Unm Digilib Unm Andifatima 356 1 Sejarah A PDF
Unm Digilib Unm Andifatima 356 1 Sejarah A PDF
PERKEMBANGAN
SASTRA INDONESIA
Pendahuluan 1
SEJARAH PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA
Hak Cipta @ 2016 oleh Andi Muhammad Junus & Andi Fatimah Junus
Hak cipta dilindungi undang-undang
SAMBUTAN REKTOR
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
Pendahuluan 3
Salah satu kegiatan yang sangat didambakan ialah penulisan dan
penerbitan buku ajar oleh para tenga ahli yang ada dalam lingkungan
perguruan tinggi ini. Kurangnya buku ajar yang berbahasa Indonesia
sangat dirasakan, baik oleh para mahasiswa maupun para dosen.
Terbitnya buku yang berjudul “ Sejarah Perkembangan Sastra
Indonesia ” kami sambut dengan baik, diiringi rasa syukur yang
sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Buku yang ditulis oleh Drs. H. Andi Muhammad Junus, M.Hum.
dan Andi Fatimah Junus, S.Ag.M.Pd. ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai acuan utama dalam perkuliahan yang relevan.
Oleh sebab itu, atas nama pimpinan Universitas Negeri Makassar
mengharapkan kehadiran buku ini dapat bermanfaat. Semoga Tuhan
tetap memberkati kita semua dalam melaksanakan tugas dan
pengabdian masing-masing.
Pendahuluan 5
DAFTAR ISI
Dari Penerbit i
Sambutan Rektor ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Penggunaan Istilah Sastra dan Kesusastraan 1
B. Sastra dan Kebudayaan 3
C. Bahasa dan Sastra 6
D. Masyarakat Lama dan Masyarakat Baru 9
E. Batas Waktu Antara yang Lama dan yang Baru 13
BAB V ANGKATAN 45 95
A. Chairil Anwar 98
B. Asrul Sani 104
C. Rivai Apin 108
D. Idrus 110
Pendahuluan 7
BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan 11
Cultuur, is de door de redelijke mens geleide ontwikkling van
mogelijkheden en krachten der natuur, vooral der menselijke natuur, zodat ze
een harmonisch geheel vormen.
'Kebudayaan ialah perkembangan dari segala kemungkinan-kemungkinan
dan tenaga alam, terutama alam manusia, yang diusahakan oleh manusia
sendiri dengan sadar dan teratur, sehingga merupakan kesatuan yang
harmonis, selaras atau seimbang.'
Juga, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang tokoh kebudayaan Indonesia,
mengatakan bahwa kebudayaan ialah penjelmaan cara berpikir dari
sekumpulan manusia pada suatu tempat dan suatu ruang.
(Gazali, 1958 : 11)
Prof. Dr. PH. O. L. Tobing c.s. (1961 : 69 - 70) berpendapat bahwa
kebudayaan itu adalah hasil usaha manusia sedapat mungkin mengolah atau
mengikuti kosmos dan tata-tertibnya, dalam mana termasuk juga manusia,
sedemikian rupa sehingga manusia memperoleh penghidupan yang lebih
harmonis dan yang lebih tinggi, baik di dalam lapangan kerohanian maupun
di lapangan kebendaan.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa di dalam dunia modern sedapat
mungkin orang menjauhkan diri dari kosmos dan tata-tertibnya. Orang
menganggapnya untuk sebagian besar sebagai objek dan harus dipelajari
agar dapat dipakai untuk kepentingan sendiri.
Lain sekali di dunia sederhana. Di sini adalah paling ideal sedapat-
dapatnya mengikuti kosmos dan tata-tertibnya. Orang menganggap dirinya
untuk sebagian besar hanya bagian dari kosmos dan tata tertibnya. Oleh
karena itu, dia merasa dirinya aman dan sentosa, jikalau di dalam segala
pikiran dan tindakannya dia sedapat-dapatnya mengusahakan jangan sampai
menyimpan dari kosmos dan tata-tertibnya.
Kebudayaan adalah ciptaan manusia
Pendahuluan 13
Kalau Tuhan menciptakan alam, manusia menciptakan seni
(Muhammad Iqbal: 1966 : XV)
Iqbal sebagai penyair, ahli pikir, dan filosof besar pernah berpesan:
Kukatakan kepadamu tanda seorang Mu’min
Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir
Dalam tahun 1905 atas saran gurunya, Sir Thoman Arnold, Iqbal
melanjutkan studinya ke Eropa, yang kemudian berhasil mencapai
Pendahuluan 15
BAHASA BERSIFAT ELASTIS
Bahasa adalah bentuk ekspresi (atau seperti kata orang: fungsi)
pemikiran. Namun pemikiran tidak dapat maju kalau bahasa tidak
mengikutinya. Untuk memenuhi pengabdian-pengabdian yang dituntut
oleh pikiran, bahasa adalah sarana penolong yang paling berguna bagi
kita, tetapi sempurna, bahasa itu tidak demikian halnya. Pikiran selalu
menginginkan lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan bahasa.
Namun bahasa memiliki elastisitas yang besar, dan kemungkinan-
kemungkinan pengembangannya banyak sekali.
(Dr. A. G. Van Hamel, 1972 : 13)
Pendahuluan 17
Sifat masyarakat lama yang terpenting ialah sebagai berikut.
1. Perasaan persatuan yang kukuh antara anggota-anggotanya, yang
antara sesamanya tidak banyak berbeda dan sekaliannya dapat
memenuhi keperluannya tentang rohani dan jasmani dalam lingkungan
masyarakat itu.
2. Adat yang timbul di masa yang silam dan berakar kepada kepercayaan,
kepada agama (kepada dunia yang gaib dan sakti) melingkupi dan
menguasai segala cabang kehidupan, yang padu bersatu.
3. Oleh sifat-sifat yang di atas masyarakat tiada bergerak, pertentangan
antara orang dan golongan sangat sedikit, karena sekaliannya sudah
tetap watas-watasnya.
(Alisjahbana, 1961: 5)
Lahirnya Masyarakat Baru
Masyarakat lama yang bersifat statis, lama kelamaan berubah
menjadi masyarakat baru. Faktor utama terjadinya perubahan sifat adalah
sebagai berikut.
1. Pengaruh Agama Islam
Agama Islam membawa corak yang lain, ia sangat mengutamakan
manusia seorang-seorang, tanggung jawab dan kewajibannya masing-
masing.
Perhatikanlah Firman Allah SWT.
38. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya
(Al- Muddassir, 74: 38)
MUSHAF AN-NUR AL-KUR'AN
TERJEMAHAN PER KATA
Perhatikan juga Firman Allah SWT. di bawah ini.
41. Sungguh, kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dengan
membawa kebenaran untuk manusia, barang siapa mendapat petunjuk
maka (petunjuk itu) untuk dirinya, dan siapa sesat maka sesungguhnya
kesesatan itu untuk dirinya sendiri, dan engkau bukanlah orang yang
bertanggung jawab terhadap mereka.
(Surat Az-Zumar, 39 : 41)
MUSHAF AN-NUR AL-KUR'AN
TERJEMAHAN PER KATA
Pendahuluan 19
beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma,
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
(Percikan Permenungan, 1924)
(Dieja menurut EYD)
Pendahuluan 21
Abdullah dilahirkan kira-kira dalam tahun 1796; dari kecil ia
penyakitan. Mula-mula ia diobati oleh seorang tabib bangsa Keling, kemudian
oleh dukun Melayu; ia tetap penyakitan. Ia pernah dijual kepada beberapa
orang ibu dengan pengharapan, ia dipanjangkan Tuhan umurnya.
Sejak umur tujuh tahun, Abdullah suka sekali bermain-main dengan kalam
dan tinta di rumah.
Dalam otobiografinya, Hikayat Abdullah, Abdullah menceritakan
dirinya bahwa setelah ia agak besar ia disekolahkan di bawah asuhan
neneknya, yang mengepalai sekolah sendiri. Bapaknya sangat keras
didikannya, sebab itu ia amat takut berhadapan dengan bapaknya. Sampai
Abdullah menginjak dewasa tidak pernah bapaknya memberi hati atau
memperlihatkan kasih sayang kepadanya.
Pada hari tuanya, Abdullah berhasrat mengunjungi Tanah Suci,
Mekah, dan menyaksikan keadaan tanah Arab dengan matanya sendiri,
tetapi malang ia meninggal di Djeddah dalam tahun 1854 kira-kira dalam
umur enam puluh tahun. Dalam perjalannya ke Djeddah itu ditulisnya: Kisah
Perjalanan Abdullah ke Negeri Djeddah.
Pendahuluan 23
Dalam buku Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Duapuluhan
(Fachruddin Ambo Enre, 1963: 11) tercantum:
1) Sastra Indonesia baru ada sesudah Proklamasi Kemerdekaaan 1945.
2) Sastra Indonesia baru ada sesudah Sumpah Pemuda 1928.
3) Sastra Indonesia sudah mulai pada awal tahun duapuluhan.
Pendapat pertama di atas dikemukakan oleh Slametmuljana. Ia
menyangkut-pautkan nama negara Indonesia dengan nama sastra Indonesia.
Sastra sebelum proklamasi kemerdekaan 1945 semuanya masih digolongkan
sastra daerah.
Pendapat kedua di atas dikemukakan oleh Umar Junus. Ia menyangkut-
pautkan nama Sumpah Pemuda dengan nama sastra Indonesia. Ia
beranggapan bahwa sastra Indonesia baru ada sesudah Sumpah Pemuda
1928. Tidak ada sastra tanpa bahasa, ini benar. Jadi, sastra Indonesia baru
ada sesudah ada bahasa Indonesia. Apakah Sumpah Pemuda yang
melahirkan bahasa Indonesia? Secara logika tidak mungkin peristiwa
Sumpah Pemuda serta merta mengubah wujud bahasa, dari bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia.
Menurut pendapat A. S. Broto (1980: 19) bahwa dalam kongres pemuda
yang kedua, 28 Oktober 1928 dikumandangkan Sumpah Pemuda yang
sangat terkenal itu, dan nama bahasa Melayu diganti dengan bahasa
Indonesia.
Jadi, sebelum Sumpah Pemuda 1928 sudah ada bahasa yang
dipergunakan sebagai unsur sastra, yang akan diresmikan namanya menjadi
bahasa nasional Indonesia. Sastra yang dimaksud adalah sastra Indonesia.
Pendapat ketiga di atas dikemukakan oleh Fachruddin Ambo Enre (1963: 19).
Ia berpendapat bahwa ditinjau dari sudut bentuk, bahasa, dan isinya,
kesusastraan yang muncul pada masa-masa duapuluhan ini jelas
menunjukkan adanya pengaruh kesusastraan Barat; isinya mencerminkan
keadaan masyarakat zamannya, masyarakat Indonesia yang sedang
mengalami pertumbuhan; gaya bahasa dan perbendaharaan kata-katanya
tidak lagi serupa dengan bahasa di zaman Abdullah bi Abdulkadir Munsji.
Jadi, kenyataan cukup memberikan hak kepada kita untuk menetapkan
munculnya suatu zaman baru, zaman kesusastraan Indonesia.
Sehubungan dengan pendapat ketiga pengamat sastra di atas
tentang masa mula sastra Indonesia, H. B. Jassin mengatakan bahwa
Angkatan 20-an lahir dalam zaman Balai Pustaka (1908) dengan terbitnya
roman Siti Nurbaya (1922). Bahkan sebelum terbitnya roman Siti Nurbaya,
Pendahuluan 25
BROSUR H. B. JASSIN
pameran
dokumentasi
kesusastraan Indonesia
sebuah perkenalan umum
Pendahuluan 27
diselewengkan dari Pancasila dan diciptakan Pancacinta yang menggegerkan
golongan agama dan guru-guru yang sadar ketuhanan yang maha esa.
Hamka yang berpengaruh besar di kalangan Islam dan pernah
mengecam cara-cara komunis yang tidak fair, diserang dan diciptakan issue
plagiat Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Ia difitnah hendak meruntuhkan
pemerintahan Soekarno hingga dijebloskan dalam tahanan. Lalu menyusul
issue penolakan hadiah sastra tahun 1962 dan pengganyangan film Amerika.
Sadar akan bahaya yang mengancam kebudayaan dan sendi-sendi negara
yang berdasarkan Pancasila, maka para cendekiawan, pengarang , dan
seniman mencetuskan Manifes Kebudayaan dan menghimpun para
pengarang dan kebudayaan dari seluruh tanah air dalam suatu konperensi
yang disebut Komperensi Karyawan Pengarang Indonesia, disingkat KKPI.
Ini adalah satu perlawanan total dan frontal dari golongan kebudayaan dan
dalam usahanya untuk mematahkan perlawanan ini pihak Lekra/PKI berhasil
melalui menteri kiri P. P. & K. Profesor Prijono mendesak Presiden Soekarno
untuk melarang Manifes Kebudayaan dengan dalih membahayakan jalannya
revolusi.
