Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

April 2019

PENANGANAN PADA PASIEN APENDISITIS


DISERTAI KOMPLIKASI

Disusun Oleh :

Firyal Amyrah Delicia

N 111 17 037

Pembimbing Klinik :

dr. Alfreth Langitan, Sp.B, FINACS, FICS

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU BEDAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan penyakit yang biasa dikenal oleh masyarakat awam


sebagai penyakit usus buntu. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi
yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Apendisitis akut
merupakan masalah pembedahan yang paling sering dan apendektomi merupakan
salah satu operasi darurat yang sering dilakukan diseluruh dunia. Faktor
potensialnya adalah diet rendah serat dan konsumsi gula yang tinggi, riwayat
keluarga serta infeksi. Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria
dibandingkan dengan wanita. Insidensi apendisitis lebih tinggi pada anak kecil
dan lansia.1
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diketahui bahwa
apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta jiwa darinya
adalah laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan mencapai total 118 juta
jiwa di kawasan Asia Tenggara. Apendisitis merupakan peradangan pada usus
buntu sehingga penyakit ini dapat menyebabkan nyeri dan beberapa keluhan lain
seperti mual, muntah, konstipasi atau diare, demam yang berkelanjutan dan sakit
perut sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.1
Menurut Departmen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis
merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006.
Jumlah pasien rawat inap penyakit appendix pada tahun tersebut mencapai 28.949
pasien, berada di urutan keempat setelah dispepsia, duodenitis, dan penyakit cerna
lainnya. Pada rawat jalan, kasus penyakit appendix menduduki urutan kelima
(34.386 pasien rawat jalan), setelah penyakit sistem pencernaan lain, dispepsia,
gastritis dan duodenitis. Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan RI pada
tahun 2009, apendisitis masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak pada pasien
rawat inap di rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia dengan total kejadian
30,703 kasus dan 234 jiwa yang meninggal akibat penyakit ini.1
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk menjelaskan
tentang penangan pasien dengan komplikasi apendisitis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Appendix vermiformis


Appendix merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-
kira 10 cm (kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit
di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada
bayi, appendix berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, appendix terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendix bergerak dan
ruang geraknya bergantung pada panjang mesoappendix penggantungnya.2
Pada kasus selebihnya, appendix terletak retroperitoneal, yaitu di
belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon
ascendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak appendix.2
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang
mengikuti a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.2
Pendarahan appendix berasal dari a.apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis
pada infeksi appendix akan mengalami gangren.2

Gambar 1. Anatomi Appendix vermiformis5

2
Gambar 2.2 a) Appendix vermiformis Normal; b) Appendix Yang Terinflamasi5

Gambar 2.3 Histopatologis Dari Mukosa Appendix vermiformis yang Terinflamasi5

Gambar 2.4 Variasi Letak Appendix vermiformis5

3
Appendix menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendix tampaknya berperan
pada patogenesis apendisitis.3
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendix, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendix
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe
disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh.3
2. Definisi Apendisitis
Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk
bedah abdomen darurat. Apendisitis adalah peradangan appendix yang
mengenai semua lapisan dinding organ tersebut.4
3. Insidensi
Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.
Apendisitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena
dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Apendisitis akut lebih sering
terjadi selama musim panas.5
Insidensi apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.5

4
4. Etiologi
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
appendix sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan
akibatnya terjadi infeksi. Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi
bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecalith. Fecalith
ditemukan pada sekitar 20% anak dengan apendisitis. Penyebab lain dari
obstruksi appendix meliputi:3
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit 3
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Apendisitis adalah
ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies
bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis yaitu3:
Tabel 2.1 Bakteri Penyebab Apendisitis
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

 Escherichia coli  Bacteroides fragilis


 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros
 Pseudomonas aeruginosa  Bilophila species
 Enterococcus  Lactobacillus species

Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi


fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
apendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendix.
Hiperplasia folikel limfoid appendix juga dapat menyababkan obstruksi
lumen. Insidensi terjadinya apendisitis berhubungan dengan jumlah
jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik
baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan
Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides,
Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Apendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau
sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien
dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi apendisitis akibat

5
perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga
dapat mengakibatkan obstruksi appendix, khususnya jika tumor berlokasi
di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin,
biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya apendisitis.
Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya
apendisitis.3
5. Patogenensis
Apendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi,
khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abses setelah 2-3 hari.3
Apendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara
lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing
(Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi
oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan.
Apendisitis mukosa

Sembuh
Apendisitis flegmentosa
(radang akut jaringan
mukosa)

Apendisitis dengan
nekrosis setempat

Apendisitis supurativa
Perforasi
(radang dengan
pembentukan nanah)

Apendisitis gangrenosa
(kematian jaringan)

Gambar 2.4 Diagram Patofisiologi Apendisitis

6
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis
apendisitis, khususnya pada anak-anak.6
Distensi appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf
visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri
awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10.
Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah,
dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu
sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri
untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya
peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke
dinding appendix; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat
kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat
eksudat inflamasi dari dinding appendix berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan
lokal pada lokasi appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang
timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral
sebelumnya. Pada appendix retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale
sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada
appendix retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendix
pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau
keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada apendisitis dapat
menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.6
Perforasi appendix akan menyebabkan terjadinya abses lokal atau
peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke
arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi.

