Anda di halaman 1dari 17

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa tugas tinjauan pustaka ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme, sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika dikemudian hari ternyata saya
melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima
sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia.

Jakarta, 12 Agustus 2010

Elen

1
PENDAHULUAN

Skintigrafi ventilasi-perfusi atau skintigrafi paru adalah suatu modalitas diagnostik


berupa skintigrafi nuklir yang bertujuan mengevaluasi sirkulasi udara dan darah pada paru.
Skintigrafi ventilasi menilai kemampuan distribusi udara pada seluruh bagian paru,
sedangkan skintigrafi perfusi menilai sirkulasi darah pada pembuluh paru. Modalitas
diagnostik ini menggunakan radiofarmaka yang diinhalasi dan juga dialirkan ke dalam
pembuluh darah paru sehingga menghasilkan radiasi radioaktif dalam bentuk sinar gamma.
Selanjutnya sinar gamma ini akan ditangkap oleh suatu kamera gamma untuk menghasilkan
suatu pencitraan ventilasi-perfusi. Dari pencitraan ini dapat dideteksi adanya
ketidakimbangan ventilasi-perfusi yang terdapat pada beberapa kondisi patologis.1
Emboli paru merupakan suatu kegawatan kardiovaskular yang umum terjadi. Angka
kematian kasus akut sebesar 7-11%.2 Berdasarkan data tahun 1979-1999 di Amerika Serikat
prevalensi emboli paru pada pasien yang dirawat adalah sebesar 0,4%. 3 Diagnosis emboli
paru lebih sulit daripada pengobatan atau pencegahannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah
untuk mempertimbangkan adanya kemungkinan diagnosis emboli paru mengingat gejalanya
dapat menyerupai jenis penyakit lainnya. Selain itu, emboli paru juga dapat terjadi
bersamaan dengan penyakit lain sehingga dapat membiaskan penegakan diagnosis.
Pendekatan diagnosis yang penting awalnya adalah penilaian probabilitas secara klinis
kemudian dikombinasikan dengan tes diagnostik.4 Skintigrafi paru merupakan tes diagnostik
yang cocok dan kuat untuk kasus yang dicurigai terdapat emboli paru.5

EMBOLI PARU

Pada kebanyakan kasus emboli paru berkaitan dengan trombosis vena dalam. Faktor
predisposisi emboli paru meliputi riwayat fraktur panggul atau tungkai, operasi, pemasangan
kateter vena sentral, keganasan, kemoterapi, gagal jantung atau respirasi kronik, terapi
hormon atau kontrasepsi oral, imobilisasi, kehamilan dan trombofilia. Gejala emboli paru
meliputi sesak, nyeri dada baik pleuritik maupun substernal, batuk, hemoptisis dan pingsan.
Tanda klinis emboli paru dapat meliputi takipneu, takikardi, demam, sianosis dan tanda-
tanda adanya trombosis vena dalam. Penilaian awal klinis adalah dengan stratifikasi risiko
tinggi atau bukan risiko tinggi berdasarkan adanya syok atau hipotensi. Stratifikasi risiko ini
penting untuk menentukan strategi diagnostik selanjutnya. Pada risiko tinggi, pemeriksaan

2
yang mudah dilakukan adalah dengan ekokardiografi. Apabila kondisi pasien bisa distabilkan
dan fasilitas tersedia dapat dilakukan CT scan. Pada kasus bukan risiko tinggi dilakukan
penilaian probabilitas emboli paru secara klinis sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1. Pada
kasus probabilitas rendah atau menengah dapat dilakukan pemeriksaan D-dimer terlebih
dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan penunjang yang
umumnya dilakukan untuk menegakkan diagnosis emboli paru berupa computed tomography
scan (CT scan) pembuluh darah paru, skintigrafi ventilasi-perfusi, ekokardiografi, tes D-
dimer, ultrasonografi kompresi tungkai.5 Selanjutnya akan dibahas mengenai skintigrafi
ventilasi-perfusi dan interpretasinya dalam strategi diagnostik emboli paru.

