Anda di halaman 1dari 32

PRINSIP PRODUKSI, DISTRIBUSI DAN KONSUMSI DALAM

EKONOMI ISLAM

Diajukan sebagai memenuhi tugas terstruktur di mata kuliah “Ekonomi Islam”

Oleh : Pasca ES-1B

KELOMPOK III

Nirwan Saputra 30121019

Citra Dewi 30121031

Tati Emi Puspita Sari 30121023

Dosen Pengampu

Aidil Alfin, M.Ag, Ph.D

PROGRAM STUDI PASCASARJANA EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

TAHUN 1443 H/2021 M

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhana wa Ta’ala atas


segala anugerah dan karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga
pembuatan makalah tentang “Prinsip Produksi, Distribusi dan Konsumsi (Tauhid,
Hukum dan Etika)” ini dapat penulis selesaikan.Shalawat dan salam tidak lupa
kita ucapkan kepada Pemimpin Umat, teladan bagi kita semua yakni Baginda
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman
yang penuh dengan pengetahuanyang kita rasakan sampai saat sekarang ini.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan moril


maupun materil. Pada kesempatan kali ini juga penulis menyampaikan banyak
ucapan terima kasih kepada:

1. Allah Subhana wa Ta’ala yang telah memberikan kemudahan dan


kesehatan dalam penyusunan makalah ini.
2. Kedua orangtua penulis yang telah memberikan dukungan doa,
materil, serta fasilitas selama penulisan makalah ini.
3. Dosen pengampu di bidang mata kuliahEkonomi Islam ini yang telah
memberikan pembelajaran bagaimana struktur pembuatan makalah.
4. dan Kepada semua teman-teman yang telah banyak mendukung dalam
membuat makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis meminta kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat diterima dan
memiliki manfaat bagi yang membacanya dan mempelajari isi dari materi
makalah ini.

Bukittinggi, 28Septembe 2021

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ II

DAFTAR ISI............................................................................................... III

PENDAHULUAN: BAB I

A. Latar Belakang............................................................................... IV
B. Rumusan Masalah.......................................................................... IV

PEMBAHASAN: BAB II

A. Prinsip Produksi dalam Ekonomi Islam


1. Dasar Hukum............................................................................ 1
2. Konsep Tauhid (Ketuhanan) dalam Produksi........................... 3
3. Etika Produksi dalam Ekonomi Islam....................................... 4
B. Prinsip Distribusi dalam Ekonomi Islam
1. Filosofis dan Dasar Hukum Distribusi...................................... 10
2. Konsep Tauhid dalam Distibusi................................................ 13
3. Konsep Moral dan Etika dalam Sistem Distribusi.................... 15
C. Prinsip Konsumsi dalam Ekonomi Islam
1. Pengertian Konsumsi................................................................ 18
2. Tujuan Konsumsi...................................................................... 19
3. Prinsip Dasar Konsumsi dalam Islam....................................... 21
4. Etika Konsumsi dalam Islam.................................................... 23

PENUTUP: BAB III

A. Kesimpulan.................................................................................... 19
B. Saran.............................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai system hidup (way of life) dan merupakan agama yang
universal sebab memuat segala aspek kehidupan baik yang terkait dengan
aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dalam hal ini, seiring dengan maju
pesatnya kajian tentang ekonomi Islam, menjadi pendorong terbentuknya suatu
ilmu ekonomi berbasis ke-Islaman yang terfokus untuk mempelajari masalah-
masalah ekonomi, rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial yang tidak pernah
luput dari masalah ekonomi. Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang
mempelajari tingkah laku manusia dan aktivitas manusia yang tak akan pernah
lepas dengan aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi. Demi menjamin
kesejahteraan masyarakat, maka diperlukanlah aturan-aturan yang berkaitan
dengan ketiga aktivitas ekonomi tersebut.
Pada saat ini realita yang nampak adalah telah terjadi ketidakadilan dan
ketimpangan baik dalam produksi, konsumsi serta distribusi, salah satu
ketimpangan itu seperti dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan baik
di negara maju maupun di negara-negara berkembang yang mempergunakan
sistem kapitalis sebagai sistem ekonomi negaranya, sehingga menciptakan
kemiskinan dimana-mana. Hal ini terjadi karena masih belum memahami
bagaimana prinsip produksi, distribusi dan konsumsi yang sebenarnya baik
dilihat dari nilai tauhid, hukum dan etika dalam Islam.
Menanggapi kenyataan tersebut Islam sebagai agama yang universal
diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus menjadi
sistem perekonomian suatu negara.
Dari permasalahan di atas kami ingin membahas tentang prinsip produksi,
distribusi dan konsumsi dengan keterkaitan nilai tauhid, hukum dan etika, oleh
karena itu kami sepakat memberikan judul makalah ini yaitu: ”Prinsip
Produksi, Distribusi dan Konsumsi (Tauhid, Hukum dan Etika)”.

IV
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prinsip produksi, distribusi dan konsumsi?
2. Bagaimana ketiga prinsip dilihat dari nilai tauhid, hukum dan etika?

V
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip Produksi dalam Ekonomi Islam


Produksi dalam bahasa Arab yaitu al-intaj dari akar kata nataja, yang berarti
mewujudkan atau mengadakan sesuatu, atau pelayanan jasa yang jelas dengan
menuntut adanya bantuan penggabungan unsur- unsur produksi yang terbingkai
dalm waktu yang terbatas. Produksi adalah menciptakan manfaat atas suatu
benda.
Secara terminologi, kata produksi berarti menciptakan dan menambah
kegunaan (nilai guna) suatu barang. Pada ekonomi Islam, produksi juga
merupakan bagian terpenting dari aktivitas eknomi bahkan dapat dikatakan
sebagai salah satu dari rukun ekonomi disamping konsumsi, distribusi, infak,
zakat, nafkah dan sedekah. Produksi adalah kegiatan manusia untuk
menghasilkan barang dan jasa kemudian manfaatnya dirasakan oleh kunsumen.
Produksi dalam presfektif Islam bukan hanya beriontasi untuk memperoleh
keuntungan yang sebanyak-banyaknya namun yang paling utama adalah
kemaslahatan individu dan masyarakat secara berimbang.1
Produksi tidak berarti hanya menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak
ada, melainkan yang dapat dilakukan oleh manusia adalah membuat barang-
barang menjadi berguna yang dihasilkan dari beberapa aktivitas produksi.
1. Dasar Hukum Produksi
Salah satu ayat tentang produksi yaitu ayat yang berkaitan dengan faktor
produksi terdapat dalam Q.S As-Sajdah ayat 27:

ِ ‫ق ا ْل َم; ۤ;ا َء اِلَى ااْل َ ْر‬


‫ض ا ْل ُج; ُر ِز فَنُ ْخ; ِر ُج بِ; ٖ;ه زَ ْرعً;ا تَأْ ُك; ُل ِم ْن;هُ اَ ْن َع;;ا ُم ُه ْم‬ ُ َ‫اَ َولَ ْم يَ; َر ْوا اَنَّا ن‬
ُ ‫س; ْو‬
 َ‫ص ُر ْون‬ ِ ‫س ُهۗ; ْم اَفَاَل يُ ْب‬
ُ ُ‫َواَ ْنف‬
“dan Apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau
(awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, laluKami tumbuhkan

1
Riyani Fitri Lubis, Wawasan Ayat-Ayat Al-Qur’an Dan Hadis Tentang Produksi, Al-Intaj Vol.
3, No. 1, Maret 2017, hlm 137.