Tapi terbukti, katahati nurani bangsa tidak dapat didiamkan,
kezaliman tidak dapat berjalan lama. Dengan meletusnya Gestapu tanggal 30
September 1965, bangkitlah rakyat yang telah bertahun-tahun diteror
sebelumnya lahir dan batin dan timbul angkatan baru, Angkatan 66.
Angkatan 66 tampil dalam demonstrasi-demonstrasi beberapa bulan
sesudah meletusnya Gerakan 30 September atau Gestapu yang didalangi
oleh PKI. Di tengah-tengah keriuhan tuntutan mahasiswa dan pelajar,
terdengarlah suara penyair yang mengumandangkan hati nurani rakyat.
Seperti juga Angkatan Pudjangga Baru dan Angkatan 45, pun
Angkatan 66 tidak sekaligus diterima kehadirannya oleh semua golongan.
Meskipun diakui adanya Angkatan 66 dalam masyarakat, sebagian orang
meragukan adanya dalam kesusastraan, sebab apakah kriterium
kesusastraan yang dapat dipakaikan padanya? Maka ramailah polemik dan
kontra setelah tulisan H. B. Jassin dalam majalah Horison bulan Agustus
1966, .memproklamirkan bangkitnya suatu generasi baru dalam
kesusastraan.
Tapi setudju atau tidak setudju orang telah mempermasalahkannya
dan pengarang-pengarang angkatan baru ini terus membuktikan adanya
dengan karya-karyanya. Tulisan-tulisan mereka memenuhi majalah-majalah
baru Horison, Sastra (landjutan), Tjerpen, Gelanggang, Budaja Djaja,
Pendahuluan 29
Deru Campur Debu
Tega Menguak Takdir
5. Angkatan 66
Pamflet-pamflet mahasiswa dan pelajar, Show of Force Karya-karya
Angkatan 66
- Taufik Ismail
- Bur Rasuanto
- Mansur Samin
Juga dipamerkan masalah:
- Lekra
- Heboh Tenggelamnya Kapal van der Wijck
- Heboh Hadiah Sastra 1962
- Manifes Kebudayaan
- Komperensi Karyawan Pengarang Indonesia
Pendahuluan 31
Ada di antaranya yang langsung diterbitkan berupa buku, seperti Gembala
Domba (De Schaapheder, karangan Oltmans), Tiga Panglima Perang (De
Drie Musketiers, karangan Alexandre Dumes), ada pula yang melalui bentuk
fenilleton dalam Pandji Pustaka, seperti misalnya Belut Kena Randjau oleh
Baronesse Orezy, Musuh dalam Selimut oleh Agatha Christie.
Zuber Usman (1959 : 28 - 29) mengatakan bahwa Dr. D. A. Ringkes,
Kepala Balai Pustaka yang mula-mula dalam suatu peringatan, yaitu ketika
Ratu Welhelmina cukup 25 tahun di atas tahta, pernah menerangkan sebagai
berikut: 'Dalam masa 25 tahun yang baru lalu ini, politik pengajaran
pemerintah amat berubah. Dahulu, yang dipentingkan hanya akan
mengadakan pegawai yang agak pandai untuk jabatan negeri. Sekarang
pengajaran rendah itu terutama untuk memajukan kecerdasan rakyat. Tetapi
pengajaran itu belum cukup, tambahan lagi haruslah dicegah janganlah
hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berpikir yang dibangkitkan
itu mendatangkan hal yang kurang baik dan janganlah daya upaya itu
dipergunakan untuk hal-hal yang kurang patut, sehingga merusak ketertiban
dan keamanan negeri.
Hasil pengajaran itu dapat juga mendatangkan bahaya, kalau orang
yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya
dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang
bermakud hendak mengacau.
Oleh sebab itu, bersama-sama dengan pengajaran membaca itu
serta untuk melanjutkan atau menyambung pengajaran itu, maka haruslah
diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada
membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib
dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan segala yang dapat
merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.'
Hal tersebut di atas itulah menjadi alasan sehingga dalam tahun
1908 didirikan oleh Pemerintah kolonial: Commissie voor de Inland sche
School en Volkslectuur, anggotanya terdiri atas 6 orang dan diketuai oleh Dr.
G. A. J. Hazeu. Tugas mereka ialah akan memberi pertimbangan kepada
Kepala Pengajaran (Directuur Onderwijs) dalam hal memilih karangan-
karangan yang baik untuk dipakai di sekolah-sekolah dan untuk dijadikan
bacaan rakyat.
Komisi tersebut di atas itulah yang kemudian menjadi Balai Pustaka
dalam tahun 1917, yang bertujuan: 1) mengadakan saingan atau hendak
mencegah buku-buku yang telah mulai banyak di keluarkan orang, terutama
A. Merari Siregar
Merari Siregar pernah menjadi murid sekolah guru (Kweekschool)
Gunung Sari Jakarta. Sekitar tahun 1920.
Karangannya:
1. Azab dan Sengsara (1920)
2. Si Djamin dan si Djohan (saduran dari bahasa Belanda)
Buku kesusastraan Indonesia baru yang mula-mula diterbitkan oleh Balai
Pustaka ialah Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar dalam tahun
1920.
Kemudian, ia juga pernah bekerja jadi pegawai tata usaha Rumah Sakit
Umum Negeri Jakarta.
Pendahuluan 33
sebuah cerita asli dan dianggap roman modern yang pertama yaitu Azab dan
Sengsara karangan Merari Siregar.
Penulis inilah yang pertama-tama menyusun bentuk roman modern
yang bertema kawin paksa. Dalam roman ini, ia menceritakan bagaimana
berlakunya adat-istiadat lama, yang tak lekang di panas dan tak lapuk di
hujan, yang tidak boleh diubah-ubah; serta dikemukakan pula akibat-
akibatnya yang menimbulkan kesengsaraan.
Ringkasan Ceritanya
Pelakunya:
Mariamin dan Amiruddin (anak muda yang saling mencintai)
Sutan Baringin (Ayah Mariamin)
Nuria (Ibu Mariamin)
Ibu Amiruddin
Hubungan kekeluargaan pelaku:
Mariamin sepupu-sekali dengan Aminuddin
Sutan Baringin bersaudara dengan Ibu Aminuddin
Sutan Beringin sepusaka dengan Baginda Mulia
Cerita tentang azab dan sengsara ini terjadi di Sipirok di daerah Tapanuli.
Pelaku utamanya ialah Mariamin dan Aminuddin. Karena pergaulan mereka
sejak masih kecil, akhirnya kedua anak muda ini saling mencintai.
Aminuddin ingin memperisterikan Mariamin. Oleh karena itu, ia pergi ke
Medan untuk mencari pekerjaan sesudah ia mengikat janji dengan Mariamin.
Selain itu, ibu Mariamin berpengharapan dengan perkawinan itu nanti dapat
memperbaiki nasib Mariamin, yang sejak lahir selalu dirundung malang;
selalu hidup dalam kemiskinan.
Bapak Aminuddin seorang kepala kampung yang kaya dan disegani.
Kekayaan dan kedudukannya itu diperoleh dari hasil usahanya dan hubungan
baiknya dengan penduduk yang dikepalainya.
Sebaliknya, keluarga Mariamin termasuk keluarga yang sangat miskin
dan penuh penderitaan. Hal ini terjadi akibat dari kesombongan dan
keserakahan Sutan Baringin (ayah Mariamin) ipar Baginda Mulia (ayah
Aminuddin).
Pada mulanya, juga Sutan Baringin termasuk orang kaya dan juga
bangsawan di Sipirok. Akan tetapi, semua kekayaannya itu habis. Ia jatuh
miskin karena selalu berperkara. Hal ini terjadi ketika ia berperkara dengan
sepusakanya yaitu Baginda Mulia (iparnya sendiri) tentang harta pusaka
Pendahuluan 35
dipukulnya, sehingga perempuan yang malang itu terpaksa mengadu dan
minta tolong kepada polisi.
Pada akhirnya, Mariamin minta bercerai dan kembali ke Sipirok dengan
membawa aib dan malu, karena menurut adat negerinya hina sekali seorang
perempuan yang diceraikan suami seperti keadaannya itu.
Catatan:
- tema cerita adalah kawin paksa
- Aminuddin kawin dengan seorang gadis pemberian orang tuanya, bukan
dengan Mariamin kekasihnya
- Mariamin kawin dengan seorang laki-laki, yang tidak dikenalnya, atas
kemauann orang tuanya, bukan dengan Aminuddin kekasihnya
- kekayaan menjadi pilihan
- ayah Aminuddin memiliki kekayaan sehingga berkeberatan bermenantukan
Mariamin dari keluarga yang sangat miskin, meskipun Mariamin masih
bersepupu sekali dengan Aminuddin
- sudah bersifat objektif, tidak lagi bersifat khayal seperti hikayat
- yang dimenangkan masih yang tua (adat)
B. Marah Rusli
Marah Rusli dilahirkan dalam tahun 1889 di
Padang. Ayahnya demang Sutan Abu Bakar gelar
Sutan Pangerang seorang bangsawan usul kota
Padang.
Mula-mula belajar pada sekolah Melayu di
Padang dan tamat dalam tahun 1904, kemudian ia
melanjutkan pelajaran di Sekolah Raja (Hoofden
School) di Bukit Tinggi, tamat dalam tahun 1910.
Hoorsma guru di Sekolah Raja pernah
menganjurkan kepada Marah Rusli untuk pergi ke negeri Belanda guna
mengambil hulpacte, tetapi tidak mendapat persetujuan dari ibunya karena ia
anak tunggal bagi ibunya.
Kemudian sebagai gantinya Tan Malakalah yang dibawa Hoorsma.
Ketika itu Tan Malaka tiga kelas lebih rendah dari Marah Rusli. Kemudian
Marah Rusli mengunjungi Sekolah Dokter Hewan di Bogor dan tamat dalam
tahun 1915.
Dalam waktu menjadi mahasiswa Sekolah Dokter Hewan, Marah
Rusli kawin di Bogor tanpa mendapat persetujuan keluarganya. Pada waktu
Pendahuluan 37
Kita bandingkan dengan roman yang pertama Azab dan Sengsara,
penerbitan pertama tahun 1920, sampai pada tahun 1958 hanya mencapai
cetakan ketiga.
Roman Sitti Nurbaya membawa kita ke dalam gambaran suasana
pertemuan kebudayaan barat dan timur di Indonesia dalam taraf yang lebih
jauh daripada roman Azab dan Sengsara (Retnaningsih, 1965: 41)
SITTI NURBAYA
Ringkasan Ceritanya
Pelakunya:
Sitti Nurbaya dan Samsulbahri (anak muda yang saling mencintai)
Sutan Mahmud Sjah: ayah Samsulbahri
Baginda Sulaiman: ayah Sitti Nurbaya
Datuk Maringgi: saudagar kaya di Padang
Sutan Hamzah: adik Sutan Mahmud Sjah
Bachtiar dan Arifin: teman sekolah Samsulbahri dan Sitti Nurbaya
Cerita ini terjadi di sekitar daerah Padang. Cerita berawal dengan
suasana persahabatan antara Sitti Nurbaya yang berumur 15 tahun dengan
Samsulbahri yang berumur 18 tahun. Persahabatan ini merupakan pelebaran
persahabatan masing-masing orang tuanya, Sutan Mahmud Sjah ayah
Samsulbahri dengan Baginda Sulaiman ayah Sitti Nurbaya.
Baginda Sulaiman meskipun bukan dari keluarga bangsawan, akan tetapi
dia termasuk seorang saudagar kaya di Padang. Sitti Nurbaya adalah anak
tunggalnya, yang selain cantik juga berkesopanan.
Samsulbahri anak tunggal Sutan Mahmud Sjah, seorang bangsawan,
yang menjadi penghulu di daerah Padang. Untuk mengongkosi anaknya,
yang akan disekolahkan di Jakarta, Sutan Mahmud Sjah meminjam uang
kepada Datuk Maringgi sebanyak tiga ribu rupiah.
Datuk Maringgi termasuk saudagar kaya di Padang. Akan tetapi, semua
kekayaannya itu sebagian besar diperoleh dari jalan yang haram atau tidak
halal, hasil pemerasan dan penipuan.
Sutan Mahmud Sjah bersaudara dua orang, ialah Puteri Rabiah
Kakaknya, sedangkan adiknya bernama Sutan Hamzah. Puteri Rabiah
mencemohkan adiknya (Sutan Mahmud Sjah) karena tidak lagi
memperhatikan adat istiadat, telah melupakan kemanakannya, yaitu Rukiah,
yang seharusnya diperhatikan dan dibiayai hidupnya. Puteri Rabiah juga
mencemoh Sutan Mahmud Sjah karena hanya beristeri satu orang. Tidak
Pendahuluan 39
Datuk Maringgih, yang bergelar datuk bukan karena penghulu adat, akan
tetapi hanya sekadar getar saja. Ia bermuka jelek dan berperilaku buruk.