Tabel 1. Probabilitas klinis emboli paru


Revised Geneva score Wells score
Variabel Variabel
Faktor predisposisi Faktor predisposisi
Usia > 65 tahun +1 Emboli paru atau
Emboli paru atau trombosis vena dalam sebelumnya +15
trombosis vena dalam sebelumnya +3 Operasi atau imobilisasi +15
Operasi atau fraktur 1 bulan terakhir +2 Keganasan +1
Keganasan +2
Gejala
Gejala Hemoptisis +1
Nyeri tungkai bawah unilateral +3
Hemoptisis +2 Tanda klinis
Denyut jantung
Tanda klinis > 100 denyut/menit +15
Denyut jantung Tanda klinis trombosis vena dalam +3
75-94 denyut/menit +3
≥ 95 denyut/menit +5 Penilaian klinis
Nyeri tekan dan udema unilateral Diagnosis alternatif selain emboli paru
pada tungkai bawah +4 kurang mungkin +3

Probabilitas klinis Probabilitas klinis (3 tingkat)


Total Total
Rendah 0-3 Rendah 0-1
Menengah 4-10 Menengah 2-6
Tinggi ≥11 Tinggi ≥7
Probabilitas klinis (2 tingkat)
Total
Emboli paru mungkin 0-4
Emboli paru tidak mungkin >4

Dikutip dari (5)

3
INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI SKINTIGRAFI VENTILASI-PERFUSI

Indikasi skintigrafi paru yang paling umum adalah untuk menentukan kemungkinan
emboli paru. Indikasi umum lainnya adalah evaluasi terhadap transplantasi paru dan pra-
operasi reseksi paru. Tidak ada kontraindikasi absolut. Kontraindikasi relatif meliputi
hipertensi pulmonal berat, pirau kanan ke kiri, dan wanita hamil atau menyusui. 6, 7, 8

TEKNIK PEMERIKSAAN SKINTIGRAFI VENTILASI-PERFUSI

Sebelum skintigrafi ventilasi-perfusi dilakukan perlu diperhatikan beberapa informasi


terkait pemeriksaan. Apabila pasien merupakan wanita usia subur, hamil atau menyusui perlu
dilakukan teknik pemeriksaan yang meminimalkan paparan radiasi. Apabila terdapat riwayat
emboli paru sebelumnya perlu diperhatikan hasil skintigrafi paru terdahulu. Defek emboli
paru sebelumnya tidak selalu menghilang secara sempurna.6
Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sebelum skintigrafi paru untuk kecurigaan
adanya emboli paru. Pemeriksaan rutin yang dilakukan dengan dua proyeksi, yaitu: anterior-
posterior dan lateral. Foto toraks anterior-posterior dapat menjadi alternatif jika kondisi
pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan rutin. Foto toraks yang digunakan
adalah foto toraks yang dilakukan dalam waktu 1 hari menjelang skintigrafi. Pada pasien
dengan perubahan gejala dan tanda klinis, diperlukan foto toraks terbaru yang dilakukan
dalam 1 jam terakhir. Pemeriksaan foto toraks ini dapat membantu untuk interpretasi
skintigrafi.6
Beberapa radiofarmaka yang dapat digunakan untuk skintigrafi ventilasi-perfusi
adalah sebagai berikut:6, 9, 10
1. Aerosol asam dietilenetriamin-pentaasetat Teknesium-99m (99mTc DTPA) adalah
99m
radiofarmaka yang sering digunakan pada skintigrafi ventilasi. Dosis Tc DTPA
yang biasa digunakan adalah 900-1300 MBq (25-35 mCi) pada nebuliser, di mana
pasien akan menerima sekitar 20-40 MBq (0,5-1,0 mCi) pada paru.
2. Gas Krypton-81m (81mKr) dapat digunakan dengan dosis 40-400 MBq (1-10 mCi).
3. Gas Xenon-133 (133Xe) dapat digubakan dengan dosis 200-750 MBq (5-20 mCi).
Dosis untuk anak-anak adalah 10-12 MBq/kg (0,3 mCi/kg) dengan dosis minimal
133
100-120 MBq (3 mCi). Gas Xe lebih sensitif untuk penyakit saluran napas