1
dengan air hujan itu tanaman yang daripadanya Makan hewan ternak
mereka dan mereka sendiri. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan?.”
Ayat ini memberikan kepada kita untuk berfikir dalam pemanfaatan
sumber daya alam dan proses terjadinya hujan. Jelas sekali menunjukkan
adanya suatu siklus produksi dari proses turunnya hujan, tumbuh tanaman,
menghasilkan dedaunan dan buah-buahan yang segar setelah di disiram
dengan air hujan dan pada akhirnya dimanfaatkan oleh manusia dan hewan
untuk konsumsi. Siklus rantai makanan yang berkesinambungan telah
dijelaskan secara baik dalam ayat ini.Tentunya pula harus disertai dengan
prinsip efisiensi, dalam memanfaatkan seluruh batas kemungkinan
produksinya.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Swa. Juga pernah bersabda:
“Seseorang yang mempunyai sebidang tanah harus menggarap tanahnya
sendiri, dan jangan membiarkannya. Jika tidak digarap, dia harus
memberikannya kepada orang lain untuk mengerjakannya. Tetapi bila
kedua-duanya tidak dia lakukan tidak digarap, tidak pula diberikan kepada
orang lain untuk mengerjakannya maka hendaknya dipelihara/dijaga
sendiri. Namun kami tidak menyukai hal ini.(HR. Bukhari Muslim)”.
Hadits tersebut memberikan penjelasan tentang pemanfaatan faktor
produksi berupa tanah yang merupakan faktor penting dalam produksi.
Tanah yang dibiarkan begitu saja tanpa diolah dan dimanfaatkan tidak
disukai oleh Nabi Muhammad SAW karena tidak bermanfaat bagi
sekelilingnya. Hendaklah tanah itu digarap untuk dapat ditanami tumbuhan
dan tanaman yang dapat dipetik hasilnya ketika panen dan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, penggarapan bisa dilakukan
oleh pemilik tanah atau diserahkan kepada orang lain.2

2. Konsep Tauhid (Ketuhanan) dalam Produksi

2
Agung Zulkarnain Alang, Produksi, Konsumsi Dan Distribusi Dalam Islam, Journal Of
Institution And Sharia Finance : Volume 2 Nomor 1 Juni 2019,hlm 12-13.

2
Prinsip tauhid melahirkan prinsip-prinsip yang menyangkut segala aspek
kehidupan dunia dan akhirat.Ketika seseorang mengesakan dan menyembah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal itu akan berimplikasi pada adanya niat
yang tulus bahwa segala pekerjaan yang dikerjakan adalah dalam rangka
beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena pada dasarnya segala
sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.3
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan Ketuhanan
(Tauhid).Bertitik tolak dari Allah, berjalan dengan menggunakan sarana di
atas syari’at Allah, dan bertujuan akhir kepada Allah.Aktivitas seperti
produksi, distribusi, konsumsi, impor-ekspor tidak lepas dari titik tolak
ketuhanan dan bertujuan akhir untuk mencari ridha Allah. Kalau seorang
muslim bekerja dalam bidang produksi maka pekerjaannya itu tidak lain
karena ingin memenuhi perintah Allah.
Oleh karena itu, prinsip Ketuhanan (Tauhid) yang direfleksikan dalam
kejujuran, ketelitian, dan wara’ (asketik) menjadi kunci utama dalam
perekonomian Islam.Prinsip Tauhid yang menghasilkan keyakinan kesatuan
dunia dan akhirat, mengantarkan seorang pengusaha untuk tidak hanya
mengejar keuntungan material semata, tetapi yang lebih penting adalah
keuntungan yang kekal dan abadi yang diridlai Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.4
Prinsip tauhid adalah ajaran fundamental Islam.Prinsip ini mengatakan
bahwa produsen melangsungkan kegiatannya karena ketundukannya pada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan termotivasi beribadah kepada-
Nya.Berdasarkan prinsip ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan
batasan, aturan dan hukum atas aktivitas produksi yang dilakukan manusia,
menegaskan kewajiban mereka pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

3
Muhammad Turmudi, Produksi Dalam Perspektif Ekonomi Islam, Islamadina, Volume Xviii,
No. 1, Maret 2017, hlm 40.
4
M. Rahmat Effendi, Moral Islam Dalam Membangkitkan Etos Ekonomi Ummat,
Jlunisba,Volume Xxiii No. 1 Januari – Maret 2007,hlm 47-48.

3
Implementasi dari prinsip tauhid dalam kegiatan produksi terwujud dari
produksi yang dihasilkan berupa produk produk yang halalan toyiban dan
terhindar dari unsur ribawi, gharar, maisir atau riswah.
Implementasi prinsip tauhid ini dapat dilakukan melalui:
a. Produsen tidak hanya mencari keuntungan semata melainkan juga
memperoleh profit ibadah, memberikan manfaat bagi orang lain, dan
mengaktualisasikan kemampuannya sebagai hamba Allah SWT.
b. Motivasi beribadah memberikan sebanyak mungkin manfaat kepada
konsumen.
c. Memproduksi barang dan jasa yang halal dan baik.
d. Menyusun tata kelola perusahaan yang baik agar menghasilkan
pertumbuhan dan kesinambungan usaha secara sehat.
e. Menjalankan mekanisme produksi dengan asas efektif dan efisien,
melalui analisis kelayakan usaha, manajemen risiko, analisis bisnis
dan lain sebagainya.
f. Membayar zakat, sedekah, dan infak baik oleh produsen maupun
karyawan dalam berbagai jenjang.
g. Melaksanakan program CSR dan program kemanusiaan lainnya yang
berguna stakeholder perusahaan termasuk masyarakat sekitar.
h. Memperlakukan karyawan dan stakeholder lainnya secara adil dan
proporsional.5
3. EtikaProduksi dalam Ekonomi Islam
Menurut Isa Rafiq etika dapat diartikan sebagai seperangkat prinsip
moral yang membedakan yang baik dan yang buruk. Etika adalah bidang
ilmu yang bersifat normatif karena ia berperan menentukan apa yang harus
dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang individu.

5
Martina Khusnul Khatimah, Implementasi Prinsip Produksi Ekonomi Islam Pada Mebel Ira
Bersaudara Kota Bengkulu, AL-INTAJ, Vol.5, No.1, Maret 2019,hlm5-6.

