif = 40%
 Luas ruang keagenan / kel kerja + R.Meeting = 30 m²
 Luas lantai ruang tunggu penumpang (m²) / penumpang = 2,4 m²
 Luas perkantoran untuk Terminal Penumpang = 120 m²
 Luas lantai ruang karantina (m²) / orang = 1,8 m²
 Luas perkantoran untuk Karantina = 100 m²

Bab 4 | 32
Tabel 4.13 Rekapitulasi Kebutuhan Ruang Perkantoran
Luas Efektif Lantai Luas Sirkulasi
Rekapitulasi Kantor Total (m2)
(m2) (m2)
- Pusat administrasi pelabuhan 240 96 336
- Pusat bea cukai 120 48 168
- Gedung terminal kontainer 180 72 252
- Pusat bea cukai pembantu 60 24 84
- Imigrasi 60 24 84
-EMKL 120 48 168
- Amenities 120 48 168
- Keagenan 60 24 84
- Terminal Penumpang 1,283 120 1,403
- Karantina 118 118
Total 2.865
Sumber : Analisis Konsultan, 2015

4.5.5 Rekapitulasi Kebutuhan Fasilitas Daratan

Rekapitulasi kebutuhan fasilitas daratan pada Pelabuhan Baubau yang didasarkan pada
perhitungan standar kebutuhan ruang dengan prediksi kebutuhan masa datang (sesuai
jangka pengembangan) serta memperhatikan ketersediaan lahan eksisting dijabarkan
pada Tabel 4.14.
Tabel 4.14 Rekapitulasi Kebutuhan Fasilitas Daratan Pelabuhan Baubau
Jgk
Eksisting Jgk Pendek Jgk Panjang
No Uraian Satuan Menengah
2015 2016-2020 2016-2035
2016-2025
1 Dermaga kapal container m 130 260 320 480
2 Dermaga kargo umum m 680 1.200 990 1.040
Lapangan Penumpukan Peti
3 Kemas m2 20.661 5.500 7.900 13.900
Gudang Cargo (Cargo
6 Warehouse) m2 0 1.100 1.500 1.400
7 Open Storage m2 0 3.006 4.265 7.982
8 Transit Shed m2 0 2.100 2.900 2.700
9 Lapangan parkir truk m2 0 1.404 1.566 2.808
10 Lapangan parkir umum m2 2.856 4.000 4.000 4.000
11 Terminal penumpang m2 780 1.080 2.160 2.160
Sumber : Analisis Konsultan, 2015

4.6 PERALATAN PENUNJANG

Peralatan penunjang yang dibutuhkan untuk pada Dermaga Peti Kemas dimaksudkan
untuk memaksimalkan kapasitas pelabuhan dalam menangani bongkar muat peti kemas.
Beragam peralatang yang umum digunakan pada pelabuhan peti kemas dengan berbagai

Bab 4 | 33
kapasitas dan kemampuan handling. Beberapa peralatan penanganan peti kemas di
pelabuhan dijabarkan sebagai berikut:
A. Container Crane
Alat bongkar muat kapal yang ditempatkan permanen di dermaga dan berfungsi sebagai
alat utama bongkar muat peti kemas dari dermaga ke kapal dan sebaliknya. Kapasitas
35-40 ton.

Gambar 4.18 Container Crane

B. Transtainer
Alat bongkar muat kapal untuk mengangkut, menumpuk 4 + 1 tiers, lebar span 6 + 1
rows dan membongkar/memuat peti kemas dilapangan penumpukan (container yard).
Alat ini bergerak dan ditempatkan di lapangan penumpukan petikemas. Kapasitas 40
ton.

Gambar 4.19 Transtainer

C. Forklift
Alat bongkar muat kapal yang digunakan untuk angkat barang umum/general cargo
dengan kapasitas angkat tertentu dan mempunyai jangkauan pengangkatan yang

Bab 4 | 34
terbatas. Kapasitas forklift yang umum digunakan adalah ukuran 2.5, 3, 15 sampai 40
ton.

Gambar 4.20 Forklift

D. Mobile Crane
Alat angkat barang umum/general cargo dengan kapasitas angkat tertentu dan
mempunyai jangkauan pengangkatan yang relatif jauh. Kapasitas <40 ton.

E. Reach Stacker
Alat angkat peti kemas dengan kapasitas angkat tertentu dan mempunyai jangkauan
pengangkatan yang relatif lebih sempit. Kapasitas 40 ton.

Gambar 4.21 Mobile Crane (kiri) dan Reach Stacker (kanan)

F. Top Loader
Alat bongkar muat kapal seperti Forklift tetapi mempunyai kemampuan mengangkat
peti kemas dan jangkauan pengangkatan yang terbatas. Kapasitas 30.5 ton.

Bab 4 | 35
Gambar 4.22 Top Loader

Kondisi eksisting peralatan penunjang Pelabuhan Baubau saat ini memiliki 3 buah
peralatan penunjang yaitu Mobil Fortklift, Boat crane dan Mobile crane. Berdasarkan
kondisi pelabuhan serta kebutuhan peralatan penunjang yang mendasar, Pelabuhan
Baubau membutuhkan penambahan perlatan penunjang pada jangka panjang yaitu
Rubber tyred gantry crane atau Transteiner.

Gambar 4.23 Kondisi Sarana Angkut Peti Kemas di Pelabuhan Baubau

Bab 4 | 36
Untuk kebutuhan alat dan peralatan di Pelabuhan Baubau khususnya untuk mendukung
operasional terminal peti kemas disesuaikan dengan besaran demand pada setiap
tahapan pengembangan pelabuhan. Kebutuhan peralatan ini juga disesuaikan dengan
kondisi ketersediaan lahan dengan memperhatikan ketersediaan lahan pelabuhan yang
cukup terbatas. Kebutuhan peralatan di Terminal Peti Kemas Pelabuhan sampai dengan
jangka panjang dijabarkan pada Tabel 4.15.
Tabel 4.15 Kebutuhan Peralatan Terminal Peti Kemas Pelabuhan Baubau
Jgk Jgk
Eksisting Jgk Mngah
No Uraian Satuan Pendek Panjang
2015 2016-2025
2016-2020 2016-2035
1 Crane 40 Ton unit 0 0 0 1
2 Crane 25 Ton unit 1 1 1 1
3 Crane 5 Ton unit 0 1 0 0
4 Crane 3 Ton unit 0 1 0 0
5 Reach Stacker 42 Ton unit 0 0 1 0
6 Top Leader 36 Ton unit 0 0 1 2
7 Bottom Lift 15 Ton unit 0 0 1 0
8 Forklift 2 Ton unit 0 2 2 2
9 Forklift 3 Ton unit 1 1 1 1
10 Forklift 5 Ton unit 1 1 1 1
11 Head Truck unit 4 6 4 4
12 Mobile Crane 40 Ton unit 0 1 0 0
13 Transtainer unit 0 0 0 1
Sumber : Analisis Konsultan, 2015

4.7 ANALISIS RISIKO

Secara teknis, risiko dari pengembangan Pelabuhan Baubau sangat kecil. Hal ini
dikarenakan kondisi fisik lingkungan yang memadai dari sisi kedalaman perairan, tinggi
gelombang dan kecepatan arus perairan. di sekitar lokasi Pelabuhan Baubau sendiri
terdapat sumber sedimen dari sungai yang berjarak 1 Km di sisi barat pelabuhan.
Namun, karena lokasi Pelabuhan terdapat di selat dengan kecepatan arus yang cukup
tinggi dan letak pengembangan dermaga berada di > -10m, pendangkalan di lokasi
dermaga dapat direduksi. Hasil analisa sedimentasi menunjukkan kadar sedimentasi di
lokasi dermaga mencapai 300mg/L dengan pendangkalan 0.3m/tahun.

Bab 4 | 37
Gambar 4.24 Orientasi lokasi Pelabuhan dan sumber sedimen

Gambar 4.25 Hasil Pemodelan sebaran sedimen

Bab 4 | 38
Gambar 4.26 Hasil Pemodelan perubahan dasar perairan

Gambar 4.27 Grafik perubahan dasar perairan di area Pelabuhan Bau-bau.

Risiko terbesar dari pengembangan dermaga kearah timur pelabuhan Baubau adalah
risiko kecelakaan dengan kapal ferry. Hal ini dikarenakan area sandar pengambangan
dermaga dan kolam putar ferry yang hampir berhimpitan. Perlu dilakukan regulasi
sandar kapal apabila terjadi kedatangan yang bersamaan.