Kekayaannya diperoleh dari penipuan, penggelapan, dan pencurian. Dengan
bantuan Pendekar Lima dan teman-temannya, Datuk Maringgih dapat
menghancurkan saingannya yaitu Baginda Sulaiman ayah Sitti Nurbaya.
Dengan cara diam-diam, mereka menghancurkan gedung-gedung, kapal-
kapal, toko-toko Baginda Sulaiman.
Karena kemiskinan, Baginda Sulaiman meminjam uang kepada Datuk
Meringgi dengan perjanjian bahwa uang itu akan dikembalikan tiga bulan
kemudian.
Pada waktu Datuk Meringgi datang menagih utangnya, Baginda
Sulaiman tidak dapat menepati janjinya. Ia memberi ancaman, jika ia datang
kembali menagih utangnya belum terbayar juga, maka Baginda Sulaiman
akan dipenjarakan; kalau tidak ia meminta supaya Sitti Nurbaya menjadi
istrinya.
Kemudian ternyata Baginda Sulaiman masih tetap belum dapat
membayar utangnya. Ketika akan dibawa ke penjara, diiringkan oleh
beberapa orang polisi, tiba-tiba Sitti Nurbaya berlari keluar dari kamarnya dan
dengan tidak disadarinya ia berteriak, bahwa lebih baik ia menjadi isteri Datuk
Meringgi daripada ayahnya dipenjarakan.
Selama menjadi isteri Datuk Meringgi, pikiran Sitti Nurbaya tidak
menentu menyebabkan badannya menjadi kurus seperti orang yang
berpenyakit.
Pada waktu libur, Samsulbahri pulang ke Padang. Ia sempat menjenguk
ayah Sitti Nurbaya ketika ia sedang sakit keras. Kebetulan Sitti Nurbaya
waktu itu sedang menjenguk ayahnya. Pada waktu itulah keduanya dapat
bertemu dan saling menceritakan apa yang terjadi pada dirinya masing-
masing.
Sedang keduanya bercakap-cakap di bawah sebatang pohon, datanglah
Datuk Meringgih, yang berprasangka bahwa mereka berdua telah melakukan
hal-hal yang tercelah, sehingga menimbulkan percekcokan antara
Samsulbahri dan Datuk Meringgih.
Oleh karena peristiwa yang menggemparkan itu berdatanganlah
tetangga ke tempat kejadian itu. Ayah Sitti Nurbaya yang sedang sakit keras,
lari ke tempat kejadian itu, karena khawatir kalau anaknya mendapat
kecelakaan. Ketika itulah Baginda Sulaiman menemui ajalnya karena terjatuh
dari tangga.
Pendahuluan 41
C. Abdul Muis
Abdul Muis dalam romannya Salah
Asuhan (1928) menggambarkan pertemuan
Barat dan Timur di Indonesia yang lebih jelas,
mendalam, dan lebih baik susunan ceritanya
daripada roma sebelumnya.
Ia mengemukakan bermacam-macam
masalah: seperti suasana kebarat-baratan,
menentang adat, kawin paksa, kawin
campuran.
Jika dibandingkan dengan menulis-penulis
sebelumnya, maka pengarang roman ini akan
segera menonjol ke tengah, sebagai pengarang
roman yang terbaik yang telah menghilangkan semua cara yang
menjemukan, yang biasa terjadi dalam hasil kesusastraan sebelumnya, yang
selalu diawali dengan suatu gambaran dari nenek moyang pelaku yang turun
temurun sampai anak cucunya.
Abdul Muis terkenal dalam bidang persurat-kabaran. Oleh karena itu,
penggunaan bahasanya terasa lebih hidup dan segar.
Pengarang berhasil menggambarkan tipe pelaku-pelakunya yang
hidup sekitar tahun 20-an di Indonesia. Semua pelakunya diberi motif, baik
pembicaraannya maupun wataknya secara jelas.
Tentang tema karangannya sudah lebih luas daripada roman yang
pertama yaitu Azab dan Sengsara, yang mengambil pokok cerita kawin
paksa, juga lebih luas daripada roman yang kedua yaitu Sitti Nurbaya yang
mempunyai tema pertentangan antara kaum tua dan kaum muda.
Dalam Salah Asuhan kombinasi kedua tema tersebut dikemukakan
juga, ditambah dengan tema yang terpenting yaitu kawin campuran antara
orang timur dengan orang barat, antara orang Indonesia dengan orang
Belanda yang berketurunan Prancis (Retnaningsih, 1963 : 52 - 53).
SALAH ASUHAN
Ringkasan Ceritanya
Pelakunya:
- Hanafi dan Corrie Du Bussiée
(orang timur dan orang barat)
- Du Bussiée: ayah Corrie
Pendahuluan 43
Corrie ketika berumur sembilan belas tahun, sudah berasa menjadi
nona besar. Kecantikan parasnya sudah menyebabkan ia dikelilingi oleh
sejumlah laki-laki, tua dan muda, yang berkenalan dengan dia.
Suatu ketika, Corrie bertanya, "Pa apakah halangan perkawinan orang Barat
dan orang Timur?"
Pendahuluan 45
Perhatian mereka dicurahkan kepada pendidikan Sjafei, anak
Hanafi, yang tak berdosa dalam perbuatan ayahnya yang serupa itu.
Cerita selanjutnya, sesudah dua tahun berlangsung perkawinannya,
hidupnya terpencil dari pergaulan, karena teman-temannya menyisihkan diri
dari mereka.
Dalam keadaan hidup demikian, sering sekali urat saraf Hanafi dan
Corrie terganggu dan kesalahan sedikit saja, menjadi pertengkaran besar-
besaran. Hanafi menuduh Corrie berhubungan dengan laki-laki lain,
sedangkan Corrie tidak merasa senang akan tuduhan yang tak beralasan itu,
kemudian ia meninggalkan Hanafi. Akibatnya terjadilah perceraian, masing-
masing hidup sendiri-sendiri.
Untuk menghindari pertemuan kembali dengan HAnafi Corrie diberi
pekerjaan sebagai pengurus rumah tumpangan bagi anak-anak di Semarang
oleh seorang nyonya pension. Berangkatlah Corrie ke Semarang.
Cerita selanjutnya, meskipun perlakuan Hanafi demikian buruknya terhadap
Rapiah, tetapi rapiah tetap setia dan selalu mengharapkan Hanafi kembali
kepadanya. Hal ini membesarkan hati ibu Hanafi.
Cerita Selanjutnya.
Sepeninggal Corrie, Hanafi dengan susah payah baru mendapat
tumpangan di rumah famili seorang Belanda, yaitu Piet teman sekerja Hanafi.
Piet telah menerima Hanafi di rumahnya dengan setulus-tulusnya, akan tetapi
nyonyanya tidak demikian halnya. Ia memandang Hanafi sebagai seorang
yang sesat: ia hanya terpandang kepada uang tumpangan sebanyak seratus
rupiah saja.
Menurut pendapat Piet, Hanafi sungguh orang yang terpelajar, tetapi
di dalam rasa dengan rasa, ia buta tuli. Oleh orang bumiputra tidak
diterimanya, karena ia membuang bangsanya, sedangkan oleh orang
Belanda pun perbuatannya itu masih dianggap sangat rendah.
Barulah ia sadar bahwa kekurangan ibunya itu, hanyalah ia tidak bersekolah;
sedangkan nasihat-nasihatnya banyak sekali kebenarannya. Ialah yang tidak
mendengar dan tidak pernah menerima segala nasihatnya itu.
Sadarlah sekarang Hanafi bahwa Rafiah itu adalah intan yang belum
digosok, tetapi sayang ia tidak pandai menggosoknya; hingga barang yang
berharga itu dibuang-buangnya disangka tak berharga.Di samping itu, ia
sadar pula bahwa Corrie sesungguhnya berlian yang sudah digosok, tak
ternilai harganya, tetapi si suami celaka juga yang tak pandai memakainya
dan lenyaplah harta itu dari kandungannya.
Pendahuluan 47
Penutup Cerita
Sjafei telah bersekolah di Jakarta. Jika sudah tamat, ia akan
melanjutkan sekolahnya ke negeri Belanda.
Ibu Hanafi memerlukan benar menyembelih ayam, tiap-tiap
kedatangan anak-anak sekolah dari Betawi. Pemuda-pemuda itu senang
sekali datang berkunjung ke rumah orang yang peramah dan arif-bijaksana
itu; dan banyaklah di antara mereka yang mendapat pelbagai nasihat dari ibu
Hanafi, yang berhubungan dengan pakaian hidup. Banyaklah keluar
pemandangan tentang kehidupan orang Timur yang sekali-kali janganlah
menjadi sepuhan dari Barat.
Sjafei memperhatikan nasihat-nasihat itu dan senantiasa ia berjanji,
sepulangnya dari negeri Belanda kelak akan kembali ke kampung meluku
(membajak) sawah ibunya.
Setiap hari Jumát ibu Hanafi dengan Rapiah berziarah ke kubur
Hanafi, membawa air dan bunga. Hanafi dikuburkan di Solok.
D. Jamaluddin (Adinegoro)
Dara Muda dan Asmara Jaya
Adinegoro mempunyai kedudukan yang
istimewa di antara pengarang-pengarang yang
seangkatan dengan dia. Dialah yang mula-mula
mengakui atau menerima dengan terus terang
perkawinan inter-insuler (dari pulau ke pulau, antar-
pulau).
Masalah yang diuraikannya sudah lebih
luas, soal kesatuan bangsa jauh melampaui soal
adat kedaerahan. Hal ini dapat dipahami karena
Adinegoro adalah seorang wartawan, yamg dapat
Pendahuluan 49
Sudah bulat hati Nurdin untuk melamar Rukmini, sesudah diketahuinya betul-
betul bahwa cintanya itu berbalas.
Cerita selanjutnya. Ibu Nurdin tidak senang melihat Nurdin sering
mengunjungi Rukmini. Bukanlah ia tak suka bermenantukan Rukmini, tetapi ia
menganggap anaknya itu seorang yang berpangkat tinggi, bangsa yang bail-
baik dan orang jemputan pula. Jadi keinginannya, ibu Rukminilah yang harus
datang meminta, apabila betul-betul Rukmini mau kepada anaknya.
Di samping akal ibu Nurdin itu, ada lagi orang yang akan
menceraikan perhubungan mereka itu, ialah guru Harun, yang menginginkan
Rukmini menjadi istrinya. Harun dengan lancar dan panjang lebar berbohong
dan memburuk-burukkan nama Rukmini kepada Nurdin. Hal ini berakibat,
Nurdin memutuskan hubungannya dengan Rukmini tanpa diselidikinya lebih
dahulu.
Akibat perbuatan ibu Nurdin itu. Nurdin jatuh sakit dan
mencemaskan. Ibunya juga jatuh sakit sesudah menyesali perbuatannya itu;
dan setelah mengakui kesalahannya kepada Nurdin, matilah ia.
Tidak lama kemudian, Nurdin mendapat kabar bahwa guru Harun
menggantung diri di penjara karena melakukan bermacam-macam kejahatan.
Timbullah pikiran Nurdin bahwa bukan perbuatan ibunya sajalah yang
terutama putusnya hubungannya dengan Rukmini itu, tetapi perbuatan guru
Harun juga. Ketika itu Nurdin jatuh sakit dan merana merindukan lagi
Rukmini, yang sesungguhnya tak berdosa.
Dipanggilnyalah Rukmini dengan mengirim surat, maksudnya
hendak mengakui kesalahannya.
Ketika Nurdin dan Rukmini bertemu kembali, mereka masih juga
saling mencintai.
Akhirnya mereka kawin.
Pendahuluan 51
Guru), Sekolah Pertanian dan Peternakan di Bogor. Kemudian menamatkan
AMS (Algemeene Middelbare School= Sekolah Menengah Atas) di Jogjakarta
pada tahun 1927, dan beroleh gelar Master in de Rechten dalam tahun 1932
di Jakarta.
Dalam bidang sastra, dari tangan Yaminlah mula-mula lahir bentuk
soneta, yang kemudian diikuti oleh penyair-penyair Pujangga Baru. Oleh
karena itu, ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Yaminlah yang
sebenarnya lebih dahulu memelopori Pujangga Baru.
Sajak-sajak Muhammad Yamin yang mula-mula dalam tahun 1920
masih menyanyikan Andalas: Tanah Airku. Baru dalam tahun 1928, di
antaranya atas usaha dan kegiatan Muhammad Yamin, pergerakan pemuda
daerah-daerah meleburkan diri dalam Indonesia Muda, yang berkongres
dalam tahun itu juga di bawah pemimpin Muhammad Yamin sendiri. Dalam
kongres itulah (28 Oktober 1928) diresmikan:
Bahasa Indonesia sebagai bahas persatuan
Sajak soneta terdiri atas empat bait. Bait pertama dan kedua
masing-masing terdiri atas empat baris, sedangkan bait ketiga dan keempat
masing-masing terdiri atas tiga baris.