4
Konsep Etika Produksi Menurut Yusuf Qardhawi sebagai berikut :
a. Bebas Berkreativitas (kebebasan berusaha)
Etika produksi dalam sistem ekonomi islam menurut Yusuf
Qardhawi adalah diberikannya kebebasan kepada manusia untuk
mengembangkan kreativitas dan keahlian masing-masing untuk
mengembangkan alat, sarana dan prasarana untuk melakukan proses
produksi. Tidak ada larangan bagi manusia untuk mengembangkan
keahlian mereka dalam mengembangkan sarana dan prasarana dalam
proses produksi selama tidak melanggar ketentuan Allah dan
memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.
b. Perlindungan Kekayaan Alam
Kekayaan alam atau sumber daya alam luas sekali mencakupi
langit dan bumi.Walaupun manusia diberi kebebasan untuk
memanfaatkan sumber daya alam, tidak berarti manusia boleh
bertindak sewenang-wenang terhadap sumber daya alam tersebut. Ada
etika yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seorang muslim dalam
melakukan aktivitas produksi.6

‫هّٰللا‬
ٌ ‫صاَل ِح َها َوا ْدع ُْوهُ َخ ْوفًا َّوطَ َم ًع ۗا اِنَّ َر ْح َمتَ ِ قَ ; ِر ْي‬
‫ب‬ ِ ‫سد ُْوا ِفى ااْل َ ْر‬
ْ ِ‫ض بَ ْع َد ا‬ ِ ‫َواَل تُ ْف‬
. َ‫سنِيْن‬ ِ ‫ِّمنَا ْل ُم ْح‬
“dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik”. (Q.S. Al-A‟raf : 56)

c. Kerja adalah Ibadah dan Jihad

6
Khodijah Ishak, Konsep Etika Produksi Dalam Sistem Ekonomi Islam Menurut Afzalur
Rahman Dan Yusuf Qordhowi,As-Salam: Jurnal Studi Hukum Islam & Pendidikan, Vol.6
No.2.2017,hlm. 59-60.

5
Yusuf Qarhdawi mengatakan, dalam bekerja (produksi), seorang
muslim bukan saja untuk mencari keuntungan semata, tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi bekerja bisa menjadi
ibadah dan jihad, sebagaimana perkataannya “Islam menganjurkan
umatnya untuk memproduksi dan berperan dalam berbagai bentuk
aktivitas ekonomi : pertanian, perkebunan, perikanan, perindustrian,
dan perdagangan. Islam memberkati pekerjaan dunia ini dan
menjadikannya bagian dari ibadah dan jihad.
d. Halal dan Tidak Melewati Batas
Daerah halal itu luas, tapi mayoritas jiwa manusia yang
ambisiusmerasa kurang puas dengan hal itu walaupun banyak
jumlahnya.Maka banyak kita temui jiwa manusia yang tergiur kepada
sesuatu yang haram dengan melanggar hukum-hukum Allah.Pada
masa sekarang ini banyak kita temukan berbagai ejahatan yang
dilakukan oleh manusia seperti mencuri, menodong, menjambret,
menyogok, dan korupsi.
e. Tekun dan Ihsan
Yusuf Qardhawi, bahwa ihsan itu bukan hanya dalam beribadah,
tetapi juga dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan (produksi).
Seorang muslim tidak merasa cukup dengan sekedar bekerja karena ia
berkeyakinan bahwa Allah mengawasinya. Allah pun mewajibkan
baginya sifat ihsan dalam setip perbuatan.Sikap inilah yang sulit kita
temukan pada diri orang islam pada zaman sekarang ini. Mereka
bekerja hanya sekedarnya saja, karena gaji mereka sudah dijamin
pemerintah. Atau mereka tekun dalam bekerja, tetapi tidak
mempunyai sikap ihsan, sehingga apapun pekerjaan yang ditawarkan
kepada mereka langsung di ambil tanpa membedakan apakah
pekerjaan itu akan menghasilka rezki yang halal atau sebaliknya. Hal
ini terjadi karena tidak ada sikap ihsan pada diri sebagian muslim.

f. Ketenangan Jiwa

6
Sebagaimana dikatakan oleh beliau : “Seorang mukmin akan
menikmati kehidupan ini dengan ketenagan jiwa, kedamaian batin,
dan kelapangan dada. Tidak diragukan, bahwa ketenangan jiwa seperti
ini mempunyai dampak positif bagi produktivitas.Sesungguhnya
manusia yang bingung, dengki, dan iri, kepada sesama manusia jarang
menghasilkanproduk yang memuaskan”.7
Seorang muslim yang mempunyai ketenangan jiwa dalam dirinya,
tidak akan iri dan benci atas keberhasilan orang lain, tetapi sebaliknya
akan merasa senang dengan keberhasilan dan kesuksesan saudaranya.
Atau mitra kerjanya, sehingga tidak terdapat jurang pemisah antara
atasan dan bawahan, antara pekerja dan teman kerjanya.
g. Istiqamah
Menurut Yusuf Qardhawi, “Seorang muslim yang beriman
(istiqamah terhadap keimanannya) selalu memperhatikan batasan-
batasan Allah dan menjauhi segala macam larangan-Nya. Ia menolak
dosa dan tidak mau tenggelam dalam segala yang diharamkan.
h. Keadilan
Yusuf Qardhawi tidak memfokuskan prinsip keadilan kepada etika
produksi saja, tetapi, ia berpendapat bahwa keadilan diterapkan pada
semua aspek ajaran islam dan peraturan-peraturan baiik akidah.,
syariat, atau etika karena menurut ia keadilan adalah akar prinsip
dalam islam.
ۙ َ‫اَاَل لَ ْعنَةُ هّٰللا ِ َعلَى ال ٰظّلِ ِميْن‬
“Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.
(Q.S. Hud : 18)

i. Target Produksi
Dalam berproduksi, seseorang muslim mempunyai tujuan utama
yaitu: Target swasembada individu, dan swasembada masyarakat dan
7
Riyani Fitri Lubis, Wawasan Ayat-Ayat Al-Qur’an Dan Hadis Tentang Produksi.., hlm 60

7
umat. Swasembada diartikan sebagai kemampuan untuk mencakupi
kebutuhan sendiri tanpa perlu bantuan orang lain. Target swasembada
masyarakat dan umat ini bisa dilakukan dengan cara menginfakkan
sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan. Bisa juga
dengan cara ,mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam proses
produksi, yaitu dengan memberi kesempatan kepada masyarakat yang
sedang membutuhkan pekerjaan. Sehingga dengan pekerjaan tersebut
mereka mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.8
j. Memproduksi Barang yang Dibutuhkan Manusia
Lebih lanjut Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa manusia
dianjurkan untuk menigkatkan hasil produksi, baik dari bidang
perdagangan, perindustrian,pertanian, perkebunan, teknologi,dan jual
beli. Tujuannya adalah agar barang-barang yang diproduksi tersebut
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa ada sedikitpun
tertinggal.
k. Dermawan
Harta bukanlah untuk dinikmati sendiri. Umat islam dianjurkan
untuk berbagi kepada orang lain atas kelebihan hartanya. Baik dengan
jalan sedekah, zakat maupun dengan melakukan kegiatan-kegiatan
sosial kemasyarakatan.9
Prinsip-prinsip produksi dalam ekonomi Islam yang berkaitan dengan
maqashid al-syari‟ah antara lain:
1. Kegiatan produksi harus dilandasi nilai-nilai Islam dan sesuai dengan
maqashid al-syari‟ah. Tidak memproduksi barang/jasa yang bertentangan
dengan penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
2. Prioritas produksi harus sesuai dengan prioritas kebutuhan yaitu
dharuriyyat, hajyiyat dan tahsiniyat.
a) Kebutuhan dharuriyyat (kebutuhan primer) merupakan kebutuhan
yang harus ada dan terpenuhi karena bisa mengancam keselamatan

