Anda di halaman 1dari 128

SEJARAH

PERKEMBANGAN
SASTRA INDONESIA

H. ANDI MUHAMMAD JUNUS


ANDI FATIMAH JUNUS

Pendahuluan 1
SEJARAH PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA
Hak Cipta @ 2016 oleh Andi Muhammad Junus & Andi Fatimah Junus
Hak cipta dilindungi undang-undang

Cetakan Pertama, 2016

Diterbitkan oleh Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar


Hotel La Macca Lt. 1 Kampus UNM Gunungsari Baru
Jl. A. P. Petta Rani Makassar 90222
Tlp./Fax. (0411) 855 199

ANGGOTA IKAPI No. 011/SSL/2010


ANGGOTA APPTI No. 010/APPTI/TA/2011

Layout/format: Badan Penerbit UNM

Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk apa pun


tanpa izin tertulis dari penerbit

Perpustakaan Nasional RI: Data Dalam Terbitan (KDT)

Junus, Andi Muhammad & Junus, Andi Fatimah

Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia /


Andi Muhammad Junus & Andi Fatimah Junus- cet.1

Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar


Makassar 2016
121 hlm; 21 cm
Bibliografi: 119 hlm
ISBN : 978-602-6883-06-3

2 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


DARI PENERBIT

Tugas utama Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar (UNM)


Makassar untuk menerbitkan buku-buku ajar atau buku teks dari
berbagai bidang studi yang ditulis oleh staf pengajar UNM Makassar.
Buku “ Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia ” ini adalah
karya Drs. H. Andi Muhammad Junus, M.Hum. dan Andi Fatimah
Junus, S.Ag.M.Pd. adalah staf pengajar pada Fakultas Bahasa dan
Sastra, yang memang berkompeten dalam bidang kebahasaan.
Mudah-mudahan kehadiran buku ini dapat memberikan motivasi
kepada staf pengajar yang lain untuk menulis buku-buku ajar yang
dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar, maupun sebagai
referensi dalam pelaksanaan kuliah yang relevan.
Semoga Tuhan memberkati tugas mulia kita semua.
Makassar, Januari 2016

Badan Penerbit UNM


Makassar

SAMBUTAN REKTOR
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

Universitas Negeri Makassar (UNM) adalah salah satu perguruan


tinggi yang bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni serta mendidik tenaga akademik yang profesional dalam
berbagai bidang. Agar tujuan tersebut dapat dilaksanakan sebaik-
baiknya diperlukan kreativitas dan upaya keras dari segala bidang dari
sivitas akademikanya.

Pendahuluan 3
Salah satu kegiatan yang sangat didambakan ialah penulisan dan
penerbitan buku ajar oleh para tenga ahli yang ada dalam lingkungan
perguruan tinggi ini. Kurangnya buku ajar yang berbahasa Indonesia
sangat dirasakan, baik oleh para mahasiswa maupun para dosen.
Terbitnya buku yang berjudul “ Sejarah Perkembangan Sastra
Indonesia ” kami sambut dengan baik, diiringi rasa syukur yang
sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Buku yang ditulis oleh Drs. H. Andi Muhammad Junus, M.Hum.
dan Andi Fatimah Junus, S.Ag.M.Pd. ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai acuan utama dalam perkuliahan yang relevan.
Oleh sebab itu, atas nama pimpinan Universitas Negeri Makassar
mengharapkan kehadiran buku ini dapat bermanfaat. Semoga Tuhan
tetap memberkati kita semua dalam melaksanakan tugas dan
pengabdian masing-masing.

Makassar, Januari 2016


Rektor,

Prof. Dr. H. Arismunandar,


M. Pd.

4 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji penulis persembahkan ke hadirat


Allah SWT. Dengan curahan rahmat dan hidayah-Nya, buku ini dapat
terwujud.
Dalam buku ini, penulis mencantumkan secara singkat sejarah
perkembangan sastra Indonesia. Buku ini disusun untuk menjadi bahan
kuliah dan buku rujukan terutama bagi mahasiswa Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar dan Universitas
Muhammadiyah Makassar. Juga, diharapkan buku ini bermanfaat bagi
mahasiswa lainnya dan bagi para peminat yang ingin memperdalam
pengetahuannya tentang sejarah perkembangan sastra Indonesia.
Dalam penulisan buku ini, penulis memanfaatkan sejumlah
buku sebagai rujukan terutama buku terbitan PN Balai Pustaka Jakarta
dan PT Gunung Agung Jakarta.
Buku yang sederhana ini tentu belum sempurna. Oleh karena
itu, saran dari para pembaca untuk penyempurnaannya sangat
diharapkan.
Terselenggaranya penerbitan buku ini karena berkat bantuan
dari Rektor Universitas Negeri Makassar. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih.

Makassar, Januari 2016

H. Andi Muhammad Junus


Andi Fatimah Junus

Pendahuluan 5
DAFTAR ISI
Dari Penerbit i
Sambutan Rektor ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Penggunaan Istilah Sastra dan Kesusastraan 1
B. Sastra dan Kebudayaan 3
C. Bahasa dan Sastra 6
D. Masyarakat Lama dan Masyarakat Baru 9
E. Batas Waktu Antara yang Lama dan yang Baru 13

BAB II MASA MULA SASTRA INDONESIA 17


A. Berbagai Pendapat tentang Masa Mula Sastra Indonesia 17
B. Dokumen Kesusastraan Indonesia Modern 19
C. Bahan Dokumentasi yang Dipamerkan 23

BAB III ZAMAN BALAI PUSTAKA 25


A. Merari Siregar 27
B. Marah Rusli 30
C. Abdul Muis 36
D. Jamaluddin (Adinegoro) 42
E. Muhammad Yamin 45
F. Rustam Effendi 49
G. Sanusi Pane 52

BAB IV ZAMAN PUJANGGA BARU 57


A. Mr. Sutan Takdir Alisjahbana 58
B. Armin Pane 66
C. Amir Hamzah 70

6 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


D. J. E. Tatengkeng 74
E. Hamka 77
F. Zuber Usman 87

BAB V ANGKATAN 45 95
A. Chairil Anwar 98
B. Asrul Sani 104
C. Rivai Apin 108
D. Idrus 110

BAB VI ANGKATAN 66 113


A. Masalah Penamaan Angkatan 66 113
B. Taufiq Ismail 114
C. Ibrahim Satta 117

DAFTAR PUSTAKA 119

Pendahuluan 7
BAB I
PENDAHULUAN

A. Penggunaan Istilah Sastra dan Kesusastraan


Di bawah ini dikemukakan penggunaan istilah sastra demikian juga
istilah kesusastraan untuk mempermudah uraian selanjutnya.
A. M. Moeliono (1996: 270) mengatakan bahwa dengan bertambahnya
wawasan kita dengan soal-soal kesusastraan tidakkah ada baiknya untuk
selanjutnya kita mempertegas batas-batas istilah sebagai berikut:
a. istilah sastra, dipakai sebagai istilah umum yang meliputi beberapa ilmu
yang bersangkut-paut dengan bahasa, filsafat, seni, sejarah, dan
kebudayaan. Jadi, di fakultas sastra diadakan dan diselidiki ilmu-ilmu
sastra;
b. istilah susastra, dipakai untuk mengacu kepada hasil kerja sastra yang
konkret, jadi ada susastra Indonesia, susastra Inggris dan sebagainya,
(literature, belies-lettres);
c. istilah kesusastraan, dipakai untuk mengacu kepada abstraksi soal-soal
susastra. Jadi ada teori kesusastraan, kritik kesusastraan dan
sebagainya, (cf. masyarakat dan kemasyarakatan).
Catatan:
Pada dasarnya pembicara dalam simposium Bahasa dan
Kesusastraan Indonesia (25-28 Oktober 1996) bisa menyetujui (usul A.M.
Moeliono, 1996: 275) mengingat kebutuhan ilmiah.
- Sastra dipakai dalam kombinasi ilmu-ilmu.
- Susastra dipakai untuk pengertian literature.

8 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


- Kesusastraan dipakai untuk pengertian yang abstrak.
cf: confer = cocokkanlah
cf/cp: confer/compare = cocokkanlah (dalam ilmu perdagangan)
Istilah kesusastraan, kata dasarnya adalah sastra yang berimbuhan ke- (su-
sastra) -an. Istilah sastra mengandung berbagai pengertian, seperti yang
tercantum dalam kamus di bawah ini.
W. J. S. Poerwadarminta
(Kamus Umum Bahasa Indonesia.1976. Jakarta: PN Balai Pustaka
halaman 875)

sastra: 1. bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab


(bukan bahasa sehari-hari);
2. kesusastraan, karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa (seperti
gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah);
3. kitab suci (Hindu), (kitab) ilmu pengetahuan;
4. sl. pustaka, kitab primbon (berisi ramalan, perhitungan, dan sebagainya);
5. sl. tulisan, huruf
seni sastra = seni karang-mengarang prosa dan puisi yang indah-indah
Catatan: sl = istilah sastra lama
Dendy Sugono (Pem. Red.)
(Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa, 2008. Edisi IV.
Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, halaman 1230)
sastra n 1. bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab,
2. kesusastraan,
3. kitab suci Hindu, pustaka, tulisan
sastra bandingan = telaah dan analisis terhadap kemiripan dan pertalian di
antara karya sastra berbagai bahasa dan bangsa
sastra daerah = sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa daerah
sastra dunia = sastra yang dapat dipahami dan dinikmati oleh berbagai
bangsa di dunia, sastra yang dianggap paling tinggi mutunya
sastra Indonesia = sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia
sastra Indonesia klasik = sastra klasik yang ditulis dalam semua bahasa
daerah yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk bahasa Melayu
sastra klasik = sastra yang berkembang sebelum adanya pertemuan dan
pengaruh kebudayaan Barat
sastra kontemporer = sastra yang hidup di masa kini atau di waktu yang
sama; sastra yang berusaha bergerak mendahului keadaan zamannya
Pendahuluan 9
sastra lisan = 1. hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat tradisional
2. suatu yang diwariskan secara lisan, seperti pantun, nyanyian
rakyat, dan cerita rakyat
sastra modern = sastra yang berkembang setelah adanya pertemuan dan
pengaruh kebudayaan Barat
sastra nusantara = sastra daerah
sastra tulisan = sastra yang timbul setelah manusia mengenal tulisan, di
Indonesia mulai berlangsung setelah bangsa Indonesia berkenalan dengan
kebudayaan asing, yakni kebudayaan Hindu, Islam, dan Barat.
Pada kutipan-kutipan di atas dapat kita lihat bahwa A. M. Moeliono
membedakan pengertian istilah sastra dan kesusastraan. W. J. S.
Poerwadarminta menyatakan bahwa istilah sastra memayungi istilah
kesusastraan; dengan perkataan lain bahwa salah satu pengertian istilah
sastra adalah kesusastraan, juga Dendy Sugono mengatakan demikian.
Istilah sastra mencakup pengertian istilah kesusastraan atau dengan
perkataan lain kesusastraan adalah salah satu komponen sastra.

Pada mulanya para sastrawan dan kritikus sastra menggunakan


istilah kesusastraan seperti: Prof. Dr. A. Teeuw (1952), B. Simorangkir
Simanjuntak (1954), Gazali B.A. (1958), Zuber Usman, B. A. (1959), H. B.
Jassin (1962), Dra. Aning Retnaningsih (1965); juga nama lembaga seperti
Direktorat Bahasa dan Kesusastraan.
Kemudian, para penulis (sastrawan) lebih cenderung menggunakan
istilah sastra (yang mencakup pengertian kesusastraan) seperti: Fachruddin
Ambo Enre (1963), Ajip Rosidi (1976), Mursal Esten (1982), Drs. Aminuddin,
M. Pd. (2010) dan Dr. M. Rafiek, M. Pd. (2010).
Yang dimaksud dengan kesusastraan Indonesia atau sastra Indonesia
ialah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia.

B. Sastra dan Kebudayaan


Dr. S. O. Robson (1978: 6-7) mengatakan bahwa sastra sebenarnya
apa? Ia tidak berani mengajukan definisi, tetapi ia mengajukan usul bahwa
sastra adalah sebagian dari kebudayaan, yaitu kebudayaan dalam arti yang

10 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


luas, bukan sekadar kehalusan atau kesenian. Jadi pada gilirannya
mengharuskan kita membuat definisi kebudayaan.
Yang dimaksud dengan kebudayaan adalah kelompok adat kebiasaan,
pikiran, kepercayaan dan nilai yang turun-temurun; dan dipakai oleh
masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi dan menyesuaikan diri
terhadap segala situasi yang sewaktu-waktu timbul, baik dalam kehidupan
individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat secara keseluruhan.
Selanjutnya, Robson mengatakan bahwa barangkali penting untuk
memberikan perhatian sedikit pada definisi itu, karena ada beberapa hal yang
berguna untuk pembicaraan sastra, kalau seandainya sastra boleh dipandang
sebagai bagian dari kebudayaan.
1. Kebudayaan merupakan milik masyarakat sebagai keseluruhan, dibagi
oleh semua individu yang menjadi anggotanya.
2. Kebudayaan turun-temurun yang diturunkan dari generasi ke generasi,
tetapi dalam pada itu juga akan berubah, karena .....
3. Mempunyai fungsi bertalian dengan kebutuhan masyarakat pada zaman
itu.
4. Walaupun sendiri tidak kelihatan, ditampakkan oleh kelakuan, dalam
kegiatan kehidupan sehari-hari atau kegiatan istimewa pada kesempatan
luar biasa.
Sudah dimaklumi bahwa bahasa adalah sebagian dari kebudayaan. Bahasa
selalu digunakan dalam sastra, dengan perkataan lain sastra selalu
menggunakan bahasa. Tanpa bahasa tidak ada sastra, tetapi dalam pada itu
sudah terang bahwa sastra tidak serupa dengan bahasa. Sastra juga
merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi termasuk definisi kebudayaan
pada tingkat yang lain lagi; karena sastra bukan hanya milik bersama dari
masyarakat, bukan hanya diturunkan dari generari demi generasi, tetapi juga
mempunyai fungsi dalam alam pikiran. Selain membayangkan pikiran, sastra
juga membentuk norma, baik untuk orang sezaman maupun untuk mereka
yang akan menyusul kelak.
Bahasa adalah sebagian dari kebudayaan; sastra juga
merupakan bagian dari kebudayaan
Prof. Dr. P. J. Zoetmulder dalam bukunya: Cultuur Oost en West
menyatakan sebagai berikut.

Pendahuluan 11
Cultuur, is de door de redelijke mens geleide ontwikkling van
mogelijkheden en krachten der natuur, vooral der menselijke natuur, zodat ze
een harmonisch geheel vormen.
'Kebudayaan ialah perkembangan dari segala kemungkinan-kemungkinan
dan tenaga alam, terutama alam manusia, yang diusahakan oleh manusia
sendiri dengan sadar dan teratur, sehingga merupakan kesatuan yang
harmonis, selaras atau seimbang.'
Juga, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang tokoh kebudayaan Indonesia,
mengatakan bahwa kebudayaan ialah penjelmaan cara berpikir dari
sekumpulan manusia pada suatu tempat dan suatu ruang.
(Gazali, 1958 : 11)
Prof. Dr. PH. O. L. Tobing c.s. (1961 : 69 - 70) berpendapat bahwa
kebudayaan itu adalah hasil usaha manusia sedapat mungkin mengolah atau
mengikuti kosmos dan tata-tertibnya, dalam mana termasuk juga manusia,
sedemikian rupa sehingga manusia memperoleh penghidupan yang lebih
harmonis dan yang lebih tinggi, baik di dalam lapangan kerohanian maupun
di lapangan kebendaan.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa di dalam dunia modern sedapat
mungkin orang menjauhkan diri dari kosmos dan tata-tertibnya. Orang
menganggapnya untuk sebagian besar sebagai objek dan harus dipelajari
agar dapat dipakai untuk kepentingan sendiri.
Lain sekali di dunia sederhana. Di sini adalah paling ideal sedapat-
dapatnya mengikuti kosmos dan tata-tertibnya. Orang menganggap dirinya
untuk sebagian besar hanya bagian dari kosmos dan tata tertibnya. Oleh
karena itu, dia merasa dirinya aman dan sentosa, jikalau di dalam segala
pikiran dan tindakannya dia sedapat-dapatnya mengusahakan jangan sampai
menyimpan dari kosmos dan tata-tertibnya.
Kebudayaan adalah ciptaan manusia

Jika sudah dimufakati bahwa kebudayaan adalah ciptaan manusia,


maka yang di luar ciptaan manusia bukanlah termasuk kebudayaan. Agama,
dalam hal ini agama samawi, seperti Islam bukanlah kebudayaan; ia adalah
ciptaan yang menciptakan manusia yang membentuk kebudayaan, yaitu Allah
SWT.
Manusia dengan kemampuan yang dimilikinya dapat membuat
sesuatu yang bahan bakunya ciptaan Allah SWT untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.

12 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


C. Bahasa dan Sastra
Betapa indahnya terasa penggunaan bahasa Dr. Muhammad Iqbal,
sebagai seorang penyair dan ahli pikir, ketika ia menunjukkan karya seni
manusia tatkala ia bicara kepada Tuhan.

Thou didst create night and I made the lamp


Thou didst create clay and I made the cup
Thou didst create the deserts, mountains and forests
I produced the orchards, gardens and the groves;
It is I who turneth stone into a mirror
And it is I who turneth poison into an antidote.
(Kau menciptakan malam dan aku yang membuat pelita
Kau menciptakan tanah liat dan aku yang membuat piala
Kau menciptakan sahara, gunung-gunung dan belantara
Aku yang membuat kebun anggur, tanam-tanam dan padang
tanaman;
Akulah yang telah mengubah batu menjadi cermin
Akulah yang telah mengubah racun menjadi obat penawar).
(Muhammad Iqbal, 1966 : xv - xvi)

Diksi (pemilihan penggunaan kata yang tepat) dalam penyusunan


kalimat Iqbal tersebut di atas di samping terasa serasi dengan makna yang
diungkapkannya, juga menambah indahnya syair itu. Ia menggunakan istilah
create ('menciptakan') untuk Tuhan; untuk dirinya sendiri digunakan istilah
made ('membuat') dan turneth ('mengubah'). Pencipta yang sesungguhnya
adalah Tuhan semesta Alam.
Istilah cipta (ciptaan, pencipta) yang biasa digunakan pada
seseorang, sebatas ciptaan manusia sebagai makhluk seperti: pencipta lagu,
pencipta televisi, memalsukan ciptaan, dan sebagainya.
Muhammad Iqbal merasa kesal bila mendengar orang berbicara tentang "l'art
pour l'art" (seni untuk seni), yang dianggapnya sebagai hasil lamunan.
Secara dinamis, seni harus menjurus kepada kehidupan manusia, di
samping memberi rasa nikmat; harus memberi bimbingan kepada pikiran dan
kegiatan manusia. Seni ialah yang hidup, yang membawa kesadaran dan
kehidupan bagi manusia.

Pendahuluan 13
Kalau Tuhan menciptakan alam, manusia menciptakan seni
(Muhammad Iqbal: 1966 : XV)

Siapakah Dr. Sir Muhammad Iqbal?


Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Pundjab 22 Februari 1873,
dari keluarga yang nenek moyangnya berasal dari Lembah Kasjmir. Setelah
tamat dari sekolah dasar di Sialkot, ia melanjutkan pelajarannya ke Lahore
dalam tahun 1895. Selama di Lahore, ia beruntung bertemu dengan seorang
ulama yang memberinya bimbingan, yang bernama Maulana Mir Hasan.
Ulama besar ini adalah teman bapaknya. Ulama yang menjadi gurunya inilah
yang sangat berkesan dalam hati Iqbal dan yang telah turut membentuk
jiwanya dalam ajaran-ajaran agama.
Kedinamisan cara berpikir, baik sebagai seorang pujangga maupun
sebagai seorang ahli pikir, diungkapkannya dalam sajaknya yang berikut.
On this road halt is out of place
A static condition means death
Those on the move have gone ahead
Those who tarried even a while got crushed.
‘Berhenti, tak ada tempat di jalan ini
Sikap lamban berarti mati
Mereka yang bergerak, merekalah yang maju ke muka
Mereka yang menunggu, sejenak sekali pun, pasti tergilas.’

Perbedaan Prinsip Nietzsche dan Iqbal


Ubermensch-nya Nietzsche seorang manusia materialis
Ideal Man-nya Iqbal ialah bernama Mu’min
(Muhammad Iqbal, 1966: XIX)

Iqbal sebagai penyair, ahli pikir, dan filosof besar pernah berpesan:
Kukatakan kepadamu tanda seorang Mu’min
Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir
Dalam tahun 1905 atas saran gurunya, Sir Thoman Arnold, Iqbal
melanjutkan studinya ke Eropa, yang kemudian berhasil mencapai

14 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


kesarjanaan dalam hukum pada Universitas Cambridge di Inggris dan
mencapai doktor dalam filsafat modern pada Universitas Munich di Jerman
dengan mengemukakan disertasi Perkembangan Metafisika di Persia (The
Development of Metaphysics in Persia)
Ketika menerima berita kematian Iqbal, Rabindranath Tagore
mengatakan sebagai berikut:
The death of Sir Muammad Iqbal creats a void in literature that like a
mortal wound will take a very long time to heal. India, whose place in the
world is too narrow can ill afford to miss a poet whose poetry had such
universal value.
'Kematian Muhammad Iqbal telah meninggalkan kekosongan dalam
kesusastraan, yang seperti luka parah, lama sekali baru akan dapat
disembuhkan. India, yang letaknya begitu sempit dalam dunia, dapat
menderita karena kehilangan penyair yang sajak-sajaknya sudah demikian
mencapai universal.'
Sjakib Arselan, pejuang Islam di Syiria dan pengarang terkenal,
sangat mengagumi Iqbal. Ia mengatakan bahwa Iqbal adalah ahli pikir
terbesar yang pernah dilahirkan dunia Islam selama seribu tahun belakangan
ini.
(Muhammad Iqbal, 1996: IX)
Dr. C. Hooykaas mengatakan bahwa bilamana suatu bahasa
dipergunakan dengan kecakapan, pengertian, dan perasaan, akan timbullah
suatu hal yang dengan jelas dapat kita namakan kesenian bahasa. Akan
tetapi oleh karena bunyinya sebaik mungkin dituliskan dengan huruf, maka
disebutlah sastra, bahkan kesusastraan.
Sast(e)ra berasal dari kata Sansekerta, Càstra, yakni kitab pelajaran
budi; dengan su- (baik, indah) sastra biasanya dimaksudkan tulisan-tulisan
indah bahasa Prancis:
bellettrie, jadi berlainan dengan karangan-karangan tentang hal-hal
praktis dan hal-hal teknik. Akan tetapi jangan sekali-kali dilupakan bahwa
suaralah yang diutamakan, sesudah itu barulah huruf.
(Hooykaas, 1951: 17)

Pendahuluan 15
BAHASA BERSIFAT ELASTIS
Bahasa adalah bentuk ekspresi (atau seperti kata orang: fungsi)
pemikiran. Namun pemikiran tidak dapat maju kalau bahasa tidak
mengikutinya. Untuk memenuhi pengabdian-pengabdian yang dituntut
oleh pikiran, bahasa adalah sarana penolong yang paling berguna bagi
kita, tetapi sempurna, bahasa itu tidak demikian halnya. Pikiran selalu
menginginkan lebih banyak daripada yang dapat dihasilkan bahasa.
Namun bahasa memiliki elastisitas yang besar, dan kemungkinan-
kemungkinan pengembangannya banyak sekali.
(Dr. A. G. Van Hamel, 1972 : 13)

D. Masyarakat Lama dan Masyarakat Baru


Masyarakat lama melahirkan sastra lama; masyarakat baru
melahirkan sastra baru. Baik sastra lama maupun sastra baru terdiri atas
bentuk puisi dan bentuk frosa.
Masyarakat lama dipayungi dan dipagari oleh folklor. Apakah yang dimaksud
dengan istilah folklor?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa (Edisi IV,
2008 : 395 - 396) tercantum pengertian folklor sebagai berikut:
folklor n (nomina)
1. adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-
temurun, tetapi tidak dibukukan;
2. ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan;
- folklor bukan lisan:
folklor yang diciptakan, disebarluaskan, dan diwariskan tidak dalam
bentuk lisan (arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan
perhiasan tradisional, bunyi isyarat dan musik tradisional);
- folklor lisan:
folklor yang diciptakan, disebarluaskan dan diwariskan dalam bentuk
lisan (bahasa rakyat, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian
rakyat).
Ciri-ciri pengenal utama folklor
1. Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan.
2. Folklor bersifat tradisional.

16 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


3. Folklor ada dalam versi-versi bahkan dalam varian-varian yang
berbeda karena cara penyebarannya dari mulut ke mulut. Hal ini
menyebabkan mudah mengalami perubahan bentuk luarnya sedangkan
bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
4. Folklor bersifat anonim.
5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berpola. Cerita rakyat misalnya
selalu menggunakan kata-kata klise seperti:
bulan empat belas hari
kata sahibul hikayat
6. Folklor mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan
bersama. Cerita rakyat misalnya:
alat pendidik
pelipur lara
protes sosial
7. Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
(Brunvand, Carvalho Neto, Damandjaja dalam Rafiek, 2010 : 51 - 52).
Brunvand (dalam Rafiek, 2010: 52 - 53) membedakan folklor atas tiga
macam.
1. Folklor lisan: termasuk di dalamnya:
- puisi rakyat (pantun, gurindan, dan syair)
- prosa rakyat (mitos, legenda dongeng)
2. Folklor sebagian lisan: campuran unsur lisan dan bukan unsur lisan
(permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara,
pesta rakyat dsb.)
3. Folklor bukan lisan: yang termasuk di dalamnya: arsitektur rakyat
(bentuk rumah asli daerah), pakaian dan perhiasan tubuh adat, bunyi
gendang dsb.)

- Puisi dan prosa rakyat dipayungi oleh folklor.


- Folklor adalah unsur kebudayaan (bagian kebudayaan) yang
diwariskan secara turun-temurun.

