SAMBUTAN
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi
Indonesia memiliki potensi energi surya yang cukup besar mencapai 400.000 MWp. Namun
saat ini, pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang merupakan salah satu
pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan baru mencapai 194 MW.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang telah
diterbitkan, pembangunan PLTS ditargetkan sebesar 4,7 GW demi mencapai target Energi
Baru Terbarukan (EBT) 23% pada tahun 2025. Pengembangan PLTS juga ditargetkan berada
di semua lokasi, tidak hanya di daratan (ground-mounted) dan atap (rooftop).
Saat ini instalasi PLTS pada permukaan badan air (waduk atau danau) berupa PLTS
Terapung mulai marak dikembangkan di Indonesia. Berdasarkan data, potensi
pengembangan PLTS Terapung mencapai 26,65 GW dan tersebar di 271 lokasi di Indonesia.
PLTS Terapung sebenarnya bukanlah jenis teknologi baru. Teknologi ini sudah lama
dikembangkan namun penerapan pada badan air memang masih dalam tahap awal di
Indonesia.
Dalam rangka pengembangan energi yang berkelanjutan dalam konteks transisi energi di
Indonesia, khususnya dalam pengembangan PLTS Terapung, Direktorat Jenderal Energi
Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (KESDM) menyusun Buku Panduan Perencanaan PLTS Terapung. Perencanaan
pembangkit sangat krusial demi menjamin sistem yang berkelanjutan. Perencanaan PLTS
yang baik dapat meminimalisir risiko kegagalan proyek. Diharapkan dengan adanya buku
panduan ini, perencanaan PLTS Terapung dapat dilaksanakan dengan baik demi menjamin
keberlanjutan proyek.
Akhir kata, kami berharap semoga Buku Panduan Perencanaan PLTS Terapung ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak dalam pemanfaatan PLTS di Indonesia.
Dadan Kusdiana
i
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buku Panduan
Perencanaan PLTS Terapung telah selesai disusun. Buku Panduan ini memberikan referensi
dan rujukan kepada pengembang PLTS Terapung seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, instansi terkait lainnya, dan pengembang swasta dalam menyusun dokumen
perencanaan dalam kegiatan pembangunan PLTS Terapung.
Saat ini, perencanaan PLTS Terapung di Indonesia mulai marak dilaksanakan. Dengan
perencanaan yang baik dan berwawasan lingkungan, diharapkan dapat memberikan nilai
tambah terhadap proyek serta keberlanjutan PLTS Terapung dapat dijamin.
Buku panduan ini mengambil referensi dari dokumen-dokumen internasional, tetapi dalam
penyajiannya sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, selain itu ditambah antara lain
dengan potensi PLTS Terapung di Indonesia serta peraturan-peraturan terkait
pengembangan PLTS Terapung. Dokumen ini ditargetkan untuk pihak-pihak yang akan
membuat perencanaan PLTS Terapung dan telah memiliki kemampuan dasar terkait PLTS
secara umum.
Tim Penyusun
ii
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
DAFTAR ISI
SAMBUTAN _____________________________________________________________ I
iii
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
REFERENSI ____________________________________________________________ 52
iv
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Lifecycle PLTS Terapung__________________________________________ 2
Gambar 1.2 Contoh layout PLTS Terapung dan komponen-komponen penyusun ________ 3
Gambar 1.3 PLTS Terapung di dunia (Disadur dari berbagai sumber). (a) PLTS Terapung
320 MW di Zhejiang-China, (b) PLTS Terapung 150 MW di Huainan-China, (c)
PLTS Terapung 70 MW di Anhui-China, dan (d) PLTS Terapung 60 MW di
Tengeh-Singapore ______________________________________________ 4
Gambar 1.4 Sebaran bendungan PUPR di Indonesia sampai dengan tahun 2014 _______ 8
Gambar 1.5 Sebaran pembangunan 61 bendungan PUPR di Indonesia (2014-2024) _____ 8
Gambar 2.1 Potensi iradians surya harian di Indonesia (P3TEK-KEBTKE, 2017) _______ 10
Gambar 2.2 Pemetaan lokasi perairan (Sumber: ADB, 2018) _______________________ 14
Gambar 2.3 Contoh laporan pemetaan batimetri _________________________________ 15
Gambar 3.1 Contoh desain produksi NEMO eng. (Sumber: Multiconsult)______________ 18
Gambar 3.2 Contoh desain modular [11] _______________________________________ 19
Gambar 3.3 Contoh pontoon modul surya [2] ___________________________________ 19
Gambar 3.4 Rigid mooring system ___________________________________________ 22
Gambar 3.5 Taut mooring system ____________________________________________ 22
Gambar 3.6 Catenary mooring system ________________________________________ 23
Gambar 3.7 Compliant mooring system _______________________________________ 23
Gambar 3.8 Diagram gaya yang menghubungkan sudut dengan tegangan tali [9] _______ 24
Gambar 3.9 Variasi konfigurasi mooring [9] _____________________________________ 25
Gambar 3.10 Kerusakan PLTS Terapung akibat badai (Sumber: PV Magazine) ________ 25
Gambar 3.11 Konfigurasi orientasi ganda [9] ___________________________________ 26
Gambar 3.12 Penggunaan pelindung angin pada sisi terluar _______________________ 27
Gambar 3.13 Sistem pengapung dengan sisi terluar lebih berat dan terendam air _______ 27
Gambar 3.14 Contoh panduan metode mounting (Sumber: REC, PI Berlin) ___________ 28
Gambar 3.15 Rute pengkabelan yang berbentuk huruf S __________________________ 29
Gambar 3.16 Kabel DC menyentuh permukaan air [13] ___________________________ 30
Gambar 3.17 Kabel dan konduit yang terendam air ______________________________ 30
Gambar 3.18 Biofouling pada kabel___________________________________________ 31
Gambar 3.19 Marine grade DC cable (Source:PI Berlin) ___________________________ 31
Gambar 3.20 Kabel pentanahan (Sumber: PI Berlin) _____________________________ 32
Gambar 3.21 Volume area yang dilindungi sistem proteksi petir _____________________ 33
Gambar 3.22 Air terminal rods (Sumber: World Bank Group, ESMAP, dan SERIS 2019) _ 33
Gambar 4.1 Contoh soiling pada modul surya [14] _______________________________ 40
Gambar 4.2 Bird spikes (Sumber: bird-x.com) ___________________________________ 40
Gambar 4.3 Contoh sistem pelampung yang digunakan pada proyek waduk Bedok di
Singapura (Sumber: World Bank Group, ESMAP, dan SERIS 2019) _______ 41
Gambar 5.1 CAPEX PLTS Terapung (Sumber: Masdar, SERIS) ____________________ 45
Gambar 5.2 Faktor yang menentukan biaya investasi PLTS Terapung _______________ 46
Gambar 5.3 Proses perizinan PLTS Terapung __________________________________ 47
Gambar 5.4 Alur perizinan PLTS Terapung_____________________________________ 51
v
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Komponen-komponen PLTS Terapung _________________________________ 4
Tabel 2.1 Contoh kecepatan angin rata-rata bulanan dan tahunan (m/s) ______________ 12
Tabel 2.2 Contoh analisis air (Sumber: PI Berlin, IAARD) __________________________ 13
Tabel 2.3 Contoh analisis karakteristik tanah (Disadur dari: PI Berlin, IAARD) __________ 15
Tabel 3.1 Perbandingan aspek desain PLTS Terapung dan PLTS ground-mounted _____ 17
Tabel 3.2 Uji yang relevan __________________________________________________ 20
Tabel 4.1 Prediksi kemungkinan dampak pada PLTS Terapung di Da Mi, Vietnam ______ 37
Tabel 4.2 Karakteristik material utama PLTS Terapung ___________________________ 39
Tabel 5.1 Dokumen lingkungan hidup _________________________________________ 48
vi
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
BAB 1 PENDAHULUAN
Energi surya merupakan salah satu sumber energi dengan pertumbuhan paling cepat di
dunia. Dilihat dari total kapasitas terpasang, energi surya merupakan energi terbarukan yang
paling banyak digunakan di dunia, setelah energi angin. Salah satu keunggulan dari teknologi
energi surya adalah modul surya yang digunakan dapat dipasang hampir di seluruh lokasi
yang terkena sinar matahari. Lokasi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dengan
potensi energi surya yang terus menerus tersedia sepanjang tahun, menyebabkan
pemanfaatan energi surya sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) perlu terus
ditingkatkan. Indonesia memiliki potensi energi surya yang cukup besar mencapai 400.000
MWp. Namun saat ini, pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang
merupakan salah satu pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan baru
mencapai 194 MW. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-
2030 yang telah diterbitkan, pembangunan PLTS ditargetkan sebesar 4,7 GW demi mencapai
target Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% pada tahun 2025. Dengan perkembangan
teknologi, pengembangan PLTS juga ditargetkan berada di semua lokasi, tidak hanya di
daratan (ground-mounted) dan atap (rooftop) tetapi bahkan di atas air (mengapung di area
perairan). Salah satu kendala dalam mengembangkan PLTS di Indonesia adalah kendala
lahan. Lahan yang luas untuk pemasangan PLTS skala besar umumnya tersedia di daerah
dengan kepadatan penduduk lebih rendah, dimana kebutuhan listrik di daerah tersebut tidak
tinggi. Sebaliknya, di daerah padat penduduk yang kebutuhan listriknya tinggi, lahan yang
tersedia untuk pembangunan PLTS sangatlah terbatas. Kalaupun dapat menggunakan PLTS
Atap, tidak semua atap dapat dipasangi PLTS. Sebagai alternatif untuk mengatasi kendala
lahan dalam pengembangan PLTS, dapat dibuat PLTS Terapung.
Penerapan teknologi PLTS Terapung masih tergolong baru jika dibandingkan dengan PLTS
ground-mounted. Oleh karena itu, sumber literatur, data, informasi, dan standar terkait PLTS
Terapung belum begitu banyak tersedia baik di level nasional maupun internasional.
Teknologi pendukung PLTS Terapung juga belum memiliki standardisasi yang lengkap dan
panduan pemasangan yang tersusun secara sistematis. Padahal, panduan pemasangan
yang lengkap dan sistematis sangat diperlukan untuk meminimalisir terjadinya masalah ketika
instalasi PLTS Terapung dilaksanakan maupun timbulnya risiko di kemudian hari setelah
PLTS Terapung beroperasi. Tujuan dibuatnya dokumen ini diharapkan dapat digunakan
sebagai panduan perencanaan pembangunan PLTS Terapung di Indonesia. Pembaca
diharapkan mendapat gambaran umum dan khusus terkait tahap perencanaan PLTS
Terapung serta aspek-aspek yang perlu diperhatikan.
1
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
pemahaman lebih lanjut terkait perencanaan sistem khusus PLTS Terapung. Diharapkan
dokumen ini dapat memberikan panduan terhadap aspek-aspek yang perlu diperhatikan,
direncanakan, dan dirancang sebelum berlanjut ke tahap berikutnya. Dokumen ini juga
menyampaikan contoh kasus terkait PLTS Terapung di negara-negara lain. Meskipun
berbeda kondisi dan lingkungan dengan Indonesia, diharapkan kasus-kasus tersebut dapat
memberikan tambahan pengetahuan dan solusi dalam penerapannya di Indonesia.