8
Riyani Fitri Lubis, Wawasan Ayat-Ayat Al-Qur’an Dan Hadis Tentang Produksi.., hlm.61-62.
9
Riyani Fitri Lubis, Wawasan Ayat-Ayat Al-Qur’an Dan Hadis Tentang Produksi.., hlm 62-64

8
umat manusia. Pemenuhan kebutuhan dhururiyat terbagi menjadi lima
yang diperlukan sebagai perlindungan keselamatan agama,
keselamatan nyawa, keselamatan akal, keselamatan atau kelangsungan
keturunan, terjaga dan terlidunginya harga diri dan kehormatan
seorang, serta keselamatan serta perlindungan atas harta kekayaan.
b) Kebutuhan hajiyyat (kebutuhan sekunder) merupakan kebutuhan yang
diperlukan manusia, namun tidak terpenuhinya kebutuhan sampai
mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan
hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran.
c) Kebutuhan tahsiniyyat (kebutuhan tersier) merupakan kebutuhan
manusia yang mendukung kemudahan dan kenyamanan hidup
manusia
3. Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek keadilan, sosial, zakat,
sedekah, infak dan wakaf.
4. Mengelola sumber daya alam secara optimal, tidak boros, tidak
berlebihan serta tidak merusak lingkungan.
5. Distribusi keuntungan yang adil antara pemilik dan pengelola,
manajemen dan buruh.10
Ada beberapa Faktor-faktor produksi, yaitu:
1. Faktor alam atau tanah
Faktor alam adalah faktor dasar dalam produksi.Alam yang dimaksud
di sini adalah bumi, dan segala isinya, baik yang ada di atas permukaan
bumi, maupun yang terkandung di dalam bumi itu sendiri. Dalam
produksi, semua itu dikategorikan sebagai sumber alam yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia
2. Faktor tenaga kerja
Tenaga kerja merupakan faktor pendaya guna dari faktor produksi
sebelumnya, yakni faktor alam.Tenaga kerja juga merupakan asset bagi
keberhasilan suatu perusahaan, karena kesuksesan suatu produksi terletak
pada kinerja sumber daya manusia yang ada di dalamnya.

10
Agung Zulkarnain Alang, Produksi, Konsumsi Dan Distribusi Dalam Islam.., hlm 46.

9
3. Faktor modal (capital)
Modal merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu produksi,
oleh karenanya tanpa modal produsen tidak dapat menghasilkan
barang/jasa. Modal adalah sejumlah daya beli atau yang dapat
menciptakan daya yang dipergunakan untuk suatu proses produksi, tanpa
modal maka tidak dapat berproduksi dan membangun (Mochtar Effendi).
4. Faktor Manajemen
Manajemen merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan
sumberdaya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan
efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.11

B. Prinsip Distribusi dalam Ekonomi Islam


1. Filosofis dan Dasar Hukum Distribusi
Kata distribusi disinonimkan dengan kata dulah dalam bahasa Arab.
Secara etimologi kata dulah berarti terus berputar atau perpindahan sesuatu
dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan secara terminologi kata dulah
berarti suatu proses perputaran atau peredaran yang bersifat konstan tanpa
ada hambatan. Distribusi berarti penyaluran, pembagian, pengiriman barang
dagangan atau barang dan jasa kepada konsumen oleh produsen dan
pemerintah.12

Pemahaman distribusi juga tercantum dalam qur’an Al-Hasyr ayat 7:


‫هّٰللا‬
‫;;ر ٰبى َوا ْليَ ٰتمٰ ى‬ْ ُ‫س;; ْو ِل َولِ;; ِذى ا ْلق‬ ُ ‫;;رى فَلِلّٰ ِه َولِل َّر‬ ٰ ُ‫س;; ْولِ ٖه ِمنْ اَهْ;; ِل ا ْلق‬ ُ ‫َم;;ٓا اَفَ ۤ;;ا َء ُ ع َٰلى َر‬
ُ ‫;ونَ د ُْولَ ;ةً ۢ بَيْنَ ااْل َ ْغنِيَ; ۤ;ا ِء ِم ْن ُك ۗ ْم َو َم;;ٓا ٰا ٰتى ُك ُم ال َّر‬
‫س ; ْو ُل‬ َّ ‫َوا ْل َم ٰس ; ِك ْي ِن َوا ْب ِن‬
ْ ;‫الس ;بِ ْي ۙ ِل َك ْي اَل يَ ُك‬
َ َ ‫فَ ُخ ُذ ْوهُ َو َما نَ ٰهى ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَ ُه ْو ۚا َواتَّقُوا; هّٰللا َ ۗاِنَّ هّٰللا‬
ِ ۘ ‫ش ِد ْي ُد ا ْل ِعقَا‬
.‫ب‬

11
Riyani Fitri Lubis, Wawasan Ayat-Ayat Al-Qur’an Dan Hadis Tentang Produksi.., hlm 47.
12
Zaki Fuad Chalil, PemerataanDistribusi Kekayaan Ekonomi Islam, Jakarta: Erlangga, 2009,
hlm. 46.

10
“Harta rampasan (fai') dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah,
Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk
orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (surah al-Hasyr:7)
Berdasarkan ayat diatas, bahwa Allah menyuruh umat manusia untuk
mendistribusikan kekayaan mereka secara merata kepada orang-orang yang
membutuhkan. Kekayaan yang ada harus dikelola dan dibagi-bagikan
kepada seluruh masyarakat dan tidak boleh kekayaan itu hanya
terkonsentrasi peredarannya pada kelompok-kelompok tertentu saja.13
Kekayaan yang hanya berpusat pada sekelompok tertentu akan
menghambat pertumbuhan ekonomi karena kekayaan tersebut tidak
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin dan akhirnya menimbulkan
kesenjangan dan ketidakadilan masyarakat.
Secara konvensional, distribusi diartikan sebagai proses penyimpanan
dan penyaluran produk kepada pelanggan. 14 Meskipun definisi
konvensional tersebut memiliki pemahaman yang sempit dan cenderung
mengarah kepada perilaku ekonomi yang bersifat individu, namun dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam distribusi terdapat sebuah
proses pendapatan dan pengeluaran dari sumber daya yang dimiliki negara.
Menurut Afzalurrahman distribusi adalah suatu cara di mana kekayaan
disalurkan ke beberapa faktor produksi yang memberikan kontribusi kepada
individu, masyarakat, dan negara. Sejalan dengan prinsip Muhammad Anas
Zarqa mengatakan ada beberapa factor yang menjadi dasar distribusi, yaitu:

13
Fuad Chalil, PemerataanDistribusi Kekayaan Ekonomi Islam, Jakarta: Erlangga, 2009, hlm.
50.
Musthafa Syukur, Distribusi Perspektif Etika Ekonomi Islam, Profit: Jurnal Kajian Ekonomi
14

dan Perbankan 2 (2) 2018. P: 33-51, E-ISSN : 2597-9434, ISSN: 26854309, hlm. 36.