Catatan: Folklor berasal dari bahasa Inggris: folklore


- folk: sekelompok orang, rakyat
- lore: tradisi folk, yaitu sebagai kebudayaan yang diwariskan secara turun-
temurun, adat, pengetahuan
- folklore: cerita rakyat, dongeng-dongeng

Pendahuluan 17
Sifat masyarakat lama yang terpenting ialah sebagai berikut.
1. Perasaan persatuan yang kukuh antara anggota-anggotanya, yang
antara sesamanya tidak banyak berbeda dan sekaliannya dapat
memenuhi keperluannya tentang rohani dan jasmani dalam lingkungan
masyarakat itu.
2. Adat yang timbul di masa yang silam dan berakar kepada kepercayaan,
kepada agama (kepada dunia yang gaib dan sakti) melingkupi dan
menguasai segala cabang kehidupan, yang padu bersatu.
3. Oleh sifat-sifat yang di atas masyarakat tiada bergerak, pertentangan
antara orang dan golongan sangat sedikit, karena sekaliannya sudah
tetap watas-watasnya.
(Alisjahbana, 1961: 5)
Lahirnya Masyarakat Baru
Masyarakat lama yang bersifat statis, lama kelamaan berubah
menjadi masyarakat baru. Faktor utama terjadinya perubahan sifat adalah
sebagai berikut.
1. Pengaruh Agama Islam
Agama Islam membawa corak yang lain, ia sangat mengutamakan
manusia seorang-seorang, tanggung jawab dan kewajibannya masing-
masing.
Perhatikanlah Firman Allah SWT.
38. Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya
(Al- Muddassir, 74: 38)
MUSHAF AN-NUR AL-KUR'AN
TERJEMAHAN PER KATA
Perhatikan juga Firman Allah SWT. di bawah ini.
41. Sungguh, kami menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur’an) dengan
membawa kebenaran untuk manusia, barang siapa mendapat petunjuk
maka (petunjuk itu) untuk dirinya, dan siapa sesat maka sesungguhnya
kesesatan itu untuk dirinya sendiri, dan engkau bukanlah orang yang
bertanggung jawab terhadap mereka.
(Surat Az-Zumar, 39 : 41)
MUSHAF AN-NUR AL-KUR'AN
TERJEMAHAN PER KATA

18 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Akan tetapi, dalam berbagai hal, pemeluk agama Islam di samping
yang menyesuaikan diri juga yang masih patuh pada adat-istiadat masyarakat
lama.
Orang yang beriman disuruh memelihara diri dan juga keluarganya
dari api neraka.
Allah SWT. Berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka
(Surat At-Tahrim, 66 : 6)
MUSHAF AN-NUR
AL-KUR'AN
TERJEMAHAN PER KATA

2. Pengaruh Barat (Masyarakat Eropa)


Sebenarnya, perubahan yang terbesar, yang terjadi di negeri ini dan
yang penting untuk memahamkan puisi baru sebagai pancaran masyarakat
baru, yaitu perubahan yang disebabkan oleh pertemuan masyarakat kita
dengan masyarakat Eropa.
Seperti bangsa Timur yang lain, bangsa Indonesia dengan sengaja
pula menyongsong kebudayaan Eropa, dengan jalan memasuki sekolah yang
didirikannya, membaca bukunya, menjadi pegawai dalam perusahaannya,
turut menyertai perdagangan internasional, dll.
Sekolah, berbagai-bagai didikan dan pengajaran tentang ekonomi,
kesehatan, dll., perlahan-lahan mengubah pikiran dan anggapan. Ikatan adat
yang mengekang sudah longgar dan mata mereka tertuju ke depan.
Perubahan-perubahan tersebut di atas melahirkan masyarakat baru.
Masyarakat baru melahirkan puisi baru, puisi baru adalah pancaran
masyarakat baru.
Pernyataan melepaskan diri dari kebiasaan lama, baik isi maupun
bentuk tercantum seperti dalam puisi/sajak Rustam Effendi sebagai berikut.
Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair
bukan beta budak negeri,
menurut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,

Pendahuluan 19
beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma,
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
(Percikan Permenungan, 1924)
(Dieja menurut EYD)

E. Batas Waktu Antara yang Lama dan yang Baru


Batas waktu antara perpustakaan lama dan yang baru ialah
permulaan abad yang ke XX ini.
Oleh Prof. Dr. C. Hooykaas mengatakan bahwa perpustakaan baru
dimulainya dengan kitab-kitab yang dikarang oleh Abdullah bin Abdul Kadir
Munsji ±100 tahun yang lalu.
Betul Abdullah sudah banyak dipengaruhi oleh murid-muridnya
bangsa Inggris, seperti Raffles dan Perguhar dll. Dalam kitab-kitabnya, ia
telah menuliskan perasaannya sendiri dan sudah berani pula menyiasati adat
kebiasaan lama, tetapi bahasanya masih mempunyai corak bahasa
perpustakaan lama; ia masih menggunakan kata-kata seperti: maka,
syahdan, alkian, alkisah, arkian, kalakian, dsb.
Abdullah sebagai seorang peranakan Keling, menyiasati adat
kebiasaan lama itu lebih mudah daripada orang Indonesia sejati yang lebih
terikat oleh suasana dan keadaan sekelilingnya.
Yang betul-betul mempunyai cara baru dalam pemakaian bahasa
ialah majalah Bintang Hindia yang mulai diterbitkan dalam tahun 1903, suatu
majalah dalam bahasa Indonesia yang betul-betul telah bersifat modern,
dihiasi dengan potret dan bahasanya telah mengutamakan bahasa yang
hidup sehari-hari. Kalimatnya pendek-pendek, tetapi hidup dan tepat
lukisannya.
Yang menjadi kepala pengarang majalah itu ialah Dr. A. Rivai (alm)
yang waktu itu menjadi mahasiswa di Amsterdam. Perbedaan yang dilakukan
oleh Dr. A. Rivai demikian besarnya, sehingga majalahnya itu yang dikirimkan
oleh pemerintah Kolonial Belanda ke sekolah-sekolah lanjutan dengan cuma-
cuma, pada beberapa sekolah, terutama sekolah guru dilarang oleh guru-
guru membaca dan menerimanya, dikatakan merusak bahasa yang lazim.
(Usman, 1959 : 10 - 11)

20 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Siapakah Abdullah bin Abdul Kadir Munsji?
Abdullah ialah pengarang Melayu yang mula-mula keluar dari
kebiasaan lama, yang melanggar dan mematahkan tradisi yang sudah turun-
temurun, yang memalingkan penanya dari menceritakan kisah yang ghaib-
ghaib atau dari alam khayal ke dunia kenyataan.
Prof. Dr. C. Hooykaas memasukkan Abdullah dalam golongan
perintis (permulaan) pengarang baru, karena pandangannya dalam karang-
mengarang sudah lain sekali dari pengarang-pengarang Melayu sebelumnya.
Sezaman Abdullah ada dua orang pengarang Melayu bersaudara Radja Ali
Hadji dan Siti Saleha tidak dimasukkan orang ke dalam golongan pengarang
kesusastraan baru, karena kedua pengarang itu tidak membawa perubahan
apa-apa dalam lapangan sastra. Yang pertama terkenal karena Gurindam
Dua Belasnya dan yang kedua karena Sjair Abdul Muluknya. Keduanya itu
masih tetap berpegang pada bentuk puisi lama.
Abdullah pun dalam puisi masih tetap menggunakan bentuk lama,
yaitu sjair dan pantun. Oleh karena itu ada yang mengatakan kaki Abdullah
sebelah telah menginjak zaman baru dan yang sebelah lagi masih tetap
terikat pada zaman lama.
Abdullah banyak bergaul dengan orang-orang Barat, khususnya
dengan Raffles; ia pun berkenalan dengan Milne dan Thomson dari kalangan
penyiar agama Kristen. Kepada Milne, Abdullah belajar bahasa Inggris dan
sebaliknya Milne belajar bahasa Melayu kepadanya. Abdullah banyak pula
membantu penyiar-penyiar agama Kristen itu memperbaiki terjemahan kitab
Injil; oleh anak negeri ia digelari Abdullah Padri.
Dalam diri Abdullah mengalir dua percikan darah kebudayaan di
samping darah Melayu. Dari pihak bapak diterimanya percikan darah Arab,
bapak dari kakeknya seorang Arab yang berasal dari Yaman yang bernama
Sjech Abdulkadir, seorang guru agama dan ahli bahasa. Mula-mula ia
menetap di Nagore, tanah Keling, dan kawin dengan seorang perempuan
Keling.
Kakek Abdullah akhirnya menuju lebih ke Timur dan menetap di
Malaka dan kawin dengan anak seorang ulama yang terkenal pada saat itu.
Dari perkawinan itulah lahir bapak Abdullah yang juga bernama Abdulkadir,
yang juga sebagai guru agama dan guru bahasa.
Abdulkadir, pada perkawinannya yang kedua kali (thn. 1785) beroleh anak
lima orang laki-laki; Abdullah yang bungsu. Keempat saudaranya meninggal
semasa kecil.

Pendahuluan 21
Abdullah dilahirkan kira-kira dalam tahun 1796; dari kecil ia
penyakitan. Mula-mula ia diobati oleh seorang tabib bangsa Keling, kemudian
oleh dukun Melayu; ia tetap penyakitan. Ia pernah dijual kepada beberapa
orang ibu dengan pengharapan, ia dipanjangkan Tuhan umurnya.
Sejak umur tujuh tahun, Abdullah suka sekali bermain-main dengan kalam
dan tinta di rumah.
Dalam otobiografinya, Hikayat Abdullah, Abdullah menceritakan
dirinya bahwa setelah ia agak besar ia disekolahkan di bawah asuhan
neneknya, yang mengepalai sekolah sendiri. Bapaknya sangat keras
didikannya, sebab itu ia amat takut berhadapan dengan bapaknya. Sampai
Abdullah menginjak dewasa tidak pernah bapaknya memberi hati atau
memperlihatkan kasih sayang kepadanya.
Pada hari tuanya, Abdullah berhasrat mengunjungi Tanah Suci,
Mekah, dan menyaksikan keadaan tanah Arab dengan matanya sendiri,
tetapi malang ia meninggal di Djeddah dalam tahun 1854 kira-kira dalam
umur enam puluh tahun. Dalam perjalannya ke Djeddah itu ditulisnya: Kisah
Perjalanan Abdullah ke Negeri Djeddah.

Sifat karangan Abdullah:


1. Isi baru (objektif) karena pengaruh Barat
2. Bentuk lama (masih ada pengaruh sjair dan pantun);
masih menggunakan kata-kata
klise: (syahdan, bermula, sebermula, bahwa
Abdullah: zaman peralihan
pujangga peralihan

Buah tangan Abdullah:


1. Hikayat Abdullah (otobiografinya)
2. Kisah Perjalanan ke Malaka Utara
3. Perjalanan Abdullah ke Kelantan dan Tranggano
4. Pancatanderan (salinan)
5. Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Djeddah
6. Naskah Kitab Kamus Bahasa Melayu
7. Syair Singapura Dimakan Api (puisi)

22 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


BAB II
MASA MULA SASTRA INDONESIA

A. Berbagai Pendapat tentang Masa Mula Sastra Indonesia


Segala sesuatu yang berupa ciptaan memiliki titik mula
kehadirannya dan titik akhir ketiadaannya. Yang tidak berkeadaan demikian
hanyalah pencipta sendiri yaitu Allah SWT.
Bahasa adalah unsur utama sastra. Sastra yang aslinya ditulis
dalam bahasa Indonesia disebut sastra Indonesia. Di Indonesia, di samping
sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia ada juga yang ditulis dalam
bahasa daerah dan bahasa asing. Sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa
daerah disebut sastra daerah; dan sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa
asing disebut sastra asing. Jadi, untuk mengenal jenis sebuah sastra kita lihat
jenis bahasa yang digunakannya.
Di samping ketiga jenis sastra tersebut di atas, ada juga disebut
sastra terjemahan, yaitu sastra yang dialihbahasakan dari suatu bahasa ke
bahasa lain tanpa mengubah bentuk dan isi sastra yang bersangkutan.
Contohnya: sastra daerah atau sastra asing yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Ada juga disebut sastra saduran, yaitu sastra (cerita) yang
disusun kembali secara bebas tanpa merusak garis besar cerita, biasanya
dari bahasa lain.
Kapan masa mula sastra Indonesia?
Para pengamat sastra Indonesia tidak sependapat tentang masa
mula sastra Indonesia.

Pendahuluan 23
Dalam buku Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Duapuluhan
(Fachruddin Ambo Enre, 1963: 11) tercantum:
1) Sastra Indonesia baru ada sesudah Proklamasi Kemerdekaaan 1945.
2) Sastra Indonesia baru ada sesudah Sumpah Pemuda 1928.
3) Sastra Indonesia sudah mulai pada awal tahun duapuluhan.
Pendapat pertama di atas dikemukakan oleh Slametmuljana. Ia
menyangkut-pautkan nama negara Indonesia dengan nama sastra Indonesia.
Sastra sebelum proklamasi kemerdekaan 1945 semuanya masih digolongkan
sastra daerah.
Pendapat kedua di atas dikemukakan oleh Umar Junus. Ia menyangkut-
pautkan nama Sumpah Pemuda dengan nama sastra Indonesia. Ia
beranggapan bahwa sastra Indonesia baru ada sesudah Sumpah Pemuda
1928. Tidak ada sastra tanpa bahasa, ini benar. Jadi, sastra Indonesia baru
ada sesudah ada bahasa Indonesia. Apakah Sumpah Pemuda yang
melahirkan bahasa Indonesia? Secara logika tidak mungkin peristiwa
Sumpah Pemuda serta merta mengubah wujud bahasa, dari bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia.
Menurut pendapat A. S. Broto (1980: 19) bahwa dalam kongres pemuda
yang kedua, 28 Oktober 1928 dikumandangkan Sumpah Pemuda yang
sangat terkenal itu, dan nama bahasa Melayu diganti dengan bahasa
Indonesia.
Jadi, sebelum Sumpah Pemuda 1928 sudah ada bahasa yang
dipergunakan sebagai unsur sastra, yang akan diresmikan namanya menjadi
bahasa nasional Indonesia. Sastra yang dimaksud adalah sastra Indonesia.
Pendapat ketiga di atas dikemukakan oleh Fachruddin Ambo Enre (1963: 19).
Ia berpendapat bahwa ditinjau dari sudut bentuk, bahasa, dan isinya,
kesusastraan yang muncul pada masa-masa duapuluhan ini jelas
menunjukkan adanya pengaruh kesusastraan Barat; isinya mencerminkan
keadaan masyarakat zamannya, masyarakat Indonesia yang sedang
mengalami pertumbuhan; gaya bahasa dan perbendaharaan kata-katanya
tidak lagi serupa dengan bahasa di zaman Abdullah bi Abdulkadir Munsji.
Jadi, kenyataan cukup memberikan hak kepada kita untuk menetapkan
munculnya suatu zaman baru, zaman kesusastraan Indonesia.
Sehubungan dengan pendapat ketiga pengamat sastra di atas
tentang masa mula sastra Indonesia, H. B. Jassin mengatakan bahwa
Angkatan 20-an lahir dalam zaman Balai Pustaka (1908) dengan terbitnya
roman Siti Nurbaya (1922). Bahkan sebelum terbitnya roman Siti Nurbaya,

24 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


telah terbit roman Azab dan Sengsara dalam tahun 1920 yang dianggap
roman pertama Indonesia.

Masa Mula sastra Indonesia adalah tahun 20-an

B. Dokumen Kesusastraan Indonesia Modern


Kita patut bersyukur dengan adanya H. B. Jassin sebagai
pengumpul, pemelihara, dan penyimpan dokumen sejarah pertumbuhan
kesusastraan Indonesia.
Dalam buku Pameran Dokumentasi Kesusastraan Indonesia
tercantum perihal dokumentasi kesusastraan Indonesia modern milik H. B.
Jassin. Dokumen ini dipamerkan oleh Direktorat Bahasa dan Kesusastraan
bersama dengan Dewan Kesenian Jakarta; dengan bantuan Ikatan Penerbit
Indonesia; dalam tahun 1968.
Pameran dokumentasi kesusastraan ini sebenarnya merupakan
percobaan ketiga bagi Direktorat Bahasa dan Kesusastraan. Yang pertama
diadakan pada bulan April 1967, dalam rangka memperingati meninggalnya
penyair Chairil Anwar. Pameran yang ketiga kalinya ini diadakan dalam
rangka memperingati 40 tahun Sumpah Pemuda serta peresmian gedung
Pusat Kesenian Jakarta.
Dalam pameran tersebut, Taufiq Ismail, dari Dewan Kesenian
Jakarta, pelopor Angkatan 66, dalam sambutannya mengatakan antara lain
bahwa dokumen-dokumen ini adalah saksi-tak-berdusta dalam sejarah sastra
modern Indonesia. Tumpukan dokumen-dokumen authentik ini, nilainya tak
tepermanai.adanya; karena berpuluh buku, skripsi, dan disertasi di dalam dan
luar negeri, telah dan akan tetap lahir dari dokumen ini.
Lukman Ali, Kepala Dinas Kesusastraan Indonesia mengatakan
antara lain: siapa yang harus memikirkan dan bertanggung jawab terhadap
pembinaan dan pemeliharaan dokumen yang penting ini? Bukan hanya
Jassin, bukan hanya Direktorat Bahasa dan Kesusastraan, Direktorat Jendral
Kebudayaan, tetapi kita semua! Sebab pada hakikatnya dokumeen ini bukan
hanya milik Jassin pribadi, tetapi milik kita semua. Oleh karena itu, wajiblah
kita pikirkan bersama.
Di bawah ini dicantumkan brosur yang berisi maksud pameran
tersebut di atas yang dikemukakan oleh H. B. Jassin sendiri, sebagai pemilik
dokumen.

Pendahuluan 25
BROSUR H. B. JASSIN

pameran
dokumentasi
kesusastraan Indonesia
sebuah perkenalan umum

Maksud pameran ini ialah untuk


memperlihatkan perkembangan
kesusastraan Indonesia dengan jalan
memamerkan buku-buku, surat-surat,
tulisan-tulisan dalam surat kabar dan
majalah, prasaran-prasaran stensilan,
pamflet-pamflet, foto-foto dan lain-lain
dokumen penting yang bernilai sejarah,
bukan saja sejarah kesusastraan tapi
juga sejarah politik dan kemasyarakatan, sebagai latarbelakang pertumbuhan
kesusastraan.
Tidak dapat disangkal bahwa Balai Pustaka yang didirikan pada
tahun 1908 mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan kesusastraan
Indonesia. Disinilah lahirnja Angkatan 20-an dengan terbitnya roman Siti
Nurbaja yang dianggap sebagai roman pertama yang memenuhi syarat
kesusastraan yang baik dan merupakan roman modern klasik kita yang
pertama. Di sini pula terbitnja roman-roman besar seperti Hulubalang Radja,
Salah Asuhan, Lajar Terkembang, Atheis, Tambera, Mereka Jang
Dilumpuhkan dan lain-lain.
Pengarang-pengarang terkemuka Pudjangga Baru dan Angkatan 45
ada yang pernah bekerja di Balai Pustaka untuk beberapa waktu, seperti
Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, H. B. Jassin, Idrus,
Achdiat K. Mihardja, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer dan lain-
lain.
Jelas merupakan satu pembaharuan periode Pujangga Baru dengan
majalahnya yang bernama serupa, terbit tahun 1933, bukan saja di lapangan
kesusastraan tetapi juga di lapangan pemikiran kebudayaan pada umumnya.
Munculnya Pudjangga Baru tidak berlangsung diam-diam, tapi disertai
polemik mengenai pembaharuan yang dibawanya dalam

26 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


bahasa,kesusastraan dan konsepsi kebudayaan. Polemik itu berlangsung
antara tokoh-tokoh Pudjangga Baru dan barisan guru-guru kolot serta
budayawan-budayawan yang berpijak pada tradisi lama.
Pemerintah Jepang yang mencoba membunuh semangat Pudjangga
Baru, sebaliknya justru melahirkan Chairil Anwar yang lebih revolusioner
dalam sikap dan tanggapan hidupnya dan muncullah Angkatan 45 sesudah
Indonesia merdeka.
Kebanyakan kita mengenal atau pernah melihat buku kecil Surat
Kepertjajaan Gelanggang Seniman Merdeka yang bertanggal 1950 dan juga
mengetahui pembukaan ruangan Gelanggang dalam warta sepekan Siasat
tahun 1948, tapi sedikit yang mengetahui bahwa Perkumpulan Gelanggang
telah didirikan tahun 1946. Usaha-usahanya ialah mengadakan pameran-
pameran senilukis dan kemudian menerbitkan majalah Gema Suasana. Dari
perkumpulan inilah sebenarnya bermula apa yang disebut Angkatan 45
dalam kesusastraan dengan Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin
sebagai tokoh utamanya.
Timbulnya Angkatan 45 pun menimbulkan polemik. Adakah atau
tidak ada Angkatan 45, apa cita-citanya, mana orang-orangnya dan mana
karya-karyanya? Apa bedanya dengan Pudjangga Baru? Maka menulislah
Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Achdiat K. Mihardja, Anas Ma'ruf dan
bertambah seru lagi perdebatan tatkala orang-orang Lekra mulai tampil ke
depan.
Dalam tahun 1950 Lekra didirikan sebagai organisasi kebudayaan
yang juga bergerak di lapangan kesusastraan. Di lapangan kesenian ia
membawa realisme sosialis yang kemudian dipertegas dengan semboyan
"Politik adalah Panglima". Karena konsepsinya ini Lekra berhadapan dengan
seniman merdeka yang berkumpul dalam Gelanggang yang mementingkan
nilai dan membawa konsepsi humanisme universal. Tokoh-tokoh Lekra ialah
A. S. Dharta alias Klara Akustia, Jubaar Ajub, Bakri Siregar dan kemudian
juga Rivai Apin dan Pramoedya Ananta Toer. Pertarungan antara kedua
golongan ini meningkat dari tahun ke tahun sampai tercetusnya Manifes
Kebudayaan pada tahun 1963.
Apabila antara tahun 1950 dan 1960 perdebatan masih berlaku
dalam batas-batas kesopanan, maka sesudah pidato Presiden Soekarno
tahun 1959 pihak Lekra-PKI mendapat angin dan mulai melancarkan
serangan-serangan yang kasar terhadap lawan-lawannya. Pendidikan mau

Pendahuluan 27
diselewengkan dari Pancasila dan diciptakan Pancacinta yang menggegerkan
golongan agama dan guru-guru yang sadar ketuhanan yang maha esa.
Hamka yang berpengaruh besar di kalangan Islam dan pernah
mengecam cara-cara komunis yang tidak fair, diserang dan diciptakan issue
plagiat Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Ia difitnah hendak meruntuhkan
pemerintahan Soekarno hingga dijebloskan dalam tahanan. Lalu menyusul
issue penolakan hadiah sastra tahun 1962 dan pengganyangan film Amerika.
Sadar akan bahaya yang mengancam kebudayaan dan sendi-sendi negara
yang berdasarkan Pancasila, maka para cendekiawan, pengarang , dan
seniman mencetuskan Manifes Kebudayaan dan menghimpun para
pengarang dan kebudayaan dari seluruh tanah air dalam suatu konperensi
yang disebut Komperensi Karyawan Pengarang Indonesia, disingkat KKPI.
Ini adalah satu perlawanan total dan frontal dari golongan kebudayaan dan
dalam usahanya untuk mematahkan perlawanan ini pihak Lekra/PKI berhasil
melalui menteri kiri P. P. & K. Profesor Prijono mendesak Presiden Soekarno
untuk melarang Manifes Kebudayaan dengan dalih membahayakan jalannya
revolusi.
Tapi terbukti, katahati nurani bangsa tidak dapat didiamkan,
kezaliman tidak dapat berjalan lama. Dengan meletusnya Gestapu tanggal 30
September 1965, bangkitlah rakyat yang telah bertahun-tahun diteror
sebelumnya lahir dan batin dan timbul angkatan baru, Angkatan 66.
Angkatan 66 tampil dalam demonstrasi-demonstrasi beberapa bulan
sesudah meletusnya Gerakan 30 September atau Gestapu yang didalangi
oleh PKI. Di tengah-tengah keriuhan tuntutan mahasiswa dan pelajar,
terdengarlah suara penyair yang mengumandangkan hati nurani rakyat.
Seperti juga Angkatan Pudjangga Baru dan Angkatan 45, pun
Angkatan 66 tidak sekaligus diterima kehadirannya oleh semua golongan.
Meskipun diakui adanya Angkatan 66 dalam masyarakat, sebagian orang
meragukan adanya dalam kesusastraan, sebab apakah kriterium
kesusastraan yang dapat dipakaikan padanya? Maka ramailah polemik dan
kontra setelah tulisan H. B. Jassin dalam majalah Horison bulan Agustus
1966, .memproklamirkan bangkitnya suatu generasi baru dalam
kesusastraan.
Tapi setudju atau tidak setudju orang telah mempermasalahkannya
dan pengarang-pengarang angkatan baru ini terus membuktikan adanya
dengan karya-karyanya. Tulisan-tulisan mereka memenuhi majalah-majalah
baru Horison, Sastra (landjutan), Tjerpen, Gelanggang, Budaja Djaja,

28 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


suratkabar-suratkabar. Pun telah ada hasil karya mereka yang terbit sebagai
buku, distensil atau dicetak. Sebuah antologi khusus Angkatan 66 Prosa dan
Puisi memperkenalkan hasil-hasil mereka, disertai sekadar riwayat hidup dan
keterangan mengenai kegiatannya di lapangan penciptaan.
Jakarta, Oktober 1968
H. B. Jassin

C. Bahan Dokumentasi yang Dipamerkan


Karena kekurangan ruangan, dokumen-dokumen mengenai
kesusastraan sebelum perang tidak dapat dipamerkan. Demikian pula bahan-
bahan mengenai kesusastraan sesudah perang hanya sebagian kecil yang
dapat dipamerkan.
Dokumen yang dipamerkan adalah pada zaman yang berikut.
1. Balai Pustaka
- bahan-bahan sejarah perkembangannya
- majalah yang diterbitkannya
2. Angkatan 20-an
Tulisan-tulisan dari:
- Merari Siregar: • Azab dan Sengsara
• Si Jamin dan Si Johan
- Mh. Rusli: • Siti Nurbaya
- Abdul Muis: • Salah Asuhan
• Pertemuan Jodoh
3. Pujangga Baru
Tulisan-tulisan dari:
- Sutan Takdir Alisjahbana
- Armijn Pane
- M. Yamin
- Rustam Efendi
- Sanusi Pane
4. Angkatan 45
Munculnya perkumpulan Gelanggang
- Chairil Anwar:
Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus

Pendahuluan 29
Deru Campur Debu
Tega Menguak Takdir
5. Angkatan 66
Pamflet-pamflet mahasiswa dan pelajar, Show of Force Karya-karya
Angkatan 66
- Taufik Ismail
- Bur Rasuanto
- Mansur Samin
Juga dipamerkan masalah:
- Lekra
- Heboh Tenggelamnya Kapal van der Wijck
- Heboh Hadiah Sastra 1962
- Manifes Kebudayaan
- Komperensi Karyawan Pengarang Indonesia

30 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


BAB III
ZAMAN BALAI PUSTAKA

Dalam pameran dokumentasi kesusastraan Indonesia modern, H. B.


Jassin (1968 : 5) mengatakan bahwa tidak dapat disangkal bahwa Balai
Pustaka yang didirikan dalam tahun 1908 mempunyai peranan penting dalam
pertumbuhan kesusastraan Indonesia. Di sinilah lahirnya Angkatan 20-an
dengan terbitnya roman Siti Nurbaya yang dianggap sebagai roman pertama
yang memenuhi syarat kesusastraan yang baik dan merupakan roman
modern klasik kita yang pertama. Di sini pula terbitnya roman-roman besar
yang lain seperti Hulubalang Raja, Salah Asuhan, Lajar Terkembang, Atheis,
Tambera, Mereka Jang Dilumpuhkan, dan lain-lain.
Sehubungan dengan peranan Balai Pustaka dalam pertumbuhan
kesusastraan Indonesia, Fachruddin Ambo Enre (1963 : 20) mengatakan
bahwa Balai Pustaka memang memegang peranan tetapi menilik hasil-
hasilnya badan itu tidaklah dapat dikatakan mewakili seluruh kegiatan sastra
pada masa 20-an. Artinya, yang terutama terletak dalam bidang prosa atau
roman.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Balai Pustaka memang berjasa
dalam hal ini. Usahanya yang pertama di samping mengumpulkan hasil-hasil
sastra daerah, ialah menerjemahkan roman Barat melalui bahasa Belanda.

Pendahuluan 31
Ada di antaranya yang langsung diterbitkan berupa buku, seperti Gembala
Domba (De Schaapheder, karangan Oltmans), Tiga Panglima Perang (De
Drie Musketiers, karangan Alexandre Dumes), ada pula yang melalui bentuk
fenilleton dalam Pandji Pustaka, seperti misalnya Belut Kena Randjau oleh
Baronesse Orezy, Musuh dalam Selimut oleh Agatha Christie.
Zuber Usman (1959 : 28 - 29) mengatakan bahwa Dr. D. A. Ringkes,
Kepala Balai Pustaka yang mula-mula dalam suatu peringatan, yaitu ketika
Ratu Welhelmina cukup 25 tahun di atas tahta, pernah menerangkan sebagai
berikut: 'Dalam masa 25 tahun yang baru lalu ini, politik pengajaran
pemerintah amat berubah. Dahulu, yang dipentingkan hanya akan
mengadakan pegawai yang agak pandai untuk jabatan negeri. Sekarang
pengajaran rendah itu terutama untuk memajukan kecerdasan rakyat. Tetapi
pengajaran itu belum cukup, tambahan lagi haruslah dicegah janganlah
hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berpikir yang dibangkitkan
itu mendatangkan hal yang kurang baik dan janganlah daya upaya itu
dipergunakan untuk hal-hal yang kurang patut, sehingga merusak ketertiban
dan keamanan negeri.
Hasil pengajaran itu dapat juga mendatangkan bahaya, kalau orang
yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya
dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang
bermakud hendak mengacau.
Oleh sebab itu, bersama-sama dengan pengajaran membaca itu
serta untuk melanjutkan atau menyambung pengajaran itu, maka haruslah
diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada
membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib
dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan segala yang dapat
merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.'
Hal tersebut di atas itulah menjadi alasan sehingga dalam tahun
1908 didirikan oleh Pemerintah kolonial: Commissie voor de Inland sche
School en Volkslectuur, anggotanya terdiri atas 6 orang dan diketuai oleh Dr.
G. A. J. Hazeu. Tugas mereka ialah akan memberi pertimbangan kepada
Kepala Pengajaran (Directuur Onderwijs) dalam hal memilih karangan-
karangan yang baik untuk dipakai di sekolah-sekolah dan untuk dijadikan
bacaan rakyat.
Komisi tersebut di atas itulah yang kemudian menjadi Balai Pustaka
dalam tahun 1917, yang bertujuan: 1) mengadakan saingan atau hendak
mencegah buku-buku yang telah mulai banyak di keluarkan orang, terutama

32 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


dari pihak Tionghoa yang berisi roman-roman Barat yang bersifat rendah; dan
2) boleh jadi buku-buku itu bermaksud hendak memasukkan paham
penjajahan ke dalam jiwa bangsa Indonesia.
Pada zaman RIS (Republik Indonesia Serikat), Balai Pustaka Pernah
dipimpin oleh K. St. Pamuntjak, ia berpendapat bahwa Bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Melayu Umum, bukan salah satu bahasa daerah di
Indonesia ini, melainkan bahasa penghubung antara berbagai daerah
sehingga coraknya tentu saja tidak mungkin sama dengan bahasa Melayu
Daerah. Bahasa Melayu Umum ini tentu sudah mendapat banyak pengaruh
dari bahasa-bahasa daerah, terutama kosakatanya.
Selanjutnya, penulis akan mengemukakan berturut-turut beberapa
tokoh utama dalam zaman Balai Pustaka serta karangannya masing-masing,
baik yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk puisi.