4
obstruktif. Informasi tentang fungsi ventilasi paling baik dapat diperoleh dari
skintigrafi 133Xe.
99m
4. Albumin termakroagregasi dengan label Tc (99mTc macroaggregated albumin –
99m
Tc MAA) merupakan radiofarmaka yang digunakan untuk skintigrafi perfusi.
Waktu paruh biologis 99mTc MAA di paru adalah 1,5-3 jam. Dosis untuk dewasa yang
biasa diberikan adalah 40-150 MBq (1-4 mCi). Dosis untuk anak adalah 0,5-2,0
MBq/kg (0,02-0,08 mCi/kg) dengan dosis minimal 7-8 MBq (0,2 mCi). Jumlah
partikel yang ideal adalah 200.000-700.000 untuk menghasilkan kualitas gambar yang
baik pada pasien dewasa. Pengurangan jumlah partikel MAA perlu dipertimbangkan
pada pasien dengan hipertensi pulmonal, pirau kanan-ke-kiri, bayi dan anak. Pada
orang dewasa, jumlah dapat dikurangi menjadi 100.000-200.000 partikel dengan
tanpa mengubah kualitas gambar untuk mendeteksi defek perfusi.

133
Skintigrafi ventilasi dengan Xe biasanya dilakukan sebelum skintigrafi perfusi
99m 99m
dengan Tc. Skintigrafi ventilasi dengan aerosol Tc DTPA biasanya dilakukan sebelum
99m 99m
skintigrafi perfusi Tc MAA, sehingga dosis aerosol Tc DTPA yang diberikan kecil.
Kelemahan melakukan skintigrafi perfusi terlebih dahulu adalah bahwa pada skintigrafi
dengan gas 133Xe atau aerosol 99m
Tc, gambar perfusi berkontribusi sebagai latar belakang dari
gambar ventilasi.6
Pasien dalam posisi telentang selama penyuntikan radiofarmaka untuk skintigrafi
perfusi. Pasien diinstruksikan untuk batuk dan mengambil napas dalam beberapa kali
sebelum penyuntikan. Pada kasus pasien dengan ortopneu, penyuntikan dilakukan dengan
posisi yang sedekat mungkin dengan telentang. Hal ini dilakukan untuk mengurangi efek
gravitasi terhadap distribusi aliran darah arteri pulmonal. Gambar harus diperoleh di beberapa
proyeksi termasuk anterior, posterior, kedua posterior oblique, kedua anterior oblique dan
kedua lateral. Single photon emission computed tomography (SPECT) dapat digunakan untuk
mendapatkan evaluasi tiga dimensi perfusi tersebut.6

INTERPRETASI HASIL

Interpretasi pemeriksaan skintigrafi paru harus meliputi hal-hal sebagai berikut:


homogenitas ambilan radiofarmaka, ada atau tidaknya gumpalan aerosol dan deposisi saluran
pernapasan utama, deskripsi defek perfusi dan/atau ventilasi. Deskripsi defek meliputi

5
jumlah, lokasi dan ukuran. Defek segmental adalah defek yang berukuran kurang lebih sesuai
dengan satu segmen, defek subsegmental adalah defek yang berukuran lebih kecil dari satu
segmen, sedangkan defek nonsegmental adalah defek yang secara anatomi tidak sesuai
dengan suatu segmen.11
Skintigrafi pada paru normal memperlihatkan distribusi ventilasi dan perfusi yang
setara secara regional yang ditunjukkan seperti pada Gambar 1. Distorsi yang signifikan dari
gambaran fisiologis menunjukkan adanya suatu kondisi patologis yang mendasari
ketidakimbangan ventilasi perfusi. Kondisi patologis yang mempengaruhi ventilasi dan
perfusi paru dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori fungsional, antara lain: oklusi
vaskular, konsolidasi, obstruksi dan restriksi. Kategori-kategori tersebut memiliki
patofisiologi tersendiri yang dihubungkan dengan ketidakimbangan ventilasi perfusi yang
dapat dideteksi dengan skintigrafi paru.1