Bab 4 | 39
Gambar 4.28 Lokasi Pelabuhan Ferry dan Kolam Putarnya

4.8 ESTIMASI KEBUTUHAN BIAYA PEKERJAAN KONSTRUKSI

Mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 78 Tahun 2014 mengenai Standar
Biaya di Lingkungan Kementerian Perhubungan, didapatkan harga satuan per m2 untuk
bangunan deck on pile sebesar Rp 9.669.150,00 dengan indeks kemahalan kota baubau
adalah 1,0493. Berdasarkan acuan harga tersebut didapatkan perkiraan biaya konstruksi
pengambangan dermaga di Kota Baubau sebagai berikut.
Tabel 4.16 Perkiraan Biaya Konstruksi Pengembang Dermaga Pelabuhan Baubau

Bab 4 | 40
2016-2020 2016-2025 2016-2035
No Pekerjaan satuan Harga Satuan
volume jumlah volume jumlah volume jumlah
A PEKERJAAN REKLAMASI
1 Tanah timbunan m3 687.500 3.240 2.227.500.000 4.575 3.302.578.125 40.935 32.364.234.375
2 Soil improvement m3 68.750 324 22.275.000 458 33.025.781 4.094 323.642.344
4 Geotextile woven m2 52.465 3.240 169.986.600 4.575 252.028.744 40.935 2.469.802.991
5 Geotextile non woven m2 42.321 324 13.711.887 458 20.329.777 4.094 199.225.471
6 Breakwater m 13.609.185 16 220.468.797 23 326.875.612 205 3.203.278.931
7 Revetmen m3 312.500 324 101.250.000 458 150.117.188 4.094 1.471.101.563
8 Sand mat m3 437.500 162 70.875.000 229 105.082.031 2.047 1.029.771.094
9 Pemindahan tanah sisa preload m3 43.750 648 28.350.000 915 42.032.813 8.187 411.908.438
B INFRASTRUKTUR AREA TERMINAL PETI KEMAS
1 Perkerasan -
a. Area container yard m2 1.897.996 4.600 8.730.781.026 2.300 4.583.660.039 5.700 12.441.362.963
b. Open storage m2 1.897.996 2.597 4.929.525.248 1.123 2.238.058.021 3.360 7.333.787.284
c. Jalan utama m2 1.930.964 547 1.056.237.216 7.313 14.827.195.429 1.090 2.420.463.163
d. Area parkir truk di CFS m2 1.897.996 400 759.198.350 - -
e. Jalan lingkungan m2 1.930.964 200 386.192.766 - -
f. Drainase m 11.424.094 1.200 13.708.913.108 - -
g. Dermaga peti kemas ukuran lebar 15 m m2 25.314.961 - - 510 13.556.161.753
h. Dermaga cargo ukuran 10 m m2 16.876.641 - 670 13.003.451.766
i. Causeway m2 6.228.095 - - - - -
j. Trestle m2 12.164.923 - - - - 2800 39.171.052.514
3 Bangunan - -
a. Ware house m2 2.549.000 900 2.294.100.000 400 1.070.580.000 -
b. Transit shed m2 2.549.000 1.800 4.588.200.000 700 1.873.515.000 -
c. Terminal penumpang m2 2.549.000 1.080 2.752.920.000 1.080 2.890.566.000 -
d. Area parkir m2 1.897.996 5.188 9.846.802.601 216 430.465.465 1.080 2.357.310.877
e. Kantor operasi terminal peti kemas m2 2.549.000 350 892.150.000 - -
f. Bengkel m2 2.549.000 250 637.250.000 - -
g. Container Freight Station (CFS) m2 2.549.000 1.000 2.549.000.000 - -
h. Gerbang terminal peti kemas m2 2.549.000 250 637.250.000 250 669.112.500 -
i. Oil storage tank m2 3.500.000 100 350.000.000 - -
j. Kantin m2 3.500.000 60 210.000.000 - -
4 Jalan akses m2 1.930.964 500 1.013.756.012 -
5 Pekerjaan elektrikal dan mekanikal LS 1.875.000.000 1 1.875.000.000 - -
C Sarana Terminal Peti Kemas
1 Crane 40 Ton uni t 1.437.500.000 - - 0 - 1 1.653.125.000
2 Crane 25 Ton uni t 1.062.500.000 1 1.062.500.000 1 1.115.625.000 1 1.221.875.000
3 Crane 5 Ton uni t 812.500.000 1 812.500.000 0 - 0 -
4 Crane 3 Ton uni t 625.000.000 1 625.000.000 0 - 0 -
5 Reach Stacker 42 Ton uni t 1.500.000.000 - - 1 1.575.000.000 0 -
6 Top Leader 36 Ton uni t 312.500.000 - - 1 328.125.000 2 718.750.000
7 Bottom Lift 15 Ton uni t 625.000.000 - - 1 656.250.000 0 -
8 F o r k l i f t 2 Ton uni t 750.000.000 2 1.500.000.000 2 1.575.000.000 2 1.725.000.000
9 F o r k l i f t 3 Ton uni t 875.000.000 1 875.000.000 1 918.750.000 1 1.006.250.000
10 F o r k l i f t 5 Ton uni t 1.062.500.000 1 1.062.500.000 1 1.115.625.000 1 1.221.875.000
11 Head Truck uni t 500.000.000 6 3.000.000.000 4 2.100.000.000 4 2.300.000.000
12 Mobile Crane 40 Ton uni t 2.200.000.000 1 2.200.000.000 0 - 0 -
13 Transtainer uni t 16.875.000.000 1 16.875.000.000 0 - 1 19.406.250.000
Total Rp. 87.070.437.600 56.769.515.289 147.453.518.772
Total Rp. 291.293.471.661

4.9 PENDAPATAN DAN MANFAAT PELABUHAN

4.9.1 Pendapatan Pelabuhan

Pendapatan pelabuhan yang diperhitungkan dari pelayanan yang dilakukan oleh


pelabuhan. Pelayanan di Pelabuhan Baubau meliputi pelayanan pada angkutan
penumpang, angkutan barang umum (multi purpose) dan angkutan peti kemas. Selain
itu, juga diperhitungkan jasa-jasa pelayanan dermaga yang meliputi,
 Jasa labuh
 Jasa pemanduan

Bab 4 | 41
 Jasa penundaan
 Jasa tambat

Khusus untuk terminal peti kemas dan barang umum, terdapat beberapa komponen
pendapatan jasa yang diterima oleh penyelenggara pelabuhan sebagai imbal jasa
pelayanan yang diberikan. Pelayanan tersebut meliputi :
 Kegiatan operasi kapal, terdiri atas : Kegiatan dermaga, Stevedoring,
Haulage/trucking, shifting, buka tutup palka, lift on/lift off;
 kegiatan operasi lapangan, terdiri atas: penumpukan, lift on/lift off, gerakan ekstra,
relokasi, dan angsur;
 kegiatan operasi Container Freight Station, terdiri atas: stripping/ stuffing,
penumpukan,penerimaan penyerahan
 kegiatan pelayanan tambahan seperti biaya administrasi, inter terminal transfer,
dan lain-lain.

Sedangkan untuk pelayanan jasa terminal penumpang, pendapatan yang didapatkan


oleh pelabuhan dapat meliputi pendapatan atas jasa pelayanan jasa terminal
penumpang, pengembangan usaha terkait pelayanan penumpang seperti restoran,
tempat istirahat temporer, dan sebagainya.

4.9.2 Manfaat Pelabuhan

Keberadaan pelabuhan serta operasional pelabuhan memberikan manfaat pada


perekonomian wilayah khususnya pada sektor perdagangan, jasa, perhotelan dan
lainnya. Manfaat pelabuhan yang diperhitungkan dalam kelayakan ekonomi adalah
kuantifikasi pada manfaat pelabuhan pada peningkatan ekonomi wilayah (PDRB wilayah)
dan penghematan waktu dengan ketersediaan angkutan laut baik pada angkutan
penumpang maupun angkutan barang. Selain itu, dalam perhitungan manfaat ekonomi,
diperhitungkan juga pendapatan pelabuhan berupa pendapatan langsung pada jasa
pelabuhan, tetapi dengan harga ekonomi (shadow price) serta pendapatan dari retribusi
tiket penumpang dan pendapatan dari air kapal.