Pendahuluan 53
Muhammad Hatta mewarnai sajaknya dengan sejumlah kata-kata yang bukan
termasuk kata-kata sehari-hari, yang dapat dikategorikan sebagai bahasa
sastra. Kata-kata yang dimaksud adalah yang berikut.
beranta (dari kata pranta (Skt)= maksudnya alam luas
Antah Beranta = negeri besar
indera = nama dewa yang menguasai angkasa
Beranta indera = dimaksudkan alam semesta (pada waktu subuh)
marga (Skt) = jalan
satwa = binatang, hewan yang merayap
Lazuardi (Parzi) = permata atau langit yang berwarna biru
Zuhari (Zuhar (Arab) = bintang Venus atau bintang Barat dan pada waktu
subuh dinamakan bintang Timur
cahaya Zuhari = cahaya yang terpancar dari bintang Timur
(Usman, 1959 : 155)
Karangan Muhammad Yamin
Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan sajak,1951)
Karangan-karangan Muhammad Yamin yang diambil dari sejarah ialah:
Ken Arok dan Ken Dedes (dalam bentuk cerita sandiwara)
6000 Tahun Sang Merah Putih
Yang berupa terjemahan:
Di dalam dan di luar Lingkungan Rumahtangga
Menantikan Surat dari Raja
(keduanya dari karangan Rabindranath Tagorea)
E. Rustam Effendi
Rustam Effendi dilahirkan dalam tahun
1903 di Padang. Sesudah menamatkan
pelajarannya pada kweekschool (sekolah Raja) di
Bukit Tinggi, ia melanjutkan pelajarannya pada
HKS (Hoorgere Kweetschool)= Sekolah Guru
Atas di Bandung. Di negeri Belanda ia berhasil
menempuh ujian Hoofdakte di samping
menggabungkan diri dengan Communistiche
party Nederland, sampai ia terpilih menjadi wakil
partai itu di Tweede Kamer, dari tahun 1933
sampai 1946.
Sejak permulaan revolusi ia kembali ke Indonesia dan bekerja
bersama-sama dengan Tan Malaka di Indonesia, sebagai seorang pemimpin
komunis, ia banyak menulis risalah kecil-kecil untuk propaganda ideologinya
(Usman, 1959 : 163).
Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, dua saja buah
tangannya. Dalam tahun 1925 lahirlah buah tangannya yang pertama ialah
Percikan Permenungan (kumpulan sajak), buah tangannya yang kedua ialah
Pendahuluan 55
Bebasari, yang merupakan cerita sandiwara, yang bersifat simbolis, yang
mengandung cita-cita kemerdekaan Indonesia.
1. BEBASARI
(Tonil dalam 3 Pertunjukan)
Di bawah ini dicantumkan singkatan ceritanya.
Maharaja Takular telah ditaklukkan oleh Rawana. Kerajaannya
dirampas, karena Rawana mendengar kabar dari ahli nujum, bahwa
Budjangga anak dari Maharaja Takular, nanti akan jadi jodohnya putri
Bebasari, anak dari Bangsawan Sabari
Rawana, tiada hendak percaya pada peruntungan yang telah
ditentukan lebih dahulu, terus memisahkan kedua kecintaan itu, serta
mengurung Bebasari dalam terungku, dijaga dengan kokoh oleh jihin dan
peri.
Ketika Budjangga telah berumur, ia bermimpi melihat wajah
Bebasari, terus jadi asyik berahi. Budjangga menanyakan arti mimpinya pada
ayahnya. Si ayah menerangkan bahwa Bebasari tunangan Budjangga.
Budjangga akan pergi mencari tunangannya tetapi ditahan oleh ayahnya dan
mamanda Sabari.
Dakati dan Sabarinaratju menyuruh tuntut Bebasari.
Budjangga karena keras cintanya tiada memindahkan perkataan
Sabari, melainkan pergi meninggalkan negerinya, menempuh tempat Rawana
menerungku Bebasari, yang ditunjukkan oleh Sabainaratju.
Budjangga mengalahkan lasykar dan rakyat Rawana, mengusir
Rawana dari kerajaan yang dirampasnya serta melepaskan Bebasari dari
kurungan.
Budjangga kawin dengan Bebasari, seperti ysng telah dijanjikan oleh
peruntungan alam dari mulanya.
(Effendi, 1953 : 6)
Setelah Budjangga mengalahkan Rawana dan membebaskan
Bebasari dari terungku Rawana, maka Bebasari bersajak seperti yang berikut.
Kakanda, dari zaman berganti zaman.
Tetap hatiku menanti tuan.
Kakanda bakal membawa merdeka.
Sebab cintamu kepada loka.
Susah payah tuan kemari.
PERCIKAN PERMENUNGAN
(Kumpulan Sanjak)
Percikan Permenungan terbit di Padang pada bulan Maret 1925
tidak beberapa lama sesudah Bebasari (tonil) terbit. Kedua buku itu dikarang
dan disusun dalam waktu dan suasana yang bersamaan.
Di bawah ini dicantumkan dua bait dari sanjaknya yang bernama
Bukan Beta Bijak Berperi
Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair;
Bukan beta budak negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri;
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
(Percikan Permenungan, 1925 : 28)
(Dieja menurut EYD)
Menurut Prof. Dr. Teeuw, sanjak di atas bentuknya bertentangan
dengan isinya. Bentuk seperti pantun, bersajak akhir a b a b. Untaian itu pada
bagiannya yang pertama tidak mengandung persediaan menuju bentuk
Pendahuluan 57
dan/atau isi dalam bagiannya yang kedua, tetapi untaian-untaian itu
merupakan kesatuan lanjut, menurut isinya.
(Teeuw, 1959 : 81)
Pada bentuk sanjak di atas dapat kita lihat keadaannya yang berikut.
tiap bait terdiri atas empat baris
tiap baris berganti-ganti 9 dan 10 suku kata.
Bersajak a b a b.
tidak mengandung sampiran seperti pada pantun (2 baris pada setiap
bait)
tiap bait merupakan satu kesatuan isi (tidak ada sampiran)
Dengan demikian, sanjak yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi,
bukanlah pantun.
G. Sanusi Pane
Sanusi Pane dilahirkan di Muara
Sipongi, Tapanuli, pada tanggal 14 November
1905. Ia tamatan Kweekschool (Sekolah Guru)
Gunung Sari Jakarta, dalam tahun 1925; ia
diangkat menjadi guru pada sekolah tersebut
(1926-1931). Kemudian dia pindah ke Lembang
ketika sekolah itu dipindahkan ke sana (1931-
1933).
Selanjutnya, ia pindah ke Perguruan
Rakyat di Bandung (1933 -1936), kemudian
pindah ke Perguruan Rakyat di Jakarta (1936 -
1941). Pernah memimpin surat kabar Kebangunan di Jakarta (1936 -1941);
kemudian menjadi kepala sidang pengarang Balai Pustaka sejak tahun 1941.
Pada zaman pendudukan Jepang, dia menjadi pegawai tinggi Pusat
Kebudayaan (Kaimin Bunka Shidosho) dan menjadi anggota Majelis
Pertimbangan Putera.
Untuk memahami jalan pikiran dan perasan Sanusi Pane dapat
dilakukan dengan cara mempertentangkan dengan pandangan atau pendirian
Sutan Takdir Alisjahbana pada zaman Pujangga Baru.
Pendahuluan 59
Dari hati kuatur rantai,
Mengebat engkau pada jiwaku.
Dari: Puspa Mega
(Dieja menurut EYD)
Amir Hamzah pernah melukiskan tentang Sanusi Pane bahwa
Sanusi Pane jiwanya terbang ke zaman Hindu dan Budha, matanya melihat
ke permainan dalam candi dan stupa, takjub melihat rangkaian cempaka di
kaki Pagoda. Dengan hatinya yang reda atau tenang itu dibacanya segala
cerita dan kias pada dinding candi Borobudur dan candi Mendut sehingga
timbullah sentosa raya dalam sanubarinya. Karangannya seperti bulan
berlayar di langit hijau tenang dan sejuk.
Selanjutnya Amir Hamzah mengatakan bahwa Sanusi Pane
menguasai bahasa Indonesia sampai ke urat-uratnya, payah Pujangga lain
mengimpit ia, dari sebuah kata ke sebuah kata telah ditimbangnya dengan
teliti.
(Usman, 1959: 170 – 171)
Tentang pengaruh filsafat Hindu yang dikagumi oleh Sanusi Pane,
tercantum antara lain dalam sajaknya di bawah ini.
CANDI MENDUT
Di dalam ruang yang kelam terang
Berhala Buddha di atas takhta,
Wajahnya damai dan tenung tenang,
Di kiri dan kanan Bodhisatwa.
Waktu berhenti di tempat ini,
Tidak berombak diam semata,
Asas berlawan bersatu diri,
Alam sunyi kehidupan rata,
Diam, hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dunia maya.
Terbang termenung, ayuhai jiwa,
Menuju kebiruan angkasa
Kedamaian petala nirwana
Dari: Madah Kelana
(Dieja menurut EYD)
Pendahuluan 61
Setiap orang dapat saja mengalami perubahan cara pola pikir. Hal
ini terjadi pada Sanusi Pane, yang tergambar dalam dramanya Manusia Baru.
Perubahan pola pikir ini semenjak Kertajaya dan Sandhyakala ning Majapahit
sudah jelas sejelas-jelasnya.
Anehnya ialah bahwa kita justru dalam dramanya yang terakhir,
Manusia Baru, Sukar bertemu kembali dengan Sanusi Pane yang
menghasilkan karangan-karangannya yang dahulu. Memang, ia akan
mempertahankan dasar peradaban India, tetapi India abad kedua puluh; ia
berusaha mengadakan perpaduan antara rohani dan jasmani.Tekanan
perhatiannya diletakkannya seluruhnya pada pembaharuan, pada perubahan
yang perlu diadakan, apabila hendak mendatangkan manusia baru yang
sejati.
Pelakunya yang utama Surendranath Das adalah seorang yang
amat dinamis dalam perbuatan dan percakapannya.
Secara teori barangkali masih belum diterima: tetapi secara
kenyataan, yang jelas tampaklah dalam karangan itu (Manusia Baru), bahwa
Takdir telah berhasil meyakinkan lawan-lawannya buat sebagian besar, baik
tentang putusnya hubungan yang lama dengan yang sekarang, baik tentang
arti sosoal seniman, maupun tentang tendens dalam kesenian.
(Teeuw, 1959, 1959 : 134 – 135)
Pendahuluan 63
Majalah itu dapat terus hidup sampai tiba masa pendudukan
Jepang. Dengan demikian, jadilah majalah itu satu-satunya dokumen
tentang adanya atau tentang percobaan mengadakan Kesusastraan
Indonesia pada masa sebelum perang; dokumen yang sangat berharga
bagi setiap orang Indonesia yang menghargai asal-mula dan sejarah
kemajuan kebudayaan Indonesia yang baru (1959 : 57 – 58).
Selanjutnya, penulis akan mengemukakan secara berturut-
turut beberapa tokoh utama dalam zaman Pujangga Baru serta
karangannya masing-masing, baik yang berbentuk prosa maupun yang
berbentuk puisi.
Oleh sebab itu, alam yang tenang tenteram itu harus dipecahkan
dan dikoyak-koyak
Pendahuluan 65
pula). Mereka harus memelopori bangsanya; mereka harus memimpin
bangsanya dalam perjuangannya untuk memperoleh kemerdekaan dan
kehidupan. Namailah kesenian demikian itu kesenian bertujuan.
Seni yang tidak berisi, tidak berharga oleh karena orang yang
menghasilkannya, tidak berisi pula.
Pendahuluan 67
2. DIAN YANG TAK KUNJUNG PADAM
(roman kedua, 1932)
Dalam roman ini S. Takdir menceritakan percintaan yang gagal
antara seorang anak desa yang miskin bernama Jasin dengan gadis
bangsawan Palembang yang kaya, bernama Molek.
Pengarang mempertemukan Jasin dengan Molek di
Palembang sebagai berikut.
Jasin orang huluan atau orang udik. Pada suatu hari ia pergi
ke Palembang dengan perahunya dengan maksud hendak menjual
getahnya. Sampai di Palembang telah larut malam. Untuk menunggu
hari siang, ia berlabuh dekat sebuah rumah besar, yang ternyata
kepunyaan Raden Machmud, seorang bangsawan yang kaya raya.
Bangsawan ini mempunyai anak perawan yang bernama Molek.
Seperti biasanya setiap hari, pada hari Jasin berlabuh dekat
rumahnya itu, Molek pagi-pagi pergi mandi ketepian. Jasin melihat kaki
molek di bawah dinding tempat mandi itu. Pada waktu Molek hendak
naik ke rumah kembali, dapatlah pemuda dan perawan itu
berpandangan sejurus lamanya; dan dikatakan pengarang bahwa
pandangan yang sebentar itu telah mengikat kedua orang muda itu
dalam satu perjanjian suci dan telah dapat membuat mereka mabuk-
selasih.
Akibatnya Jasin tak tentu lagi pekerjaannya dan Molek menjadi
satu pertanyaan besar bagi orang tuanya.