Gambar 1. Skintigrafi ventilasi-perfusi normal


Dikutip dari (11)

Pada kondisi oklusi vaskular terdapat gangguan sirkulasi akibat adanya sumbatan
pada arteri pulmonal ataupun percabangannya. Pada skintigrafi perfusi paru tampak defek
perfusi pada daerah distal dari area yang dialiri oleh pembuluh darah yang tersumbat
tersebut. Skintigrafi ventilasi paru pada area tersebut tampak normal bila tidak terdapak
infark paru yang menyertai kondisi oklusi vaskular ini, sehingga terdapat gambaran defek
ventilasi-perfusi tidak imbang (V/Q mismatched defect) sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2. Bila terdapat infark paru, pada skintigrafi terdapat defek ventilasi yang biasanya

6
berukuran lebih kecil dari defek perfusi yang terjadi. Ukuran defek ventilasi tersebut lebih
kecil karena area perifer dari paru dengan defek perfusi masih dapat berventilasi. Pada
keadaan ini defek perfusi terimbangi tidak sempurna (incompletely matched perfusion
defect). Contoh dari kondisi oklusi vaskular ini meliputi emboli paru, hipertensi pulmonal,
kompresi vaskular ekstrinsik, penyakit oklusif vena atau vaskulitis pulmonal. Hipertensi
pulmonal, sindrom Eisenmenger ataupun penyakit oklusif vena biasanya menunjukkan V/Q
mismatch defect yang kecil, nonsegmental, multipel dan terletak perifer.1, 11

Gambar 2. Defek ventilasi-perfusi tidak imbang pada emboli paru


Dikutip dari (11)

Kondisi konsolidasi terdapat pada penyakit infeksi dan inflamasi paru, infark paru dan
atelektasis. Pada keadaan ini suplai oksigen tidak adekuat pada metabolisme sel alveolar yang
selanjutnya menyebabkan gangguan produksi surfaktan. Penurunan produksi surfaktan
mengakibatkan kolaps alveolar dan atelektasis. Selain itu, kerusakan kapiler menginduksi
pelepasan mediator-mediator yang menyebabkan ekstravasasi cairan intravaskular ke rongga
alveolar. Pada keadaan ini terdapat defek perfusi dan defek ventilasi yang sesuai dengan
derajat yang bervariasi. Defek ini disebut defek perfusi terimbangi (matched perfusion
defect). Pada Gambar 3 ditunjukkan defek perfusi terimbangi.1, 11
Kondisi obstruksi terjadi pada asma akut ataupun penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK). Destruksi dinding alveoli dan kapiler paru yang terjadi pada emfisema
menyebabkan peningkatan volume alveolar dan penurunan luas area permukaan untuk
pertukaran gas. Obstruksi parsial saluran napas juga dapat terjadi akibat penurunan jaringan
7
struktural atau sekresi bronkial yang berlebihan, spasme bronkus, edema mukosa, benda
asing dan semua keadaan yang menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas. Hipoksia
alveolar dapat menginduksi terjadinya vasokonstriksi arteriol prekapiler dan redistribusi
darah ke alveoli yang berventilasi secara lebih baik. Hal ini merupakan suatu mekanisme
pertahanan untuk mencegah aliran darah paru bersirkulasi ke alveolar yang tidak berventilasi.
Sehingga pada skintigrafi pasien dengan kondisi obstruksi terdapat defek ventilasi-perfusi
tidak imbang dengan rasio terbalik (reversed V/Q mismatched defect) sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 4. Hal ini terjadi akibat gangguan ventilasi yang lebih berat
daripada gangguan perfusi. Apabila vasokonstriktif hipoksik terjadi secara efektif, defek
ventilasi dan defek perfusi terimbangi sempurna (completely matched V/Q defect).1, 11
Kondisi restriksi dapat disebabkan oleh peradangan kronis dan fibrosis yang merusak
struktur alveoli. Ventilasi lokal biasanya tetap baik walaupun compliance regional menurun.
Ventilasi alveolar dapat cenderung meningkat akibat peningkatan kontrol respirasi. Pada
skintigrafi dapat diperoleh gambaran defek ventilasi-perfusi tidak imbang akibat peningkatan
ventilasi relatif terhadap perfusi.1, 11
Beberapa sumber kesalahan yang mempengaruhi interpretasi skintigrafi ventilasi-
perfusi adalah sebagai berikut:6
1. Skintigrafi perfusi dapat menunjukkan hot spot pada paru bila terjadi pembekuan
darah pada jarum suntik selama penyuntikan. Gambaran hot spot ditampilkan pada
Gambar 5.
2. Skintigrafi ventilasi diperoleh pada waktu yang berbeda dengan skintigrafi perfusi.
Demikian pula, skintigrafi ventilasi dapat diperoleh dalam posisi tegak dan skintigrafi
perfusi disuntikkan dalam posisi telentang. Perubahan-perubahan dalam posisi juga
dapat mempengaruhi komparatibilitas dari dua skintigrafi tersebut.
99m
3. Penyuntikan Tc MAA melalui jalur arteri pulmonal dapat menyebabkan
percampuran yang tidak adekuat.
4. Posisi pada pasien dengan dekubitus atau posisi pasien yang miring tajam dapat
mempengaruhi distribusi ventilasi dan perfusi. Maka hal ini perlu dicatat sebagai
informasi tambahan dalam interpretasi.

