Anda di halaman 1dari 60

Panduan Perencanaan PLTS Terapung

SAMBUTAN
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi

Indonesia memiliki potensi energi surya yang cukup besar mencapai 400.000 MWp. Namun
saat ini, pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang merupakan salah satu
pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan baru mencapai 194 MW.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang telah
diterbitkan, pembangunan PLTS ditargetkan sebesar 4,7 GW demi mencapai target Energi
Baru Terbarukan (EBT) 23% pada tahun 2025. Pengembangan PLTS juga ditargetkan berada
di semua lokasi, tidak hanya di daratan (ground-mounted) dan atap (rooftop).

Saat ini instalasi PLTS pada permukaan badan air (waduk atau danau) berupa PLTS
Terapung mulai marak dikembangkan di Indonesia. Berdasarkan data, potensi
pengembangan PLTS Terapung mencapai 26,65 GW dan tersebar di 271 lokasi di Indonesia.
PLTS Terapung sebenarnya bukanlah jenis teknologi baru. Teknologi ini sudah lama
dikembangkan namun penerapan pada badan air memang masih dalam tahap awal di
Indonesia.

Dalam rangka pengembangan energi yang berkelanjutan dalam konteks transisi energi di
Indonesia, khususnya dalam pengembangan PLTS Terapung, Direktorat Jenderal Energi
Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (KESDM) menyusun Buku Panduan Perencanaan PLTS Terapung. Perencanaan
pembangkit sangat krusial demi menjamin sistem yang berkelanjutan. Perencanaan PLTS
yang baik dapat meminimalisir risiko kegagalan proyek. Diharapkan dengan adanya buku
panduan ini, perencanaan PLTS Terapung dapat dilaksanakan dengan baik demi menjamin
keberlanjutan proyek.

Akhir kata, kami berharap semoga Buku Panduan Perencanaan PLTS Terapung ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak dalam pemanfaatan PLTS di Indonesia.

Jakarta, November 2021

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan


dan Konservasi Energi,

Dadan Kusdiana

i
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buku Panduan
Perencanaan PLTS Terapung telah selesai disusun. Buku Panduan ini memberikan referensi
dan rujukan kepada pengembang PLTS Terapung seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, instansi terkait lainnya, dan pengembang swasta dalam menyusun dokumen
perencanaan dalam kegiatan pembangunan PLTS Terapung.

Saat ini, perencanaan PLTS Terapung di Indonesia mulai marak dilaksanakan. Dengan
perencanaan yang baik dan berwawasan lingkungan, diharapkan dapat memberikan nilai
tambah terhadap proyek serta keberlanjutan PLTS Terapung dapat dijamin.

Buku panduan ini mengambil referensi dari dokumen-dokumen internasional, tetapi dalam
penyajiannya sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, selain itu ditambah antara lain
dengan potensi PLTS Terapung di Indonesia serta peraturan-peraturan terkait
pengembangan PLTS Terapung. Dokumen ini ditargetkan untuk pihak-pihak yang akan
membuat perencanaan PLTS Terapung dan telah memiliki kemampuan dasar terkait PLTS
secara umum.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih atas bantuan Physikalisch-Technische


Bundesanstalt (PTB) Jerman serta kerjasama seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan
buku panduan ini dan kami juga menyampaikan permohonan maaf apabila ada hal yang
kurang di dalam buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan maanfaat bagi seluruh
stakeholder khususnya dan bagi semua pihak dari segala lapisan yang membutuhkan.
Masukan dan saran untuk penyempurnaan buku panduan ini sangat kami harapkan.

Jakarta, November 2021

Tim Penyusun

ii
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

DAFTAR ISI

SAMBUTAN _____________________________________________________________ I

KATA PENGANTAR _______________________________________________________ II

DAFTAR ISI _____________________________________________________________ III

DAFTAR GAMBAR ________________________________________________________ V

DAFTAR TABEL _________________________________________________________ VI

BAB 1 PENDAHULUAN ___________________________________________________ 1


1.1 Latar Belakang _______________________________________________ 1
1.2 PLTS Terapung _______________________________________________ 3
1.3 Bendungan, waduk dan reservoir di Indonesia _____________________ 7

BAB 2 IDENTIFIKASI LAPANGAN ___________________________________________ 9


2.1 Umum_______________________________________________________ 9
2.2 Kondisi Iklim Lokal, Cuaca, dan Iradians Surya ___________________ 10
2.2.1 Iradians surya ___________________________________________ 10
2.2.2 Bayangan dari area sekitar _________________________________ 11
2.2.3 Kecepatan angin maksimum ________________________________ 11
2.3 Aksesibilitas ________________________________________________ 12
2.3.1 Akses jalan untuk kepentingan logistik ________________________ 12
2.3.2 Ketersediaan lahan di area tepi untuk konstruksi, penyimpanan, dan
kegiatan assembly ________________________________________ 12
2.3.3 Akses jaringan interkoneksi _________________________________ 12
2.4 Batimetri, Karakteristik Tanah dan Air ___________________________ 13
2.4.1 Geometri dan bentuk badan air ______________________________ 13
2.4.2 Kualitas air ______________________________________________ 13
2.4.3 Variasi ketinggian muka air _________________________________ 13
2.4.4 Batimetri _______________________________________________ 14
2.4.5 Komposisi dan karakteristik tanah ____________________________ 15
2.5 Aspek Lingkungan ___________________________________________ 16

BAB 3 PERANCANGAN TEKNIS___________________________________________ 17


3.1 Umum______________________________________________________ 17
3.2 Teknologi Platform Terapung (Floater)___________________________ 18
3.2.1 Tipe-tipe teknologi floater __________________________________ 18
3.2.2 Pengujian, standardisasi, dan dokumen teknis __________________ 20
3.3 Jangkar penahan (anchoring) dan tambatan (mooring) _____________ 21
3.3.1 Tipe-tipe mooring system __________________________________ 22
3.3.2 Pengujian, standardisasi, dan panduan teknis __________________ 24
3.3.3 Potensi permasalahan [9] __________________________________ 25
3.4 Modul surya_________________________________________________ 27

iii
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

3.4.1 Pemilihan modul surya ____________________________________ 27


3.4.2 Pengujian, standardisasi, dan panduan teknis __________________ 28
3.5 Pengkabelan dan manajemen kabel permukaan air ________________ 29
3.6 Keselamatan ketenagalistrikan _________________________________ 31
3.6.1 Sistem pentanahan _______________________________________ 32
3.6.2 Sistem proteksi petir ______________________________________ 32
3.6.3 Risiko arus pendek/konslet _________________________________ 34
3.7 Pemantauan kinerja __________________________________________ 34

BAB 4 PERTIMBANGAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL _________________________ 36


4.1 Umum______________________________________________________ 36
4.2 Dampak lingkungan dari sistem PLTS terapung ___________________ 36
4.2.1 Environmental Impact Assessment (EIA) ______________________ 37
4.2.2 Kesehatan dan keselamatan lingkungan_______________________ 37
4.3 Dampak sosial dari PLTS Terapung _____________________________ 41
4.3.1 Keselamatan dan kesehatan kerja ___________________________ 41
4.3.2 Keselamatan dan kesehatan masyarakat ______________________ 41
4.4 Tindakan mitigasi dan pemantauan _____________________________ 43

BAB 5 PERTIMBANGAN FINANSIAL DAN HUKUM ___________________________ 44


5.1 Analisis perencanaan _________________________________________ 44
5.2 Analisis finansial ____________________________________________ 44
5.3 Analisis regulasi dan perizinan _________________________________ 46
5.3.1 Izin penggunaan akses waduk / badan air–reservoir access permit __ 47
5.3.2 Persetujuan lingkungan ____________________________________ 47
5.3.3 Izin Pemanfaatan Sumber Daya Air (IPSDA) ___________________ 49
5.3.4 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) _____________________________ 49
5.3.5 Persetujuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) ______________ 50
5.3.6 Regulasi tentang pemanfaatan bendungan_____________________ 50
5.3.7 Perizinan terkait ketenagalistrikan ____________________________ 50

REFERENSI ____________________________________________________________ 52

iv
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Lifecycle PLTS Terapung__________________________________________ 2
Gambar 1.2 Contoh layout PLTS Terapung dan komponen-komponen penyusun ________ 3
Gambar 1.3 PLTS Terapung di dunia (Disadur dari berbagai sumber). (a) PLTS Terapung
320 MW di Zhejiang-China, (b) PLTS Terapung 150 MW di Huainan-China, (c)
PLTS Terapung 70 MW di Anhui-China, dan (d) PLTS Terapung 60 MW di
Tengeh-Singapore ______________________________________________ 4
Gambar 1.4 Sebaran bendungan PUPR di Indonesia sampai dengan tahun 2014 _______ 8
Gambar 1.5 Sebaran pembangunan 61 bendungan PUPR di Indonesia (2014-2024) _____ 8
Gambar 2.1 Potensi iradians surya harian di Indonesia (P3TEK-KEBTKE, 2017) _______ 10
Gambar 2.2 Pemetaan lokasi perairan (Sumber: ADB, 2018) _______________________ 14
Gambar 2.3 Contoh laporan pemetaan batimetri _________________________________ 15
Gambar 3.1 Contoh desain produksi NEMO eng. (Sumber: Multiconsult)______________ 18
Gambar 3.2 Contoh desain modular [11] _______________________________________ 19
Gambar 3.3 Contoh pontoon modul surya [2] ___________________________________ 19
Gambar 3.4 Rigid mooring system ___________________________________________ 22
Gambar 3.5 Taut mooring system ____________________________________________ 22
Gambar 3.6 Catenary mooring system ________________________________________ 23
Gambar 3.7 Compliant mooring system _______________________________________ 23
Gambar 3.8 Diagram gaya yang menghubungkan sudut dengan tegangan tali [9] _______ 24
Gambar 3.9 Variasi konfigurasi mooring [9] _____________________________________ 25
Gambar 3.10 Kerusakan PLTS Terapung akibat badai (Sumber: PV Magazine) ________ 25
Gambar 3.11 Konfigurasi orientasi ganda [9] ___________________________________ 26
Gambar 3.12 Penggunaan pelindung angin pada sisi terluar _______________________ 27
Gambar 3.13 Sistem pengapung dengan sisi terluar lebih berat dan terendam air _______ 27
Gambar 3.14 Contoh panduan metode mounting (Sumber: REC, PI Berlin) ___________ 28
Gambar 3.15 Rute pengkabelan yang berbentuk huruf S __________________________ 29
Gambar 3.16 Kabel DC menyentuh permukaan air [13] ___________________________ 30
Gambar 3.17 Kabel dan konduit yang terendam air ______________________________ 30
Gambar 3.18 Biofouling pada kabel___________________________________________ 31
Gambar 3.19 Marine grade DC cable (Source:PI Berlin) ___________________________ 31
Gambar 3.20 Kabel pentanahan (Sumber: PI Berlin) _____________________________ 32
Gambar 3.21 Volume area yang dilindungi sistem proteksi petir _____________________ 33
Gambar 3.22 Air terminal rods (Sumber: World Bank Group, ESMAP, dan SERIS 2019) _ 33
Gambar 4.1 Contoh soiling pada modul surya [14] _______________________________ 40
Gambar 4.2 Bird spikes (Sumber: bird-x.com) ___________________________________ 40
Gambar 4.3 Contoh sistem pelampung yang digunakan pada proyek waduk Bedok di
Singapura (Sumber: World Bank Group, ESMAP, dan SERIS 2019) _______ 41
Gambar 5.1 CAPEX PLTS Terapung (Sumber: Masdar, SERIS) ____________________ 45
Gambar 5.2 Faktor yang menentukan biaya investasi PLTS Terapung _______________ 46
Gambar 5.3 Proses perizinan PLTS Terapung __________________________________ 47
Gambar 5.4 Alur perizinan PLTS Terapung_____________________________________ 51

v
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Komponen-komponen PLTS Terapung _________________________________ 4
Tabel 2.1 Contoh kecepatan angin rata-rata bulanan dan tahunan (m/s) ______________ 12
Tabel 2.2 Contoh analisis air (Sumber: PI Berlin, IAARD) __________________________ 13
Tabel 2.3 Contoh analisis karakteristik tanah (Disadur dari: PI Berlin, IAARD) __________ 15
Tabel 3.1 Perbandingan aspek desain PLTS Terapung dan PLTS ground-mounted _____ 17
Tabel 3.2 Uji yang relevan __________________________________________________ 20
Tabel 4.1 Prediksi kemungkinan dampak pada PLTS Terapung di Da Mi, Vietnam ______ 37
Tabel 4.2 Karakteristik material utama PLTS Terapung ___________________________ 39
Tabel 5.1 Dokumen lingkungan hidup _________________________________________ 48

vi
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Energi surya merupakan salah satu sumber energi dengan pertumbuhan paling cepat di
dunia. Dilihat dari total kapasitas terpasang, energi surya merupakan energi terbarukan yang
paling banyak digunakan di dunia, setelah energi angin. Salah satu keunggulan dari teknologi
energi surya adalah modul surya yang digunakan dapat dipasang hampir di seluruh lokasi
yang terkena sinar matahari. Lokasi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dengan
potensi energi surya yang terus menerus tersedia sepanjang tahun, menyebabkan
pemanfaatan energi surya sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) perlu terus
ditingkatkan. Indonesia memiliki potensi energi surya yang cukup besar mencapai 400.000
MWp. Namun saat ini, pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang
merupakan salah satu pembangkit listrik yang bersumber dari energi terbarukan baru
mencapai 194 MW. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-
2030 yang telah diterbitkan, pembangunan PLTS ditargetkan sebesar 4,7 GW demi mencapai
target Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% pada tahun 2025. Dengan perkembangan
teknologi, pengembangan PLTS juga ditargetkan berada di semua lokasi, tidak hanya di
daratan (ground-mounted) dan atap (rooftop) tetapi bahkan di atas air (mengapung di area
perairan). Salah satu kendala dalam mengembangkan PLTS di Indonesia adalah kendala
lahan. Lahan yang luas untuk pemasangan PLTS skala besar umumnya tersedia di daerah
dengan kepadatan penduduk lebih rendah, dimana kebutuhan listrik di daerah tersebut tidak
tinggi. Sebaliknya, di daerah padat penduduk yang kebutuhan listriknya tinggi, lahan yang
tersedia untuk pembangunan PLTS sangatlah terbatas. Kalaupun dapat menggunakan PLTS
Atap, tidak semua atap dapat dipasangi PLTS. Sebagai alternatif untuk mengatasi kendala
lahan dalam pengembangan PLTS, dapat dibuat PLTS Terapung.

Penerapan teknologi PLTS Terapung masih tergolong baru jika dibandingkan dengan PLTS
ground-mounted. Oleh karena itu, sumber literatur, data, informasi, dan standar terkait PLTS
Terapung belum begitu banyak tersedia baik di level nasional maupun internasional.
Teknologi pendukung PLTS Terapung juga belum memiliki standardisasi yang lengkap dan
panduan pemasangan yang tersusun secara sistematis. Padahal, panduan pemasangan
yang lengkap dan sistematis sangat diperlukan untuk meminimalisir terjadinya masalah ketika
instalasi PLTS Terapung dilaksanakan maupun timbulnya risiko di kemudian hari setelah
PLTS Terapung beroperasi. Tujuan dibuatnya dokumen ini diharapkan dapat digunakan
sebagai panduan perencanaan pembangunan PLTS Terapung di Indonesia. Pembaca
diharapkan mendapat gambaran umum dan khusus terkait tahap perencanaan PLTS
Terapung serta aspek-aspek yang perlu diperhatikan.

Dokumen ini mengambil referensi dari dokumen-dokumen internasional, tetapi dalam


penyajiannya sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Dokumen ini ditargetkan untuk
pihak-pihak yang akan membuat perencanaan PLTS Terapung dan telah memiliki
kemampuan dasar terkait PLTS secara umum. Dokumen ini akan membahas hal-hal utama
spesifik untuk PLTS Terapung, yang tidak dibahas pada PLTS ground-mounted. Jika
pembaca belum memiliki pemahaman yang cukup terkait PLTS, sebaiknya membaca
dokumen lain terkait perencanaan PLTS secara umum. Selain itu, stakeholder-stakeholder
terkait yang mungkin akan berhubungan dengan PLTS Terapung diharapkan mendapatkan

1
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

pemahaman lebih lanjut terkait perencanaan sistem khusus PLTS Terapung. Diharapkan
dokumen ini dapat memberikan panduan terhadap aspek-aspek yang perlu diperhatikan,
direncanakan, dan dirancang sebelum berlanjut ke tahap berikutnya. Dokumen ini juga
menyampaikan contoh kasus terkait PLTS Terapung di negara-negara lain. Meskipun
berbeda kondisi dan lingkungan dengan Indonesia, diharapkan kasus-kasus tersebut dapat
memberikan tambahan pengetahuan dan solusi dalam penerapannya di Indonesia.

Pada umumnya, lifecycle PLTS Terapung dapat dikelompokkan menjadi beberapa tahap
yaitu:

Engineering Procurement Operational &


Construction Phase Komisioning
Phase Phase Maintenance Phase

Gambar 1.1 Lifecycle PLTS Terapung

Dokumen ini hanya membahas tahapan engineering phase, tepatnya pada tahapan
perencanaan. Tahapan perencanaan yang dibahas pada dokumen ini dikecualikan untuk
pembahasan finansial.

Dokumen ini membahas beberapa tahapan yaitu, identifikasi lapangan, perancangan teknis,
dan perizinan. Perencanaan PLTS Terapung sebaiknya dapat memaksimalkan potensi yang
ada namun tetap sesuai dengan regulasi, ketentuan, dan persyaratan teknis di Indonesia.

Pada dokumen ini tidak ada batas kuantitatif pada persyaratan. Hal ini dikarenakan batasan
nilai perlu disesuaikan dengan banyak faktor lainnya. Dokumen ini menyampaikan faktor-
faktor apa saja yang perlu dipertimbangkan dan dianalisis lebih jauh dalam perencanaan
PLTS Terapung. Misalnya, nilai iradians tertentu bisa saja menjadi feasible di suatu tempat
sementara di tempat lain tidak. Sama halnya dengan kandungan mineral dalam air, belum
tentu tidak feasible. Faktor-faktor yang dibahas digunakan untuk menentukan spesifikasi
teknis yang diperlukan dalam perencanaan PLTS Terapung.