11
tukar menukar (exchange), kebutuhan (needs), kekuasaan (power), sistem
sosial dan nilai etika (social system and ethical values).15
Sejalan dengan sistem pertukaran antara lain, seseorang memperoleh
pendapatan yang wajar dan adil sesuai dengan kinerja dan kontribusi yang
diberikan. Distribusi juga didasarkan atas kebutuhan seseorang memperoleh
upah karena pekerjaannya dibutuhkan oleh pihak lain. Satu pihak
membutuhkan materi untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan pihak
lain membutuhkan tenaga kerja sebagai factor produksi. Kekuasaan juga
berperan penting, di mana seseorang yang memiliki kekuasaan atau otoritas
cenderung mendapatkan lebih banyak karena ada kemudahan akses.
Landasan hukum distribusi dalam Islam, terdapat dalam al-Qur’an,
sebagai berikut:
Surah al-Baqarah ayat 3:
(٣( َ‫صلَ ٰوةَ َو ِم َّما َر َز ۡقنَ ٰـ ُهمۡ يُنفِقُون‬ ِ ‫ٱلَّ ِذينَ يُ ۡؤ ِمنُونَ بِ ۡٱل َغ ۡي‬
َّ ‫ب َويُقِي ُمونَ ٱل‬
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat
dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada
mereka.” (surah al-Baqarah:3).
Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan
penyerahan jiwa,tanda-tanda adanya iman ialah apa yang dikehendaki oleh
iman itu.
Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya
kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud
yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, Karena ada dalil yang
menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari
akhirat dan sebagainya.
Shalat menurut bahasa 'Arab adalah doa, menurut istilah syara' ialah
ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan
salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan
diri kepada Allah, mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur,

15
Agung Zulkarnain Alang, Produksi, Konsumsi dan Distribusi dalam Islam, Journal Of
Institution And Sharia Finance : Volume 2 Nomor 1 Juni 2019, hlm. 17.

12
dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik
yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang
dibaca dan sebagainya.
Rezki adalah segala yang dapat diambil manfaatnya, menafkahkan
sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan
oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh agama
memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat,
anak-anak yatim dan lain-lain.
Surah al-Imran ayat 4:
‫اس; َوٱهَّلل ُ يُ ِح ُّب‬ ِ ‫ٱلض; َّرٓا ِء َو ۡٱلڪ َٰـ ِظ ِمينَ ۡٱل َغ ۡي; ظَ َو ۡٱل َع;افِينَ ع‬
‌ِۗ َّ‫َن ٱلن‬ َّ ‫ٱلَّ ِذينَ يُنفِقُونَ فِى‬
َّ ‫ٱلس; َّرٓا ِء َو‬
(١٣٤( َ‫سنِين‬ ِ ‫ۡٱل ُم ۡح‬
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.”
2. Konsep Tauhid dalam Distribusi
Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai
Islam. Dr. Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan ekonomi
Islam sebagai kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi
yangdiambil dari al-qur’an, sunnah dan pondasi ekonomi yang dibangun
atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan
dan waktu.16
Jadi sangat jelas bahwa ekonomi Islam terkait dan mempunyai hubungan
yang erat dengan agama yang membedakannya dari sistem ekonomi
kapitalis.
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang
ilmu interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir,
sosiolog dan politikus, diantaranya Abu Yusuf, Yahya bin Umar, Ibnu

16
Abdullah Abdul Husain At-Tariqi, Ekonomi Islam (Prinsif, Dasar dan Tujuan), Alih Bahasa:
M. Irfan Syofwani, (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 14

13
Khaldun dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebut
berakar pada hukum Islam yang bersumber dari al-qur’an dan hadits
sehingga ia sebagai hasil interpretasi dari berbagai ajaran islam yang
bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah serta
mendorong umatnya untuk mempergunakan kekuatan akal pikirannya.17
Islam memandang pemahaman bahwa materi adalah segalanya bagi
kehidupan sebagaimana menurut kaum kapitalisme adalah merupakan
pemahaman yang salah, sebab manusia selain memi liki dimensi material
juga memiliki dimensi non material (spiritual). Dalam realitanya tampak
sekali bahwa paham materialisme mem bawa kehidupan manusia kepada
kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka dengan mengabaikan
dimensi non materi. Dalam ekonomi yang berbasis Islam kedua dimensi
tersebut (material dan non material) ter-cover didalamnya sebagaimana
tercermin dari nilai dasar (value based) yang dimilikinya, yaitu ketuhidan,
keseimbangan, kebebasan kehendak dan betanggung jawab (menurut Syed
Nawab Heidar Naqvy).18
Ketauhidan berfungsi untuk membedakan sang khaliq dan makhluk-Nya
yang diikuti dengan penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap
kehendak-Nya serta memberikan suatu perspektif yang pasti yang menjamin
proses pencarian kebenaran oleh manusia yang pasti tercapai sepanjang
menggunakan petunjuk Allah. Keseimbangan merupakan dimensi horisontal
dari Islam yang dalam perspektif yang lebih praktis meliputi keseimbangan
jasmani-ruhani, material-non material, individu dan social. Sedangkan yang
dimaksud dengan kebebasan kehendak disini adalah kebebasan yang
dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya
tetapi terikat dengan batasan-batasan yang diberikan oleh Allah. Dan
tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya kebebasan yang

17
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2004), hlm. 7
18
Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, (London: The
Islamic Foundation, 1981), hlm. 21

14
tidak hanya mencakup seluruh perbuatan di dunia dan akhirat saja tetapi
juga terhadap lingkungan di sekitarnya.19
Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal
pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan
keadilan kepemilikan. Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak
yang dibingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman
kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan
manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun,
tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan
spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat
serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan
dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-Qur’an agar
supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang
hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat
memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan (lihat surah al-Hasyr ayat 7).
3. Konsep Moral dan Etika dalam Sistem Distribusi
Agar konsep ini dapat diimplementasikan secara nyata dalam sistem
pendistribusian, perlu dilakukan beberapa hal yaitu:
a) Mengubah pola pikir (mindset) dan pembelajaran islam, dari yang
terfokus pada tujuan materialistis kepada tujuan kesejahter aan umum
berbasis pembagian sumber daya dan resiko yang berkeadilan, untuk
mencapai kemanfaatan yang lebih besar.
b) Keluar dari ketergantungan pihak lain. Hidup diatas kemam puan pribadi
maupun sebagai bangsa, melaksanakan kewajiban financial sebagaimana
yang ditunjukkan al-Qur’an.20
Nilai-nilai moral dalam bidang distribusi menurut Yusuf Qardhawi antara
lain:

19
Marabona Munthe, M.E, Sy, Konsep Distribusi dalam Islam, Jurnal Syariah: Vol. 2, No. 1,
April 2014, hlm. 75.
20
Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana Pre nada
Media Group, Cetakan Kedua, Jakarta, 2007, hal 120.