Pada umumnya, lifecycle PLTS Terapung dapat dikelompokkan menjadi beberapa tahap
yaitu:
Dokumen ini hanya membahas tahapan engineering phase, tepatnya pada tahapan
perencanaan. Tahapan perencanaan yang dibahas pada dokumen ini dikecualikan untuk
pembahasan finansial.
Dokumen ini membahas beberapa tahapan yaitu, identifikasi lapangan, perancangan teknis,
dan perizinan. Perencanaan PLTS Terapung sebaiknya dapat memaksimalkan potensi yang
ada namun tetap sesuai dengan regulasi, ketentuan, dan persyaratan teknis di Indonesia.
Pada dokumen ini tidak ada batas kuantitatif pada persyaratan. Hal ini dikarenakan batasan
nilai perlu disesuaikan dengan banyak faktor lainnya. Dokumen ini menyampaikan faktor-
faktor apa saja yang perlu dipertimbangkan dan dianalisis lebih jauh dalam perencanaan
PLTS Terapung. Misalnya, nilai iradians tertentu bisa saja menjadi feasible di suatu tempat
sementara di tempat lain tidak. Sama halnya dengan kandungan mineral dalam air, belum
tentu tidak feasible. Faktor-faktor yang dibahas digunakan untuk menentukan spesifikasi
teknis yang diperlukan dalam perencanaan PLTS Terapung.
Dokumen ini difokuskan untuk aplikasi PLTS Terapung pada badan air tawar buatan, seperti waduk,
bendungan, dan reservoir. Namun demikian, beberapa parameter mungkin dapat dijadikan acuan
untuk penerapan PLTS Terapung pada badan air tawar alami seperti danau dan pinggir pantai atau
tepi laut.
Dokumen ini tidak difokuskan kepada aspek keteknikan saja, melainkan juga melibatkan multi
disiplin ilmu. Untuk aspek desain teknis yang lebih lengkap, dapat mengacu kepada panduan PLTS
pada umunya. Dokumen ini fokus membahas identifikasi lapangan, filosofi desain, dan analisis
dampak terhadap lingkungan di Indonesia. Beberapa aspek lain seperti, analisis energi yang
dihasilkan dan studi interkoneksi tidak dibahas mendalam. Pembaca dapat mengacu kepada
dokumen lain yang lebih lengkap dan spesifik membahas topik tersebut.
Panduan diawali dengan pendahuluan yang membahas singkat PLTS Terapung dan pada bab-bab
selanjutnya, dibahas tahap-tahap perencanaan yang terdiri atas:
• Bab 2 tentang identifikasi lapangan yang membahas aspek-aspek dalam menentukan
2
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
lokasi potensial untuk PLTS Terapung serta perhitungan potensi energi yang dapat
dihasilkan
• Bab 3 tentang perancangan teknis yang membahas aspek-aspek terkait PLTS Terapung.
Beberapa aspek yang dibahas merupakan aspek tambahan dari PLTS ground-mounted
yang dikhususkan pada sistem PLTS Terapung, seperti struktur pengapung (floater) dan
platform/pontoon, anchoring dan mooring, modul surya, sistem pengkabelan di perairan,
dan keamanan kelistrikan. Untuk pemahaman secara menyeluruh, dapat mempelajari
aspek perancangan teknis pada PLTS umum.
• Bab 4 tentang pertimbangan sosial dan lingkungan terkait dampak terhadap lingkungan
dan sosial.
• Bab 5 tentang pertimbangan finansial dan hukum terkait regulasi-regulasi yang berlaku
saat ini serta pihak-pihak yang berkaitan terhadap proses perijinan.
Beberapa aspek lainnya mungkin diperlukan pada tahap perencanaan namun belum dibahas
pada dokumen ini.
PLTS Terapung merupakan sistem modul surya skala besar yang dipasang terapung pada
platform di permukaan perairan, baik pada danau, waduk, dam, danau irigasi, area
pengelolaan air buangan (water treatment pond), ataupun lepas pantai. Beberapa PLTS
Terapung dengan kapasitas terbesar di dunia yang telah sukses dibangun dan beroperasi di
berbagai negara ditunjukkan pada Gambar 1.3.
Pada prinsipnya, sistem PLTS Terapung tidak berbeda jauh dengan sistem PLTS ground-
mounted. PLTS Terapung terdiri dari modul surya, platform apung/floater/pontoon, sistem
mooring, inverter, power conditiones station (di darat atau di atas perairan), pengkabelan,
infrastruktur interkoneksi jaringan, fasilitas pendukung, pusat meteorologi (sejajar dengan
PLTS terapung), remote monitoring, dan sistem pengumpulan data (Tabel 1.1). Teknologi
PLTS Terapung dianggap layak secara komersial dikarenakan banyaknya proyek skala besar
yang telah dilaksanakan. Namun, proses pengembangan PLTS Terapung dianggap lebih
menantang dibanding PLTS di darat mengingat kurangnya rekam jejak, ketidakpastian
tentang biaya, dan ketidakjelasan tentang dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Teknis
3
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
dalam merancang, membangun, dan mengoperasikan PLTS Terapung juga relatif lebih rumit,
terutama dalam hal pengamanan sistem kelistrikan, sistem anchoring dan mooring.
Gambar 1.3 PLTS Terapung di dunia (Disadur dari berbagai sumber). (a) PLTS Terapung
320 MW di Zhejiang-China, (b) PLTS Terapung 150 MW di Huainan-China, (c) PLTS
Terapung 70 MW di Anhui-China, dan (d) PLTS Terapung 60 MW di Tengeh-Singapore
Prediksi
Fungsi/
Nama Komponen dan Gambar
Keterangan
4
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
5
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Jangkar dan Tali Jangkar (Anchor) dan Tali Jangkar 20-25 tahun
Jangkar (Mooring) berguna untuk menahan
pergerakan PLTS Terapung agar
tidak berpindah. Jangkar umumnya
terbuat dari beton sedangkan tali
jangkar terbuat dari besi.
6
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Meskipun terdapat beberapa tantangan teknis di atas, sistem PLTS Terapung memiliki
keunggulan dibandingkan sistem PLTS ground-mounted, diantaranya:
• PLTS Terapung dapat menggunakan badan air yang tidak dimanfaatkan, seperti
reservoir, danau pengelolaan air pembuangan, danau, waduk, laguna, danau irigasi,
danau perikanan, dan dam.
• Instalasi dan dekomisioning yang lebih sederhana dan compact. PLTS Terapung nyaris
tidak memiliki konstruksi sipil yang tetap, berbeda dengan PLTS ground-mounted.
Instalasi relatif lebih mudah dan cepat karena tidak membutuhkan alat berat (tanpa
pekerjaan sipil).
• PLTS Terapung yang menutupi badan air dapat mengurangi penguapan air. Penelitian di
Austalia menyebutkan pengurangan antara 15.000-25.000 m3 untuk setiap instalasi 1
MWp PLTS Terapung [3]. Literatur lain menyebutkan PLTS Terapung bahkan dapat
mengurangi penguapan sampai dengan 33% pada danau alami dan 50% pada badan air
buatan [2].
• Keberadaan PLTS Terapung dapat menghambat pertumbuhan alga di perairan, sehingga
dapat meningkatkan kualitas air dan mengurangi produksi gas methane yang disebabkan
oleh proses dekomposisi zat organik [4].
• Pada umumnya, PLTS Terapung dapat meningkatkan efisiensi modul PV sampai dengan
12% dibandingkan PLTS ground-mounted [5]. Hal ini dikarenakan, berdasarkan studi
yang dilakukan oleh National University of Singapore, modul pada PLTS Terapung
beroperasi pada temperatur 3-10 derajat lebih rendah dibandingkan PLTS Atap [6].
• Pantulan dari permukaan air juga dapat meningkatan iradians surya yang diterima oleh
modul, sehingga dapat meningkatkan energi yang dihasilkan [3].
• Berkaitan dengan adanya peningkatan efisiensi yang, maka kebutuhan lahan pada PLTS
Terapung dapat lebih kecil dibandingkan PLTS ground-mounted yaitu mencapai 1-1,5
MWp/hektar [7].
• Struktur PLTS Terapung dapat mengurangi pembentukan gelombang pada badan air
sehingga erosi pada tepi perairan dapat diminimalisir. Terutama untuk struktur PLTS
Terapung yang dekat dengan area bendungan.
• Dari segi biaya secara umum, biaya struktur pengapung dapat mencapai 25% dari biaya
keseluruhan proyek. Namun secara total nilai ini masih lebih rendah dibandingkan biaya
yang dikeluarkan untuk akuisisi dan persiapan lahan pada PLTS ground-mounted [2].
• Biaya O&M relatif lebih rendah dikarenakan kebutuhan air untuk pembersihan telah
tersedia (selama kualitas air memenuhi) dan komponen yang digunakan lebih jarang
overheat. Selain itu, tidak ada biaya pembersihan lahan/vegetasi sekitar untuk
menghindari bayangan pada sistem.
• PLTS Terapung dapat dipasang hybrid dengan PLTA. Sistem ini tidak membutuhkan
investasi untuk infrastruktur jaringan karena dapat menggunakan jaringan yang telah ada.
Sampai dengan Agustus 2020, Indonesia memiliki lebih dari 244 bendungan yang teregistrasi
7
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
di Balai Teknik Bendungan beserta waduk yang memiliki luas total sekitar ±108.183 Ha.
Berdasarkan data Direktorat OP-Kementerian PUPR Tahun 2020, sampai dengan tahun
2014, terdapat total 187 bendungan Kementerian PUPR di Indonesia dengan volume
tampungan mencapai 7,5 milyar m3. Rincian sebaran bendungan di Indonesia sampai dengan
tahun 2014 digambarkan pada Gambar 1.4
KALIMANTAN
SUMATERA
MALUKU
7 6 SULAWESI
1
Bendungan
792,78 juta m3
Bendungan
25,66 juta m3 4 Bendungan
0,27 juta m3
Bendungan
431,90 juta m3 PAPUA
JAWA
79 90 BALNUSTRA
Bendungan
5,49 milyar m3 Bendungan
757,15 juta m3
Gambar 1.4 Sebaran bendungan PUPR di Indonesia sampai dengan tahun 2014 (Sumber: Kemen PUPR)
Sementara itu, sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2024 Kementerian PUPR
merencanakan pembangunan 61 bendungan di seluruh Indonesia dengan 18 bendungan
diantaranya telah selesai dan 43 bendungan masih dalam proses pembangunan. Selain itu,
terdapat 9 bendungan yang direncanakan tentatif pada 2021-2024 (Gambar 1.5). Dengan
selesainya 61 rencana pembangunan bendungan di Indonesia tersebut, pada tahun 2024 total
penambahan kapasitas tampungan dapat mencapai 16,25 milyar m3.
Keterangan:
• 18 Bend Selesai
• 43 Bend. On Going
• 9 Bend Baru (Tentatif 2021-2024)
Gambar 1.5 Sebaran pembangunan 61 bendungan PUPR di Indonesia (2014-2024) (Sumber: Kemen PUPR)
8
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
2.1 Umum
Penentuan titik atau lokasi instalasi yang sesuai merupakan hal yang penting dalam
perencanaan PLTS Terapung agar sistem yang dibangun dapat feasible secara ekonomis
serta struktur sistem yang dirancang dapat stabil. Pada tahap ini, belum didapatkan informasi
lengkap terkait lokasi potensial PLTS Terapung, seperti kondisi topografi, perairan, dan
hidrologi; termasuk potensi dampak yang mungkin terjadi. Tempat pemasangan PLTS
Terapung harus diidentifikasi pada saat konsep awal pengembangan dan sebelum studi
kelayakan dilakukan. Tujuan tahap identifikasi lapangan adalah untuk mengetahui kelayakan
sebuah lokasi dan memilih lokasi terbaik untuk proyek PLTS Terapung. Adapun metodologi
pemilihannya hampir serupa dengan yang digunakan pada pemasangan PLTS ground-
mounted.