Dokumen ini difokuskan untuk aplikasi PLTS Terapung pada badan air tawar buatan, seperti waduk,
bendungan, dan reservoir. Namun demikian, beberapa parameter mungkin dapat dijadikan acuan
untuk penerapan PLTS Terapung pada badan air tawar alami seperti danau dan pinggir pantai atau
tepi laut.

Dokumen ini tidak difokuskan kepada aspek keteknikan saja, melainkan juga melibatkan multi
disiplin ilmu. Untuk aspek desain teknis yang lebih lengkap, dapat mengacu kepada panduan PLTS
pada umunya. Dokumen ini fokus membahas identifikasi lapangan, filosofi desain, dan analisis
dampak terhadap lingkungan di Indonesia. Beberapa aspek lain seperti, analisis energi yang
dihasilkan dan studi interkoneksi tidak dibahas mendalam. Pembaca dapat mengacu kepada
dokumen lain yang lebih lengkap dan spesifik membahas topik tersebut.

Panduan diawali dengan pendahuluan yang membahas singkat PLTS Terapung dan pada bab-bab
selanjutnya, dibahas tahap-tahap perencanaan yang terdiri atas:
• Bab 2 tentang identifikasi lapangan yang membahas aspek-aspek dalam menentukan

2
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

lokasi potensial untuk PLTS Terapung serta perhitungan potensi energi yang dapat
dihasilkan
• Bab 3 tentang perancangan teknis yang membahas aspek-aspek terkait PLTS Terapung.
Beberapa aspek yang dibahas merupakan aspek tambahan dari PLTS ground-mounted
yang dikhususkan pada sistem PLTS Terapung, seperti struktur pengapung (floater) dan
platform/pontoon, anchoring dan mooring, modul surya, sistem pengkabelan di perairan,
dan keamanan kelistrikan. Untuk pemahaman secara menyeluruh, dapat mempelajari
aspek perancangan teknis pada PLTS umum.
• Bab 4 tentang pertimbangan sosial dan lingkungan terkait dampak terhadap lingkungan
dan sosial.
• Bab 5 tentang pertimbangan finansial dan hukum terkait regulasi-regulasi yang berlaku
saat ini serta pihak-pihak yang berkaitan terhadap proses perijinan.
Beberapa aspek lainnya mungkin diperlukan pada tahap perencanaan namun belum dibahas
pada dokumen ini.

1.2 PLTS Terapung

Gambar 1.2 Contoh layout PLTS Terapung dan komponen-komponen penyusun

PLTS Terapung merupakan sistem modul surya skala besar yang dipasang terapung pada
platform di permukaan perairan, baik pada danau, waduk, dam, danau irigasi, area
pengelolaan air buangan (water treatment pond), ataupun lepas pantai. Beberapa PLTS
Terapung dengan kapasitas terbesar di dunia yang telah sukses dibangun dan beroperasi di
berbagai negara ditunjukkan pada Gambar 1.3.

Pada prinsipnya, sistem PLTS Terapung tidak berbeda jauh dengan sistem PLTS ground-
mounted. PLTS Terapung terdiri dari modul surya, platform apung/floater/pontoon, sistem
mooring, inverter, power conditiones station (di darat atau di atas perairan), pengkabelan,
infrastruktur interkoneksi jaringan, fasilitas pendukung, pusat meteorologi (sejajar dengan
PLTS terapung), remote monitoring, dan sistem pengumpulan data (Tabel 1.1). Teknologi
PLTS Terapung dianggap layak secara komersial dikarenakan banyaknya proyek skala besar
yang telah dilaksanakan. Namun, proses pengembangan PLTS Terapung dianggap lebih
menantang dibanding PLTS di darat mengingat kurangnya rekam jejak, ketidakpastian
tentang biaya, dan ketidakjelasan tentang dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Teknis

3
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

dalam merancang, membangun, dan mengoperasikan PLTS Terapung juga relatif lebih rumit,
terutama dalam hal pengamanan sistem kelistrikan, sistem anchoring dan mooring.

Gambar 1.3 PLTS Terapung di dunia (Disadur dari berbagai sumber). (a) PLTS Terapung
320 MW di Zhejiang-China, (b) PLTS Terapung 150 MW di Huainan-China, (c) PLTS
Terapung 70 MW di Anhui-China, dan (d) PLTS Terapung 60 MW di Tengeh-Singapore

Tabel 1.1 Komponen-komponen PLTS Terapung

Prediksi
Fungsi/
Nama Komponen dan Gambar
Keterangan

Modul fotovoltaik Berfungsi untuk mengubah energi 20-25 tahun


tipe kristalin (PV) cahaya matahari menjadi energi listrik
DC.

Solar Berfungsi untuk mengendalikan 5-10 tahun


Charger proses pengisian (charging) baterai
Controller dari fotovoltaik (PV Array).

4
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Inverter /charger Berfungsi untuk mengubah energi 10 tahun


listrik DC dari baterai menjadi energi
listrik AC atau sebaliknya.

Penyangga PV Berfungsi sebagai support untuk 20–25 tahun


modul menyimpan dan menyangga modul
surya sesuai dengan posisi dan
kemiringan yang telah ditentukan.
Terbuat dari besi yang galvanized
untuk melindungi dari karat.

Baterai Berfungsi untuk menyimpan energi 5 tahun


listrik selama siang hari. Energi yang
tersimpan akan dipakai pada saat
malam atau bila energi dari PV tidak
mencukupi.

Combiner box Merupakan panel DC yang berfungsi 5–10 tahun


menggabungkan output dari
beberapa String PV menjadi satu.
Berfungsi juga sebagai panel isolasi
dan proteksi terhadap arus/ tegangan
lebih dan petir.

Solar / Battery Merupakan panel AC yang berfungsi 10 tahun


inverter menggabungkan output dari
beberapa Solar Inverter dan Battery
Inverter menjadi satu. Berfungsi juga
sebagai panel isolasi dan proteksi
terhadap arus/ tegangan lebih dan
lightning.

Panel distribusi Merupakan panel AC tegangan 10 tahun


rendah 1 fasa atau 3 fasa, berfungsi
menyalurkan daya dari pembangkit ke
beban. Terdiri dari beberapa output
feeder.

5
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Kabel listrik Meliputi kabel fotovoltaik, kabel 10–15 tahun


baterai, kabel tahan air dan kabel
power lainnya, disesuaikan dengan
kriteria yang ditetapkan di RKS.

Rumah Merupakan bangunan/rumah, yang 20 tahun


pembangkit berfungsi untuk penempatan
(Power House) peralatan dan tempat kegiatan
operasional pembangkit.

Sistem Sistem pentanahan peralatan dibuat 5 - 10 tahun


pentanahan dengan menggunakan rod tembaga.
dan penangkal Penangkal petir berfungsi untuk
petir melindungi peralatan PV Array dan
rumah baterai / inverter dari sambaran
petir.

Pyranometer Merupakan sensor yang berfungsi 10–15 tahun


untuk mengukur besarnya intensitas
radiasi matahari pada permukaan
bidang dengan satuan W/m2. Kinerja
alat ini dengan dipasang pada suatu
permukaan bidang kemudian dengan
adanya hantaman cahaya tepat pada
sensor cahaya yang akan diteruskan
pada tampilan komputer

Floater Merupakan tempat pemasangan 20-25 tahun


modul fotovoltaik diatas permukaan
air. Floater membuat jalan akses
tersedia pada permukaan air. Floater
umumnya terbuat dari bahan yang
mempunyai karakteristik yang kuat,
mudah dirawat,
simpangan tahan terhadap
besarnya UV
fluks yang
dan korosi
diberikan cahaya tersebut

Jangkar dan Tali Jangkar (Anchor) dan Tali Jangkar 20-25 tahun
Jangkar (Mooring) berguna untuk menahan
pergerakan PLTS Terapung agar
tidak berpindah. Jangkar umumnya
terbuat dari beton sedangkan tali
jangkar terbuat dari besi.

Beberapa tantangan dari PLTS Terapung adalah [2]:


• Lebih mungkin untuk terkena dampak aktivitas alam seperti ombak/gelombang tinggi,
tsunami, badai, dan topan.
• Sistem harus lebih fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan tinggi muka air, arus
air, pertumbuhan alga, dan organisme lainnya.
• Kemungkinan korosi pada struktur logam dan komponen lainnya lebih tinggi sehingga

6
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

dapat mengurangi masa operasi sistem PLTS Terapung.


• Tutupan permukaan air akibat modul surya dapat mempengaruhi biota perairan yang ada
dikarenakan kurangnya sinar matahari yang dapat masuk sampai ke dasar perairan.
• Kegiatan perairan seperti pemancingan dan jalur transportasi mungkin dapat terganggu.

Meskipun terdapat beberapa tantangan teknis di atas, sistem PLTS Terapung memiliki
keunggulan dibandingkan sistem PLTS ground-mounted, diantaranya:
• PLTS Terapung dapat menggunakan badan air yang tidak dimanfaatkan, seperti
reservoir, danau pengelolaan air pembuangan, danau, waduk, laguna, danau irigasi,
danau perikanan, dan dam.
• Instalasi dan dekomisioning yang lebih sederhana dan compact. PLTS Terapung nyaris
tidak memiliki konstruksi sipil yang tetap, berbeda dengan PLTS ground-mounted.
Instalasi relatif lebih mudah dan cepat karena tidak membutuhkan alat berat (tanpa
pekerjaan sipil).
• PLTS Terapung yang menutupi badan air dapat mengurangi penguapan air. Penelitian di
Austalia menyebutkan pengurangan antara 15.000-25.000 m3 untuk setiap instalasi 1
MWp PLTS Terapung [3]. Literatur lain menyebutkan PLTS Terapung bahkan dapat
mengurangi penguapan sampai dengan 33% pada danau alami dan 50% pada badan air
buatan [2].
• Keberadaan PLTS Terapung dapat menghambat pertumbuhan alga di perairan, sehingga
dapat meningkatkan kualitas air dan mengurangi produksi gas methane yang disebabkan
oleh proses dekomposisi zat organik [4].
• Pada umumnya, PLTS Terapung dapat meningkatkan efisiensi modul PV sampai dengan
12% dibandingkan PLTS ground-mounted [5]. Hal ini dikarenakan, berdasarkan studi
yang dilakukan oleh National University of Singapore, modul pada PLTS Terapung
beroperasi pada temperatur 3-10 derajat lebih rendah dibandingkan PLTS Atap [6].
• Pantulan dari permukaan air juga dapat meningkatan iradians surya yang diterima oleh
modul, sehingga dapat meningkatkan energi yang dihasilkan [3].
• Berkaitan dengan adanya peningkatan efisiensi yang, maka kebutuhan lahan pada PLTS
Terapung dapat lebih kecil dibandingkan PLTS ground-mounted yaitu mencapai 1-1,5
MWp/hektar [7].
• Struktur PLTS Terapung dapat mengurangi pembentukan gelombang pada badan air
sehingga erosi pada tepi perairan dapat diminimalisir. Terutama untuk struktur PLTS
Terapung yang dekat dengan area bendungan.
• Dari segi biaya secara umum, biaya struktur pengapung dapat mencapai 25% dari biaya
keseluruhan proyek. Namun secara total nilai ini masih lebih rendah dibandingkan biaya
yang dikeluarkan untuk akuisisi dan persiapan lahan pada PLTS ground-mounted [2].
• Biaya O&M relatif lebih rendah dikarenakan kebutuhan air untuk pembersihan telah
tersedia (selama kualitas air memenuhi) dan komponen yang digunakan lebih jarang
overheat. Selain itu, tidak ada biaya pembersihan lahan/vegetasi sekitar untuk
menghindari bayangan pada sistem.
• PLTS Terapung dapat dipasang hybrid dengan PLTA. Sistem ini tidak membutuhkan
investasi untuk infrastruktur jaringan karena dapat menggunakan jaringan yang telah ada.

1.3 Bendungan, waduk dan reservoir di Indonesia

Sampai dengan Agustus 2020, Indonesia memiliki lebih dari 244 bendungan yang teregistrasi

7
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

di Balai Teknik Bendungan beserta waduk yang memiliki luas total sekitar ±108.183 Ha.
Berdasarkan data Direktorat OP-Kementerian PUPR Tahun 2020, sampai dengan tahun
2014, terdapat total 187 bendungan Kementerian PUPR di Indonesia dengan volume
tampungan mencapai 7,5 milyar m3. Rincian sebaran bendungan di Indonesia sampai dengan
tahun 2014 digambarkan pada Gambar 1.4

KALIMANTAN
SUMATERA
MALUKU

7 6 SULAWESI
1
Bendungan
792,78 juta m3
Bendungan
25,66 juta m3 4 Bendungan
0,27 juta m3
Bendungan
431,90 juta m3 PAPUA

JAWA
79 90 BALNUSTRA
Bendungan
5,49 milyar m3 Bendungan
757,15 juta m3

Gambar 1.4 Sebaran bendungan PUPR di Indonesia sampai dengan tahun 2014 (Sumber: Kemen PUPR)

Sementara itu, sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2024 Kementerian PUPR
merencanakan pembangunan 61 bendungan di seluruh Indonesia dengan 18 bendungan
diantaranya telah selesai dan 43 bendungan masih dalam proses pembangunan. Selain itu,
terdapat 9 bendungan yang direncanakan tentatif pada 2021-2024 (Gambar 1.5). Dengan
selesainya 61 rencana pembangunan bendungan di Indonesia tersebut, pada tahun 2024 total
penambahan kapasitas tampungan dapat mencapai 16,25 milyar m3.

Keterangan:
• 18 Bend Selesai
• 43 Bend. On Going
• 9 Bend Baru (Tentatif 2021-2024)

Gambar 1.5 Sebaran pembangunan 61 bendungan PUPR di Indonesia (2014-2024) (Sumber: Kemen PUPR)

8
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

BAB 2 IDENTIFIKASI LAPANGAN

2.1 Umum

Penentuan titik atau lokasi instalasi yang sesuai merupakan hal yang penting dalam
perencanaan PLTS Terapung agar sistem yang dibangun dapat feasible secara ekonomis
serta struktur sistem yang dirancang dapat stabil. Pada tahap ini, belum didapatkan informasi
lengkap terkait lokasi potensial PLTS Terapung, seperti kondisi topografi, perairan, dan
hidrologi; termasuk potensi dampak yang mungkin terjadi. Tempat pemasangan PLTS
Terapung harus diidentifikasi pada saat konsep awal pengembangan dan sebelum studi
kelayakan dilakukan. Tujuan tahap identifikasi lapangan adalah untuk mengetahui kelayakan
sebuah lokasi dan memilih lokasi terbaik untuk proyek PLTS Terapung. Adapun metodologi
pemilihannya hampir serupa dengan yang digunakan pada pemasangan PLTS ground-
mounted.

Kriteria-kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan lokasi PLTS terapung dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
• Faktor yang mempengaruhi efisiensi sistem dan energi yang dihasilkan oleh sistem, yaitu
iradians surya, analisis bayangan sekitar, dll.
• Faktor yang mempengaruhi aktivitas instalasi, pengoperasian dan pemeliharaan (O&M),
yaitu kedalaman perairan (termasuk fluktuasi ketinggian muka air), arus air, aksesibilitas,
kegiatan/aktivitas lain di lokasi yang sama, kondisi iklim dan cuaca, dll.
• Interkoneksi dengan jaringan, yaitu jarak dengan titik interkoneksi, jaringan distribusi yang
ada, fasilitas interkoneksi yang ada, akses jalan sekitar, dll.
• Pertimbangan hukum dan perizinan, yaitu area konservasi air, fauna dan flora yang
dilindungi, pembatasan area pemancingan, area wisata dan hiburan, keberterimaan
masyarakat sekitar, dampak terhadap lingkungan sekitar, area permukaan tidak
bersengketa dengan kepentingan pihak lain, serta adanya kerangka peraturan dan
hukum yang mendukung pengembangan PLTS Terapung.

Kriteria-kriteria di atas dapat diperinci sebagai berikut:


• Kondisi iklim, cuaca, dan iradians surya
o Iradians surya
o Bayangan dari area sekitar
o Kecepatan angin maksimum
• Aksesibilitas
o Jalan akses untuk keperluan logistik
o Ketersediaan lahan di area tepi untuk konstruksi dan penyimpanan
o Akses jaringan interkoneksi
• Batimetri, karakteristik tanah dan air
o Geometri dan bentuk badan air
o Kedalaman air
o Variasi ketinggian air
o Batimetri
o Komposisi tanah
• Aspek lingkungan

9
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

o Dampak visual
o Kualitas dan potensi pencemaran air
o Karakteristik badan air
o Keberadaan ekosistem perairan dan sekitar

2.2 Kondisi Iklim Lokal, Cuaca, dan Iradians Surya

Identifikasi kondisi iklim lokal dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran temperatur dan
kecepatan angin di lokasi PLTS Terapung. Pada beberapa kasus, seringkali ditemui peralatan
pengukuran dipasang di daratan atau area tepi perairan. Namun, untuk mendapatkan hasil
pengukuran yang lebih akurat, alat ukur sebaiknya tidak dipasang di tepi perairan melainkan
dipasang di daerah permukaan air yang akan menjadi lokasi pemasangan PLTS Terapung.
Hal ini karena akan terdapat perbedaan temperatur pada permukaan daratan dan permukaan
perairan yang disebabkan oleh proses pendinginan dari permukaan perairan.

Kondisi iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap konstruksi, pondasi, desain dan tata
letak sistem, serta keandalan sistem. Variasi musiman dalam cuaca, seperti variasi
temperatur, curah hujan, kecepatan angin, arah angin, kelembapan, indeks polusi, kejadian
petir, dan statistik badai dan topan, merupakan faktor kunci yang membutuhkan studi lebih
lanjut. Hal ini dikarenakan data yang tersedia umumnya hanya berupa data generik dengan
resolusi spasial yang rendah, sehingga perlu didapatkan data meteorologi yang lebih akurat.