15
a) Nilai kebebasan dan landasan keyakinan kepadanya seorang yang
beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan merampas
kebebasan individu, tidak memperdayainya, tetapi menghor mati fitrah
dan menjaga kemuliaan.
b) Hak milik pribadi adalah fenomena kebebasan yang pertama kebebasan
menentukan bahwa setiap orang harus menanggung resiko dari apa yang
dilakukannya dan mendapatkan keuntungan dari apa yang
diusahakannya.
c) Warisan termasuk hak milik yang paling menonjol Didalam warisan
terdapat pemeliharaan mashlahat individu, ke luarga dan masyarakat.
d) Nilai-nilai keadilan
Yaitu sikap senantiasa dalam pertengahan. Diantara prinsip ke adilan
adalah:
(1) Membedakan manusia sesuai dengan keahlian dan usahanya
(2) Pemerataan kesempatan
(3) Memenuhi hak-hak pekerja
(4) Takaful (kesetiakawanan yang menyeluruh).
(5) Mendekatkan jurang perbedaan antara manusia.21
Islam menciptakan beberapa instrumen untuk memastikan keseimbangan
pendapatan di masyarakat seperti zakat infak shadaqah dan wakaf.
Instrumen ini dikedepankan agar tercipta keseimbangan dalam
perekonomian, karena tidak semua orang mampu terlibat dalam proses
ekonomi akibat cacat, jompo atau yatim piatu. Oleh karenanya Allah itu
melipatgandakan pahala orang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah.
Dalam bahasan normatif di atas, akses etika ekonomi untuk pembahasan
mekanisme distribusi pendapatan atas hak kepemilikan materi/kekayaan
dalam Islam mencerminkan beberapa hal berikut:
a) Pemberlakuan hak kepemilikan individu pada suatu benda, tidak
menutupi sepenuhnya akan adanya hak yang sama bagi orang lain.

21
Marabona Munthe, M.E, Sy, Konsep Distribusi dalam Islam, Jurnal Syariah: Vol. 2, No. 1,
April 2014, hlm. 82.

16
b) Negara mempunyai otoritas kepemilikan atas kepemilikan indi vidu yang
tidak bertanggung jawab terhadap hak miliknya.
c) Dalam hak kepemilikan berlaku sistematika konsep takaful (jaminan
sosial).
d) Hak milik umum dapat menjadi hak milik pribadi.
e) Konsep hak kepemilikan dapat meringankan sejumlah konsekuensi
hukum syari’ah (hudud).
f) Konsep kongsi merujuk kepada sistem bagi hasil sesuai dengan
kesepakatan.
g) Ada hak kepemilikan orang lain dalam hak kepemilikan harta.22
Kebutuhan merupakan alasan untuk mencapai pendapatan minimum.
Kecukupan memenuihi standar hidup yang baik merupakan hal yang paling
mendasar dalam sistem distribusi-redistribusimkekayaan. Walaupun setiap
individu berusaha mencapai tingkat meningkatkan materi, tetap saja secara
sunatullah selalu ada pihak yang surplus dan pihak yang defisit. Karena
ketidakseimbangan materi pada prinsipnya menciptakan keseimbangan
dalam kehidupan. Agar ketidakseimbangan ini tidak menimbulkan
persoalan sosial, Islam dengan konsep moral dan etikanya yang tinggi dan
melalui syari’atnya (Zakat infak shadaqah dan lain sebagainya) menjadikan
hubungan antara si defisit dan si surplus tersebut memiliki hubungan saling
ketergantungan sehingga menciptakan keharmonisan.
Inilah yang disebut keseimbangan. Kemiskinan memang tidak boleh
diberantas namun Islam mengarahkan agar orang miskin dapat hidup secara
layak.
Menjadi fokus dalam sistem distribusi Islam bukan pada out put namun
proses distribusi itu sendiri. Jika pasar mengalami kegagalan (failure), maka
konsep fastabiqul khairat mengarahkan semua pelaku pasar dan perangkat
kebijakan kepada proses redistribusi pendapatan.23
C. Prinsip Konsumsi dalam Ekonomi Islam
22
Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam.., hlm. 120.
23
Marabona Munthe, M.E, Sy, Konsep Distribusi dalam Islam, Jurnal Syariah: Vol. 2, No. 1,
April 2014, hlm. 83-84.

17
1. Pengertian Konsumsi 
Secara bahasa, konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptive yang
berarti suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya
guna suatu benda, barang maupun jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan.
Konsumen adalah individu atau kelompok pengguna barang atau jasa. Jika
pembelian ditujukan untuk dijual, maka ia disebut distributor. Kaitannya
dengan konsumsi atau makan terhadap barang atau jasa yang dibutuhkan
atau inginkan manusia tentu tidak lepas sebagaimana kata tha'am dalam al-
Qur'an. Kata ini dalam berbagai bentuknya terulang dalam al-Qur'an
sebanyak 48 kali yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek berkaitan
dengan makanan (konsumsi). Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan
kosa kata selainnya. Perhatian al-Qur'an tentang konsumsi (makanan)
sedemikian besar, sampai-sampai terulang terus menerus dengan
memerintahkan untuk makan (atau menyebut mengkonsumsi).24
Salah satu persoalan penting dalam kajian ekonomi Islam ialah masalah
konsumsi. Konsumsi berperan sebagai pilar dalam kegiatan ekonomi
seseorang (individu), perusahaan maupun negara. konsumsi secara umum
diformulasikan dengan : ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang dan
jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga,
kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa
konsultasi hukum, belajar atau kursus, dan sebagainya.25
Berangkat dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa konsumsi
sebenarnya tidak identik dengan makan dan minum dalam istilah teknis
sehari-hari; akan tetapi juga meliputi pemanfaatan atau pendayagunaan
segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun, karena yang paling
penting dan umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas konsumsi
adalah makan dan minum, maka tidaklah mengherankan jika konsumsi
sering diidentikkan dengan makan dan minum.