A. Merari Siregar
Merari Siregar pernah menjadi murid sekolah guru (Kweekschool)
Gunung Sari Jakarta. Sekitar tahun 1920.
Karangannya:
1. Azab dan Sengsara (1920)
2. Si Djamin dan si Djohan (saduran dari bahasa Belanda)
Buku kesusastraan Indonesia baru yang mula-mula diterbitkan oleh Balai
Pustaka ialah Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar dalam tahun
1920.
Kemudian, ia juga pernah bekerja jadi pegawai tata usaha Rumah Sakit
Umum Negeri Jakarta.

AZAB DAN SENGSARA


(Roman, 1920)
Balai Pustaka bertugas untuk menerbitkan buku-buku dan
menyebarkannya untuk bacaan rakyat. Hal ini dimaksudkan untuk menyaingi
atau mengatasi usaha-usaha penerbit partikulir yang beredar dan biasanya
merupakan bacaan ringan, yang berpengaruh kurang baik terhadap
masyarakat; bersifat perdagangan, dan juga tidak bernilai kesusastraan.
Buku-buku tersebut berupa terjemahan, saduran, dan hikayat lama,
yang berisi teladan yang diinginkan oleh pemerintah ketika itu. Hal ini
berlangsung sekitar tahun 1918 - 1919. Kemudian dalam tahun 1920 terbitlah

Pendahuluan 33
sebuah cerita asli dan dianggap roman modern yang pertama yaitu Azab dan
Sengsara karangan Merari Siregar.
Penulis inilah yang pertama-tama menyusun bentuk roman modern
yang bertema kawin paksa. Dalam roman ini, ia menceritakan bagaimana
berlakunya adat-istiadat lama, yang tak lekang di panas dan tak lapuk di
hujan, yang tidak boleh diubah-ubah; serta dikemukakan pula akibat-
akibatnya yang menimbulkan kesengsaraan.
Ringkasan Ceritanya
Pelakunya:
Mariamin dan Amiruddin (anak muda yang saling mencintai)
Sutan Baringin (Ayah Mariamin)
Nuria (Ibu Mariamin)
Ibu Amiruddin
Hubungan kekeluargaan pelaku:
Mariamin sepupu-sekali dengan Aminuddin
Sutan Baringin bersaudara dengan Ibu Aminuddin
Sutan Beringin sepusaka dengan Baginda Mulia
Cerita tentang azab dan sengsara ini terjadi di Sipirok di daerah Tapanuli.
Pelaku utamanya ialah Mariamin dan Aminuddin. Karena pergaulan mereka
sejak masih kecil, akhirnya kedua anak muda ini saling mencintai.
Aminuddin ingin memperisterikan Mariamin. Oleh karena itu, ia pergi ke
Medan untuk mencari pekerjaan sesudah ia mengikat janji dengan Mariamin.
Selain itu, ibu Mariamin berpengharapan dengan perkawinan itu nanti dapat
memperbaiki nasib Mariamin, yang sejak lahir selalu dirundung malang;
selalu hidup dalam kemiskinan.
Bapak Aminuddin seorang kepala kampung yang kaya dan disegani.
Kekayaan dan kedudukannya itu diperoleh dari hasil usahanya dan hubungan
baiknya dengan penduduk yang dikepalainya.
Sebaliknya, keluarga Mariamin termasuk keluarga yang sangat miskin
dan penuh penderitaan. Hal ini terjadi akibat dari kesombongan dan
keserakahan Sutan Baringin (ayah Mariamin) ipar Baginda Mulia (ayah
Aminuddin).
Pada mulanya, juga Sutan Baringin termasuk orang kaya dan juga
bangsawan di Sipirok. Akan tetapi, semua kekayaannya itu habis. Ia jatuh
miskin karena selalu berperkara. Hal ini terjadi ketika ia berperkara dengan
sepusakanya yaitu Baginda Mulia (iparnya sendiri) tentang harta pusaka

34 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


nenek moyang mereka. Sutan Baringin kalah berakibat ia jatuh miskin.
Hartanya habis sama sekali karena digunakan untuk membayar ongkos-
ongkos perkara.
Setelah Aminuddin mendapat pekerjaan di Medan, kemudian ia
mengirim surat kepada Mariamin, yang berisi supaya sebentar lagi Mariamin
harus turut ke Medan. Kabar ini sangat menggembirakan Mariamin dan
ibunya yang sedang menderita. Mereka menyambutnya dengan kesenangan;
karena mereka selalu berharapan supaya nasib yang dialaminya segera
berubah menjadi rasa bahagia.
Kepada orang tuanya pun Aminuddin mengirim surat supaya ibunya
mencarikan gadis bakal istrinya; gadis yang dimaksud tidak lain adalah
Mariamin.
Maksud Aminuddin tersebut disetujui oleh ibunya. Akan tetapi,
ayahnya menginginkan supaya Aminuddin kawin dengan keluarga yang
sama-sama kaya dengan dirinya. Ia akan merasa malu jika anaknya kawin
dengan Mariamin dari keluarga yang sangat miskin di Sipirok. Agar tidak
menyakiti istrinya, ia pergi ke dukun untuk menanyakan peruntungan
Aminuddin jika kawin dengan Mariamin. Sudah tentu dukun akan mengatakan
bahwa nasib buruk akan menimpa Aminuddin jika kawin dengan Mariamin.
Apa yang dikatakan dukun itu adalah akal bapaknya juga.
Selanjutnya, mereka meminang seorang gadis anak kepala
kampung yang kaya. Oleh ayah Amiruddin dibawalah gadis itu ke Medan
tempat Aminuddin bekerja. Tentu saja Aminuddin sangat merasa kecewa
karena yang dibawakan bapaknya itu bukan Mariamin kekasihnya. Aminuddin
tidak mampu menolaknya. Hanya yang dapat dilakukan adalah mengirim
surat kepada Mariamin tentang apa yang telah terjadi, dengan pesan supaya
Mariamin sabar dan bertawakkal kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Ketika Mariamin menerima surat itu, dia menyadari untungnya. Tidak lama
kemudian ia jatuh sakit.
Cerita selanjutnya, setahun kemudian, atas kehendak ibunya,
Mariamin kawin dengan Kasibun, laki-laki yang tidak dikenal sebelumnya,
yang ternyata kemudian berpenyakit kotor (penyakit kelamin).
Kasibun juga bekerja sebagai krani di Medan sehingga membawa istrinya
(Mariamin) ke Medan.
Ketika didengar oleh Amiruddin, Mariamin ada di Medan, ia datang
mengunjunginya. Hal ini menimbulkan cemburu Kasibun dan Mariamin

Pendahuluan 35
dipukulnya, sehingga perempuan yang malang itu terpaksa mengadu dan
minta tolong kepada polisi.
Pada akhirnya, Mariamin minta bercerai dan kembali ke Sipirok dengan
membawa aib dan malu, karena menurut adat negerinya hina sekali seorang
perempuan yang diceraikan suami seperti keadaannya itu.
Catatan:
- tema cerita adalah kawin paksa
- Aminuddin kawin dengan seorang gadis pemberian orang tuanya, bukan
dengan Mariamin kekasihnya
- Mariamin kawin dengan seorang laki-laki, yang tidak dikenalnya, atas
kemauann orang tuanya, bukan dengan Aminuddin kekasihnya
- kekayaan menjadi pilihan
- ayah Aminuddin memiliki kekayaan sehingga berkeberatan bermenantukan
Mariamin dari keluarga yang sangat miskin, meskipun Mariamin masih
bersepupu sekali dengan Aminuddin
- sudah bersifat objektif, tidak lagi bersifat khayal seperti hikayat
- yang dimenangkan masih yang tua (adat)

B. Marah Rusli
Marah Rusli dilahirkan dalam tahun 1889 di
Padang. Ayahnya demang Sutan Abu Bakar gelar
Sutan Pangerang seorang bangsawan usul kota
Padang.
Mula-mula belajar pada sekolah Melayu di
Padang dan tamat dalam tahun 1904, kemudian ia
melanjutkan pelajaran di Sekolah Raja (Hoofden
School) di Bukit Tinggi, tamat dalam tahun 1910.
Hoorsma guru di Sekolah Raja pernah
menganjurkan kepada Marah Rusli untuk pergi ke negeri Belanda guna
mengambil hulpacte, tetapi tidak mendapat persetujuan dari ibunya karena ia
anak tunggal bagi ibunya.
Kemudian sebagai gantinya Tan Malakalah yang dibawa Hoorsma.
Ketika itu Tan Malaka tiga kelas lebih rendah dari Marah Rusli. Kemudian
Marah Rusli mengunjungi Sekolah Dokter Hewan di Bogor dan tamat dalam
tahun 1915.
Dalam waktu menjadi mahasiswa Sekolah Dokter Hewan, Marah
Rusli kawin di Bogor tanpa mendapat persetujuan keluarganya. Pada waktu

36 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


itu Marah Rusli, mulai menghadapi suatu kenyataan dalam hidupnya, baginya
kawin itu suatu kemestian, karena dengan jalan demikianlah ia mungkin
meneruskan studinya; karena perkawinan itu pulalah ia tersisi atau keluar dari
ikatan hubungan kekeluargaan di kampungnya.
Sikap Marah Rusli terhadap perkawinannya itu menggemparkan
keluarganya. Sikapnya itu berwujud dalam perbuatan nyata yang menerobos
adat yang tidak boleh dilanggar.
Pada waktu Marah Rusli pulang ke Padang dalam tahun 1915,
keluarganya telah bersedia akan mengawinkannya dengan seorang gadis
yang sama sekali tidak dikenalnya. Walaupun Marah Rusli telah menjadi
seorang terpelajar (doker hewan), ia tetap diperlakukan menurut kebiasaan
adat negerinya. Ia harus tunduk atas kemauan orang tuanya; ia dipaksa
kawin.
Marah Rusli yang mendapat didikan modern (Barat) mulai melihat
kepincangan-kepincangan dan hal-hal yang bertentangan dengan pikirannya
seperti masalah perkawinan, adat-istiadat waktu kematian, tentang
pembagian harta pusaka. Semuanya itu mendesak pikiran Marah Rusli untuk
mencari penyelesaiannya. Sebagai seorang yang banyak membaca literatur,
ia berkeyakinan dengan alat tulisanlah pikirannya akan lebih luas diketahui
orang. Betullah, ketika buku (roman) Sitti Nurbaya keluar mendapat sambutan
yang hangat dari masyarakat. Bahkan ada orang yang menamakan anak
perempuannya Sitti Nurbaya.
Marah Rusli ialah tokoh yang terpenting pada generasi Balai
Pustaka. Ia dikategorikan sebagai pelopor kesusastraan baru sesudah
Abdullah bin Abdulkadir Munsji.
Lahirnya roman Sitti Nurbaya dalam tahun 1922, berakhirlah
zaman lama kesusastraan Indonesia; dan mulailah menyingsing
fajar zaman baru.

Dalam Sitti Nurbaya, pengarang menceritakan keadaan yang


sungguh-sungguh ada dalam masyarakat. Bukan lagi cerita dewa-dewa dan
cerita yang bersifat fantasi belaka, yang hanya ada dalam dongeng saja.
Roman Marah Rusli itu ternyata mendapat sambutan yang hangat dari
masyarakat. Hal ini dapat diketahui melalui pembaca buku itu. Sejak
penerbitannya yang pertama dalam tahun 1922 sampai pada tahun 1960,
sudah mencapai cetakan ke sepuluh.

Pendahuluan 37
Kita bandingkan dengan roman yang pertama Azab dan Sengsara,
penerbitan pertama tahun 1920, sampai pada tahun 1958 hanya mencapai
cetakan ketiga.
Roman Sitti Nurbaya membawa kita ke dalam gambaran suasana
pertemuan kebudayaan barat dan timur di Indonesia dalam taraf yang lebih
jauh daripada roman Azab dan Sengsara (Retnaningsih, 1965: 41)

SITTI NURBAYA
Ringkasan Ceritanya
Pelakunya:
Sitti Nurbaya dan Samsulbahri (anak muda yang saling mencintai)
Sutan Mahmud Sjah: ayah Samsulbahri
Baginda Sulaiman: ayah Sitti Nurbaya
Datuk Maringgi: saudagar kaya di Padang
Sutan Hamzah: adik Sutan Mahmud Sjah
Bachtiar dan Arifin: teman sekolah Samsulbahri dan Sitti Nurbaya
Cerita ini terjadi di sekitar daerah Padang. Cerita berawal dengan
suasana persahabatan antara Sitti Nurbaya yang berumur 15 tahun dengan
Samsulbahri yang berumur 18 tahun. Persahabatan ini merupakan pelebaran
persahabatan masing-masing orang tuanya, Sutan Mahmud Sjah ayah
Samsulbahri dengan Baginda Sulaiman ayah Sitti Nurbaya.
Baginda Sulaiman meskipun bukan dari keluarga bangsawan, akan tetapi
dia termasuk seorang saudagar kaya di Padang. Sitti Nurbaya adalah anak
tunggalnya, yang selain cantik juga berkesopanan.
Samsulbahri anak tunggal Sutan Mahmud Sjah, seorang bangsawan,
yang menjadi penghulu di daerah Padang. Untuk mengongkosi anaknya,
yang akan disekolahkan di Jakarta, Sutan Mahmud Sjah meminjam uang
kepada Datuk Maringgi sebanyak tiga ribu rupiah.
Datuk Maringgi termasuk saudagar kaya di Padang. Akan tetapi, semua
kekayaannya itu sebagian besar diperoleh dari jalan yang haram atau tidak
halal, hasil pemerasan dan penipuan.
Sutan Mahmud Sjah bersaudara dua orang, ialah Puteri Rabiah
Kakaknya, sedangkan adiknya bernama Sutan Hamzah. Puteri Rabiah
mencemohkan adiknya (Sutan Mahmud Sjah) karena tidak lagi
memperhatikan adat istiadat, telah melupakan kemanakannya, yaitu Rukiah,
yang seharusnya diperhatikan dan dibiayai hidupnya. Puteri Rabiah juga
mencemoh Sutan Mahmud Sjah karena hanya beristeri satu orang. Tidak

38 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


seperti saudaranya Sutan Hamzah, hampir tiap-tap kampung ada bekas
isterinya, sehingga sebagian besar anaknya tidak dapat dikenalnya lagi,
karena banyaknya.
Waktu bertamasya ke Gunung Padang, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya
dengan kedua teman sekolahnya, Bachtiar dan Arifin, mereka berbincang-
bincang tentang keadaan dalam masyarakat. Mereka mengeritik pegawai-
pegawai pemerintah yang tak jujur, gila hormat, dan kepincangan-
kepincangan dalam masyarakat.
Mereka anak-anak muda itu telah berpikiran modern dan bercita-cita
tinggi. Samsulbahri, Bachtiar dan Arifin pun bersama-sama akan bersekolah
di Jakarta. Samsulbahri dan Arifin akan meneruskan pelajaran pada sekolah
Dokter, sedangkan Bachtiar pada sekolah Opseter (opzichter = penjenang,
pengawas usaha, mandor).
Di samping mereka bergembira, Samsulbahri menyatakan perasaan
hatinya yang mencemaskan kepada Sitti Nurbaya. Samsulbahri pernah
bermimpi menaiki sebuah menara dan Sitti Nurbaya mengikutinya dari
belakang. Dalam mimpinya itu tiba-tiba ia melihat Datuk Maringgih, akhirnya
Samsulbahri kalah, jatuh terguling-guling bersama-sama dengan Sitti
Nurbaya dan masuk ke dalam sebuah lubang yang besar sehingga tidak
dapat keluar lagi.
Karena mimpinya itulah, maka Samsulbahri selalu mengingat Sitti
Nurbaya dan sangat berat akan meninggalkannya.
Sutan Mahmud Sjah yang telah berpikiran modern lebih mementingkan
jabatannya sebagai penghulu daripada kebangsawanannya dan adat-istiadat
nenek moyangnya. Ia lebih mementingkan kemajuan anaknya sendiri
daripada memperhatikan kewajiban memelihara dan membiayai anak-
kemanakannyta menurut adat istiadat.
Sebelum Samsulbahri berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan
pelajarannya, terlebih dahulu diadakan perpisahan di rumahnya. Banyak
teman-temannya yang hadir, di antaranya Bachtiar dan Arifin yang akan
bersama-sama berangkat ke Jakarta.
Perpisahan itu diselenggarakan secara modern, diadakan dansa dari tari-
tarian disertai dengan musik.
Sampai larut malam barulah selesai. Sitti Nurbaya diantar pulang ke
rumahnya oleh Samsulbahri. Rasa persaudaraan kedua anak muda ini makin
intim sehingga terjalinlah suatu benang halus yang berakibat cinta-mencintai.

Pendahuluan 39
Datuk Maringgih, yang bergelar datuk bukan karena penghulu adat, akan
tetapi hanya sekadar getar saja. Ia bermuka jelek dan berperilaku buruk.
Kekayaannya diperoleh dari penipuan, penggelapan, dan pencurian. Dengan
bantuan Pendekar Lima dan teman-temannya, Datuk Maringgih dapat
menghancurkan saingannya yaitu Baginda Sulaiman ayah Sitti Nurbaya.
Dengan cara diam-diam, mereka menghancurkan gedung-gedung, kapal-
kapal, toko-toko Baginda Sulaiman.
Karena kemiskinan, Baginda Sulaiman meminjam uang kepada Datuk
Meringgi dengan perjanjian bahwa uang itu akan dikembalikan tiga bulan
kemudian.
Pada waktu Datuk Meringgi datang menagih utangnya, Baginda
Sulaiman tidak dapat menepati janjinya. Ia memberi ancaman, jika ia datang
kembali menagih utangnya belum terbayar juga, maka Baginda Sulaiman
akan dipenjarakan; kalau tidak ia meminta supaya Sitti Nurbaya menjadi
istrinya.
Kemudian ternyata Baginda Sulaiman masih tetap belum dapat
membayar utangnya. Ketika akan dibawa ke penjara, diiringkan oleh
beberapa orang polisi, tiba-tiba Sitti Nurbaya berlari keluar dari kamarnya dan
dengan tidak disadarinya ia berteriak, bahwa lebih baik ia menjadi isteri Datuk
Meringgi daripada ayahnya dipenjarakan.
Selama menjadi isteri Datuk Meringgi, pikiran Sitti Nurbaya tidak
menentu menyebabkan badannya menjadi kurus seperti orang yang
berpenyakit.
Pada waktu libur, Samsulbahri pulang ke Padang. Ia sempat menjenguk
ayah Sitti Nurbaya ketika ia sedang sakit keras. Kebetulan Sitti Nurbaya
waktu itu sedang menjenguk ayahnya. Pada waktu itulah keduanya dapat
bertemu dan saling menceritakan apa yang terjadi pada dirinya masing-
masing.
Sedang keduanya bercakap-cakap di bawah sebatang pohon, datanglah
Datuk Meringgih, yang berprasangka bahwa mereka berdua telah melakukan
hal-hal yang tercelah, sehingga menimbulkan percekcokan antara
Samsulbahri dan Datuk Meringgih.
Oleh karena peristiwa yang menggemparkan itu berdatanganlah
tetangga ke tempat kejadian itu. Ayah Sitti Nurbaya yang sedang sakit keras,
lari ke tempat kejadian itu, karena khawatir kalau anaknya mendapat
kecelakaan. Ketika itulah Baginda Sulaiman menemui ajalnya karena terjatuh
dari tangga.

40 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Sejak ayahnya meninggal, Sitti Nurbaya menyatakan bebas dari
Datu Meringgih, dan sejak itu pula tidak lagi menjadi isteri Datuk Meringgih. Ia
hanya menumpang pada familinya yang bernama Alimah.
Tidak puas dengan kejahatan yang telah dilakukannya, dengan kebusukan
hatinya, Datuk Meringgih menyuruh meracuni Sitti Nurbaya sampai
meninggal, sesudah difitnah melarikan barang-barangnya (fitnah yang tidak
beralasan).
Akibat perbuatan Samsulbahri itu yang sangat memalukan ayahnya,
menyebabkan ayahnya mengusirnya dari rumahnya. Akhirnya, Samsulbahri
melarikan diri ke Jakarta.
Sepuluh tahun kemudian, Samsulbahri yang telah diberitakan telah
meninggal, ternyata telah menjadi letnan kompani dengan nama Letnan Mas
(kebalikan dari nama yang sebenarnya yaitu Sam). Ia tinggal di Cimahi di
daerah Bandung.
Pada suatu waktu, ia mendapat tugas untuk memimpin satuan
pasukan untuk memadamkan pemberontakan di Padang.
Pada waktu itulah Letnan Mas (Samsulbahri) dapat membalas sakit
hatinya, sehingga Datuk Meringgih, musuhnya yang melukai hatinya,
menemui ajalnya, tetapi sempat mengatai Letnan Mas sebagai anjing
Belanda.
Ketika itu pula Letnan Mas mendapat luka-luka berat, kemudian dirawat di
rumah sakit Padang, tidak lama kemudian Samsulbahri juga meninggal.
Tiba-tiba Sutan Mahmud Sjah meninggal juga, setelah diketahui
bahwa Letnan Mas itu sesungguhnya anaknya, yaitu Samsulbahri.
Pada akhirnya, dua bulan kemudian, dua orang anak muda, yang
menadi teman sekolah Samsulbahri dan Sitti Nurbaya dahulu, yaitu Arifin
yang telah menjadi dokter dan Bachtiar menjadi opseter, mereka berziarah ke
tempat pemakaman keluarga Sitti Nurbaya dan keluarga Samsulbahri.
Buah tangan Marah Rusli
- Sitti Nurbaya (roman, 1922)
- Anak dan Kemanakan (tentang adat Minangkabau)
- Lahami (1952, sebuah roman sejarah di pulau Sumbawa)

Pendahuluan 41
C. Abdul Muis
Abdul Muis dalam romannya Salah
Asuhan (1928) menggambarkan pertemuan
Barat dan Timur di Indonesia yang lebih jelas,
mendalam, dan lebih baik susunan ceritanya
daripada roma sebelumnya.
Ia mengemukakan bermacam-macam
masalah: seperti suasana kebarat-baratan,
menentang adat, kawin paksa, kawin
campuran.
Jika dibandingkan dengan menulis-penulis
sebelumnya, maka pengarang roman ini akan
segera menonjol ke tengah, sebagai pengarang
roman yang terbaik yang telah menghilangkan semua cara yang
menjemukan, yang biasa terjadi dalam hasil kesusastraan sebelumnya, yang
selalu diawali dengan suatu gambaran dari nenek moyang pelaku yang turun
temurun sampai anak cucunya.
Abdul Muis terkenal dalam bidang persurat-kabaran. Oleh karena itu,
penggunaan bahasanya terasa lebih hidup dan segar.
Pengarang berhasil menggambarkan tipe pelaku-pelakunya yang
hidup sekitar tahun 20-an di Indonesia. Semua pelakunya diberi motif, baik
pembicaraannya maupun wataknya secara jelas.
Tentang tema karangannya sudah lebih luas daripada roman yang
pertama yaitu Azab dan Sengsara, yang mengambil pokok cerita kawin
paksa, juga lebih luas daripada roman yang kedua yaitu Sitti Nurbaya yang
mempunyai tema pertentangan antara kaum tua dan kaum muda.
Dalam Salah Asuhan kombinasi kedua tema tersebut dikemukakan
juga, ditambah dengan tema yang terpenting yaitu kawin campuran antara
orang timur dengan orang barat, antara orang Indonesia dengan orang
Belanda yang berketurunan Prancis (Retnaningsih, 1963 : 52 - 53).

SALAH ASUHAN
Ringkasan Ceritanya
Pelakunya:
- Hanafi dan Corrie Du Bussiée
(orang timur dan orang barat)
- Du Bussiée: ayah Corrie

42 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


- Ibu Hanafi
- Rapiah: isteri Hanafi, pemberian ibunya
- Sjafei: anak Hanafi dengan Rapiah
- Sutan Batuah: ayah Rapiah
- Piet: teman sekerja Hanafi
Cerita ini berawal terjadi di daerah Solok
Pada awal cerita ini, pengarang menggambarkan tentang pergaulan dua
orang anak muda, yaitu Hanafi dan Corrie Du Bussiée. Merekalah pelaku
utama dalam cerita ini.
Hanafi seorang pemuda Minangkabau yang telah merasa bebas
lepas dari kekangan adat-istiadat negerinya; oleh karena sejak kecil sampai
menjadi dewasa, ia dididik secara hidup orang Barat. Pada mulanya, orang
tua Hanafi bermaksud supaya anaknya itu menjadi orang yang terkemuka
dalam masyarakatnya, tetapi meleset, karena ternyata akhirnya menjadi
sangat kebarat-baratan.
Corrie seorang gadis Barat yang cantik, yang sadar bahwa antara
dirinya dan Hanafi ada terbentang perbedaan-perbedaan, dia orang Barat,
sedangkan Hanafi orang Timur. Dia merasa lebih tinggi derajatnya,
sedangkan Hanafi lebih rendah di depan mata bangsanya. Akan tetapi, ia
sadar juga bahwa antara dirinya dan diri Hanafi itu ada tali batin yang
menghubungkan jantung antara keduanya. Dengan demikian, terjadilah
pergolakan dalam pikirannya antara perbedaan-perbedaan yang dibuat oleh
manusia, yang berwujud kesombongan bangsa dengan perasaan yang
diciptakan oleh Tuhan ialah percintaan. Pada akhirnya, otaknya dapat
ditaklukkan oleh jantungnya, pikirannya dihancurkan oleh perasaannya.
Du Bussée, ayah Corrie berkebangsaan Prancis yang sudah
pensiun dari jabatan arsitek. Istrinya adalah seorang perempuan Bumiputra di
Solok, yang dikawininya di gereja.
Corrie baru berumur enam tahun waktu ditinggalkan oleh ibunya.
Ketika itu Du Bussée masih menjadi arsitek.
Selanjutnya, setelah tamat di sekolah rendah di Solok, bimbang pulalah hati
ayahnya antara mengirimkan dia ke Padang ke Sekolah Mulo atau ke Betawi
ke HBS (Hoogere Burger School, suatu sekolah menengah atas di zaman
penjajahan) karena tidak sampai hati berpisah dengan anaknya.
Setelah Corrie berumur enam belas tahun barulah ia berpisah
dengan ayahnya di pelabuhan Teluk Bayur, untuk melanjutkan pelajaran ke
Betawi.

Pendahuluan 43
Corrie ketika berumur sembilan belas tahun, sudah berasa menjadi
nona besar. Kecantikan parasnya sudah menyebabkan ia dikelilingi oleh
sejumlah laki-laki, tua dan muda, yang berkenalan dengan dia.
Suatu ketika, Corrie bertanya, "Pa apakah halangan perkawinan orang Barat
dan orang Timur?"

“ Kawin campuran itu sesungguhnya banyak benar rintangannya,


yang ditimbulkan oleh manusia juga, Corrie! Karena masing-
masing manusia ada dihinggapi oleh suatu penyakit, yang boleh
dinamakan penyakit kesombongan bangsa”.
" Lihat sajalah saya dengan keadaan ibumu. Bangsa dan kaum
kerabatnya sekali-kali tidak suka ia hidup bersama dengan aku; pun
bangsaku menyalahi benar akan perbuatanku itu. Tapi aku, demikian pula
ibumu, tiadalah kawin dengan orang banyak itu, tidak pula kami bergantung
kehidupan pada mereka itu. Jadi segala bantahan mereka tidaklah
mengurangi kesenangan kami. Hanya jarang-jarang yang bertemu demikian,
Corrie!"
Kata Kipling seorang pujangga Inggirs:

“ Timur tinggal Timur,


Barat tinggal Barat,
Dan tidaklah keduanya akan menjadi satu.”

Cerita selanjutnya, setelah tamat dari HBS Hanafi bekerja menjadi


Komisaris pada kantor Asisten Residen Solok.
Lukisan kebarat-baratan seorang anak dan lukisan adat kebiasaan
lama seorang ibu, bersama-sama tinggal dalam sebuah rumah; Hanafi
menginginkan supaya rumahnya itu diatur seperti aturan barat, sedangkam
ibunya tidak dapat menyesuaikan dirinya.
Yang sangat menyedihkan ibunya, selain dari sangat kebarat-
baratan kelakuan anaknya itu, juga Hanafi kerap kali mencemoohkan dan
mengejek adat lembaga yang sangat dimuliakan oleh orang tuanya.
Puncak-puncaknya ejekan dan cemoohan yang dilemparkan Hanafi terhadap
ibunya ialah ketika dikatakan bahwa Hanafi akan dikemput oleh mamaknya,
Sutan Batuah yang beranak tunggal pula, yaitu Rapiah.