Molek pada hari itu sangat girang kelihatannya, ia berdandan seperti
orang akan pergi ke peralatan dan berkali-kali ia memperhatikan wajah
mukanya di muka kaca besar. Mabuk—selasih pada Jasin
menyebabkan dia dalam peralatan saudara sepupu ibunya tak dapat
bergembira seperti pemuda-pemuda lain.
Cerita selanjutnya
Jasin adalah orang alam yang lemah lesu, tidak mampu
mencegah perkawinan Molek dengan seorang Arab yang kaya tetapi
tidak berbudi, carian orang tuanya, tidak pula berhasil melarikan Molek,
Pendahuluan 69
pendapat para ahli sastra terhadap cerita S. Takdir yang sangat aneh
ini?
a. Idrus
Sesungguhnya Takdir agak ngeri menerbitkan cerita ini
sebagai buku. Akan tetapi pengarang itu lebih maju daripada waktu
menulis cerita itu.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa senang membaca buku ini. Pada
umumnya hal yang dibeberkan pengarang, dapat diterima oleh rasa
keinginan tahu kita, intelegensi kita, dan oleh rasa keindahan kita. Oleh
karena itu, buku ini bukanlah cerita biasa saja, melainkan roman
sebenar-benarnya.
Soal yang diperbincangkan adalah soal yang segar dan aneh,
tetapi sungguhpun begitu dapat diterima dan hal ini hanya mungkin
dengan perbendaharaan ilmu jiwa.
b. Prof. Dr. A. Teeuw
Teeuw tidak sependapat dengan Idrus. Ia mengatakan bahwa
buku ini merupakan karya sastra S. Takdir yang paling lemah, yang
paling buruk, yang tak diterima akal. Masakan gadis seperti Sayu mau
kawin dengan seorang kepala penyamun yang telah membunuh
bapaknya sendiri?
Jika hal tersebut menjadi keberatan Guru Besar ahli sastra bangsa
Belanda itu, bukankah sering terjadi raja penakluk mengawini putri raja
yang ditaklukkan.
Sebagai contoh, Iskandar Zulkarnain (penakluk yang terbesar
dalam sejarah dunia) mengawini putri raja yang ditaklukkan seperti
yang tejadi pada diri putri Rosane, Stateira putri Darius raja Parsi atau
putri Sarul Barijah anak raja Kida Hindi, kira-kira 327 tahun sebelum
Nabi Isa.
(Usman, 1959 : 210
- 211)
4. LAYAR TERKEMBANG
(roman keempat, 1936)
B. Armin Pane
Armin Pane lahir di Muarasipongi
(Tapanuli) 18 Agustus 1908. Ia tamatan AMS
(Algemeene Middelbare School=Sekolah
Menengah Atas) di Solo. Dalam tahun 1936, ia
bekerja pada Balai Pustaka. Salah seorang
pendiri dan pemimpin Pujangga Baru. Semasa
Jepang, menjadi kepala bagian Kesusastraan
di Pusat Kebudayaan Jakarta.
Karangannya:
1. Belenggu (1939)
2. Lenggang Kencana (sandiwara, 1937)
3. Jiwa Berjiwa (sajak, 1939)
4. Ratna (sandiwara, 1943)
5. Kisah Antara Manusia(1953)
6. Jinak-Jinak Merpati (1953)
7. Mencari Sendi Baru Tata Bahasa Indonesia (1950)
Ringkasan Ceritanya
Ada sepasang suami istri, yang laki-laki dokter bernama
Sukartono, yang perempuan (istrinya) bernama Sumartini (Tini).
Keadaan mereka: Sukartono adalah orang yang pintar karena bertitel
dokter, sedangkan Tini orang yang cantik.
Sebelum mereka kawin, jejaka-jejaka berebut-rebutan
memperebutkan Tini yang cantik itu. Dalam keadaan perebutan,
Sukartonolah yang mendapatkannya.
Kata Pengarangnya (Armin), meskipun Sukartono dapat
merebut Tini dari tangan pemuda-pemuda lainnya, Tini lebih dahulu
telah melepaskan ultimatum:
Tono jangan mengharapkan cinta daripadanya, ini tidak dapat
diberikannya, Cuma dia akan menolong Sukartono bekerja sebagai
sahabatnya.....
Kalau Sukartono waras pada waktu itu tentu dia tidak mau
kawin dengan Tini. Akan tetapi, rupanya dia sudah mabuk benar
kepada muka Tini yang cantik itu sehingga dia rupanya kalau tidak
dengan Tini, mau mati saja gantung diri, sebab bagi laki-laki yang
waras, ini suatu penghinaan. Sukartono sudah tidak waras lagi.
Demikianlah permulaan rumah tangga dokter Sukartono;
terhadap istrinya dia seperti kucing dibawakan lidi, dan Tini yang
berkuasa dalam rumah. (1964 : 124).
Oleh karena keadaan di rumah sudah seperti neraka, maka
dokter Sukartono mencari kesenangan hatinya di luar rumah. Ia
mencari kesenangan pada pasiaen-pasiennya. Hal ini akibat tingkah-
laku Tini yang menerakakan rumahnya.
Pendahuluan 73
Pada suatu hari dokter Sukartono dipanggil oleh seorang
pasien yang tinggal pada sebuah hotel. Di sanalah bertemu dengan
nyonya Eni alias Rohayah (Yah). Yah adalah temannya dahulu di
Bandung semasa ia masih duduk di bangku Mulo.
Rupanya Yah cinta kepada Sukartono dari dahulu, tetapi tidak
dinyatakannya, hanya disimpan dalam hatinya. Yah pandai
menyenangkan hati laki-laki, perempuan yang sudah lama dicita-
citakan oleh dokter Sukartono. Pada akhirnya, Suakrtono membuat
rumah tangga kedua dengan Yah. Akibatnya, Sukartono tambah tidak
peduli lagi kepada Tini yang menerakai rumahnya yang satu itu.
Pada akhirnya, orang tahu bahwa dokter Sukartono ada
mempunyai peliharaan di Taman Sari, juga Tini sudah dapat
mengetahui hal ini. Tini panas benar, ia akan memperlihatkan siapa
Sumartini kepada madunya di Taman Sari itu. Dengan mobil yang
bagus ia datang ke sana pada suatu hari. Mobilnya bergambar ular
melingkar. Dokter perempuan, dalam hati Yah. Apa pula maksudnya
kemari? Tetapi kemudian yang diperkirakan dokter perempuan,
ternyata Tini, istri dokter Sukartono. Terjadilah pertengkaran di situ.
Dalam pertengkaran itu, mula-mula tampaknya Yah akan
kalah, tetapi Yah mempunyai senjata yang ampuh untuk mengalahkan
musuhnya.Berkali-kali Tini menghina Yah seperti yang “begituan”,
tetapi tatkala Yah bertanya apakah sebetulnya bedanya perbuatannya
itu dengan perbuatan Tini dengan studen muda di Sekolah Teknik
Tinggi dulu. Tinipun terkejut, rahasianya diketahui orang lain, dan
bukan rahasia lagi. Kepada Yah, Tini berkata bahwa dialah yang mesti
memelihara Suakartono. Tini sendiri hendak pergi. Tini meninggalkan
Jakarta pergi ke Surabaya.
Beberapa hari kemudian, Tono pergi ke rumah Yah, tetapi Yah
sudah tidak ada. Yang ditinggalkan untuk kenang-kenangan ialah
sebuah gramopon dan sebuah plat yang dinyanyikan oleh Yah sendiri.
Pendahuluan 75
yang mengupas perjuangan batin serta pikiran pelakunya (19959 : 143
– 144)
3. Zuber Usman B.A.
Apa yang dikemukakan oleh Armin Pane dalam novelnya ini
banyak mencerminkan keadaan masyarakat kaum terpelajar pada
waktu itu. Orang-orang jujur tentu akan mengakui bahwa lukisan yang
dikemukakan Armijn sebagai seniman (pengarang) memperlihatkan
kebenaran atau kenyataan yang sesungguhnya; dan sebaliknya karena
itu, karena ia terlalu berterus-terang, terutama orang-orang yang
merasa seakan-akan dirinya sendiri yang digambarkan dalam buku itu,
banyak yang merasa tiada senang kepadanya. Menurut kemauan
mereka, soal semacam itu tak ada gunanya dikemukakan kepada
umum.
Armin Pane lebih mendekati seorang pengarang realis, ia
mengemukakan apa yang dilihatnya dalam masyarakatnya . Apa kata
orang tentang pendapatnya terserah, masa bodoh! (1959 : 225).
C. Amir Hamzah
Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura
(Langkat) pada 20 Februari 1911. Ia
keturunan bangsawan. Pamannya, yang
kemudian menjadi mertuanya ialah Sultan
Langkat. Mula-mula ia bersekolah HIS
(Hollands Inlandse School, Sekolah Rendah)
di Tanjung Pura. Kemudian di Mulo Jakarta.
Selanjutnya, ia masuk AMS (Algemeene
Middelbare School, Sekolah Menengah Atas
bagian kesusastraan Timur) di Solo; akhirnya
ia kembali ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi dalam ilmu
hukum sampai pada tingkat C.2.
Dihentikannya pelajarannya karena harus kawin dengan anak
Sultan Langkat dan menggantikan ayahnya sebagai Datuk.
Keberhentiannya yang mendadak ini, sebenarnya disebabkan oleh
PADAMU JUA
I. Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
II. Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
III. Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
IV. Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
V. Engkau cemburu
Engkau ganas
Pendahuluan 77
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
VI. Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
VII. Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku.......
Dari: Nyanyi Sunyi
(Ejaannya disesuaikan dengan EYD)
Pendahuluan 79
rasa dukanya ialah maut. Hal ini tergambar dalam bait pertama
sajaknya yang berjudul Buah Rindu sebagai berikut.
Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita
(1959
: 238)
D. J.E. Tatengkeng
Tatengkeng dilahirkan di Kalongan, Pulau
Sangihe (Sulawesi Utara) pada 19 Oktober
1907. Sesuadah tamat HIS (Hollands Inlands
School = Sekolah rakyat), kemudian ia
melanjutkan pelajaran ke Kweekschool =
Sekolah Guru Kristen di Bandung; sesudah itu
pindah ke HKS (Horgeere Kweekschool =
Sekolah Guru Atas) Kristen di Solo.
Dalam tahun 1933, ia menjadi guru HIS di
Tahuna; kemudian dalam tahun 1940 diangkat menjadi kepala
Schakelschool di Ulu Siau, kemudian pindah kembali ke HIS Tahuna
sebagai kepala. Selanjutnya dalam tahun 1947, ia menjadi kepala
Normaal School dan S.M (Sekolah Menengah) Tahuna.
Selanjutnya dalam tahun itu juga (1947), ketika terbentuk NIT
(Negara Indonesia Timur) terpilih menjadi Menteri Muda Pengajaran;
kemudian Perdana Menteri NIT; turut menghadiri Konferensi Meja
Bundar di Negeri Belanda sebagai anggota seksi Kebudayaan.
Setelah terbentuk Negara Kesatuan, J.E Tatengkeng dalam tahun
1951 ditunjuk untuk mengepalai Perwakilan Jawatan Kebudayaan
Kementerian P.P. dan K. di Makassar.
(Usman, 1959 : 257-
258)
Pendahuluan 81
4. Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit terguling,
Air-matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak penghiburan.
5. Kau diam, diam, kekasihku,
Tak kau katakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kekasihku, anakku, mengapa kian?
6. Sebagai enak melalui sedikit,
Akan rumah kamu berdua,
Tak anak tak insaf sakit,
Yang diderita orang tua.
7. Tangan kecil lemah tergantung,
Tak diangkat memeluk ibumu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.
Selekas anakda datang,
8. Selekas anakda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlentang,
Tinggalkan bapa sakit mengenang.
9. Selamat datang anakda kami,
Selamat jalan kekasih hati.
10. Anak kami Tuhan berikan,
Anak kami Tuhan panggilkan,
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.
Dari: Rindu Dendam
(Dieja menurut EYD)
Sajak di atas mengandung kesedihan atau harapan
Tatengkeng ketika anaknya meninggal.
Menurut Usman Effendi, dalam sajak di atas dilukiskan
bermacam-macam perasaan. Dalam bait ke-1, ke-2, dan sebagian dari
bait ke-3 digambarkan perasaan orang tua pada waktu anaknya lahir.
E. H. A. M. K. Amrullah
Hamka adalah singkatan dari
Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Bapaknya bernama Doktor Haji Abdul
Karim Amrullah, seorang ulama Islam
yang terkenal di Sumatra; pembawa
paham-paham pembaruan di
Minangkabau. Hamka dilahirkan di Sungai Batang, Meninjau, Sumatera
Barat pada tanggal 16 Februari 1908. Pendidikannya hanya sampai
kelas II sekolah desa. Karena nakalnya dia dikeluarkan dari sekolah.
Dari pihak ibu, Hamka mewarisi darah seni; orang tua ibunya
ahli pencak sejenis tari-tarian yang digemari di Minangkabau. Dari
kakeknya itulah dia sering mendengar pantun-pantun lama.