Bab 4 | 42
Bab 5 KAJIAN EKONOMI DAN
KOMERSIAL
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

5.1 KAJIAN EKONOMI

Kajian ekonomi bertujuan untuk melihat dampak atau kontribusi dari suatu proyek
terhadap masyarakat dan negara. Kajian ekonomi menjadi dasar bagi Pemerintah dalam
mengambil keputusan untuk merealisasikan proyek atau tidak.

Kota Baubau merupakan daerah penghubung (connecting/transit area) antara Kawasan


Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kota Baubau juga berperan
sebagai daerah pengumpul hasil produksi dan distributor kebutuhan daerah hinterland-
nya, yaitu Kab. Buton, Kab. Muna, Kab. Wakatobi, dan Kab. Bombana. Potensi
komoditas dari Kota Baubau dan hinterland-nya mencakup perikanan, budidaya rumput
laut, budidaya mutiara, pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan,
perindustrian, pariwisata.

Selama periode 2010-2013 bongkar muat peti kemas menunjukan pertumbuhan yang
cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 37.73% (TEUS) / 42.14% (Ton) untuk bongkar peti
kemas dan rata-rata sebesar 41,12% (TEUS) / 33.10% (Ton) untuk muat peti kemas.
Melihat kondisi tersebut dan rencana Kota Baubau untuk menjadi ibukota Provinsi
Kepulauan Buton, maka pengembangan Pelabuhan Baubau dipandang perlu untuk
dilaksanakan.

Beberapa manfaat dari pengembangan Pelabuhan Baubau adalah sebagai berikut:


1. Memenuhi kebutuhan permintaan (demand)
Dengan pertumbuhan seperti saat ini, Pelabuhan Baubau akan mencapai kapasitas
maksimalnya pada tahun 2018. Jika Pelabuhan Baubau tidak dikembangkan maka
komoditas, baik dari Kota Baubau dan hinterland-nya maupun dari KBI ke KTI dan
sebaliknya, tidak dapat difasilitasi yang selanjutnya berdampak pada terhambatnya
arus distribusi secara langsung serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi secara
tidak langsung.

Bab 5 | 1
2. Meningkatnya pelayanan bagi pengguna
Fasilitas pelabuhan yang ada pada Pelabuhan Baubau saat ini belum memadai
dibandingkan dengan permintaan yang ada. Hal ini berdampak pada lamanya proses
bongkar muat serta kualitas bongkar muat tersebut. Proses bongkar muat yang lama
mengakibatkan biaya sandar yang mahal serta mengakibatkan beberapa komoditas,
terutama komoditas yang cepat rusak seperti hasil sumber daya alam, berpotensi
rusak. Kualitas bongkar muat yang tidak baik pun berpotensi merusak komoditas
yang dibongkar-muat.

Dengan pengembangan Pelabuhan Baubau, diharapkan dapat meminimalisasi lama


proses bongkar muat serta memberikan kualitas pelayanan bongkar muat yang
optimal bagi pengguna. Hal ini akan meminimalisasi kerugian yang berpotensi
diderita oleh pengguna apabila kondisi Pelabuhan Baubau saat ini dipertahankan.

3. Membuka peluang investasi dan lapangan kerja


Pengembangan Pelabuhan Baubau akan membuka peluang kerja, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, Pelabuhan Baubau akan
membutuhkan pegawai baru, baik selama masa konstruksi maupun operasi.
Pengembangan Pelabuhan Baubau juga akan menstimulus perkembangan
perekonomian di wilayah sekitarnya.

Pelabuhan yang baik mendukung sistem distribusi yang baik yang dapat mengundang
investor, baik dalam dan luar negeri, untuk menanamkan modalnya. Hal ini akan
bermuara pada tumbuhnya perekonomian rakyat.

4. Meningkatnya PDRB
Perbaikan sistem distribusi komoditas barang dan manusia serta pertumbuhan
ekonomi di sekitar Pelabuhan Baubau akan memberikan dampak positif bagi PDRB
daerah. Berdasarkan penelitian1, rata-rata PDRB dan pertumbuhan PDRB kota
pelabuhan lebih besar daripada kota yang tidak memiliki pelabuhan. Peran
pelabuhan menjadi sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara
kepulauan sehingga mobilitas sosial dan perdagangan tidak akan terlepas dari peran
pelabuhan.

1
Karunia, Diana Sekarayu dan Komara Djaja. 2013. Peran Pelabuhan terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kota di Indonesia. Indonesia: Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia.

Bab 5 | 2
5. Menurunnya tingkat kriminalitas
Wilayah pelabuhan selalu dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat
kriminalitas yang tinggi. Oleh karena itu pengembangan pelabuhan, yang mencakup
penataan area serta perbaikan fasilitas, diharapkan akan mencegah peluang
kriminalitas di pelabuhan tersebut.

5.2 KAJIAN KOMERSIAL

Kajian komersial terhadap pembangunan pelabuhan Bau Baru didasarkan pada awalnya
dilakukan berdasarkan suatu keputusan yang menjawab pertanyaan apakah pengguna
jasa (masayarakat) harus membayar jasa layanan yang diberikan? (Yesombee, 2007),
jika jawabanannya ya berarti pemerintah harus memikirkan bagaimana caranya
memberi konsesi kepada pihak ketiga. Namun jika jawabannya adalah tidak, maka
pemerintah harus mulai berfikir bagaimana caranya membuat perhitungan keuangan.
Jika setelah dibuat model konsesi ternyata pendapatan mayoritsnya diperoleh dari
masyarakat, maka secara otomatis proyek tersebut adalah proyek milik pemerintah
(publik), dan jika pendapatannya hanya minoritas dari masyarakat, maka proyek
tersebut merupakan kerjasama dengan swasta (private). Keputusan berikutnya apakah
sektor swasta menanggung risiko permintaan (demand) dan spesifikasi produk yang
dihasilkan (ouput), jika jawaban kedua-duanya tidak, maka proyek tersebut merupakan
proyek kerjasama pemerintah (publik) dan sebaliknya jika jawabannya ya, maka proyek
tersebut merupakan kerjasama swasta. Hal ini dapat diilustrasikan dalam gambar 5.2.1
berikut:

Bab 5 | 3
Gambar 5.1 Kriteria Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha

5.2.1 Keterkaitan Antar Kajian dengan Model Perhitungan Finansial

Untuk melakukan kajian komersial terhadap proyek pelabuhan Bau Bau, diperlukan
beberapa kajian yang mendahului, yaitu kajian rencana pembangunan dan kajian
rencana produksi. Di dalam kajian rencana pembangunan, tahap pertama diperlukan
dua kajian utama, yaitu kajian studi teknis, rencana pembangungan dan kajian
lingkungan. Sementar itu tahap kedua diperlukan kajian legal, yang mempertimbangkan
aspek undang-undang dan peraturan yang berlaku serta kebijakan pemerintah (pusat
dan daerah). Pada fase yang lain, diperlukan kajian produksi yang mempertimbangkan
aspek kebutuhan pasar berdasarkan real demand survey dan kesiapan pelabuhan beserta
peralatan pendukung produksi dengan pertimbangan aspek transportasi. Sedangkan
dalam memfinalisasi model keuangan, juga diperlukan masukan terkait motivasi
peminjam (lenders), pihak investor (swasta) dan penjamin risiko (jika diperlukan). Jika
smua hal tersebut sudah dirangkum, maka barulah dapat dihasilkan model finansial,
yang dapat dijadikan pedoman bagi kajian ekonomi dan menjadi dasar dalam
penyusunan dokumen Financial Business Plan. Semua rangkaian kegiatan tersebut,
diilustrasikan dalam Gambar 5.2.

Bab 5 | 4
Gambar 5.2 Keterkaitan Antar Kajian terhadap Model Perhitungan Keuangan

5.2.2 Perhitungan Keuangan


Melalui beberapa perhitungan keuangan konvensional yang dilakukan dengan
pertimbangan seperti gambaran yang telah dijelaskan diatas serta memperhatikan
kemampuan keuangan pemerintah dan motivasi investor, ternyata hasil perhitungan
keuangan ini masih belum memenehui berbagai parameter seperti yang diharapkan
(Permenhub no 83 tahun 2010). Berikut disampaikan ikhtisar hasil perhitungan proyeksi
keuangan model konvensional. Hal ini dilakukan dengan 2 (dua) skenario, pada skenario-
1: Pesimis, dimana demand dihasilkan berdasarkan perhitungan kebutuhan akan pasar
pada kondisi saat ini dan dengan dukungan pemerintah (government support) sebesar
0%. Sedangkan skenario-2: Optimis, jika demand dihitung sudah memperhatikan daya
tarik pelabuhan terkait komoditas lokal (aspal Buton dan komoditas lainnya) di wilayah
sekitar pelabuhan (hinterland dan foreland) serta dengan dukungan pemerintah
maksimal sebesar 49%.

Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Skenario-1: Pesimis


ASUMSI DASAR Kesimpulan Kelayakan Proyek: Parameter Keputusan
1 Government Support 0% Project IRR 3,22% 10,80% Ditolak
2 Ekuity-Private 30% Private IRR 2,70% 15,00% Ditolak
3 Interest rate 12% Project NPV (in million)= Rp (110.368) 0 Ditolak
4 Discount rate 9% Private Investment NPV (in million)= Rp (49.514) 0 Ditolak
5 Tariff increase/3 years 10% Average DSCR (x) 0,34 1,4 Ditolak
6 Pembulatan tarif Rp 500 Minimum DSCR (c) 0,24 1,0 Ditolak
7 Loan Period (years) 24
8 Kenaikan demand 20% KESIMPULAN Tidak Layak

Bab 5 | 5
Tabel 5.2 Hasil Perhitungan Skenario-2: Optimis
ASUMSI DASAR Kesimpulan Kelayakan Proyek: Parameter Keputusan
1 Government Support 49% Project IRR 3,32% 10,80% Ditolak
2 Ekuity-Private 30% Private IRR 7,82% 15,00% Ditolak
3 Interest rate 12% Project NPV (in million)= Rp (104.314) 0 Ditolak
4 Discount rate 9% Private Investment NPV (in million)= Rp 42.940 0 Diterima
5 Tariff increase/3 years 10% Average DSCR (x) 0,81 1,4 Ditolak
6 Pembulatan tarif Rp 500 MinimumDSCR (c) 0,49 1,0 Ditolak
7 Loan Period (years) 24
8 Kenaikan demand 20% KESIMPULAN Tidak Layak

Dengan demikian maka apabila Financial Projection masih negatif sehingga “Tidak
Layak” seperti dijelaskan diatas, maka diperlukan kajian tambahan dengan pendekatan
metode pembayaran Ketersediaan Layanan (Availability Payment/AP) dengan ilustrasi
pada Gambar 5.3 berikut:

Gambar 5.3 Pola Perhitungan Proyek Keuangan

Berdasarkan perhitungan proyeksi keuangan dengan pendekatan ketersediaan layanan


(AP) dengan formulasi sebagi berikut:
Skenario-1: AP Pesimis

Metoda AP dengan skema pembayaran 5 (lima) tahun pertama 45%, tahap kedua
sebesar 35% dan ketiga sebesar 20%, sebagai berikut:

Bab 5 | 6
SKENARIO-1 OPEX w/o Pembayaran
Stage-1 CAPEX Interest ROI TOT AP
PESIMIS Deprc AP/Thn
Pembayaran AP 5 tahun 1 Rp 39.182 Rp 34.358 Rp 46.374 Rp 17.111 Rp 97.842 Rp 19.568
Pembayaran AP 5 tahun 2 Rp 30.475 Rp 26.440 Rp 36.068 Rp 13.309 Rp 75.817 Rp 15.163
Pembayaran AP 5 tahun 3 Rp 17.414 Rp 12.486 Rp 20.610 Rp 7.605 Rp 40.701 Rp 8.140

SKENARIO-1 OPEX w/o Pembayaran


Stage-2 CAPEX Interest ROI TOT AP
PESIMIS Deprc AP/Thn
Pembayaran AP 5 tahun 1 Rp 25.546 Rp 22.401 Rp 61.508 Rp 17.411 Rp 101.320 Rp 20.264
Pembayaran AP 5 tahun 2 Rp 19.869 Rp 17.239 Rp 47.840 Rp 13.542 Rp 78.620 Rp 15.724
Pembayaran AP 5 tahun 3 Rp 11.354 Rp 8.141 Rp 27.337 Rp 7.738 Rp 43.216 Rp 8.643

SKENARIO-1 OPEX w/o Pembayaran


Stage-3 CAPEX Interest ROI TOT AP
PESIMIS Deprc AP/Thn
Pembayaran AP 5 tahun 1 Rp 48.727 Rp 42.728 Rp 87.828 Rp 27.311 Rp 157.867 Rp 31.573
Pembayaran AP 5 tahun 2 Rp 37.899 Rp 32.881 Rp 68.311 Rp 21.242 Rp 122.434 Rp 24.487
Pembayaran AP 5 tahun 3 Rp 21.656 Rp 15.527 Rp 39.035 Rp 12.138 Rp 66.700 Rp 13.340

Maka diperoleh hasil perhitungan proyeksi keuangan sebagi berikut:


Tabel 5.3 Hasil Perhitungan Metoda AP, Skenario-1: Pesimis
ASUMSI DASAR Kesimpulan Kelayakan Proyek: Parameter Keputusan
1 Government Support 0% Project IRR 5,12% 10,80% Ditolak
2 Ekuity-Private 30% Private IRR 5,75% 15,00% Ditolak
3 Interest rate 12% Project NPV (in million)= Rp 23.900 0 Diterima
4 Discount rate 9% Private Investment NPV (in million)= Rp 6.217 0 Diterima
5 Tariff increase/3 years 10% Average DSCR (x) 1,11 1,4 Ditolak
6 Pembulatan tarif Rp 500 Minimum DSCR (x) 0,42 1,0 Ditolak
7 Loan Period (years) 18
8 Kenaikan demand 2,86 KESIMPULAN Tidak Layak
9 Tingkat ROI 20%

Memperhatikan kriteria seuai parameter yang disyaratkan Project IRR = WACC, Private
(Equity) IRR = Cost of Debt (Ke), Project dan Equity NPV ≥ 0, Average DSCR ≥ 1,4 dan
Minimum DSCR ≥,0. Maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1. Hasil perhitungan proyeksi keuangan dengan metoda perhitungan keuangan normal,
dimana government support 0% proyek “Tidak Layak” karena Project NPV maupun
Equity NPV masih negatif;
2. Hasil perhitungan proyeksi keuangan dengan metoda perhitungan keuangan normal,
dimana government support diberikan maksimum sampai 49%, proyek masih tetap
“Tidak layak” karena Project NPV masih negatif.

Oleh sebab itu dibuat kembali perhitungan proyeksi keuangan dengan pendekatan
metode AP, dengan tanpa dukungan pemerintah (0%) sebagai berikut:

Skenario-2: AP Optimis

Bab 5 | 7
SKENARIO-3 OPEX w/o Pembayaran
Stage-1 CAPEX Interest ROI TOT AP
OPTIMIS Deprc AP/Thn
Pembayaran AP 5 tahun Rp 1 Rp 39.182 Rp 34.358 Rp 58.365 Rp 19.509 Rp 112.232 Rp 22.446
Pembayaran AP 5 tahun Rp 2 Rp 30.475 Rp 26.440 Rp 45.395 Rp 15.174 Rp 87.008 Rp 17.402
Pembayaran AP 5 tahun Rp 3 Rp 17.414 Rp 12.486 Rp 25.940 Rp 8.671 Rp 47.096 Rp 9.419

SKENARIO-3 OPEX w/o Pembayaran


Stage-2 CAPEX Interest ROI TOT AP
OPTIMIS Deprc AP/Thn
Pembayaran AP 5 tahun Rp 1 Rp 25.546 Rp 22.401 Rp 89.261 Rp 22.961 Rp 134.623 Rp 26.925
Pembayaran AP 5 tahun Rp 2 Rp 19.869 Rp 17.239 Rp 69.425 Rp 17.859 Rp 104.523 Rp 20.905
Pembayaran AP 5 tahun Rp 3 Rp 11.354 Rp 8.141 Rp 39.671 Rp 10.205 Rp 58.017 Rp 11.603

SKENARIO-3 OPEX w/o Pembayaran


Stage-3 CAPEX Interest ROI TOT AP
OPTIMIS Deprc AP/Thn
Pembayaran AP 5 tahun Rp 1 Rp 48.727 Rp 42.728 Rp 145.295 Rp 38.804 Rp 226.827 Rp 45.365
Pembayaran AP 5 tahun Rp 2 Rp 37.899 Rp 32.881 Rp 113.007 Rp 30.181 Rp 176.069 Rp 35.214
Pembayaran AP 5 tahun Rp 3 Rp 21.656 Rp 15.527 Rp 64.576 Rp 17.246 Rp 97.349 Rp 19.470