8
Gambar 3. Defek perfusi terimbangi
Dikutip dari (11)

Gambar 4. Defek ventilasi-perfusi tidak imbang dengan rasio terbalik pada PPOK
Dikutip dari (11)

9
Gambar 5. Hot spot
Dikutip dari (11)

INTERPRETASI SKINTIGRAFI VENTILASI-PERFUSI PADA KASUS


KECURIGAAN EMBOLI PARU

Skintigrafi paru merupakan tes diagnostik yang cocok dan kuat untuk kasus yang
dicurigai terdapat emboli paru. Tes ini telah terbukti sangat aman untuk diterapkan dan
sedikit risiko terjadinya reaksi alergi. Di pusat kesehatan dimana skintigrafi paru tersedia,
pemeriksaan diagnostik ini tetap menjadi pilihan bagi pasien dengan D-dimer yang tinggi dan
kontraindikasi terhadap CT scan, seperti alergi terhadap zat kontras yodium atau gagal ginjal.
Paparan radiasi dari skintigrafi paru dengan 99mTc MAA dengan dosis 100 MBq adalah 1,1
mSv untuk orang dewasa berukuran rata-rata menurut Komisi Internasional untuk
Perlindungan Radiologi (International Commision on Radiological Protection - ICRP). Hal
ini lebih rendah secara signifikan bila dibandingkan dengan CT spiral (2-6 mSv). Sebagai
perbandingan, suatu pemeriksaan foto toraks memberikan dosis sekitar 0,05 mSv.5
Skintigrafi perfusi dikombinasikan dengan skintigrafi ventilasi untuk meningkatkan
spesifisitas karena dapat mengidentifikasi adanya hipoventilasi sebagai penyebab non-
embolik dari hipoperfusi karena vasokonstriksi reaktif. Pada skintigrafi perfusi, radiofarmaka
yang disuntikan secara intravena akan menyumbat sebagian kecil kapiler paru sehingga dapat