Kriteria-kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan lokasi PLTS terapung dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
• Faktor yang mempengaruhi efisiensi sistem dan energi yang dihasilkan oleh sistem, yaitu
iradians surya, analisis bayangan sekitar, dll.
• Faktor yang mempengaruhi aktivitas instalasi, pengoperasian dan pemeliharaan (O&M),
yaitu kedalaman perairan (termasuk fluktuasi ketinggian muka air), arus air, aksesibilitas,
kegiatan/aktivitas lain di lokasi yang sama, kondisi iklim dan cuaca, dll.
• Interkoneksi dengan jaringan, yaitu jarak dengan titik interkoneksi, jaringan distribusi yang
ada, fasilitas interkoneksi yang ada, akses jalan sekitar, dll.
• Pertimbangan hukum dan perizinan, yaitu area konservasi air, fauna dan flora yang
dilindungi, pembatasan area pemancingan, area wisata dan hiburan, keberterimaan
masyarakat sekitar, dampak terhadap lingkungan sekitar, area permukaan tidak
bersengketa dengan kepentingan pihak lain, serta adanya kerangka peraturan dan
hukum yang mendukung pengembangan PLTS Terapung.
9
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
o Dampak visual
o Kualitas dan potensi pencemaran air
o Karakteristik badan air
o Keberadaan ekosistem perairan dan sekitar
Identifikasi kondisi iklim lokal dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran temperatur dan
kecepatan angin di lokasi PLTS Terapung. Pada beberapa kasus, seringkali ditemui peralatan
pengukuran dipasang di daratan atau area tepi perairan. Namun, untuk mendapatkan hasil
pengukuran yang lebih akurat, alat ukur sebaiknya tidak dipasang di tepi perairan melainkan
dipasang di daerah permukaan air yang akan menjadi lokasi pemasangan PLTS Terapung.
Hal ini karena akan terdapat perbedaan temperatur pada permukaan daratan dan permukaan
perairan yang disebabkan oleh proses pendinginan dari permukaan perairan.
Kondisi iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap konstruksi, pondasi, desain dan tata
letak sistem, serta keandalan sistem. Variasi musiman dalam cuaca, seperti variasi
temperatur, curah hujan, kecepatan angin, arah angin, kelembapan, indeks polusi, kejadian
petir, dan statistik badai dan topan, merupakan faktor kunci yang membutuhkan studi lebih
lanjut. Hal ini dikarenakan data yang tersedia umumnya hanya berupa data generik dengan
resolusi spasial yang rendah, sehingga perlu didapatkan data meteorologi yang lebih akurat.
Iradians surya adalah jumlah energi yang dipancarkan oleh matahari dan diukur di suatu
wilayah di permukaan bumi (W/m2). Potensi iradians surya selama waktu tertentu (Wh/m2)
menentukan energi yang dapat dihasilkan oleh suatu proyek selama masa operasi yang
kemudian dapat mempengaruhi aspek keekonomian dari PLTS Terapung. Nilai iradians
surya harian merupakan salah satu faktor yang menentukan kelayakan sebuah proyek PLTS
Terapung.
10
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Terdapat dua metode utama untuk mendapatkan data iradians surya suatu lokasi, yaitu data
satelit dan pengukuran langsung. Informasi/data sekunder yang didapatkan dari satelit
biasanya dalam skala pengukuran (grid) yang lebih luas sehingga keakuratan data menjadi
lebih rendah. Selain itu, data iradians yang didapatkan dari satelit tidak menggambarkan
keseluruhan keadaan di lokasi, misalnya belum memperhitungkan faktor pengotoran modul.
Iradians surya berdasarkan data satelit dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Global
Solar Atlas, Solar GIS, PVGIS, atau Meteonorm. Selain itu, Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) mengembangkan aplikasi yang dapat memberikan informasi potensi
iradians surya dengan menggunakan peralatan yang dipasang tersebar di seluruh Indonesia
seperti pyranometer, pyrheliometer, dan weather station. Peralatan yang digunakan untuk
pengukuran langsung tersebut dikalibrasi oleh BMKG setiap tahun. Data terkait iradians surya
dan parameter terkait lainnya dapat diakses pada tautan https://iklim.bmkg.go.id.
Sementara itu, pengukuran langsung biasanya dilakukan untuk mendapatkan data lebih lanjut
yang lebih akurat, namun dengan biaya yang lebih tinggi. Metode ini dapat dilakukan dengan
pengukuran menggunakan pyranometer, phyreliometer, solar reference cell, atapun weather
station di lokasi potensi PLTS Terapung. Pemasangan alat ukur sementara tersebut dapat
dilakukan oleh pengembang atau melalui kerjasama dengan institusi terkait seperti BMKG.
Pemetaan iradians surya harian di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Selain itu, beberapa wilayah perairan mungkin terletak di daerah pegunungan, dimana
bayangan horizontal dari lokasi yang jauh tetap perlu diperhatikan. Jika bayangan dari sekitar
tidak ada atau minimal, maka lokasi dianggap memenuhi. Namun, jika terdapat bayangan dari
sekitar, lakukan analisis lebih jauh dan mendetail. Bahkan jika diperlukan, lakukan
penyesuaian desain layout sistem untuk meminimalisir bayangan.
11
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
yang didapatkan di atas kategori badai, maka perlu dilakukan penguatan dan penyesuaian
anchoring dan mooring.
Tabel 2.1 Contoh kecepatan angin rata-rata bulanan dan tahunan (m/s)
2.3 Aksesibilitas
Jika tersedia akses untuk pengangkutan logistik, lokasi dianggap memenuhi. Jika tidak
tersedia akses jalan, perlu dilakukan analisis mendalam termasuk analisis ekonomi apakah
dimungkinkan pembangunan infrastruktur jalan baru, atau perlu menggunakan akses lain
seperti jalur perairan dan udara.
2.3.2 Ketersediaan lahan di area tepi untuk konstruksi, penyimpanan, dan kegiatan assembly
Jika tersedia lahan yang cukup luas dan memadai di pinggiran badan air untuk kegiatan
konstruksi, penyimpanan material, dan assembly floater; maka lokasi dianggap memenuhi.
Jika penyediaan lahan di area tepi konstruksi memerlukan akuisisi lahan dari pihak lain, maka
perlu diperhitungkan kompensasi yang diberikan agar tidak merugikan pihak yang terdampak
dari akuisisi lahan. Namun jika lahan yang tersedia di tepi perairan terbatas, maka perlu
dilakukan analisis kemungkinan penyesuaian dalam tahapan konstruksi. Misalnya, dengan
memasang platform terapung sementara untuk instalasi komponen-komponen sistem.
12
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Jika bentuk area perairan mendekati bentuk kotak, lokasi dapat dianggap memenuhi. Jika
bentuk area irregular tetapi ukuran area perairan relatif besar dan PLTS hanya akan menutupi
beberapa bagian kecil dari lokasi perairan, maka area dapat dianggap memenuhi. Jika sistem
PLTS menutupi sebagian besar dari area perairan, maka lokasi perlu ditinjau kembali atau
belum memenuhi.
13
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
yang ketinggian airnya berkisar pada kedalaman 15 meter, dengan perubahan ketinggian air
yang minimum. Untuk lokasi dengan perubahan level air yang cukup besar, perancangan
sistem harus dapat mengakomodasi perubahan level air yang ekstrim dalam jangka waktu
yang singkat, seperti yang disebabkan oleh gelombang atau pasang surut perairan.
Pada kondisi air benar-benar mengering dan dasar perairan terlihat, perlu dipastikan bahwa
benda-benda seperti bebatuan dan cabang pohon tidak akan merusak struktur dan sistem
PLTS Terapung. Perlu dicatat bahwa tidak semua pengapung/floater dirancang untuk dapat
bertahan dari kejadian seperti itu. Kejadian ini dapat menggagalkan klaim garansi yang telah
dimiliki. Oleh karena itu diperlukan kesepakatan sebelumnya dengan pabrikan floater. Selain
itu, kedalaman dan variasi level air yang besar akan membutuhkan penanganan lebih
kompleks dan sistem anchoring dan mooring yang lebih mahal.
Jika variasi tinggi muka air minimum, maka lokasi memenuhi. Jika variasinya beragam, dapat
digunakan tinggi muka air terendah untuk menentukan desain yang sesuai. Jika variasi tinggi
muka air terlalu jauh, maka perlu dilakukan peninjauan desain dan pertimbangan finansial.
Untuk PLTS Terapung yang dipasang di area bendungan dan waduk, studi komprehensif
tentang karakteristik air yang dibutuhkan seringkali telah tersedia.
2.4.4 Batimetri
Pemetaan lokasi perairan sangat penting dalam pemilihan lokasi modul surya PLTS Terapung
dan perencanaan sistem mooring dan anchoring seperti ditunjukkan Gambar 2.2. Batimetri
adalah pemetaan dasar badan air, dengan kontur kedalaman yang menyediakan informasi
ukuran, bentuk, dan distribusi fitur-fitur bawah air. Laporan batimetri harus meliputi peta
topografi, lokasi pemasangan, dan detail dasar perairan [8]. Ukuran grid umum untuk survei
batimetri beragam, dapat berkisar dari 100m x 100m sampai dengan 2m x 2m. Untuk
penghematan biaya, batimetri dapat dilakukan dengan membuat skala pengukuran grid yang
besar, kemudian melakukan identifikasi pada area yang potensial. Setelah area yang
potensial diidentifikasi, maka dilakukan studi dengan ukuran grid yang lebih kecil. Ukuran grid
5m x 5m adalah ukuran yang disarankan, tetapi kesesuaian pada akhirnya tergantung tentang
jenis dan kondisi badan air. Gambar 2.3 adalah contoh peta batimetri yang ideal. Untuk hasil
yang lebih baik, dapat digunakan echosounder untuk menghasilkan peta batimetri tiga
dimensi.
14
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Gambar 2.3 Contoh laporan pemetaan batimetri (Sumber: National Geophysical Data
Center, 1999)
Jika batimetri berbentuk regular, maka lokasi memenuhi. Jika batimetri berbentuk irregular,
pastikan anchoring dipasang pada lokasi yang aman dan tidak terganggu kegiatan perairan
lainnya.
Tabel 2.3 Contoh analisis karakteristik tanah (Disadur dari: PI Berlin, IAARD)
15
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Aspek lingkungan dari PLTS Terapung perlu dipertimbangkan, tidak hanya pada fase
perencanaan tapi selama masa beroperasi pembangkit tersebut. Dampak lingkungan yang
berpotensi terjadi akibat dari keberadaan PLTS Terapung perlu diidentifikasi secara detail dan
menyeluruh. Dampak yang muncul pada dasarnya bergantung pada kapasitas pembangkit,
ukuran proyek, jenis teknologi yang digunakan, karakteristik lokasi, dan kondisi lainnya.