Maka diperoleh hasil perhitungan proyeksi keuangan sebagi berikut:


Hasil Perhitungan Metoda AP, Skenario-2: Optimis

ASUMSI DASAR Kesimpulan Kelayakan Proyek: Parameter Keputusan


1 Government Support 0% Project IRR 10,85% 10,80% Diterima
2 Ekuity-Private 30% Private IRR 19,42% 15,00% Diterima
3 Interest rate 12% Project NPV (in million)= Rp 83.718 Rp - Diterima
4 Discount rate 9% Private Investment NPV (in million)=Rp 29.394 Rp - Diterima
5 Tariff increase/3 years 56% Average DSCR (x) 4,15 1,4 Diterima
6 Pembulatan tarif Rp 500 Minimum DSCR (x) 1,39 1,0 Diterima
7 Loan Period (years) Rp 18
8 Kenaikan demand 20% KESIMPULAN Layak
9 Tingkat ROI 20%

Berdasarkan perhitungan tersebut dan dibandingkan dengan parameter yang sama


seperti yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan hasilnya sebagi berikut:
1. Hasil perhitungan proyeksi keuangan metoda AP, dengan skenario Pesimis proyek
masih belum layak (namun NPV sudah positif);
2. Hasil perhitungan proyeksi keuangan metoda AP, dengan skenario Optimis proyek
“Layak”, dengan catatan tarif naik di awal periode naik sebesar 56%.

Berikut disampaikan beberapa saran terhadap proyek pembangunan pelabuhan Bau Bau:
1. Metoda Pembayaran normal tidak akan menarik bagi investor karena IRR dan NPV
sangat rendah, oleh karena itu disarankan menggunakan metod pembayaran AP
sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.08/2015, tentang Pembayaran
Ketersediaan Layanan dalam rangka KPBU dalam penyediaan Infrastruktur.

Bab 5 | 8
2. Dana Pembayaran Ketersediaan Layanan adalah dana yang dialokasikan dalam APBN
atau APBD dalam rangka pelaksanaan Pembayaran Ketersediaan Layanan untuk KPBU
pada setiap tahun anggaran. Dimana tujuannya adalah untuk:
(1) memastikan keteresediaan layanan yang berkualitas;
(2) mengoptimalkan nilai guna dari APBN/APBD (value for money);
(3) menyediakan skema pengembalian investasi yang menarik minat Badan Usaha
untuk bekerjasama dengan Pemerintah dalam menyediakan layanan kepada
masyarakat melalui KPBU.
3. Untuk itu maka Pembayaran Ketersediaan Layanan ini harus memperhatikan prinsip-
prinsip:
(1) kemampuan keuangan negara (kapasitas fiskal);
(2) kesinambungan fiskal;
(3) pengelolaan risiko fiskal, dan;
(4) ketepatan sasaran penggunaan.

Hasil Perhitungan Skenario-2: Optimis

ASUMSI DASAR Kesimpulan Kelayakan Proyek: Parameter Keputusan


1 Government Support 0% Project IRR 10,85% 10,80% Diterima
2 Ekuity-Private 30% Private IRR 19,42% 15,00% Diterima
3 Interest rate 12% Project NPV (in million)= Rp 83.718 Rp - Diterima
4 Discount rate 9% Private Investment NPV (in million)=Rp 29.394 Rp - Diterima
5 Tariff increase/3 years 56% Average DSCR (x) 4,15 1,4 Diterima
6 Pembulatan tarif Rp 500 Minimum DSCR (x) 1,39 1,0 Diterima
7 Loan Period (years) Rp 18
8 Kenaikan demand 20% KESIMPULAN Layak
9 Tingkat ROI 20%

Bab 5 | 9
Bab 6 KAJIAN LINGKUNGAN DAN
SOSIAL
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi


lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan pemantauan dan pengawasan lingkungan hidup. Menurut
Undang-Undang No. 17 Tahun 2008, pelayaran di Indonesia diselenggarakan berdasarkan
asas berwawasan lingkungan hidup. Selanjutnya disebutkan bahwa semua kegiatan
angkutan di perairan ke pelabuhan, harus memperhatikan keselamatan dan keamanan
pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia. Untuk itu
Pembangunan Pelabuhan BauBau perlu direalisasikan dengan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan
menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa
depan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang
Jenis Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang Wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup, bahwa untuk kegiatan pelabuhan dengan luas > 6000 m2 merupakan
kegiatan yang wajib studi AMDAL. Dengan demikian perlu dilaksanakan studi AMDAL
untuk melengkapi kegiatan Pelabuhan BauBau.

Adapun kegiatan yang diperkirakan dapat menjadi penyebab terjadinya dampak adalah
sebagai berikut:
1. Konstruksi
a. Mobilisasi tenaga kerja konstruksi
b. Pembuatan dan pengoperasian base camp
c. Mobilisasi alat berat dan material konstruksi
d. Pekerjaan tanah
e. Pembangunan fasilitas sisi darat
f. Pembangunan fasilitas sisi perairan
2. Operasional
a. Perekrutan tenaga kerja operasional

Bab 6 | 1
b. Pengoperasian fasilitas sisi perairan

Komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak penting dari kegiatan-
kegiatan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Aspek Fisik Kimia
a. Kualitas udara mencakup meliputi NO2, SO2 dan debu
b. Kebisingan (Intensitas Kebisingan)
c. Hidrologi dan Kualitas Air
 Debit air larian yang terjadi karena adanya pembangunan di lokasi tapak
 Kualitas fisik, kimia, air permukaan (sungai) dan air laut
 Kualitas fisik, kimia, sumber air bersih (air sumur dan air hujan)
d. Limbah Padat
 Jumlah sampah yang dihasilkan
2. Aspek Tata Ruang dan Transportasi
a. Pola ruang dan tata guna lahan
 Alokasi penggunaan ruang menurut Rencana Tata Ruang
 Penggunaan lahan sesuai kebijaksanaan tata ruang dan perijinan yang berlaku
 Penggunaan lahan eksisting
b. Transportasi Air
 Jenis alat transportasi air
 Alur pelayaran
3. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya
Penelaahan aspek sosial, ekonomi dan budaya mencakup kondisi kependudukan
(demografi), kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya.
a. Kependudukan (Demografi)
 Jumlah dan kepadatan penduduk serta penyebarannya
 Struktur penduduk berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan
 Tingkat pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja
b. Kondisi Sosial Ekonomi
 Struktur jenis pekerjaan penduduk
 Tingkat pendapatan penduduk
 Analisis penurunan perekonomian penduduk
 Kesempatan kerja dan berusaha
c. Kondisi Sosial Budaya
 Persepsi masyarakat terhadap kegiatan
4. Aspek Kesehatan Masyarakat

Bab 6 | 2
a. Sanitasi Lingkungan
b. Keselamatan dan kesehatan kerja
c. Pola penyakit

Selain komponen lingkungan yang tersebut di atas akan ditelaah pula komponen
lingkungan yang dapat mempengaruhi intensitas, arah dan luas dari penyebaran
dampak. Komponen lingkungan tersebut adalah:
1. Iklim
a. Kelembaban dan temperatur udara
b. Curah hujan
c. Arah dan kecepatan angin
2. Hidrooceanografi
a. Pola arus
b. Pasang surut

Bab 6 | 3
Bab 7 Kajian Bentuk KPBU
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

7.1 KAJIAN BENTUK KERJASAMA

Studi OBC menjelaskan bentuk kerja sama yang diusulkan untuk dikaji lebih lanjut
terdiri atas 2 alternatif yaitu BOT terminal peti kemas dan BOT terminal penumpang.
Diantara kedua alternatif tersebut, studi OBC merekomendasikan BOT terminal peti
kemas sebagai bentuk kerjasama yang paling potensial.

Pada studi FBC, konsultan meninjau ulang kemungkinan kerja sama BOT terminal
penumpang, BOT terminal peti kemas, BOT terminal peti kemas dan kargo, dan BOT
untuk keseluruhan operasional terminal penumpang, peti kemas, dan kargo.
Berdasarkan analisa konsultan dengan mempertimbangkan kondisi pelabuhan yang sudah
berdiri dan sedang berjalan, kondisi demand penumpang dan barang, status pelabuhan
sebagai pelabuhan non komersil dan tarif yang ditetapkan, serat rencana pengembangan
pelabuhan ke depan, konsultan mengusulkan bentuk kerjasama Rehabilitate Build
Operate Transfer (RBOT) / Rehabilitasi Bangun Guna Serah untuk pengoperasian
terminal peti kemas dan kargo.