2.2.1 Iradians surya

Gambar 2.1 Potensi iradians surya harian di Indonesia (P3TEK-KEBTKE, 2017)

Iradians surya adalah jumlah energi yang dipancarkan oleh matahari dan diukur di suatu
wilayah di permukaan bumi (W/m2). Potensi iradians surya selama waktu tertentu (Wh/m2)
menentukan energi yang dapat dihasilkan oleh suatu proyek selama masa operasi yang
kemudian dapat mempengaruhi aspek keekonomian dari PLTS Terapung. Nilai iradians
surya harian merupakan salah satu faktor yang menentukan kelayakan sebuah proyek PLTS
Terapung.

10
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Terdapat dua metode utama untuk mendapatkan data iradians surya suatu lokasi, yaitu data
satelit dan pengukuran langsung. Informasi/data sekunder yang didapatkan dari satelit
biasanya dalam skala pengukuran (grid) yang lebih luas sehingga keakuratan data menjadi
lebih rendah. Selain itu, data iradians yang didapatkan dari satelit tidak menggambarkan
keseluruhan keadaan di lokasi, misalnya belum memperhitungkan faktor pengotoran modul.
Iradians surya berdasarkan data satelit dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Global
Solar Atlas, Solar GIS, PVGIS, atau Meteonorm. Selain itu, Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) mengembangkan aplikasi yang dapat memberikan informasi potensi
iradians surya dengan menggunakan peralatan yang dipasang tersebar di seluruh Indonesia
seperti pyranometer, pyrheliometer, dan weather station. Peralatan yang digunakan untuk
pengukuran langsung tersebut dikalibrasi oleh BMKG setiap tahun. Data terkait iradians surya
dan parameter terkait lainnya dapat diakses pada tautan https://iklim.bmkg.go.id.

Sementara itu, pengukuran langsung biasanya dilakukan untuk mendapatkan data lebih lanjut
yang lebih akurat, namun dengan biaya yang lebih tinggi. Metode ini dapat dilakukan dengan
pengukuran menggunakan pyranometer, phyreliometer, solar reference cell, atapun weather
station di lokasi potensi PLTS Terapung. Pemasangan alat ukur sementara tersebut dapat
dilakukan oleh pengembang atau melalui kerjasama dengan institusi terkait seperti BMKG.
Pemetaan iradians surya harian di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.1.

2.2.2 Bayangan dari area sekitar


PLTS Terapung umumnya diuntungkan dengan area permukaan air yang cukup terbuka
sehingga potensi terjadinya efek bayangan terhadap sistem dapat diminimalisir. Namun
demikian, perlu diperhatikan peletakan inverter yang berada di tengah susunan modul surya
PLTS Terapung. Keberadaan inverter di tengah platform dapat menimbulkan efek bayangan
jika desain peletakan modul surya tidak memberikan jarak yang cukup antara inverter dengan
modul surya di sekitarnya. Sebagai alternatif, peletakan inverter dapat dipasang di tepi
perairan, namun hal ini dapat menimbulkan DC lossess pada sistem. Selain itu, penentuan
peletakan trafo di darat atau di platform terapung juga harus mempertimbangkan dampak
bayangan yang dihasilkan dari pemasangan komponen tersebut. Pertimbangan lebih detail
perlu dilakukan untuk masing-masing lokasi dan sistem.

Selain itu, beberapa wilayah perairan mungkin terletak di daerah pegunungan, dimana
bayangan horizontal dari lokasi yang jauh tetap perlu diperhatikan. Jika bayangan dari sekitar
tidak ada atau minimal, maka lokasi dianggap memenuhi. Namun, jika terdapat bayangan dari
sekitar, lakukan analisis lebih jauh dan mendetail. Bahkan jika diperlukan, lakukan
penyesuaian desain layout sistem untuk meminimalisir bayangan.

2.2.3 Kecepatan angin maksimum


Kecepatan dan arah angin perlu dipertimbangkan, terutama pada daerah yang rawan terjadi
topan dan badai. Kecepatan angin pada lokasi PLTS Terapung dapat mempengaruhi
perubahan ketinggian muka air. Hal ini perlu diperhitungkan dalam merencanakan desain
anchoring dan mooring. Tahapan yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari badai yang
terjadi dibahas lebih rinci pada bab berikutnya yang membahas mengenai anchoring dan
mooring sistem PLTS Terapung. Jika kecepatan angin dan data historis yang ada
menunjukkan nilai di bawah kategori badai, maka lokasi dianggap memenuhi. Namun jika nilai

11
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

yang didapatkan di atas kategori badai, maka perlu dilakukan penguatan dan penyesuaian
anchoring dan mooring.

Tabel 2.1 Contoh kecepatan angin rata-rata bulanan dan tahunan (m/s)

2.3 Aksesibilitas

2.3.1 Akses jalan untuk kepentingan logistik


Kedekatan dengan jalan utama sangat bermanfaat bagi pengembangan proyek karena biaya
logistik material dapat mempengaruhi biaya keseluruhan PLTS Terapung. Untuk proyek skala
besar, material yang membutuhkan pengangkutan dari tempat penyimpanan ke lokasi
konstruksi sangat banyak. Lokasi proyek sebaiknya dekat dengan jalan yang dapat diakses
kendaraan pengangkut. Semakin dekat lokasi ke akses jalan utama, semakin rendah biaya
infrastruktur tambahan dan transportasi modul surya dapat dijamin lebih aman.

Jika tersedia akses untuk pengangkutan logistik, lokasi dianggap memenuhi. Jika tidak
tersedia akses jalan, perlu dilakukan analisis mendalam termasuk analisis ekonomi apakah
dimungkinkan pembangunan infrastruktur jalan baru, atau perlu menggunakan akses lain
seperti jalur perairan dan udara.

2.3.2 Ketersediaan lahan di area tepi untuk konstruksi, penyimpanan, dan kegiatan assembly
Jika tersedia lahan yang cukup luas dan memadai di pinggiran badan air untuk kegiatan
konstruksi, penyimpanan material, dan assembly floater; maka lokasi dianggap memenuhi.
Jika penyediaan lahan di area tepi konstruksi memerlukan akuisisi lahan dari pihak lain, maka
perlu diperhitungkan kompensasi yang diberikan agar tidak merugikan pihak yang terdampak
dari akuisisi lahan. Namun jika lahan yang tersedia di tepi perairan terbatas, maka perlu
dilakukan analisis kemungkinan penyesuaian dalam tahapan konstruksi. Misalnya, dengan
memasang platform terapung sementara untuk instalasi komponen-komponen sistem.

2.3.3 Akses jaringan interkoneksi


Salah satu elemen yang memerlukan biaya besar pada sistem PLTS Terapung adalah biaya
yang dibutuhkan untuk sistem interkoneksi. Infrastruktur jaringan listrik yang baru cukup
mahal untuk dibangun, sehingga pengembang proyek disarankan untuk menempatkan
proyek mereka di dekat jaringan listrik yang sudah tersedia. Studi juga diperlukan untuk
memastikan kemampuan jaringan listrik terdekat yang tersedia untuk mendukung
pembangkitan sistem skala besar pada tahap perawatan dan pengoperasian sistem. Jika
terdapat akses jaringan interkoneksi, maka lokasi dianggap memenuhi. Jika jarak ke jaringan
terlalu jauh, perlu dilakukan analisis apakah proyek memenuhi secara keekonomian.

12
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

2.4 Batimetri, Karakteristik Tanah dan Air

2.4.1 Geometri dan bentuk badan air


Pengembang proyek perlu mempertimbangkan bentuk tepi perairan. Lokasi yang ideal untuk
dipasang PLTS Terapung adalah badan air alami dengan tanah dan lereng yang keras serta
landai. Platform modul surya dapat dirakit di darat dan kemudian secara bertahap didorong
ke tengah perairan. Tahapan tersebut mungkin membutuhkan peralatan pengangkat atau
struktur peluncuran sementara yang akan menambah biaya proyek. Selain itu, danau alami
dengan ukuran besar dan medium, perlu memperhatikan perencanaan PLTS Terapung agar
memakai area tutupan yang kecil dengan paparan sinar matahari tinggi.

Jika bentuk area perairan mendekati bentuk kotak, lokasi dapat dianggap memenuhi. Jika
bentuk area irregular tetapi ukuran area perairan relatif besar dan PLTS hanya akan menutupi
beberapa bagian kecil dari lokasi perairan, maka area dapat dianggap memenuhi. Jika sistem
PLTS menutupi sebagian besar dari area perairan, maka lokasi perlu ditinjau kembali atau
belum memenuhi.

2.4.2 Kualitas air


Pengujian kualitas air dan analisis komposisi elemen air merupakan tahapan yang
diperlukan. Kandungan mineral dan salinitas pada air akan menentukan bahan yang
digunakan atau spesifikasi teknis material saat pemilihan komponen-komponen PLTS
Terapung serta melakukan identifikasi reaksi kimia yang mungkin terjadi. Jika dipasang pada
perairan dengan kadar garam yang tinggi, maka perlu digunakan bahan anti korosi. Selain
itu, identifikasi kualitas air juga diperlukan untuk menentukan kemungkinan pemanfaatan air
dalam proses pembersihan modul surya.

Tabel 2.2 Contoh analisis air (Sumber: PI Berlin, IAARD)


Parameter Raw water RO Feed
pH 8,13 6,19
Temp, oC 60 33
T. Hardness (mg/l) 718 272
Ca Hard. (mg/l) 426 149
Mg Hard. (mg/l) 292 123
T. Alklinity (mg/l) 143 6
Conductivity (μS/cm) 2016 2015
TDS (mg Ion/l) 1450 1450
Sulphate (mg Ion/l) 400 450
Chloride (mg Ion/l) 294 288
Iron (mg Ion/l) 0.445 0.022
Silica SiO2 (mg/l) 26,8 7,6
CO2 (mg/l) 9 -
Turbidity, NTU 1,86 0,154

2.4.3 Variasi ketinggian muka air


Informasi variasi perubahan ketinggian air perlu dikumpulkan, termasuk kedalaman di
berbagai titik pada musim yang berbeda sepanjang tahun. Selain itu, variasi ketinggian air
yang diakibatkan pengoperasian waduk untuk pembangkit listrik tenaga air atau irigasi, juga
harus diperhitungkan. Secara umum, modul surya terapung idealnya dipasang pada lokasi

13
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

yang ketinggian airnya berkisar pada kedalaman 15 meter, dengan perubahan ketinggian air
yang minimum. Untuk lokasi dengan perubahan level air yang cukup besar, perancangan
sistem harus dapat mengakomodasi perubahan level air yang ekstrim dalam jangka waktu
yang singkat, seperti yang disebabkan oleh gelombang atau pasang surut perairan.

Pada kondisi air benar-benar mengering dan dasar perairan terlihat, perlu dipastikan bahwa
benda-benda seperti bebatuan dan cabang pohon tidak akan merusak struktur dan sistem
PLTS Terapung. Perlu dicatat bahwa tidak semua pengapung/floater dirancang untuk dapat
bertahan dari kejadian seperti itu. Kejadian ini dapat menggagalkan klaim garansi yang telah
dimiliki. Oleh karena itu diperlukan kesepakatan sebelumnya dengan pabrikan floater. Selain
itu, kedalaman dan variasi level air yang besar akan membutuhkan penanganan lebih
kompleks dan sistem anchoring dan mooring yang lebih mahal.

Jika variasi tinggi muka air minimum, maka lokasi memenuhi. Jika variasinya beragam, dapat
digunakan tinggi muka air terendah untuk menentukan desain yang sesuai. Jika variasi tinggi
muka air terlalu jauh, maka perlu dilakukan peninjauan desain dan pertimbangan finansial.
Untuk PLTS Terapung yang dipasang di area bendungan dan waduk, studi komprehensif
tentang karakteristik air yang dibutuhkan seringkali telah tersedia.

2.4.4 Batimetri

Gambar 2.2 Pemetaan lokasi perairan (Sumber: ADB, 2018)

Pemetaan lokasi perairan sangat penting dalam pemilihan lokasi modul surya PLTS Terapung
dan perencanaan sistem mooring dan anchoring seperti ditunjukkan Gambar 2.2. Batimetri
adalah pemetaan dasar badan air, dengan kontur kedalaman yang menyediakan informasi
ukuran, bentuk, dan distribusi fitur-fitur bawah air. Laporan batimetri harus meliputi peta
topografi, lokasi pemasangan, dan detail dasar perairan [8]. Ukuran grid umum untuk survei
batimetri beragam, dapat berkisar dari 100m x 100m sampai dengan 2m x 2m. Untuk
penghematan biaya, batimetri dapat dilakukan dengan membuat skala pengukuran grid yang
besar, kemudian melakukan identifikasi pada area yang potensial. Setelah area yang
potensial diidentifikasi, maka dilakukan studi dengan ukuran grid yang lebih kecil. Ukuran grid
5m x 5m adalah ukuran yang disarankan, tetapi kesesuaian pada akhirnya tergantung tentang
jenis dan kondisi badan air. Gambar 2.3 adalah contoh peta batimetri yang ideal. Untuk hasil
yang lebih baik, dapat digunakan echosounder untuk menghasilkan peta batimetri tiga
dimensi.

14
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Gambar 2.3 Contoh laporan pemetaan batimetri (Sumber: National Geophysical Data
Center, 1999)

Jika batimetri berbentuk regular, maka lokasi memenuhi. Jika batimetri berbentuk irregular,
pastikan anchoring dipasang pada lokasi yang aman dan tidak terganggu kegiatan perairan
lainnya.

2.4.5 Komposisi dan karakteristik tanah


Desain pondasi dan penggalian membutuhkan analisis dan data tanah yang akurat. Dalam
perencanaan PLTS Terapung, kondisi tanah di bawah permukaan air mempengaruhi metode
dan lokasi pemasangan jangkar (anchor) di dasar perairan atau pada sisi pinggir perairan.
Oleh karena itu, perlu diidentifikasi kemampuan daya dukung pondasi tanah di bawah
permukaan air. Biasanya, pekerjaan ini dilakukan oleh geoteknik, sipil, dan ahli struktural.
Analisis uji tanah dan air tanah harus dilakukan untuk mengidentifikasi komposisi tanah,
kekuatan, dan sifat kimiawi (seperti pH, sulfat, klorida, magnesium, dan salinitas). Uji beton
pemberat juga perlu dipasang ke dalam badan air dan dipantau secara periode waktu tertentu.
Jika tanah keras dan padat, maka lokasi memenuhi. Jika tanah lembut dan irregular, perlu
diperhatikan pemilihan lokasi pemasangan anchoring yang aman.

Tabel 2.3 Contoh analisis karakteristik tanah (Disadur dari: PI Berlin, IAARD)

Soil Characteristics Units Criteria


Sand % 50
Silt % 28 Sandy clay foam
Clay % 22
pH H2O 6,7 Neutral
C-Organic % 0,66 Very low
Total-N % 0,02 Very low
C/N 29 Very high
Olsen (p2O5) mg kg-1 73,09 Very high

15
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

2.5 Aspek Lingkungan

Aspek lingkungan dari PLTS Terapung perlu dipertimbangkan, tidak hanya pada fase
perencanaan tapi selama masa beroperasi pembangkit tersebut. Dampak lingkungan yang
berpotensi terjadi akibat dari keberadaan PLTS Terapung perlu diidentifikasi secara detail dan
menyeluruh. Dampak yang muncul pada dasarnya bergantung pada kapasitas pembangkit,
ukuran proyek, jenis teknologi yang digunakan, karakteristik lokasi, dan kondisi lainnya.

Beberapa masalah lingkungan yang mungkin terjadi di lokasi sekitar pembangkit dapat
dikelompokkan menjadi masalah visual, masalah pencemaran air, dan gangguan terhadap
ekosistem flora dan fauna sekitar. Perencana proyek harus mempertimbangkan semua
kemungkinan dampak tersebut dengan mempelajari praktik internasional yang telah ada,
peraturan lokal, ataupun persyaratan lembaga pembiayaan, jika relevan. Semakin baik
identifikasi dampak dilakukan, semakin besar kemungkinan dampak dapat diminimalisir
dengan mitigasi yang baik. Dampak terhadap kesehatan dan keselamatan lingkungan yang
mungkin terjadi di lokasi PLTS Terapung dibahas lebih detail pada Bab 4 dokumen ini.

16
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

BAB 3 PERANCANGAN TEKNIS

3.1 Umum

Perancangan teknis instalasi PLTS Terapung hampir serupa dengan PLTS ground-mounted.
Perbedaan yang mendasar adalah adanya tambahan struktur pengapung (floater),
penjangkaran (anchoring), dan penambatan (mooring). Perbandingan aspek desain PLTS
Terapung dan PLTS ground-mounted ditunjukkan pada Tabel 3.1. Aspek kualitas struktur
PLTS Terapung, terutama penambatan dan penjangkaran sangat penting untuk diperhatikan.
Selain itu, meskipun standar modul surya pada umumnya dapat digunakan di sebagian besar
sistem PLTS Terapung, tetap diperlukan perhatian lebih mengingat modul surya pada PLTS
Terapung rentan terhadap hal-hal seperti gerakan yang konstan akibat adanya gelombang
air, kelembapan tinggi, badain topan, dan potensi tegangan dan korosi yang lebih tinggi.