44 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Dalam pembicaraan perkawinannya dengan Rapiah, ibu Hanafi
meminta pertolongan kepada seorang dukun, supaya Hanafi menurut
kehendak orang tua.
Setelah seribu kali membantah dan menolak segala permintaan
ibunya itu, akhirnya Hanafi menerima tawaran perkawinan itu, dengan alasan
keharusan membayar utang uang dan utang budi kepada mamaknya;
menebus badannya yang telah tergadai. Sama sekali bukanlah perkawinan
berdasarkan cinta.
Rapiah tidak diperlakukan bagaimana seorang istri, tetapi seolah-
olah seorang babu yang diberikan ibunya dengan paksa. Dari perkawinan
yang demikian itu lahirlah Sjafei.
Baru saja Hanafi berhenti mendurhakai ibunya itu, tiba-tiba
tangannya digigit anjing gila yang datang mendekati kursi kebun yang sedang
diduduki Hanafi; ketika anjing itu sedang dikejar orang.
Gigitan anjing gila ini harus diobati di Jakarta. Oleh karena itu, berangkatlah
Hanafi ke Jakarta untuk berobat.
Cerita selanjutnya, Corrie setelah memutuskan perhubungannya
dengan Hanafi (karena Corrie memandang hina orang Melayu dalam
suratnya), ayahnya meninggal. Akibatnya ia merasa terasing di dunia ini, dan
timbullah pikirannya bahwa dia memerlukan pelindung. Ia tinggal di asrama di
Jakarta. Selama ia belum berumur 21 tahun, ia masih dalam asuhan
Weeskamer: wees=piatu, yatim+kamer=kamar.
Tepat sekali ketika ia sudah bebas dari ikatan Weeskamer; Carrie
bertemu kembali dengan Hanafi. Segala kejadian yang telah lampau
dilupakannya dan kembali pada suasana persahabatan dan persaudaraan.
Pertemuan kembali itu, bukan saja mengembalikan persaudaraan dan
persahabatan, tetapi lebih dari itu; mereka merencanakan untuk kawin.
Setelah Hanafi pindah pekerjaannya dari Solok ke Jakarta dan
haknya telah dipersamakan dengan bangsa Belanda (staatblad Europeaan),
kemudian mereka kawin. Kepada Rapiah, ia mengirimkan surat talak.
Baik ibu Hanafi maupun Rapiah merasa luka hatinya setelah menerima surat
Hanafi itu; karena itu berarti Rapiah kehilangan suami, sedang ibunya
kehilangan anak yang hanya satu itu.
Setelah ibu Hanafi dan Rapiah menetapkan tak akan berpisah-pisah
lagi, mertua dan menantu itu berjanji akan sehidup semati dan
penanggungan, maka pindahlam mereka dari Solok ke Kota Anau.

Pendahuluan 45
Perhatian mereka dicurahkan kepada pendidikan Sjafei, anak
Hanafi, yang tak berdosa dalam perbuatan ayahnya yang serupa itu.
Cerita selanjutnya, sesudah dua tahun berlangsung perkawinannya,
hidupnya terpencil dari pergaulan, karena teman-temannya menyisihkan diri
dari mereka.
Dalam keadaan hidup demikian, sering sekali urat saraf Hanafi dan
Corrie terganggu dan kesalahan sedikit saja, menjadi pertengkaran besar-
besaran. Hanafi menuduh Corrie berhubungan dengan laki-laki lain,
sedangkan Corrie tidak merasa senang akan tuduhan yang tak beralasan itu,
kemudian ia meninggalkan Hanafi. Akibatnya terjadilah perceraian, masing-
masing hidup sendiri-sendiri.
Untuk menghindari pertemuan kembali dengan HAnafi Corrie diberi
pekerjaan sebagai pengurus rumah tumpangan bagi anak-anak di Semarang
oleh seorang nyonya pension. Berangkatlah Corrie ke Semarang.
Cerita selanjutnya, meskipun perlakuan Hanafi demikian buruknya terhadap
Rapiah, tetapi rapiah tetap setia dan selalu mengharapkan Hanafi kembali
kepadanya. Hal ini membesarkan hati ibu Hanafi.
Cerita Selanjutnya.
Sepeninggal Corrie, Hanafi dengan susah payah baru mendapat
tumpangan di rumah famili seorang Belanda, yaitu Piet teman sekerja Hanafi.
Piet telah menerima Hanafi di rumahnya dengan setulus-tulusnya, akan tetapi
nyonyanya tidak demikian halnya. Ia memandang Hanafi sebagai seorang
yang sesat: ia hanya terpandang kepada uang tumpangan sebanyak seratus
rupiah saja.
Menurut pendapat Piet, Hanafi sungguh orang yang terpelajar, tetapi
di dalam rasa dengan rasa, ia buta tuli. Oleh orang bumiputra tidak
diterimanya, karena ia membuang bangsanya, sedangkan oleh orang
Belanda pun perbuatannya itu masih dianggap sangat rendah.
Barulah ia sadar bahwa kekurangan ibunya itu, hanyalah ia tidak bersekolah;
sedangkan nasihat-nasihatnya banyak sekali kebenarannya. Ialah yang tidak
mendengar dan tidak pernah menerima segala nasihatnya itu.
Sadarlah sekarang Hanafi bahwa Rafiah itu adalah intan yang belum
digosok, tetapi sayang ia tidak pandai menggosoknya; hingga barang yang
berharga itu dibuang-buangnya disangka tak berharga.Di samping itu, ia
sadar pula bahwa Corrie sesungguhnya berlian yang sudah digosok, tak
ternilai harganya, tetapi si suami celaka juga yang tak pandai memakainya
dan lenyaplah harta itu dari kandungannya.

46 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Dalam menyesali dirinya demikian itu, teringatlah kepada Corrie.
Cerita selanjutnya. Hanafi mengambil keputusan untuk berangkat ke
Semarang mendapatkan Corrie. Setibanya di Semarang ternyata Corrie
sedang terserang penyakit kolera. Tak lama setelah pertemanannya dengan
Hanafi, meninggallah Corrie.
Empat belas hari lamanya Hanafi tinggal dipelihara di rumah sakit
Paderi di Semarang. Dalam waktu yang sekian lama, tiga hari lamanya ia
tidak sadarkan diri , yaitu dari waktu jatuh pingsan melepas istrinya itu. Sejak
itu, parangainya talk ubahnya seperti perangai orang gila.
Setelah keluar dari rumah sakit itu teruslah ia ke kuburan Belanda
untuk melihat kuburan istrinya. Hanafi menunggui kuburan istrinya semalam,
sebelum pulang ke Jakarta. Waktu paginya, ia pulang ke Jakarta.
Selanjutnya, setelah minta izin kepada induk semangnya di Jakarta,
dan setelah Hanafi menjual barang-barangnya, pulanglah ia ke Padang. Di
tempat inilah terjadi pertemuan yang tidak disangka-sangka antara Hanafi,
ibunya Rapiah dan Sjafei, ketika mereka sedang melihat-lihat pasar malam.
Ketika itu Rapiah tak menghiraukan lagi Hanafi, bahkan direntakkannya Sjafei
yang sedang didukung oleh Hanafi. Dengan cepat, larilah Rapiah menjauhi
Hanafi.
Hal ini menunjukkan kepada Hanafi bahwa Rapiah sekarang bukan
lagi minta dikasihani, melainkan minta diindahkan.
Rapiah dengan Corrie, sama-sama mulia hati, sama-sama tinggi
derajat. Hanya seorang bunga dari Barat, yang seorang lagi bunga dari
Timur. Masing-masing mengandung sifat sendiri.
Sejak Hanafi mengetahui bahwa pintu rumah keluarganya sudah
tertutup bagi dirinya, demikian juga nyinyik mamaknya sudah tidak mau lagi
menerima Hanafi yang sudah menjadi orang Belanda, pikiran Hanafi makin
tidak menentu, dan makin bingung. Hanya ibunya yang selalu
mendampinginya.
Pada akhirnya ia sadar bahwa keadaannya yang demikian itu
memberatkan ibunya. Ia putus asa. Oleh sebab itu, Hanafi mengakhiri
hidupnya dengan minum banyak pil sublimat.

Pendahuluan 47
Penutup Cerita
Sjafei telah bersekolah di Jakarta. Jika sudah tamat, ia akan
melanjutkan sekolahnya ke negeri Belanda.
Ibu Hanafi memerlukan benar menyembelih ayam, tiap-tiap
kedatangan anak-anak sekolah dari Betawi. Pemuda-pemuda itu senang
sekali datang berkunjung ke rumah orang yang peramah dan arif-bijaksana
itu; dan banyaklah di antara mereka yang mendapat pelbagai nasihat dari ibu
Hanafi, yang berhubungan dengan pakaian hidup. Banyaklah keluar
pemandangan tentang kehidupan orang Timur yang sekali-kali janganlah
menjadi sepuhan dari Barat.
Sjafei memperhatikan nasihat-nasihat itu dan senantiasa ia berjanji,
sepulangnya dari negeri Belanda kelak akan kembali ke kampung meluku
(membajak) sawah ibunya.
Setiap hari Jumát ibu Hanafi dengan Rapiah berziarah ke kubur
Hanafi, membawa air dan bunga. Hanafi dikuburkan di Solok.

- Persoalan terpenting yang diketengahkan Abdul Muis dalam


roman ini ialah perkawinan campuran antara orang Barat
dengan orang Timur.
- Pengarang berkesimpulan bahwa perkawinan campuran lebih
banyak melaratnya daripada manfaatnya pada waktu itu.

D. Jamaluddin (Adinegoro)
Dara Muda dan Asmara Jaya
Adinegoro mempunyai kedudukan yang
istimewa di antara pengarang-pengarang yang
seangkatan dengan dia. Dialah yang mula-mula
mengakui atau menerima dengan terus terang
perkawinan inter-insuler (dari pulau ke pulau, antar-
pulau).
Masalah yang diuraikannya sudah lebih
luas, soal kesatuan bangsa jauh melampaui soal
adat kedaerahan. Hal ini dapat dipahami karena
Adinegoro adalah seorang wartawan, yamg dapat

48 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


melihat hal-hal yang sangat penting bagi bangsanya untuk dikemukakan
kepada masyarakat.
Masalah bahasa, bangsa, dan tanah air satu sedang hangat dibicarakan pada
waktu Adinegoro menyusun buku romannya itu; ia telah memilih masalah
yang tepat pada waktu itu.
Adinegoro pada mulanya dididik untuk menjadi dokter (di Stovia),
tetapi kemudian ia lebih cenderung kepada masalah journalistiek (karang-
mengarang). Kecenderungan ini semasih di bangku sekolah; ia telah mulai
hidup dengan ujung penanya. Dengan penanya pulalah, ia berhasil
mengelilingi dunia Barat (baca tulisannya: Melawat ke Barat).
(Usman, 1959 : 45 – 51)

DARA MUDA (1927)


Ringkasan Ceritanya
Pelakunya:
Nurdin dan Rukmini
Nurdin (pemuda MInangkabau)
Rukmini (gadis Sunda)
Ibu dokter Nurdin
Guru Harun (seorang penipu)
Cerita berawal di kapal ketika Nurdin bertemu dengan Rukmini,
seorang gadis Sunda yang telah menjadi guru HIS (Hollands Inlands School =
sekolah rakyat pada zaman penjajahan dengan lama belajar 7 tahun), sedang
berada dalam perjalanan menuju Bengkahulu, bersama dengan ibunya.
Waktu inilah Nurdin jatuh cinta kepada Rukmini, yang menurut pandangannya
sangat cantik.
Nurdin, seorang pemuda Minangkabau, baru saja tamat dari sekolah
Stovia. Setelah bergelar dokter, ia bercita-cita memajukan bangsanya.
Orang tuanya sangat mengharapkan supaya Nurdin lekas mempunyai istri.
Akan tetapi, janganlah anaknya itu kawin dengan bangsa Eropa ataupun
bangsa lainnya.
Akan tetapi, Nurdin tak menaruh cinta kepada orang lain, selain
kepada Rukmini sendiri.
Perhubungan mereka makin erat, ketika ibu Rukmini sakit keras. Selama itu
terus-menerus Nurdin datang ke rumah Rukmini, sehingga ibunya sembuh.

Pendahuluan 49
Sudah bulat hati Nurdin untuk melamar Rukmini, sesudah diketahuinya betul-
betul bahwa cintanya itu berbalas.
Cerita selanjutnya. Ibu Nurdin tidak senang melihat Nurdin sering
mengunjungi Rukmini. Bukanlah ia tak suka bermenantukan Rukmini, tetapi ia
menganggap anaknya itu seorang yang berpangkat tinggi, bangsa yang bail-
baik dan orang jemputan pula. Jadi keinginannya, ibu Rukminilah yang harus
datang meminta, apabila betul-betul Rukmini mau kepada anaknya.
Di samping akal ibu Nurdin itu, ada lagi orang yang akan
menceraikan perhubungan mereka itu, ialah guru Harun, yang menginginkan
Rukmini menjadi istrinya. Harun dengan lancar dan panjang lebar berbohong
dan memburuk-burukkan nama Rukmini kepada Nurdin. Hal ini berakibat,
Nurdin memutuskan hubungannya dengan Rukmini tanpa diselidikinya lebih
dahulu.
Akibat perbuatan ibu Nurdin itu. Nurdin jatuh sakit dan
mencemaskan. Ibunya juga jatuh sakit sesudah menyesali perbuatannya itu;
dan setelah mengakui kesalahannya kepada Nurdin, matilah ia.
Tidak lama kemudian, Nurdin mendapat kabar bahwa guru Harun
menggantung diri di penjara karena melakukan bermacam-macam kejahatan.
Timbullah pikiran Nurdin bahwa bukan perbuatan ibunya sajalah yang
terutama putusnya hubungannya dengan Rukmini itu, tetapi perbuatan guru
Harun juga. Ketika itu Nurdin jatuh sakit dan merana merindukan lagi
Rukmini, yang sesungguhnya tak berdosa.
Dipanggilnyalah Rukmini dengan mengirim surat, maksudnya
hendak mengakui kesalahannya.
Ketika Nurdin dan Rukmini bertemu kembali, mereka masih juga
saling mencintai.
Akhirnya mereka kawin.

ASMARA JAYA (1928)


Ringkasan Ceritanya
Pelakunya:
Rustam dan Dirsina
Rustam (pemuda Minangkabau)
Dirsina (gadis Periangan Sunda)
Nuraini (istri Rustam yang dikawini dengan jalan berwakil)
Asmara Jaya juga menceritakan perkawinan pemuda Minangkabau
dengan gadis Periangan, terjadinya di Bandung bukan di Bukit Tinggi.

50 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Rustam adalah seorang komis di Bandung dan kawin dengan
Dersina; telah beroleh anak seorang, Dirhansjah.
Ketika orang tua Rustam mengetahui bahwa anaknya telah kawin
dengan gadis Sunda, mereka pergi ke pulau Jawa untuk memaksa anaknya
meneken surat wakil, karena ia akan dikawinkan dengan seorang gadis di
kampungnya.
Rustam sendiri tidak mau hadir dalam upacara perkawinannya itu,
hanyalah ia dipaksa untuk menanda-tangani surat wakil perkawinannya oleh
orang tuanya.
Setelah perkawinannya itu berlangsung, Nuraini disertai ibunya dan
orang tua Rustam (bibi dan mamaknya), berangkat ke Bandung hendak
mengunjungi Rustam.
Cerita selanjutnya. Selesai meniga hari kematian Dirhansjah,
Rustam dan istrinya saling menghibur hatinya sedapat-dapatnya, agar
supaya dapat segera lupa akan kedukaannya itu.
Ketika suasana bahagia hampir kembali dalam rumah tangga suami
istri itu, tiba-tiba orang tua Rustam, Nuraini, dan ibunya tiba di halaman
rumahnya.
Kecewalah tamu-tamu yang baru datang itu karena bukannya
mereka itu dijemput dengan suasana ramah-tamah, akan tetapi terusirlah
oleh Rustam, karena takut kalau-kalau istrinya yang sedang sakit terganggu
oleh suasana itu.
Cerita berakhir. Bapak Rustam dan pengantar lainnya pulang ke
Padang dan kembali membawa Nuraini istri Rustam yang baru dikawini
dengan jalan berwakil.
Karangan Adinegoro
Dara Muda (1927)
Asmara Jaya (1928)
Melawat ke Barat

E. Mr. Muhammad Yamin


Muhammad Yamin dilahirkan di Sawah
Luntoh, Sumatra Barat, padas 23 Agustus 1903. Mula-
mula ia belajar pada Sekolah Melayu, HIS (Hollands
Inlands School, Sekolah Rakyat pada zaman
penjajahan dengan lama belajar 7 tahun), kemudian
memasuki Normaal School (Sekolah Pendidikan

Pendahuluan 51
Guru), Sekolah Pertanian dan Peternakan di Bogor. Kemudian menamatkan
AMS (Algemeene Middelbare School= Sekolah Menengah Atas) di Jogjakarta
pada tahun 1927, dan beroleh gelar Master in de Rechten dalam tahun 1932
di Jakarta.
Dalam bidang sastra, dari tangan Yaminlah mula-mula lahir bentuk
soneta, yang kemudian diikuti oleh penyair-penyair Pujangga Baru. Oleh
karena itu, ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Yaminlah yang
sebenarnya lebih dahulu memelopori Pujangga Baru.
Sajak-sajak Muhammad Yamin yang mula-mula dalam tahun 1920
masih menyanyikan Andalas: Tanah Airku. Baru dalam tahun 1928, di
antaranya atas usaha dan kegiatan Muhammad Yamin, pergerakan pemuda
daerah-daerah meleburkan diri dalam Indonesia Muda, yang berkongres
dalam tahun itu juga di bawah pemimpin Muhammad Yamin sendiri. Dalam
kongres itulah (28 Oktober 1928) diresmikan:
Bahasa Indonesia sebagai bahas persatuan

Dalam perkembangan selanjutnya, dalam tahun 1929 nyanyian


Muhammad Yamin bukan lagi melagukan Andalas: Tanah Airku, tetapi
menjadi Indonesia: Tanah Airku.
Perlu dicatat bahwa pada mulanya, terdapat pemuda-pemudi yang
sudah pandai berbahasa Belanda berkeinginan hendak menjadikan bahasa
Belanda menjadi bahasa penghubung di kalangan mereka. Syukurlah
keinginan ini tidak berkembang. Hal ini disebabkan pemuda-pemuda lain
hendak meletakkan dasar bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Di
antaranya Muhammad Yamin! Tidak saja dipertahankan dengan suaranya,
tetapi juga dengan perbuatan dan kegiatannya memakai bahasa Indonesia.
Usahanya tiada sia-sia karena segera diikuti oleh yang lain, Sanusi Pane di
lapangan sastra mengikuti langkah Muhammad Yamin, dan demikian juga
dalam tahun 1921, Muhammad Hatta sesungguhnya telah lebih dahulu
bersajak dalam bentuk (soneta) dalam Jong Sumatra bernama Beranta
Indera.
Di bawah ini dicantumkan soneta Muhammad Yamin.
PERMINTAAN
Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku.

52 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Sebelah Timur pada pinggirku
Didapati langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku.
Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku mulai tertabur.
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendak aku berkubur
Di lautan Hindia, Juni 1921
(Dieja menurut EYD)
Di bawah ini dicantumkan soneta tunggal Muhammad Hatta
BERANTA INDERA
Lihatlah timur indah berwarna,
Fajar menyingsing haripun siang;
Syamsu memancarkan sinar yang terang,
Khayal tersenyum berpanca indera.
Angin spoi bertiup dari angkasa
Merembus ke tanah, ranting digoncang;
Margasatwa melompat keluar sarang,
Melihat beranta indera indah semata.
Langit lazuardi teranglah sudah,
Bintang pun hilang berganti-ganti;
Cahaya Zuhari mulai muram.
Haiwan menerima selawat 'alam,
Hari pun girang tiada terperi;
Melihat kekayaan Subhan Allah.
Dari: Jong Sumatra, November 1921
(Dieja menurut EYD)

Sajak soneta terdiri atas empat bait. Bait pertama dan kedua
masing-masing terdiri atas empat baris, sedangkan bait ketiga dan keempat
masing-masing terdiri atas tiga baris.

Pendahuluan 53
Muhammad Hatta mewarnai sajaknya dengan sejumlah kata-kata yang bukan
termasuk kata-kata sehari-hari, yang dapat dikategorikan sebagai bahasa
sastra. Kata-kata yang dimaksud adalah yang berikut.
beranta (dari kata pranta (Skt)= maksudnya alam luas
Antah Beranta = negeri besar
indera = nama dewa yang menguasai angkasa
Beranta indera = dimaksudkan alam semesta (pada waktu subuh)
marga (Skt) = jalan
satwa = binatang, hewan yang merayap
Lazuardi (Parzi) = permata atau langit yang berwarna biru
Zuhari (Zuhar (Arab) = bintang Venus atau bintang Barat dan pada waktu
subuh dinamakan bintang Timur
cahaya Zuhari = cahaya yang terpancar dari bintang Timur
(Usman, 1959 : 155)
Karangan Muhammad Yamin
Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan sajak,1951)
Karangan-karangan Muhammad Yamin yang diambil dari sejarah ialah:
Ken Arok dan Ken Dedes (dalam bentuk cerita sandiwara)
6000 Tahun Sang Merah Putih
Yang berupa terjemahan:
Di dalam dan di luar Lingkungan Rumahtangga
Menantikan Surat dari Raja
(keduanya dari karangan Rabindranath Tagorea)

Muhammad Yamin memelopori:


- Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
- bentuk sajak soneta

Di bawah ini dicantumkan isi Sumpah Pemuda yang terjadi pada


tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta.

54 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang
satu: Tanah Indonesia
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu:
Bangsa Indonesia
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa peratuan,
Bahasa Indonesia.

Menurut Prof. Dr. A. Teeuw, kebulatan tekad para pemuda di atas


berisi saat permandian, bukan jam lahirnya bahasa Indonesia. Lebih tepat jika
dikatakan atau dinamakan pengakuan keyakinan daripada pernyataan
kejadian.
(Teeuw, 1959 : 35)

E. Rustam Effendi
Rustam Effendi dilahirkan dalam tahun
1903 di Padang. Sesudah menamatkan
pelajarannya pada kweekschool (sekolah Raja) di
Bukit Tinggi, ia melanjutkan pelajarannya pada
HKS (Hoorgere Kweetschool)= Sekolah Guru
Atas di Bandung. Di negeri Belanda ia berhasil
menempuh ujian Hoofdakte di samping
menggabungkan diri dengan Communistiche
party Nederland, sampai ia terpilih menjadi wakil
partai itu di Tweede Kamer, dari tahun 1933
sampai 1946.
Sejak permulaan revolusi ia kembali ke Indonesia dan bekerja
bersama-sama dengan Tan Malaka di Indonesia, sebagai seorang pemimpin
komunis, ia banyak menulis risalah kecil-kecil untuk propaganda ideologinya
(Usman, 1959 : 163).
Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, dua saja buah
tangannya. Dalam tahun 1925 lahirlah buah tangannya yang pertama ialah
Percikan Permenungan (kumpulan sajak), buah tangannya yang kedua ialah

Pendahuluan 55
Bebasari, yang merupakan cerita sandiwara, yang bersifat simbolis, yang
mengandung cita-cita kemerdekaan Indonesia.

1. BEBASARI
(Tonil dalam 3 Pertunjukan)
Di bawah ini dicantumkan singkatan ceritanya.
Maharaja Takular telah ditaklukkan oleh Rawana. Kerajaannya
dirampas, karena Rawana mendengar kabar dari ahli nujum, bahwa
Budjangga anak dari Maharaja Takular, nanti akan jadi jodohnya putri
Bebasari, anak dari Bangsawan Sabari
Rawana, tiada hendak percaya pada peruntungan yang telah
ditentukan lebih dahulu, terus memisahkan kedua kecintaan itu, serta
mengurung Bebasari dalam terungku, dijaga dengan kokoh oleh jihin dan
peri.
Ketika Budjangga telah berumur, ia bermimpi melihat wajah
Bebasari, terus jadi asyik berahi. Budjangga menanyakan arti mimpinya pada
ayahnya. Si ayah menerangkan bahwa Bebasari tunangan Budjangga.
Budjangga akan pergi mencari tunangannya tetapi ditahan oleh ayahnya dan
mamanda Sabari.
Dakati dan Sabarinaratju menyuruh tuntut Bebasari.
Budjangga karena keras cintanya tiada memindahkan perkataan
Sabari, melainkan pergi meninggalkan negerinya, menempuh tempat Rawana
menerungku Bebasari, yang ditunjukkan oleh Sabainaratju.
Budjangga mengalahkan lasykar dan rakyat Rawana, mengusir
Rawana dari kerajaan yang dirampasnya serta melepaskan Bebasari dari
kurungan.
Budjangga kawin dengan Bebasari, seperti ysng telah dijanjikan oleh
peruntungan alam dari mulanya.
(Effendi, 1953 : 6)
Setelah Budjangga mengalahkan Rawana dan membebaskan
Bebasari dari terungku Rawana, maka Bebasari bersajak seperti yang berikut.
Kakanda, dari zaman berganti zaman.
Tetap hatiku menanti tuan.
Kakanda bakal membawa merdeka.
Sebab cintamu kepada loka.
Susah payah tuan kemari.

56 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Menyeberangi darah menempur duri.
O, kakanda, junjungan beta.
Tida’ kemenangan dipinta.
Tiap pekerjaan meminta korban.
Tiap asmara melupakan badan.
Adapun kita hidup di sini.
Selintas lalu sebagai mimpi.
Selama hidup ta’ putus perang.
Itulah kehendak zaman sekarang.
Asmara sayap usaha yang tinggi.
Asmara kepada bangsa sendiri.
Sajak di atas adalah penutup sandiwara yang berjudul BEBASARI.
(Effendi, 1953 : 59)
(Dieja menurut EYD)

PERCIKAN PERMENUNGAN
(Kumpulan Sanjak)
Percikan Permenungan terbit di Padang pada bulan Maret 1925
tidak beberapa lama sesudah Bebasari (tonil) terbit. Kedua buku itu dikarang
dan disusun dalam waktu dan suasana yang bersamaan.
Di bawah ini dicantumkan dua bait dari sanjaknya yang bernama
Bukan Beta Bijak Berperi
Bukan beta bijak berperi,
pandai mengubah madahan syair;
Bukan beta budak negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri;
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
(Percikan Permenungan, 1925 : 28)
(Dieja menurut EYD)
Menurut Prof. Dr. Teeuw, sanjak di atas bentuknya bertentangan
dengan isinya. Bentuk seperti pantun, bersajak akhir a b a b. Untaian itu pada
bagiannya yang pertama tidak mengandung persediaan menuju bentuk

Pendahuluan 57
dan/atau isi dalam bagiannya yang kedua, tetapi untaian-untaian itu
merupakan kesatuan lanjut, menurut isinya.
(Teeuw, 1959 : 81)
Pada bentuk sanjak di atas dapat kita lihat keadaannya yang berikut.
tiap bait terdiri atas empat baris
tiap baris berganti-ganti 9 dan 10 suku kata.
Bersajak a b a b.
tidak mengandung sampiran seperti pada pantun (2 baris pada setiap
bait)
tiap bait merupakan satu kesatuan isi (tidak ada sampiran)
Dengan demikian, sanjak yang berjudul Bukan Beta Bijak Berperi,
bukanlah pantun.

G. Sanusi Pane
Sanusi Pane dilahirkan di Muara
Sipongi, Tapanuli, pada tanggal 14 November
1905. Ia tamatan Kweekschool (Sekolah Guru)
Gunung Sari Jakarta, dalam tahun 1925; ia
diangkat menjadi guru pada sekolah tersebut
(1926-1931). Kemudian dia pindah ke Lembang
ketika sekolah itu dipindahkan ke sana (1931-
1933).
Selanjutnya, ia pindah ke Perguruan
Rakyat di Bandung (1933 -1936), kemudian
pindah ke Perguruan Rakyat di Jakarta (1936 -
1941). Pernah memimpin surat kabar Kebangunan di Jakarta (1936 -1941);
kemudian menjadi kepala sidang pengarang Balai Pustaka sejak tahun 1941.
Pada zaman pendudukan Jepang, dia menjadi pegawai tinggi Pusat
Kebudayaan (Kaimin Bunka Shidosho) dan menjadi anggota Majelis
Pertimbangan Putera.
Untuk memahami jalan pikiran dan perasan Sanusi Pane dapat
dilakukan dengan cara mempertentangkan dengan pandangan atau pendirian
Sutan Takdir Alisjahbana pada zaman Pujangga Baru.

58 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


- Sanusi Pane memandang ke India, yang mementingkan
kerohanian, filsafat Hindu dan Budha.
- Sutan Takdir Alisjahbana memandang ke Barat, yang telah
melahirkan ajaran materialisme. Dalam segala tindakan
dan anjurannya berpedoman ke Barat.