Beberapa masalah lingkungan yang mungkin terjadi di lokasi sekitar pembangkit dapat
dikelompokkan menjadi masalah visual, masalah pencemaran air, dan gangguan terhadap
ekosistem flora dan fauna sekitar. Perencana proyek harus mempertimbangkan semua
kemungkinan dampak tersebut dengan mempelajari praktik internasional yang telah ada,
peraturan lokal, ataupun persyaratan lembaga pembiayaan, jika relevan. Semakin baik
identifikasi dampak dilakukan, semakin besar kemungkinan dampak dapat diminimalisir
dengan mitigasi yang baik. Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan lingkungan yang
mungkin terjadi di lokasi PLTS Terapung dibahas lebih detail pada Bab 4 dokumen ini.
16
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
3.1 Umum
Perancangan teknis instalasi PLTS Terapung hampir serupa dengan PLTS ground-mounted.
Perbedaan yang mendasar adalah adanya tambahan struktur pengapung (floater),
penjangkaran (anchoring), dan penambatan (mooring). Perbandingan aspek desain PLTS
Terapung dan PLTS ground-mounted ditunjukkan pada Tabel 3.1. Aspek kualitas struktur
PLTS Terapung, terutama penambatan dan penjangkaran sangat penting untuk diperhatikan.
Selain itu, meskipun standar modul surya pada umumnya dapat digunakan di sebagian besar
sistem PLTS Terapung, tetap diperlukan perhatian lebih mengingat modul surya pada PLTS
Terapung rentan terhadap hal-hal seperti gerakan yang konstan akibat adanya gelombang
air, kelembapan tinggi, badain topan, dan potensi tegangan dan korosi yang lebih tinggi.
Tabel 3.1 Perbandingan aspek desain PLTS Terapung dan PLTS ground-mounted
17
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Platform terapung harus memiliki struktur dengan daya apung yang cukup untuk menopang
modul surya, peralatan kelistrikan di atas air, serta personel selama konstruksi dan
pemeliharaan. Desain struktur terapung sangatlah spesifik tergantung kondisi masing-masing
lokasi pembangkit dan harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:
• Penutupan luasan area permukaan air. Hal ini akan mempengaruhi kapasitas
pembangkit, ukuran masing-masing komponen sistem PLTS Terapung dan laju
penguapan air akibat penutupan permukaan air.
• Kesesuaian dasar perairan atau tepi perairan sebagai penopang masing-masing sub
bagian modul surya.
• Rute pengkabelan agar kabel dan konektor kabel dapat terlindungi dari risiko akibat
kelembaban tinggi.
• Memaksimalkan efek pendinginan modul surya agar suhu pengoperasian dapat lebih
rendah dan kerja sistem yang lebih optimal
• Kesesuaian struktur PLTS dengan jenis/tipe modul surya atau komponen listrik lainnya
yang akan digunakan (misalnya, penggunaan string inverter atau central inverter).
• Jalan akses pada floater untuk melakukan pemeliharaan.
• Kemudahan dan kecepatan penghamparan modul surya ke atas permukaan air dengan
mempertimbangkan kondisi lokasi dan akses yang ada.
b. Klasifikasi 2: Berupa platform HDPE yang bersifat modular dan memiliki dimensi kecil.
Satu unit HDPE biasanya hanya cukup untuk penempatan satu modul surya dan memiliki
lubang pengait. Sistem ini dibuat dengan merangkai unit-unit floater HDPE dan modul
surya ditempatkan di atas floater tersebut. Jenis ini merupakan yang paling banyak
digunakan dan diadopsi. Teknologi ini lebih ringan namun rentan terhadap angin, beban
18
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
gelombang air dan badai yang dapat merusak struktur platform. Sistem ini memiliki area
kontak dengan air yang cukup luas sekitar 50% dari luasan area permukaan air yang
dimanfaatkan. Sistem mooring pada platform HDPE ini sangat kompleks dan memerlukan
banyak kabel untuk memastikan platform terpasang dengan baik. Satu floater tidak dapat
menyangga orang, sehingga akses jalan dan pemeliharaan menjadi lebih terbatas.
Sistem ini dikenal dengan sistem single floats. Contoh desain teknologi platform HDPE
modular ditunjukkan pada Gambar 3.2.
c. Klasifikasi 3: Berupa struktur ponton terapung berukuran besar yang dihubungkuan dan
dapat menyangga modul surya. Dengan pertimbangan faktor keselamatan, sebaiknya
platform dibangun dengan berukuran besar yang lebih kokoh dan dapat menyangga
beberapa modul surya sekaligus (10-100 unit). Platform ini kemudian ditopang oleh
komponen pengapung yang mengacu pada standar ponton laut dan teknologi platform
migas. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat sistem floater ini relatif lebih tinggi dengan
kontruksi yang lebih kompleks pada beberapa kasus. Contoh desain teknologi
pengapung dengan ponton ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Pada kenyataannya, banyak ditemukan gabungan dan modifikasi dari ketiga jenis teknologi
di atas. Material HDPE (high density polyethylene) dikenal dengan karakteristik yang kuat,
mudah dirawat, tahan terhadap UV dan korosi, namun Glass fibre reinforced plastic (GRP)
terkadang juga digunakan pada konstruksi platform apung. Oleh karena itu, aspek-aspek yang
perlu diperhatikan dalam menentukan teknologi pengapung yang digunakan adalah:
• Kekuatan
• Kemudahan dalam proses perakitan, penghamparan modul surya, dan mooring
• Kemungkinan untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat (sudut modul dan
19
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
pendinginan)
• Dampak terhadap lingkungan dan kontaminasi dari material terhadap air minimum.
Floater tidak boleh mengandung logam beracun (arsenik dan kromium) atau klorin yang
berlebihan. Standar lain yang berguna dan lebih umum untuk pengujian persyaratan
lingkungan adalah IEC 62321.
• Keandalan dalam jangka panjang. Struktur floater harus dapat bertahan selama masa
operasi PTLS Terapung yang direncanakan.
• Harga
Beberapa standar dan panduan teknis yang dapat dijadikan referensi terkait floater:
• China (NB/T 10187-2019) tentang Floating body technical requirements and test methods
for water photovoltaic systems
• TUV Rheinland’s 2 PfG 2731/02.20 for Floating bodies Recommended Practice
• STOWA (Netherlands) “Guide for licensing of floating solar parks on water”
• API RP-2SK (2005): Design and Analysis of Station Keeping Systems for Floating
Structures
Kualitas bahan yang digunakan untuk pelampung harus dievaluasi secara hati-hati. Untuk
meminimalisasi risiko, sangat direkomendasikan untuk mencari sumber material komponen
terapung dari pemasok yang terkemuka dengan kontrol kualitas yang ketat, termasuk
keterkaitannya dengan dampak komponen terhadap lingkungan dan masa pakai yang
panjang. Aspek ini menjadi lebih krusial untuk instalasi PLTS Terapung skala besar yang
membutuhkan modal investasi yang besar.
20
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Sistem jangkar penahan dan tambat berfungsi menahan platform terapung agar tetap berada
di tempatnya dan memberikan kestabilan mekanis yang dibutuhkan PLTS Terapung. PLTS
Terapung mendapatkan beban lebih banyak dibandingkan PLTS ground-mounted yaitu dari
angin, gelombang air, dan arus air. Masing-masing aspek tersebut dapat memberikan beban
berlebih kepada platform terapung sehingga diperlukan sistem anchoring dan mooring yang
diperhitungkan dengan baik. Pergerakan maksimum pada arah horizontal perlu
diperhitungkan agar sistem tidak terganggu dan juga tidak membahayakan sekitar, termasuk
tepi badan air dan dasar perairan, serta sistem kelistrikan.
Prinsip utama untuk menjaga platform agar tetap berada di tempat adalah dengan mengirim
beban yang diterima ke sistem mooring kemudian ke dasar air. Oleh karena itu, desain sistem
mooring sangat erat kaitannya dengan teknologi floater yang digunakan. Pada desain sistem
yang ekstrim, dimungkinkan pemasangan sistem mooring untuk setiap floater yang
digunakan. Namun desain ini akan menaikkan biaya dan kompleksitas sistem mooring.
Selain pergerakan secara horizontal, sistem mooring juga harus dapat mengakomodasi
pergerakan secara vertical seiring dengan variasi ketinggian level air. Hal ini berarti, mooring
sebaiknya tidak begitu kencang juga tidak begitu kendor. Perlu diperhitungkan kombinasi
optimum dari total titik mooring dan desain struktur pengapung untuk mendapatkan biaya
yang terendah. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya tipe teknologi pengapung,
tipe mooring, kapasitas pembangkit, kedalaman air, dan karakter beban dari sekitar. Hal ini
sangat spesifik bergantung lokasi masing-masing.
Struktur yang dipakai dapat bermacam-macam dari jangkar yang sederhana, seperti jangkar
pada pantai, yang dapat dipakai di badan air yang lebih kecil atau yang sangat dalam, hingga
struktur jangkar yang sangat kompleks. Struktur yang kompleks cocok diterapkan untuk
waduk dengan level permukaan air yang sering berubah-ubah, umumnya untuk kasus di
beberapa waduk. Jika dipasang di lokasi PLTA, maka mooring dan anchoring harus lebih
dapat mengakomodasi perubahan ketinggian badan air di dam. Desain yang tepat sangat
bergantung pada lokasi secara spesifik dan bergantung pada penggunaan badan air, sifat
tanah dasar waduk, beban angin, dan kendala lingkungan lainnya. Instalasi sistem mooring
pada perairan dalam biasanya lebih mahal dan rumit.
Perancangan sistem jangkar dan tambatan pada lokasi dengan tingkat perubahan ketinggian
air yang tinggi harus mendapatkan perhatian lebih. Tali tambat harus cukup panjang untuk
dapat mengakomodasi perubahan permukaan air namun tetap membatasi pergerakan lateral.
Tantangan lainnya adalah hentakan tiba-tiba yang dihasilkan oleh gerakan lateral yang tiba-
tiba dari platform, ketika tali tambat yang tidak elastis berubah dari kendur menjadi kencang,
hal ini akan menyebabkan kerusakan pada titik tambat.
Beberapa desain jangkar penahan dan tambatan PLTS Terapung dapat mengadopsi desain
yang digunakan pada teknik lepas pantai dan kelautan lainnya, namun dengan persyaratan
yang agak berbeda. Sistem tambat juga harus cukup kuat untuk menahan beban dan dampak
lingkungan, serta beban yang terjadi pada saat pekerjaan operasi dan pemeliharaan. Dalam
banyak kasus, pemasok modul PLTS Terapung juga mendesain atau menyarankan penahan
dan tambatan, karena komponen tersebut juga terhubung dan memiliki beberapa kendala
21
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
desain yang mirip. Jika pemasok tidak dapat mendesain, pengembang sebaiknya
mengkonsultasikan hal ini kepada profesional di bidang kelautan untuk menyetujui rancangan
jangkar penahan.
b. Taut mooring system (Gambar 3.5). Sistem ini memungkinkan pergerakan secara
horizontal namun pergerakan vertikal masih terbatas. Sistem ini cocok jika variasi tinggi
muka air minimum serta dimungkinkan untuk dipasang di perairan dalam.
c. Catenary mooring system (Gambar 3.6). Sistem ini biasanya terbuat dari rantai dengan
mooring lines terpasang setidaknya pada 3 arah yang berbeda. Sistem ini cocok untuk
lokasi dengan perubahan level tinggi permukaan air yang signifikan.