7
6. Manifestasi Klinis
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali
dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar,
tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah.
Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan
penyakit.6,7
Variasi lokasi anatomis appendix dapat mengubah gejala nyeri
yang terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendix yang retrocecal atau
pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah atau pada titik
McBurney tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri
punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum
pada anak dengan apendisitis retrocecal arau pelvis.7
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare
sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat
iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan
adanya abses pelvis.6

Gambar 2.5 Titik McBurney Untuk Menentukan Posisi Appendix


Vermiformis
Jika inflamasi dari appendix terjadi di dekat ureter atau bladder,
gejala dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada
saat menahan kencing dan distensi kandung kemih.7
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam
setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi
akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala
gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya
mengindikasikan diagnosis selain apendisitis. Meskipun demikian, keluhan

8
GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada
anak dengan apendisitis.7
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -
38,5ºC). Jika suhu tubuh diatas 38,6º C, menandakan terjadi perforasi.
Anak dengan apendisitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan.
Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga
isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda
yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang.7
Anak dengan apendisitis biasanya menghindari diri untuk bergerak
dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang
lutut diflexikan. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang
menderita apendisitis, kecuali pada anak dengan apendisitis retrocaecal,
nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.7
Tanda perforasi appendix mencakup peningkatan suhu melebihi
38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan
fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala
dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin
lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis
difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak
omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk
terjadinya abses yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan
fisik.6
Tabel 2.2 Gejala Apendisitis Akut
Gejala Apendisitis Akut Frekuensi (%)
Nyeri perut 100
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian 50
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ
kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

9
7. Pemeriksaan Fisis
Pada apendisitis akut, tampak saat inspeksi sering ditemukan
adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa
ditemukan distensi perut. Pada auskultasi dapat terdengar peningkatan atau
penurunan dari peristaltik usus, dimana peningkatan terjadi jika terdapat
iritasi pada ileum terminal atau caecum, atau terdapat abses pelvis,
sedangkan pada penurunan bising usus terjadi jika terdapat iritasi dari
peritoneum parietalis dan meyebabkan ileus. Pada pemeriksaan palpasi,
akan didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah. 8
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
 Rovsing’s sign: Cara menimbulkan Rovsing’s sign yaitu dengan
menekan bagian perut yang jauh dari appendix di kuadran kiri bawah,
manuver ini akan meregangkan seluruh lapisan peritoneum yang akan
menimbulkan rasa sakit pada lokasi yang teriritasi. Dalam kasus
apendisitis, rasa sakit dirasakan di kuadran kanan bawah meskipun
tekanan ditempatkan di tempat lain. Kelainan ini diakibatkan karena
nervus yang menyampaikan nyeri pada bagian usus tidak terlokalisasi
dengan baik pada dinding abdomen, tidak seperti pada nervus di otot.
Ketika peradagan pada appendix vermiformis menjadi berat, maka
ini akan mengiritasi bagian dalam dari kavitas peritoneum, yang
merupakan lapisan jaringan tipis di bawah dinding otot abdomen.
Sehingga nyeri dapat terlokalisasi pada bagian yang sakit. Jika
tekanan diberikan pada otot abdomen atau fossa iliaka yang dekat
dengan appendix vermiformis yang sedang meradang, maka serat otot
pada area tersebut akan meregang dan memberikan rasa nyeri akibat
teriritasi. Jika rasa sakit di rasakan pada kuadran kanan bawah, maka
kemungkinan ada organ yang meradang pada kuadran kanan bawah.
Jika tekanan kuadran kiri bawah oleh pemeriksa hanya mengarah pada
nyeri sisi kiri atau nyeri di kedua sis kiri dan kanan, maka mungkin
ada beberapa etiologi patologis lainnya. Berbagai penyebab lainnya
yang mungkin berhubungan adaah vesika urinari, uterus, kolon
asendens, tuba fallopi, ovarium, atau struktur lainnya.8

10
Gambar 2.6 Rovsing’s Sign

 Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah
kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini
menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi
retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abses. Dasar
anatomis terjadinya psoas sign adalah appendix yang terinflamasi
yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat
dilakukan manuver ini.

Gambar 2.7 Psoas Sign

 Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian


gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada
cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga
pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk
menegakkan lokasi appendix yang telah mengalami radang atau
perforasi.

11
Gambar 2.8 Obturator Sign
Dasar anatomis terjadinya obturator sign adalah appendix yang
terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot
obturator internus pada saat dilakukan manuver ini.8

 Blumberg’s sign: atau nyeri rebound tenderness merupakan nyeri


yang timbul dari lapisan peritoneum ketika terjadi peregangan atau
adanya pergerakan. Cara melakukan Blumberg sign adalah dengan
melakukan penekanan secara perlahan – lahan dengan menggunakan
jari II, III, IV dan V pada kuadran kiri bawah abdomen, kemudian
menarik jari secara tiba – tiba sambil melihat ekspresi pasien dan
meminta pasien untuk memberitahu jika terasa nyeri, hasil positif jika
pasien merasakan nyeri pada regio kanan bawah abdomen. Jika nyeri
positif maka mengindikasikan peritonitis yang dapat terjadi pada
penyakit seperti pada peradangan pada appendix vermiformis.

Gambar 2.9 Blumberg’s sign


 Wahl’s sign: nyeri perkusi pada kuadran kanan bawah di segitiga
Sherren, dimana segitiga sherren merupakan segitiga appendix, yang

12
digariskan dengan garis – garis yang menghubungan antara punca
krista iliaka, tuberkulum pubis dan umbilikus , yang merujuk pada
area kulit yang hiperestesia (terjadinya hipersensitivitas kulit akibat
penyakit visceral) pada appendix yang terobstruksi, yang
mengindikasikan bahwa appendix membesar dan bisa perforasi kapan
saja.8

Gambar 2.10 Segitiga Sherren


 Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak
Appendix.
 Rectal toucher : Pada pemeriksaan rectal toucher akan terdapat nyeri
pada jam 9-12. Jika apendiks intrapelvinal, maka massa dapat diraba
pada sebagai massa yang hangat. Pemeriksaan rectal toucher
menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari
telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.1 Pada apendisitis pelvika
tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri
terbatas sewaktu dilakukan rectal toucher. Rectal toucher pada anak
tidak dianjurkan.