Alisjahbana berpendapat bahwa paham filsafat India (yang dianut


Sanusi Pane) melemahkan semangat. Bangsa kita janganlah berhenti berpikir
, tetapi sebaliknya, Sanusi Pane mengatakan bahwa tulisan Takdir mudah
menjadi tendensi literatur. Dan hal ini tidak berbeda dengan nasihat guru,
membawa kita kepada pikiran bahwa kesusastraan ialah didaktik. Sanusi
menaruh keberatan terhadap roman Layar Terkembang karena terlalu keras
tendensnya.
(Nasution, 1963 : 108 – 109)
Sanusi Pane mulai bersajak pada usia 16 tahun. Sajaknya yang
pertama ialah Tanah Air dalam tahun 1921.
Di bawah ini dicantumkan sajak Sanusi Pane yang berjudul
KEPANTAI, yang mengandung romantik usia muda remaja Sanusi Pane.
KEPANTAI
Ombak berdesir,
Di pantai pasir,
Suka lagu,
Dicium samsu.
Mari gerangan adindaku sayang,
Mendengar lagu memuji cinta,
Waktu datang buat terbayang,
Kalau laksmi mengikat kita.
Permainan mata,
Ratna permata,
Bunga melati,
Sijantung hati.
Dengar laguku di tepi pantai,
Diayun gelombang cinta kalbu,

Pendahuluan 59
Dari hati kuatur rantai,
Mengebat engkau pada jiwaku.
Dari: Puspa Mega
(Dieja menurut EYD)
Amir Hamzah pernah melukiskan tentang Sanusi Pane bahwa
Sanusi Pane jiwanya terbang ke zaman Hindu dan Budha, matanya melihat
ke permainan dalam candi dan stupa, takjub melihat rangkaian cempaka di
kaki Pagoda. Dengan hatinya yang reda atau tenang itu dibacanya segala
cerita dan kias pada dinding candi Borobudur dan candi Mendut sehingga
timbullah sentosa raya dalam sanubarinya. Karangannya seperti bulan
berlayar di langit hijau tenang dan sejuk.
Selanjutnya Amir Hamzah mengatakan bahwa Sanusi Pane
menguasai bahasa Indonesia sampai ke urat-uratnya, payah Pujangga lain
mengimpit ia, dari sebuah kata ke sebuah kata telah ditimbangnya dengan
teliti.
(Usman, 1959: 170 – 171)
Tentang pengaruh filsafat Hindu yang dikagumi oleh Sanusi Pane,
tercantum antara lain dalam sajaknya di bawah ini.
CANDI MENDUT
Di dalam ruang yang kelam terang
Berhala Buddha di atas takhta,
Wajahnya damai dan tenung tenang,
Di kiri dan kanan Bodhisatwa.
Waktu berhenti di tempat ini,
Tidak berombak diam semata,
Asas berlawan bersatu diri,
Alam sunyi kehidupan rata,
Diam, hatiku, jangan bercita,
Jangan kau lagi mengandung rasa,
Mengharap bahagia dunia maya.
Terbang termenung, ayuhai jiwa,
Menuju kebiruan angkasa
Kedamaian petala nirwana
Dari: Madah Kelana
(Dieja menurut EYD)

60 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


TEMPAT BAHAGIA
Lamalah sudah aku mencari
Berkelana kembara kian kemari,
Masuk candi menjunjung jari,
Bersuka raya di taman sari,
Baru sekarang ‘ku mengerti,
Bahwa bahagia di dalam hati.
Dari: Madah Kelana
(Dieja menurut EYD)
MENCARI
Aku mencari
Di kebun India,
Aku pesiar
Di kebun Junani,
Aku berjalan
Di tanah Roma,
Aku mengembara
Di benua Barat,
Segala buku
Perpustakaan dunia
Sudah kubaca,
Segala filsafat
Sudah terperiksa,
Akhirnya ‘ku sampai
Ke dalam taman
Hati sendiri.
Di sana bahagia
Sudah lama
Menanti daku
Dari: Madah Kelana
(Dieja menurut EYD)
Selain buah tangan Sanusi Pane yang berisi kumpulan sajak (Puspa
Mega dan Madah Kelana), juga beberapa yang berupa drama (cerita tonil)
yaitu: Kertajaya, Sandhyakala ning Majapahit dan Manusia Baru; dan dua
buah yang ditulisnya dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga dan Eezame
Garoeda-vlucht.

Pendahuluan 61
Setiap orang dapat saja mengalami perubahan cara pola pikir. Hal
ini terjadi pada Sanusi Pane, yang tergambar dalam dramanya Manusia Baru.
Perubahan pola pikir ini semenjak Kertajaya dan Sandhyakala ning Majapahit
sudah jelas sejelas-jelasnya.
Anehnya ialah bahwa kita justru dalam dramanya yang terakhir,
Manusia Baru, Sukar bertemu kembali dengan Sanusi Pane yang
menghasilkan karangan-karangannya yang dahulu. Memang, ia akan
mempertahankan dasar peradaban India, tetapi India abad kedua puluh; ia
berusaha mengadakan perpaduan antara rohani dan jasmani.Tekanan
perhatiannya diletakkannya seluruhnya pada pembaharuan, pada perubahan
yang perlu diadakan, apabila hendak mendatangkan manusia baru yang
sejati.
Pelakunya yang utama Surendranath Das adalah seorang yang
amat dinamis dalam perbuatan dan percakapannya.
Secara teori barangkali masih belum diterima: tetapi secara
kenyataan, yang jelas tampaklah dalam karangan itu (Manusia Baru), bahwa
Takdir telah berhasil meyakinkan lawan-lawannya buat sebagian besar, baik
tentang putusnya hubungan yang lama dengan yang sekarang, baik tentang
arti sosoal seniman, maupun tentang tendens dalam kesenian.
(Teeuw, 1959, 1959 : 134 – 135)

Buah tangan Sanusi Pane


Pancaran Cinta (prosalyris, 1926)
Puspa Mega (kumpulan sajak 1927)
Madah Kelana (kumpulan sajak)
Kerta Jaya (Drama)
Sandhyakala ning Majapahit (drama)
Manusia Baru (drama, 1940)
Air Langga (drama dalam bahasa Belanda)
Eenzame Garoedavcht (drama dalam bahasa Belanda)

62 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


BAB IV
ZAMAN PUJANGGA BARU

Pujangga Baru adalah nama sebuah majalah. Majalah ini


dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana sejak tahun 1933. Angkatan
Pujangga Baru disebut juga Angkatan 33.
Prof. Dr. Teeuw mengatakan bahwa majalah itu yang pada
mulanya bernama: ‘Majalah bulanan kesusastraan dan bahasa serta
seni dan kebudayaan’, kemudian (pada permulaan tahun ke-3)
menjadi: ‘pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni
kebudayaan dan sosial masyarakat umum’, dan kemudian lagi tersebut
pada kulitnya: ‘pembimbing semangat baru yang dinamis untuk
membentuk kebudayaan baru, kebudayaan persatuan Indonesia’.
Perinciannya yang terakhir ini sungguh-sungguh berupa agak tegas
dan segera pula menimbulkan sebab untuk pertentangan.
Dalam tahun keenam misalnya Alisjahbana harus
mempertahankan pendapatnya seperti dinyatakan oleh kata dinamis
itu, terhadap seorang yang tak kurang dan tak lain daripada Haji Agus
Salim sendiri dan antara pujangga-pujangga baru sendiri timbul
pertentangan hebat tentang tujuan yang akan ditempuh oleh
kebudayaan kesatuan kebangsaan itu.
Selanjutnya Prof. Dr. A. Teeuw mengatakan: tetapi mujurlah,
bahwa cita-cita niskala untuk bekerja dalam kalangan Kesusastraan
dan Kebudayaan ternyata lebih kuat membentuk pertalian daripada
menimbulkan perceraian dalam perbedaan-perbedaan paham tentang
cara melaksanakan cita-cita itu.

Pendahuluan 63
Majalah itu dapat terus hidup sampai tiba masa pendudukan
Jepang. Dengan demikian, jadilah majalah itu satu-satunya dokumen
tentang adanya atau tentang percobaan mengadakan Kesusastraan
Indonesia pada masa sebelum perang; dokumen yang sangat berharga
bagi setiap orang Indonesia yang menghargai asal-mula dan sejarah
kemajuan kebudayaan Indonesia yang baru (1959 : 57 – 58).
Selanjutnya, penulis akan mengemukakan secara berturut-
turut beberapa tokoh utama dalam zaman Pujangga Baru serta
karangannya masing-masing, baik yang berbentuk prosa maupun yang
berbentuk puisi.

A. Mr. Sutan Takdir Alisjahbana


S.T. Alisjahbana lahir di Natal
(Tapanuli), 11 Februari 1908. Ia tamatan
HKS (Hoorgere Kweekschool= Sekolah
Guru Atas) di Bandung. Kemudian, ia
melanjutkan pelajaran pada Sekolah Tinggi
Hakim. Pernah ia menjadi guru di
Palembang.
Sejak tahun 1930, ia bekerja pada
Balai Pustaka; salah seorang pendiri dan
pemimpin Pujangga Baru.
Di lapangan kebudayaan, pengetahuan, dan kesusastraan, ia
terkenal sebagai tokoh yang terrpenting. Khusus di lapangan karang-
mengarang, ia sebagai seorang penulis yang produktif. Di samping itu,
ia seorang pengusaha: mempunyai percetakan (Pustaka Rakyat),
lengkap dengan toko buku.
Dalam dunia keilmuan, kebudayaan bahasa dan filsafat, ia
banyak mendapat perhatian dari luar negeri. Berkali-kali ia menerima
undangan, baik dari Eropa maupun dari Amerika. Akan tetapi
sebaliknya, dari pihak cendekiawan bangsanya sendiri, ia banyak
mendapat tantangan, bahkan seakan-akan ia disisihkan oleh sebagian
bangsanya karena pendiriannya yang sangat mengagumi Dunia Barat.

64 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


S. Takdir tidak setuju dengan pandangan Ki Hajar Dewantara,
yang mewakili aliran yang menghendaki supaya pendidikan (dan
kebudayaan) sedapat-dapatnya didasarkan pada kebangsaan zaman
dahulu.
S. Takdir tidak menyetujui pendapat Dr. Sutomo yang
membela pasantren yang mengatakan bahwa pasantren lebih murah
ongkosnya (jadi alasan ekonomi) dan juga di sinilah baru mungkin
diberikan didikan serbaguna dalam masyarakat yang tidak hanya
mementingkan kepandaian otak, tetapi juga memberi didikan untuk
seluruh kehidupan.
S. Takdir sama sekali tidak menyetujui pendapat Dr. Sutomo
tersebut. Bagi pandangannya sekolah-sekolah demikian hanya
merupakan cita-cita alam ketenangan yang dipelihara oleh masyarakat
yang tenteram tetap sifatnya; tetapi juga yang mematikan individu; dan
mematikan masyarakat yang sudah seharusnya berurusan dengan
masyarakat-masyarakat lain yang bersifat dinamis, hidup bergerak.

Oleh sebab itu, alam yang tenang tenteram itu harus dipecahkan
dan dikoyak-koyak

S. Takdir sangat mengecam pemujaan suatu bangunan seperti


Borobudur yang dalam pandangannya hanya dapat dilihat dalam
bayangan penderitaan yang tak berkeputusan dan dalam bayangan
aniaya sosial. (Teeuw, 1959 : 103)
Prof. Dr. A. Teeuw berpendirian bahwa ia dalam hal ini tak
perlu memilih kawan dalam pertengkaran itu. Pastilah bahwa S. Takdir
sekali-sekali ada juga berbuat melebih-lebihi dan menuju Dunia Barat
dengan pandangan dari satu sudut saja. Akan tetapi, pasti pula ada
faedah dan manfaatnya suara demikian diperdengarkan sebab di
dalam suara itu termasuk juga kebenaran yang penting artinya.
Selanjutnya S. Takdir mengatakan bahwa para seniman muda
yang sudah pada tempatnya merasakan dirinya mempunyai tugas,
tetapi yang seharusnya pula melaksanakan tugas itu dalam
kehidupannya. Noblesse oblige (nama besar punya tanggung jawab

Pendahuluan 65
pula). Mereka harus memelopori bangsanya; mereka harus memimpin
bangsanya dalam perjuangannya untuk memperoleh kemerdekaan dan
kehidupan. Namailah kesenian demikian itu kesenian bertujuan.
Seni yang tidak berisi, tidak berharga oleh karena orang yang
menghasilkannya, tidak berisi pula.

Prof. Dr. A. Teeuw mengatakan bahwa S. Takdir yang lahir


dalam tahun 1908, amat mengherankan banyak kecakapannya. Pada
selayang pandang bahkan menakjubkan banyak kecakapannya itu.
Apa hendak dikatakan tentang seorang pengarang cerita
roman juga jadi ahli hukum; seorang guru yang juga ahli-logat; seorang
penyair yang juga jadi ahli ibarat (didacticus); seorang ahli masyarakat
yang juga mengarang tata bahasa sambil menjadi pengarang esai-
kesusastraan yang cakap dan dalam pada itu hidup sebagai pencinta
bangsa yang sadar dan giat pula dalam poloitik?
Tentang banyaknya kecakapan S. Takdir tersebut, ia tidak
terhindar dari bahaya. Kadang-kadang pekerjaannya menjadi kurang
dalam sifatnya dan kurang tetap mutunya, sebab menumpuknya usaha
secara demikian; tak dapat tidak pekerjaan semua dilakukan dengan
cepat-cepat, bahkan dengan tergesa-gesa.
Dalam tahun 1942, ia mendapat gelar Meester in de rechten.
Akan tetapi dalam kehidupannya, ia lebih tertarik kepada masalah
kebudayaan, filsafat, kesusastraan, dan bahasa.

St. Takdir Alisjahbana dalam segala tindakan, sikap, dan


anjurannya
Takdirberpedoman
berpendapatkebahwa
Barat. ada empat unsur yang memotivasi
kemajuan Dunia Barat yang tampak kepadanya yakni: materialisme,
intelektualisme, egoisme, dan individualisme. Keempat unsur ini bukan
sebagai barang haram yang harus dijauhi Indonesia untuk memperoleh
kemajuan seperti Dunia Barat.
Pendirian Takdir tersebut di atas menimbulkan beberapa kali
polemik dengan cendekiawan lainnya seperti Sanusi Pane, Dr.
Purbacaraka, Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara, Adi Nugroho, dan Dr.
M. Amir.

66 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Karangannya:
1. Tak Putus Dirundung Malang (roman, 1929)
2. Dian yang Tak Kunjung Padam (roman, 1932)
3. Anak Perawan di Sarang Penyamun (roman, 1932)
4. Layar Terkembang (roman, 1936)
5. Tebaran Mega (kumpulan Puisi)
6. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1949)

1. TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG


(roman pertama, 1929)
Roman ini berisi kisah kesedihan yang dialami oleh dua anak
bersaudara, di samping yatim piatu juga sangat miskin.
Karena perlakuan yang tidak semena-mena dari paman
mereka, menyebabkan tidak tahan lagi tinggal di tempat lahir mereka.
Akhirnya, mereka terpaksa pindah ke Bengkulu. Di tempat ini pun
mereka hanya sebentar menikmati kenikmatan hidup. Setelah
mengalami berbagai penderitaan, maka si adik (Lamina, perempuan)
membunuh diri ketika abangnya, Mansur, karena tuduhan palsu,
ditahan dalam penjara.
Setelah Mansur keluar dari penjara, ia hidup sebatang kara;
tidak memiliki apa-apa. Akhirnya, ia menjadi pelaut, mengembara ke
seluruh Nusantara, ia hidup hanya menantikan waktu ajalnya datang.
Akhirnya, sampailah ajalnya sebagai takdir Allah SWT., ketika ia jatuh
dan tenggelam di laut Bengkulu tempat adiknya menemukan mautnya.
Roman pertama S. Takdir ini tidak menggambarkan masalah
adat, tetapi soal nasib. Demikian juga roman ini tidak menggambarkan
soal pertentangan Timur dan Barat.
Apakah yang menjadi tema roman S. Takdir ini? Rupanya ia
tidak menginginkan bangsanya hanya pasrah saja pada nasib yang
digambarkan pada pelakunya, Mansur. Ia menginginkan bangsanya
hidup dinamis, bergerak, penuh semangat, menyongsong masa depan
yang gemilang.

Pendahuluan 67
2. DIAN YANG TAK KUNJUNG PADAM
(roman kedua, 1932)
Dalam roman ini S. Takdir menceritakan percintaan yang gagal
antara seorang anak desa yang miskin bernama Jasin dengan gadis
bangsawan Palembang yang kaya, bernama Molek.
Pengarang mempertemukan Jasin dengan Molek di
Palembang sebagai berikut.
Jasin orang huluan atau orang udik. Pada suatu hari ia pergi
ke Palembang dengan perahunya dengan maksud hendak menjual
getahnya. Sampai di Palembang telah larut malam. Untuk menunggu
hari siang, ia berlabuh dekat sebuah rumah besar, yang ternyata
kepunyaan Raden Machmud, seorang bangsawan yang kaya raya.
Bangsawan ini mempunyai anak perawan yang bernama Molek.
Seperti biasanya setiap hari, pada hari Jasin berlabuh dekat
rumahnya itu, Molek pagi-pagi pergi mandi ketepian. Jasin melihat kaki
molek di bawah dinding tempat mandi itu. Pada waktu Molek hendak
naik ke rumah kembali, dapatlah pemuda dan perawan itu
berpandangan sejurus lamanya; dan dikatakan pengarang bahwa
pandangan yang sebentar itu telah mengikat kedua orang muda itu
dalam satu perjanjian suci dan telah dapat membuat mereka mabuk-
selasih.
Akibatnya Jasin tak tentu lagi pekerjaannya dan Molek menjadi
satu pertanyaan besar bagi orang tuanya.
Molek pada hari itu sangat girang kelihatannya, ia berdandan seperti
orang akan pergi ke peralatan dan berkali-kali ia memperhatikan wajah
mukanya di muka kaca besar. Mabuk—selasih pada Jasin
menyebabkan dia dalam peralatan saudara sepupu ibunya tak dapat
bergembira seperti pemuda-pemuda lain.

Cerita selanjutnya
Jasin adalah orang alam yang lemah lesu, tidak mampu
mencegah perkawinan Molek dengan seorang Arab yang kaya tetapi
tidak berbudi, carian orang tuanya, tidak pula berhasil melarikan Molek,

68 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


sungguhpun Molek hanya tinggal digendong saja oleh tangan yang
kuat itu (Usman, 1959 : 206 - 207).
Pada akhirnya, orang alam Indonesia ini tidak pula berhasil
mencegah Molek membunuh diri, sungguhpun hal itu telah
diberitahukan oleh Molek kepadanya dengan surat.
Yang hendak dikemukakan pengarang dengan cerita ini, ialah
bahwa cinta yang sejati tidak mungkin padam. Itulah sebabnya
pengarang memberi nama roman ini Dian yang Tak Kunjung Padam.

3. ANAK PERAWAN DI SARANG PENYAMUN


(roman ketiga, 1932)
Ringkasan Ceritanya
Seorang saudagar di Pagar Alam, Haji Sahak namanya. Pada
suatu ketika, ia bersama dengan istrinya, Nyi Haja Andum, dan
anaknya, Sayu, ke Palembang untuk menjual sejumlah ekor
kerbaunya.
Perjalanan Haji Salak telah dimata-matai oleh sekawanan
penyamun. Ketika ia kembali dari Palembang, di tengah jalan di tempat
mereka bermalam di pesawangan (tempat yang sunyi), mereka
didatangi kawanan penyamun, yang menyebabkan Haji Sahak tewas
dalam berhadapan dengan penyamun itu. Bukan hanya harta
bendanya yang dibawa kawanan penyamun itu, tetapi juga anak
gadisnya, Sayu, dilarikan penyamun itu ke dalam sarang mereka.
Medasing adalah kepala kawanan penyamun itu. Ia
sebenarnya bukanlah keturunan penyamun; ia berasal dari orang
biasa. Pada waktu kecilnya kampungnya didatangi perampok;
kampung halamannya dibakar; ia dilarikan perampok itu, seperti ia
melarikan anak gadis Haji Sahak.
Dalam berbagai peristiwa, berturut-turut teman Medasing
tewas, bahkan dia sendiri luka, tangannya patah.
Akhirnya, tinggal dia berdua dengan Sayu dalam rimba
belantara. Ketika itulah Sayu seorang perempuan yang lemah
memberanikan diri berhasil mengembalikkan Medasing ke jalan yang
benar, kembali ke dalam masyarakat orang baik-baik. Bagaimana

Pendahuluan 69
pendapat para ahli sastra terhadap cerita S. Takdir yang sangat aneh
ini?

a. Idrus
Sesungguhnya Takdir agak ngeri menerbitkan cerita ini
sebagai buku. Akan tetapi pengarang itu lebih maju daripada waktu
menulis cerita itu.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa senang membaca buku ini. Pada
umumnya hal yang dibeberkan pengarang, dapat diterima oleh rasa
keinginan tahu kita, intelegensi kita, dan oleh rasa keindahan kita. Oleh
karena itu, buku ini bukanlah cerita biasa saja, melainkan roman
sebenar-benarnya.
Soal yang diperbincangkan adalah soal yang segar dan aneh,
tetapi sungguhpun begitu dapat diterima dan hal ini hanya mungkin
dengan perbendaharaan ilmu jiwa.
b. Prof. Dr. A. Teeuw
Teeuw tidak sependapat dengan Idrus. Ia mengatakan bahwa
buku ini merupakan karya sastra S. Takdir yang paling lemah, yang
paling buruk, yang tak diterima akal. Masakan gadis seperti Sayu mau
kawin dengan seorang kepala penyamun yang telah membunuh
bapaknya sendiri?
Jika hal tersebut menjadi keberatan Guru Besar ahli sastra bangsa
Belanda itu, bukankah sering terjadi raja penakluk mengawini putri raja
yang ditaklukkan.
Sebagai contoh, Iskandar Zulkarnain (penakluk yang terbesar
dalam sejarah dunia) mengawini putri raja yang ditaklukkan seperti
yang tejadi pada diri putri Rosane, Stateira putri Darius raja Parsi atau
putri Sarul Barijah anak raja Kida Hindi, kira-kira 327 tahun sebelum
Nabi Isa.
(Usman, 1959 : 210
- 211)

4. LAYAR TERKEMBANG
(roman keempat, 1936)

70 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Ringkasan Ceritanya
Pelakunya:
Tuti
Maria (adik Tuti)
Jusuf (mahasiswa kedokteran)
Ada dua orang bersaudara, yang sulung bernama Tuti dan
adiknya bernama Maria. Keduanya berkenalan dengan seorang
mahasiswa kedokteran yang bernama Jusuf.
Kedua perempuan bersaudara itu berbeda perangai atau sifat.
Tuti yang sulung bersifat cerdas, sungguh-sungguh, dan keras hati. Ia
menjadi pelopor pergerakan kemajuan kaumnya sehingga akhirnya
menjadi salah seorang pemimpinnya. Sebaliknya adiknya Maria
bersifat riang, sebagai seorang gadis yang tak mengenal susah, ia
suka bunga-bungaan, ingin menikmati kehidupan ini. Jusuf dan Maria
saling mencintai, yang berakhir dengan pertunangan.
Tuti menyadari dirinya bahwa ia seorang perempuan yang
sudah berumur hampir 30 tahun, yang akan menghadapi kesepian
kelak dengan umurnya bertambah tua. Ia pernah dilamar untuk kawin
dengan sejawatnya, seorang guru juga, tetapi masih kuat menolak
lamaran itu. Dengan kesadarannya bahwa dirinya seorang perempuan
akan menderita kesepian; dalam hatinya tumbuh cintanya kepada
Jusuf, yang tak dapat dilawannya lagi.
Maria jatuh sakit, harus masuk sanatorium dan akhirnya
meninggal di sana, yang sebelumnya ia berpesan supaya kakaknya
harus kawin dengan Jusuf. Kehendak itu terwujud dan kisah ini
berakhir dengan perkunjungan ziarah kedua pengantin itu ke kuburan
Maria.
Menurut Prof. Dr. A. Teeuw (1959 : 106) baru pertama sekali
terjadi perkawinan seorang perempuan menurut pilihannya sendiri.
Hanya secara demikian baru mungkin terdapat penghidupan yang
sungguh-sungguh harmonis dan memuaskan.
Teeuw mengatakan bahwa lukisan-lukisannya tentang alam
tak sedikitpun mengandung cacat; dan jarang sekali terdapat lukisan
yang melebihi itu dalam kesusastraan Indonesia. Demikian juga
Pendahuluan 71
percakapan antara pelaku-pelakunya, tidak mengandung sifat dibikin-
bikin atau sifat pura-pura sulit.
Nama roman “Layar Terkembang” mengandung makna
terjadinya perubahan pola-pikir dari sifat tertutup dan statis adat-
istiadat masyarakat lama menjadi pola-pikir yang dinamis, bergerak,
menuju terwujudnya kemerdekaan yang akan membawa kebahagiaan
hidup.
S. Takdir, di samping sebagai pengarang cerita roman, ia juga
sebagai penyair. Satu-satunya kumpulan sanjaknya ialah Tebaran
Mega (1935).
Sebagai seorang ahli bahasa Indonesia, S. Takdir telah
mengarang buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (dua jilid, 1954).
Kedua jilid buku ini banyak kali digunakan sebagai bahan pelajaran,
bahkan sebagai buku rujukan bagi para penulis karangan ilmiah.

B. Armin Pane
Armin Pane lahir di Muarasipongi
(Tapanuli) 18 Agustus 1908. Ia tamatan AMS
(Algemeene Middelbare School=Sekolah
Menengah Atas) di Solo. Dalam tahun 1936, ia
bekerja pada Balai Pustaka. Salah seorang
pendiri dan pemimpin Pujangga Baru. Semasa
Jepang, menjadi kepala bagian Kesusastraan
di Pusat Kebudayaan Jakarta.
Karangannya:
1. Belenggu (1939)
2. Lenggang Kencana (sandiwara, 1937)
3. Jiwa Berjiwa (sajak, 1939)
4. Ratna (sandiwara, 1943)
5. Kisah Antara Manusia(1953)
6. Jinak-Jinak Merpati (1953)
7. Mencari Sendi Baru Tata Bahasa Indonesia (1950)

72 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


BELENGGU
(roman, 1939)
Pelakunya:
Sukartono (dokter)
Sumartini (istri Sukartono)
Eni alias Rohayah, Yah (teman sekolah Sukartono)

Ringkasan Ceritanya
Ada sepasang suami istri, yang laki-laki dokter bernama
Sukartono, yang perempuan (istrinya) bernama Sumartini (Tini).
Keadaan mereka: Sukartono adalah orang yang pintar karena bertitel
dokter, sedangkan Tini orang yang cantik.
Sebelum mereka kawin, jejaka-jejaka berebut-rebutan
memperebutkan Tini yang cantik itu. Dalam keadaan perebutan,
Sukartonolah yang mendapatkannya.
Kata Pengarangnya (Armin), meskipun Sukartono dapat
merebut Tini dari tangan pemuda-pemuda lainnya, Tini lebih dahulu
telah melepaskan ultimatum:
Tono jangan mengharapkan cinta daripadanya, ini tidak dapat
diberikannya, Cuma dia akan menolong Sukartono bekerja sebagai
sahabatnya.....
Kalau Sukartono waras pada waktu itu tentu dia tidak mau
kawin dengan Tini. Akan tetapi, rupanya dia sudah mabuk benar
kepada muka Tini yang cantik itu sehingga dia rupanya kalau tidak
dengan Tini, mau mati saja gantung diri, sebab bagi laki-laki yang
waras, ini suatu penghinaan. Sukartono sudah tidak waras lagi.
Demikianlah permulaan rumah tangga dokter Sukartono;
terhadap istrinya dia seperti kucing dibawakan lidi, dan Tini yang
berkuasa dalam rumah. (1964 : 124).
Oleh karena keadaan di rumah sudah seperti neraka, maka
dokter Sukartono mencari kesenangan hatinya di luar rumah. Ia
mencari kesenangan pada pasiaen-pasiennya. Hal ini akibat tingkah-
laku Tini yang menerakakan rumahnya.

Pendahuluan 73
Pada suatu hari dokter Sukartono dipanggil oleh seorang
pasien yang tinggal pada sebuah hotel. Di sanalah bertemu dengan
nyonya Eni alias Rohayah (Yah). Yah adalah temannya dahulu di
Bandung semasa ia masih duduk di bangku Mulo.
Rupanya Yah cinta kepada Sukartono dari dahulu, tetapi tidak
dinyatakannya, hanya disimpan dalam hatinya. Yah pandai
menyenangkan hati laki-laki, perempuan yang sudah lama dicita-
citakan oleh dokter Sukartono. Pada akhirnya, Suakrtono membuat
rumah tangga kedua dengan Yah. Akibatnya, Sukartono tambah tidak
peduli lagi kepada Tini yang menerakai rumahnya yang satu itu.
Pada akhirnya, orang tahu bahwa dokter Sukartono ada
mempunyai peliharaan di Taman Sari, juga Tini sudah dapat
mengetahui hal ini. Tini panas benar, ia akan memperlihatkan siapa
Sumartini kepada madunya di Taman Sari itu. Dengan mobil yang
bagus ia datang ke sana pada suatu hari. Mobilnya bergambar ular
melingkar. Dokter perempuan, dalam hati Yah. Apa pula maksudnya
kemari? Tetapi kemudian yang diperkirakan dokter perempuan,
ternyata Tini, istri dokter Sukartono. Terjadilah pertengkaran di situ.
Dalam pertengkaran itu, mula-mula tampaknya Yah akan
kalah, tetapi Yah mempunyai senjata yang ampuh untuk mengalahkan
musuhnya.Berkali-kali Tini menghina Yah seperti yang “begituan”,
tetapi tatkala Yah bertanya apakah sebetulnya bedanya perbuatannya
itu dengan perbuatan Tini dengan studen muda di Sekolah Teknik
Tinggi dulu. Tinipun terkejut, rahasianya diketahui orang lain, dan
bukan rahasia lagi. Kepada Yah, Tini berkata bahwa dialah yang mesti
memelihara Suakartono. Tini sendiri hendak pergi. Tini meninggalkan
Jakarta pergi ke Surabaya.
Beberapa hari kemudian, Tono pergi ke rumah Yah, tetapi Yah
sudah tidak ada. Yang ditinggalkan untuk kenang-kenangan ialah
sebuah gramopon dan sebuah plat yang dinyanyikan oleh Yah sendiri.