Waktu kecilnya, Hamka sering di bawa kakeknya ke danau
Maninjau, sebuah danau yang indah di Minangkabau. Pemandangan
alam sekeliling danau itu sangat berkesan pada sanubarinya.
Ketika usia enam tahun, dia di bawa ayahnya ke Padang Panjang.
Setelah tujuh tahun dia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya
belajar mengaji Qurán pada ayahnya sendiri sampai tamat.
Dari tahun 1916 sampai tahun 1923, dia belajar agama pada
sekolah Diniyah School dan Sumatra Thawabib di Padang Panjang.
Gurunya pada waktu itu ialah Sjch Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo
Abdulhamid dan Zainuddin Lebay.
Pendahuluan 83
Hamka mengalami penderitaan masa kecil yang sangat
berpengaruh pada dirinya akibat perceraian antara ayah dan ibunya.
Perceraian itu disebabkan oleh desakan kaum famili yang sangat besar
campur tangannya terhadap rumah tangganya.
Setelah menguasai bahasa Arab, segera dia mengenal nama-
nama Manfaluthi, Abduh, Mustafa Sidik Rafií, Zaki Mubarak, Husain
Pasja, dan lain-lain.
Melalui terjemahan bahasa Arab, dia mengenal Plato,
Sokrates, Pierre Loti, Bernardin de St. Pierre, dan lain-lain pujangga
dunia. Kesemua itu memberi kesan, corak, dan arah pada jiwa Hamka.
Campuran pengaruh-pengaruh itulah yang membentuk Hamka sebagai
seorang sastrawan yang lincah dan sangat produktif dengan hasil-hasil
karya sastranya.
Hamka tidak selalu berada pada suatu tempat, tetapi ia selalu
melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain untuk
mendapatkan ilmu dan pengalaman hidup.
Dalam tahun 1924, ia berangkat ke Jogja untuk mempelajari
pergerakan-pergerakan Islam. Di tempat itu, ia dapat kursus
pergerakan dari H.O.S. Tjokroaminoto, H. Fachruddin, dan Kijai Sutan
Mansjur, suami saudaranya.
Dalam tahun 1925, ia kembali ke Padang Panjang. Ketika itu ia
sudah mulai mengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya berjudul
Chatibul Ummah.
Selanjutnya dalam tahun 1927, ia berangkat ke Mekkah untuk
menunaikan rukun Islam yang kelima. Pengalaman naik haji memberi
ilham bagi Hamka untuk lahirnya romannya yang pertama, yang
bernama Di Bawah Lindungan Ka’bah. Sekembalinya, ia membantu
Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah di Jakarta.
Pengalaman Hamka terhadap masyarakat Bugis Makassar
ketika pindah ke Makassar menimbulkan ilham untuk lahirnya
romannya yang kedua yang bernama Tenggelamnya Kapal van der
Wijck.
Karena keahliannya dalam berbagai bidang, baik sebagai
pengarang, pujangga, dan filosof Islam, menyebabkan ia diangkat oleh
Pendahuluan 85
menengah. Kemudian Zainab dipingit oleh orang tuanya; dan Hamid
melanjutkan sekolah pada sekolah agama di Padang Panjang.
Perubahan suasana terjadi setelah ayah Zainab meninggal
dunia. Hamid yang sebelumnya leluasa datang ke rumah Zainab, kini
tidak bisa lagi berbuat demikian. Namun, benih-benih cinta sudah mulai
tumbuh antara Hamid dan Zainab.
Perkembangan selanjutnya, ibu Hamid pun meninggal dunia,
maka tinggallah Hamid sebatang kara di dunia ini, ibu meninggal ayah
pun lebih dahulu meninggal. Keadaan ini mengakibatkan perhubungan
Hamid dengan Zainab bertambah sukar, namun api cinta antara
keduanya makin membara.
Ibu Hamid sebelum meninggal, ia menasihati anaknya supaya api
cintanya dipadamkan saja sebelum menimbulkan masalah. Ia
mengingatkan anaknya supaya tahu akan hina dirinya sebagai anak
pungut.
Hamid jika berhadapan dengan Zainab selalu memperlihatkan
tingkah-lakunya sebagai seorang kakak kepada adik. Ketika Zainab
menolak untuk dikawinkan dengan saudara sepupunya, ibunya
meminta kepada Hamid untuk membujuk Zainab. Hal itu dilakukan
Hamid dengan jujur, biarpun hatinya sendiri amat berat melakukannya.
Hamid tidak berhasil atas bujukannya.
Dalam melukiskan perasaan, Hamka adalah seorang yang
pandai. Cobalah siasat bagaimana halusnya ia dapat menggambarkan
percakapan antara Hamid dan Zainab, tatkala Hamid disuruh ibu
Zainab melunakkan hati anaknya itu:
“Bagaimana Zainab perkataanku!”
“Belum abang, saya belum hendak kawin,”
“Atas nama ibu, atas nama almarhum ayahmu”...
“Belum abang!”
“Aku sendiri yang meminta, adik!”
“Sampai hati abang memaksa aku?”
“Abang bukan memaksa engkau, adik ingatlah ibumu.”
86 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia
(hal. 35/36)
(Hamzah, 1964
: 119)
Selanjutnya, Hamid meninggalkan Padang pergi ke Medan dan
dari sana terus melalui Singapura, Bangkok, Basrah dan Nedjed
sampai ke Mekkah.
Semasih berada di Medan, Hamid mengirim sepucuk surat
kepada Zainab tanpa alamat pengirim. Di dalam surat itu ia secara
samar-samar mengungkapkan isi hatinya, namun ia mendesak juga
supaya Zainab rela kawin dengan saudara sepupunya.
Maksud Hamid ke Mekkah, berada di bawah lindungan Ka’bah
kiranya luka hatinya yang dibawanya dari Padang dapat sembuh
kembali. Luka yang hampir sembuh itu kambuh kembali setelah
temannya yang bernama Saleh datang ke Mekkah dan menceritakan
bahwa Zainab juga mencintainya. Tiada berapa lama berselang,
datang berita dari istri Saleh bahwa Zainab telah meniggal karena
menanggung rindu.
Setelah mendengar berita itu, Hamid sakit keras, juga karena
menanggung rindu; dan ketika berada di bawah lindungan Ka’bah, ia
menghembuskan nafas yang penghabisan.
Prof. Dr. Teeuw berpendapat bahwa roman Di Bawah
Lindungan Ka’bah adalah pelik karena beberapa hal, terutama karena
keringkasannya sehingga seolah-olah hanya menyebutkan yang perlu-
perlu saja. Dalam 45 halaman dibentangkan suatu cerita yang agak
sukar susunannya. Kita berkenalan di situ dengan banyak sekali orang;
dan bermacam-macam hal yang terjadi di situ. Sifat yang ringkas itu
tidak pernah menjadikan ceritanya kurang jelas.
Hamka sungguh-sungguh pandai memilih yang penting-
penting, tepat pada tempatnya diselipkannya surat-surat sehingga tidak
perlu lagi dia membuatkan berbagai-bagai penjelasan, sedangkan isi
surat-surat itu kadang-kadang mengharukan. Cerita itu memang tidak
bebas dari perbuatan merayu-rayu, tetapi justru karena
Pendahuluan 87
keringkasannya, tidak pula cerita itu menimbulkan rasa bosan atau
boyak (1959 : 190).
H. B. Jassin (dalam Hamzah 1984 : 33) berpendapat bahwa di
dalam karangan Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah, banyak
diselipkan pikiran-pikiran yang tinggi, ajaran-ajaran ke-Islaman dan
sindiran-sindiran atas adat masyarakat, yang menurut Hamka tidak
baik sama sekali atau berlawanan sekali dengan ajaran Islam.
Menurut Hamzah (1984 : 33), tema roman Hamka Di Bawah
Lindungan Ka’bah adalah hubungan cinta antara dua orang manusia
yang berlainan jenis menghadapi kegagalan karena adanya perbedaan
dalam masyarakat yang disebabkan oleh harta, pangkat, dan turunan.
Hamka banyak sekali mempergunakan gaya yang merayu-
rayu dan sentimental; gaya ratapan yang sedih-sedih; dan permohonan
yang ditunjukkan kepada Tuhan. Gaya yang demikian itu adalah hasil
timbaan dari pengalaman hidupnya sendiri, juga merupakan pengaruh
dari Musthafa Luthfi al-Munfaluthi.
Perhatikanlah gaya bahasa Hamka dalam wujud doa di bawah ini.
Pendahuluan 89
Zainuddin mulai renggang. Dalam keadaan demikian, Aziz melamar
Hayati pada mamaknya. Bersamaan dengan itu lamaran Zainuddin
datang juga. Berdasarkan adat Minangkabau, Lamaran Zainuddin
(sebagai anak pisang) ditolak berdasarkan pertimbangan adat juga,
lamaran Aziz diterima karena ia lebih kaya, orang berbangsa dan
berketurunan. Tidak berapa lama berselang, Aziz kawin dengan Hayati.
Zainuddin jatuh sakit setelah dia mendengar berita bahwa Aziz
sudah kawin dengan Hayati. Ia diasuh oleh Muluk (pengasuhnya).
Setelah sembuh, ia berangkat ke Jawa dan menetap di Surabaya. Di
sanalah Zainuddin hidup sebagai pengarang; ia melukiskan berbagai
macam pengalamannya dan menulis cerita-cerita sandiwara. Namanya
diganti menjadi Z atau Shabir. Dengan aktivitasnya itu, cepat namanya
terkenal.
Cerita selanjutnya, Aziz sebagai pegawai pemerintah Belanda,
minta pindah ke Surabaya. Permintaannya dikabulkan dan dengan
bersama istrinya Hayati mereka pindah ke Surabaya. Di sanalah
mereka bertemu dengan Zainuddin yang terkenal dengan karangan-
karangannya dan sandiwara-sandiwaranya.
Adapun suasana rumah tangga Aziz makin hari makin tegang.
Utangnya makin bertambah. Untuk pembayar utang, rumahnya disita.
Hayati dan Aziz yang tanpa rumah, dengan kebaikan hati Zainuddin
diterima tinggal di rumahnya. Aziz makin lama makin susah, lalu dia
pergi ke Banyuwangi, di sanalah dia bunuh diri.
Adapun Hayati masih tinggal di rumah Zainuddin. Ia
menyatakan penyesalannya atas perbuatannya yang teleh lalu dan
sekarang ia ingin kembali kepada Zainuddin. Akan tetapi Zainuddin
menolaknya, bahkan dia menyuruh Hayati pulang saja ke Padang.
Zainuddin berangkat ke Malang. Hayati dengan diantar oleh Muluk
(pengasuh Zainuddin), masuk ke kamar kerja Zainuddin, tempat ia
melihat lukisannya sendiri. Oleh Muluk diceritakan bagaimana
sesungguhnya cinta Zainuddin kepada Hayati tidak pernah padam.
Akan tetapi karena keputusan sudah dijatuhkan oleh Zainuddin bahwa
Hayati harus pulang, maka dengan menumpang kapal van der Wijck
diapun meninggalkan Surabaya.
Pendahuluan 91
“Hai upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum
tahu belit-belitnya’ Bukanlah kau sembarang orang, bukan
tampan Zainuddin itu jodohmu”.
(Hamzah, 1964 : 40 -
41)
Melalui kedua romannya, Hamka telah mengemukakan kepada
kita kepincangan-kepincangan adat Minangkabau. Cara
mengemukakannya berbeda dengan pengarang lain. Kalau kawan-
kawan pengarang seangkatan dan sedaerahnya melukiskan
kepincangan adat Minangkabau itu bertolak dari pengaruh pola pikir
Barat (seperti S. Takdir), maka Hamka berdasar dari pengaruh
modernisme Islam.
Dua hal menonjol yang mewarnai roman Hamka ialah 1)
pengaruh modernisme Islam dan 2) kesensaraan manusia akibat
kepincangan adat.
Hamka mendapat mengaruh modernisme Islam terutama dari
Muhammad Abduh, sedangkan dari Manfaluthi mengilhami Hamka
dengan cerita-cerita tentang kesengsaraan manusia yang dapat
mencucurkan air mata, yang menimbulkan kesedihan bagi yang
menghayatinya.
Hamka pandai memilih kata-kata dan terampil menyusunnya
dalam kalimat, selanjutnya dalam rangkaian kalimat, yang dapat
dihayati pembaca menurut keinginannya.
F. Zuber Usman
TAMASYA DENGAN PERAHU
BUGIS
(Prosa: oleh Zuber Usman)
Setalah beberapa hari
menunggu di Surabaya, maka
dapatlah sebuah perahu yang
akan berangkat ke Makassasr,
Pendahuluan 93
Intan Selebes namanya. Perahu itu tiada besar benar, kira-kira muatan
20 ton. Yang lebih besar dari itu dapat memuat 40 ton atau lebih.