Tabel 3.1 Perbandingan aspek desain PLTS Terapung dan PLTS ground-mounted

PLTS Terapung PLTS ground-mounted


Konfigurasi larik • Desain modular pada permukaan • Desain mempertimbangkan
perairan yang rata kemiringan lahan
• Kemiringan modul terbatas • Jarak antar baris modul lebih
(mempertimbangan faktor angin) fleksibel
• Jarak antar baris ditentukan oleh • Dapat terdiri dari kumpulan
struktur floater modul surya yang besar
• Terdiri dari floating islands
Mounting dan • Struktur terapung • Struktur berupa tiang dan rak
struktur • Anchoring dan mooring adalah hal • Struktur penyangga hanya
penyangga utama mendapatkan beban dari angin
• Harus mempertimbangkan akses dan salju
untuk pemeliharaan • Lebih dimungkinkan untuk
• Struktur floater mendapatkan beban pemasangan tracking
dari angin, salju, gelombang dan arus
air
Kelistrikan dan • Dapat diletakkan pada floater atau • String inverter dan kotak
pengkabelan tepi perairan elektrikal dapat diletakkan di
• Kabel diletakkan pada pengapung bawah modul surya
• Mungkin membutuhkan standar dan • Kabel diletakkan dalam konduit
sertifikasi yang lebih tinggi di atas tanah atau ditanam di
• Pada banyak kasus membutuhkan bawah tanah
equipotential bonding wires
Keamanan • Risiko terhadap petugas O&M lebih • Relatif sudah terjamin
tinggi
• Kelembapan tinggi memungkinkan
risiko kebocoran insulasi dan elektrikal
• Pengkabelan harus lebih diutamakan
dan rapi untuk mengakomodasi
pergerakan pada platform apung yang
dapat menyebabkan kerusakan kabel
dan risiko kebakaran
Sumber: World Bank Group, ESMAP, and SERIS, 2019 [9]

17
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

3.2 Teknologi Platform Terapung (Floater)

Platform terapung harus memiliki struktur dengan daya apung yang cukup untuk menopang
modul surya, peralatan kelistrikan di atas air, serta personel selama konstruksi dan
pemeliharaan. Desain struktur terapung sangatlah spesifik tergantung kondisi masing-masing
lokasi pembangkit dan harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu:
• Penutupan luasan area permukaan air. Hal ini akan mempengaruhi kapasitas
pembangkit, ukuran masing-masing komponen sistem PLTS Terapung dan laju
penguapan air akibat penutupan permukaan air.
• Kesesuaian dasar perairan atau tepi perairan sebagai penopang masing-masing sub
bagian modul surya.
• Rute pengkabelan agar kabel dan konektor kabel dapat terlindungi dari risiko akibat
kelembaban tinggi.
• Memaksimalkan efek pendinginan modul surya agar suhu pengoperasian dapat lebih
rendah dan kerja sistem yang lebih optimal
• Kesesuaian struktur PLTS dengan jenis/tipe modul surya atau komponen listrik lainnya
yang akan digunakan (misalnya, penggunaan string inverter atau central inverter).
• Jalan akses pada floater untuk melakukan pemeliharaan.
• Kemudahan dan kecepatan penghamparan modul surya ke atas permukaan air dengan
mempertimbangkan kondisi lokasi dan akses yang ada.

3.2.1 Tipe-tipe teknologi floater


Teknologi pengapung dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) klasifikasi [10]:
a. Klasifikasi 1: Berupa rakit yang terbuat dari komponen baja atau aluminium yang
digunakan untuk menempatkan platform dengan dimensi besar. Sistem ini sangat kokoh
dan masing-masing rakit dapat menyangga beberapa modul surya. Proses perakitan
sistem ini lebih sulit, namun akan didapatkan cara penghamparan modul surya yang
relatif sederhana. Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan sistem ini akan lebih mahal.
Akses jalan pada sistem ini memiliki luasan area kontak dengan air hanya berkisar 20%
dari total area permukaan air yang dimanfaatkan. Penggunaan rangka aluminium dapat
menurunkan temperatur modul secara keseluruhan [2]. Contoh deain teknologi
pengapung yang berupa rakit baja/aluminium ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Contoh desain produksi NEMO eng. (Sumber: Multiconsult)

b. Klasifikasi 2: Berupa platform HDPE yang bersifat modular dan memiliki dimensi kecil.
Satu unit HDPE biasanya hanya cukup untuk penempatan satu modul surya dan memiliki
lubang pengait. Sistem ini dibuat dengan merangkai unit-unit floater HDPE dan modul
surya ditempatkan di atas floater tersebut. Jenis ini merupakan yang paling banyak
digunakan dan diadopsi. Teknologi ini lebih ringan namun rentan terhadap angin, beban

18
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

gelombang air dan badai yang dapat merusak struktur platform. Sistem ini memiliki area
kontak dengan air yang cukup luas sekitar 50% dari luasan area permukaan air yang
dimanfaatkan. Sistem mooring pada platform HDPE ini sangat kompleks dan memerlukan
banyak kabel untuk memastikan platform terpasang dengan baik. Satu floater tidak dapat
menyangga orang, sehingga akses jalan dan pemeliharaan menjadi lebih terbatas.
Sistem ini dikenal dengan sistem single floats. Contoh desain teknologi platform HDPE
modular ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Contoh desain modular [11]

c. Klasifikasi 3: Berupa struktur ponton terapung berukuran besar yang dihubungkuan dan
dapat menyangga modul surya. Dengan pertimbangan faktor keselamatan, sebaiknya
platform dibangun dengan berukuran besar yang lebih kokoh dan dapat menyangga
beberapa modul surya sekaligus (10-100 unit). Platform ini kemudian ditopang oleh
komponen pengapung yang mengacu pada standar ponton laut dan teknologi platform
migas. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat sistem floater ini relatif lebih tinggi dengan
kontruksi yang lebih kompleks pada beberapa kasus. Contoh desain teknologi
pengapung dengan ponton ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Contoh pontoon modul surya [2]

Pada kenyataannya, banyak ditemukan gabungan dan modifikasi dari ketiga jenis teknologi
di atas. Material HDPE (high density polyethylene) dikenal dengan karakteristik yang kuat,
mudah dirawat, tahan terhadap UV dan korosi, namun Glass fibre reinforced plastic (GRP)
terkadang juga digunakan pada konstruksi platform apung. Oleh karena itu, aspek-aspek yang
perlu diperhatikan dalam menentukan teknologi pengapung yang digunakan adalah:
• Kekuatan
• Kemudahan dalam proses perakitan, penghamparan modul surya, dan mooring
• Kemungkinan untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat (sudut modul dan

19
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

pendinginan)
• Dampak terhadap lingkungan dan kontaminasi dari material terhadap air minimum.
Floater tidak boleh mengandung logam beracun (arsenik dan kromium) atau klorin yang
berlebihan. Standar lain yang berguna dan lebih umum untuk pengujian persyaratan
lingkungan adalah IEC 62321.
• Keandalan dalam jangka panjang. Struktur floater harus dapat bertahan selama masa
operasi PTLS Terapung yang direncanakan.
• Harga

3.2.2 Pengujian, standardisasi, dan dokumen teknis


Tabel 3.2 menunjukkan beberapa uji yang cukup relevan terhadap PLTS Terapung.
Tabel 3.2 Uji yang relevan

Komponen pengujian Keterangan


Uji wind tunnel Pengujian dalam kondisi angin dari berbagai arah dan berbagai
kecepatan, terutama untuk daerah dengan rawan angin yang
kencang
Tensile strength test Contoh: ISO 527-2/3 dan Chinese standard GB/T 1040.2
Bending fatigue test Simulasi platform oleh gelombang air
Uji komposisi material Uji komposisi material floater
Uji temperatur dan UV Menunjukkan tidak ada degradasi kualitas plastic selama lifetime
PLTS yang direncanakan (misalnya 25 tahun)
Polymeric material Evaluasi untuk sifat mudah terbakar (flammability), beban mekanik,
properties beban termal, ketahanan terhadap iklim, dan ketahanan elektrikal
Uji ketahanan api Contoh: Chinese standar GB/T 2408
Uji korosi dan resistifitas Pengujian semua struktur logam, teruata jika kadar air menunjukkan
tingkat salinitas yang tinggi
Buoyancy / puncture test Uji keterapungan
Data dari lokasi outdoor Misal, uji dengan area berkecepatan angin tinggi
PLTS Terapung
Disadur dari: World Bank Group, ESMAP, and SERIS 2019.

Beberapa standar dan panduan teknis yang dapat dijadikan referensi terkait floater:
• China (NB/T 10187-2019) tentang Floating body technical requirements and test methods
for water photovoltaic systems
• TUV Rheinland’s 2 PfG 2731/02.20 for Floating bodies Recommended Practice
• STOWA (Netherlands) “Guide for licensing of floating solar parks on water”
• API RP-2SK (2005): Design and Analysis of Station Keeping Systems for Floating
Structures

Kualitas bahan yang digunakan untuk pelampung harus dievaluasi secara hati-hati. Untuk
meminimalisasi risiko, sangat direkomendasikan untuk mencari sumber material komponen
terapung dari pemasok yang terkemuka dengan kontrol kualitas yang ketat, termasuk
keterkaitannya dengan dampak komponen terhadap lingkungan dan masa pakai yang
panjang. Aspek ini menjadi lebih krusial untuk instalasi PLTS Terapung skala besar yang
membutuhkan modal investasi yang besar.

20
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

3.3 Jangkar penahan (anchoring) dan tambatan (mooring)

Sistem jangkar penahan dan tambat berfungsi menahan platform terapung agar tetap berada
di tempatnya dan memberikan kestabilan mekanis yang dibutuhkan PLTS Terapung. PLTS
Terapung mendapatkan beban lebih banyak dibandingkan PLTS ground-mounted yaitu dari
angin, gelombang air, dan arus air. Masing-masing aspek tersebut dapat memberikan beban
berlebih kepada platform terapung sehingga diperlukan sistem anchoring dan mooring yang
diperhitungkan dengan baik. Pergerakan maksimum pada arah horizontal perlu
diperhitungkan agar sistem tidak terganggu dan juga tidak membahayakan sekitar, termasuk
tepi badan air dan dasar perairan, serta sistem kelistrikan.

Prinsip utama untuk menjaga platform agar tetap berada di tempat adalah dengan mengirim
beban yang diterima ke sistem mooring kemudian ke dasar air. Oleh karena itu, desain sistem
mooring sangat erat kaitannya dengan teknologi floater yang digunakan. Pada desain sistem
yang ekstrim, dimungkinkan pemasangan sistem mooring untuk setiap floater yang
digunakan. Namun desain ini akan menaikkan biaya dan kompleksitas sistem mooring.

Selain pergerakan secara horizontal, sistem mooring juga harus dapat mengakomodasi
pergerakan secara vertical seiring dengan variasi ketinggian level air. Hal ini berarti, mooring
sebaiknya tidak begitu kencang juga tidak begitu kendor. Perlu diperhitungkan kombinasi
optimum dari total titik mooring dan desain struktur pengapung untuk mendapatkan biaya
yang terendah. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya tipe teknologi pengapung,
tipe mooring, kapasitas pembangkit, kedalaman air, dan karakter beban dari sekitar. Hal ini
sangat spesifik bergantung lokasi masing-masing.

Struktur yang dipakai dapat bermacam-macam dari jangkar yang sederhana, seperti jangkar
pada pantai, yang dapat dipakai di badan air yang lebih kecil atau yang sangat dalam, hingga
struktur jangkar yang sangat kompleks. Struktur yang kompleks cocok diterapkan untuk
waduk dengan level permukaan air yang sering berubah-ubah, umumnya untuk kasus di
beberapa waduk. Jika dipasang di lokasi PLTA, maka mooring dan anchoring harus lebih
dapat mengakomodasi perubahan ketinggian badan air di dam. Desain yang tepat sangat
bergantung pada lokasi secara spesifik dan bergantung pada penggunaan badan air, sifat
tanah dasar waduk, beban angin, dan kendala lingkungan lainnya. Instalasi sistem mooring
pada perairan dalam biasanya lebih mahal dan rumit.
Perancangan sistem jangkar dan tambatan pada lokasi dengan tingkat perubahan ketinggian
air yang tinggi harus mendapatkan perhatian lebih. Tali tambat harus cukup panjang untuk
dapat mengakomodasi perubahan permukaan air namun tetap membatasi pergerakan lateral.
Tantangan lainnya adalah hentakan tiba-tiba yang dihasilkan oleh gerakan lateral yang tiba-
tiba dari platform, ketika tali tambat yang tidak elastis berubah dari kendur menjadi kencang,
hal ini akan menyebabkan kerusakan pada titik tambat.

Beberapa desain jangkar penahan dan tambatan PLTS Terapung dapat mengadopsi desain
yang digunakan pada teknik lepas pantai dan kelautan lainnya, namun dengan persyaratan
yang agak berbeda. Sistem tambat juga harus cukup kuat untuk menahan beban dan dampak
lingkungan, serta beban yang terjadi pada saat pekerjaan operasi dan pemeliharaan. Dalam
banyak kasus, pemasok modul PLTS Terapung juga mendesain atau menyarankan penahan
dan tambatan, karena komponen tersebut juga terhubung dan memiliki beberapa kendala

21
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

desain yang mirip. Jika pemasok tidak dapat mendesain, pengembang sebaiknya
mengkonsultasikan hal ini kepada profesional di bidang kelautan untuk menyetujui rancangan
jangkar penahan.

3.3.1 Tipe-tipe mooring system


Beberapa mooring system yang sering digunakan[12]:
a. Rigid mooring system (Gambar 3.4). Sistem ini sebenernya tidak terapung tetapi
dihubungkan dengan konstruksi yang kokoh antara dasar perairan dengan platform.
Pergerakan tetap dimungkinkan, namun dalam jarak yang terbatas. Sistem ini digunakan
jika pergerakan vertical relatif kecil dan pada perairan yang dangkal.

Gambar 3.4 Rigid mooring system

b. Taut mooring system (Gambar 3.5). Sistem ini memungkinkan pergerakan secara
horizontal namun pergerakan vertikal masih terbatas. Sistem ini cocok jika variasi tinggi
muka air minimum serta dimungkinkan untuk dipasang di perairan dalam.

Gambar 3.5 Taut mooring system

c. Catenary mooring system (Gambar 3.6). Sistem ini biasanya terbuat dari rantai dengan
mooring lines terpasang setidaknya pada 3 arah yang berbeda. Sistem ini cocok untuk
lokasi dengan perubahan level tinggi permukaan air yang signifikan.

22
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Gambar 3.6 Catenary mooring system

d. Compliant mooring system (Gambar 3.7). Sistem ini mirip dengan catenary, namun dapat
dipasang di area yang lebih sempit dan lebih tidak mengganggu dasar perairan karena
tali mooring tidak terus menerus bergerak dan naik turun. Sistem ini cocok dipasang pada
kondisi dimana dasar perairan tidak boleh terlalu terganggu.

Gambar 3.7 Compliant mooring system

Desain tata letak sistem perlu mengutamakan pertimbangan interaksi antar seluruh
komponen dengan platform terapung. Perhitungan beban angin dan pergerakan badan
air/arus air merupakan parameter yang sangat penting agar keutuhan seluruh platform
terapung dan sistem penjangkaran dapat terjamin. Kegagalan dari sistem penahan atau
tambatan bisa saja berdampak parah pada proyek PLTS Terapung secara keseluruhan,
bahkan perbaikan mungkin sulit untuk dilakukan. Angin dan arus yang kencang dapat
merusak titik penahan atau tambatan, sehingga menyebabkan platform terlepas dan bahkan
saling bertabrakan. Angin bahkan bisa memutar balik dan melepas baris pinggiran jika
terdapat kerusakan pada titik tambat. Peristiwa ini dapat menyebabkan bencana, seperti
kerusakan seluruh pembangkit, atau bahkan kebakaran sistem. Oleh karena itu, sistem
penahan harus memasukkan sistem redundancy sehingga kegagalan satu garis tambat tidak
menyebabkan kegagalan di baris yang lainnya.

Daya tahan beban angin pada jangkar biasanya dievaluasi dan ditentukan oleh pemasok
platform terapung yang telah memperhitungkan drag force dari struktur terapung. Setelah
berkonsultasi dengan pemasok pelampung terkait desain platform yang sesuai dan kekuatan
yang diperlukan untuk desain struktur komponen, pengembang dapat memutuskan apakah
pengujian tambahan diperlukan (misalnya, jika lokasi perencanaan merupakan daerah rawan
angin topan).

23
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

3.3.2 Pengujian, standardisasi, dan panduan teknis


Standardisasi dari International Electrotechnical Commission (IEC) untuk keperluan desain
jangkar dan tambatan belum tersedia, namun praktisi menyarankan untuk melakukan
sertifikasi perhitungan beban yang didesain oleh pendesain sistem. Jika dimungkinkan,
gambar desain dimintakan sebelum tahap pembangunan dimulai. Standar desain dari industri
lain, seperti DNVGL-OS-E301 Position mooring mungkin dapat dijadikan referensi [9].

Angin dapat menyebabkan seluruh platform terlepas dan menyebabkan kerusakan besar
pada struktur jangkar penahan. Oleh karena itu, perhitungan beban angin wajib dilakukan
untuk sistem penahan dan tambat. Evaluasi struktur terhadap kekuatan angin dapat mengacu
pada “European code EN 1991-1-4 Actions on structures”. Korelasi antara gaya dorong akibat
adanya angin dengan gaya tegang tali mooring ditunjukkan pada Gambar 3.8.

Gambar 3.8 Diagram gaya yang menghubungkan sudut dengan tegangan tali [9]

Sistem jangkar penahan harus menggunakan komponen yang tahan lama dan handal dan
dapat bertahan selama masa pakai sistem PLTS Terapung. Parameter yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan sistem mooring dan anchoring antara lain:
• Jenis jangkar dan kesesuaian dengan kondisi dasar perairan
• Pilihan bahan tambat — kawat, tali, rantai, atau penahan elastis
• Kesesuaian dengan standar lokal dan/atau berdasarkan best practice yang
direkomendasikan
• Korosi dan kerusakan komponen penahan (tambat) harus dihindari
• Pertumbuhan alga dan organisme perairan (biofouling)
• Dampak terhadap lingkungan beserta ekosistem sekitar
• Kualitas badan air menentukan material bahan yang digunakan

Sistem juga harus dapat mengantisipasi dampak jika terjadi biofouling, seperti adanya
penambahan bobot pada jangkar dan terjadinya degradasi material. Hal penting lainnya yang
perlu dipastikan adalah tegangan yang terjadi pada titik-titik koneksi antara tali tambat dan
platform terapung tidak merusak platform floater atau titik koneksi. Setiap komponen dari
sistem jangkar dan tambat harus diperiksa dan dipantau terkait tingkat korosi, tegangan, dan
kelambanan (slackness). Selain itu, penyelam bersertifikat juga mungkin diperlukan untuk
melakukan inspeksi berkala selama fase O&M.