Dari dahulu sudah kutahu

74 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Kita akan berpisah jua
Tidak ada tahan waktu
Semuanya akan berpisahan jua
Inilah lagu perpisahan yang ditinggalkan bagi Tono di atas
sebuah piringan hitam.
Dokter Sukartono membenamkan dirinya kepada ilmu
ketabiban, Sumartini pergi ke Surabaya dan memegang pimpinan
rumah piatu; dan Rohayah alias nyonya Eni alias Yah pergi ke
Caledonia Baru.
Tinjauan pengamat sastra:
1. Amal Hamzah
Ia berpendapat bahwa cara Armin menulis Belenggu ini adalah
cara yang sampai waktu itu belum lagi ditempuh oleh penulis roman
lain.
Orang-orang yang digambarkan oleh penulis dalam roman ini
semuanya orang lemah, semuanya orang terbelenggu sehingga
belenggu itu merusakkan hidup mereka masing-masing.
Banyak orang mengatakan bahwa buku ini memberatkan
perjuangan hidup, tidak mempunyai cita-cita. Akan tetapi bagi kami hal
ini tidak menjadi apa-apa, bukankah dapat kita mengobati penyakit itu
kalau penyakit itu telah kita ketahui? (1964 : 128).
2. Prof. Dr. A. Teeuw
Menurut pendapat Teeuw, buku ini menarik perhatian. Apabila kita
hendak menentukan nilainya menurut maksud dan ukuran yang dipakai
oleh Armin, boleh dikatakan berhasil.
Ceritanya lepas dari masa Indonesia purba; lepas dari masalah
Timur dan Barat; lepas dari perkawinan-perkawinan adat dan dari
pertentangan-pertentangan tua dan muda (yaitu hal-hal itu tidak
mempunyai peranan penting dari cerita ini).
Menurut bentuk dan isinya, cerita ini bersifat baru, suatu cerita
yang berdasarkan kupasan jiwa, yang tidak memperkatakan hal-hal
dan peristiwa-peristiwa di luar badan pelaku-pelakunya, akan tetapi

Pendahuluan 75
yang mengupas perjuangan batin serta pikiran pelakunya (19959 : 143
– 144)
3. Zuber Usman B.A.
Apa yang dikemukakan oleh Armin Pane dalam novelnya ini
banyak mencerminkan keadaan masyarakat kaum terpelajar pada
waktu itu. Orang-orang jujur tentu akan mengakui bahwa lukisan yang
dikemukakan Armijn sebagai seniman (pengarang) memperlihatkan
kebenaran atau kenyataan yang sesungguhnya; dan sebaliknya karena
itu, karena ia terlalu berterus-terang, terutama orang-orang yang
merasa seakan-akan dirinya sendiri yang digambarkan dalam buku itu,
banyak yang merasa tiada senang kepadanya. Menurut kemauan
mereka, soal semacam itu tak ada gunanya dikemukakan kepada
umum.
Armin Pane lebih mendekati seorang pengarang realis, ia
mengemukakan apa yang dilihatnya dalam masyarakatnya . Apa kata
orang tentang pendapatnya terserah, masa bodoh! (1959 : 225).

C. Amir Hamzah
Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura
(Langkat) pada 20 Februari 1911. Ia
keturunan bangsawan. Pamannya, yang
kemudian menjadi mertuanya ialah Sultan
Langkat. Mula-mula ia bersekolah HIS
(Hollands Inlandse School, Sekolah Rendah)
di Tanjung Pura. Kemudian di Mulo Jakarta.
Selanjutnya, ia masuk AMS (Algemeene
Middelbare School, Sekolah Menengah Atas
bagian kesusastraan Timur) di Solo; akhirnya
ia kembali ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi dalam ilmu
hukum sampai pada tingkat C.2.
Dihentikannya pelajarannya karena harus kawin dengan anak
Sultan Langkat dan menggantikan ayahnya sebagai Datuk.
Keberhentiannya yang mendadak ini, sebenarnya disebabkan oleh

76 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


karena ada kabar yang mengatakan bahwa ia telah mencintai seorang
gadis di Jawa; padahal ia telah ditetapkan untuk menjadi Datuk dan
menantu Sultan Langkat.
Kekecewaan dunia yang pertama itu sangat berbekas di
sanubarinya, tetapi dalam kegelapan jiwanya itu, dalam
keputusasaannya, Amir Hamzah mendapat pegangan yang sangat
teguh, yang tidak akan putus, ialah tali hubungannya dengan Tuhan
yang Mahakuasa.
Akibat kekecewaannya yang sangat berat itu membawa ia
bertambah dekat dengan Tuhan. Sajak di bawah ini merupakan
pengaduannya kepada Tuhan.

PADAMU JUA
I. Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
II. Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
III. Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
IV. Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
V. Engkau cemburu
Engkau ganas

Pendahuluan 77
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
VI. Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
VII. Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku.......
Dari: Nyanyi Sunyi
(Ejaannya disesuaikan dengan EYD)

Sajak di atas adalah sajak pertama dalam kumpulan sajak


Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi. Pertemuan Amir Hamzah dengan
Tuhannya dalam sajak ini sebagai pertemuan kekasih dengan kekasih
atau hamba dengan yang diper-Tuhankan (Usman, 1959 : 323).
Bait I:
Bait pertama sajak di atas menggambarkan kekecewaan Amir
Hamzah. Ia tak berdaya membantah kehendak keluarganya, untuk
dikawinkan dengan anak pamannya, anak Sultan Langkat. Kepada
Tuhan ia mengadukan nasibnya.
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Bait II
Bait kedua sajak di atas menggambarkan bahwa dalam
kegelapan jiwanya, ia pada akhirnya melihat cahaya candil atau pelita,
yang dimaksudnya ialah nur ke-Tuhanan. Dalam keadaan demikian,
dalam jiwanya terasa Tuhan melambai dia.
Bait III
Amir Hamzah adalah seorang mistis, yang telah penuh
ketawakkalan, penyerahan diri kepada Tuhan. Kekasihnya tinggal yang

78 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Esa-Tuhannya. Kasihnya kepada gadis yang telah ditumbangkan oleh
keputusan keluarganya telah dilupakannya.
Bait IV
Ia ingin bertemu dengan Tuhan, disertai dengan kesadaran
bahwa dirinya adalah manusia.
Aku manusia biasa
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Bait V
Bait ini menggambarkan bahwa tiba-tiba Amir Hamzah merasa
seakan-akan dirinya dipermainkan oleh Tuhan.
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Bait VI
Dengarkanlah jiwa penyair yang saleh itu berhadapan dengan
Tuhan
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Catatan: nanar = pusing
Sasar = kesasar
Bait VII
Bait terakhir sajak ini menggambarkan bahwa pada akhir
kekecewaannya, Amir Hamzah ingin kembali kepada Tuhan.
Isi sajak ini penuh dengan rasa tawakkal, penyerahan diri
kepada Tuhan. Yang diharapkan untuk melupakan kekecewaannya,

Pendahuluan 79
rasa dukanya ialah maut. Hal ini tergambar dalam bait pertama
sajaknya yang berjudul Buah Rindu sebagai berikut.
Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita
(1959
: 238)

D. J.E. Tatengkeng
Tatengkeng dilahirkan di Kalongan, Pulau
Sangihe (Sulawesi Utara) pada 19 Oktober
1907. Sesuadah tamat HIS (Hollands Inlands
School = Sekolah rakyat), kemudian ia
melanjutkan pelajaran ke Kweekschool =
Sekolah Guru Kristen di Bandung; sesudah itu
pindah ke HKS (Horgeere Kweekschool =
Sekolah Guru Atas) Kristen di Solo.
Dalam tahun 1933, ia menjadi guru HIS di
Tahuna; kemudian dalam tahun 1940 diangkat menjadi kepala
Schakelschool di Ulu Siau, kemudian pindah kembali ke HIS Tahuna
sebagai kepala. Selanjutnya dalam tahun 1947, ia menjadi kepala
Normaal School dan S.M (Sekolah Menengah) Tahuna.
Selanjutnya dalam tahun itu juga (1947), ketika terbentuk NIT
(Negara Indonesia Timur) terpilih menjadi Menteri Muda Pengajaran;
kemudian Perdana Menteri NIT; turut menghadiri Konferensi Meja
Bundar di Negeri Belanda sebagai anggota seksi Kebudayaan.
Setelah terbentuk Negara Kesatuan, J.E Tatengkeng dalam tahun
1951 ditunjuk untuk mengepalai Perwakilan Jawatan Kebudayaan
Kementerian P.P. dan K. di Makassar.
(Usman, 1959 : 257-
258)

80 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Prof. Dr. A. Teeuw mengatakan bahwa golongan Pujangga
Baru dipengaruhi oleh penyair-penyair Belanda, yang biasanya
dikatakan angkatan 1880, yaitu mereka yang telah mengadakan
revolusi besar dalam kalangan kesusastraan Belanda. Akan tetapi
hendaklah berhati-hati menyangkakan bahwa pengaruh Belanda itu
terlalu amat besarnya dan lagi pula terlalu sekali nyatanya berlaku.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa puisi Pujangga Baru
banyak persamaannya dengan puisi Angkatan 1880, bukannya karena
kutipan langsung atau karena tiruan , tetapi karena seolah-olah serupa
sama-sama tumbuh dalam iklim yang sama pada tanah yang serupa.
Barangkali Tatengkenglah penyair di masa sebelum perang
yang teramat dekat kepada angkatan 1880 Belanda itu; dan yang
sungguh-sungguh merasakan pengaruh mereka pada dirinya.
Selanjutnya Teeuw mengatakan bahwa beberapa hal
Tatengkeng memperoleh tempat yang istimewa dalam masanya, yaitu
ia berasal dari Indonesia Timur dan beragama Kristen. Yang pertama
menilai kecakapan menggunakan bahasa Indonesia; dan yang kedua
ia beragama Kristen, sudah jelas menempatkan dalam suasana yang
lain daripada tempat kebanyakan pembantu Pujangga Baru.
Karangannya ialah: Rindu Dendam (kumpulan sajak, yang
dikarangnya dalam tahun 1934). Semboyannya moto Tatengkeng
ialah: gerakan sukma (1959 : 153)
Di bawah ini dicantumkan sajaknya yang berjudul Anakku
ANAKKU
1. Ya, kekasihku......
2. Engkau datang menghintai hidup,
Engkau datang menunjukkan muka,
Tapi sekejap matamu kau tutup,
Melihat terang anakda tak suka.
3. Mulut kecil tiada kau buka,
Tangis teriakmu tak diperdengarkan,
Alamat hidup wartakan suka,
Kau diam anakku, kami kau tinggalkan.

Pendahuluan 81
4. Sedikitpun matamu tak mengerling,
Memandang ibumu sakit terguling,
Air-matamu tak bercucuran,
Tinggalkan ibumu tak penghiburan.
5. Kau diam, diam, kekasihku,
Tak kau katakan barang pesanan,
Akan penghibur duka di dadaku,
Kekasihku, anakku, mengapa kian?
6. Sebagai enak melalui sedikit,
Akan rumah kamu berdua,
Tak anak tak insaf sakit,
Yang diderita orang tua.
7. Tangan kecil lemah tergantung,
Tak diangkat memeluk ibumu,
Menyapu dadanya, menyapu jantung,
Hiburkan hatinya, sayangkan ibumu.
Selekas anakda datang,
8. Selekas anakda pulang,
Tinggalkan ibu sakit terlentang,
Tinggalkan bapa sakit mengenang.
9. Selamat datang anakda kami,
Selamat jalan kekasih hati.
10. Anak kami Tuhan berikan,
Anak kami Tuhan panggilkan,
Hati kami Tuhan hiburkan,
Nama Tuhan kami pujikan.
Dari: Rindu Dendam
(Dieja menurut EYD)
Sajak di atas mengandung kesedihan atau harapan
Tatengkeng ketika anaknya meninggal.
Menurut Usman Effendi, dalam sajak di atas dilukiskan
bermacam-macam perasaan. Dalam bait ke-1, ke-2, dan sebagian dari
bait ke-3 digambarkan perasaan orang tua pada waktu anaknya lahir.

82 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Dalam bait ke-4 sampai bait ke-8 digambarkan perasaan sedih orang
tua ditinggalkan dan tak dihiraukan oleh anaknya. Dalam bait ke-9
digambarkan bahwa anak bagi orang tua pada masa Tatengkeng
hanya mempunyai dua kemungkinan yaitu masa datang atau lahir yang
menggembirakan dan masa pergi atau perceraian yang menyedihkan.
Dalam bait ke-10 disimpulkan bahwa Tuhan selalu berbuat baik
dengan memberi, menolong, dan
menghibur sehingga sudah pada
tempatnyalah bila Tuhan kita puji
(1958 : 65).

E. H. A. M. K. Amrullah
Hamka adalah singkatan dari
Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Bapaknya bernama Doktor Haji Abdul
Karim Amrullah, seorang ulama Islam
yang terkenal di Sumatra; pembawa
paham-paham pembaruan di
Minangkabau. Hamka dilahirkan di Sungai Batang, Meninjau, Sumatera
Barat pada tanggal 16 Februari 1908. Pendidikannya hanya sampai
kelas II sekolah desa. Karena nakalnya dia dikeluarkan dari sekolah.
Dari pihak ibu, Hamka mewarisi darah seni; orang tua ibunya
ahli pencak sejenis tari-tarian yang digemari di Minangkabau. Dari
kakeknya itulah dia sering mendengar pantun-pantun lama.
Waktu kecilnya, Hamka sering di bawa kakeknya ke danau
Maninjau, sebuah danau yang indah di Minangkabau. Pemandangan
alam sekeliling danau itu sangat berkesan pada sanubarinya.
Ketika usia enam tahun, dia di bawa ayahnya ke Padang Panjang.
Setelah tujuh tahun dia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya
belajar mengaji Qurán pada ayahnya sendiri sampai tamat.
Dari tahun 1916 sampai tahun 1923, dia belajar agama pada
sekolah Diniyah School dan Sumatra Thawabib di Padang Panjang.
Gurunya pada waktu itu ialah Sjch Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo
Abdulhamid dan Zainuddin Lebay.

Pendahuluan 83
Hamka mengalami penderitaan masa kecil yang sangat
berpengaruh pada dirinya akibat perceraian antara ayah dan ibunya.
Perceraian itu disebabkan oleh desakan kaum famili yang sangat besar
campur tangannya terhadap rumah tangganya.
Setelah menguasai bahasa Arab, segera dia mengenal nama-
nama Manfaluthi, Abduh, Mustafa Sidik Rafií, Zaki Mubarak, Husain
Pasja, dan lain-lain.
Melalui terjemahan bahasa Arab, dia mengenal Plato,
Sokrates, Pierre Loti, Bernardin de St. Pierre, dan lain-lain pujangga
dunia. Kesemua itu memberi kesan, corak, dan arah pada jiwa Hamka.
Campuran pengaruh-pengaruh itulah yang membentuk Hamka sebagai
seorang sastrawan yang lincah dan sangat produktif dengan hasil-hasil
karya sastranya.
Hamka tidak selalu berada pada suatu tempat, tetapi ia selalu
melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat yang lain untuk
mendapatkan ilmu dan pengalaman hidup.
Dalam tahun 1924, ia berangkat ke Jogja untuk mempelajari
pergerakan-pergerakan Islam. Di tempat itu, ia dapat kursus
pergerakan dari H.O.S. Tjokroaminoto, H. Fachruddin, dan Kijai Sutan
Mansjur, suami saudaranya.
Dalam tahun 1925, ia kembali ke Padang Panjang. Ketika itu ia
sudah mulai mengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya berjudul
Chatibul Ummah.
Selanjutnya dalam tahun 1927, ia berangkat ke Mekkah untuk
menunaikan rukun Islam yang kelima. Pengalaman naik haji memberi
ilham bagi Hamka untuk lahirnya romannya yang pertama, yang
bernama Di Bawah Lindungan Ka’bah. Sekembalinya, ia membantu
Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah di Jakarta.
Pengalaman Hamka terhadap masyarakat Bugis Makassar
ketika pindah ke Makassar menimbulkan ilham untuk lahirnya
romannya yang kedua yang bernama Tenggelamnya Kapal van der
Wijck.
Karena keahliannya dalam berbagai bidang, baik sebagai
pengarang, pujangga, dan filosof Islam, menyebabkan ia diangkat oleh

84 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


pemerintah menjadi anggota Badan Pertimbangan Kebudayaan dari
kementerian P.P. dan K, di samping sebagai dosen luar biasa pada
Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makassar. Selain itu,
ia juga menjadi penasihat pada Kementerian Agama.
Dalam tahun 1958, Hamka diundang oleh Pemerintah Mesir;
dan dengan pidatonya yang berjudul: Pengaruh Muhammad Abdu di
Indonesia, beliau dihadiahkan gelar Doctor Honoris Causa oleh
Universitas Al-Azhar Mesir.
Selanjutnya, dalam tahun 1959, beliau memimpin majalah
Panji Masyarakat, majalah pengetahuan dan kebudayaan Islam.
Majalah ini pernah dihentikan penerbitannya oleh penguasa perang
Jakarta Raya, tahun 1960, karena memuat tulisan Dr. Moh. Hatta
“Demokrasi Kita”.
Hamka memiliki kemampuan baik menulis maupun berbicara
atau baik lisan maupun tulisan. Selain menulis sajak-sajak, novel dan
roman juga Tafsir Qur’an. Selama 25 tahun, ia telah menulis tidak
kurang dari 60 buah buku.
Karena keahlian berpidato, dan juga penggunaan bahasa yang
baik dan ucapan yang fasih pada peringatan hari-hari besar Islam
sering diundang berceramah ke seluruh pelosok tanah air.
(Hamzah, 1964 : 11-
14)

1. DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH


Pelakunya: - Hamid (yatim, kematian ayah)
- Zainab ( anak Haji Djafar, seorang saudagar)
- Saleh (sahabat)
- Rosma (istri Saleh)
Hamid adalah seorang anak yang telah kematian ayah sejak
kecil tinggal bersama dengan ibunya di Padang. Haji Djafar,
tetangganya, adalah seorang saudagar yang baik hati, menyekolahkan
Hamid bersama-sama dengan anaknya yang perempuan bernama
Zainab. Keduanya secara bersama-sama disekolahkan sampai sekolah

Pendahuluan 85
menengah. Kemudian Zainab dipingit oleh orang tuanya; dan Hamid
melanjutkan sekolah pada sekolah agama di Padang Panjang.
Perubahan suasana terjadi setelah ayah Zainab meninggal
dunia. Hamid yang sebelumnya leluasa datang ke rumah Zainab, kini
tidak bisa lagi berbuat demikian. Namun, benih-benih cinta sudah mulai
tumbuh antara Hamid dan Zainab.
Perkembangan selanjutnya, ibu Hamid pun meninggal dunia,
maka tinggallah Hamid sebatang kara di dunia ini, ibu meninggal ayah
pun lebih dahulu meninggal. Keadaan ini mengakibatkan perhubungan
Hamid dengan Zainab bertambah sukar, namun api cinta antara
keduanya makin membara.
Ibu Hamid sebelum meninggal, ia menasihati anaknya supaya api
cintanya dipadamkan saja sebelum menimbulkan masalah. Ia
mengingatkan anaknya supaya tahu akan hina dirinya sebagai anak
pungut.
Hamid jika berhadapan dengan Zainab selalu memperlihatkan
tingkah-lakunya sebagai seorang kakak kepada adik. Ketika Zainab
menolak untuk dikawinkan dengan saudara sepupunya, ibunya
meminta kepada Hamid untuk membujuk Zainab. Hal itu dilakukan
Hamid dengan jujur, biarpun hatinya sendiri amat berat melakukannya.
Hamid tidak berhasil atas bujukannya.
Dalam melukiskan perasaan, Hamka adalah seorang yang
pandai. Cobalah siasat bagaimana halusnya ia dapat menggambarkan
percakapan antara Hamid dan Zainab, tatkala Hamid disuruh ibu
Zainab melunakkan hati anaknya itu:
“Bagaimana Zainab perkataanku!”
“Belum abang, saya belum hendak kawin,”
“Atas nama ibu, atas nama almarhum ayahmu”...
“Belum abang!”
“Aku sendiri yang meminta, adik!”
“Sampai hati abang memaksa aku?”
“Abang bukan memaksa engkau, adik ingatlah ibumu.”
86 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia
(hal. 35/36)
(Hamzah, 1964
: 119)
Selanjutnya, Hamid meninggalkan Padang pergi ke Medan dan
dari sana terus melalui Singapura, Bangkok, Basrah dan Nedjed
sampai ke Mekkah.
Semasih berada di Medan, Hamid mengirim sepucuk surat
kepada Zainab tanpa alamat pengirim. Di dalam surat itu ia secara
samar-samar mengungkapkan isi hatinya, namun ia mendesak juga
supaya Zainab rela kawin dengan saudara sepupunya.
Maksud Hamid ke Mekkah, berada di bawah lindungan Ka’bah
kiranya luka hatinya yang dibawanya dari Padang dapat sembuh
kembali. Luka yang hampir sembuh itu kambuh kembali setelah
temannya yang bernama Saleh datang ke Mekkah dan menceritakan
bahwa Zainab juga mencintainya. Tiada berapa lama berselang,
datang berita dari istri Saleh bahwa Zainab telah meniggal karena
menanggung rindu.
Setelah mendengar berita itu, Hamid sakit keras, juga karena
menanggung rindu; dan ketika berada di bawah lindungan Ka’bah, ia
menghembuskan nafas yang penghabisan.
Prof. Dr. Teeuw berpendapat bahwa roman Di Bawah
Lindungan Ka’bah adalah pelik karena beberapa hal, terutama karena
keringkasannya sehingga seolah-olah hanya menyebutkan yang perlu-
perlu saja. Dalam 45 halaman dibentangkan suatu cerita yang agak
sukar susunannya. Kita berkenalan di situ dengan banyak sekali orang;
dan bermacam-macam hal yang terjadi di situ. Sifat yang ringkas itu
tidak pernah menjadikan ceritanya kurang jelas.
Hamka sungguh-sungguh pandai memilih yang penting-
penting, tepat pada tempatnya diselipkannya surat-surat sehingga tidak
perlu lagi dia membuatkan berbagai-bagai penjelasan, sedangkan isi
surat-surat itu kadang-kadang mengharukan. Cerita itu memang tidak
bebas dari perbuatan merayu-rayu, tetapi justru karena

Pendahuluan 87
keringkasannya, tidak pula cerita itu menimbulkan rasa bosan atau
boyak (1959 : 190).
H. B. Jassin (dalam Hamzah 1984 : 33) berpendapat bahwa di
dalam karangan Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah, banyak
diselipkan pikiran-pikiran yang tinggi, ajaran-ajaran ke-Islaman dan
sindiran-sindiran atas adat masyarakat, yang menurut Hamka tidak
baik sama sekali atau berlawanan sekali dengan ajaran Islam.
Menurut Hamzah (1984 : 33), tema roman Hamka Di Bawah
Lindungan Ka’bah adalah hubungan cinta antara dua orang manusia
yang berlainan jenis menghadapi kegagalan karena adanya perbedaan
dalam masyarakat yang disebabkan oleh harta, pangkat, dan turunan.
Hamka banyak sekali mempergunakan gaya yang merayu-
rayu dan sentimental; gaya ratapan yang sedih-sedih; dan permohonan
yang ditunjukkan kepada Tuhan. Gaya yang demikian itu adalah hasil
timbaan dari pengalaman hidupnya sendiri, juga merupakan pengaruh
dari Musthafa Luthfi al-Munfaluthi.
Perhatikanlah gaya bahasa Hamka dalam wujud doa di bawah ini.

“Ya Rabbi, Tuhanku Yang Maha Pengasih dan Penyayang:


Bahwasanya, di bawah lindungan Ka’bah, rumah Engkau yang
suci dan terpilih ini, saya menadahkan tangan memohon karunia.
Kepada siapakah saya akan pergi memohon, kalau bukan kepada
Engkau, Ya Tuhanku!
Tidak ada seutas talipun tempat saya bergantung, lain daripada
tali Engkau; tidak ada satu pintu yang akan saya ketuk, selain
daripada pintu Engkau.
Berilah kelapangan jalan buat saya, hendak pulang ke hadirat
Engkau; saya hendak menuruti orang-orang dahulu dari saya ,
orang-orang yang bertali hidupnya dengan saya.
Ya Rabbi, engkaulah Yang Mahakuasa, kepada Engkaulah kami
88 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia
sekalian akan kembali....”
( Hamzah, 1964 : 56)

2. TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK


Pelakunya: - Zainuddin
- Hayati
- Aziz
- Chadija (adik Aziz)
Ringkasan Ceritanya
Zainuddin dilahirkan di Makassar. Ayahnya bernama Sutan
Sati berasal dari Minangkabau dibuang oleh pemerintah Belanda ke
Makassar karena membunuh kemanakannya sendiri. Sutan Sati
menikah dengan seorang putri Makassar yang bernama Daeng
Habibah. Dari pernikahan itu lahirlah Zainuddin. Orang tuanya
meninggal sewaktu Zainuddin masih kecil; kemudian dia diasuh oleh
Mak Base. Setelah besar, dia ingin mengunjungi pihak keluarga
ayahnya di Padang.
Selanjutnya, Zainuddin berangkat ke Padang dengan
menumpang kapal laut. Dari Padang dia terus ke desa Batipuh; di
sanalah dia tinggal pada mak bakonya yang bernama Mande Djamilah.
Setelah beberapa bulan Zainuddin tinggal di Batipuh, ia
berkenalan dengan seorang gadis, yang sangat cantik di desanya. Dari
akibat perkenalan antara Hayati dan Zainuddin tumbuh perasaan cinta-
mencintai, yang melahirkan kesepakatan untuk sehidup-semati. Akan
tetapi kesepakatan itu tidak disetujui oleh keluarga Hajati. Zainuddin
diusir oleh keluarga Hajati, sehingga ia berangkat ke Padang Panjang.
Namun antara Padang Panjang dan Datipuh selalu ada hubungan
surat.
Pada suatu ketika, di Padang Panjang, ada pacuan kuda.
Hayati berangkat ke sana untuk menyaksikannya. Dia menginap di
rumah kenalannya yang bernama Chadiyah. Temannya ini mempunyai
abang yang bernama Aziz. Aziz juga jatuh cinta kepada Hayati dan

Pendahuluan 89
Zainuddin mulai renggang. Dalam keadaan demikian, Aziz melamar
Hayati pada mamaknya. Bersamaan dengan itu lamaran Zainuddin
datang juga. Berdasarkan adat Minangkabau, Lamaran Zainuddin
(sebagai anak pisang) ditolak berdasarkan pertimbangan adat juga,
lamaran Aziz diterima karena ia lebih kaya, orang berbangsa dan
berketurunan. Tidak berapa lama berselang, Aziz kawin dengan Hayati.
Zainuddin jatuh sakit setelah dia mendengar berita bahwa Aziz
sudah kawin dengan Hayati. Ia diasuh oleh Muluk (pengasuhnya).
Setelah sembuh, ia berangkat ke Jawa dan menetap di Surabaya. Di
sanalah Zainuddin hidup sebagai pengarang; ia melukiskan berbagai
macam pengalamannya dan menulis cerita-cerita sandiwara. Namanya
diganti menjadi Z atau Shabir. Dengan aktivitasnya itu, cepat namanya
terkenal.
Cerita selanjutnya, Aziz sebagai pegawai pemerintah Belanda,
minta pindah ke Surabaya. Permintaannya dikabulkan dan dengan
bersama istrinya Hayati mereka pindah ke Surabaya. Di sanalah
mereka bertemu dengan Zainuddin yang terkenal dengan karangan-
karangannya dan sandiwara-sandiwaranya.
Adapun suasana rumah tangga Aziz makin hari makin tegang.
Utangnya makin bertambah. Untuk pembayar utang, rumahnya disita.
Hayati dan Aziz yang tanpa rumah, dengan kebaikan hati Zainuddin
diterima tinggal di rumahnya. Aziz makin lama makin susah, lalu dia
pergi ke Banyuwangi, di sanalah dia bunuh diri.
Adapun Hayati masih tinggal di rumah Zainuddin. Ia
menyatakan penyesalannya atas perbuatannya yang teleh lalu dan
sekarang ia ingin kembali kepada Zainuddin. Akan tetapi Zainuddin
menolaknya, bahkan dia menyuruh Hayati pulang saja ke Padang.
Zainuddin berangkat ke Malang. Hayati dengan diantar oleh Muluk
(pengasuh Zainuddin), masuk ke kamar kerja Zainuddin, tempat ia
melihat lukisannya sendiri. Oleh Muluk diceritakan bagaimana
sesungguhnya cinta Zainuddin kepada Hayati tidak pernah padam.
Akan tetapi karena keputusan sudah dijatuhkan oleh Zainuddin bahwa
Hayati harus pulang, maka dengan menumpang kapal van der Wijck
diapun meninggalkan Surabaya.