Mulai keluar dari Selat Madura, perahu berlayar dengan
tenang. Jika kita memandang ke sebelah kiri, pemandangan kita lepas
ke daratan Pulau Jawa dan ke sebelah kanan, pemandangan kita
tertumbuk ke pantai Pulau Madura. Di sana sini kelihatan kaki bukit
yang keputih-putihan, tanah kapur yang tiada ditumbuhi tanam-
tanaman. Kami berlayar antara dua pantai yang agak berlainan
keadaannya. Gunung-gunung di pantai timur Pulau Jawa yang hijau
dan lebih subur itu berdiri dengan tenang, seakan-akan memandang
dengan sayu ke laut.
Sehari semalam lepas dari Gersik barulah kami masuk ke Laut
Jawa. Belum jauh dari Selat Madura, ombak sudah mulai besar.
Beberapa lamanya kami mendapat angin barat, perahu kami seakan-
akan didorong dari belakang. Sepanjang jalan banyak kami berjumpa
dengan sampan-sampan penangkap ikan atau perahu-perahu Madura
yang berlayar dari tempat yang dekat-dekat. Saya berangkat dalam
musim pancaroba atau musim pergantian angin barat dengan musim
timur. Dalam musim yang semacam itu datang angin yang tiada tetap,
antara sebentar berkisar. Maka kedengaranlah suara nakhkoda
memberi perintah kepada anak buahnya untuk menukar letak layar,
karena arah angin selalu berubah-ubah. Saya rasakan perahu amat
oleng, selain ombak besar jalan perahu sudah mengambil haluan ke
kanan kemudian ke kiri. Tak ubahnya sebagai jalan seekor ular yang
berbelit-belit, berputar-putar di air. Jalan perahu semacam itu
menggergaji namanya.
Sebenarnya berlayar dalam musim pancaroba itu kurang baik.
Selain arah datang angin tiada tetap acapkali pula mati, tak berangin
samasekali. Berjam-jam muka laut sebagai suatu kaca bundar yang
maha luas rupanya. Kadang-kadang berhari-hari perahu tiada berjalan.
Dalam keadaan yang semacam itulah acapkali orang mabuk laut. Perut
kita seakan-akan diguncang dan dihentakkan oleh gerak perahu yang
turun naik menurutkan ayunan alun. Udara rasanya amat panas.
Pendahuluan 95
Agaknya seperti awan yang berarak itu pulalah perjalanan nasib
manusia di dunia ini, dibawa untung dan takdir ke mana-mana.”
Sesungguhnya keadaan lautan dan matahari waktu itu memberikan
suatu pemandangan yang sangat indah. Dari sebelah barat kelihatan
awan berarak bergulung dalam warna merah yang menyala disepuh
oleh sinar mambang petang. Akan tetapi, sayang pemandangan itu
sebentar saja. Setelah bola langit yang berat itu tenggelam ke dalam
laut di balik awan yang tergulung yang besusun-susun itu, hilang
pulalah taman cahaya itu sedikit demi sedikit. Tak lama kemudian di
sebelah barat daya tampak kabut putih naik menjulang dari tepi langit.
Dari balik kabut itu bersinar kilat beberapa kali.
“Coba perhatikan Saudara! Mudah-mudahan tak lama lagi kita
mendapat angin yang baik,“ kata seorang anak perahu kepada saya.
Nakhoda pun memandang dengan minatnya ke jurusan itu, seraya
menyuruh perbaiki pasang layar. Benarlah kira-kira seperempat jam
kemudian, air laut mulai terasa beriak dan layar mulailah bergerak.
Rupanya kabut putih yang naik mengepul di tepi langit yang
ditunjukkan anak perahu itu, ialah bunga angin. Semalam-malam itu
perahu kami tiada berhenti-hentinya. Sore lusanya kami telah dapat
melihat Pulau Maslembu dan Pulau Maskambing jauh di muka haluan
kami, tak ubah rupanya sebagai dua ekor sapi hitam berbaring di atas
padang rumput yang biru. Pulau Maslembu dan Maskambing berdekat-
dekatan letaknya di tengah-tengah Lautan Jawa. Yang mendiami
pulau-pulau itu ialah bangsa Bugis, Mandar, dan Madura; orang dari
Jawa pun ada. Tentu mereka itu kaum pelaut belaka. Pulau-pulau itu
menghasilkan kelapa. Di sana kami berhenti untuk mengambil air, ada
kira-kira setengah hari lamanya. Sesudah mandi dengan air tawar di
pulau itu, badan kami bertambah segar kembali: Dari tengah laut yang
saya idamkan sekali, ialah seteguk air kelapa muda. Waktu kami
kembali ke perahu, lepa-lepa (sekoci) kami sudah penuh dengan
kelapa muda, pisang mentah, dan buah kedondong.
Lepas dari sana tak ada lagi tempat berhenti. Haluan kami
mencari Pulau Laut. Kebetulan sesampai kami di Pulau Maslembu, dua
buah perahu lain yang sama-sama berangkat dengan kami dari
Pendahuluan 97
perahu yang lain. Bentuk haluan dan buritannya tiada sama, rendah ke
muka dan tinggi ke belakang. Lunasnya dalam dan biasanya
merupakan dua bahagian. Bila hari hujan, pintu yang menghubungkan
bagian luar dan bahagian dalam dapat ditutupkan dengan mudah,
sehingga air tak dapat masuk, maka perahu itu hanya merupakan
sebuah kotak selodang yang besar terapung-apung di air. Tiada mudah
tenggelam!
Tiga hari pelayaran dari Maslembu kami telah melihat Tanjung
Selatan, amat jauh dan hilang-hilang timbul kelihatannya di sebelah kiri
kami.
Dari jauh tampak puncak-puncak gunung di pantai Kalimantan
itu sebagai pulau yang berdekat-dekatan karena lembahnya masih
tersembunyi di balik permukaan laut. Dekat pantai Kalimantan itu
banyak hujan turun. Ketika kami akan memasuki muara Selat Laut,
turun pula hujan lebat. Sekiranya angin baik dan tak ada hujan, empat
atau lima jam lagi atau malam itu juga , sampailah kami ke Kota Baru.
Jurumudi dan nakhoda lalu bermufakat dalam bahasa Bugis, tetapi
saya mengerti maksud mereka. Juru mudi mengatakan bila terpaksa
pula membongkar sauh di tempat itu, niscaya kami tak dapat menahan
dorongan arus yang amat deras mengalir dari dalam selat kecil itu.
Ombak pun besar. Waktu senja merundung itu benar kami sampai
dekat Pegatan. Hujan semakin hebat. Ketika angin membelok ke dalam
sebuah teluk kecil di belakang muara itu, kedengaran bunyi berdesur
sekuat-kuatnya di bawah lunas perahu. Untung dengan sigap anak-
anak perahu dapat membuka tali layar dan meninggikan kedua belah
kemudi. Rupanya kami terkandas ke atas gosong . Jurumudi tak dapat
mengawasi gosong itu karena hujan dan kabut. Dalam hujan itu juga
berjam-jam mereka bekerja keras mencoba mendorong perahu itu
dengan galah atau menariknya dengan cara mengikat tali jangkar
beberapa meter di muka perahu. Tali jangkar itulah mereka tarik
bersama-sama, tetapi sia-sia saja.
Keesokan harinya tengah hari, setelah pasang naik, barulah
kami terlepas dari gosong itu. Untunglah lunas tiada bocor. Lepas dari
Pendahuluan 99
Mamuju dan dekat Pembaungan, bukan main besar ombak. Perahu
kami tak ubahnya sebagai sekeping sabut yang ringan, terombang-
ambing di atas ombak yang serumah-rumah tingginya. Pembaungan itu
masyhur ombaknya. Sehari semalam anak perahu tak dapat memasak
karena ombak memecah sampai ke atas geladak, dan perahu oleng.
Layar terpaksa dikurangi, dipasang setengah tiang, karena angin
terlalu kencang. Di puncak ombak yang serumah-rumah itu tingginya,
memecah bunga riak, memutih rupanya, tak ubahnya sebagai bunga
karang yang timbul mengambang dari dasar laut.
Entah sebagai penghibur untuk menghilangkan cemas hati
saja, nakhoda itu berkata pula: “Jangan takut, Saudara! Kita masih
untung belum bersua dengan gelombang atau angin yang sampai
mematahkan tiang layar. Ini baru angin baik namanya. Dengan
pertolongan angin begini mudah-mudahan lekas kita sampai.”
Dia dan anak-anak perahu yang lain sedikitpun tak
membayangkan air muka kecemasan. Melainkan di antara beberapa
orang asyik memancing dengan riangnya. Kalau perahu lari semacam
itu, banyaklah mereka mendapat ikan cikalang (tongkol). Cara mereka
memancing sederhana sekali, tiada memakai umpan. Mata pancing itu
mereka lilit dengan bulu ayam serta diberi bertali sepanjang-
panjangnya. Bulu ayam yang putih itu merapung atau bermain di
permukaan air. Sebentar-sebentar menggeleparlah ikan cikalang ke
dalam perahu kami kena pancing itu. Akan tetapi sayang kami tak
dapat menyalakan api waktu itu. Setelah kami menampak bukit-bukit di
Ujung Majene, gelombang mulai berkurang.
“Allah telah menolong kita,” ujar nakhoda itu pula, setelah kami
memasuki teluk Mandar. “Mudah-mudahan besok kita masuk teluk
Pare-Pare!”
Pagi-pagi benar saya sudah bagun, demikian juga teman
sepelayaran itu. Rupanya dari tengah laut itu dia sudah dapat
membauni air nasi dari dapur orang tuanya. Ia berasal dari Pinrang,
sebuah kerajaan kecil antara Pare-Pare dan Majene.
Di haluan, pelabuhan Pare-Pare sudah terbayang hilang-hilang
timbul dalam selimut pagi. Dan sepanjang kaki bukit di pantai Sulawesi
Pendahuluan 101
BAB V
ANGKATAN 45
Pendahuluan 103
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa,
Budak- budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, akan kenal bahagia
Tiada takut pada pitam.
Tiada takut pada kelam
Titam dan kelam punya aku
(Jassin, 1967 : 21)
(Dieja menurut EYD)
Catatan:
- kelam = suram, agak gelap
- pitam = pusing kepala; orang pitam, orang mabuk
Kedua penyair tersebut di atas menggunakan kata-kata sehari-hari
sehingga dapat kita bayangkan maksud mereka.Tiga sekawan pengarang
Tiga Menguak Takdir: Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Chairil Anwar
anarkis, Asrul Sani moralis, Rivai Apin nihilis.
Prof. Dr. A. Teeuw (1958: 88) mengatakan bahwa Rivai Apin adapula
disebut nihilis – dan bukan tak beralasan, asal saja ditambah menyebutnya:
nihilis emosional, nihilis perasaan. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya
dengan dan di dalam dunia ini. Apa yang harus diperbuat dunia ini dengan
dia.
Pendahuluan 105
“ 1943”
Racun berada direguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tambang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderah
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.
H. B. Jassin (1967 : 46) mengatakan bahwa sajak Chairil Anwar “
1943”, jelas nyata lain dari segala bentuk sajak yang pernah ada dalam
persajakan Indonesia. Berbeda bukan saja dalam bentuk, tetapi terutama
dalam isi, loncatan pikiran, suasana perasaan.
Pendahuluan 107
Prof. Dr. Teeuw (1958 : 66 - 67) mengatakan bahwa Chairil Anwar
adalah seorang penuh vitaliteit gunung api yang mengepul-ngepul bernyala-
nyala. Satu kumpulan tenaga-tenaga nafsu hidup yang kuat.
Orang yang memakaikan ukuran biasa kepadanya menganggapnya
seorang yang sombong, kasar, tidak beradat, jahat, dan sebagainya, tetapi
kejujurannya dalam pengertian bahwa ia bukan berniat hendak merugikan
dengan sengaja orang lain, membikin orang merasa sayang kepadanya,
seperti menyayangi anak nakal tetapi belum tahu apa……
Chairil Anwar bersahabat dengan pujangga-pujangga seluruh dunia.
Ia mempelajari pujangga-pujangga luar negeri. Penyair-penyair Rilke,
Marsman, dan Slauerhoft sangat besar pengaruhnya kepadanya di samping
pujangga pemberontak Nietzche yang sangat dikaguminya.
Pergaulannya sangat luas; ia tidak memilih bulu. Di samping bergaul
dengan abang-abang becak, para pengemis dan tukang-tukang lowak, juga
bersahabat dengan Bung Sjahrir, bahkan dengan Bung Karno dan Bung
Hatta.
Chairil Anwar mencurahkan tenaga hidupnya, sepenuh perhatiannya
kepada puisi, sajak-sajaknya. Keadaan ini mengakibatkan kadang-kadang ia
melupakan dirinya, bahkan setelah kawin, ia tidak sempat memikirkan
keadaan rumah tangganya.
Keadaan rumah Chairil Anwar dapat dibayangkan dalam sajaknya
yang berjudul Rumahku di bawah ini.
