Disusun Oleh :
1. Shafira Anissakinah B 200 170 281
2. Dina Febriyanti B 200 170 284
3. Intan Lestari Dewi B 200 170 285
4. Arrumdani Susanto Putri B 200 170 298
5. Dita Qusna Pratiwi B 200 170 307
Pertama: Sistem ekonomi Islam telah menetapkan bahwa emas dan perak
merupakan mata uang, bukan yang lain. Mengeluarkan kertas substitusi harus
ditopang dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada
permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi
oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang
tetap, dan tidak berubah.
Kedua: Sistem ekonomi Islam melarang riba, baik nasi’ah maupun fadhal,
juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa
tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal kaum Muslim juga terdapat
bagian khusus untuk pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para
petani, sebagai bentuk bantuan untuk mereka, tanpa ada unsur riba sedikit pun di
dalamnya.
Karena resiko sub-prime lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan bank
kepada peminjam juga lebih tinggi dari prime mortgage. Betapa tidak bermoralnya
manakala orang-orang kaya yang mampu diberikan kredit dengan bunga lebih murah,
sedangkan orang-orang yang hidup pas-pasan harus membayar utang kredit dengan
bunga yang lebih tinggi. Ironinya para eksekutif keuangan berani bertaruh atas resiko
tinggi tersebut dengan memperdagangkan surat utang sub-prime-mortgage tersebut di
bursa saham. Surat-surat utang tersebut di sekuritaskan sehingga resiko dapat
dialihkan kepada pihak lain seperti perusahaan ansuransi yang pada hakikatnya si
penjamin sendiri tidak memiliki cadangan modal yang cukup terutama dalam bentuk
aset untuk menjaminnya.