Gambar 3.9 menunjukkan beberapa jenis konfigurasi sistem mooring, yaitu:


a. Tali dengan simpul yang diikat langsung ke pelampung. Cara ini merupakan cara paling

24
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

sederhana dan digunakan untuk menambatkan platform kecil.


b. Menyebarkan beban dengan mengikat tali tambat ke seluruh pinggiran platform terapung.
c. Saat titik tambat (mooring point) berada langsung di atas bahan plastik pengapung (floater)
dan digunakan spreader bar untuk menyebarkan tekanan.
d. Penggunaan carabiner yang diikatkan dengan tali bersimpul.

Gambar 3.9 Variasi konfigurasi mooring [9]

3.3.3 Potensi permasalahan [9]


Salah satu contoh kegagalan fungsi anchoring dan mooring PLTS Terapung adalah rusaknya
PLTS Terapung di bendungan Yamakura, Jepang akibat badai dengan kecepatan angin rata-
rata 41 m/s. Hasil penyelidikan menunjukkan kemungkinan hubungan antara ketinggian air
dan tegangan kabel tambat. Ketegangan pada tali tambat (mooring line) memungkinkan gaya
dari gerakan osilasi yang disebabkan oleh angin dan gelombang diteruskan ke jangkar. Ketika
jangkar mengalami kegagalan fungsi, baut mulai lepas dan menyebabkan reaksi berantai.
Saat kondisi matahari cerah dan terik, keadaan ini semakin diperburuk dengan adanya
potensi korslet atau kebakaran akibat modul yang terlalu panas. Contoh kejadian
kerusakan PLTS Terapung akibat badai ditunjukkan pada Gambar 3.10.

Gambar 3.10 Kerusakan PLTS Terapung akibat badai (Sumber: PV Magazine)

Salah satu penyebab umum kerusakan adalah terbaliknya modul surya yang berada pada sisi

25
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

terluar platform. Beberapa kemungkinan penyebabnya antara lain:


• Titik pemasangan jangkar tidak ditempatkan secara statis di baris terluar (periphery rows)
platform pengapung, namun justru ditempatkan di beberapa baris dalam (inside rows)
platform.
• Bagian pinggir platform terapung dipasangi dengan modul surya. Keberadaan modul ini
justru menambah gaya angkat ketika terjadi angin kencang.
• Permukaan air rendah menyebabkan tali tambatan menjadi kendur sehingga tidak dapat
menahan beban angin secara efektif.
• Ketinggian gelombang lebih besar dari yang diprediksi.
• Titik sambungan tambat (mooring attachment point) rusak karena adanya beban besar
yang tercipta saat tali tambat yang kendur tiba-tiba menjadi tegang.

Solusi yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya insiden tersebut adalah penggunaan
komponen sambungan apung yang lebih kuat, desain yang tepat untuk sistem tambat dengan
ukuran/konfigurasi pulau yang sesuai. Perlu dilakukan pengujian terhadap kondisi angin pada
skenario yang terburuk, terutama jika lokasi berada di daerah yang rawan terhadap
perubahan iklim dan bencana alam. Selain itu, sistem pembangkit juga perlu diasuransikan
dengan benar karena kondisi ekstrim sulit untuk diprediksi.

Untuk mencegah terbaliknya platform pengapung, perlu dipertimbangkan desain yang dapat
mengurangi gaya angkat modul surya. Adapun alternatif yang dapat digunakan diantaranya:

Alternatif 1: Konfigurasi platform dengan orientasi ganda (Gambar 3.11). Desain ini dapat
diterapkan di daerah tropis untuk mengurangi efek angin kencang.

Gambar 3.11 Konfigurasi orientasi ganda [9]

Alternatif 2: Konfigurasi platform dengan satu baris yang dikosongkan di bagian sisi terluar
(Gambar 3.13). Desain ini merupakan desain yang paling sering digunakan. Sebagai alternatif
dapat pula digunakan desain dengan bagian terluar dibuat lebih berat (weighted perimeter
floats). Pada desain ini, komponen terapung pada sisi terluar diisi dengan air yang digunakan
sebagai beban (dengan bagian yang setengah terendam). Hal ini berfungsi sebagai pemberat
dan mencegah pengapung terbalik ketika terjadi angin kencang.

26
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Gambar 3.13 Sistem pengapung dengan sisi terluar lebih berat dan terendam air

Alternatif 3: Konfigurasi platform yang menggunakan pelindung angin sebagaimana


ditunjukkan pada Gambar 3.12. Material pelindung angin (windshield) dapat dipasang di sisi
belakang modul surya yang berada pada sisi terluar untuk mencegah angin kencang bertiup
ke dalam bagian belakang modul. Metode ini mirip dengan yang digunakan pada beberapa
PLTS Atap dan PLTS ground-mounted.

Gambar 3.12 Penggunaan pelindung angin pada sisi terluar

3.4 Modul surya

Modul surya dapat terpapar beberapa kondisi ekstrim, seperti panas, dingin, kelembaban, dan
lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi performa PLTS yang dihasilkan,
bahkan dapat menyebabkan kegagalan produk dan menimbulkan bahaya keselamatan. Oleh
karena itu, persyaratan pada modul surya PLTS Terapung cukup berbeda jika dibandingkan
dengan instalasi PLTS ground-mounted. Degradasi performa modul pada PLTS Terapung
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk suhu, kelembaban (korosi), dan adanya
beban mekanis modul. Terjadinya proses pendinginan pada instalasi apung memang dapat
menurunkan suhu modul dan meningkatkan usia pakai modul. Namun, dikarenakan
keberadaan modul dekat dengan badan air, tingkat kelembaban akan lebih tinggi dari sistem
PLTS pada umumnya. Oleh karena itu, agar desain sistem PLTS Terapung handal, perlu
dipertimbangkan faktor-faktor penyebab degradasi serta dampak modul surya terhadap
lingkungan sekitar. Dengan memahami kedua faktor tersebut, keandalan sistem dapat dicapai
dan teknologi modul yang digunakan dapat disesuaikan.

3.4.1 Pemilihan modul surya


Modul surya yang dipasang di darat berpotensi memiliki masalah keretakan sel

27
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

(cracking/microcrack) dan kegagalan interkoneksi. Tegangan dan getaran dari badan air yang
diakibatkan oleh gelombang, angin, dan gaya lainnya memungkinkan risiko terjadinya
microcrack yang lebih buruk pada modul PLTS Terapung. Microcrack tersebut nantinya dapat
mempengaruhi daya keluaran dari modul surya.

Oleh karena itu, pabrikan modul surya yang dipilih harus dapat menyediakan informasi terkait
modul fixation dan panduan mounting khusus pada PLTS Terapung. Hal ini penting untuk
diketahui agar kesesuaian proses instalasi dengan spesifikasi teknis yang diberikan pabrikan
dapat terjamin. Selain itu, pemasangan mounting yang benar menghindari terjadinya
microcrack pada modul surya. Contoh panduan metode mounting modul surya ditunjukkan
pada Gambar 3.14.

Selain itu, biofouling dari aktivitas burung dapat menyebabkan terjadinya hotspot dan shading
pada modul surya. Pemilihan modul dapat mempertimbangkan tingkat keasaman kotoran
burung (tergantung pada makanan burung), yang mungkin mempengaruhi lapisan kaca modul
yang digunakan serta garansi yang diperlukan.

Gambar 3.14 Contoh panduan metode mounting (Sumber: REC, PI Berlin)

3.4.2 Pengujian, standardisasi, dan panduan teknis


Berdasarkan penelitian dan pengalaman, faktor utama yang mempercepat degradasi
performa sistem PLTS ground-mounted adalah kelembaban, suhu, dan siklus suhu. Adapun
karena keterbatasan standar yang dikhususkan pada PLTS Terapung, beberapa standar dapat
diterapkan pada sistem PLTS Terapung yaitu diantaranya:
• SNI IEC 61215-1:2016 (Modul fotovoltaik (FV) terrestrial – Kualifikasi desain dan
pengesahan jenis – Bagian 1: Persyaratan uji)
• SNI IEC 61701:2020 (Pengujian korosi kabut garam pada modul fotovoltaik)
• SNI IEC 61730-1:2016 (Kualifikasi keselamatan modul fotovoltaik (FV) – Bagian 1:
Persyaratan konstruksi)
• IEC 62790:2014 Junction box for photovoltaic module
• SNI IEC TS 62804-1:2015 (Modul Fotovoltaik (FV) - Metode uji untuk mendeteksi
degradasi terinduksi potensial - Bagian 1: Silikon kristalin)
• IEC 62852 Connectors for DC-application in photovoltaic systems
• IEC 62716:2013 Photovoltaic (PV) modules - Ammonia corrosion testing

28
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Pada tahapan pengujian ketahanan, beberapa petunjuk umum yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
• Gunakan desain dan bahan yang tahan kelembaban dengan data uji keandalan yang
diperpanjang
• Pilih desain dengan rating tertinggi untuk resistensi PID (misalnya, polyolefin daripada
enkapsulan berbasis EVA)
• Lakukan evaluasi pembebanan mekanis dinamis dari modul yang terpasang berdasarkan
kondisi di calon lokasi

Pada tahap pengujian keselamatan, beberapa petunjuk yang dapat dijadikan referensi antara
lain:
• Desain junction box, kabel, dan konektor untuk penggunaan di atas air dan perendaman
pada komponen tersebut dihindari
• Pemilihan junction box dengan nilai rating minimal IP67
• Penggunaan backsheet glass dan enkapsulan dengan rating suhu lebih tinggi dan dan
tingkat transmisi uap air yang rendah
• Sistem pentanahan yang sesuai untuk lingkungan yang korosif

3.5 Pengkabelan dan manajemen kabel permukaan air

Manajemen kabel pada instalasi PLTS Terapung membutuhkan perencanaan yang baik, baik
selama masa perencanaan ataupun proses instalasi. Panjang kabel dan rute kabel perlu
direncanakan dan dihitung dengan hati-hati. Elastisitas kabel harus dapat mengakomodasi
gerakan platform terapung dan perubahan ketinggian permukaan air yang mungkin terjadi.
Jika tidak, gaya tegang dapat menyebabkannya kabel menjadi putus dan pecah.

Dengan memperhatikan perbedaan modul surya, orientasi modul surya (landscape/portrait),


serta dimensi platform floater, pengembang proyek dapat mengidentifikasi apakah panjang
kabel dari junction box yang disediakan oleh pabrikan sudah cukup panjang atau belum. Jika
belum cukup, maka modifikasi panjang kabel mungkin dibutuhkan saat merencanakan dan
melakukan pengadaan komponen-komponen PLTS.

Gambar 3.15 Rute pengkabelan yang berbentuk huruf S (Sumber: World Bank Group,
ESMAP. Dan SERIS 2019)

Selain itu, kabel juga harus diikat secara tepat dengan pengikat kabel yang tahan sinar
ultraviolet atau baja tahan karat. Kabel juga perlu diarahkan dan dilindungi sehingga tetap ada
rongga sisa untuk menjaga kabel agar tidak terkena air. Pada tahap perencanaan, harus
dipertimbangkan rute kabel (cable routing) dan desain platform. Rute kabel yang baik dapat
dilakukan dengan membentuk huruf S (Gambar 3.15).

29
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Instalasi kabel di permukaan air lebih berpotensi menimbulkan permasalahan dan kerusakan
dibandingkan dengan instalasi pada daratan. Beberapa permasalahan yang seringkali
ditemukan antara lain [13]:
a) Kabel DC dan kabel string menyentuh permukaan air. Kondisi ini biasanya disebabkan
oleh terlalu rendahnya jarak antara modul surya dan muka air, ketidaktepatan
pengukuran panjang kabel, serta adanya gelombang air yang disebabkan oleh angin atau
aktivitas kapal pada muka air. Kondisi ini seharusnya dihindari karena dapat
menyebabkan degradasi dan korosi kabel DC dan konektor kabel, adanya potensi
kebocoran kabel serta menurunnya kualitas insulasi kabel yang digunakan.

Gambar 3.16 Kabel DC menyentuh permukaan air [13]

b) Kabel dan konduit kabel dari platform terapung menuju lokasi di tepi badan air atau lokasi
inverter terendam di dalam air. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh desain kabel yang
digunakan lebih panjang daripada yang seharusnya dibutuhkan dengan tujuan semula
agar dapat kondisis pergerakan platform terapung yang berlebihan tetap dapat
diakomodasi. Kondisi ini dapat membahayakan keselamatan ketenagalistrikan bahkan
menimbulkan potensi kebakaran.

Gambar 3.17 Kabel dan konduit yang terendam air

c) Penumpukan vegetasi perairan (biofouling) pada kabel yang berpotensi meningkatkan


beban dan tarikan pada kabel.

30
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Gambar 3.18 Biofouling pada kabel

Selain sistem manajemen kabel, kabel-kabel yang digunakan pada sistem PLTS Terapung
sebaiknya memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Marine grade DC cables (AD 8, IP 68) (Gambar 3.19)
2. Cable ducts
3. Bending radius sesuai dengan ketentuan
4. Sistem pengkabelan diberikan label untuk kemudahan ketelusuran
5. High abrasion resistant
6. UV dan ozone resistant
7. Certificate EN/TUV/UL, seperti TUV Rheinland specification 2 PfG 2750/09.20 Tests [14]

Gambar 3.19 Marine grade DC cable (Source:PI Berlin)

3.6 Keselamatan ketenagalistrikan

Pengembang proyek diharuskan mengikuti regulasi keselamatan ketenagalistrikan, baik


untuk peralatan maupun personil, dengan mengikuti standar internasional dan nasional yang
berlaku. Beberapa aspek keselamatan yang berkaitan dengan PLTS Terapung diantaranya
adalah sistem pentanahan, sistem proteksi petir, dan mitigasi arus pendek/korsleting dengan
perairan.

31
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

3.6.1 Sistem pentanahan


Dalam instalasi PLTS Terapung, bagian konduktif dari instalasi yang tidak membawa arus
(seperti rangka modul) harus memiliki desain pembumian (grounding) yang benar. Kabel
khusus pembumian (grounding) dapat diarahkan dari platform terapung ke tepi perairan dan
ditanam ke lubang tanah.

Sungai dan danau memiliki resistivitas yang lebih rendah daripada resistivitas sebagian besar
jenis tanah. Oleh karena itu, sungai dan danau dapat menjadi alternatif pembumian. Kabel
pembumian dapat diarahkan ke dasar reservoir (menggunakan batang tanah yang terkubur
di dasar reservoir) atau ke kedalaman yang cukup ke dalam badan air. Pembumian kabel ke
air atau dasar perairan banyak dilakukan di instalasi skala besar. Contoh kabel pentanahan
pada PLTS Terapung ditunjukkan pada Gambar 3.20.

Gambar 3.20 Kabel pentanahan (Sumber: PI Berlin)

3.6.2 Sistem proteksi petir


Tujuan dari sistem proteksi petir (Lightning Protection System) adalah untuk melindungi
instalasi dari sambaran langsung dan kemungkinan kebakaran yang disebabkan oleh arus
dari petir. Secara umum, sistem proteksi petir harus diterapkan di lokasi, termasuk di ruang
gardu induk di darat yang mentransmisikan daya PLTS Terapung, sesuai peraturan
bangunan.

Adapun standar yang direkomendasikan diantaranya IEC 62305-3 (EN 62305-3) dan IEC
62305-2 (EN 62305-2). Pengembang proyek juga perlu mengacu pada data cuaca lokal untuk
memperhitungkan frekuensi terjadinya petir dan memasang sistem proteksi yang sesuai.
Perlu diperhatikan juga bahwa personil proyek PLTS Terapung tidak dilindungi oleh
pengaman petir, sehingga protokol keselamatan harus melarang pengerjaan PLTS Terapung
ketika terjadi cuaca buruk dengan potensi sambaran petir yang tinggi.

Sistem proteksi petir eksternal berfungsi menangkal sambaran petir langsung dan
melepaskan arus petir dari titik sambar ke tanah. Hal ini juga dapat digunakan untuk
mendistribusikan arus petir di tanah tanpa menyebabkan kerusakan termal, kerusakan
mekanis atau percikan berbahaya, yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan.

Adapun sistem proteksi petir eksternal eksternal terdiri dari komponen berikut:
• Sistem terminasi udara

32
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

• Sistem konduktor bawah


• Sistem terminasi bumi
• Lightning equipotential bonding

Gambar 3.21 Volume area yang dilindungi sistem proteksi petir (Sumber: World Bank
Group, ESMAP, dan SERIS, 2019)

Penggunaan metode rolling-sphere ataupun sudut pelindung yang diterapkan pada sistem
proteksi petik PLTS digunakan untuk menentukan volume ruang yang terlindungi (Gambar
3.22). Sistem proteksi petir harus menjaga jarak tertentu dari sistem PLTS. Pemisahan ini
membantu untuk menghindari sambaran petir yang tidak terkontrol ke logam yang
berdekatan. Gambar 3.21 menunjukkan contoh sistem proteksi petir eksternal yang dipasang
di platform apung pada instalasi PLTS Terapung Singapura.

Gambar 3.22 Air terminal rods (Sumber: World Bank Group, ESMAP, dan SERIS 2019)

Selain penggunaan proteksi eksternal, PLTS Terapung perlu dilengkapi dengan proteksi
internal. Proteksi internal yang digunakan untuk melindungi peralatan dari sambaran petir
adalah perangkat pelindung lonjakan arus (surge-protection devices) dan ikatan ekuipotensial
untuk bagian logam dan bingkai, yang dikombinasikan dengan desain kabel pintar (smart
cabling design). Perangkat pelindung lonjakan tipe II direkomendasikan untuk proyek ini. Sisi
DC dan AC dari subsistem listrik harus dilindungi dengan perangkat pelindung lonjakan arus
DC dan AC.