Pemilihan skema KPBU tersebut dengan mempertimbangkan:


1. Waktu ketersediaan infrastruktur
Infrastruktur pelabuhan sudah tersedia, akan tetapi perlu direhabilitasi dan
dikembangkan, sehingga ada aktivitas rehabilitasi bangunan eksisting, dan juga
pembangunan prasarana baru yang mendukung rencana pengembangan pelabuhan.
Jika pemerintah mengharapkan dana APBN untuk rehabilitasi dan pengembangan
akan membutuhkan dana yang besar dan butuh waktu yang tidak cepat. Di satu sisi,
pertumbuhan kargo meningkat, dan potensi lebih aktif Pengusahaan Aspal Buton
akan menambah geliat ekonomi.

2. Optimalisasi investasi
Pelaksanaan KPBU rehabilitasi-bangun-guna-serah terminal peti kemas dan kargo
akna lebih mengoptimalkan investasi pemerintah. Dana APBN dapat dialokasikan
untuk peningkatan pelayanan terminal penumpang dan pengembangan cruise

Bab 7 | 1
terminal. Hal ini mengingat Bau Bau sebagai gerbang pariwisata ke kawasan wisata
bahari Wakatobi, tentu perlu memberikan pelayanan yang terbaik.

3. Maksimalisasi efisiensi
Pengoperasian terminal peti kemas dan kargo secara KPBU diharapkan lebih
meningkatkan efisiensi pengoperasian pelabuhan dan meningkatkan pelayanan
dengan standar yang tinggi.

4. Kemampuan badan usaha


Berdasarkan hasil market sounding ke beberapa perusahaan investasi, operator
pelabuhan, dan pelayaran, badan usaha swasta lebih tertarik mengoperasikan
terminal peti kemas dan kargo daripada terminal penumpang. Hal ini dengan
mempertimbangkan tingkat pengembalian investasi dan proses bisnis yang dilakukan.
Pengelolaan terminal penumpang lebih mengedepankan jasa atas kenyamanan
individu yang dapat memberkan respon positif atau negatif seketika, sehingga cukup
berisiko. Berdasarkan analisa atas pelabuhan yang dikelola badan usaha ang ada di
Indonesia, umumnya merupakan terminal peti kemas, bukan terminal penumpang.
Adapun untuk terminal penumpang biasanya hanya dilakukan kontrak servis jasa
kebersihan terminal penumpang.

5. Alokasi risiko
Pemilihan skema RBOT dengan mempertimbangkan bahwa risiko konstruksi dan
risiko operasional ditransfer ke Badan Usaha. Kedua risiko ini merupakan risiko
utama di dalam skema ini. Mengingat pelabuhan ini bersifat non-komersil dimana
tarif ditetapkan oleh pemerintah, Badan Usaha akan keberatan untuk menangani
risiko demand dan pendapatan. Selain itu, dengan pertimbangan bahwa Bau Bau
berada di satu pulau, tentunya mengkreasikan demand dari dalam pulau sangat
susah. Demand diharapkan dapat tumbuh dari posisi Pelabuhan Bau Bau sebagai
pintu gerbang ekonomi dan pariwisata di Sulawesi Tenggara dan sebagai pelabuhan
pengumpul yang akan menjadi titik transfer penumpang dan barang ke lokasi
Indonesia timur lainnya. Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa terdapat 6
pelabuhan pengumpul di sekitar pelabuhan Bau Bau yaitu:
a. Pelabuhan Kendari (Kendari),
b. Pelabuhan Bangkutoko (Kendari),
c. Pelabuhan Kolaka (Kolaka),
d. Pelabuhan Watunohu (Kolaka Utara),

Bab 7 | 2
e. Pelabuhan Raha (Muna), dan
f. Pelabuhan Wanci (Wakatobi).
Hal ini tentunya mempengaruhi penyebaran demand.

6. Alih pengetahuan
Kerjasama ini diharapkan dapat terjadi alih pengetahuan di dalam pengelolaan
terminal peti kemas yang lebih efisien dan efektif sehingga meningkatkan
pelayanan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, tentunya pemilihan skema KPBU dengan bentuk


RBOT menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan sebagai salah satu cara peningkatan
pelayanan di Pelabuhan Bau Bau dengan prinsip pengoptimalan investasi pemerintah dan
maksimalisasi efisiensi biaya operasi ang didasari prinsip alokasi risiko yang tepat.

7.2 PENENTUAN LINGKUP KERJASAMA

Hal yang perlu diingat terkait kerjasama ini bahwa Pelabuhan Bau Bau telah beroperasi
penuh saat ini. Oleh karena itu, proses kerjasama ini seharusnya tidak menghentikan
operasional pelabuhan.

Lingkup kerjasama skema RBOT meliputi:


1. Pelaksanaan rehabilitasi, pengoperasian, dan pemeliharaan prasarana dan fasilitas
eksisting sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal;
2. Pembangunan prasarana dan penyediaan fasilitas tambahan untuk pengembangan
pelabuhan dalam 2 tahap dengan mempertimbangkan pertumbuhan demand.
3. Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan fasilitas tambahan untuk
meningkatkan pelayanan pelabuhan.
4. Pengalihan aset rehabilitasi dan pembangunan baru kepada pemerintah pada akhir
masa konsesi.
5. Menjaga kualitas dan kuantitas fasilitas aset eksisting yang digunakan hingga
dilakukan proses pengalihan hak guna pada akhir masa konsesi.
6. Dalam pengoperasian dan pemeliharaan terminal peti kemas dan kargo, Badan Usaha
diperkenankan untuk melakukan kerja sama dengan pihak ketiga selama tidak
mengganggu kinerja operasional.

Bab 7 | 3
Pentahapan rehabilitasi dan pembangunan terdiri atas 3 tahap, yaitu:
a. Tahap 1: Rehabilitasi dilakukan pada tahun 2018-2019, sehingga bisa beroperasi
penuh pada tahun 2020. Hal ini dengan pertimbangan bahwa lelang KPBU dimulai
pada pertengahan 2016, sehingga proses lelang hingga financial close selesai pada
akhir tahun 2017.
b. Tahap 2: Pembangunan pengembangan pertama dilakukan pada tahun 2020-2023.
c. Tahap 3: Pembangunan pengembangan kedua dilakukan pada tahun 2030-2033.

Jangka waktu perjanjian kerjasama ini diusulkan selama 30 tahun, terhitung sejak
kegiatan rehabilitasi dilakukan. Harapanya dengan skema kerjasama yang tidak
sepanjang masa konsesi pelabuhan di Indonesia pada umumnya akan memberikan waktu
yang cukup dan tepat bagi Pemerintah untuk mengoperasikan secara mandiri dan Badan
Usaha mendapatkan keuntungan yang layak.

Aset pemerintah di Pelabuhan Bau Bau merupakan aset Pemerintah Pusat. Aset yang
dikerjasamakan meliputi segala aset yang digunakan untuk pengoperasian dan
pemeliharaan terminal peti kemas saat ini.

Bab 7 | 4
Bab 8 Kajian Risiko
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

8.1 UMUM

Dalam rangka memenuhi tata cara penyusunan Pra-Studi Kelayakan seperti tertuang
didalam Permen PPN/Bappenas No. 4 tahun 2015, maka kajian risiko harus dilakukan.
Kajian risiko meliputi identifikasi risiko, penilaian risiko, alokasi risiko, dan mitigasi
risiko. Output kajian risiko berupa matriks risiko. Proses kajian risiko dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Identifikasi Risiko Penilaian Risiko Alokasi Risiko Mitigasi Risiko

Matriks Risiko

Gambar 8.1 Proses Analisa Risiko

8.2 IDENTIFIKASI RISIKO

Menurut Bramantyo Djohanputro dalam buku Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi


dinyatakan bahwa berdasarkan kemampuan memperoleh data atau sumber data,
metode identifikasi risiko terdiri atas:
1. Analisis historis, yaitu pemanfaatan data-data masa lalu di proyek/organisasi
tersebut untuk mengidentifikasi risiko akan datang.
2. Pengamatan dan survey, yaitu suatu metode identifikasi risiko, khususnya terhadap
risiko yang “diyakini” atau “dicurigai” bisa terjadi tetapi proyek/organisasi tidak
memiliki catatan historis.
3. Pengacuan atau benchmarking, yaitu proses identifikasi dengan melakukan acuan
kepada proyek/organisasi yang memiliki objek dengan kondisi internal dan eksternal
yang dekat atau mirip dengan objek yang kita amati.