Gambar 2.11 Pemeriksaan Rectal Toucher

13
Selain dengan menggunakan beberapa manuver untuk menegakkan
apendisitis, semua penderita dengan suspek apendisitis akut dibuat skor
Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan >6.8

Tabel 2.3 Alvarado Scale untuk membantu menegakkan diagnosis


Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Keterangan:
0-4 : kemungkinan Apendisitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Apendisitis
7-8 : kemungkinan besar Apendisitis
9-10 : hampir pasti menderita Apendisitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor
>6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.
8. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90%
anak dengan apendisitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita
apendisitis berkisar antara 12.000-18.000/mm. Peningkatan persentase
jumlah neutrofil dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis
klinis apendisitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada
pasien dengan apendisitis.3
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan
apendisitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun

14
demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi
appendix terjadi di dekat ureter.3
 Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan
untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala
apendisitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG
lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang
merupakan kriteria diagnosis apendisitis akut adalah appendix dengan
diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix.3
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder
appendix sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel
disease. False negatif juga dapat muncul karena letak appendix yang
retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang
menghalangi appendix.3

Gambar 2.12 USG pada Appendix vermiformis Normal, Dan Yang Terinflamasi
 Appendikografi
Apendikografi adalah pemeriksaan secara radiografi pada bagian
apendiks dengan menggunakan BaSO4 (barium sulfat) yang
diencerkan dengan air (suspensi barium) dan dimasukkan secara oral
(melalui mulut). Pemeriksaan ini dapat membantu melihat anatomi
fisiologis dari apendiks ataupun kelainan pada apendiks berupa

15
adanya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen
apendiks. Keuntungan dari pemeriksaan ini dapat menegakkan
diagnosis penyakit lain yang menyerupai apendisitis.9
Terminologi dalam Apendikografi:9
 Filling atau positif appendicogram : Keseluruhan lumen apendiks
terisi penuh oleh barium sulfat. Sinar Roentgen tidak dapat
menembus barium sulfat tersebut, sehingga menimbulkan
bayangan dalam foto Roentgen, bila pasien meminum suspensi
tersebut dan tidak ada obstruksi pada pangkal apendiks kemudian
dipotret pada bagian apendiksnya, maka tergambarlah apendiks
oleh suspensi itu pada foto Roentgen.
 Partial filling: Suspensi barium sulfat hanya sebagian lumen
apendiks dan tidak merata.
 Non filling atau negative appendicogram : Kegagalan dari barium
sulfat untuk memasuki lumen apendiks
Indikasi dilakukannya pemeriksaan apendikografi adalah
apendisitis kronis atau akut. Sedangkan kontraindikasi dilakukan
pemeriksaan apendikografi adalah pasien dengan kehamilan trimester
I atau pasien yang dicurigai adanya perforasi. Apendiks yang normal
akan memberikan gambaran berupa pengisian penuh barium sulfat
pada lumen apendiks dan memiliki mukosa apendiks yang halus.9

Gambar 2.13 Appendix normal dengan pengisian penuh dengan kontras9


Temuan appendikografi pada appendisitis adalah: 1) non filling
appendix; 2) irregulitas nodularitis dari appendix yang memberikan
gambaran edema mukosa yang disebabkan oleh inflamasi akut; dan 3)

16
efek massa pada sekum serta usus halus yang berdekatan. Dari
pemeriksaan menggunakan barium, kriteria diagnosis apendisitis: (1)
non filling apendiks dengan desakan lokal sekum; (2) pengisian dari
apendiks dengan penekanan lokal pada sekum; (3) non filling
apendiks dengan adanya massa pelvis (kabur pada kuadran bawah
kanan dengan perubahan letak usus halus akibat desakan); (4) pola
mukosa apendiks irregular dengan terhentinya pengisian.9

Gambar 2.14 Non Filling Appendix dengan Asosiasi Kesan Massa Di Distal Ileum

Gambar 2.15 Partial Filling Appendix dengan Bagian Proksimal Appendix Dilatasi dan
Adanya Perhentian Pengisian Barium (panah besar)
 CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis apendisitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas
dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas,
presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abses, maka CT-scan
dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.7

17
Diagnosis apendisitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya.7

Gambar 2.16 a) CT Scan Abdomen Yang Menunjukan Penebalan Dinding Appendix


Yang Memberi Tampakan Target Sign; B) Distensi Appendix Dengan Cairan
Periappendiceal

9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Apendisitis dapat bervariasi tergantung dari
usia dan jenis kelamin.
Pada anak-anak balita : Intususepsi, Divertikulitis, & Gastroenteritis Akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia
dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan
Apendisitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan Apendisitis, tetapi
lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat
diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis
banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan apendisitis, yakni diare, mual,
muntah, dan ditemukan leukosit pada feses, namun tanpa adanya nyeri
pada kuadran kanan bawah.7
Pada anak-anak usia sekolah : Gastroenteritis,Konstipasi, Infark omentum.
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan
apendisitis, tetapi tidak dijumpai adanya nyeri pada kuadran kanan bawah.
Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-
anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam ataupun tanda – tanda
peradangan lainnya. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak

18
dan gejala-gejalanya dapat menyerupai apendisitis. Pada infark omentum,
dapat teraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah.7
Pada pria dewasa muda : Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa
muda adalah Crohn’s disease, kolitis ulserativa, batu ureter, dan
epididimitis.
Pada Crohn disease adalah salah satu penyakit radang usus kronis
yang menyebabkan terjadinya peradangan pada seluruh lapisan dinding
sistem pencernaan dari mulut hingga ke anus, akan tetapi umumnya
muncul pada bagian ileum dan kolon, dengan tanda berupa munculnya
nyeri perut setelah makan, diare yang muncul berkali – kali, feses yang
bercampur lendir dan darah, demam, dan muntah.
Pada kolitis ulersativa yang merupakan peradangan kronis yang
terjadi pada kolon dan rektum, dimana terdapat tukak atau luka di dinding
kolon sehingga menyebabkan feses dapat bercampur darah, dengan gejala
berupa diare yang diare disertai darah, lendir atau pus, nyeri pada perut
dan pada rektum, disertai penurunan berat badan, dan demam.
Pada batu ureter didapatkan nyeri kolik ureter yang juga dapat
dirasakan pada kuadran kanan tengah hingga bawah yang berulang dan
berdenyut, nyeri ditimbulkan akibat batu dari ginjal yang turun ke ureter,
dan dapat tersangkut pada 3 lokasi penyempitan pada ureter, nyeri juga
dapat disertai mual dan muntah.
Pada epididimitis adalah peradangan pada epididimis yang
merupakan sebuah saluran yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan
dan penyaluran sperma dengan manifestasi adanya pembengkakan pada
skrotum yang teraba hangat dan nyeri saat disentuh, disertai keluarnya
darah pada cairan sperma, dan nyeri saat buang air kecil, sering ingin
berkemih dan mengalami inkontinensia urin, dan dapat disertai munculnya
benjolan pada testis akibat penumpukan cairan, rasa tidak nyaman atau
nyeri pada perut muncul pada aera bawah atau dpat disekitar panggul. 7
Pada wanita usia muda :Diagnosis banding apendisitis pada wanita usia
muda lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik,

19
seperti pelvic inflammatory disease (PID),kehamilan ektopik (KET), kista
ovarium, dan infeksi saluran kencing.
Pada PID yang merupakan suatu infeksi yang terjadi pada serviks,
uterus, tuba fallopian, dan ovarium, yang biasanya diakibatkan oleh infeksi
menular seksual seperti chlamydia dan gonore, dengan gejala nyeri pada
perut bagian bawah, dapat disertai nyeri saat berkemih atau nyeri saat
koitus, disertai demam mual, dan muntah ataupun adanya fluor albus yang
dapat berubah warna menjadi kuning atau kehijuan, nyerinya dirasakan
bilateral.
Pada kehamilan ektopik dimana pertumbuhan fetus terjadi di luar
lingkungan uterus, atau biasanya tumbuh pada tuba fallopian, dengan
gejala nyeri pada abdomen bagian bawah disertai adanya perdarahan
ringan yang keluar dari vagina, mual dan muntah, dan rasa sakit pada
rektum saat buang air besar.
Pada kista ovarium yaitu munculnya suatu kantong berisi cairan
yang terbentuk di dalam ovarium, umumnya tidak menyebabkan gejala
dan dapat hiang sendiri dalam beberapa bulan, gejala kista ovarium yang
perlu diwaspadai antara lain perdarahan yang lebih banyak daripada
biasanya saat menstruasi, siklus menstruasi yang tidak teratur dan rasa
nyeri paa panggul, nyeri saat koitus, serta kesulitan buang air besar atau
buang air kecil.7

10. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan
merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada
apendisitis tanpa komplikasi, biasaya tidak perlu diberikan antibiotik,
kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata.
Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi.1
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan
laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak
dipilih. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya

20
dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan
ultrasnonografi dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat
keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada
kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau
tidak.1
- Teknik Operasi Open Appendectomy
Tidak ada standar insisi pada operasi laparotomi apendektomi
disebabkan karena appendix merupakan bagian yang bergerak dan
dapat ditemukan diberbagai area pada kuadran kanan bawah. Ahli
bedah harus menentukan lokasi appendix dengan menggunakan
penilaian fisik agar dapat menentukan lokasi inisisi yang ideal.10
Tindakan open apendektomi merupakan tindakan konvensional
dengan membuka dinding abdomen. Tindakan ini juga digunakan
untuk melihat apakah ada komplikasi pada jaringan appendix yang
terinfeksi melalui suatu insisi di regio kanan bawah perut dengan lebar
inisisi sekitar 2 hingga 3 inci. Setelah menemukan appendix yang
terinfeksi, appendix dipotong dan dikeluarkan dari rongga perut.10

21
Gambar 2.17 Variasi Tempat Insisi Appendiktomi
Komplikasi durante operasi pada teknik operasi ini adalah dapat
terjadinya perdarahan intraperitoneal, robekan sekum ataupun robekan
pada usus lainnya, sedangkan perdarahan pasca dilakukan tindakan
pembedahan ini adalah terjadi infeksi luka operasi, ileus paralitik,
fistel usus, dan timbulnya abses intraperitoneal.10
- Teknik Operasi Laparoskopi Appendectomy
Laparaskopi apendektomi merupakan tindakan bedah invasif
minimal yang paling banyak digunakan pada kasus appendicitis akut.
Tindakan apendektomi dengan menggukanan laparaskopi dapat
mengurangi ketidaknyamanan pasien jika menggunakan metode open
apendektomi dan pasien dapat menjalankan aktifitas paska operasi
dengan lebih efektif.11
Laparaskopi apendektomi tidak perlu lagi membedah rongga perut
pasien. Metode ini cukup dengan memasukan laparaskop pada pipa
kecil (yang disebut trokar) yang dipasang melalui umbilicus dan