33
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Ikatan equipotential juga termasuk bagian dari sistem proteksi petir. Elemen ikatan tersebut
harus mampu membawa arus petir ke titik pusat pembumian. Pada umumnya, kabel pengikat
dirutekan dekat dengan kabel DC dan AC. Fleksibilitas dan titik lampiran (attachment point)
perlu mendapat perhatian lebih untuk mengelola risiko kerusakan konduktor dan koneksi,
termasuk dari penarikan atau kelelahan terkonsentrasi (concentrated fatigue) yang
disebabkan oleh gerakan pada platform apung.

3.6.3 Risiko arus pendek/konslet


Dalam pemasangan modul surya apung, modul surya terpasang sangat dekat dengan
permukaan air. Modul surya selalu mengandung energi listrik bila terpapar cukup sinar
matahari. Untuk mengurangi risiko korslet dalam instalasi modul surya apung, kabel AC dan
DC perlu dialihkan dari modul surya terapung ke sistem distribusi listrik darat yang berada di
atas permukaan air (kecuali menggunakan kabel tingkat submersible). Bahkan saat kabel
dipasang di atas platform apung, masih terdapat risiko besar untuk bersentuhan dengan air
atau bahkan tenggelam dalam air.

Karena air dikenal sebagai konduktor yang baik, maka penting untuk dilakukan tindakan
tambahan untuk mencegah korsleting antara kabel PLTS dengan air, karena sengatan listrik
dalam air dapat menyebabkan kematian. Secara umum, sejumlah kecil arus AC (50/60 Hz)
yang mengalir melalui tubuh manusia dapat menyebabkan kelumpuhan atau gagal jantung,
yang kemungkinan dapat menyebabkan seseorang tenggelam. Maka dari itu, sistem ground-
fault interrupter juga penting untuk dipasang.

3.7 Pemantauan kinerja

Pemantauan rasio kinerja PLTS (Performance Ratio/PR Monitoring) merupakan hal penting
yang perlu ditetapkan sejak fase perancanaan mengingat implikasinya sepanjang masa
operasi proyek PLTS. Pemantauan PR dapat dimanfaatkan untuk evaluasi kinerja PLTS,
perbandingan kinerja beberapa PLTS, antisipasi kegagalan sistem PLTS, serta perencanaan
perawatan rutin dan perbaikan. Dari sisi finansial, pemantauan PR merupakan dasar
penentuan garansi kualitas dan kinerja PLTS dalam kontrak, serta menjadi dasar evaluasi
nilai PLTS.

Nilai PR secara prinsip dapat diartikan sebagai output aktual dari suatu PLTS dibandingkan
dengan output maksimum yang mungkin dalam teori untuk sejumlah sinar matahari yang
diterima oleh PLTS dalam waktu tertentu. Dalam notasi matematika, nilai PR dinyatakan
sebagai berikut:
𝐸𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
( 𝐻 )
𝑃𝑂𝐴
𝑃𝑅 =
𝑃
(𝐺𝑆𝑇𝐶 )
𝑆𝑇𝐶

Catatan:
Eoutput (kWh): output energi aktual dalam satu periode/bulan tertentu
HPOA (Wh/m2): insiden energi matahari di periode yang sama
PSTC (kW): kapasitas plat nama
GSTC (W/m2): nilai iradians pada saat kapasitas plat nama diukur dalam standard test

34
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

conditions, yaitu 1000 W/m2

Untuk mendapatkan nilai PR diperlukan peralatan pengukuran seperti energy meter dan
sensor iradians atau pyranometer, yang terkoneksi kepada data logger. Pemasangan,
koneksi, dan perekaman data untuk perhitungan PR dijelaskan dalam SNI/IEC 61724-1.
Khusus untuk sensor iradians, perlu diperhatikan bahwa sensor harus terpasang sesuai
dengan kemiringan bidang larik PLTS.

Pemantauan PR selama masa operasi PLTS memerlukan komitmen sumber daya dari pihak
pengelola sehingga peralatan pengukuran dapat terkalibrasi secara rutin untuk memastikan
akurasinya, serta sistem pemantauan dan datalogger bekerja baik serta dapat diakses.

35
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

BAB 4 PERTIMBANGAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL

4.1 Umum

Bab ini merangkum masalah lingkungan dan sosial yang perlu dipertimbangkan dan mungkin
terjadi pada fase perencanaan, pengembangan, konstruksi, dan pengoperasian dan
pemeliharaan PLTS Terapung. Dampak lingkungan dan sosial dari PLTS Terapung
bergantung pada kapasitas pembangkit, ukuran proyek, teknologi yang digunakan,
karakteristik lokasi, dan kondisi lokal lainnya. Perencana proyek harus mempertimbangkan
semua kemungkinan dampak dengan mempertimbangkan praktik internasional yang ada,
peraturan lokal, dan persyaratan lembaga pembiayaan, jika relevan.

Pengembangan PLTS Terapung termasuk unik, oleh karena itu risiko lingkungan dan sosial
yang dihasilkan juga berbeda. Tim perencana harus menyesuaikan rekomendasi yang
ditawarkan dengan mempertimbangkan variabel yang berlaku di masing-masing lokasi. Jika
peraturan daerah setempat berbeda dengan rekomendasi yang tertulis dalam dokumen ini,
disarankan agar mengikuti peraturan yang lebih ketat atau menyesuaikan dengan masing-
masing lokasi namun tetap memperhatikan kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Selama fase perencanaan proyek, pengembang harus menilai semua risiko dan dampak
sosial dan lingkungan baik langsung, maupun tidak langsung yang mungkin terjadi selama
lifecycle proyek tersebut. Penilaian risiko harus didasarkan pada informasi terkini, dan data
yang digunakan cukup detail untuk menginformasikan karakterisasi, identifikasi risiko dan
dampak serta langkah-langkah mitigasi yang perlu dilakukan. Selain itu, solusi alternatif juga
perlu dipertimbangkan melalui penentuan lokasi, perencanaan, desain, dan implementasi
sebagai bentuk mitigasi.

Seluruh wilayah yang kemungkinan terdampak dari proyek PLTS Terapung harus
diidentifikasi dan dinilai. Hal ini mencakup fasilitas pendukung seperti infrastruktur kelistrikan,
termasuk gardu induk, jalur dan menara transmisi listrik, bendungan, dan infrastruktur lainnya,
badan air tempat komponen PLTS Terapung akan dipasang, dan kondisi perairan di hulu dan
hilir. Dampak PLTS Terapung diidentifikasi dan dinilai secara keseluruhan dimulai dari
kegiatan perencanaan, konstruksi, pengoperasian, pemeliharaan, dan dekomisioning.
Dengan demikian, segala risiko dan potensi bahaya yang ditimbulkan dapat dicegah sedini
mungkin atau dapat dihindari. Jika risiko tersebut tidak dapat dihindari, maka sebisa mungkin
dampak negatif dan risiko dapat diminimalisasikan. Akan tetapi, jika terdapat dampak negatif
yang tidak dapat dihindari, maka perlu diberikan dan diperhitungkan kompensasi dari dampak
yang ditimbulkan.

4.2 Dampak lingkungan dari sistem PLTS terapung

Bagian ini merangkum masalah lingkungan yang mungkin terjadi di lokasi sekitar fasilitas
PLTS Terapung. Bab ini juga menjelaskan rekomendasi untuk menghindari dampak
lingkungan yang muncul. Sebagian besar dari dampak tersebut dapat dihindari dengan proses
pemilihan lokasi yang cermat.

36
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

4.2.1 Environmental Impact Assessment (EIA)


EIA dilakukan untuk menganalisa dampak lingkungan dari keseluruhan proyek PLTS
Terapung selama lifecycle proyek, termasuk aktivitas penggunaan lahan. Pada beberapa
kasus, diperlukan data sampai dengan 2 tahun terakhir. EIA digunakan untuk menilai dampak
lingkungan mulai dari fase persiapan seperti site access, fase konstruksi dan fase
pengoperasian dan pemeliharaan. Aktivitas yang dilakukan pada masing-masing fase
dijelaskan sebagai berikut:
1. Site access. Pada sebagian besar proyek PLTS Terapung, keberadaan alat berat tidak
diperlukan. Namun hal tersebut bergantung pada masing-masing lokasi. Selain itu,
kegiatan perikanan dan rekreasi mungkin dapat terganggu karena menggunakan akses
yang sama menuju area PLTS Terapung. Studi lebih lanjut mungkin perlu dilakukan untuk
mencari alternatif akses yang tidak mengganggu aktvitias masyarakat di sekitar.
2. Fase konstruksi. Pada fase ini, dimungkinkan banyak material seperti palate plastic dan
bahan plastik lainnya, sampah logam, kabel, dan material lainnya terbawa oleh arus air.
Untuk menghindari hal ini, perencanaan sistem pembuangan limbah proyek perlu
dilaksanakan dengan baik.
3. Fase pengoperasian dan pemeliharaan (O&M). Kebutuhan air untuk pembersihan modul
surya akan lebih sedikit dibandingkan dengan PLTS ground-mounted. Selain itu,
penggunaan bahan kimia tidak diijinkan digunakan pada pembersihan PLTS Terapung.
Hal ini untuk menghindari risiko kontaminasi serta polusi terhadap badan air. Namun
demikian, kebocoran oli dan kontaminan lainnya dimungkinkan terjadi pada saat kapal
O&M beroperasi.

Oleh karena itu, perlu dibuat rencana pengelolaan lingkungan dan sosial yang spesifik untuk
PLTS Terapung di lokasi tersebut. Error! Reference source not found. memberikan contoh i
dentifikasi dampak dan rencana mitigasi yang dilakukan pada proyek PLTS Terapung di Da
Mi, Vietnam [9].

Tabel 4.1 Prediksi kemungkinan dampak pada PLTS Terapung di Da Mi, Vietnam

Kemungkinan dampak Rencana mitigasi


Kebisingan dan getaran pada Memastikan area workshop dipasangi lapisan insulasi
proses pabrikasi floater suara, membatasi aktivitas pabrikasi pada malam hari
Limbah pada proses pabrikasi Memasang filter pada sistem drainase untuk
mencegah limbah mengalir ke area badan air
Gangguan pada dasar perairan Mematuhi protokol dan teknik pemasangan anchor
pada masa konstruksi dengan baik
Penurunan kualitas air pada Menambahkan lapisan waterproof dan menggunakan
masa konstruksi dan operasi material stainless steel pada anchor

4.2.2 Kesehatan dan keselamatan lingkungan


Masalah lingkungan yang spesifik selama masa konstruksi, operasi, dan dekomisioning
PLTS Terapung dapat dikelompokkan dalam kategori:
• Dampak visual
• Kualitas dan pencemaran air
• Keberadaan ekosistem flora dan fauna

37
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

4.2.2.1 Dampak visual


Modul surya dari PLTS Terapung mungkin dapat terlihat dari daerah pemukiman atau lokasi
wisata di sekitar area pembangkit. Selain itu, kegiatan pengoperasian pembangkit juga dapat
mengubah karakter lanskap dan / atau pemandangan perairan di sekitar. Gambar dan
montage foto dari sisi area masyarakat sebaiknya disiapkan agar dapat memberikan
gambaran dan informasi proyek secara jelas.
Untuk menghindari dan meminimalkan dampak visual, dapat dilakukan penyesuaian
penempatan dan tata letak modul apung dan infrastruktur pendukung pembangkit. Semua sisi
sudut pandang sekitar harus dipertimbangkan saat menentukan lokasi PLTS Terapung.

4.2.2.2 Kualitas air


Keberadaan PLTS Terapung mungkin dapat memengaruhi kualitas badan air waduk/danau.
Tutupan danau/waduk oleh instalasi PLTS Terapung berpotensi mengurangi jumlah radiasi
matahari yang masuk ke permukaan air. Fenomena ini menyebabkan peningkatan stratifikasi
(pembentukan lapisan air berdasarkan suhu) dan membatasi pencampuran air di bawah dan
di sekitar instalasi yang dapat menurunkan kadar oksigen terlarut di dalam air. Besarnya
peningkatan stratifikasi akan tergantung pada lokasi dan skala pembangkit (rasio area tertutup
badan air dibandingkan total area badan air). Misalnya, untuk rasio yang kecil sekitar 3–4
persen, dampak yang ditimbulkan akan minimal atau bahkan tidak signifikan terhadap kualitas
air.

Untuk kapasitas instalasi yang lebih besar, susunan floater mungkin perlu disesuaikan dan
disebar di sepanjang area untuk meminimalkan gangguan terhadap lalu lintas kapal.
Kemungkinan dampak PLTS Terapung terhadap kualitas air meliputi:
• Perubahan suhu lingkungan dan tingkat oksigen terlarut yang terjadi akibat tutupan air dan
/ atau peningkatan panas yang dihasilkan dari instalasi PLTS Terapung. Hal ini mungkin
berdampak pada kehidupan ekosistem perairan dan kualitas air. Perubahan ini dapat
menguntungkan atau merugikan, tergantung pada masing-masing sistem.
• Dampak terhadap kualitas air dan ekosistem air yang diakibatkan oleh deterjen pada
proses pembersihan komponen PLTS Terapung.
• Tetesan atau kebocoran minyak dan / atau pelumas yang tidak disengaja dari kapal yang
digunakan pada proses pemeliharaan.

Untuk badan air dengan ekosistem perairan yang beragam dan lebih sensitif, rasio cakupan
permukaan sistem PLTS Terapung pada badan air dapat dibatasi sebagai bentuk mitigasi.
Selain itu, sistem PLTS Terapung dengan kapasitas besar dapat dipisah dan diubah menjadi
beberapa platform terapung dan terpisah satu sama lain untuk mengurangi dampak
lingkungan pada perairan.

Kualitas air semula sebelum dilakukan pemasangan PLTS Terapung perlu diidentifikasi
sebagai acuan dan referensi dasar. Hal ini dapat membantu mengidenfitikasi penyebab jika
terjadi penurunan kualitas air di kemudian hari, apakah diakibatkan oleh pemasangan PLTS
Terapung atau memang kualitas semula air masih di bawah standar yang seharusnya. Untuk
dapat mengidentifikasi kualitas air, setidaknya perlu dikumpulkan data-data berdasarkan
paramater sebagai berikut:
• Temperatur air di berbagai kedalaman di area badan air
• Tingkat keasaman (pH)

38
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

• Oksigen terlarut
• Kandungan oksigen
• Konsentrasi alga
• Klorofil

4.2.2.3 Pencemaran air dari material yang digunakan


Terdapat 3 material utama dari PLTS Terapung, yaitu HDPE (High density polyethylene),
galvanized steel, dan aluminium [13]. Karateristik masing-masing material tersebut
dijelaskan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Karakteristik material utama PLTS Terapung


Steel Aluminium HDPE
• Material cocok untuk analisis • Sesuai untuk analisis • Durabilitas cukup baik
keteknikan struktural pada konfisi basah dan
• Masalah durabilitas dan karat • Durabilitas cukup baik pada lembap
• Memerlukan pengawasan kondisi basah dan lembap • Durabilitas baik pada
dan pemeliharaan yang rutin • Specific gravity= 2,8 kondisi dengan kadar
• Potensi pencemaran • Kekuatan pada bagian garam tinggi
lingkungan dari karat sambungan belum terlalu • Material ringan dengan
• Specific gravity= 7,8 andal specific gravity= 1
• Kekuatan yang sangat
rendah per satuan berat

Dari ketiga material di atas, HDPE merupakan material yang biasanya mengalami kontak
langsung dengan badan air. Sementara galvanized steel biasanya tidak mengalami kontak
langsung dengan air, namun ketika hujan atau dikarenakan terpaan gelombang air, mungkin
terdapat partikel yang masuk ke badan air. Karena pada beberapa kasus ditemukan isu terkait
karat dan ketahanan, galvanized steel diganti dengan aluminium. Berdasarkan literatur,
konsentrasi zat besi pada air sebaiknya di bawah 50-60 µg/L dan di atas 1 µg/L dengan
material yang digunakan harus memenuhi persyaratan lingkungan.

4.2.2.4 Keberadaan ekosistem perairan


Perlu dilakukan analisis dampak keberadaan PLTS Terapung pada ekosistem perairan.
Survei ini dapat menjadi bagian dari studi dampak lingkungan yang membantu pengembang
menilai dampak sistem PLTS Terapung pada fauna dan flora, terutama kehidupan laut,
kualitas air, dan pertumbuhan alga.

Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan ruang antar array modul
surya sehingga memungkinkan sinar matahari masuk ke dasar perairan dan mengurangi
dampak terhadap biota perairan yang diakibatkan oleh minimnya sinar matahari dan
perubahan kadar oksigen. Pada area perairan yang telah digunakan untuk Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA), biasanya tidak memiliki masalah dengan aspek ini.

39
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Di Taiwan, terdapat PLTS Terapung yang menghadapi dua persyaratan tambahan dari
pemerintah setempat yaitu cakupan permukaan sistem tidak boleh melebihi 50% dari luas
permukaan air dan pemasangan sistem tidak boleh mengurangi produksi ikan lebih dari
30%.

4.2.2.5 Keberadaan ekosistem sekitar dan aktivitasnya

Gambar 4.1 Contoh soiling pada modul surya [14]

Pada dasarnya, sistem PLTS Terapung cenderung lebih bebas dari debu (soiling)
dibandingkan dengan instalasi PLTS ground-mounted. Namun demikian, terdapat biosoiling,
yang biasanya berasal dari kotoran burung, yang perlu mendapat perhatian karena dapat
berdampak buruk pada kinerja PLTS Terapung (Gambar 4.1). Biosoiling dapat menimbulkan
hotspot yang dapat mempercepat degradasi modul surya, serta membahayakan sisstem
keamanan kelistrikan. Untuk menghindari hadirnya burung pada lokasi PLTS Terapung, dapat
dipasang pagar tajam (bird spikes) pada sisi modul surya (Gambar 4.2). Selain itu,
pengembang proyek perlu melakukan survei spesies burung, jumlah populasi di lokasi, dan
jalur migrasi serta jadwal aktivitas burung tahunan. Hasil studi ini dapat menjadi referensi
dalam menentukan pola pemeliharaan dan jadwal pembersihan PLTS Terapung.