22
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
d. Compliant mooring system (Gambar 3.7). Sistem ini mirip dengan catenary, namun dapat
dipasang di area yang lebih sempit dan lebih tidak mengganggu dasar perairan karena
tali mooring tidak terus menerus bergerak dan naik turun. Sistem ini cocok dipasang pada
kondisi dimana dasar perairan tidak boleh terlalu terganggu.
Desain tata letak sistem perlu mengutamakan pertimbangan interaksi antar seluruh
komponen dengan platform terapung. Perhitungan beban angin dan pergerakan badan
air/arus air merupakan parameter yang sangat penting agar keutuhan seluruh platform
terapung dan sistem penjangkaran dapat terjamin. Kegagalan dari sistem penahan atau
tambatan bisa saja berdampak parah pada proyek PLTS Terapung secara keseluruhan,
bahkan perbaikan mungkin sulit untuk dilakukan. Angin dan arus yang kencang dapat
merusak titik penahan atau tambatan, sehingga menyebabkan platform terlepas dan bahkan
saling bertabrakan. Angin bahkan bisa memutar balik dan melepas baris pinggiran jika
terdapat kerusakan pada titik tambat. Peristiwa ini dapat menyebabkan bencana, seperti
kerusakan seluruh pembangkit, atau bahkan kebakaran sistem. Oleh karena itu, sistem
penahan harus memasukkan sistem redundancy sehingga kegagalan satu garis tambat tidak
menyebabkan kegagalan di baris yang lainnya.
Daya tahan beban angin pada jangkar biasanya dievaluasi dan ditentukan oleh pemasok
platform terapung yang telah memperhitungkan drag force dari struktur terapung. Setelah
berkonsultasi dengan pemasok pelampung terkait desain platform yang sesuai dan kekuatan
yang diperlukan untuk desain struktur komponen, pengembang dapat memutuskan apakah
pengujian tambahan diperlukan (misalnya, jika lokasi perencanaan merupakan daerah rawan
angin topan).
23
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Angin dapat menyebabkan seluruh platform terlepas dan menyebabkan kerusakan besar
pada struktur jangkar penahan. Oleh karena itu, perhitungan beban angin wajib dilakukan
untuk sistem penahan dan tambat. Evaluasi struktur terhadap kekuatan angin dapat mengacu
pada “European code EN 1991-1-4 Actions on structures”. Korelasi antara gaya dorong akibat
adanya angin dengan gaya tegang tali mooring ditunjukkan pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8 Diagram gaya yang menghubungkan sudut dengan tegangan tali [9]
Sistem jangkar penahan harus menggunakan komponen yang tahan lama dan handal dan
dapat bertahan selama masa pakai sistem PLTS Terapung. Parameter yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan sistem mooring dan anchoring antara lain:
• Jenis jangkar dan kesesuaian dengan kondisi dasar perairan
• Pilihan bahan tambat — kawat, tali, rantai, atau penahan elastis
• Kesesuaian dengan standar lokal dan/atau berdasarkan best practice yang
direkomendasikan
• Korosi dan kerusakan komponen penahan (tambat) harus dihindari
• Pertumbuhan alga dan organisme perairan (biofouling)
• Dampak terhadap lingkungan beserta ekosistem sekitar
• Kualitas badan air menentukan material bahan yang digunakan
Sistem juga harus dapat mengantisipasi dampak jika terjadi biofouling, seperti adanya
penambahan bobot pada jangkar dan terjadinya degradasi material. Hal penting lainnya yang
perlu dipastikan adalah tegangan yang terjadi pada titik-titik koneksi antara tali tambat dan
platform terapung tidak merusak platform floater atau titik koneksi. Setiap komponen dari
sistem jangkar dan tambat harus diperiksa dan dipantau terkait tingkat korosi, tegangan, dan
kelambanan (slackness). Selain itu, penyelam bersertifikat juga mungkin diperlukan untuk
melakukan inspeksi berkala selama fase O&M.
24
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Salah satu penyebab umum kerusakan adalah terbaliknya modul surya yang berada pada sisi
25
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Solusi yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya insiden tersebut adalah penggunaan
komponen sambungan apung yang lebih kuat, desain yang tepat untuk sistem tambat dengan
ukuran/konfigurasi pulau yang sesuai. Perlu dilakukan pengujian terhadap kondisi angin pada
skenario yang terburuk, terutama jika lokasi berada di daerah yang rawan terhadap
perubahan iklim dan bencana alam. Selain itu, sistem pembangkit juga perlu diasuransikan
dengan benar karena kondisi ekstrim sulit untuk diprediksi.
Untuk mencegah terbaliknya platform pengapung, perlu dipertimbangkan desain yang dapat
mengurangi gaya angkat modul surya. Adapun alternatif yang dapat digunakan diantaranya:
Alternatif 1: Konfigurasi platform dengan orientasi ganda (Gambar 3.11). Desain ini dapat
diterapkan di daerah tropis untuk mengurangi efek angin kencang.
Alternatif 2: Konfigurasi platform dengan satu baris yang dikosongkan di bagian sisi terluar
(Gambar 3.13). Desain ini merupakan desain yang paling sering digunakan. Sebagai alternatif
dapat pula digunakan desain dengan bagian terluar dibuat lebih berat (weighted perimeter
floats). Pada desain ini, komponen terapung pada sisi terluar diisi dengan air yang digunakan
sebagai beban (dengan bagian yang setengah terendam). Hal ini berfungsi sebagai pemberat
dan mencegah pengapung terbalik ketika terjadi angin kencang.
26
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Gambar 3.13 Sistem pengapung dengan sisi terluar lebih berat dan terendam air
Modul surya dapat terpapar beberapa kondisi ekstrim, seperti panas, dingin, kelembaban, dan
lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi performa PLTS yang dihasilkan,
bahkan dapat menyebabkan kegagalan produk dan menimbulkan bahaya keselamatan. Oleh
karena itu, persyaratan pada modul surya PLTS Terapung cukup berbeda jika dibandingkan
dengan instalasi PLTS ground-mounted. Degradasi performa modul pada PLTS Terapung
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk suhu, kelembaban (korosi), dan adanya
beban mekanis modul. Terjadinya proses pendinginan pada instalasi apung memang dapat
menurunkan suhu modul dan meningkatkan usia pakai modul. Namun, dikarenakan
keberadaan modul dekat dengan badan air, tingkat kelembaban akan lebih tinggi dari sistem
PLTS pada umumnya. Oleh karena itu, agar desain sistem PLTS Terapung handal, perlu
dipertimbangkan faktor-faktor penyebab degradasi serta dampak modul surya terhadap
lingkungan sekitar. Dengan memahami kedua faktor tersebut, keandalan sistem dapat dicapai
dan teknologi modul yang digunakan dapat disesuaikan.
27
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
(cracking/microcrack) dan kegagalan interkoneksi. Tegangan dan getaran dari badan air yang
diakibatkan oleh gelombang, angin, dan gaya lainnya memungkinkan risiko terjadinya
microcrack yang lebih buruk pada modul PLTS Terapung. Microcrack tersebut nantinya dapat
mempengaruhi daya keluaran dari modul surya.
Oleh karena itu, pabrikan modul surya yang dipilih harus dapat menyediakan informasi terkait
modul fixation dan panduan mounting khusus pada PLTS Terapung. Hal ini penting untuk
diketahui agar kesesuaian proses instalasi dengan spesifikasi teknis yang diberikan pabrikan
dapat terjamin. Selain itu, pemasangan mounting yang benar menghindari terjadinya
microcrack pada modul surya. Contoh panduan metode mounting modul surya ditunjukkan
pada Gambar 3.14.
Selain itu, biofouling dari aktivitas burung dapat menyebabkan terjadinya hotspot dan shading
pada modul surya. Pemilihan modul dapat mempertimbangkan tingkat keasaman kotoran
burung (tergantung pada makanan burung), yang mungkin mempengaruhi lapisan kaca modul
yang digunakan serta garansi yang diperlukan.
28
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Pada tahapan pengujian ketahanan, beberapa petunjuk umum yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
• Gunakan desain dan bahan yang tahan kelembaban dengan data uji keandalan yang
diperpanjang
• Pilih desain dengan rating tertinggi untuk resistensi PID (misalnya, polyolefin daripada
enkapsulan berbasis EVA)
• Lakukan evaluasi pembebanan mekanis dinamis dari modul yang terpasang berdasarkan
kondisi di calon lokasi
Pada tahap pengujian keselamatan, beberapa petunjuk yang dapat dijadikan referensi antara
lain:
• Desain junction box, kabel, dan konektor untuk penggunaan di atas air dan perendaman
pada komponen tersebut dihindari
• Pemilihan junction box dengan nilai rating minimal IP67
• Penggunaan backsheet glass dan enkapsulan dengan rating suhu lebih tinggi dan dan
tingkat transmisi uap air yang rendah
• Sistem pentanahan yang sesuai untuk lingkungan yang korosif
Manajemen kabel pada instalasi PLTS Terapung membutuhkan perencanaan yang baik, baik
selama masa perencanaan ataupun proses instalasi. Panjang kabel dan rute kabel perlu
direncanakan dan dihitung dengan hati-hati. Elastisitas kabel harus dapat mengakomodasi
gerakan platform terapung dan perubahan ketinggian permukaan air yang mungkin terjadi.
Jika tidak, gaya tegang dapat menyebabkannya kabel menjadi putus dan pecah.
Gambar 3.15 Rute pengkabelan yang berbentuk huruf S (Sumber: World Bank Group,
ESMAP. Dan SERIS 2019)
Selain itu, kabel juga harus diikat secara tepat dengan pengikat kabel yang tahan sinar
ultraviolet atau baja tahan karat. Kabel juga perlu diarahkan dan dilindungi sehingga tetap ada
rongga sisa untuk menjaga kabel agar tidak terkena air. Pada tahap perencanaan, harus
dipertimbangkan rute kabel (cable routing) dan desain platform. Rute kabel yang baik dapat
dilakukan dengan membentuk huruf S (Gambar 3.15).
29
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Instalasi kabel di permukaan air lebih berpotensi menimbulkan permasalahan dan kerusakan
dibandingkan dengan instalasi pada daratan. Beberapa permasalahan yang seringkali
ditemukan antara lain [13]:
a) Kabel DC dan kabel string menyentuh permukaan air. Kondisi ini biasanya disebabkan
oleh terlalu rendahnya jarak antara modul surya dan muka air, ketidaktepatan
pengukuran panjang kabel, serta adanya gelombang air yang disebabkan oleh angin atau
aktivitas kapal pada muka air. Kondisi ini seharusnya dihindari karena dapat
menyebabkan degradasi dan korosi kabel DC dan konektor kabel, adanya potensi
kebocoran kabel serta menurunnya kualitas insulasi kabel yang digunakan.
b) Kabel dan konduit kabel dari platform terapung menuju lokasi di tepi badan air atau lokasi
inverter terendam di dalam air. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh desain kabel yang
digunakan lebih panjang daripada yang seharusnya dibutuhkan dengan tujuan semula
agar dapat kondisis pergerakan platform terapung yang berlebihan tetap dapat
diakomodasi. Kondisi ini dapat membahayakan keselamatan ketenagalistrikan bahkan
menimbulkan potensi kebakaran.