22
dipantau melalui layar monitor. Selanjutnya dua trokar akan melakukan
tindakan pemotongan appendix.11
Tindakan dimulai dengan observasi untuk mengkonfirmasi bahwa
pasien terkena apendisitis akut tanpa komplikasi. Pemisahan appendix
dengan jaringan mesoappendix apabila terjadi adhesi. Kemudian
appendix dipasangkan dipotong dan dikeluarkan dengan menggunakan
forsep bipolar yang dimasukan melalui trokar. Hasilnya pasien akan
mendapatkan luka operasi yang minimal dan waktu pemulihan serta
waktu perawatan di rumah sakit akan menjadi lebih singkat.11

Gambar 2.18 Teknik Laparoskopi pada Apendiktomi


Komplikasi yang dapat terjadi dari prosedur ini yaitu terjadinya
cedera pembuluh darah epigastrik oleh trochar ataupun cedera yang
tidak diketahui dari pembuluh darah major selama proses dilakukannya
laparoskopi apendektomi.
11. Komplikasi Apendisitis Dan Penanganannya
1. Komplikasi Pre-operatif
 Massa periapendikuler
Definisi:
Massa periapendikular adalah salah satu komplikasi yang sering
terdapat pada pasien setelah beberapa hari mengalami apendisitis akut.
Massa appendix lebih sering terjadi pada pasien usia lima tahun atau
lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan

23
omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses
radang.1
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan
peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal
mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak
peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum.12
Manifestasi Klinis:
- Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5ºC, bila suhu
lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi.
- Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan
adanya penonjolan di perut kanan bawah.
Pemeriksaan Penunjang:
-Pemeriksaan laboratorium, pada darah lengkap didapatkan
leukositosis ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Pada pasien
dengan massa periapendikular inflitrat diobservasi selama 6 minggu
tentang pemeriksaan LED, massa periapendikuler dikatakan tenang
apabila:
- LED kurang dari 20
- Leukosit normal.
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
- Bila LED telah menurun kurang dari 40
- Tidak didapatkan leukositosis
- Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa
sudah tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
- Apakah penderita sudah bed rest total
- Pemberian makanan penderita
- Pemakaian antibiotik penderita
- Kemungkinan adanya sebab lain.

24
-Pada pemeriksaan urin,sedimen dapat normal atau terdapat leukosit
dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel
pada ureter atau vesika.
-Pemeriksaan radiologi, USG dilakukan khususnya untuk melihat
keadaan kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak
atau wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan ukuran
apendiks lebih dari normalnya.

Gambar 2.19 Gambaran USG pada Massa Periapendikular

Gambar 2.21 Abses appendix

Penatalaksanaan:
Pembedahan diindikasikan pada pasien dengan presentasi
atipikal dan temuan radiografi yang konsisten dengan apendisitis.
Managemen bedah pada massa apendikular masih kontroversial.

25
Penanganan non operatif awal di kenalkan oleh ochsner pada tahun
1901. Hal ini meliputi :
F regimen (Ochsner-Sherren Regimen)
 Fowler Position, dimana bagian atas dari tempat tidur dinaikkan 18
inchi, posisi ini bertujuan agar mengurangi komplikasi akibat
immobilisasi, meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga
meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru, mengurangi
kemungkinan tekanan pada tubuh akibat posisi yang menetap, dan
menjaga agar cairan bebas terkumpul pada titik terendah tubuh yaitu
cavum douglass.

Gambar 2.20 Posisi Fowler


 Fluids by mouth atau intravena, dimana air minum hanya diberikan
selama 4 hari, atau kadang lebih lama. Ini sangat ketat untuk ditaati,
jumlah air dingin yang diminum pasien tnapa batas, meskipun ia
tidak dianjurkan untuk minum lebih dari yang diperlukan untuk
memuaskan rasa hausnya. Sangat diinginkan untuk menjelaskan
kepada pasien bahwa mereka akan kelaparan, namun hal itu tidak
diperbolehkan. Pada hari kelima, jika denyut nadi dan suhu
membaik, makanan dapat diberikan dalam jumlah yang kecil seperti
daging sapi dalam jumlah kecil, kemudian kaldu, kemudian bubur
saring, dan kemudian sup. Jangan berikan susu sampai seminggu
setelah pasien baik – baik saja.

26
 Four hourly atau lebih sering, observasi nadi dan 2x sehari ukur
suhu.
 Feel, palpasi massa apakah mengecil atau makin membesar, usus
besar dibiarkan bergerak secara terbatas jika tidak bisa dibuka secara
alami. Pada hari ke empat atau ke lima berikan enema gliserol. Tidak
diberikan obat pencahar apapun sampai stadium resolusi selesai –
yaitu sampai suhu dan denyut nadi telah normal selama seminggu
dan tanda – tanda fisik yang lainnya tidak ada – maka parrafin cair
diberikan 2 drachm tiga kali sehari bisa diberikan.
 Forbidden durgs, semua obat terlarang, itu termasuk pemberian
morfin atau derivatifnya, namun untuk pemberian antibiotik tetap
diberikan sampai minimal 5 hari post operasi.
Managemen non operatif pada massa appendix membutuhkan
penilaian yang berkelanjutan terhadap perkembangan pasien.
Terdapatnya abses appendix harus dilakukan drainase selama
followup, appendektomi elektif di rekomendasikan setelah terjadi
resolusi massa appendix. Biasanya disarankan dengan periode interval
kira-kira 4-8 minggu.12
Apendektomi segera pada pasien dengan massa apendikular
adalah pilihan terapi konservatif konvensional. Tujuan utamanya
adalah perbaikan yang lebih awal dan kesembuhan total selama
serangan awal. Disisi lain hal ini memiliki komplikasi kira-kira 36%
pasien dengan massa appendix. Komplikasi yang sering setelah
apendektomi segera adalah infeksi luka, fistula intestinal, small bowel
obstruksi, abses intraabdomen, dan sepsis.12
Massa appendix bervariasi dari flegmon sampai abses dan ini
terbentuk 2%-6% kasus yang di awali dengan apendisitis akut. Pada
kasus abses appendix yang jelas tidak terdapat kontroversi terhadap
managemen nya. Operasi drainase segera (perkutaneus atau open)
adalah tatalaksana pilihan oleh sebagian besar spesialis bedah. Untuk
flegmon, dapat dilakukan beberapa pendekatan tatalaksana pilihan
dari konservatif sampai agresif. Terdapat tiga pendekatan yang