Gambar 4.2 Bird spikes (Sumber: bird-x.com)

4.2.2.6 Studi kasus


Studi kasus penilaian dampak kualitas air telah dilalkukan di PLTS Terapung skala besar di
Waduk Tengeh dan Kranji, Singapura. Badan air nasional Singapura-PUB mewajibkan
penilaian dampak kualitas air yang ketat untuk sistem PLTS Terapung skala besar. Contoh

40
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

ruang lingkup pekerjaan dalam penilaian dampak terhadap kualitas air sebagai berikut [9]:
• Pengambilan sampel air dan sedimen di waduk. Beberapa parameter yang dianalisis
setidaknya mencakup kekeruhan, oksigen terlarut, klorofil-a, suhu, konduktivitas, Ph, dan
nutrisi.
• Mengembangkan model resapan pada area reservoir.
• Mengembangkan model hidrodinamik pada area reservoir berdasarkan data yang
disediakan oleh PUB, seperti batimetri, meteorologi, aliran arus air.
• Memperhitungkan dampak sistem melalui pengamatan dari model sirkulasi air.
• Mengevaluasi dampak yang mungkin terjadi terhadap sirkulasi dan kualitas air di waduk.
• Berdasarkan hasil permodelan, dilakukan penilaian kualitatif dan kuantitatif dari dampak
tidak langsung yang timbul, dampak pada kualitas reservoir selama periode lifecycle, dan
dampak yang timbul dari pemeliharaan sistem.
• Merekomendasikan tindakan pencegahan atau mitigasi untuk mengurangi dampak, baik
langsung maupun tidak langsung, terhadap kualitas air. Rencana mitigasi harus
mencakup tahap prakonstruksi, konstruksi, instalasi, dan operasional PLTS Terapung.

4.3 Dampak sosial dari PLTS Terapung

4.3.1 Keselamatan dan kesehatan kerja


Sebagian besar masalah keselamatan dan kesehatan kerja terjadi selama masa konstruksi,
operasi, pemeliharaan, dan dekomisioning, terutama pada PLTS Terapung dengan kapasitas
besar. Dampak kesehatan dan keselamatan kerja tersebut antara lain, bahaya dari
penggunaan alat berat dan bahan berbahaya, bahaya tersandung dan terjatuh/tenggelam,
bahaya dari debu yang dihasilkan, kenaikan tingkat kebisingan, dan bahaya sengatan listrik
(dari penggunaan alat dan mesin). Bahaya keselamatan kerja lainnya mencakup saluran listrik
langsung, medan listrik dan magnet, dan lokasi pekerjaan di atas dan di bawah air.

4.3.2 Keselamatan dan kesehatan masyarakat


Bahaya keselamatan dan kesehatan masyarakat selama konstruksi, operasi, dan
penghentian fasilitas PLTS Terapung hampir sama dengan kebanyakan proyek infrastruktur
skala besar lainnya. Salah satu bahaya keselamatan dan kesehatan masyarakat khusus
untuk fasilitas PLTS Terapung adalah terkait navigasi dan keamanan perairan, akses publik,
dan aktivitas sosial lainnya.

4.3.2.1. Navigasi dan keamanan perairan

Gambar 4.3 Contoh sistem pelampung yang digunakan pada proyek waduk Bedok di
Singapura (Sumber: World Bank Group, ESMAP, dan SERIS 2019)

Jika berlokasi di daerah dekat dengan pelabuhan, jalur pelayaran, atau area rekreasi, PLTS

41
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Terapung dapat menimbulkan risiko keselamatan (misalnya, tabrakan atau perubahan rute
lalu lintas kapal). Risiko seperti itu diperburuk selama fase konstruksi, ketika terdapat
tambahan kapal yang mengakses lokasi PLTS Terapung. Tabrakan dapat mengakibatkan
kerusakan pada sistem apung PLTS dan / atau kapal, serta pencemaran air akibat tumpahan
minyak. Oleh karena itu, perlu pertimbangan yang cermat terhadap faktor-faktor seperti area
jangkar, kondisi dasar laut, situs arkeologi, jalur kabel atau pipa yang ada, dan daerah
penangkapan ikan saat merencanakan lokasi sistem apung; rute kabel; dan prasarana terkait
lainnya. Berbagai upaya lainnya juga perlu diambil untuk meminimalkan seluruh dampak yang
ditimbulkan.

4.3.2.2. Akses publik


Masalah keamanan mungkin muncul pada modul atau gardu terapung yang dapat diakses
oleh publik. Seluruh hak publik yang berada di dalam atau dekat dengan lokasi proyek PLTS
Terapung harus diidentifikasi sebelum konstruksi dan diambil tindakan untuk memastikan
keselamatan pengguna. Untuk mengelola akses publik, langkah-langkah berikut dapat
dipertimbangkan:
• Penggunaan pintu gerbang di jalan akses.
• Jika akses masyarakat umum untuk melintasi lokasi proyek PLTS Terapung tidak
diizinkan, perlu dipertimbangkan untuk memagari area tersebut untuk membatasi akses
publik.
• Jika akses publik diperbolehkan, perlu dipasang tanda penghalang keselamatan
terapung yang sederhana di sekitar sistem pembangkit untuk mencegah publik
mendekati sistem. Penghalang keamanan juga harus dirancang jika sistem PLTS
Terapung dan penghalang berada di dasar badan air.
• Pastikan pagar di sekitar gardu induk memenuhi standar keselamatan (misalnya,
menampilkan tanda-tanda/rambu-rambu dengan warna cerah yang dapat menunjukkan
peringatan dilarang memanjat atau masuk).
• Pemasangan papan informasi tentang bahaya keselamatan publik dan informasi kontak
darurat.

4.3.2.3. Pertimbangan sosial lainnya


Potensi dampak lainnya seperti pengguna area rekreasi di lokasi PLTS Terapung serta
perubahan estetika harus dipertimbangkan oleh instansi pemerintah yang sesuai, organisasi
non-pemerintah, dan pemangku kepentingan lokal. Misalnya, sistem PLTS Terapung dapat
mengurangi bagian badan air yang tersedia untuk rekreasi dan olahraga memancing, serta
meningkatkan gangguan visual. Pemilihan lokasi PLTS Terapung di area danau / waduk yang
relatif terpencil dapat menghindari potensi masalah ini. Namun dalam beberapa kasus,
mempromosikan sistem PLTS Terapung sebagai tempat wisata / tempat pusat pembelajaran
mungkin justru dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Selain itu, adanya
potensi peningkatan ekonomi dalam bentuk tersedianya lapangan pekerjaan juga dapat
memberikan dampak positif bagi masyarakat di lokasi. Mengingat bahwa perkembangan
PLTS Terapung masih dalam tahap awal, perlu dilakukan komunikasi publik dan transparansi
informasi yang sangat baik untuk meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek
pembangkit dari masyarakat sekitar lokasi PLTS Terapung.

42
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

4.4 Tindakan mitigasi dan pemantauan

Terdapat kasus di mana strategi untuk meminimalkan satu dampak lingkungan justru
memperburuk dampak lainnya. Misalnya, mengatur jarak komponen pembangkit untuk
meminimalkan potensi dampak terhadap spesies air dari naungan / bayangan dan
mengurangi potensi masalah kualitas air (suhu, oksigen terlarut), tetapi secara bersamaan
dapat memperburuk dampak potensial pada burung dan spesies air lainnya dengan
menciptakan lebih banyak tempat bagi burung untuk mencari makan atau terjerat.
Berkurangnya pembentukan alga (karena tutupan mengurangi vegetasi air dan fitoplankton)
dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan pada spesies ikan air serta tingkat oksigen
terlarut. Kualitas air (termasuk suhu air, oksigen terlarut, total gas terlarut, kontaminan,
salinitas, nutrisi dan mineral, serta kekeruhan) harus dijamin sesuai dengan sasaran kualitas
air. Tujuan tersebut biasanya ditetapkan berdasarkan rencana penggunaan air dan badan air
(misalnya, untuk air minum, rekreasi, pertanian, dan sebagainya). Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan pengaruh dampak dan manfaat secara cermat untuk masing-masing lokasi.

Pemantauan lingkungan harus dilakukan selama tahap konstruksi dan operasional dari
semua kegiatan yang diidentifikasi memiliki potensi dampak yang signifikan terhadap
lingkungan. Frekuensi pemantauan harus cukup untuk memberikan data yang representatif
untuk parameter yang dipantau. Tenaga profesional dan ahli harus melakukan pemantauan,
mengikuti metode berbasis sains dan prosedur pencatatan serta menggunakan peralatan
yang dikalibrasi dan dirawat dengan benar. Data pemantauan harus dianalisis dan ditinjau
secara berkala dan dibandingkan dengan standar operasi, sehingga tindakan korektif yang
diperlukan dapat diambil. Jika belum ada standar internasional untuk pemantauan, maka
variabel yang dikaji harus didasarkan pada penilaian lingkungan khusus untuk proyek
tersebut. Ruang lingkup dan frekuensi pemantauan tergantung pada kondisi masing-masing
lokasi dan dapat mencakup kualitas air, kondisi flora dan fauna perairan, dan satwa liar seperti
burung. Pedoman Umum dapat digunakan untuk memberikan informasi tambahan tentang
pengambilan sampel yang berlaku dan metode analisis untuk emisi dan limbah yang
dihasilkan selama konstruksi atau operasi.

43
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

BAB 5 PERTIMBANGAN FINANSIAL DAN HUKUM

5.1 Analisis perencanaan

Analisis perencanaan pada PLTS Terapung harus benar-benar mempertimbangkan beberapa


risiko seperti teknologi, konstruksi, pengoperasian dan pemeliharaan, serta rekam jejak
semua kontraktor dan produsen masing-masing komponen. Pada awal fase pengembangan,
pemilik harus melakukan analisis biaya-manfaat dan keuangan serta memastikan proyek
tersebut memenuhi kriteria investasi minimum yang ditentukan. Analisis ini harus disesuaikan
secara progresif karena pada tahap berikutnya, asumsi yang diberikan harus lebih tepat dan
lebih spesifik dengan lokasi yang diharapkan.

Selama tahap pertama (pengembangan konsep dan identifikasi lokasi), analisis yang
dilakukan cukup untuk mempertimbangkan apakah proyek tersebut layak untuk
dilaksanakan. Pada tahap awal ini, pastikan terdapat insentif fiskal dan keuangan, antara lain
pembebasan pajak, pengurangan atau pembebasan bea masuk, dan tarif pembelian listrik.
Mekanisme dukungan semacam itu dapat berbeda tergantung kapasitas pembangkit. Selain
itu, juga perlu diprediksi biaya untuk sewa/akuisisi lahan, pembelian peralatan, pengiriman,
konstruksi, dan operasi. Sebagai tambahan, analisis yang dilakukan dapat mencakup nilai
eksternalitas seperti pengurangan emisi gas rumah kaca, potensi dampak lingkungan (baik
positif atau negatif) pada ekosistem sekitar, dampak pada kegiatan masyarakat, serta manfaat
tambahan jika ditempatkan pada lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Air yang sudah ada.

Konsep pengoperasian dan pemeliharaan PLTS Terapung perlu disusun sejak tahap
perencanaan pembangkit. Rencana pengoperasian PLTS Terapung disesuaikan dengan
perancangan teknis yang telah disusun serta mempertimbangkan aspek-aspek lainnya.
Sementara itu, konsep pemeliharaan PLTS Terapung sebaiknya mencantumkan rencana
kegiatan pemeriksaan kebersihan komponen dan area sekitar lokasi pembangkit serta
rencana pemeriksaan rutin kondisi fisik dan performa masing-masing komponen pembangkit
dengan mempertimbangkan kondisi di area pembangkit yang telah teridentifikasi sebelumnya.

Pada tahap perencanaan juga perlu dilakukan analisis risiko terkait potensi tertundanya atau
terlantarnya pelaksanaan proyek yang disebabkan oleh banyak hal di antaranya potensi
kegagalan pembiayaan dan rencana mitigasi risiko yang akan dilakukan. Rencana
dekomisioning pembangkit juga perlu disampaikan untuk menghindari ketidakjelasan status
komponen-komponen pembangkit yang terpasang di badan air setelah masa operasi proyek
selesai.

5.2 Analisis finansial

Biaya investasi PLTS Terapung pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan PLTS ground-
mounted. SERIS melaporkan bahwa meskipun terdapat tambahan biaya untuk platform
pengapung (20% dari biaya total), namun biaya tersebut menggantikan biaya kebutuhan
untuk akuisisi lahan dan konstruksi sipil [9].

Beberapa tantangan yang mungkin dihadapi terkait dengan biaya investasi:


1. Badan air dengan variasi perbedaan level muka air yang cukup tinggi akan membutuhkan

44
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

sistem anchoring dan mooring yang lebih fleksibel. Hal ini akan menyebabkan kenaikan
nilai investasi.
2. Keterbatasan komponen dengan spesifikasi teknis yang dapat digunakan untuk PLTS
Terapung, terutama untuk skala kecil.
3. Perubahan cuaca secara tiba-tiba dapat menyulitkan proses konstruksi karena lokasi
berada di area terbuka.

Tren global terkini dari komponen-komponen PLTS Terapung adalah:


1. Modul, inverter dan komponen elektrikal lainnya. Harga komponen tersebut terus
menurun seiring dengan bertambahnya kapasitas terpasang PLTS. Terlebih lagi,
komponen yang digunakan tidak jauh berbeda dengan PLTS ground-mounted.
2. Struktur pengapung (floater). Biaya floater sangat bergantung kepada beberapa faktor,
antara lain:
a. Material dan pabrikan.
b. Transportasi dari tempat produksi menuju lokasi pembangkit. Karena volume yang
besar, floater memerlukan logistik yang cukup besar.
c. Proses instalasi satu jenis floater bisa jadi lebih sederhana dibandingkan dengan
jenis floater lainnya pada setiap pembangkit.
d. Perbedaan sistem anchoring untuk masing-masing jenis floater. Semakin rumit
sistem anchoring yang digunakan, biaya yang diperlukan akan semakin tinggi.

Struktur biaya CAPEX dari PLTS Terapung dilaporkan sebagai berikut:

Gambar 5.1 CAPEX PLTS Terapung (Sumber: Masdar, SERIS)

Tinggi-rendahnya biaya investasi PLTS Terapung sangat erat kaitannya dengan lokasi yang
direncanakan dengan rincian aspek-aspek penentu yang dijelaskan pada Gambar 5.2.

Biaya semakin rendah Biaya semakin tinggi

Proyek skala besar Proyek skala kecil


Gelombang pada permukaan air kecil Gelombang pada permukaan air cukup
besar (sampai dengan 1,5 m)

45
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Kadar salinitas air rendah Kondisi badan air korosif dengan kadar
salinitas tinggi
Kecepatan angin pada badan air kecil dengan Rawan dengan cuaca ekstrim
intensitas rendah
Perbedaan (variasi) tinggi muka air kecil Tinggi muka air bervariasi dengan
perbedaan level yang signifikan
Sistem anchor dapat dilakukan pada tepi perairan Diperlukan sistem anchor pada dasar
perairan (semakin dalam semakin mahal)
Interkoneksi dapat memanfaatkan infrastruktur yang Perlu dibangun substation/transmisi baru
telah ada
Akses logistik barang mudah Akses menuju lokasi cukup sulit
Gambar 5.2 Faktor yang menentukan biaya investasi PLTS Terapung (Sumber:
Multiconsult)

Jumlah energi yang mungkin akan dihasilkan berkaitan erat dengan aspek finansial dari
pembangkit. Estimasi yang tidak tepat, dipadukan dengan perubahan cuaca yang ekstrim dan
degradasi komponen yang cukup tinggi dapat menyebabkan proyek yang semula layak
menjadi tidak layak.

Perhitungan energi yang dihasilkan dari sistem PLTS Terapung tidak sama dengan sistem
PLTS yang dipasang di tanah. Desain proyek,iklim, dan kondisi lokasi turut mempengaruhi
kinerja sistem. Asumsi teknis yang tepat harus diadopsi sehingga nilai energi yang dihasilkan
dapat dievaluasi. Hal ini akan berdampak langsung pada arus keuangan proyek sehingga
diperlukan asumsi yang tepat untuk mengurangi risiko yang timbul dari investasi PLTS
Terapung.

Oleh karena itu, prediksi energi listrik yang dihasilkan PLTS Terapung sebaiknya
mempertimbangkan beberapa faktor berikut [15]:
• Prediksi energi sepanjang tahun dan confidence level
• Potensi terjadinya soiling pada modul dan kaitannya dengan pola O&M
• Potensi bayangan sepanjang tahun
• Degradasi komponen dan loss dalam jaringan sepanjang siklus operasi PLTS Terapung

5.3 Analisis regulasi dan perizinan

Pengembang proyek PLTS Terapung harus mendapatkan berbagai lisensi, otorisasi,


persetujuan, hak, dan izin dari otoritas nasional, regional, dan lokal. Oleh karena itu,
pengembang perlu memahami regulasi di Indonesia, termasuk regulasi di level regional dan
lokal yang berlaku untuk mendapatkan izin dan persetujuan terkait.

Mengingat masih awalnya pengembangan PLTS Terapung di Indonesia, lembaga perizinan


serta pemangku kepentingan lain yang berkepentingan akan memperhatikan dampak
pemanfaatan PLTS Terapung terhadap kualitas air dan aspek lingkungan lainnya yang
berkaitan dengan kesehatan manusia dan ekosistem perairan. Terlebih lagi, peraturan-
peraturan pendukung lainnya yang dikhususkan untuk PLTS Terapung belum banyak
ditetapkan.