30
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Selain sistem manajemen kabel, kabel-kabel yang digunakan pada sistem PLTS Terapung
sebaiknya memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Marine grade DC cables (AD 8, IP 68) (Gambar 3.19)
2. Cable ducts
3. Bending radius sesuai dengan ketentuan
4. Sistem pengkabelan diberikan label untuk kemudahan ketelusuran
5. High abrasion resistant
6. UV dan ozone resistant
7. Certificate EN/TUV/UL, seperti TUV Rheinland specification 2 PfG 2750/09.20 Tests [14]
31
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Sungai dan danau memiliki resistivitas yang lebih rendah daripada resistivitas sebagian besar
jenis tanah. Oleh karena itu, sungai dan danau dapat menjadi alternatif pembumian. Kabel
pembumian dapat diarahkan ke dasar reservoir (menggunakan batang tanah yang terkubur
di dasar reservoir) atau ke kedalaman yang cukup ke dalam badan air. Pembumian kabel ke
air atau dasar perairan banyak dilakukan di instalasi skala besar. Contoh kabel pentanahan
pada PLTS Terapung ditunjukkan pada Gambar 3.20.
Adapun standar yang direkomendasikan diantaranya IEC 62305-3 (EN 62305-3) dan IEC
62305-2 (EN 62305-2). Pengembang proyek juga perlu mengacu pada data cuaca lokal untuk
memperhitungkan frekuensi terjadinya petir dan memasang sistem proteksi yang sesuai.
Perlu diperhatikan juga bahwa personil proyek PLTS Terapung tidak dilindungi oleh
pengaman petir, sehingga protokol keselamatan harus melarang pengerjaan PLTS Terapung
ketika terjadi cuaca buruk dengan potensi sambaran petir yang tinggi.
Sistem proteksi petir eksternal berfungsi menangkal sambaran petir langsung dan
melepaskan arus petir dari titik sambar ke tanah. Hal ini juga dapat digunakan untuk
mendistribusikan arus petir di tanah tanpa menyebabkan kerusakan termal, kerusakan
mekanis atau percikan berbahaya, yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan.
Adapun sistem proteksi petir eksternal eksternal terdiri dari komponen berikut:
• Sistem terminasi udara
32
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Gambar 3.21 Volume area yang dilindungi sistem proteksi petir (Sumber: World Bank
Group, ESMAP, dan SERIS, 2019)
Penggunaan metode rolling-sphere ataupun sudut pelindung yang diterapkan pada sistem
proteksi petik PLTS digunakan untuk menentukan volume ruang yang terlindungi (Gambar
3.22). Sistem proteksi petir harus menjaga jarak tertentu dari sistem PLTS. Pemisahan ini
membantu untuk menghindari sambaran petir yang tidak terkontrol ke logam yang
berdekatan. Gambar 3.21 menunjukkan contoh sistem proteksi petir eksternal yang dipasang
di platform apung pada instalasi PLTS Terapung Singapura.
Gambar 3.22 Air terminal rods (Sumber: World Bank Group, ESMAP, dan SERIS 2019)
Selain penggunaan proteksi eksternal, PLTS Terapung perlu dilengkapi dengan proteksi
internal. Proteksi internal yang digunakan untuk melindungi peralatan dari sambaran petir
adalah perangkat pelindung lonjakan arus (surge-protection devices) dan ikatan ekuipotensial
untuk bagian logam dan bingkai, yang dikombinasikan dengan desain kabel pintar (smart
cabling design). Perangkat pelindung lonjakan tipe II direkomendasikan untuk proyek ini. Sisi
DC dan AC dari subsistem listrik harus dilindungi dengan perangkat pelindung lonjakan arus
DC dan AC.
33
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Ikatan equipotential juga termasuk bagian dari sistem proteksi petir. Elemen ikatan tersebut
harus mampu membawa arus petir ke titik pusat pembumian. Pada umumnya, kabel pengikat
dirutekan dekat dengan kabel DC dan AC. Fleksibilitas dan titik lampiran (attachment point)
perlu mendapat perhatian lebih untuk mengelola risiko kerusakan konduktor dan koneksi,
termasuk dari penarikan atau kelelahan terkonsentrasi (concentrated fatigue) yang
disebabkan oleh gerakan pada platform apung.
Karena air dikenal sebagai konduktor yang baik, maka penting untuk dilakukan tindakan
tambahan untuk mencegah korsleting antara kabel PLTS dengan air, karena sengatan listrik
dalam air dapat menyebabkan kematian. Secara umum, sejumlah kecil arus AC (50/60 Hz)
yang mengalir melalui tubuh manusia dapat menyebabkan kelumpuhan atau gagal jantung,
yang kemungkinan dapat menyebabkan seseorang tenggelam. Maka dari itu, sistem ground-
fault interrupter juga penting untuk dipasang.
Pemantauan rasio kinerja PLTS (Performance Ratio/PR Monitoring) merupakan hal penting
yang perlu ditetapkan sejak fase perancanaan mengingat implikasinya sepanjang masa
operasi proyek PLTS. Pemantauan PR dapat dimanfaatkan untuk evaluasi kinerja PLTS,
perbandingan kinerja beberapa PLTS, antisipasi kegagalan sistem PLTS, serta perencanaan
perawatan rutin dan perbaikan. Dari sisi finansial, pemantauan PR merupakan dasar
penentuan garansi kualitas dan kinerja PLTS dalam kontrak, serta menjadi dasar evaluasi
nilai PLTS.
Nilai PR secara prinsip dapat diartikan sebagai output aktual dari suatu PLTS dibandingkan
dengan output maksimum yang mungkin dalam teori untuk sejumlah sinar matahari yang
diterima oleh PLTS dalam waktu tertentu. Dalam notasi matematika, nilai PR dinyatakan
sebagai berikut:
𝐸𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
( 𝐻 )
𝑃𝑂𝐴
𝑃𝑅 =
𝑃
(𝐺𝑆𝑇𝐶 )
𝑆𝑇𝐶
Catatan:
Eoutput (kWh): output energi aktual dalam satu periode/bulan tertentu
HPOA (Wh/m2): insiden energi matahari di periode yang sama
PSTC (kW): kapasitas plat nama
GSTC (W/m2): nilai iradians pada saat kapasitas plat nama diukur dalam standard test
34
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Untuk mendapatkan nilai PR diperlukan peralatan pengukuran seperti energy meter dan
sensor iradians atau pyranometer, yang terkoneksi kepada data logger. Pemasangan,
koneksi, dan perekaman data untuk perhitungan PR dijelaskan dalam SNI/IEC 61724-1.
Khusus untuk sensor iradians, perlu diperhatikan bahwa sensor harus terpasang sesuai
dengan kemiringan bidang larik PLTS.
Pemantauan PR selama masa operasi PLTS memerlukan komitmen sumber daya dari pihak
pengelola sehingga peralatan pengukuran dapat terkalibrasi secara rutin untuk memastikan
akurasinya, serta sistem pemantauan dan datalogger bekerja baik serta dapat diakses.
35
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
4.1 Umum
Bab ini merangkum masalah lingkungan dan sosial yang perlu dipertimbangkan dan mungkin
terjadi pada fase perencanaan, pengembangan, konstruksi, dan pengoperasian dan
pemeliharaan PLTS Terapung. Dampak lingkungan dan sosial dari PLTS Terapung
bergantung pada kapasitas pembangkit, ukuran proyek, teknologi yang digunakan,
karakteristik lokasi, dan kondisi lokal lainnya. Perencana proyek harus mempertimbangkan
semua kemungkinan dampak dengan mempertimbangkan praktik internasional yang ada,
peraturan lokal, dan persyaratan lembaga pembiayaan, jika relevan.
Pengembangan PLTS Terapung termasuk unik, oleh karena itu risiko lingkungan dan sosial
yang dihasilkan juga berbeda. Tim perencana harus menyesuaikan rekomendasi yang
ditawarkan dengan mempertimbangkan variabel yang berlaku di masing-masing lokasi. Jika
peraturan daerah setempat berbeda dengan rekomendasi yang tertulis dalam dokumen ini,
disarankan agar mengikuti peraturan yang lebih ketat atau menyesuaikan dengan masing-
masing lokasi namun tetap memperhatikan kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Selama fase perencanaan proyek, pengembang harus menilai semua risiko dan dampak
sosial dan lingkungan baik langsung, maupun tidak langsung yang mungkin terjadi selama
lifecycle proyek tersebut. Penilaian risiko harus didasarkan pada informasi terkini, dan data
yang digunakan cukup detail untuk menginformasikan karakterisasi, identifikasi risiko dan
dampak serta langkah-langkah mitigasi yang perlu dilakukan. Selain itu, solusi alternatif juga
perlu dipertimbangkan melalui penentuan lokasi, perencanaan, desain, dan implementasi
sebagai bentuk mitigasi.
Seluruh wilayah yang kemungkinan terdampak dari proyek PLTS Terapung harus
diidentifikasi dan dinilai. Hal ini mencakup fasilitas pendukung seperti infrastruktur kelistrikan,
termasuk gardu induk, jalur dan menara transmisi listrik, bendungan, dan infrastruktur lainnya,
badan air tempat komponen PLTS Terapung akan dipasang, dan kondisi perairan di hulu dan
hilir. Dampak PLTS Terapung diidentifikasi dan dinilai secara keseluruhan dimulai dari
kegiatan perencanaan, konstruksi, pengoperasian, pemeliharaan, dan dekomisioning.
Dengan demikian, segala risiko dan potensi bahaya yang ditimbulkan dapat dicegah sedini
mungkin atau dapat dihindari. Jika risiko tersebut tidak dapat dihindari, maka sebisa mungkin
dampak negatif dan risiko dapat diminimalisasikan. Akan tetapi, jika terdapat dampak negatif
yang tidak dapat dihindari, maka perlu diberikan dan diperhitungkan kompensasi dari dampak
yang ditimbulkan.
Bagian ini merangkum masalah lingkungan yang mungkin terjadi di lokasi sekitar fasilitas
PLTS Terapung. Bab ini juga menjelaskan rekomendasi untuk menghindari dampak
lingkungan yang muncul. Sebagian besar dari dampak tersebut dapat dihindari dengan proses
pemilihan lokasi yang cermat.
36
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Oleh karena itu, perlu dibuat rencana pengelolaan lingkungan dan sosial yang spesifik untuk
PLTS Terapung di lokasi tersebut. Error! Reference source not found. memberikan contoh i
dentifikasi dampak dan rencana mitigasi yang dilakukan pada proyek PLTS Terapung di Da
Mi, Vietnam [9].
Tabel 4.1 Prediksi kemungkinan dampak pada PLTS Terapung di Da Mi, Vietnam
37
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Untuk kapasitas instalasi yang lebih besar, susunan floater mungkin perlu disesuaikan dan
disebar di sepanjang area untuk meminimalkan gangguan terhadap lalu lintas kapal.
Kemungkinan dampak PLTS Terapung terhadap kualitas air meliputi:
• Perubahan suhu lingkungan dan tingkat oksigen terlarut yang terjadi akibat tutupan air dan
/ atau peningkatan panas yang dihasilkan dari instalasi PLTS Terapung. Hal ini mungkin
berdampak pada kehidupan ekosistem perairan dan kualitas air. Perubahan ini dapat
menguntungkan atau merugikan, tergantung pada masing-masing sistem.
• Dampak terhadap kualitas air dan ekosistem air yang diakibatkan oleh deterjen pada
proses pembersihan komponen PLTS Terapung.