90 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Zainuddin, setelah menyesali tindakannya menyuruh Hayati
pulang ke Padang, ingin segera menyusulnya ke Jakarta. Akan tetapi
dia membaca di surat kabar bahwa kapal van der Wijck tenggelam.
Cepat-cepat dia dengan Muluk menyusul ke Lamongan tempat Hayati
mendapat pertolongan pada rumah sakit Lamongan. Di sana didapati
Hayati sedang sakit parah. Pertemuannya tidak lama karena Hayati
segera menutup mata untuk selama-lamanya.
Mayat Hayati di bawa ke Surabaya untuk dikuburkan. Tidak
lama kemudian Zainuddin menyusul Hayati ke alam baka. Dia
dikuburkan berdekatan dengan Hayati.
Prof. Dr. Teeuw mengatakan bahwa karangan yang dipandang
Hamka sendiri/buah tangannya yang terbaik ialah Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck, yang asalnya diterbitkan sebagai fevilleton, lantas
dibukukan (1939), dan sehabis perang diulang cetak lagi (yang terakhir
dalam tahun 1951). Pendapat pengarang itu memang dapat
dibenarkan dari satu sudut mata: bahasanya dan lukisannya terhadap
masyarakat Minangkabau, tentang adat dan keistimewaan suku
bangsa itu memang menarik dan dapat disebut indah. Akan tetapi, isi
pokok buku ini kurang segar dan kurang hidup daripada yang didapati
dalam karangannya yang lain.
Sebuah buku yang menurut isinya tidak dapat berbeda dengan
beberapa karangan lain tetapi yang bentuk dan lukisan dan bahasanya
memang patut dihargakan.
(Teeuw, 1959 : 191-
192)
Dalam roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Hamka
mengecam adat, juga membeberkan bagaimana sesungguhnya adat
itu. Bagaimana susunan masyarakat Minangkabau, yang berkuasa
pihak mamak (saudara ibu yang laki-laki).
Percakapan antara Hayati dengan mamaknya yang dikutip di
bawah ini menjelaskan yang dikatakan di atas.
“Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin
manusia?
Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?”

Pendahuluan 91
“Hai upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum
tahu belit-belitnya’ Bukanlah kau sembarang orang, bukan
tampan Zainuddin itu jodohmu”.
(Hamzah, 1964 : 40 -
41)
Melalui kedua romannya, Hamka telah mengemukakan kepada
kita kepincangan-kepincangan adat Minangkabau. Cara
mengemukakannya berbeda dengan pengarang lain. Kalau kawan-
kawan pengarang seangkatan dan sedaerahnya melukiskan
kepincangan adat Minangkabau itu bertolak dari pengaruh pola pikir
Barat (seperti S. Takdir), maka Hamka berdasar dari pengaruh
modernisme Islam.
Dua hal menonjol yang mewarnai roman Hamka ialah 1)
pengaruh modernisme Islam dan 2) kesensaraan manusia akibat
kepincangan adat.
Hamka mendapat mengaruh modernisme Islam terutama dari
Muhammad Abduh, sedangkan dari Manfaluthi mengilhami Hamka
dengan cerita-cerita tentang kesengsaraan manusia yang dapat
mencucurkan air mata, yang menimbulkan kesedihan bagi yang
menghayatinya.
Hamka pandai memilih kata-kata dan terampil menyusunnya
dalam kalimat, selanjutnya dalam rangkaian kalimat, yang dapat
dihayati pembaca menurut keinginannya.

Perhatikanlah gaya bahasa Hamka dalam wujud doa ratapan


seorang perempuan sebagai berikut

“Ya Illahi, berilah perlindungan kepada hamba-Mu! Perasaan


apakah namanya ini, Ya Tuhanku, tunjukkan Ya Tuhan, nyatalah
sudah kelemahan diriku! Apakah pertolongan yang akan
kuberikan. Dia meminta budi kepadaku, aku hanya Tuhan
takdirkan menjadi perempuan jenis yang lemah. Tidak ada
kepandaianku, hanyalah menangis! Tuhanku, benar... sebenar-
benarnya hamba-Mu ini kasihan kepada makhluk yang malang itu,
dan oh Tuhanku! Hamba sayang akan dia, hamba...hamba cinta
92dia! Jika cinta
Sejarah itu dosa, Sastra
Perkembangan ampunilah dan maafkanlah! Hamba akan
Indonesia
turut perintah-Mu, Hamba tak akan melanggar larangan, tak akan
menghentikan suruhan. Akan hamba simpan, biarlah orang lain
( Hamzah, 1964 :
57)

Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an Al Karim


186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah) –Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.
(Surat Al-Baqarah, 2 : 186)
AL-QUR’AN AL KARIM dan
TERJEMAHANNYA
(Terjemahan Departemen Agama
RI)

F. Zuber Usman
TAMASYA DENGAN PERAHU
BUGIS
(Prosa: oleh Zuber Usman)
Setalah beberapa hari
menunggu di Surabaya, maka
dapatlah sebuah perahu yang
akan berangkat ke Makassasr,

Pendahuluan 93
Intan Selebes namanya. Perahu itu tiada besar benar, kira-kira muatan
20 ton. Yang lebih besar dari itu dapat memuat 40 ton atau lebih.
Mulai keluar dari Selat Madura, perahu berlayar dengan
tenang. Jika kita memandang ke sebelah kiri, pemandangan kita lepas
ke daratan Pulau Jawa dan ke sebelah kanan, pemandangan kita
tertumbuk ke pantai Pulau Madura. Di sana sini kelihatan kaki bukit
yang keputih-putihan, tanah kapur yang tiada ditumbuhi tanam-
tanaman. Kami berlayar antara dua pantai yang agak berlainan
keadaannya. Gunung-gunung di pantai timur Pulau Jawa yang hijau
dan lebih subur itu berdiri dengan tenang, seakan-akan memandang
dengan sayu ke laut.
Sehari semalam lepas dari Gersik barulah kami masuk ke Laut
Jawa. Belum jauh dari Selat Madura, ombak sudah mulai besar.
Beberapa lamanya kami mendapat angin barat, perahu kami seakan-
akan didorong dari belakang. Sepanjang jalan banyak kami berjumpa
dengan sampan-sampan penangkap ikan atau perahu-perahu Madura
yang berlayar dari tempat yang dekat-dekat. Saya berangkat dalam
musim pancaroba atau musim pergantian angin barat dengan musim
timur. Dalam musim yang semacam itu datang angin yang tiada tetap,
antara sebentar berkisar. Maka kedengaranlah suara nakhkoda
memberi perintah kepada anak buahnya untuk menukar letak layar,
karena arah angin selalu berubah-ubah. Saya rasakan perahu amat
oleng, selain ombak besar jalan perahu sudah mengambil haluan ke
kanan kemudian ke kiri. Tak ubahnya sebagai jalan seekor ular yang
berbelit-belit, berputar-putar di air. Jalan perahu semacam itu
menggergaji namanya.
Sebenarnya berlayar dalam musim pancaroba itu kurang baik.
Selain arah datang angin tiada tetap acapkali pula mati, tak berangin
samasekali. Berjam-jam muka laut sebagai suatu kaca bundar yang
maha luas rupanya. Kadang-kadang berhari-hari perahu tiada berjalan.
Dalam keadaan yang semacam itulah acapkali orang mabuk laut. Perut
kita seakan-akan diguncang dan dihentakkan oleh gerak perahu yang
turun naik menurutkan ayunan alun. Udara rasanya amat panas.

94 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Mulai bertolak dari Surabaya kami mendapati bulan terang.
Pemandangan waktu bulan terang di laut berlainan dari bulan terang di
darat. Kami berada di tengah-tengah warna yang biru semata. Sinar
bintang yang bertaburan di langit atau cahaya bulan jatuh tertumpah ke
muka air laut, lemah gemerlapan rupanya, bermain berayun-ayun di
atas ombak.Pada hari yang ketujuh, pagi-pagi sekali, salah seorang
anak perahu menunjuk kepada suatu bayangan dalam kabut pagi yang
naik dari muka laut.
“Sudah sampaikah kita ke pantai Kalimantan?” tanyaku.
Berhubung dengan keadaan angin, perahu kami mengambil haluan ke
Kalimantan lebih dahulu.
“Belum, Saudara,” jawab anak perahu itu dengan tersenyum. “Kita baru
berada dekat pulau Bawean.” Pulau itu belum berapa jauh dari pantai
Pulau Jawa. Sudah hampir seminggu Intan Selebes belum mendapat
angin dan apabila ada angin segera diiringi hujan” Dalam hujan, layar
tentu tak dapat dikembangkan karena besar bahayanya. Sebab itu,
kami acapkali terpaksa berhenti di tengah laut. Lepas dari Pulau
Bawean angin telah teduh pula. Berjam-jam perahu tinggal tenang tak
beringsut-ingsut.
Sejak matahari terbit sampai ia terbenam kembali, kami harus
menderita panas yang amat terik. Adakalanya juga angin berhembus
sedikit-sedikit, tetapi tak kuasa menggerakkan tiang layar yang besar
dan tinggi itu, melainkan menambah mabuk dan kesal, karena perahu
kami hanya mengangguk ke muka, terhuyung ke kanan atau berputar
ke kiri seperti tingkah seekor kerbau manja yang dambin.
Bila kita berada di tengah laut, perasaan persaudaraan lekas
terjalin antara kita dan anak-anak perahu atau dengan penumpang
yang lain. Selain dari saya hanya ada seorang penumpang. Kasihan
teman itu, badannya lemah dan baru kali itu berlayar. Ia selalu
berbaring dalam perahu karena penyakit kota yang diperolehnya dari
Surabaya. Ketika saya tertegun memandang awan petang, nakhoda
yang ramah itu berkata kepada saya: “Rupanya Saudara tiada sabar
lagi, kami orang laut sudah biasa begini.” “Tidak juragan,” Jawabku
melindungkan diri. “Saya takjub memandang keindahan senja itu.

Pendahuluan 95
Agaknya seperti awan yang berarak itu pulalah perjalanan nasib
manusia di dunia ini, dibawa untung dan takdir ke mana-mana.”
Sesungguhnya keadaan lautan dan matahari waktu itu memberikan
suatu pemandangan yang sangat indah. Dari sebelah barat kelihatan
awan berarak bergulung dalam warna merah yang menyala disepuh
oleh sinar mambang petang. Akan tetapi, sayang pemandangan itu
sebentar saja. Setelah bola langit yang berat itu tenggelam ke dalam
laut di balik awan yang tergulung yang besusun-susun itu, hilang
pulalah taman cahaya itu sedikit demi sedikit. Tak lama kemudian di
sebelah barat daya tampak kabut putih naik menjulang dari tepi langit.
Dari balik kabut itu bersinar kilat beberapa kali.
“Coba perhatikan Saudara! Mudah-mudahan tak lama lagi kita
mendapat angin yang baik,“ kata seorang anak perahu kepada saya.
Nakhoda pun memandang dengan minatnya ke jurusan itu, seraya
menyuruh perbaiki pasang layar. Benarlah kira-kira seperempat jam
kemudian, air laut mulai terasa beriak dan layar mulailah bergerak.
Rupanya kabut putih yang naik mengepul di tepi langit yang
ditunjukkan anak perahu itu, ialah bunga angin. Semalam-malam itu
perahu kami tiada berhenti-hentinya. Sore lusanya kami telah dapat
melihat Pulau Maslembu dan Pulau Maskambing jauh di muka haluan
kami, tak ubah rupanya sebagai dua ekor sapi hitam berbaring di atas
padang rumput yang biru. Pulau Maslembu dan Maskambing berdekat-
dekatan letaknya di tengah-tengah Lautan Jawa. Yang mendiami
pulau-pulau itu ialah bangsa Bugis, Mandar, dan Madura; orang dari
Jawa pun ada. Tentu mereka itu kaum pelaut belaka. Pulau-pulau itu
menghasilkan kelapa. Di sana kami berhenti untuk mengambil air, ada
kira-kira setengah hari lamanya. Sesudah mandi dengan air tawar di
pulau itu, badan kami bertambah segar kembali: Dari tengah laut yang
saya idamkan sekali, ialah seteguk air kelapa muda. Waktu kami
kembali ke perahu, lepa-lepa (sekoci) kami sudah penuh dengan
kelapa muda, pisang mentah, dan buah kedondong.
Lepas dari sana tak ada lagi tempat berhenti. Haluan kami
mencari Pulau Laut. Kebetulan sesampai kami di Pulau Maslembu, dua
buah perahu lain yang sama-sama berangkat dengan kami dari

96 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Gersik, sampai pula, yaitu Kamran dan Terang di Laut; Petah
Karangrang, teman perahu kami juga, tak kelihatan . Kamran sesampai
di Pulau Maslembu, dengan berani mengambil haluan memutus,
hendak terus menuju Ujung Pandang (Makassar). Terang di Laut juga
mengambil haluan Pulau Laut, sama dengan kami karena perahu itu
kendak ke Balikpapan. Mulai berangkat dari Maslembu, sekalipun kami
tiada keputusan angin, tetapi angin bertiup perlahan-lahan. Perahu
kami hanya maju sedikit demi sedikit sebagai beringsut.
Kalau dibandingkan jauh lebih cepat Terang di Laut, sebab
lunasnya dangkal dan bangun badannya lebih kecil daripada badan
perahu kami; layarnya hanya sebuah, empat segi bentuknya. Bangun
Terang di Laut itu serupa dengan perahu Madura, haluan dan
buritannya sama besar dan melengkung seperti tanduk kerbau.
Bangun perahu yang semacam itu dinamakan orang Bugis: finisik.
Akan tetapi, bila mendapat angin yng lebih keras, perahu kami tentu
lebih cepat, sebab Intan Selebes mempunyai dua layar yang besar,
layar sompek namanya (Bugis). Di atas layar sompek itu ada pula dua
pasang layar yang lebih kecil, disebut layar tapsirek dan di haluan
sekali ada lagi tiga buah layar kecil yang tiga segi bentuknya. Bila
sekalian layar itu mendapat angin yang baik, rasanya kecepatannya tak
berapa kalah oleh kapal biasa.
Sebelum ada kapal api, perahu layar orang Bugis telah
menghubungkan seluruh kepulauan Indonesia. Juga telah
menghubungkan Indonesia dengan tempat-tempat sekitarnya, dengan
pantai-pantai Asia atau dengan pulau-pulau lain yang terletak antara
Lautan Teduh dan Samudera Hindia, bahkan dengan tanah Arab dan
Gujarat. Pada zaman itu perahu mereka itu tentu jauh lebih besar
daripada sekarang. Akan tetapi, karena persaingan dengan kapal api,
lama-kelamaan perahu-perahu itu hanya dipakai untuk
menghubungkan pantai-pantai yang dekat di seluruh kepulauan
Indonesia atau dengan tanah Malaya saja. Mereka tak perlu lagi
membuat perahu atau kapal layar yang besar-besar. Tiang layarnya
pun tak perlu setinggi dahulu lagi. Di pelabuhan atau di tengah laut
dengan mudah orang dapat mengenali perahu Bugis di antara perahu-

Pendahuluan 97
perahu yang lain. Bentuk haluan dan buritannya tiada sama, rendah ke
muka dan tinggi ke belakang. Lunasnya dalam dan biasanya
merupakan dua bahagian. Bila hari hujan, pintu yang menghubungkan
bagian luar dan bahagian dalam dapat ditutupkan dengan mudah,
sehingga air tak dapat masuk, maka perahu itu hanya merupakan
sebuah kotak selodang yang besar terapung-apung di air. Tiada mudah
tenggelam!
Tiga hari pelayaran dari Maslembu kami telah melihat Tanjung
Selatan, amat jauh dan hilang-hilang timbul kelihatannya di sebelah kiri
kami.
Dari jauh tampak puncak-puncak gunung di pantai Kalimantan
itu sebagai pulau yang berdekat-dekatan karena lembahnya masih
tersembunyi di balik permukaan laut. Dekat pantai Kalimantan itu
banyak hujan turun. Ketika kami akan memasuki muara Selat Laut,
turun pula hujan lebat. Sekiranya angin baik dan tak ada hujan, empat
atau lima jam lagi atau malam itu juga , sampailah kami ke Kota Baru.
Jurumudi dan nakhoda lalu bermufakat dalam bahasa Bugis, tetapi
saya mengerti maksud mereka. Juru mudi mengatakan bila terpaksa
pula membongkar sauh di tempat itu, niscaya kami tak dapat menahan
dorongan arus yang amat deras mengalir dari dalam selat kecil itu.
Ombak pun besar. Waktu senja merundung itu benar kami sampai
dekat Pegatan. Hujan semakin hebat. Ketika angin membelok ke dalam
sebuah teluk kecil di belakang muara itu, kedengaran bunyi berdesur
sekuat-kuatnya di bawah lunas perahu. Untung dengan sigap anak-
anak perahu dapat membuka tali layar dan meninggikan kedua belah
kemudi. Rupanya kami terkandas ke atas gosong . Jurumudi tak dapat
mengawasi gosong itu karena hujan dan kabut. Dalam hujan itu juga
berjam-jam mereka bekerja keras mencoba mendorong perahu itu
dengan galah atau menariknya dengan cara mengikat tali jangkar
beberapa meter di muka perahu. Tali jangkar itulah mereka tarik
bersama-sama, tetapi sia-sia saja.
Keesokan harinya tengah hari, setelah pasang naik, barulah
kami terlepas dari gosong itu. Untunglah lunas tiada bocor. Lepas dari

98 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


tempat itu, angin tiada berketentuan arah datangnya, serta acapkali
pula mati. Kami berada dalam selat yang sempit.
Sepanjang Selat Laut itu banyak kami jumpai sampan-sampan
pedongkang orang Bugis atau orang Mandar yang berkebun di kedua
belah pantai itu, akan pulang atau pergi ke Kota Baru. Sepanjang Selat
Laut atau di tempat-tempat lain di Kalimantan, perhubungan lalu lintas
sebahagian besar di air. Orang-orang tani yang pergi atau pulang dari
ladangnya atau akan membawa hasil ladangnya ke pasar, juga
memakai lepa-lepa (sampan). Masih terbayang-bayang dalam ingatan
saya, betapa kesederhanaan atau kenikmatan hidup orang tani yang
pulang dari ladangnya. Lepa-lepanya penuh dengan hasil bumi yang
akan dibawanya ke pasar. Pada satu dua sampan pedongkang saya
lihat sang istri serta memegang dayung di haluan dan berkayuh sedikit-
sedikit menolong layar yang tak seberapa mendapat tekanan angin.
Sang suami memegang kemudi, sambil bernyanyi hilang-hilang timbul
dalam percikan riak dan dalam getaran dayung mencecah ke air. Serta
anak-anak mereka yang selalu ikut kian-kemari , duduk atau bermain-
main di tumpukan pisang muda atau hasil ladang yang baru mereka
petik.
Di Pulau Laut kami hanya sebentar berhenti. Rumah-rumah di
sana kebanyakan didirikan di tepi air, bahkan ada kampung di tengah
laut yang dangkal. Dari pulau itu juga dikeluarkan merica.
Di Pulau Sebuku, sebuah pulau kecil dekat Pulau Laut, kami
agak lama berhenti di pulau itu untuk mengambil kayu bekal kemudi.
Sebuah kemudi kami rusak waktu terkandas di muara Pagatan. Dari
pulau itu banyak dikeluarkan pekayuan yang baik untuk perkakas
perahu atau kapal. Lepas dari Pulau Sebuku, Intan Selebes mulai
mengarungi Selat Makassar. Kami sudah mulai mendapat angin yang
baik. Hanya dekat Lerek-Lerekan, sebuah pulau karang di tengah-
tengah selat itu, kami kurang mendapat angin. Karang itu sangat
ditakuti orang laut karena acapkali perahu sekonyong-konyong
terbentur ke situ. Bila pasang naik, pulau itu tersembunyi di bawah
permukaan air. Lepas dari sana, kami terus menerus mendapat angin
barat. Terutama setelah kami menampak gunung-gunung di pantai

Pendahuluan 99
Mamuju dan dekat Pembaungan, bukan main besar ombak. Perahu
kami tak ubahnya sebagai sekeping sabut yang ringan, terombang-
ambing di atas ombak yang serumah-rumah tingginya. Pembaungan itu
masyhur ombaknya. Sehari semalam anak perahu tak dapat memasak
karena ombak memecah sampai ke atas geladak, dan perahu oleng.
Layar terpaksa dikurangi, dipasang setengah tiang, karena angin
terlalu kencang. Di puncak ombak yang serumah-rumah itu tingginya,
memecah bunga riak, memutih rupanya, tak ubahnya sebagai bunga
karang yang timbul mengambang dari dasar laut.
Entah sebagai penghibur untuk menghilangkan cemas hati
saja, nakhoda itu berkata pula: “Jangan takut, Saudara! Kita masih
untung belum bersua dengan gelombang atau angin yang sampai
mematahkan tiang layar. Ini baru angin baik namanya. Dengan
pertolongan angin begini mudah-mudahan lekas kita sampai.”
Dia dan anak-anak perahu yang lain sedikitpun tak
membayangkan air muka kecemasan. Melainkan di antara beberapa
orang asyik memancing dengan riangnya. Kalau perahu lari semacam
itu, banyaklah mereka mendapat ikan cikalang (tongkol). Cara mereka
memancing sederhana sekali, tiada memakai umpan. Mata pancing itu
mereka lilit dengan bulu ayam serta diberi bertali sepanjang-
panjangnya. Bulu ayam yang putih itu merapung atau bermain di
permukaan air. Sebentar-sebentar menggeleparlah ikan cikalang ke
dalam perahu kami kena pancing itu. Akan tetapi sayang kami tak
dapat menyalakan api waktu itu. Setelah kami menampak bukit-bukit di
Ujung Majene, gelombang mulai berkurang.
“Allah telah menolong kita,” ujar nakhoda itu pula, setelah kami
memasuki teluk Mandar. “Mudah-mudahan besok kita masuk teluk
Pare-Pare!”
Pagi-pagi benar saya sudah bagun, demikian juga teman
sepelayaran itu. Rupanya dari tengah laut itu dia sudah dapat
membauni air nasi dari dapur orang tuanya. Ia berasal dari Pinrang,
sebuah kerajaan kecil antara Pare-Pare dan Majene.
Di haluan, pelabuhan Pare-Pare sudah terbayang hilang-hilang
timbul dalam selimut pagi. Dan sepanjang kaki bukit di pantai Sulawesi

100 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Selatan itu, terbayang garis putih yang lurus-lurus sebagai benang
yang panjang terentang di tepi kain yang hijau kebiru-biruan. Itulah
jalan raya yang menuju ke Makassar dan yang sebelah barat menuju
ke Majene atau Mamuju, lebih kurang 460 km panjangnya. Kalau kita
masuk dari Pare-Pare menuju ke Watampone, kita membagi dua
semenanjung itu, yaitu melalui Tana Wajo atau Kerajaan
Watansoppeng. Dari Bone kita boleh pula mengitari pantainya yang
sebelah timur, sepanjang Teluk Bone, melalui Bulukumba,
Sungguminasa sampai ke Makassar kembali. Dari Tana Wajo orang
dapat berkendaraan ke Palopo masuk ke Tana Toraja, melalui jalan
pegunungan; yang sampai 650 m tingginya. Setelah melalui Rantepao,
Kalosi, Enrekang, kita sampai kembali ke Pare-Pare.
Anak-anak perahu itu sebagiannya telah mengemasi
bungkusannya atau bawaan masing-masing. Mereka tak perlu lagi
mengawasi tali-temali karena kami sudah berlayar dalam teluk yang
aman, Angin barat tak putus-putus bertiup dari buritan. Sampai ke
tempat perahu membuang sauh, kami diantarkan angin yang baik.
Mimbar Indonesia Th. II No. 20, 15 Mei 1948
Disalin dengan sedikit perubahan dari Gema Tanah
Air: Prosa dan Puisi oleh H. B. Jassin, 1959 : 125 -
130)

Pendahuluan 101
BAB V
ANGKATAN 45

Para sastrawan tidak sependapat tentang penamaan Angkatan 45.


Ada yang suka, ada juga yang tidak suka dengan penamaan itu.
H. B. Jassin mengatakan bahwa satu hal yang tidak aneh mengapa
sebagian Angkatan 45 tidak suka Cap 45. Tahun itu ialah tahun proklamasi
kemerdekaan yang harusnya membanggakan, tetapi tahun itu bertalian pula
dengan kejadian-kejadian yang tidak semuanya menyenangkan hati,
pembunuhan-pembunuhan (dari kedua belah pihak), culik-menculik, agitasi,
korupsi, saling cakaran, pasis-pasisan. Revolusi dari sudut ini kita bisa lihat
dalam novel Idrus Surabaya dan analisis Sjahrir dalam Perjuangan kita, suatu
kritikan hebat terhadap pemuda dan pemimpin yang dilihat Sjahrir
terpengaruh oleh Jepang dan melakukan cara-cara fasis dalam perjuangan
kemerdekaan. Dengan mengakui kelemahan-kelemahan ini, sebaliknya orang
yang suka nama Angkatan 45, tetap melihat tahun itu sebagai tahun yang
mulia dalam perjuangan kebangsaan Indonesia. Mereka bertanya: Dengan
tiada penumpahan darah sediakah Belanda menyerahkan kemerdekaan?
Ada juga orang mengemukakan keberatan: Apakah kita berhak
membonceng pada nama mentereng Angkatan 45, sedang kita belum tentu
ikut berjuang dengan perbuatan?

102 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Tenaga kata-kata yang mengandung pikiran paling dalam dianggap kurang
dari perjuangan dengan senjata, padahal bahasa hati tidak kurang
meresapkan arti kemerdekaan.
Tentang Chairil Anwar kita pasti bisa mengetahui bahwa dia
Angkatan 45, dalam bentuk dan visi. Begitu juga Asrul Sani. Dan ……. Idrus!
Meskipun dia tidak mau. Dan Anas Ma’ ruf, meskipun ragu-ragu karena
bajunya dan jiwanya masih Pujangga Baru. Rosihan Anwar, Usman Ismail,
mereka semua adalah Angkatan 45. Sebagian melihat hasil seninya, yang
lain menurut pengalamannya. Yang seorang lebih berhasil dari yang lain
dalam keaslian sebagai Angkatan 45, yang seorang lebih tegas dari yang
lain.

Idrus mencemooh dan Asrul muak mendengar nama itu


(Angkatan 45)

( Yassin, 1967 : 9 - 15)


Para penyair Angkatan 45 membedakan dirinya dalam bentuk dan
visi dari angkatan sebelumnya. Namun secara individual masing-masing
berbeda karakter. Chairil Anwar anarkis, tetapi Asrul Sani moralis.
Bandingkanlah karakter kedua penyair yang terkandung dalam
sajaknya masing-masing di bawah ini!

Anarkis Chairil Anwar yang membentak sebagai binatang jalang.


Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan.
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat,
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!
Moralis Asrul Sani yang tidak kurang individualisnya.
Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,

Pendahuluan 103
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa,
Budak- budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, akan kenal bahagia
Tiada takut pada pitam.
Tiada takut pada kelam
Titam dan kelam punya aku
(Jassin, 1967 : 21)
(Dieja menurut EYD)
Catatan:
- kelam = suram, agak gelap
- pitam = pusing kepala; orang pitam, orang mabuk
Kedua penyair tersebut di atas menggunakan kata-kata sehari-hari
sehingga dapat kita bayangkan maksud mereka.Tiga sekawan pengarang
Tiga Menguak Takdir: Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Chairil Anwar
anarkis, Asrul Sani moralis, Rivai Apin nihilis.
Prof. Dr. A. Teeuw (1958: 88) mengatakan bahwa Rivai Apin adapula
disebut nihilis – dan bukan tak beralasan, asal saja ditambah menyebutnya:
nihilis emosional, nihilis perasaan. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya
dengan dan di dalam dunia ini. Apa yang harus diperbuat dunia ini dengan
dia.

Chairil Anwar = anarkis


Asrul Sani = moralis
Rivai Apin = nihilis

Catatan: Karakter seseorang dapat berubah-ubah:


- dari yang jahat ke yang baik
- dari yang baik ke yang jahat
Chairil Anwar yang anarkis ada juga sajaknya yang berjudul Doa (atau
pernah ia berdoa).