27
populer dilakukan untuk tatalaksana massa appendix. a) terapi
konservatif diikuti dengan apendektomi interval 6-8 minggu
kemudian, b) apendektomi segera jika terdapat resolusi massa
inflamasi, c) konservatif secara keseluruhan tanpa apendektomi
interval pada pasien dengan massa appendix.13
Masalah bagi ahli bedah adalah jika penderita ditemui setelah 48
jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang appendix yang
mungin gangrene dari dalam massa perlengketan ringan yang longgar
dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi
lebih terfiksasi dan vaskular, sehingga membuat operasi berbahaya
maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah di
drainase. Massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera
dioperasi unutk mencegah penyulit. Selain itu operasi lebih mudah.
Pada anak dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja.
Pada pasien dewasa dengan massa periapendikular yang
berdinding sempurna di anjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi
antibiotik sambil di awasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya
perionitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang,
dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi elektif
dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi,
akan terbentuk abses appendix. Hal ini di tandai dengan kenaikan
suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba
pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. Massa
appendix dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien di persiapkan, karena
ditakutkan terjadi abses appendix dan peritonitis umum.13
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya
mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi dari pada pembedahan
pada apendisitis sederhana dan tanpa perforasi. Pada periapendikular
infiltrat dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila
dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, terlebih jika massa

28
apendik telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit
perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi
abses dengan ataupun tanda peritonitis umum. Terapi sementara untuk
8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil,
dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, di anjurkan operasi segera. Bila pada
waktu membuka perut terdapat periapendikualr infiltrat maka luka
operasi di tutup lagi, appendix dibiarkan saja.13
Jika sudah terjadi abses, di anjurkan drainase saja dan
apendektomi dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata
tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan jasmani dan
laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, sangat di
pertimbangkan membatalkan tindakan bedah. Analgesik di berikan
hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam
akan mereda. Bila gejala menghebat tandanya terjadi perforasi maka
harus dipertimbangkan apendektomi. Batas dari massa hendaknya di
beri tanda (demografi) setiap ahri. Biasanya pada hari ke 5-7 massa
mulai mengecil dan terlokalisir.13
Jika massa tidak juga mengecil artinya sudah terjadi abses dan
massa harus segera di buka untuk di drainase. Cara dengan membuat
insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah
maksimum (incisi gridiron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal,
bila appendix mudah di ambil lebih baik di ambil karena appendix ini
akan menjadi sumber infeksi. Bila appendix sukar dilepas, maka
appendix dapat dipertahankan karena jika di apksakan akan ruptur dan
infeksi dapat menyebar. Abses di drainase dengan selang berdiameter
besar, dan dikeluarkan lewat samping peru. Pipa drainase didiamkan
selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain dapat
diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci setiap hari.
Antibiotik sistemik di lanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi.13

29
 Apendisitis perforata
Definisi:
Adanya fekalit dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil),
dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya perforasi appendix. Faktor yang mempengaruhi tingginya
insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya samar,
keterlambatan pengobatan berobat, adanya perubahan anatomi
appendix berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis.14
Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta
yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi
seluruh perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Abses rongga
peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokasisasi di suatu
tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma.14
Manifestasi Klinis:
-Nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen,
distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya
bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis
dan menyebabkan ileus.
-Demam >38º, hipotermia pada sepsis berat, takikardi, berkeringat,
takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya
dapat menjadi syok.
-Pemeriksaan fisik abdomen menunjukkan tanda:
 Distensi
 Abdominal tenderness
 Muscle guarding
 Bising usus menurun sampai menghilang
Pemeriksaan Penunjang:
-Pada pemeriksaan laboratorium darah, didapatkan peningkatan
leukosit >18.000/mm3.
-USG abdomen berguna untuk evaluasi darah kuadran kanan atas
(abses perihepatik, kolesistis, biloma, pankreatitis, psudokista
pankreatik), kuadaran kanan bawah, dan patologi pelvik (apenditis,

30
abses tubo-ovarian, abses cavum Douglas).Keterbatasan USG: bila
pasien gelisah, distensi abdomen, dan bila banyak gas/udara dalam
saluran cerna. Dapat mendeteksi adanya asites dan aspirasi cairan
dengan panduan USG

Gambar 2.22 Gambaran USG pada Apendisitis Perforasi


Penatalaksanaan:
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan
dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian
antibiotik sistemik.14
Penanganan preoperatif:
 Resusitasi cairan, peradangan yang menyeluruh pada membran
peritoneum menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke
dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial. Pengembalian
volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular
sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan
status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat
penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed
Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid
harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.
 Antibiotik, bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat
dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan
Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob

31
yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terapi
peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat
melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-
kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2)
penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya
kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih
efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan
setelah operasi. Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin
generasi ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin
untuk organisme anaerob.
 Oksigen dan ventilator, pemberian oksigen pada hipoksemia ringan
yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada
peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya
infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat
diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan
untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan
meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2)
hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3)
adanya nafas yang cepat dan dangkal.
 Intubasi, Pemasangan kateter urin, dan monitoring hemodinamik,
pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting
mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk
mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin.
Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate)
dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative
termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali
fosfatase dan urinalisis.