• Tetesan atau kebocoran minyak dan / atau pelumas yang tidak disengaja dari kapal yang
digunakan pada proses pemeliharaan.
Untuk badan air dengan ekosistem perairan yang beragam dan lebih sensitif, rasio cakupan
permukaan sistem PLTS Terapung pada badan air dapat dibatasi sebagai bentuk mitigasi.
Selain itu, sistem PLTS Terapung dengan kapasitas besar dapat dipisah dan diubah menjadi
beberapa platform terapung dan terpisah satu sama lain untuk mengurangi dampak
lingkungan pada perairan.
Kualitas air semula sebelum dilakukan pemasangan PLTS Terapung perlu diidentifikasi
sebagai acuan dan referensi dasar. Hal ini dapat membantu mengidenfitikasi penyebab jika
terjadi penurunan kualitas air di kemudian hari, apakah diakibatkan oleh pemasangan PLTS
Terapung atau memang kualitas semula air masih di bawah standar yang seharusnya. Untuk
dapat mengidentifikasi kualitas air, setidaknya perlu dikumpulkan data-data berdasarkan
paramater sebagai berikut:
• Temperatur air di berbagai kedalaman di area badan air
• Tingkat keasaman (pH)
38
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
• Oksigen terlarut
• Kandungan oksigen
• Konsentrasi alga
• Klorofil
Dari ketiga material di atas, HDPE merupakan material yang biasanya mengalami kontak
langsung dengan badan air. Sementara galvanized steel biasanya tidak mengalami kontak
langsung dengan air, namun ketika hujan atau dikarenakan terpaan gelombang air, mungkin
terdapat partikel yang masuk ke badan air. Karena pada beberapa kasus ditemukan isu terkait
karat dan ketahanan, galvanized steel diganti dengan aluminium. Berdasarkan literatur,
konsentrasi zat besi pada air sebaiknya di bawah 50-60 µg/L dan di atas 1 µg/L dengan
material yang digunakan harus memenuhi persyaratan lingkungan.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan ruang antar array modul
surya sehingga memungkinkan sinar matahari masuk ke dasar perairan dan mengurangi
dampak terhadap biota perairan yang diakibatkan oleh minimnya sinar matahari dan
perubahan kadar oksigen. Pada area perairan yang telah digunakan untuk Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA), biasanya tidak memiliki masalah dengan aspek ini.
39
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Di Taiwan, terdapat PLTS Terapung yang menghadapi dua persyaratan tambahan dari
pemerintah setempat yaitu cakupan permukaan sistem tidak boleh melebihi 50% dari luas
permukaan air dan pemasangan sistem tidak boleh mengurangi produksi ikan lebih dari
30%.
Pada dasarnya, sistem PLTS Terapung cenderung lebih bebas dari debu (soiling)
dibandingkan dengan instalasi PLTS ground-mounted. Namun demikian, terdapat biosoiling,
yang biasanya berasal dari kotoran burung, yang perlu mendapat perhatian karena dapat
berdampak buruk pada kinerja PLTS Terapung (Gambar 4.1). Biosoiling dapat menimbulkan
hotspot yang dapat mempercepat degradasi modul surya, serta membahayakan sisstem
keamanan kelistrikan. Untuk menghindari hadirnya burung pada lokasi PLTS Terapung, dapat
dipasang pagar tajam (bird spikes) pada sisi modul surya (Gambar 4.2). Selain itu,
pengembang proyek perlu melakukan survei spesies burung, jumlah populasi di lokasi, dan
jalur migrasi serta jadwal aktivitas burung tahunan. Hasil studi ini dapat menjadi referensi
dalam menentukan pola pemeliharaan dan jadwal pembersihan PLTS Terapung.
40
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
ruang lingkup pekerjaan dalam penilaian dampak terhadap kualitas air sebagai berikut [9]:
• Pengambilan sampel air dan sedimen di waduk. Beberapa parameter yang dianalisis
setidaknya mencakup kekeruhan, oksigen terlarut, klorofil-a, suhu, konduktivitas, Ph, dan
nutrisi.
• Mengembangkan model resapan pada area reservoir.
• Mengembangkan model hidrodinamik pada area reservoir berdasarkan data yang
disediakan oleh PUB, seperti batimetri, meteorologi, aliran arus air.
• Memperhitungkan dampak sistem melalui pengamatan dari model sirkulasi air.
• Mengevaluasi dampak yang mungkin terjadi terhadap sirkulasi dan kualitas air di waduk.
• Berdasarkan hasil permodelan, dilakukan penilaian kualitatif dan kuantitatif dari dampak
tidak langsung yang timbul, dampak pada kualitas reservoir selama periode lifecycle, dan
dampak yang timbul dari pemeliharaan sistem.
• Merekomendasikan tindakan pencegahan atau mitigasi untuk mengurangi dampak, baik
langsung maupun tidak langsung, terhadap kualitas air. Rencana mitigasi harus
mencakup tahap prakonstruksi, konstruksi, instalasi, dan operasional PLTS Terapung.
Gambar 4.3 Contoh sistem pelampung yang digunakan pada proyek waduk Bedok di
Singapura (Sumber: World Bank Group, ESMAP, dan SERIS 2019)
Jika berlokasi di daerah dekat dengan pelabuhan, jalur pelayaran, atau area rekreasi, PLTS
41
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Terapung dapat menimbulkan risiko keselamatan (misalnya, tabrakan atau perubahan rute
lalu lintas kapal). Risiko seperti itu diperburuk selama fase konstruksi, ketika terdapat
tambahan kapal yang mengakses lokasi PLTS Terapung. Tabrakan dapat mengakibatkan
kerusakan pada sistem apung PLTS dan / atau kapal, serta pencemaran air akibat tumpahan
minyak. Oleh karena itu, perlu pertimbangan yang cermat terhadap faktor-faktor seperti area
jangkar, kondisi dasar laut, situs arkeologi, jalur kabel atau pipa yang ada, dan daerah
penangkapan ikan saat merencanakan lokasi sistem apung; rute kabel; dan prasarana terkait
lainnya. Berbagai upaya lainnya juga perlu diambil untuk meminimalkan seluruh dampak yang
ditimbulkan.
42
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Terdapat kasus di mana strategi untuk meminimalkan satu dampak lingkungan justru
memperburuk dampak lainnya. Misalnya, mengatur jarak komponen pembangkit untuk
meminimalkan potensi dampak terhadap spesies air dari naungan / bayangan dan
mengurangi potensi masalah kualitas air (suhu, oksigen terlarut), tetapi secara bersamaan
dapat memperburuk dampak potensial pada burung dan spesies air lainnya dengan
menciptakan lebih banyak tempat bagi burung untuk mencari makan atau terjerat.
Berkurangnya pembentukan alga (karena tutupan mengurangi vegetasi air dan fitoplankton)
dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada spesies ikan air serta tingkat oksigen
terlarut. Kualitas air (termasuk suhu air, oksigen terlarut, total gas terlarut, kontaminan,
salinitas, nutrisi dan mineral, serta kekeruhan) harus dijamin sesuai dengan sasaran kualitas
air. Tujuan tersebut biasanya ditetapkan berdasarkan rencana penggunaan air dan badan air
(misalnya, untuk air minum, rekreasi, pertanian, dan sebagainya). Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan pengaruh dampak dan manfaat secara cermat untuk masing-masing lokasi.
Pemantauan lingkungan harus dilakukan selama tahap konstruksi dan operasional dari
semua kegiatan yang diidentifikasi memiliki potensi dampak yang signifikan terhadap
lingkungan. Frekuensi pemantauan harus cukup untuk memberikan data yang representatif
untuk parameter yang dipantau. Tenaga profesional dan ahli harus melakukan pemantauan,
mengikuti metode berbasis sains dan prosedur pencatatan serta menggunakan peralatan
yang dikalibrasi dan dirawat dengan benar. Data pemantauan harus dianalisis dan ditinjau
secara berkala dan dibandingkan dengan standar operasi, sehingga tindakan korektif yang
diperlukan dapat diambil. Jika belum ada standar internasional untuk pemantauan, maka
variabel yang dikaji harus didasarkan pada penilaian lingkungan khusus untuk proyek
tersebut. Ruang lingkup dan frekuensi pemantauan tergantung pada kondisi masing-masing
lokasi dan dapat mencakup kualitas air, kondisi flora dan fauna perairan, dan satwa liar seperti
burung. Pedoman Umum dapat digunakan untuk memberikan informasi tambahan tentang
pengambilan sampel yang berlaku dan metode analisis untuk emisi dan limbah yang
dihasilkan selama konstruksi atau operasi.
43
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Selama tahap pertama (pengembangan konsep dan identifikasi lokasi), analisis yang
dilakukan cukup untuk mempertimbangkan apakah proyek tersebut layak untuk
dilaksanakan. Pada tahap awal ini, pastikan terdapat insentif fiskal dan keuangan, antara lain
pembebasan pajak, pengurangan atau pembebasan bea masuk, dan tarif pembelian listrik.
Mekanisme dukungan semacam itu dapat berbeda tergantung kapasitas pembangkit. Selain
itu, juga perlu diprediksi biaya untuk sewa/akuisisi lahan, pembelian peralatan, pengiriman,
konstruksi, dan operasi. Sebagai tambahan, analisis yang dilakukan dapat mencakup nilai
eksternalitas seperti pengurangan emisi gas rumah kaca, potensi dampak lingkungan (baik
positif atau negatif) pada ekosistem sekitar, dampak pada kegiatan masyarakat, serta manfaat
tambahan jika ditempatkan pada lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Air yang sudah ada.
Konsep pengoperasian dan pemeliharaan PLTS Terapung perlu disusun sejak tahap
perencanaan pembangkit. Rencana pengoperasian PLTS Terapung disesuaikan dengan
perancangan teknis yang telah disusun serta mempertimbangkan aspek-aspek lainnya.
Sementara itu, konsep pemeliharaan PLTS Terapung sebaiknya mencantumkan rencana
kegiatan pemeriksaan kebersihan komponen dan area sekitar lokasi pembangkit serta
rencana pemeriksaan rutin kondisi fisik dan performa masing-masing komponen pembangkit
dengan mempertimbangkan kondisi di area pembangkit yang telah teridentifikasi sebelumnya.
Pada tahap perencanaan juga perlu dilakukan analisis risiko terkait potensi tertundanya atau
terlantarnya pelaksanaan proyek yang disebabkan oleh banyak hal di antaranya potensi
kegagalan pembiayaan dan rencana mitigasi risiko yang akan dilakukan. Rencana
dekomisioning pembangkit juga perlu disampaikan untuk menghindari ketidakjelasan status
komponen-komponen pembangkit yang terpasang di badan air setelah masa operasi proyek
selesai.
Biaya investasi PLTS Terapung pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan PLTS ground-
mounted. SERIS melaporkan bahwa meskipun terdapat tambahan biaya untuk platform
pengapung (20% dari biaya total), namun biaya tersebut menggantikan biaya kebutuhan
untuk akuisisi lahan dan konstruksi sipil [9].
44
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
sistem anchoring dan mooring yang lebih fleksibel. Hal ini akan menyebabkan kenaikan
nilai investasi.
2. Keterbatasan komponen dengan spesifikasi teknis yang dapat digunakan untuk PLTS
Terapung, terutama untuk skala kecil.
3. Perubahan cuaca secara tiba-tiba dapat menyulitkan proses konstruksi karena lokasi
berada di area terbuka.