Bab 8 | 1
4. Pendapat Ahli, yaitu meminta Pendapat Ahli dikarenakan tidak tersedianya data
dengan ketiga metode di atas, kondisi yang ditimbulkan dianggap “baru” dan
berubah-ubah, dan adanya unsur kerahasiaan/paten.
5. Wawancara pihak berkepentingan, yaitu melakukan wawancara dengan stakeholder
terkait untuk mengetahui kepentingan, kekhawatiran, dan hal-hal yang
menyebabkan tidak terpenuhinya kepentingan mereka.

Untuk studi ini, identifikasi risiko akan mengacu kepada acuan alokasi risiko yang
diterbitkan oleh PII dengan penyesuaian atas kondisi dan struktur proyek.

8.3 PENILAIAN RISIKO

Penilaian risiko dengan mempertimbangkan frekuensi dan dampak yang ditimbulkan.


Penilaian risiko dapat berupa:
1. kualitatif, yaitu penentuan frekuensi dan dampak berdasarkan tingkat kualitatif
seperti sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
2. kuantitatif, yaitu penentuan frekuensi dan dampak berdasarkan hasil pengukuran.

Pengukuran dampak risiko dapat menggunakan:


1. Cara hipotesis (Notional), yaitu menentukan batas atas besarnya nilai yang
menghadapi risiko. Misal perubahan nilai harga emas atau kurs.
2. Sensitivitas, yaitu mengukur penimpangan variabel target sebagai akibat pergerakan
satu unit variabel pasar.
3. Volatilitas yaitu mengukur variasi sekitar rata-rata atau ekpektasi variabel target,
baik variasi positif maupun negatif. Metode ini menggunakan peramalan.
4. Penyimpangan bawah (VaR), yaitu mengukur penyimpangan negatif dari variabel
target untuk kasus terburuk. Metode monte carlo digunakan untuk mencari VaR.
Untuk proyek ini, perhitungan VaR tidak bisa dilakukan dengan pertimbangan bahwa
perhitungan VaR tidak memberikan gambaran mengenai risiko terburuk. Akurasi
perhitungan VaR sangat tergantung dengan banyaknya data yang kita miliki.
5. Pengukuran secara kualitatif / expert judgement. Metode perhitungan: Nilai
Dampak = (Optimis + 4 Moderat + Pesimis)/6
6. Hasil desk research berupa rujukan ke suatu studi atau benchmark.

Pada studi ini, penilaian risiko dilakukan secara kualitatif dengan mempertimbangkan
hasil desk research, benchmark, dan expert judgement.

Bab 8 | 2
8.4 ALOKASI RISIKO

Alokasi risiko bertujuan untuk menentukan pihak yang paling mampu mengelola risiko
dalam hal ini pemerintah, badan usaha, atau kedua belah pihak. Risiko yang
dialokasikan ke pemerintah menjadi retained risk, adapun risiko yang dialokasikan ke
badan usaha akan menjadi transferable risk. Alokasi risiko akan mengacu kepada buku
Acuan Alokasi Risiko PII.

8.5 MITIGASI RISIKO

Setelah proses identifikasi, penilaian dan aloaksi risiko dilakukan, selanjutnya dilakukan
proses mitigasi risiko. Mitigasi atau pengendalian risiko dapat berupa penghilangan
risiko, pemindahan risiko ke pihak ketiga, minimalisasi risiko, ataupun penerimaan atas
risiko tersebut. Hasil identifikasi, penilaian, alokasi dan mitigasi risiko dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.

Bab 8 | 3
Table 4.1 Tabel Acuan Alokasi Risiko
Kategori Risiko dan Strategi Mitigasi Kondisi Spesifik
Deskripsi Publik Swasta Bersama P D NR
Peristiwa Risiko Sesuai Best Practice terkait Alokasi Risiko
1. RISIKO LOKASI 1 2 1x2
Kesulitan pada Keterlambatan karena x Data historis Karena lahan tidak
kondisi lokasi yang ketidakpastian kondisi lokasi R S RS penggunaan lahan dan luas, risiko geoteknis
tak terduga penyelidikan tanah relatif bisa dikelola
Kerusakan artefak x Data historis
dan barang kuno R R RR penggunaan lahan dan
pada lokasi penyelidikan tanah
Gagal menjaga x Implementasi prosedur
keselamatan dalam R S RS keselamatan kerja
lokasi yang baik
Kontaminasi/polusi x Kesesuaian dengan
ke lingkungan lokasi S S SS studi Amdal yang baik
2. RISIKO DESAIN, KONSTRUKSI DAN UJI OPERASI
Ketidakjelasan Keterlambatan dan kenaikan x x Klarifikasi saat proses Spesifikasi output
spesifikasi output biaya akibatspesifikasi output R B RB tender; Kapasitas PJPK harus mengacu
tidak jelas desain yang baik ke best practice
Kesalahan desain Menyebabkan ekstra/revisi x Konsultan desain yang Biasanya
desain yang diminta operator R B RB berpengalaman dan teridentifikasi saat
baik uji operasi teknis
Terlambatnya Dapat termasuk terlambatnya x Kontraktor yang handal
penyelesaian pengembalian akses lokasi R S RS dan klausul kontrak
konstruksi yang standar
Kenaikan biaya x Kesepakatan faktor
konstruksi S B SB eskalasi harga tertentu
dalam kontrak
Risiko uji operasi Kesalahan estimasi waktu/ x Koordinasi kontraktor
biaya dalam uji operasi teknis R B RB dan operator yang baik
3. RISIKO SPONSOR

Bab 8 | 4
Kategori Risiko dan Strategi Mitigasi Kondisi Spesifik
Deskripsi Publik Swasta Bersama P D NR
Peristiwa Risiko Sesuai Best Practice terkait Alokasi Risiko
Kinerja x Proses pemilihan
subkontraktor yang S S SS subkontraktor yang
buruk kredibel
Default sub- x Proses pemilihan
kontraktor R S RS subkontraktor yang
kredibel
Default BU Default BU yang mengarah ke x Konsorsium didukung
terminasi/step-in oleh R B RB sponsor yang kredibel
financier dan solid
Default sponsor Default pihak sponsor (atau x Proses PQ untuk
proyek anggota konsorsium) R B RB memperoleh sponsor
yang kredibel
4. RISIKO FINANSIAL
Kegagalan Tidak tercapainya financial x Koordinasi yang baik Bisa juga karena
mencapai financial close karena ketidakpastian dengan potential conditions
S S SS
close kondisi pasar lenders precedence tidak
terpenuhi
Risiko struktur Inefisiensi karena struktur x Konsorsium didukung
finansial modal proyek yang tidak R B RB sponsor/lender yang
optimal kredibel
Risiko nilai tukar fluktuasi (non ekstrim) nilai x Instrumen lindung Bisa dibagi dengan
mata uang tukar S B SB nilai; Pembiayaan Pemerintah apabila
dalam Rupiah fluktuasinya ekstrim
Risiko tingkat inflasi Kenaikan (non ekstrim) x Faktor indeksasi tarif; Bisa dibagi dengan
tingkat inflasi terhadap R B RB Pemerintah apabila
asumsi dalam life-cycle cost fluktuasinya ekstrim
Risiko suku bunga fluktuasi (non ekstrim) x Lindung nilai tingkat Bisa dibagi dengan
tingkat suku bunga R S RS suku bunga Pemerintah apabila
fluktuasinya ekstrim