32
Penanganan operatif:
 Kontrol sepsis, tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis
adalah untuk menghilangkan semua material-material yang
terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah
komplikasi lanjut.
 Peritoneal lavage, pada peritonitis difus, lavage dengan cairan
kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-
material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin,
povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan secara parenteral akan
mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada
efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi,
lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan
depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini
menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan
lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena
dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan
benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.
 Peritoneal drainage, penggunaan drain sangat penting untuk abses
intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup
banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan
tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan
penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan
kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat
mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya
abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau
pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk
peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat
direseksi.

33
Penanganan postoperatif: Monitor intensif, bantuan ventilator,
mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil. Tujuan utama adalah
untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ
vital, dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian
cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan
produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus
menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan
bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan
kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder.
2. Komplikasi Post-Operatif
 Infeksi luka operasi(wound infection): merupakan komplikasi dini yang
paling sering pada apendisitis perforasi dengan tindakan apendektomi.15
a. Infeksi Luka Operasi Insisional Superfisial,merupakan infeksi yang
terjadi pada waktu 30 hari setelah operasi dan infeksi tersebut hanya
melibatkan kulit dan jaringan subkutan pada tempat insisi dengan
setidaknya ditemukan salah satu tanda sebagai berikut :
1. Terdapat cairan purulen
2. Ditemukan kuman dari cairan atau tanda dari jaringan superfisial
3. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda inflamasi
4. Dinyatakan oleh ahli bedah atau dokter yang merawat15
b. Infeksi Luka Operasi Insisional Dalam, merupakan infeksi yang
terjadi dalam waktu 30 hari paska operasi jika tidak menggunakan
implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi
tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan
jaringan yang lebih dalam ( contoh, jaringan otot atau fasia ) pada
tempat insisi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :
1. Keluar cairan purulen dari tempat insisi
2.Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada
tanda inflamasi

34
3. Ditemukannya adanya abses pada reoperasi, patologi anatomi
atau radiologis15
c. Infeksi Luka Operasi Organ/Ruang merupakan infeksi yang terjadi
dalam waktu 30 hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau
dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut
memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu
bagian anotomi tertentu (contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi
yang dibuka atau dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya
terdapat salah satu tanda :
1. Keluar cairan purulen dari drain organ dalam
2. Didapat isolasi bakteri dari organ dalam
3. Ditemukan abses
4. Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter15
o Tatalaksana:
Penatalaksanaan ILO tergantung jenis luka yang dialami
pasien. Penatalaksanaan ILO superfisial adalah dengan membuka
jahitan pada luka, mendrainase pus, membuang jaringan yang
sudah mati dan dibalut dengan kassa steril. Pemeriksaan kultur
perlu dilakukan sebelum memberikan terapi antibiotik, kultur darah
mampu membantu mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi atau
radang. Analisis cairan peritoneal jika cairan menumpuk di dalam
perut, dokter dapat menggunakan jarum/swab untuk mengambil
beberapa sediaan sedimen dari cairan yang dihaslilkan pada infeksi
luka operasi dan mengirimkan sampel ke laboratorium untuk
analisis cairan. Kultur cairan juga bisa membantu mengidentifikasi
bakteri. Antibiotik diberikan jika pasien mengalami imunosupresif
dan atau selulitis melebihi 2 cm dari tepi luka.
Penatalaksanaan ILO luka dalam dapat dilakukan dengan
drainase perkutan jika tidak ditemukan sumber infeksi yang
berkelanjutan seperti perforasi saluran pencernaan. Sumber infeksi
seperti perforasi memerlukan tindakan operasi eksplorasi

35
Ada beberapa metode pengobatan yang digunakan untuk
mengobati infeksi luka operasi, yaitu:15
 Antibiotik
Obat ini digunakan untuk mengobati sebagian besar luka
infeksi dan menghentikan penyebarannya. Lamanya waktu
pengobatan dengan antibiotik bervariasi namun biasanya
berlangsung paling sedikit 1 minggu. Jika luka atau area
infeksi kecil dan dangkal, maka antibioktik yang digunakan
berbentuk krim, seperti fusidic acid.
Antibiotik juga dapat diberikan dalam bentuk suntikan
atau tablet. Beberapa jenis antibiotik yang paling umum
dipakai, antara lain:
- Co-amoxiclav
- Clarithromycin
- Erythromycin
- Metronidazole
Beberapa luka yang terinfeksi oleh bakteri methicilin –
resistant Staphylococcus aureus (MRSA) akan tahan terhadap
antibiotik yang umumnya digunakan, sehingga memerlukan
antibiotik khusus.
 Prosedur operasi invasif15
- Membersihkan luka dengan menghilangkan jaringan mati
atau terinfeksi pada luka (debridement);
- Membersihkan luka dengan larutan garam atau salin;
- Mengalirkan nanah atau abses jika ada;
- Menutup luka (jika berlubang) dengan kassa steril yang
dibasahi dengan larutan saline.
 Ileus postoperatif
Ileus postoperatif dapat muncul akibat pemberian makanan via
oral secara dini setelah operasi, hal ini dapat mengakibatkan
stimulasi reflex yang dapat menghasilkan aktifitas gerak usus. Ileus
postoperatif yang dapat terjadi adalah ileus paralitik.16