104 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


A. Chairil Anwar
(Pelopor Angkatan 45)
Chairil Anwar dilahirkan di Medan pada
tanggal 26 juli 1922. Ia berpendidikan Mulo (SMP)
kelas I di Medan dan kemudian pindah ke Mulo
Jakarta sampai kelas II.
Dia mulai menulis dalam tahun 1943
(permulaan zaman pendudukan Jepang); dan
meninggal di RSUP Salemba Jakarta pada
tanggal 24 April 1949.
Prof. Dr. Teeuw mangatakan bahwa
tentang Chairil Anwar telah lebih banyak
dituliskan dan dikatakan daripada siapa pun
dalam kesusastraan Indonesia – akan tetapi meskipun demikian, masih jauh
juga daripada cukup apa yang telah dikatakan dan dipikirkan tentang dia itu.
Makin lama kita memikirkannya, makin mengasyikkan. Chairil Anwar ini, baik
sebagai penyair maupun sebagai
manusia (hal yang dua ini lagi pula tak
dapat diceraikan), dan makin takjublah
kita mengenangkan artinya bagi
kebudayaan Indonesia. Bahwa ia itu
mempunyai tingkat internasional sudah
lama tidak dimungkiri lagi – akan
tetapi, dengan cara demikian saja
belum lagi dapat kita menjelaskan
artinya ataupun keajaiban timbulnya,
justru dalam masa ini (1958 : 64).
Pembaharuan yang dilakukan
oleh Chairil Anwar dalam bidang
kesajakan kesusastraan Indonesia,
baik dalam bentuk maupun dalam isi
dapat kita saksikan secara nyata
dalam sajaknya yang berjudul “ 1943”
di bawah ini.

Pendahuluan 105
“ 1943”
Racun berada direguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam-membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu
Tambang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh
Lahir
Tegak
Berderah
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku.
H. B. Jassin (1967 : 46) mengatakan bahwa sajak Chairil Anwar “
1943”, jelas nyata lain dari segala bentuk sajak yang pernah ada dalam
persajakan Indonesia. Berbeda bukan saja dalam bentuk, tetapi terutama
dalam isi, loncatan pikiran, suasana perasaan.

106 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Chairil Anwar adalah pembawa apa yang disebut aliran
ekspresionisme, yaitu satu macam aliran seni yang menghendaki kedekatan
pada sumber asal pikiran dan keinsafan. Pikiran dan keinsafan dalam
pertumbuhannya yang pertama, belum lagi diatur dan disusun, dipengaruhi
oleh pikiran dan keinsafan luar, penyalahan dan pembetulan dari luar.
Dalam ekspresionisme pikiran dan keinsafan dalam tingkat pertama
itu, masih sangat dekat pada perasaan dan jiwa asal dan itulah yang
sejelasnya dilontarkan atau lebih tepat melontar dalam hasil ciptaan.
Demikianlah buah ciptaan bukan lukisan kesan pada jiwa, tetapi jiwa, teriakan
jiwa itu sendiri. Inilah ekspresionisme dalam keadaan yang paling murni.
PERBEDAAN ALIRAN
- Ekspresionisme
penyair alam
- Impresionisme
alam penyair
Sajak Chairil Anwar yang berjudul “Aku”, yang ditulis dalam zaman
Jepang, menggambarkan pemberontakan jiwanya; dan juga semangat hidup
yang menghendaki kebebasan.
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang ‘kan merayu,
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret, 1943
(Gema Tanah Air, H. B. Jassin, 1959 : 289)
(Dieja menurut EYD)

Pendahuluan 107
Prof. Dr. Teeuw (1958 : 66 - 67) mengatakan bahwa Chairil Anwar
adalah seorang penuh vitaliteit gunung api yang mengepul-ngepul bernyala-
nyala. Satu kumpulan tenaga-tenaga nafsu hidup yang kuat.
Orang yang memakaikan ukuran biasa kepadanya menganggapnya
seorang yang sombong, kasar, tidak beradat, jahat, dan sebagainya, tetapi
kejujurannya dalam pengertian bahwa ia bukan berniat hendak merugikan
dengan sengaja orang lain, membikin orang merasa sayang kepadanya,
seperti menyayangi anak nakal tetapi belum tahu apa……
Chairil Anwar bersahabat dengan pujangga-pujangga seluruh dunia.
Ia mempelajari pujangga-pujangga luar negeri. Penyair-penyair Rilke,
Marsman, dan Slauerhoft sangat besar pengaruhnya kepadanya di samping
pujangga pemberontak Nietzche yang sangat dikaguminya.
Pergaulannya sangat luas; ia tidak memilih bulu. Di samping bergaul
dengan abang-abang becak, para pengemis dan tukang-tukang lowak, juga
bersahabat dengan Bung Sjahrir, bahkan dengan Bung Karno dan Bung
Hatta.
Chairil Anwar mencurahkan tenaga hidupnya, sepenuh perhatiannya
kepada puisi, sajak-sajaknya. Keadaan ini mengakibatkan kadang-kadang ia
melupakan dirinya, bahkan setelah kawin, ia tidak sempat memikirkan
keadaan rumah tangganya.
Keadaan rumah Chairil Anwar dapat dibayangkan dalam sajaknya
yang berjudul Rumahku di bawah ini.
RUMAHKU
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku terseret tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
Dari: Kerikil Tajam
(H. B. Jassin, 1959 : 60)

108 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Sajak di atas menurut penyelidikan H. B. Jassin adalah saduran dari
sajak Slauerhoft (lihat Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45).
Selain Amir Hamzah yang memilih sajak yang berjudul Doa, juga
Chairil Anwar. Kedua penyair ini memiliki latar belakang kehidupan yang
sangat berbeda.
Amir Hamzah, yang sejak kecil menerima ajaran ketuhanan (agama
Islam) karena ia dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama. Dengan
demikian, tentu tidaklah mengherankan jika dalam sajak-sajaknya
bernapaskan ajaran agama.
Lain halnya dengan Chairil Anwar, yang juga berperasaan
ketuhanan adalah seorang anarkis, binatang jalang, pelanggar adat
kebiasaan masyarakat, terasa mengejutkan dengan kandungan doanya.
Sajaknya yang berjudul doa adalah sebagai berikut.

DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin dikelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Dari: Deru Campur Debu
(Dieja menurut EYD)

Pendahuluan 109
Bandingkanlah doa Chairil Anwar tersebut di atas dengan doa Amir
Hamzah, yang tercantum di bawah ini.
DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita,
kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama
meningkat naik, setelah menghalaukan panas
payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan,
Melambung rasa menayang pikir, membawa angan
ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang
memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai
sedap malam menyerak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu,
penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar
bersinar sendu, biar bersinar gelakku raya!
Dari: Nyanyi Sunyi
(Dieja menurut EYD)
Doa Amir Hamzah yang terkandung dalam sajaknya di atas berisi
permohonan kepada kekasihnya (Tuhan) supaya Tuhan mengisi
hatinya dengan firman-Nya; dan supaya dadanya dipenuhi dengan
cahaya Ilahi.
Lain halnya dengan Chairil Anwar, tidak bermohon sesuatu kepada
Tuhan, tetapi mengakui kebesaran Tuhan ; dan mengakui kehinaan
dirinya: Aku hilang bentuk, remuk.

110 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


B. Asrul Sani
Asrul Sani dilahirkan pada tanggal 10 Juni
1926 di Rao, Sumatra Barat. Ia keluaran
Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan Bogor.
Pada waktu revolusi, ia memimpin Laskar
Rakyat, kemudian menjadi tentara. Ia
menerbitkan harian-perlawanan “ Suara Bogor”;
korektor di percetakan, redaktur “ Gema
Suasana”.
Dalam bulan Maret 1952, dia berangkat ke
negeri Belanda untuk menambah pengetahuan.
Buah tangannya berupa sajak-sajak,
cerita-cerita, dan esai. Bersama–sama dengan Chairil Anwar dan Rivai Apin
menyusun Tiga Menguak Takdir (BP 1950).
Di bawah ini dicantumkan sajaknya yang berjudul Anak Laut, Surat
dari Ibu, dan Pengakuan.
1. ANAK LAUT
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan.
Pasir dan air keakan
Bercampur. Awan
tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang biru.
“ Sekali aku pergi
Dengan perahu
Ke negeri jauhan
Dan menyanyi
Kekasih hati
Lagu merindukan
Daku”
“Tenggelam matahari
Ufuk sama tiada nyata

Pendahuluan 111
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadanya.“

Sekali ia pergi tiada bertopi


Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan.
Siasat Th. II No. 53, 7 Maret 1948
(H. B. Jassin 1959 : 410)
(Dieja menurut EYD)
Prof. Dr. Teeuw (1958 : 77-78) berpendapat bahwa sifat karangan-
karangan Asrul Sani agaknya sejelas-jelasnya dilukiskan oleh ucapannya
sendiri dalam salah satu esainya, tatkala ia mengatakan: ‘Ini (jalan keakuan
dalam kesusastraan) adalah suatu penyelamatan dalam masyarakat
semacam-demokrasi yang hendak mencekik tiap-tiap kebangsawanan jiwa’.
Hampir kita hendak mengatakan, sesungguhnyalah itu yang amat ditakutkan
oleh Asrul Sani, akan dicekik oleh dunia lain, disamaratakan dengan
masyarakat sehingga hilang kepribadiannya ‘individualitet’-nya. Kadang-
kadang, agaknya dalam sanjak-sanjaknya yang terdahulu, ketakutannya itu
dilahirkannya dengan menghindari yang biasa-biasa; lambang kehidupan
sejati yang layak bagi manusia ialah Anak Laut.
Kehidupan mulia sejati ialah kehidupan dalam kesunyian di laut,
pendeknya jauh dari kesibukan sehari-hari.

2. SURAT DARI IBU


Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daun
dalam rimba dan padang hijau.
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.

112 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman,
Boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang anakku sayang
Kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”.
Belum diumumkan
(Jassin, 1959 : 411)
(Dieja menurut EYD)
Asrul Sani dalam sajaknya di atas menggunakan kata-kata yang
biasa-biasa saja, sehingga mempermudah untuk memahami maksud sajak
tersebut.
Isi atau kandungan Surat dari Ibu itu ialah seorang ibu merelakan
anaknya merantau ke alam bebas untuk mencari nafkah. Selanjutnya, ia
menghimbau anaknya supaya kembali ke pangkuannya.
3. PENGAKUAN
Akulah musafir yang mencari Tuhan
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabur pagi.
Akulah yang telah berperi,
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan.
Ah, bumi yang mati
Lazuardi yang kering.
Bagaimanakah aku masih dapat,
Menyayangkan air mata berlinang dari kembang kerenyam yang kering,
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bambu lebih rendah dari wajah lautan.

Pendahuluan 113
Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata telah hampir terkatup,
Karena murtad, karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas berganti-ganti bentuk
Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan.
Tuhan yang berkata.
Akulah musafir yang mencari Tuhan
Dalam negeri batu retak,
Lalang dan api yang siap bertemu.
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalnya.
Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupa warna,
Berupa wareni
Dan berlupalah sebentar akan kebiasaan umum.
Marilah bermain
Marilah berjalin tangan.
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari Sinar Surya senja
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
“Akulah musafir yang mencari Tuhan.”
Indonesia tahun I No.7, Agustus 1949
(Jassin, 1959 : 415)
(Dieja menurut EYD)
Dalam sajak Asrul Sani ysng berjudul Pengakuan yang tercantum di
atas, Asrul Sani menyebut: Akulah musafir yang mencari Tuhan sebanyak
tiga kali. Penyebutan kalimat itu mengawali dan mengakhiri sajak; dan yang
ketiga tercantum di tengah sajak. Berbagai hal yang dia lakukan untuk
menemukan Tuhan.

114 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Di tengah-tengah usahanya mencari Tuhan, dia merasakan
kegembiraan di samping suka dukanya. Hal ini dikatakannya:

Marilah bermain,
Marilah berjalin tangan,
Jangan ingat segala yang sedih.
Angkatan 45 punya konsepsi humanisme universal. Asrul Sani (yang
muak mendengar nama itu) berkata pada akhir 49: Derita dunia ialah derita
kita, karena kita adalah ahli waris dunia yang sah dari kebudayaan dunia.
Dan selanjutnya pula: ‘Temuilah manusia dulu, tidak saja dengan pikiran,
tetapi dengan kaki dan tangan, biarkan segala kelenjar dalam tubuh bekerja
dan hormon-hormon tertumpah dalam darah sebanyak-banyaknya. Kita mesti
berani dulu memandang manusia sonder baju, sonder kegagahan, pretensi
dan segala yang tidak kita temui dalam darah dan daging, dalam esensinya.’
(Jassin, 1967 : 17)

C. Rivai Apin
Rivai Apin d ilahirkan pada tanggal 30 Agustus
1927 di Padang Panjang. Ia berpendidikan SMA.
Pekerjaannya: tukang catut, pembantu pada
Badan Kepolisian, redaktur majalah: “Noesantara”,
redaktur “Gema Suasana”. Selanjutnya, ia jadi
redaktur “Gelanggang” dari warta sepekan “Siasat”
dan pembantu “Zenith” sejak Juni 1951.
Rivai Apin bersama-sama dengan Chairil
Anwar dan Asrul Sani menyusun Tiga Menguak
Takdir (PB 1950).
Di bawah ini dicantumkan sajaknya yang berjudul Putri Bening, Tali
Jangkar Putus, dan Putusan Cita.

1. PUTRI BENING
Kenangan bagi gadis
desa-gunung
pagi dingin
pancuran dengan air putih bening
air sembahyang, telekung putih jernih

Pendahuluan 115
suci bening membungkus segala, selain muka
hidup bercahaya mata, merah membasah
bibirmu merkah
jelita menghimbau
senyuman, suci bening
sederhana sorga!
pemuda kota ini terpekur terpena memandang
Padangpanjang, 7 April 1946
(Jassin, 1959 : 390)
(Dieja menurut EYD)
Sajak di atas menggambarkan kecantikan seorang gadis desa
gunung dengan pakaiannya yang suci bening. Hal ini mengakibatkan pemuda
kota terpekur dan terpesona memandangnya.

2. TALI JANGKAR PUTUS


memang terasa
satu-satu tali dalam bulatan itu putus
dan setiap satu putus bertambah ngeri
hati penumpang kapal.
akhirnya putus jua semua
satu-satu tali dalam bulatan putus
ini napas satu-satu pula pergi
tiap menit, tiap detik
entah pabila habis semua.
laut jawa
Panca Raya Th. II No. 2, 1 Des. 1946
(Jassin, 1959 : 191)
(Dieja menurut EYD)
Sajak Rivai Apin di atas menggunakan kata-kata yang biasa,
sehingga kandungannya mudah dipahami. Sajak tersebut menggambarkan
betapa ngerinya perasaan orang yang mengalami peristiwa itu.

116 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


3. PUTUSAN CINTA
Untuk teman dari Bandung
Gedung-gedung tiada lagi
hutan rimba sudah tumpas terbakar
Ya, ini semua sudah tiada ...........
Biarlah, biarlah
Di mana-mana tempat meruang
Di sana gedung kita dirikan.
Nusantara Th. I No. 4, 20 Januari 1946
(Jassin, 1959 : 393)
(Dieja menurut EYD)
Kandungan sajak di atas mudah dipahami karena Rivai Apin
menggunakan kata-kata yang sudah biasa digunakan sehari-hari.
Bagian awal sajak tersebut melukiskan malapetaka. Namun, pada bagian
akhirnya menggambarkan adanya pengharapan untuk bangkit kembali.

D. Idrus
Idrus dilahirkan di Padang pada tanggal 21
September 1921. Ia tamatan SMT. Semasa
Jepang, ia bekerja pada Balai Pustaka dan
PUSD (Perserikatan Usaha Sandiw ara Jawa).
Prof. Dr. Teeuw berpendapat bahwa
menimbang karangan-karangan Idrus adalah
agak sukar. Bukankah ia itu pengarang prosa
yang pertama dari Angkatan ’45 yang dikenal
namanya dan dengan karangan-karangannya
yang bernama Surabaya dan Corat-Coret di
Bawah Tanah sama tegasnya ia membuktikan
putusnya perhubungan antara prosa sebelum dan prosa sesudah perang;
sebagaimana Chairil Anwar melakukan yang demikian itu bagi puisi dengan
sanjak-sanjaknya – dan dalam pekerjaan itu, menurut perasaan saya, ia
mencapai tingkat mutu yang lebih tinggi daripada kebanyakan yang terbit
sebelum dan sesudah itu di dalam bahasa Indonesia (1958 : 103 - 104).

Pendahuluan 117
- Chairil Anwar adalah pelopor Angkatan 45 dengan sajak-
sajaknya.
- Idrus adalah pengarang prosa yang pertama dari
Angkatan 45.

H. B. Jassin berpendapat bahwa dalam cerita Surabaya tidak ada


pelakon utamanya, yang dituruti perjalanan hidupnya atau pengalamannya
dari permulaan sampai akhir. Kalau mau dicari juga, pelakon utama ialah
revolusi dan diceritakan pengalaman orang dalamnya. Pada revolusi itu
hanya diceritakan pula revolusi di salah satu bagian Indonesia, ialah di
Surabaya dan sekitarnya, diwaktu permulaannya pecah.
Insiden terjadi ketika bendera merah putih biru yang dinaikkan oleh
orang Belanda Indo sesudah Jepang menyerah, tetapi yang diturunkan
kembali dan dirobek-robek oleh pemuda-pemuda Indonesia, yang
semangatnya berkobar-kobar dan mau mempertahankan proklamasi
kemerdekaan yang telah dinyatakan oleh Sukarno Hatta.
Selanjutnya, sekutu ,mendarat. Ia memberi ultimatum supaya
pemuda Indonesia menyerahkan senjata. Ultimatum itu ditolak, maka
terjadilah pemboman atas kota Surabaya pada tanggal 10 November 1945,
hari yang kemudian dijadikan hari besar sebagai Hari Proklamasi dalam
sejarah baru Republik Indonsia karena hebatnya perlawanan pemuda (1967 :
68 - 69).

118 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


BAB VI
ANGKATAN 66

A. Masalah Penamaan Angkatan 66

Adakah yang disebut Angkatan 66? Adakah angkatan yang lahir sesudah
angkatan 45? Kalau ada siapakah yang berpendapat seperti itu? Adakah
pendukungnya?
H. B. Jassin berpendapat bahwa seperti juga Angkatan Pujangga Baru
dan Angkatan 45, pun Angkatan 66 tidak sekaligus diterima kehadirannya
oleh semua golongan. Meskipun diakui adanya Angkatan 66 dalam
masyarakat, sebagian orang meragukan adanya dalam kesusastraan, sebab
apakah kriterium kesusastraan yang dapat dipakaikan kepadanya?
Maka ramailah polemik dan kontra apakah tulisan H. B. Jassin dalam majalah
Horison bulan Agustus 1966, memproklamasikan bangkitnya suatu generasi
baru dalam kesusastraan.
Akan tetapi, setuju atau tidak setuju orang telah
mempermasalahkannya dan pengarang-pengarang angkatan baru ini terus
membuktikan adanya dengan karya-karyanya. Tulisan mereka memenuhi
majalah-majalah baru Horison, Sastra (lanjutan), Cerpen, Gelanggang
Budaya Jaya, dan surat-surat kabar. Pun telah ada karya mereka yang terbit
Pendahuluan 119
sebagai buku, distensil atau dicetak. Sebuah antologi khusus Angkatan 66
Prosa dan Puisi memperkenalkan hasil-hasil mereka, seperti sekadar riwayat
hidup dan keterangan mengenai kegiatannya di lapangan penciptaan.
Pujangga Angkatan 66 antara lain: Taufiq Ismail, Bur Rosmanto, dan
Mansur Samin.
(Jassin, 1968 : 7- 9)
antologi: kumpulan karya tulis pilihan dari seorang
atau beberapa orang pengarang

B. Taufiq Ismail

Di bawah ini dicantumkan puisi Taufiq Ismail, yang berjudul Buku Tamu
Musium Perjuangan

BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN


Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah musium perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
Dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus delapan
“ Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung ke mari
Dari tempatku yang jauh sekali
Bukan sekadar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah itu
Bukan sekadar menatap lukisan-lukisan
Dan potret para pahlawan
Mengusap-usap karaban tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya
Alangkah sukarnya begitu

120 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan November
Datang sore ini, menghayati musim yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diri kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salah guna pengatas namaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam musim ini yang lengang
Dan lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Ke sangkutan ikat kepala, sangkar-sangkar berbendera

Maket pertempuran dan penyergapan


Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPUBLIK yang mulai berdebu
Gambar laskar yang kurus-kurus
dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Jendela musim dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Di depan tugu dalam musim ini
Menjelang pintu keluar di tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping aluminia
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku di sana….

Pendahuluan 121
GUGUR DALAM PENCEGATAN
TAHUN EMPAT PULUH DELAPAN
***
Demikianlah cerita kakek penjaga
Tentang pengunjung lelaki separuh baya
Berkemeja drill lusuh, dari luar kota
Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
Datang ke musium perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika hujan rindi tetes di jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku tamu
Buku tahunan keenam, halaman seratus delapan
Dan sebelum dia pergi
Dengan tangannya yang dingin dan aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum pagar halaman lelaki itu tiba-tiba menghilang
1964
(Sajak Ladang Jagung: 1975)
Taufiq Ismail hanya menggunakan kata sehari-hari dalam sajaknya
tersebut di atas. Ia lebih mengutamakan ungkapan makna daripada
komponen sajak lainnya seperti dalam sajak-sajak sebelumnya. Hal ini
memungkinkan sajak itu dapat dipahami isinya tanpa mengerutkan kening.

122 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


C. Ibrahim Sattah
Bandingkan sajak Taufiq Ismail yang telah
dikemukakan dengan sajak Ismail Satta yang
berjudul Duka di bawah ini.

DUKA
Duka ‘tu
anu
duka ‘tu
aku
aku ‘tu
kau
kau ‘tu
duka
duka ‘bunga
duka daun duka du
ri duka hari
dukaku duka siapa dukamu duka siapa
duka bika
duka apa
duka di mana duka dunia
duka duuuuuuu
kidukhku
duka kau
duka
diri
dua duri
dari
sepi
(Ibrahim: 1980)
Tentang keadaan puisi Ibrahim Satta (1982 : 30) di atas, Mursal
Esten berpendapat bahwa ada kata yang hadir tanpa maknanya. Namun,
mereka masih tetap ingin mendapatkan suasana dari “kata” yang ditampilkan

Pendahuluan 123
, yaitu suasana mistis. Pada pusis-puisi dari penyair sebelumnya, kata dan
maknanya, ada sesuatu yang amat penting .
Catatan: mistik =
1. Subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem
relegi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan
emosi bersama dengan Tuhan: tasawuf, suluh
2. hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa.
mistis = bersifat mistik: ia tertarik untuk mempelajari hal-hal yang –
(bersifat mistik)
(KBBI: PB, 2008 : 921)

124 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana. 1961. Puisi Baru. Jakarta: PT Pustaka Rakyat.
Ali, L. (Red). 1966. Bahasa dan Kesusastraan Indonesia: Sebagai
Cermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung.
Aminuddin, 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar
Baru Argensindo.
Anwar, C. 1963. Deru Campur Debu. Copyright by Yayasan
Pembangunan.
Departemen Agama RI. Al- Qur’an Al Karim. Semarang: CV Toha
Putra.
Effendi, U. 1953. Bebasari. Jakarta: Fasco (Cet. pertama 1928)
……….. 1953. Percikan Permenungan. Jakarta: Percetakan Fasco.
(Cet. Pertama 1925)
Effendi, R. 1958. Sastrawan Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Enre, F. A. 1963. Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa
Duapuluhan. Jakarta: Gunung Agung.
Esten, M. 1982. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung:
Penerbit Angkasa.
Gazali. 1958. Langgam Sastra Lama. Jakarta: Tintamas.
Hadimadja, A. K. 1952. Beberapa Paham Angkatan ’45. Jakarta:
Tintamas.
Hamel, A. G. Van. 1971. Sejarah Ilmu Bahasa. Ende.Flores: Penerbit
Nusa Indah.
Hamzah, A. 1964. Buku dan Penulis. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Hamzah, A. 1959. Buah Rindu. Jakarta: PT Pustaka Rakyat.
…………1959. Stanggi Timur. Jakarta: PT Pustaka Rakyat.

Pendahuluan 125
Hamzah, J. A. 1967. Hamka Sebagai Pengarang Roman. Jakarta:
Megabookstore.
Hooykaas. 1951. Perintis Sastra. Jakarta: J. B. Wolters-Groningen
(Terjemahan R. Amar).
Iqbal, M. 1966. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam.
Jakarta: Tintamas.
Jassin, H. B. 1959. Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45. Jakarta:
Gunung Agung.
………...1959. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi. Jakarta: Dinas
Penerbitan Balai Pustaka.
…………(Pengumpul) 1962. Amir Hamzah Raja Penyair Pujuangga
Baru. Jakarta: Gunung Agung.
…………1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai.
Jilid II. Jakarta: Gunung Agung.
Junus, A.M. & Junus, A.F. 2009. Pembentukan Kalimat Bahasa
Indonesia. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Koenodiprodjo. 1954. Kamus Singkat dari Singkatan Kata. Jakarta:
Penerbit S. K. Seno.
Moeis, A. 1952. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.
Muljana, S. 1949. Bimbingan Seni Sastra. Jakarta: J. B. Wolters
Groningen.
………..1952. Sari Pustaka Indonesia. Jakarta: J. B. Wolters
Groningen.
…….….1956. Peristiwa Bahasa dan Sastra. Bandung: Ganaco.
Mushaf An-Nur Al-Qur’an. Terjemahan Per Kata. 2010. Bandung: PT
Mizan Pustaka.
Nasution. 1963. Sanusi Pane. Jakarta: Gunung Agung.

126 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia


Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: PN Balai Pustaka.
Rafiek, M. 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT
Rafika Aditama.
Ratnaningsih, A. 1963. Roman dalam Masa Pertumbuhan
Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Robson. S. O. 1978. Pengkajian Sastra. Sastra Tradisional Indonesia.
Jakarta: Depdikbud.
Rustapa, Nj. A. K. dkk. 1968. Pameran Dokumentasi Kesusastraan
Indonesia Jakarta: Ikatan Penerbit Indonesia.
Simandjuntak, B. S. 1954. Kesusastraan Indonesia. Jilid I. Jakarta: PT
Pembangunan.
Sugono, D. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa.
Jakarta: PT Gramedia.
Teeuw. 1959. Pokok dan Tokoh. Jilid I. Jakarta: PT Pembangunan.
…………1958. Pokok dan Tokoh. Jilid II. Jakarta: PT Pembangunan.
Tirtawirya, P. A. 1983. Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende-Flores: Nusa
Indah.
Tobing, O. L. 1961. Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna
Gappa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
dan Tenggara.

Pendahuluan 127
Haji Andi Muhammad Junus lahir 1 Oktober 1939 di
Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Ia menyelesaikan
pendidikan SD di Sengkang (1953) SMP juga di Sengkang
(1956) SGA di Makassar (1959) FKSS IKIP Makassar (1967),
dan Pascasarjana Universitas Hasanuddin (1997) dengan
judul tesis Interferensi Morfologi Bahasa Bugis dalam
Penggunaan Bahasa Indonesia Tulis Murid Sekolah Dasar
yang Berbahasa Pertama Bahasa Bugis di Kabupaten Wajo
dengan predikat kelulusan “Cum Laude.”
Di bidang karier, penulis pernah menjabat Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia FKSS IKIP Makassar (1971), Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa FKSS
IKIP Makassar (1971-1974) dan Pembantu Dekan III FKSS (1983-1986). Dalam
kegiatan ilmiah, penulis pernah mengikuti Penataran Instruktur Guru Bahasa
Indonesia SLU di Ciloto dan Cibulan (1975, 1977), Penataran Lokakarya P3G di
Jakarta dan Semarang (1980, 1982) dan The 2nd Symposium on Malay and
Indonesia Linguistics di Ujung Pandang (1998).
Karya ilmiah berupa hasil penelitian yang dilaksanakan dan buku yang ditulis
bersama teman sejawad antara lain: Sastra Lisan Bugis (1981) Kemampuan
Berbahasa Indonesia Murid Kelas VI Sekolah Dasar yang Berbahasa Bugis:
Mendengarkan dan Berbicara (1981) Bahasa Indonesia: Buku Pegangan Mata Kuliah
Dasar Umum (1981), Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Mandar (1985) dan
Sintaksis Bahasa Bugis (2002).
Sampai sekarang, penulis menjadi pengajar pada Fakultas Bahasa dan Sastra
Universitas Negeri Makassar dengan pangkat/jabatan terakhir Pembina Utama
Madya/Lektor Kepala, Golongan IV/d.

Andi Fatimah Junus lahir 11 Mei 1974 di Ujung Pandang. Anak


pertama dari lima bersaudara, anak pasangan H.A.M. Junus
dan Hj. A. Aswad. Penulis menyelesaikan SD di Makassar
(1986), SMP di Makassar (1989) SMU di Makassar (1992), S1
di Makassar (1997), Pascasarjana Universitas Negeri
Makassar (2002) dengan judul tesis: Analisis Kontrastif Bahasa
Indonesia dan Bahasa Bugis dalam Bidang Sintaksis dan
Implikasinya terhadap Pengajaran Bahasa Indonesia.
Alhamdulillah penulis terpilih sebagai peneliti muda terbaik III tingkat universitas pada
tahun 2007. Penulis adalah staf pengajar pada Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar.

128 Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia

Anda mungkin juga menyukai