Tinggi-rendahnya biaya investasi PLTS Terapung sangat erat kaitannya dengan lokasi yang
direncanakan dengan rincian aspek-aspek penentu yang dijelaskan pada Gambar 5.2.
45
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Kadar salinitas air rendah Kondisi badan air korosif dengan kadar
salinitas tinggi
Kecepatan angin pada badan air kecil dengan Rawan dengan cuaca ekstrim
intensitas rendah
Perbedaan (variasi) tinggi muka air kecil Tinggi muka air bervariasi dengan
perbedaan level yang signifikan
Sistem anchor dapat dilakukan pada tepi perairan Diperlukan sistem anchor pada dasar
perairan (semakin dalam semakin mahal)
Interkoneksi dapat memanfaatkan infrastruktur yang Perlu dibangun substation/transmisi baru
telah ada
Akses logistik barang mudah Akses menuju lokasi cukup sulit
Gambar 5.2 Faktor yang menentukan biaya investasi PLTS Terapung (Sumber:
Multiconsult)
Jumlah energi yang mungkin akan dihasilkan berkaitan erat dengan aspek finansial dari
pembangkit. Estimasi yang tidak tepat, dipadukan dengan perubahan cuaca yang ekstrim dan
degradasi komponen yang cukup tinggi dapat menyebabkan proyek yang semula layak
menjadi tidak layak.
Perhitungan energi yang dihasilkan dari sistem PLTS Terapung tidak sama dengan sistem
PLTS yang dipasang di tanah. Desain proyek,iklim, dan kondisi lokasi turut mempengaruhi
kinerja sistem. Asumsi teknis yang tepat harus diadopsi sehingga nilai energi yang dihasilkan
dapat dievaluasi. Hal ini akan berdampak langsung pada arus keuangan proyek sehingga
diperlukan asumsi yang tepat untuk mengurangi risiko yang timbul dari investasi PLTS
Terapung.
Oleh karena itu, prediksi energi listrik yang dihasilkan PLTS Terapung sebaiknya
mempertimbangkan beberapa faktor berikut [15]:
• Prediksi energi sepanjang tahun dan confidence level
• Potensi terjadinya soiling pada modul dan kaitannya dengan pola O&M
• Potensi bayangan sepanjang tahun
• Degradasi komponen dan loss dalam jaringan sepanjang siklus operasi PLTS Terapung
46
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
melakukan beberapa pengurusan perizinan sesuai dengan lokasi yang direncanakan. Pada
dasarnya, rincian perizinan yang diperlukan dalam pengembangan PLTS Terapung
tergantung pada masing-masing lokasi perencanaan. Masing-masing pengambil kebijakan
mungkin memiliki persyaratan dan ketentuan yang berbeda dan spesifik di masing-masing
lokasi. Hal ini perlu diketahui lebih lanjut dengan menghubungi pemerintah daerah setempat.
Oleh karena itu, pastikan pemilik proyek menjalin komunikasi yang baik dan mencari tahu
dengan pihak-pihak terkait. Namun demikian, perizinan-perizinan strategis yang memerlukan
perencanaan lebih matang dapat dikategorikan menjadi 5 (lima) jenis perizinan utama:
PLTS Terapung
PPKH IMB
IPSDA
1. Izin penggunaan akses waduk atau badan air – reservoir access permit
2. Persetujuan lingkungan
3. Izin Pemanfaatan Sumber Daya Air (IPSDA)
4. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
5. Persetujuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH)
Kelima perizinan tersebut dapat diproses secara terpisah, namun izin lingkungan perlu
diproses terlebih dahulu sebagai landasan untuk pengurusan perizinan lainnya. Selain kelima
perizinan strategis di atas, terdapat izin-izin tambahan yang perlu dilakukan bergantung pada
masing-masing lokasi dan tidak dibahas dalam dokumen ini.
5.3.1 Izin penggunaan akses waduk atau badan air – reservoir access permit
Perizinan penggunaan akses terhadap area waduk atau badan air tergantung pada status
kepemilikan dari masing-masing waduk atau badan air. Pada dasarnya, perizinan dapat
diproses berdasarkan dua klasifikasi kepemilikan:
a. Kepemilikan swasta, termasuk kepemilikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Perizinan yang perlu dilakukan relatif lebih sederhana dengan skema Business to
Business (B2B) antara calon pengembang PLTS Terapung dengan pemilik waduk atau
badan air.
b. Kepemilikan pemerintah. Dibandingkan dengan kepemilikan swasta, proses perizinan
badan air milik pemerintah lebih kompleks dan melibatkan lebih banyak stakeholders,
seperti Kementerian Keuangan dan melibatkan peraturan terkait Kerjasama Pemerintah
dan Badan Usaha (KPBU). Selain itu, jika dimungkinkan, dapat dipelajari potensi skema
sewa aset negara.
47
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
pada pengelolaan lingkungan hidup di sekitar wilayah PLTS Terapung, pengembang perlu
menyesuaikan rencana proyek dengan peraturan terkait persetujuan lingkungan turunan dari
UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, diantaranya sebagai berikut:
• PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dimana di dalam PP disampaikan bahwa setiap usaha dan/atau
kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal,
sedangkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib
AMDAL wajib memiliki UKL-UPL dan Formulir UKL-UPL Standar.
• Permen LHK Nomor 4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib
Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Upaya Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau Surat Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup. Perbandingan antara SPPL, UKL-UPL,
dan AMDAL dapat dilihat pada Tabel 5.1.
48
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk dilakukan berdasarkan izin dari Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota yang bersangkutan. Izin tersebut merujuk kepada Izin
penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada UU No. 17 Tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air. Secara lebih khusus, izin yang dimaksud adalah Izin Penggunaan Sumber
Daya Air untuk Kebutuhan Usaha.
IPSDA diperlukan jika proyek yang dikerjakan termasuk kedalam kategori pengusahaan
Sumber Daya Air dan diperlukan sebelum proses konstruksi dapat dilakukan. Pada dasarnya,
IPSDA berlaku layaknya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk kawasan perairan. Sampai
saat ini, belum terdapat IPSDA yang dikhususkan untuk PLTS Terapung. IPSDA dikeluarkan
oleh Ditjen SDA-Kementerian PUPR dengan berdasar kepada rekomendasi teknik BBWS dan
BTB. Izin PSDA dibutuhkan untuk financing date dengan PT PLN (Persero) dan financing
disbursement dengan lender.
Proses pengurusan IPSDA terdiri atas beberapa tahapan yaitu penyiapan dokumen, proses
rekomendasi teknik, dan proses oleh Direktur Jenderal SDA-Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pada dasarnya, alur dan persyaratan IPSDA untuk PLTS
Terapung sama dengan persyaratan untuk konstruksi (jembatan) maupun pembangkit lainnya
yang memanfaatkan SDA. Namun, terdapat penambahan ketentuan rekomendasi teknik dari
Komite Keamanan Bendung (KKB) atau Balai Teknik Bendung. Badan usaha berkoordinasi
dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) atau KKB, terkait diperlukannya rekomendasi
teknik oleh KKB. Persetujuan desain dan izin konstruksi dikeluarkan oleh KKB-PUPR dengan
menyerahkan dokumen Detailed Engineering Design (DED). Konsultasi dengan pengelola
waduk dan pengelola bendung perlu dilakukan berdasarkan ketentuan teknis, sosial, dan
peraturan yang berlaku. Selanjutnya, Badan Usaha mengajukan permohonan rekomendasi
teknik kepada BBWS (untuk wilayah yang dikelola oleh BBWS atau kepada pengelola
bendungan lainnya). Jika rekomendasi teknik telah diterbitkan oleh KKB, selanjutnya proses
evaluasi dilakukan oleh BBWS. Setelah itu, perizinan diproses oleh Dit. Bina OP Ditjen SDA-
Kementerian PUPR.
49
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
demikian, IMB tetap diperlukan untuk komponen dan infrastruktur pendukung di tepi badan
air. Perizinan dapat dilakukan melalui Pelayana Terpadu Satu Pintu Dinas Kabupaten masing-
masing lokasi.
Selain itu, pemanfaatan ruang pada kegiatan pengembangan PLTS Terapung perlu
memperhatikan beberapa aspek, yaitu:
• Letak dan desain pembangkit listrik tenaga surya terapung harus mendukung
pengelolaan kualitas air.
• Luas permukaan daerah genangan waduk yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit
listrik tenaga surya terapung paling tinggi 5% (lima persen) dari total luas permukaan
genangan waduk pada muka air normal. Pemanfaatan area permukaan daerah genangan
waduk di atas 5% (lima persen) perlu menambahkan analisis dampak terhadap
waduk/danau.
• Tata letak pembangkit listrik tenaga surya terapung tidak mengganggu fungsi dari
bangunan pelimpah dan bangunan pengambilan (intake) serta memperhatikan jalur
pengukuran batimetri waduk.
Lebih lanjut, Peraturan ini juga menjelaskan bahwa pemanfaatan ruang pada daerah
genangan waduk tersebut dilakukan berdasarkan izin dari Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan rekomendasi dari unit pelaksana teknis yang
membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Peraturan tersebut dilengkapi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
50
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko, Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum
(IUPTLU) diperlukan untuk jenis usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik,
distribusi tenaga listrik, dan penjualan tenaga listrik yang dilakukan oleh pelaku usaha Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), swasta, koperasi, dan
swadaya masyarakat. Perizinan diterbitkan oleh Menteri atau Gubernur sesuai
kewenangannya. Permohonan dan penetapan IUPTLU dapat diajukan oleh Badan Usaha
yang telah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan daftar penerima manfaat (beneficial
ownership). Persyaratan permohonan IUPTLU adalah:
1. Studi kelayakan usaha penyediaan tenaga listrik, dengan ketentuan dokumen (berbahasa
Indonesia) berisi:
a. Kajian Kelayakan Finansial;
b. Kajian Kelayakan Operasional;
c. Studi Interkoneksi Jaringan;
d. Lokasi Instalasi;
e. Diagram Satu Garis;
f. Jenis dan kapasitas usaha yang akan dilakukan;
g. Jadwal pembangunan; dan
h. Jadwal pengoperasian, yang disusun oleh Badan Usaha yang tersertifikasi; dan
2. Kesepakatan Jual Beli Tenaga Listrik antara pemohon dengan calon pembeli tenaga
listrik (PJBL beserta amandemennya) sesuai dengan ketentuan Harga Jual Tenaga
Listrik atau telah mendapatkan persetujuan Harga Jual Tenaga Listrik dari Menteri atau
gubernur sesuai dengan kewenangannya.
Terkait instalasi pemanfaatan tenaga listrik, telah diterbitkan Persyaratan Umum Instalasi
Listrik (PUIL) 2020 sebagai seri Standar Nasional Indonesia (SNI) 0225:2020 yang dapat
dijadikan pedoman dalam perencanaan, pemasangan, dan verifikasi instalasi listrik sehingga
instalasi yang dilaksanakan memenuhi kondisi Keamanan Ketenagalistrikan (K2), yaitu aman
bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, bagi instalasi itu sendiri, dan bagi lingkungan.
Secara umum, alur perizinan yang perlu dilakukan oleh Badan Usaha yang memproduksi
tenaga listrik dari pengembangan PLTS Terapung dan seluruhnya dijual kepada PT PLN
(Persero) digambarkan pada Gambar 5.4.
51
Panduan Perencanaan PLTS Terapung
REFERENSI
52