36
o Tatalaksana:16
Penggunaan antagonis reseptor µ-opioid yang dapat
menghambat aksi opiat dalam menghambat motilitas
gastrointestinal tanpa mempengaruhi kerja opiat sebagai anti
nyeri. Sebuah penelitian doubled blind, placebo-controlled trial
menyebutkan bahwa kelompok pasien post reseksi usus halus
dan usus besar yang diberi antagonis reseptor µ-opioid
pergerakan usus terjadi lebih cepat, lebih cepat flatus dan dapat
menkonsumsi makanan padat. Antagonis reseptor µ-opioid
diberikan dengan dosis 12 mg 30-90 menit sebelum operasi
dan dua kali sehari setelah operasi selama 7 hari. Contoh obat
dari antagonis reseptor µ-opioid adalah alvimopan (entereg).
 Perdarahan postoperatif:17
o Cedera pembuluh darah epigastrik akibat trocar
o Dari hemostasis inadekuat selama prosedur operatif
o Cedera yang tidak diketahui pada pembuluh darah major
selama laparoskopi appendectomy
Manajemen: emobolisasi transarterial atau eksplorasi
Embolisasi adalah pengobatan minimal invasif yang
mengoklusi atau memblok satu atau lebih pembuluh darah atau
saluran vaskuler yang mengalami kelainan atau malformasi.
Suatu prosedur embolisasi akan menempatkan agen
embolan melalui kateter pada pembuluh darah (feeding
artery) utama dari target dan mencegah aliran darah ke tempat
tersebut.
Agen embolan yang sering digunakan adalah: 1) Polivinil
alkohol (PVA); 2) Gelfoam; 3) Coil; 4) detachable balloon.
Infikasi tindakan embolisasi yaitu untuk mengontrol
perdarahan yang biasanya terjadi pada traktus gastrointestinal,
ginjal, hepar, paru, pelvis, ruang retroperitoneal, ataupun
ekstremitas, devaskularisasi dari tumor, AV fistula dan
malformasi serta aneurism, adanya ablasi organ atau jaringan,

37
untuk melakukan modifikasi aliran darah, serta lokalisasi
angiodisplasia usus halus.

38
BAB III
PENUTUP

. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering


ditemukan pada anak-anak dan remaja. Apendisitis akut merupakan masalah
pembedahan yang paling sering dan apendektomi merupakan salah satu operasi
darurat yang sering dilakukan diseluruh dunia. Faktor potensialnya adalah diet
rendah serat dan konsumsi gula yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi.
Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita.
Insidensi apendisitis lebih tinggi pada anak kecil dan lansia.
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.
Pada apendisitis akut, tampak saat inspeksi sering ditemukan adanya
abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut. Pada auskultasi dapat terdengar peningkatan atau penurunan dari peristaltik
usus, dimana peningkatan terjadi jika terdapat iritasi pada ileum terminal atau
caecum, atau terdapat abses pelvis, sedangkan pada penurunan bising usus terjadi
jika terdapat iritasi dari peritoneum parietalis dan meyebabkan ileus. Pada
pemeriksaan palpasi, akan didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah.
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi, biasaya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis
gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong, W., Sjamsuhidajat, R.,(editor). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
Revisi. EGC: Jakarta.
2. Mansjoer, Arif, dkk (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. EGC: Jakarta.
3. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Jilid II. EGC : Jakarta.
4. Sabiston, Devid C. 1994. Buku Ajar Bedah. EGC:Jakarta.
5. She Warts, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. EGC:
Jakarta.
6. Brunicardi, F.C., Anderson, D.K., Billiar, T.R., Dum, D.L., Hunter, J.G.,
Mathews, J.B., Podlock, R.E., 2010. The Appendix dalam Schwartz's
Principles of Surgery9th Ed. USA:The McGraw Hill Companies. p: 2043-74.
7. Grace, P.A., Borley, N.R. Apendisitis Akut dalam At A Glance. Jakarta:
Erlangga; 2006. p:106.
8. Saputra, L. 2002. Mulut dan Gastrointestinal dalam Intisari Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara. h:380.
9. Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, A.L., 2007. Rongga Perut dan Saluran
Gastrointestinal dalam Buku Ajar Patologi Ed.7. Jakarta: EGC. h:660-61.
10. Tjandra, J.J., 2006. The Appendix and Meckel’s Diverticulum dalam Textbook
of Surgery 3rd Ed. UK: Blackwell Publishing Ltd. p:179.
11. Morris, J.A., Sawyer. J.L. 1995.Abdomen Akuta dalam Buku Ajar Bedah
(Sabiston’s Essential Surgery). Jakarta:EGC. h:497.
12. Lugo VH. Periappendiceal mass. Pediatric surgery update. Vol 23 no 03
september 2004.
13. Itskowiz MS, jones SM. Appendicitis. Emerg med 36 (10): 10-15.
www.emergmed.com
14. Kalola J, HapaniH, Trivedi A, Yadav M. Utrasound evaluation of
appendicular pathologies. Sholar journal of applied medical sciences. 2014.
www.saspublisher.com
15. Appendicitis. WebMD LLC; c1994-2014 [Updated: Jul 21, 2014, cited Feb
2016]. Available from:http://emedicine.medscape.com/article/773895-
overview#aw2aab6b2b7aa.
16. Kaya B, Sana B, Eris C, Kutanis R. Immediate appendectomy for appendiceal
mass. Turkish journal of trauma and emergency surgery. 2012
17. Garba ES, Ahmed A. Management of appendiceal mass. Annals of african
medeicine. Vol 7, no 4, 200-204, 2008

40

Anda mungkin juga menyukai