10
menilai perfusi paru pada tingkat jaringan. Apabila terdapat sumbatan pada cabang arteri
pulmonal, pada jaringan kapiler distal dari sumbatan tersebut tidak akan terdapat partikel
radiofarmaka tersebut. Hal ini menyebabkan tampaknya daerah yang “dingin” pada
skintigrafi. Dalam kasus emboli paru, pada segmen yang tampak hipoperfusi diharapkan
ventilasi tampak normal sehingga didapatkan suatu defek ventilasi-perfusi tidak imbang (V/Q
mismatched defect). Beberapa pusat kesehatan hanya melakukan skintigrafi perfusi dan
menggunakan foto toraks sebagai pengganti skintigrafi ventilasi. Metode pemeriksaan seperti
ini bukan suatu strategi pilihan, akan tetapi hasil pemeriksaan dengan metode tersebut dapat
diterima apabila foto toraks normal dimana setiap adanya defek perfusi dianggap sebagai
suatu mismatched defect.12
Skintigrafi ventilasi-perfusi memiliki sensitivitas 77,4% dan spesifisitas 97,7%. 13
Studi Prospective Investigation of Pulmonary Embolism Diagnosis (PIOPED) telah menjadi
suatu studi komprehensif yang mengevaluasi keakuratan skintigrafi secara klinis. Studi ini
merumuskan kriteria diagnostik skintigrafi ventilasi-perfusi untuk emboli paru. Untuk
meningkatkan keakuratan, studi ini telah beberapa kali merevisi kriteria diagnostik
berdasarkan pengamatan retrospektif. Berdasarkan kriteria Modifikasi PIOPED II maka
interpretasi skintigrafi ventilasi-perfusi untuk kecurigaan emboli paru dikategorikan menjadi
normal atau probabilitas sangat rendah, probabilitas rendah, probabilitas sedang dan
probabilitas tinggi. Kriteria diagnostik berdasarkan Modifikasi PIOPED II ditampilkan pada
Tabel 2.
Tingginya frekuensi hasil skintigrafi dengan probabilitas sedang yang nondiagnostik
telah menjadi bahan diskusi untuk perlunya tes diagnostik lebih lanjut. Beberapa strategi
untuk mencoba mengatasi masalah ini telah diajukan, terutama penggabungan dengan
probabilitas secara klinis, dan akuisisi data dalam modus tomografi. 14 Kajian yang lebih
mutakhir mengusulkan untuk pengambilan gambar dengan SPECT untuk meningkatkan
akurasi diagnostik dan mengurangi frekuensi hasil yang nondiagnostik.15
Hasil skintigrafi yang normal sangat aman untuk menyingkirkan diagnosis emboli
paru. Hasil skintigrafi paru dengan probabilitas tinggi pada probabilitas klinis menengah dan
tinggi menegakkan diagnosis emboli paru. Akan tetapi tes lebih lanjut diperlukan bila pada
probabilitas klinis yang rendah. Hasil yang nondiagnostik dapat diarahkan menuju suatu hasil
yang konklusif dengan mengkombinasikannya dengan probabilitas klinis. Kombinasi dari
hasil skintigrafi yang nondiagnostik dengan probabilitas klinis yang rendah dapat diterima
untuk menyingkirkan adanya emboli paru.5 Tabel 3 menyajikan kriteria diagnostik tervalidasi

11
untuk mendiagnosis emboli paru pada pasien tanpa syok atau hipotensi (emboli paru bukan
risiko tinggi) menurut probabilitas klinis.

Tabel 2. Kriteria skintigrafi menurut Modifikasi PIOPED II

Kategori Temuan
Terdapat emboli paru Dua segmen atau lebih V/Q mismatched defects
(probabilitas tinggi)

Tidak terdapat emboli paru Abnormalitas perfusi nonsegmental; terdapat pembesaran jantung atau
(perfusi normal atau hilus, peninggian diafragma, efusi pada sudut kostofrenikus, dan
probabilitas sangat rendah) atelektasis linier tanpa defek perfusi lain pada bagian lain paru