Badan usaha yang merencanakan pengembangan PLTS Terapung di Indonesia perlu

46
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

melakukan beberapa pengurusan perizinan sesuai dengan lokasi yang direncanakan. Pada
dasarnya, rincian perizinan yang diperlukan dalam pengembangan PLTS Terapung
tergantung pada masing-masing lokasi perencanaan. Masing-masing pengambil kebijakan
mungkin memiliki persyaratan dan ketentuan yang berbeda dan spesifik di masing-masing
lokasi. Hal ini perlu diketahui lebih lanjut dengan menghubungi pemerintah daerah setempat.
Oleh karena itu, pastikan pemilik proyek menjalin komunikasi yang baik dan mencari tahu
dengan pihak-pihak terkait. Namun demikian, perizinan-perizinan strategis yang memerlukan
perencanaan lebih matang dapat dikategorikan menjadi 5 (lima) jenis perizinan utama:

PLTS Terapung

Persetujuan Izin penggunaan


lingkungan akses badan air

PPKH IMB
IPSDA

Gambar 5.3 Proses perizinan PLTS Terapung

1. Izin penggunaan akses waduk atau badan air – reservoir access permit
2. Persetujuan lingkungan
3. Izin Pemanfaatan Sumber Daya Air (IPSDA)
4. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
5. Persetujuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH)
Kelima perizinan tersebut dapat diproses secara terpisah, namun izin lingkungan perlu
diproses terlebih dahulu sebagai landasan untuk pengurusan perizinan lainnya. Selain kelima
perizinan strategis di atas, terdapat izin-izin tambahan yang perlu dilakukan bergantung pada
masing-masing lokasi dan tidak dibahas dalam dokumen ini.

5.3.1 Izin penggunaan akses waduk atau badan air – reservoir access permit
Perizinan penggunaan akses terhadap area waduk atau badan air tergantung pada status
kepemilikan dari masing-masing waduk atau badan air. Pada dasarnya, perizinan dapat
diproses berdasarkan dua klasifikasi kepemilikan:
a. Kepemilikan swasta, termasuk kepemilikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Perizinan yang perlu dilakukan relatif lebih sederhana dengan skema Business to
Business (B2B) antara calon pengembang PLTS Terapung dengan pemilik waduk atau
badan air.
b. Kepemilikan pemerintah. Dibandingkan dengan kepemilikan swasta, proses perizinan
badan air milik pemerintah lebih kompleks dan melibatkan lebih banyak stakeholders,
seperti Kementerian Keuangan dan melibatkan peraturan terkait Kerjasama Pemerintah
dan Badan Usaha (KPBU). Selain itu, jika dimungkinkan, dapat dipelajari potensi skema
sewa aset negara.

5.3.2 Persetujuan lingkungan


Persetujuan lingkungan dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan
hidup sesuai kewenangannya. Dalam rangka perencanaan pembangunan yang berbasis

47
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

pada pengelolaan lingkungan hidup di sekitar wilayah PLTS Terapung, pengembang perlu
menyesuaikan rencana proyek dengan peraturan terkait persetujuan lingkungan turunan dari
UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja, diantaranya sebagai berikut:
• PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dimana di dalam PP disampaikan bahwa setiap usaha dan/atau
kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal,
sedangkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib
AMDAL wajib memiliki UKL-UPL dan Formulir UKL-UPL Standar.
• Permen LHK Nomor 4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib
Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Upaya Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau Surat Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup. Perbandingan antara SPPL, UKL-UPL,
dan AMDAL dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Dibandingkan dengan izin-izin lainnya, persetujuan lingkungan merupakan perizinan yang


pertama kali perlu diproses sebelum pengurusan izin-izin lainnya. Persetujuan lingkungan
diterbitkan atas nama perusahaan yang mengajukan permohonan AMDAL. Ruang lingkup
pengurusan tergantung dari wilayah yang terlibat. Jika calon lokasi PLTS Terapung berada
pada satu area kabupaten, maka perizinan diajukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
tersebut, namun untuk area yang berada pada lebih dari satu kabupaten, maka perizinan
diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup tingkat Provinsi.
Perizinan dapat dikategorikan berdasarkan jenis badan air yang digunakan:
a. Untuk lokasi perairan yang merupakan waduk buatan, proses perizinan relatif lebih
sederhana karena dampak terhadap lingkungan dianggap sudah terjadi pada saat
pembangunan waduk buatan tersebut sehingga pertimbangan dampak lingkungan dari
PLTS Terapung tidak membutuhkan kajian yang terlalu kompleks.
b. Untuk lokasi perairan yang merupakan waduk alam, dibutuhkan kajian lebih kompleks.

Tabel 5.1 Dokumen lingkungan hidup

KETERANGAN SPPL UKL-UPL AMDAL


Waktu Penyusunan Sebelum pelaksanaan Sebelum pelaksanaan Sebelum pelaksanaan
usaha/ kegiatan usaha/ kegiatan usaha/ kegiatan
Skala usaha/kegiatan PLTS Kapasitas < 1 PLTS Kapasitas 1 MW PLTS Kapasitas ≥ 50
pembangunan PLTS MW s.d < 50 MW MW

Kegiatan dengan Kegiatan dalam satu Kegiatan dalam satu


potensi dampak alih lokasi dengan potensi lokasi dengan potensi
fungsi lahan dan dampak alih fungsi dampak alih fungsi
dampak lingkungan guna lahan dan dampak guna lahan dan dampak
lainnya tidak ada atau lingkungan lainnya tidak lingkungan lainnya
kecil besar sangat besar
Kewenangan Penerbitan Terintegrasi melalui Menteri Menteri
Persetujuan Lingkungan sistem OSS
(Pelaku Usaha)

Kewenangan Penerbitan Menteri/ Gubernur Menteri/ Gubernur Menteri/ Gubernur


Persetujuan Lingkungan
(Instansi Pemerintah)

48
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

KETERANGAN SPPL UKL-UPL AMDAL


Media pengajuan Instansi Pemerintah Instansi Pemerintah Instansi Pemerintah
melalui SIDLH melalui SIDLH melalui SIDLH
Pelaku usaha melalui Pelaku usaha melalui Pelaku usaha melalui
OSS OSS dan SIDLH OSS dan SIDLH
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup

5.3.3 Izin Pemanfaatan Sumber Daya Air (IPSDA)


Izin Penggunaan Sumber Air (IPSDA) untuk kegiatan Usaha dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan sumber daya air. Hal ini dikarenakan pemberi izin
memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya air,
yang salah satunya mencakup daya rusak air. Adapun isu terkait perubahan sifat dan
kandungan kimiawi, biologi, dan fisika air termasuk dalam daya rusak air.

Pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk dilakukan berdasarkan izin dari Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota yang bersangkutan. Izin tersebut merujuk kepada Izin
penggunaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada UU No. 17 Tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air. Secara lebih khusus, izin yang dimaksud adalah Izin Penggunaan Sumber
Daya Air untuk Kebutuhan Usaha.

IPSDA diperlukan jika proyek yang dikerjakan termasuk kedalam kategori pengusahaan
Sumber Daya Air dan diperlukan sebelum proses konstruksi dapat dilakukan. Pada dasarnya,
IPSDA berlaku layaknya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk kawasan perairan. Sampai
saat ini, belum terdapat IPSDA yang dikhususkan untuk PLTS Terapung. IPSDA dikeluarkan
oleh Ditjen SDA-Kementerian PUPR dengan berdasar kepada rekomendasi teknik BBWS dan
BTB. Izin PSDA dibutuhkan untuk financing date dengan PT PLN (Persero) dan financing
disbursement dengan lender.

Proses pengurusan IPSDA terdiri atas beberapa tahapan yaitu penyiapan dokumen, proses
rekomendasi teknik, dan proses oleh Direktur Jenderal SDA-Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pada dasarnya, alur dan persyaratan IPSDA untuk PLTS
Terapung sama dengan persyaratan untuk konstruksi (jembatan) maupun pembangkit lainnya
yang memanfaatkan SDA. Namun, terdapat penambahan ketentuan rekomendasi teknik dari
Komite Keamanan Bendung (KKB) atau Balai Teknik Bendung. Badan usaha berkoordinasi
dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) atau KKB, terkait diperlukannya rekomendasi
teknik oleh KKB. Persetujuan desain dan izin konstruksi dikeluarkan oleh KKB-PUPR dengan
menyerahkan dokumen Detailed Engineering Design (DED). Konsultasi dengan pengelola
waduk dan pengelola bendung perlu dilakukan berdasarkan ketentuan teknis, sosial, dan
peraturan yang berlaku. Selanjutnya, Badan Usaha mengajukan permohonan rekomendasi
teknik kepada BBWS (untuk wilayah yang dikelola oleh BBWS atau kepada pengelola
bendungan lainnya). Jika rekomendasi teknik telah diterbitkan oleh KKB, selanjutnya proses
evaluasi dilakukan oleh BBWS. Setelah itu, perizinan diproses oleh Dit. Bina OP Ditjen SDA-
Kementerian PUPR.

5.3.4 Izin Mendirikan Bangunan (IMB)


Perizinan terkait platform terapung dan komponen di atas air menjadi obyek IMB bergantung
pada peraturan pemerintah masing-masing lokasi. Pada beberapa daerah, PLTS Terapung
belum menjadi obyek IMB dan digantikan oleh IPSDA sebagai IMB untuk badan air. Namun

49
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

demikian, IMB tetap diperlukan untuk komponen dan infrastruktur pendukung di tepi badan
air. Perizinan dapat dilakukan melalui Pelayana Terpadu Satu Pintu Dinas Kabupaten masing-
masing lokasi.

5.3.5 Persetujuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH)


Persetujuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPPKH) diperlukan karena hampir sebagian
besar badan air pada PLTS Terapung berada di kawasan hutan. PPKH diajukan kepada
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan berdasarkan rekomendasi
dari Gubernur setempat dan Perum Kehutanan Negara Indonesia (Perhutani).

5.3.6 Regulasi tentang pemanfaatan bendungan


Pemanfaatan bendungan di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat No. 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan. Sesuai Permen tersebut,
terdapat penambahan satu kegiatan yang dapat memanfaatkan ruang pada daerah genangan
waduk, yakni pembangkit listrik tenaga surya terapung. Sebelumnya, kegiatan yang
diperbolehkan hanyalah kegiatan pariwisata, kegiatan olahraga, serta budi daya perikanan.
Adapun pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk tersebut perlu untuk
memperhatikan keamanan bendungan, fungsi waduk, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
setiap daerah, serta daya rusak air.

Selain itu, pemanfaatan ruang pada kegiatan pengembangan PLTS Terapung perlu
memperhatikan beberapa aspek, yaitu:
• Letak dan desain pembangkit listrik tenaga surya terapung harus mendukung
pengelolaan kualitas air.
• Luas permukaan daerah genangan waduk yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit
listrik tenaga surya terapung paling tinggi 5% (lima persen) dari total luas permukaan
genangan waduk pada muka air normal. Pemanfaatan area permukaan daerah genangan
waduk di atas 5% (lima persen) perlu menambahkan analisis dampak terhadap
waduk/danau.
• Tata letak pembangkit listrik tenaga surya terapung tidak mengganggu fungsi dari
bangunan pelimpah dan bangunan pengambilan (intake) serta memperhatikan jalur
pengukuran batimetri waduk.

Lebih lanjut, Peraturan ini juga menjelaskan bahwa pemanfaatan ruang pada daerah
genangan waduk tersebut dilakukan berdasarkan izin dari Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan rekomendasi dari unit pelaksana teknis yang
membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.

5.3.7 Perizinan terkait ketenagalistrikan


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, pasal. 48,
Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang energi dan sumber daya mineral. Hal ini karena dalam melakukan pengawasan
terhadap usaha ketenagalistrikan, baik KESDM maupun Dinas ESDM memiliki kewenangan
untuk memberikan sanksi administrasi apabila pelaku usaha tidak menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Peraturan tersebut dilengkapi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

50
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko, Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum
(IUPTLU) diperlukan untuk jenis usaha pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik,
distribusi tenaga listrik, dan penjualan tenaga listrik yang dilakukan oleh pelaku usaha Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), swasta, koperasi, dan
swadaya masyarakat. Perizinan diterbitkan oleh Menteri atau Gubernur sesuai
kewenangannya. Permohonan dan penetapan IUPTLU dapat diajukan oleh Badan Usaha
yang telah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan daftar penerima manfaat (beneficial
ownership). Persyaratan permohonan IUPTLU adalah:
1. Studi kelayakan usaha penyediaan tenaga listrik, dengan ketentuan dokumen (berbahasa
Indonesia) berisi:
a. Kajian Kelayakan Finansial;
b. Kajian Kelayakan Operasional;
c. Studi Interkoneksi Jaringan;
d. Lokasi Instalasi;
e. Diagram Satu Garis;
f. Jenis dan kapasitas usaha yang akan dilakukan;
g. Jadwal pembangunan; dan
h. Jadwal pengoperasian, yang disusun oleh Badan Usaha yang tersertifikasi; dan
2. Kesepakatan Jual Beli Tenaga Listrik antara pemohon dengan calon pembeli tenaga
listrik (PJBL beserta amandemennya) sesuai dengan ketentuan Harga Jual Tenaga
Listrik atau telah mendapatkan persetujuan Harga Jual Tenaga Listrik dari Menteri atau
gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Terkait instalasi pemanfaatan tenaga listrik, telah diterbitkan Persyaratan Umum Instalasi
Listrik (PUIL) 2020 sebagai seri Standar Nasional Indonesia (SNI) 0225:2020 yang dapat
dijadikan pedoman dalam perencanaan, pemasangan, dan verifikasi instalasi listrik sehingga
instalasi yang dilaksanakan memenuhi kondisi Keamanan Ketenagalistrikan (K2), yaitu aman
bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, bagi instalasi itu sendiri, dan bagi lingkungan.

Secara umum, alur perizinan yang perlu dilakukan oleh Badan Usaha yang memproduksi
tenaga listrik dari pengembangan PLTS Terapung dan seluruhnya dijual kepada PT PLN
(Persero) digambarkan pada Gambar 5.4.

Gambar 5.4 Alur perizinan PLTS Terapung

51
Panduan Perencanaan PLTS Terapung

REFERENSI

[1] Y. K. Choi, “A study on power generation analysis of floating PV system considering


environmental impact,” International Journal of Software Engineering and its
Applications, vol. 8, no. 1, pp. 75–84, 2014, doi: 10.14257/ijseia.2014.8.1.07.
[2] A. Sahu, N. Yadav, and K. Sudhakar, “Floating photovoltaic power plant: A review,”
Renewable and Sustainable Energy Reviews, vol. 66. Elsevier Ltd, pp. 815–824, Dec.
01, 2016. doi: 10.1016/j.rser.2016.08.051.
[3] M. Rosa-Clot, G. M. Tina, and S. Nizetic, “Floating photovoltaic plants and wastewater
basins: An Australian project,” in Energy Procedia, 2017, vol. 134, pp. 664–674. doi:
10.1016/j.egypro.2017.09.585.
[4] A. M. Pringle, R. M. Handler, and J. M. Pearce, “Aquavoltaics: Synergies for dual use
of water area for solar photovoltaic electricity generation and aquaculture,”
Renewable and Sustainable Energy Reviews, vol. 80. Elsevier Ltd, pp. 572–584,
2017. doi: 10.1016/j.rser.2017.05.191.
[5] P. Ranjbaran, H. Yousefi, G. B. Gharehpetian, and F. R. Astaraei, “A review on
floating photovoltaic (FPV)power generation units,” Renewable and Sustainable
Energy Reviews, vol. 110. Elsevier Ltd, pp. 332–347, Aug. 01, 2019. doi:
10.1016/j.rser.2019.05.015.
[6] Solar Plaza, “Insight Paper - Floating Solar Mythbusting 1.0,” 2019.
[7] M. Rosa-Clot and G. M. Tina, “Introduction,” in Floating PV Plants, Elsevier, 2020, pp.
1–7. doi: 10.1016/B978-0-12-817061-8.00001-4.
[8] V. Jaiswal et al., “IMPACT OF BATHYMETRY ON THE MOORING DESIGN OF AN
OFFSHORE FLOATING UNIT,” 2016. [Online]. Available: http://www.asme.org/about-
asme/terms-of-use
[9] World Bank Group, ESMAP, and SERIS, “Where Sun Meets Water FLOATING
SOLAR HANDBOOK FOR PRACTITIONERS,” 2019. [Online]. Available:
www.worldbank.org
[10] R. Cazzaniga, “Floating PV structures,” in Floating PV Plants, Elsevier, 2020, pp. 33–
45. doi: 10.1016/B978-0-12-817061-8.00004-X.
[11] V. Piana, A. Kahl, C. Saviozzi, and R. Schumann, “Floating PV in mountain artificial
lakes: a checklist for site assessment,” Renewable Energy and Environmental
Sustainability, vol. 6, p. 4, 2021, doi: 10.1051/rees/2021002.
[12] T. Whittaker, M. Folley, and J. Hancock, “Environmental loads, motions, and mooring
systems,” in Floating PV Plants, Elsevier, 2020, pp. 47–66. doi: 10.1016/B978-0-12-
817061-8.00005-1.
[13] L. Vinayagam and R. Associate, “Cable reliability considerations and electrical issues
in Floating Solar-Experiences from 5 years’ of operation of the FPV testbed in
Singapore,” 2021.
[14] W. J. Signer, “DC Cable Solution for FPV.”
[15] P. Rosa-Clot, “FPV and environmental compatibility,” in Floating PV Plants, Elsevier,
2020, pp. 101–118. doi: 10.1016/B978-0-12-817061-8.00009-9.
[16] H. Liu, V. Krishna, J. Lun Leung, T. Reindl, and L. Zhao, “Field experience and
performance analysis of floating PV technologies in the tropics,” Progress in
Photovoltaics: Research and Applications, vol. 26, no. 12, pp. 957–967, Dec. 2018,
doi: 10.1002/pip.3039.
[17] International Finance Corporation, “Utility-Scale Solar Photovoltaic Power Plants In
partnership - A Project Developer’s Guide,” 2015.

52

Anda mungkin juga menyukai