24
Pamudji, Sugeng dengan judul: “Kembali Pada Sistem Ekonomi Islam, Penyadaran Secara
Komprehensif”, dalam Jurnal Islamica, Vol. 3. No. 2. Maret 2013.
25
Agung Zulkarnain Alang, Produksi, Konsumsi Dan Distribusi Dalam Islam.., hlm. 15

18
2. Tujuan Konsumsi
Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan mempunyai
tujuan untuk memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya.
Utility secara bahasa berarti berguna (usefulness), membantu (helpfulness),
atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks ekonomi, utilitas
dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen
ketika mengonsumsi suatu barang. Kegunaan ini bisa juga dirasakan sebagai
rasa "tertolong" dari suatu kesulitan karena mengonsumsi barang tersebut.
Dikarenakan adanya rasa inilah, maka sering kali utilitas dimaknai juga
sebagai rasa puas atau kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen
dalam mengonsumsi suatu barang. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap
sama, meskipun sebenarnya kepuasan merupakan akibat yang ditimbulkan
oleh utilitas.26
Maka ketika tujuan konsumsi selalu identik dengan perolehan suatu
kepuasan yang tertinggi, beberapa hal yang perlu digarisbawahi di sini
adalah apakah barang atau jasa tersebut membawa suatu manfaat dan
kemaslahatan. Karena bisa jadi seseorang menginginkan suatu kepuasan
yang tinggi terhadap suatu barang ataupun jasa, akan tetapi justru barang
atau jasa tersebut membawa kerusakan kepada dirinya atau orang-orang di
sekitarnya.
Dalam Islam, tujuan konsumsi bukanlah konsep utilitas melainkan
kemaslahatan (mashlahah). Pencapaian mashlahah tersebut merupakan
tujuan dari maqashid al-syari'ah (tujuan diturunkannya syariat Islam).
Konsep utilitas sangat subjektif karena bertolak belakang pada pemenuhan
kepuasan atau wants, dan konsep mashlahah relatif lebih objektif karena
bertolak padapemenuhan kebutuhan atau needs. Mashlahah dipenuhi
berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif, maka ada kriteria

26
Muslim, Ahmad dengan judul: “Peranan Konsumsi dalam Perekonomian Indonesia dan
Kaitannya dengan Ekonomi Islam”, dalam Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol . 1,
No. 2, September 2011

19
yang objektif tentang suatu barang ekonomi yang memiliki mashlahah
ataupun tidak.27
Adapun utility ditentukan lebih subjektif karena akan berbeda antara satu
orang dengan yang lainnya. Sebagai ilustrasi, suatu pertanyaan "apakah
minuman keras mempunyai utilitas?". Maka seorang pemabuk akan
mengatakan "ya" dan seorang produsen minuman keras juga akan
mengatakan "ya" dengan alasan miras merupakan komoditas yang sangat
menguntungkan sehingga dapat memberikan laba maksimum. Kemudian
petugas pajak atau pemerintah juga akan mengatakan "ya", karena minuman
keras dapat memberikan pemasukan yang relatif cukup besar, maka
pemerintah memberikan izin. Di sisi lainnya, aspek negatif yang
ditimbulkan minuman keras lebih besar dari manfaat yang ada. Maka
dengan menggunakan kacamata moral dan medis, maka timbul suatu
pertanyaan, apakah minuman keras mempunyai mashlahah?" Sudah tentu
jawabannya "tidak".
Berbeda di dalam ajaran Islam, bahwa tujuan konsumsi adalah untuk
mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman,
pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat
ialah terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya,
manusia makan dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia
berpakaian untuk menutup aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan
terhindar dari perbuatan mesum (nasab).
Sebagaimana disebut di atas, banyak ayat dan hadits yang berbicara
tentang konsumsi, di antaranya Surat al A’raf ayat 31.
ُّ‫ۥ اَل ُيحِب‬ ‫ٱش َربُو ْا َواَل ُت ۡس ِرفُ ٓو ْۚ‌ا إِ َّن ُه‬
ۡ ‫ڪلُ و ْا َو‬
ُ ‫َي ٰـ َبن ِٓى َءا َد َم ُخ ُذو ْا ِزي َن َت ُكمۡ عِ ن َد ُك ِّل َم ۡس ِج ۬ ٍد َو‬
(٣١) ‫ِين‬ َ ‫ۡٱلم ُۡس ِرف‬

27
Ibid

20
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”
Ayat ini tidak saja membicarakan konsumsi makanan dan minuman,
tetapi juga pakaian.  Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33) dibicarakan
tentang perhiasan. 
3. Prinsip Dasar Konsumsi dalam Islam
Konsumsi dalam Islam senantiasa memperhatikan kaidah halal-haram,
komitmen dan konsekuen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat
yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumen seoptimal
mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak
mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain sangat penting untuk
diketahui.
Menurut Arif Pujiyono dalam tulisan berjudul "Teori Konsumsi Islam",
prinsip dasar konsumsi Islami harus berdasarkan pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:28
1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam melakukan konsumsi dimana terdiri dari:
a. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk
ketaatan atau beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia
sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di
bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.
b. Prinsip ilmu, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu
ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang
berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram
baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
c. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah
diketahui tentang konsumsi Islami tersebut. Seseorang ketika sudah

28
Sarwono, “Analisis Perilaku Konsumen Perspektif Ekonomi Islam”, dalam Jurnal Inovasi
Pertanian Vol.8, No. 1, 2009 (41 -53), Dosen Dept. EP FE USU.

21
berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi
hanya yang halal serta menjauhi yang haram atau syubhat.
2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuatu dengan batas-batas kuantitas yang telah
dijelaskan dalam syariat Islam, diantaranya:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara
menghamburkan harta dengan baik, tidak bermewah-mewah, tidak
mubazir, dan hemat.
b. Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam
mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak dari pada tiang.
c. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan
untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan
kekayaan itu sendiri
3. Prinsip prioritas, dimana memperhatikan urutan kepentingan yang harus
di-prioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu mengkonsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia
dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya di dunia dan
agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.
b. Sekunder, yaitu mengkonsumsi untuk menambah/meningkatkan
tingkat kualitas hidup yang lebih baik misalnya mengkonsumsi madu,
susu dan sebagainya.
c. Tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih
membutuhkan.

Menurut Abdul Mannan bahwa perintah Islam mengenai konsumsi


dikendalikan oleh lima  prinsip, yaitu:

a) Prinsip Keadilan
b) Prinsip Kebersihan
c) Prinsip Kesederhanaan
d) Prinsip Kemurahan Hati
e) Prinsip Moralitas

22
f) Etika Konsumsi
4. Etika Konsumsi dalam Islam
Di bidang konsumsi, etika Islam berarti seseorang ketika mengkonsumsi
barang-barang atau rezeki harus dengan cara yang halal dan baik. Artinya,
perbuatan yang baik dalam mencari barang-barang atau rezeki baik untuk
dikonsumsi mau pun diproduksi adalah bentuk ketaatan terhadap Allah
SWT., sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: "Wahai umat manusia,
makanlah apa yang add di bumi, dengan cara yang sah dan baik",(QS. Al-
Baqarah, 2: 268).
Karena itu, orang mu'min berusaha mencari kenikmatan dengan menaati
perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-
barang dan anugerah-anugerah yang dicipta Allah untuk umat manusia.
Konsumsi dan pemuasan kebutuhan tidak dikutuk dalam Islam selama
keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah
SWT. Berfirman dalam Al-Qur'an: 29
Artinya
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa:
barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi". (Q.S. Al-Maidah, 7: 32).
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang
tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah
ishraf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna).
Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni

29
Op.cit

23
untukmenuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan (riswah), hal-
hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan.30
Etika konsumsi menurut Naqvi adalah sebagai berikut 31:
a) Tauhid (Unity/ Kesatuan)
Karakteristik utama dan pokok dalam Islam adalah “tauhid” yang
menurut Qardhawi dibagi menjadi dua kriteria, yaitu rubaniyyah gayah
(tujuan) danwijhah (sudut pandang). Kriteria pertama menunjukkan
maksud bahwa tujuan akhir dan sasaran Islam adalah menjaga hubungan
baik dan mencapai ridha-Nya. Sehingga pengabdian kepada Allah
merupakan tujuan akhir, sasaran, puncak cita-cita, usaha dan kerja keras
manusia dalam kehidupan yang fana ini. Kriteria kedua adalah rabbani
yang masdar (sumber hukum) dan manhaj (sistem). Kriteria ini
merupakan suatu sistem yang ditetapkan untuk mencapai sasaran dan
tujuan puncak (kriteria pertama) yang bersumber al-Qur’an dan Hadits
Rasul.
b) Adil (Equilibrium/ Keadilan)
Khursid Ahmad mengatakan, kata ‘adl dapat diartikan seimbang
(balance)dan setimbang (equlibrium). Atas sebab dasar itu ia
menyebutkan konsepal-‘adl dalam prespektif Islam adalah keadilan
Ilahi. Salah satu manifestasi keadilan menurut al Qur’an adalah
kesejahteraan. Keadilan akan mengantarkan manusia kepada ketaqwaan,
dan ketaqwaan akan menghasilkan kesejahteraan bagi manusia itu
sendiri.
c) Free Will (Kehendak Bebas)
Manusia merupakan makhluk yang berkehendak bebas namun
kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan
qadar yang merupakan hukum sebab akibat yang didasarkan pada
pengetahuan dan kehendak Tuhan.
d) Amanah (Responsibility/ Pertanggungjawaban)
30
Mughits, Abdul, “Problematika Produksi dan Konsumsi di Indonesia dan Solusinya (Suatu
Tinjauan Etika Bisnis Islam)”, dalam Az-Zarqa, Vol. 4. No. 2. Desember 2012.
31
Agung Zulkarnain Alang, Produksi, Konsumsi Dan Distribusi Dalam Islam.., hlm 16-17.

24
Etika dari kehendak bebas adalah pertanggungjawaban. Dengan kata
lain, setelah manusia melakukan perbuatan maka ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan demikian prinsip
tanggung jawab merupakan suatu hubungan logis dengan adanya prinsip
kehendak bebas.
e) Halal
Kehalalan adalah salah satu kendala untuk memperoleh maksimalisasi
kegunaan konsumsi salam kerangka Ekonomi Islam. Kehalalan suatu
barang konsumsi merupakan antisipasi dari adanya keburukan yang
ditimbulkan oleh barang tersebut.
f) Sederhana
Sederhana dalam konsumsi mempunyai arti jalan tengah dalam
berkomunikasi. Diantara dua cara hidup yang ekstrim antara paham
materilialistis dan zuhud. Ajaran al-Qur’an menegaskan bahwa dalam
berkonsumsi manusia dianjurkan untuk tidak boros dan tidak kikir.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa syarat utama etika konsumsi
dalam Islam adalah harus berdasarkan Tauhid, adil, kehendak bebas, harus
teramanah Responsibility/ ada pertanggungjawaban, halal dan sederhana.

DAFTAR PUSTAKA

Agung Zulkarnain Alang,2019,Produksi, Konsumsi Dan Distribusi


Dalam Islam, Journal Of Institution And Sharia Finance : Volume 2
Nomor 1 Juni.

Abdullah Abdul Husain At-Tariqi,2004,Ekonomi Islam (Prinsif, Dasar


dan Tujuan), Alih Bahasa: M. Irfan Syofwani, Yogyakarta: Magistra
Insania Press.

25
Adiwarman Azwar Karim,2004,Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta: Rajawali Pers.

Fuad Chalil,2009,PemerataanDistribusi Kekayaan Ekonomi Islam, Jakarta:


Erlangga, 2009.

Khodijah Ishak,2017,Konsep Etika Produksi Dalam Sistem Ekonomi


Islam Menurut Afzalur Rahman Dan Yusuf Qordhowi,As-Salam: Jurnal
Studi Hukum Islam & Pendidikan, Vol.6 No.2.

Martina Khusnul Khatimah,2019,Implementasi Prinsip Produksi


Ekonomi Islam Pada Mebel Ira Bersaudara Kota Bengkulu, AL-INTAJ,
Vol.5, No.1, Maret.

M. Rahmat Effendi,2007,Moral Islam Dalam Membangkitkan Etos


Ekonomi Ummat, Jlunisba,Volume Xxiii No. 1 Januari – Maret.

Muhammad Turmudi,2017,Produksi Dalam Perspektif Ekonomi Islam,


Islamadina, Volume Xviii, No. 1, Maret.
Musthafa Syukur,2018,Distribusi Perspektif Etika Ekonomi Islam,
Profit: Jurnal Kajian Ekonomi dan Perbankan 2 (2). P: 33-51, E-ISSN :
2597-9434, ISSN: 26854309.

Riyani Fitri Lubis,2017,Wawasan Ayat-Ayat Al-Qur’an Dan Hadis Tentang


Produksi, Al-Intaj Vol. 3, No. 1, Maret.

Zaki Fuad Chalil,2009,PemerataanDistribusi Kekayaan Ekonomi


Islam, Jakarta: Erlangga.
.
Syed Nawab Haider Naqvi,1981, Ethics and Economics An Islamic
Synthesis, London: The Islamic Foundation, 1981.
Marabona Munthe, M.E, Sy,2014,Konsep Distribusi dalam Islam, Jurnal Syariah:
Vol. 2, No. 1, April.

Mustafa Edwin Nasution dkk,2007, Pengenalan Eksklusif Ekonomi


Islam, Kencana Pre nada Media Group, Cetakan Kedua, Jakarta.

Marabona Munthe, M.E, Sy,2014,Konsep Distribusi dalam Islam,


Jurnal Syariah: Vol. 2, No. 1, April.

26
Pamudji,2013, Sugeng dengan judul: “Kembali Pada Sistem Ekonomi
Islam, Penyadaran Secara Komprehensif”, dalam Jurnal Islamica, Vol. 3.
No. 2. Maret.
Muslim,2011, Ahmad dengan judul: “Peranan Konsumsi dalam
Perekonomian Indonesia dan Kaitannya dengan Ekonomi Islam”, dalam
Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol . 1, No. 2, September
Sarwono,2009, “Analisis Perilaku Konsumen Perspektif Ekonomi
Islam”, dalam Jurnal Inovasi Pertanian Vol.8, No. 1, (41 -53), Dosen Dept.
EP FE USU.

Mughits, Abdul,2012, “Problematika Produksi dan Konsumsi di


Indonesia dan Solusinya (Suatu Tinjauan Etika Bisnis Islam)”, dalam Az-
Zarqa, Vol. 4. No. 2. Desember.

27

Anda mungkin juga menyukai