Bab 8 | 5
Kategori Risiko dan Strategi Mitigasi Kondisi Spesifik
Deskripsi Publik Swasta Bersama P D NR
Peristiwa Risiko Sesuai Best Practice terkait Alokasi Risiko
Risiko asuransi (1) Cakupan asuransi untuk risiko x Konsultansi dengan Khususnya untuk
tertentu tidak lagi tersedia di R S RS spesialis/broker cakupan risiko terkait
pasaran asuransi keadaan kahar
Risiko asuransi (2) Kenaikan substansial tingkat x Konsultansi dengan
premi terhadap estimasi awal R S RS spesialis/broker
asuransi
5. RISIKO OPERASI
Ketersediaan Akibat fasilitas tidak bisa x Kontraktor yang handal
fasilitas terbangun S B RB
Buruk atau tidak Akibat fasilitas tidak bisa x Operator yang handal;
tersedianya layanan beroperasi S B SB Spesifikasi output yang
jelas
Aksi industri Aksi mogok, larangan x kebijakan SDM dan Bisa oleh staf
kerja,dsb hubungan industrial operator,
R S RS
yang baik subkontraktor atau
penyuplai
Risiko sosial dan Risiko yang timbul karena x Menerapkan program
budaya lokal tidak diperhitungkannya pengembangan
budaya atau kondisi sosial masyarakat yang
R S RS
masyarakat setempat dalam people-oriented;
implementasi proyek Pemberdayaan
masyarakat
Kegagalan Kegagalan atau x Menyusun rencana
manajemen proyek ketidakmampuan Badan manajemen operasi
Usaha dalam mengelola R S RS dan dijalankan secara
operasional Proyek Kerjasama profesional
Kegagalan kontrol Terjadinya penyimpangan x x Menyusun rencana
dan monitoring yang tidak terdeteksi akibat kontrol dan monitoring
proyek kegagalan kontrol dan serta evaluasi berkala
S S SS
monitoring oleh Badan Usaha terhadap efektivitas
atau PJPK rancangan dan
pelaksanaannya

Bab 8 | 6
Kategori Risiko dan Strategi Mitigasi Kondisi Spesifik
Deskripsi Publik Swasta Bersama P D NR
Peristiwa Risiko Sesuai Best Practice terkait Alokasi Risiko
Kenaikan biaya Akibat kesalahan estimasi x Operator yang handal;
O&M biaya O&M atau kenaikan Spesifikasi output yang
tidak terduga S B SB jelas;
Faktor eskalasi dalam
kontrak
Kesalahan estimasi x Kesepakatan/kontrak
biaya life cycle R B RB dengan supplier sedini
mungkin
Kecelakaan lalu x Asuransi kewajiban
lintas atau isu S R SR pihak ketiga
keselamatan
6. RISIKO PENDAPATAN
Perubahan proyeksi x Survei lalu lintas yang Pertimbangan
volume permintaan S B SB handal; Pinjaman menggunakan skema
lunak di awal operasi Availability Payment
Kesalahan estimasi x Survei lalu lintas yang Pertimbangan
pendapatan dari R B RB handal; menggunakan skema
model awal Availability Payment
Pelanggan akhir Akibat user affordability and x Subsidi (khususnya
tidak membayar willingness di bawah tingkat R S RS tarif) Sosialisasi yang
kelayakan baik ke publik
Kegagalan Akibat kegagalan / tidak x Survei user Pertimbangan
memungut optimalnya sistem affordability and menggunakan skema
R S RS
pembayaran tarif pemungutan tariff willingness yang Availability Payment
handal
Kegagalan Akibat BU tidak mampu x Kinerja operasi yang
mengajukan memenuhi standar minimal R S RS baik dan jelas;
penyesuaian tarif yang disepakati
7. RISIKO POLITIK

Bab 8 | 7
Kategori Risiko dan Strategi Mitigasi Kondisi Spesifik
Deskripsi Publik Swasta Bersama P D NR
Peristiwa Risiko Sesuai Best Practice terkait Alokasi Risiko
Mata uang asing Mata uang asing tidak x - Pembiayaan
tidak dapat tersedianya dan/atau tidak domestik
dikonversi bisa dikonversi dari Rupiah - Akun pembiayaan
R B RB
luar negeri
- Penjaminan dari bank
sentral
Mata uang asing Mata uang asing tidak bisa x - Pembiayaan
tidak dapat ditransfer ke negara asal domestik
direpatriasi investor - Akun pembiayaan
R B RB
luar negeri
- Penjaminan dari bank
sentral
Risiko ekspropriasi Nasionalisasi/pengambilalihan x - Mediasi,negosiasi
tanpa kompensasi (yang - Asuransi Risiko Politik
R B RB
memadai) - Penjaminan
Pemerintah
Perubahan regulasi Bisa dianggap sebagai risiko x
(dan pajak) yang bisnis R S RS
umum
Perubahan regulasi Berbentuk kebijakan pajak x - Mediasi,negosiasi Selain memiliki
(dan pajak) yang oleh otoritas terkait (pusat - Asuransi Risiko Politik provisi kontrak yang
diskriminatif dan atau daerah) R S RS - Penjaminan jelas termasuk
spesifik Pemerintah kompensasinya
Keterlambatan Hanya jika dipicu keputusan x Provisi kontrak yang
perolehan sepihak /tidak wajar dari jelas termasuk
R S RS
persetujuan otoritas terkait kompensasinya
perencanaan
Gagal/terlambatnya Hanya jika dipicu keputusan x Provisi kontrak yang Biasanya terkait isu
perolehan sepihak /tidak wajar dari R S RS jelas termasuk selain perencanaan
persetujuan otoritas terkait kompensasinya
10. RISIKO FORCE MAJEURE
Bencana alam x Asuransi, bila
R B RB
dimungkinkan

Bab 8 | 8
Kategori Risiko dan Strategi Mitigasi Kondisi Spesifik
Deskripsi Publik Swasta Bersama P D NR
Peristiwa Risiko Sesuai Best Practice terkait Alokasi Risiko
Force majeur politis Peristiwa perang, kerusuhan, x Asuransi, bila
gangguan keamanan R B RB dimungkinkan
masyarakat
Cuaca ekstrim x Asuransi, bila
R B RB
dimungkinkan
Force majeure Jika di atas 6-12 bulan,dapat x Setiap pihak dapat Terutama bila
berkepanjangan mengganggu aspek ekonomis mengakhiri kontrak asuransi tdk tersedia
pihak yang terkena dampak R B RB KPS dan memicu untuk risiko tertentu
(terutama bila asuransi tidak terminasi dini
ada)
11. RISIKO KEPEMILIKAN ASET
Risiko nilai aset Kebakaran, ledakan, dsb x Asuransi
R B RB
turun
Keterangan:
P = Probabilitas
D = Dampak
R = Rendah
S = Sedang
T = Tinggi

Bab 8 | 9
Bab 8 | 10
Bab 9 Dukungan Pemerintah dan
Penjaminan
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta
Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara

9.1 DUKUNGAN PEMERINTAH

Proyek ini tidak memerlukan dukungan kelayakan (viability gap funding), karena
menggunakan mekanisme Availability Payment (AP) untuk pembayarannya. Oleh karena
itu, dibutuhkan kepastian dari pemerintah untuk dapat melakukan pembayaran AP
secara tepat waktu sesuai dengan yang diperjanjikan di dalam kontrak.

Selain itu, Badan Usaha Pelaksana (BUP) akan membutuhkan bantuan pemerintah untuk
memberikan kemudahan dalam proses perizinan badan usaha dan pemngoperasian.
Dukungan pemerintah dalam bentuk insentif pajak tidak diperlukan di dalam skema ini,
karena hanya merupakan kantong kanan kantong kiri saja.

9.2 PENJAMINAN PEMERINTAH

Penjaminan untuk proyek ini dapat dibutuhkan atau tidak dibutuhkan sangat tergantung
dengan ketertarikan pasar. Berdasarkan hasil market sounding awal, salah satu badan
usaha yakin pemerintah akan komitmen melakukan pembayaran secara AP sesuai
dengan kontrak. Jika pemerintah dikhawatirkan tidak komitmen dalam pelaksanaan
pembayaran, tentunya penjaminan pemerintah akan sangat membantu memberikan
kenyamanan tersebut.

Risiko yang diusulkan untuk dijamin adalah:


- Risiko politik & regulasi. Kondisi politik yang dapat berubah sehingga dapat
mengubah regulasi yang kemungkinan dapat menimbulkan risiko negatif bagi proyek.
- Risiko penyesuaian pembayaran (adjustment). Risiko terjadinya keterlambatan atau
tidak dilakukannya penyesuaian pembayaran AP sesuai dengan inflasi epr tahunnya.
- Risiko pembayaran. Risiko terjadinya penundaan atau tidak dilakukannya
pembayaran AP oleh pemerintah hingga melewati batas waktu yang dijanjikan di
dalam kontrak.

Bab 9 | 1
Penjaminan atas risiko-risiko tersebut akan memberikan tambahan kenyamanan bagi
investor dan lender. Walaupun begitu, dalam studi ini disepakati tidak mengajukan
penjaminan pemerintah.

Bab 9 | 2

Anda mungkin juga menyukai