Ukuran defek perfusi lebih kecil daripada lesi radiografik yang berkaitan

Dua atau lebih matched V/Q defects dengan foto toraks yang normal
secara regional dan beberapa area perfusi normal pada bagian lain paru

Satu sampai tiga defek perfusi segmental kecil (<25% segmen)

Triple-matched defect soliter (didefinisikan sebagai suatu matched V/Q


defect yang sesuai dengan opasifisitas yang terdapat pada foto toraks)
pada lapangan atas atau tengah paru yang terbatas pada satu segmen

Stripe sign (daerah paru terperfusi yang terletak diantara suatu defek
perfusi dan permukaan pleura yang berdekatan; terlihat paling baik pada
pandangan tangensial)

Efusi pleura yang berukuran sepertiga atau lebih dari rongga pleura
tanpa adanya defek perfusi pada bagian lain paru

Nondiagnostik Semua temuan lainnya


(probabilitas sedang atau
rendah)

Dikutip dari (13)

Tabel 3. Kriteria diagnostik tervalidasi untuk mendiagnosis emboli paru pada pasien tanpa syok
atau hipotensi (emboli paru bukan risiko tinggi) menurut probabilitas klinis

12
Probabilitas klinis emboli paru
Kriteria diagnostic
Rendah Menengah Tinggi
Eksklusi emboli paru
Angiogram paru normal + + +
D-dimer
Hasil negatif, uji dengan sensitivitas tinggi + + -
Hasil negatif, uji dengan sensitivitas sedang + - -
Skintigrafi paru (ventilasi-perfusi)
Skintigrafi paru normal + + +
Skintigrafi paru nondiagnostik + - -
Skintigrafi paru nondiagnostik dan
+ + ±
ultrasonografi kompresi proksimal negatif
CT angiografi toraks
Single Detector CT (SDCT) normal dan
+ + ±
ultrasonografi kompresi proksimal negatif

Multi Detector CT (MDCT) normal + + ±


Konfirmasi emboli paru
Angiogram paru menunjukkan emboli paru + + +
Skintigrafi paru probabilitas tinggi ± + +
Ultrasonografi kompresi menunjukkan trombosis vena
+
dalam proksimal + +
CT angiografi toraks
SDCT atau MDCT menunjukkan emboli paru
± + +
(minimal segmental)
SDCT atau MDCT menunjukkan subsegmental emboli
± ± ±
paru
Keterangan:
+ Tes lebih lanjut tidak diperlukan
- Tes lebih lanjut diperlukan
± Tes lebih lanjut dapat dipertimbangkan
Dikutip dari (5)

KESIMPULAN

 Skintigrafi ventilasi-perfusi adalah suatu modalitas diagnostik berupa skintigrafi nuklir