RUMAHKU
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku terseret tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
Dari: Kerikil Tajam
(H. B. Jassin, 1959 : 60)
DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin dikelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Dari: Deru Campur Debu
(Dieja menurut EYD)
Pendahuluan 109
Bandingkanlah doa Chairil Anwar tersebut di atas dengan doa Amir
Hamzah, yang tercantum di bawah ini.
DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik, setelah menghalaukan panas
payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan,
Melambung rasa menayang pikir, membawa angan
ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang
memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai
sedap malam menyerak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar
bersinar sendu, biar bersinar gelakku raya!
Dari: Nyanyi Sunyi
(Dieja menurut EYD)
Doa Amir Hamzah yang terkandung dalam sajaknya di atas berisi
permohonan kepada kekasihnya (Tuhan) supaya Tuhan mengisi
hatinya dengan firman-Nya; dan supaya dadanya dipenuhi dengan
cahaya Ilahi.
Lain halnya dengan Chairil Anwar, tidak bermohon sesuatu kepada
Tuhan, tetapi mengakui kebesaran Tuhan ; dan mengakui kehinaan
dirinya: Aku hilang bentuk, remuk.
Pendahuluan 111
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadanya.“
Pendahuluan 113
Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata telah hampir terkatup,
Karena murtad, karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas berganti-ganti bentuk
Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan.
Tuhan yang berkata.
Akulah musafir yang mencari Tuhan
Dalam negeri batu retak,
Lalang dan api yang siap bertemu.
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalnya.
Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupa warna,
Berupa wareni
Dan berlupalah sebentar akan kebiasaan umum.
Marilah bermain
Marilah berjalin tangan.
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari Sinar Surya senja
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
“Akulah musafir yang mencari Tuhan.”
Indonesia tahun I No.7, Agustus 1949
(Jassin, 1959 : 415)
(Dieja menurut EYD)
Dalam sajak Asrul Sani ysng berjudul Pengakuan yang tercantum di
atas, Asrul Sani menyebut: Akulah musafir yang mencari Tuhan sebanyak
tiga kali. Penyebutan kalimat itu mengawali dan mengakhiri sajak; dan yang
ketiga tercantum di tengah sajak. Berbagai hal yang dia lakukan untuk
menemukan Tuhan.
Marilah bermain,
Marilah berjalin tangan,
Jangan ingat segala yang sedih.
Angkatan 45 punya konsepsi humanisme universal. Asrul Sani (yang
muak mendengar nama itu) berkata pada akhir 49: Derita dunia ialah derita
kita, karena kita adalah ahli waris dunia yang sah dari kebudayaan dunia.
Dan selanjutnya pula: ‘Temuilah manusia dulu, tidak saja dengan pikiran,
tetapi dengan kaki dan tangan, biarkan segala kelenjar dalam tubuh bekerja
dan hormon-hormon tertumpah dalam darah sebanyak-banyaknya. Kita mesti
berani dulu memandang manusia sonder baju, sonder kegagahan, pretensi
dan segala yang tidak kita temui dalam darah dan daging, dalam esensinya.’
(Jassin, 1967 : 17)
C. Rivai Apin
Rivai Apin d ilahirkan pada tanggal 30 Agustus
1927 di Padang Panjang. Ia berpendidikan SMA.
Pekerjaannya: tukang catut, pembantu pada
Badan Kepolisian, redaktur majalah: “Noesantara”,
redaktur “Gema Suasana”. Selanjutnya, ia jadi
redaktur “Gelanggang” dari warta sepekan “Siasat”
dan pembantu “Zenith” sejak Juni 1951.
Rivai Apin bersama-sama dengan Chairil
Anwar dan Asrul Sani menyusun Tiga Menguak
Takdir (PB 1950).
Di bawah ini dicantumkan sajaknya yang berjudul Putri Bening, Tali
Jangkar Putus, dan Putusan Cita.
1. PUTRI BENING
Kenangan bagi gadis
desa-gunung
pagi dingin
pancuran dengan air putih bening
air sembahyang, telekung putih jernih
Pendahuluan 115
suci bening membungkus segala, selain muka
hidup bercahaya mata, merah membasah
bibirmu merkah
jelita menghimbau
senyuman, suci bening
sederhana sorga!
pemuda kota ini terpekur terpena memandang
Padangpanjang, 7 April 1946
(Jassin, 1959 : 390)
(Dieja menurut EYD)
Sajak di atas menggambarkan kecantikan seorang gadis desa
gunung dengan pakaiannya yang suci bening. Hal ini mengakibatkan pemuda
kota terpekur dan terpesona memandangnya.
D. Idrus
Idrus dilahirkan di Padang pada tanggal 21
September 1921. Ia tamatan SMT. Semasa
Jepang, ia bekerja pada Balai Pustaka dan
PUSD (Perserikatan Usaha Sandiw ara Jawa).
Prof. Dr. Teeuw berpendapat bahwa
menimbang karangan-karangan Idrus adalah
agak sukar. Bukankah ia itu pengarang prosa
yang pertama dari Angkatan ’45 yang dikenal
namanya dan dengan karangan-karangannya
yang bernama Surabaya dan Corat-Coret di
Bawah Tanah sama tegasnya ia membuktikan
putusnya perhubungan antara prosa sebelum dan prosa sesudah perang;
sebagaimana Chairil Anwar melakukan yang demikian itu bagi puisi dengan
sanjak-sanjaknya – dan dalam pekerjaan itu, menurut perasaan saya, ia
mencapai tingkat mutu yang lebih tinggi daripada kebanyakan yang terbit
sebelum dan sesudah itu di dalam bahasa Indonesia (1958 : 103 - 104).
Pendahuluan 117
- Chairil Anwar adalah pelopor Angkatan 45 dengan sajak-
sajaknya.
- Idrus adalah pengarang prosa yang pertama dari
Angkatan 45.
Adakah yang disebut Angkatan 66? Adakah angkatan yang lahir sesudah
angkatan 45? Kalau ada siapakah yang berpendapat seperti itu? Adakah
pendukungnya?
H. B. Jassin berpendapat bahwa seperti juga Angkatan Pujangga Baru
dan Angkatan 45, pun Angkatan 66 tidak sekaligus diterima kehadirannya
oleh semua golongan. Meskipun diakui adanya Angkatan 66 dalam
masyarakat, sebagian orang meragukan adanya dalam kesusastraan, sebab
apakah kriterium kesusastraan yang dapat dipakaikan kepadanya?
Maka ramailah polemik dan kontra apakah tulisan H. B. Jassin dalam majalah
Horison bulan Agustus 1966, memproklamasikan bangkitnya suatu generasi
baru dalam kesusastraan.
Akan tetapi, setuju atau tidak setuju orang telah
mempermasalahkannya dan pengarang-pengarang angkatan baru ini terus
membuktikan adanya dengan karya-karyanya. Tulisan mereka memenuhi
majalah-majalah baru Horison, Sastra (lanjutan), Cerpen, Gelanggang
Budaya Jaya, dan surat-surat kabar. Pun telah ada karya mereka yang terbit
Pendahuluan 119
sebagai buku, distensil atau dicetak. Sebuah antologi khusus Angkatan 66
Prosa dan Puisi memperkenalkan hasil-hasil mereka, seperti sekadar riwayat
hidup dan keterangan mengenai kegiatannya di lapangan penciptaan.
Pujangga Angkatan 66 antara lain: Taufiq Ismail, Bur Rosmanto, dan
Mansur Samin.
(Jassin, 1968 : 7- 9)
antologi: kumpulan karya tulis pilihan dari seorang
atau beberapa orang pengarang
B. Taufiq Ismail
Di bawah ini dicantumkan puisi Taufiq Ismail, yang berjudul Buku Tamu
Musium Perjuangan
Pendahuluan 121
GUGUR DALAM PENCEGATAN
TAHUN EMPAT PULUH DELAPAN
***
Demikianlah cerita kakek penjaga
Tentang pengunjung lelaki separuh baya
Berkemeja drill lusuh, dari luar kota
Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
Datang ke musium perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika hujan rindi tetes di jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku tamu
Buku tahunan keenam, halaman seratus delapan
Dan sebelum dia pergi
Dengan tangannya yang dingin dan aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum pagar halaman lelaki itu tiba-tiba menghilang
1964
(Sajak Ladang Jagung: 1975)
Taufiq Ismail hanya menggunakan kata sehari-hari dalam sajaknya
tersebut di atas. Ia lebih mengutamakan ungkapan makna daripada
komponen sajak lainnya seperti dalam sajak-sajak sebelumnya. Hal ini
memungkinkan sajak itu dapat dipahami isinya tanpa mengerutkan kening.
DUKA
Duka ‘tu
anu
duka ‘tu
aku
aku ‘tu
kau
kau ‘tu
duka
duka ‘bunga
duka daun duka du
ri duka hari
dukaku duka siapa dukamu duka siapa
duka bika
duka apa
duka di mana duka dunia
duka duuuuuuu
kidukhku
duka kau
duka
diri
dua duri
dari
sepi
(Ibrahim: 1980)
Tentang keadaan puisi Ibrahim Satta (1982 : 30) di atas, Mursal
Esten berpendapat bahwa ada kata yang hadir tanpa maknanya. Namun,
mereka masih tetap ingin mendapatkan suasana dari “kata” yang ditampilkan
Pendahuluan 123
, yaitu suasana mistis. Pada pusis-puisi dari penyair sebelumnya, kata dan
maknanya, ada sesuatu yang amat penting .
Catatan: mistik =
1. Subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem
relegi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan
emosi bersama dengan Tuhan: tasawuf, suluh
2. hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa.
mistis = bersifat mistik: ia tertarik untuk mempelajari hal-hal yang –
(bersifat mistik)
(KBBI: PB, 2008 : 921)
Pendahuluan 125
Hamzah, J. A. 1967. Hamka Sebagai Pengarang Roman. Jakarta:
Megabookstore.
Hooykaas. 1951. Perintis Sastra. Jakarta: J. B. Wolters-Groningen
(Terjemahan R. Amar).
Iqbal, M. 1966. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam.
Jakarta: Tintamas.
Jassin, H. B. 1959. Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45. Jakarta:
Gunung Agung.
………...1959. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi. Jakarta: Dinas
Penerbitan Balai Pustaka.
…………(Pengumpul) 1962. Amir Hamzah Raja Penyair Pujuangga
Baru. Jakarta: Gunung Agung.
…………1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai.
Jilid II. Jakarta: Gunung Agung.
Junus, A.M. & Junus, A.F. 2009. Pembentukan Kalimat Bahasa
Indonesia. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Koenodiprodjo. 1954. Kamus Singkat dari Singkatan Kata. Jakarta:
Penerbit S. K. Seno.
Moeis, A. 1952. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.
Muljana, S. 1949. Bimbingan Seni Sastra. Jakarta: J. B. Wolters
Groningen.
………..1952. Sari Pustaka Indonesia. Jakarta: J. B. Wolters
Groningen.
…….….1956. Peristiwa Bahasa dan Sastra. Bandung: Ganaco.
Mushaf An-Nur Al-Qur’an. Terjemahan Per Kata. 2010. Bandung: PT
Mizan Pustaka.
Nasution. 1963. Sanusi Pane. Jakarta: Gunung Agung.
Pendahuluan 127
Haji Andi Muhammad Junus lahir 1 Oktober 1939 di
Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Ia menyelesaikan
pendidikan SD di Sengkang (1953) SMP juga di Sengkang
(1956) SGA di Makassar (1959) FKSS IKIP Makassar (1967),
dan Pascasarjana Universitas Hasanuddin (1997) dengan
judul tesis Interferensi Morfologi Bahasa Bugis dalam
Penggunaan Bahasa Indonesia Tulis Murid Sekolah Dasar
yang Berbahasa Pertama Bahasa Bugis di Kabupaten Wajo
dengan predikat kelulusan “Cum Laude.”
Di bidang karier, penulis pernah menjabat Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia FKSS IKIP Makassar (1971), Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa FKSS
IKIP Makassar (1971-1974) dan Pembantu Dekan III FKSS (1983-1986). Dalam
kegiatan ilmiah, penulis pernah mengikuti Penataran Instruktur Guru Bahasa
Indonesia SLU di Ciloto dan Cibulan (1975, 1977), Penataran Lokakarya P3G di
Jakarta dan Semarang (1980, 1982) dan The 2nd Symposium on Malay and
Indonesia Linguistics di Ujung Pandang (1998).
Karya ilmiah berupa hasil penelitian yang dilaksanakan dan buku yang ditulis
bersama teman sejawad antara lain: Sastra Lisan Bugis (1981) Kemampuan
Berbahasa Indonesia Murid Kelas VI Sekolah Dasar yang Berbahasa Bugis:
Mendengarkan dan Berbicara (1981) Bahasa Indonesia: Buku Pegangan Mata Kuliah
Dasar Umum (1981), Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Mandar (1985) dan
Sintaksis Bahasa Bugis (2002).
Sampai sekarang, penulis menjadi pengajar pada Fakultas Bahasa dan Sastra
Universitas Negeri Makassar dengan pangkat/jabatan terakhir Pembina Utama
Madya/Lektor Kepala, Golongan IV/d.