yang bertujuan mengevaluasi sirkulasi udara dan darah pada paru.
 Skintigrafi ventilasi-perfusi merupakan tes diagnostik yang cocok, kuat dan aman untuk
kasus yang dicurigai terdapat emboli paru.
 Pada emboli paru, kondisi oklusi vaskular ditunjukkan oleh adanya gambaran defek
ventilasi-perfusi tidak imbang (V/Q mismatched defect) atau defek perfusi terimbangi
tidak sempurna (incompletely matched perfusion defect).
13
 Interpretasi skintigrafi ventilasi-perfusi dikombinasikan dengan probabilitas klinis
sebagai kriteria diagnostik untuk mendiagnosis emboli paru pada pasien tanpa syok atau
hipotensi (emboli paru bukan risiko tinggi).
 Hasil skintigrafi ventilasi-perfusi dengan probabilitas tinggi untuk emboli paru dapat
menegakkan diagnosis emboli paru.
 Hasil skintigrafi ventilasi-perfusi normal dapat menyingkirkan diagnosis emboli paru
pada probabilitas klinis menengah dan tinggi.
 Hasil skintigrafi ventilasi-perfusi nondiagnostik menyingkirkan diagnosis emboli paru
pada kasus dengan probabilitas klinis rendah dan apabila disertai hasil ultrasonografi
kompresi yang negatif menyingkirkan diagnosis emboli paru pada probabilitas klinis
rendah dan menengah.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Patz EF, Coleman RE. Nuclear medicine techniques. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ,
Broaddus VC, editors. Murray and Nadels's textbook of respiratory medicine. 4 th ed.
Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005. p. 594-8.
2. Stein P, Kayali F, Olson R. Estimated case fatality rate of pulmonary embolism, 1979 to
1998. Am J Cardiol. 2004;93:1197-9.
3. Stein P, Beemath A, Olson R. Trends in the incidence of pulmonary embolism and deep
venous thrombosis in hospitalized patients. Am J Cardiol. 2005;95:1525-6.
4. Goldhaber SZ. Pulmonary embolism. In: Libby P, Bonow RO, Mannn DL, Zipes DP,
editors. Braunwald's heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. 8th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p. 1865.
5. Torbicki A, Perrier A, Konstantinides S, Agnelli G, Galie N, Pruszczyk P, et al.
Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism: The Task
Force for The Diagnosis and Management of Acute Pulmonary Embolism of the
European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2008;29:2276-315.
6. Parker JA, Coleman RE, Hilson AJW, Royal HD, Siegel BA, Sostman HD. Society of
nuclear medicine procedure guideline for lung scintigraphy. 2004. Available at:
http://interactive.snm.org/docs/Lung%20Scintigraphy_v3.0.pdf. Accessed on July 20th,
2010.
7. Brunelli A, Charloux A, Bolliger CT, Rocco G, Sculier J-P, Varela G, et al. ERS/ESTS
clinical guidelines on fitness for radical therapy in lung cancer patients (surgery and
chemo-radiotherapy). Eur Respir J. 2009;34:17-41.
8. Gale DR, Gale ME. Pulmonary imaging. In: Baum GL, Glassroth J, King TE, Crapo JD,
Glassroth JL, Karlinsky J, editors. Baum's textbook of pulmonary diseases. 7 th ed.
Massachusetts: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 128-9.
9. Alavi A, Worsley D, El-Haddad G. Scintigraphic evaluation of pulmonary disease. In:
Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI, editors. Fishman’s
pulmonary diseases and disorders. 4th ed. New York: Mc Graw Hill; 2009. p. 547-56.
10. Ciofetta G, Piepsz A, Roca I, Fisher S, Hahn K, Sixt R, et al. Guidelines for lung
scintigraphy in children. Eur J Nucl Med. 2007;34:1518–26.

15
11. Dutton JAE, Cheow HK, Peters AM. Lung scintigraphy. In: Beek EJRv, Buller HR,
Oudkerk M, editors. Deep vein thrombosis and pulmonary embolism. 1 st ed. West Sussex:
John Wiley & Sons, Ltd; 2009. p. 135-67.
12. Sostman HD, Miniati M, Gottschalk A, Matta F, Stein PD, Pistolesi M. Sensitivity and
specificity of perfusion scintigraphy combined with chest radiography for acute
pulmonary embolism in PIOPED II. J Nucl Med. 2008;49(11):1741-8.
13. Sostman HD, Stein PD, Gottschalk A, Matta F, Hull R, Goodman L. Acute pulmonary
embolism: sensitivity and specificity of ventilation-perfusion scintigraphy in PIOPED II
study. Radiology. 2008;246(3):941-6.
14. Roy P, Colombet I, Durieux P, Chatellier G, Sors H, Meyer G. Systematic review and
meta-analysis of strategies for the diagnosis of suspected pulmonary embolism. Br Med J.
2005;331:259.
15. Reinartz P, Wildberger J, Schaefer W, Nowak B, Mahnken A, Buell U. Tomographic
imaging in the diagnosis of pulmonary embolism: a comparison between V/Q lung
scintigraphy in SPECT technique and multislice spirat CT. J Nucl Med. 2004;45:1501-8.

16
17

Anda mungkin juga menyukai