Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Abses paru adalah kumpulan pus dalam suatu kavitas dikelilingi oleh jaringan yang
mengalami inflamasi akibat suatu infeksi. Beberapa proses respiratorik atau sistemik dapat
menyebabkan pembentukan abses. Pembentukan beberapa abses kecil (<2 cm) kadang-
kadang disebut sebagai necrotizing pneumonia atau gangren paru. Abses paru dan necrotizing
pneumonia adalah manifestasi dari proses patologis yang serupa. Kegagalan untuk
mendiagnosis dan mengobati abses paru sangat erat berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas.1,2
Abses paru paling sering terdapat di segmen posterior lobus atas paru kanan jarang
terdapat pada lobus atas paru kiri dan segmen apikal lobus bawah. Abses paru erat sekali
hubungannya dengan infeksi kuman anaerob, infeksi gigi, sinusitis, penderita dengan
kesadaran yang menurun (koma), keracunan alkohol, anestesi umum serta kelainan
neurologis. Abses paru primer paling sering berasal dari aspirasi sekret orofaring atau aspirasi
isi lambung. Abses paru sekunder merupakan komplikasi dari septik emboli vaskuler atau
obstruksi bronkial.2,3,6
Sebelum era antibiotik perjalanan klinis pasien dengan abses paru sangat parah. Lima
puluh tahun yang lalu tingkat kematian lebih dari 50%. Pasien meninggalkan gejala sisa di
paru akibat abses tersebut. Sebagian besar pasien menjalani operasi selama tahap terakhir dari
penyakit dan hasilnya mengecewakan. Insiden abses paru telah turun sebanyak 10 kali lipat
selama beberapa dekade terakhir disebabkan pengobatan yang adekuat untuk
pneumonia. Penurunan insiden ini diikuti dengan penurunan kematian menjadi antara 5% -
10%. Penelitian terbaru melaporkan tingkat kematian 2,4% pada abses paru yang didapatkan
pada masyarakat. Penatalaksanaan abses paru saat ini adalah pemberian antibiotik yang tepat
dan fisioterapi dengan penyaliran postural. 2-4

DEFINISI

Abses paru adalah pengumpulan setempat cairan teinfeksi (pus/jaringan nekrotik


supuratif) dalam suatu kavitas akibat penghancuran jaringan sekitarnya di parenkim paru.
Definisi abses paru tidak termasuk pengumpulan pus dalam rongga/ruang yang sudah ada
sebelumnya (seperti kista bronkogenik, bula). Rongga ini biasanya berdiameter >2 cm yang
terbentuk dalam parenkim paru. Pembentukan beberapa abses kecil (<2 cm) kadang-kadang

1
disebut sebagai necrotizing pneumonia atau gangren paru. Abses paru dan necrotizing
pneumonia adalah manifestasi dari proses patologis yang serupa.1-3
Abses paru primer adalah akibat pneumonia aspirasi atau penyebaran infeksi secara
bronkogenik sedangkan abses paru sekunder akibat penyebaran infeksi dari tempat lain baik
secara hematogen (bakterimia, endokarditis bakterialis, tromboflebitis bakterialis), limfogen
ataupun perkontinuitatum (abses amuba). Abses paru primer umumnya tunggal sedangkan
abses paru sekunder umumnya multipel. Abses paru juga dapat diakibatkan oleh obstruksi
saluran napas seperti pada tumor dan aspirasi benda asing sehingga dapat menimbulkan
proliferasi kuman anaerob daerah distal dari obstruksi.3,4 Abses paru berdasarkan onsetnya
diklasifikasikan terjadi secara akut dan kronik. Abses paru akut paling sedikit terjadi dalam 2
minggu dan lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri aerob virulen. Abses paru kronik
terjadi dalam waktu lebih dari 4-6 minggu dengan penyakit dasar neoplasma atau infeksi
bakteri kurang virulen atau anaerob. Klasifikasi tersebut mencerminkan gambaran klinis yang
dapat dimanfaatkan dalam penentuan tatalaksana. Umumnya abses paru merupakan abses
soliter tetapi dapat juga terjadi abses multipel tergantung dari proses penyakit dasar dan status
imun penderita. Proses pembentukan abses paru terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis
sehingga biasanya dimulai sebagai pneumonia terlokalisir.2-4

ETIOLOGI

Berbagai studi mikrobiologi menunjukkan abses paru kurang lebih 90% disebabkan
oleh bakteri anaerob sebagai penyebab primer atau bersama-sama dengan bakteri aerob. Hal
ini dapat dijelaskan karena bakteri anaerob sebagai penyebab tersering dari necrotizing
inflammation. Bakteri lain yang menjadi penyebab abses paru diantaranya adalah
Staphylococcus aureus, Eschereria coli, Klebsiela pneumoniae, Pseudomonas. aureginosa,
bakteri Gram negatif lainnya, Streptococcus pyogenes, Pseudomonas pseudomalle,
Haemophylus influenzae (khususnya tipe B), Legionellae pneumophila, Norcadia asteroides,
Actinomyces spesies dan jarang Pneumococci. Parasit juga dapat menyebabkan abses paru
seperti Paragonimus westermani dan Entamoeba histolytica, jamur dan mikobakteria
lainnya.4

2
Wang dkk melaporkan telah terjadi perubahan karakteristik bakteriologi penyebab
abses paru yaitu kuman aerob hanya ditemukan pada 28 penderita (31%) sedangkan bakteri
predominan Klebsiella pneumonia ditemukan pada 30 penderita (33%).5 Hammond dkk
melaporkan penyebab abses paru berdasarkan hasil kultur adalah bakteri anaerob 44%,
bakteri aerob 19%, campuran bakteri aerob dan anaerob 22%. Bakteri Gram negatif jarang
didapatkan. Tujuh pasien disebabkan Mycobacterium tuberculosis, dua diantaranya
berhubungan dengan bakteri lainnya seperti terlihat pada table 1.6

Tabel 1. Spektrum isolasi bakteri dari abses paru akut


Jumlah yang diisolasi %
Kuman anaerob
Prevotella sp 17 22
Porphyromonas sp 7 9
Anaerob tidak spesifik 4 5
Bacteriodes sp 4 5
Fusobacterium sp 4 5
Anaerob kokkus 4 5
Microaerophilic streptococci 7 9
Veilonella sp 1 1
Clostridium sp 1 1
Anaerob Gram positif tak berspora 9 11
Anaerob campuran 1 1
Total 59 74

Kuman aerob
Streptococcus viridans 7 9
Staphylococcus sp 5 6
Corynebacterium sp 3 4
Klebsiella sp 2 3
Haemophilus sp 1 1
Kokkus Gram negatif 2 2
Total 20 26
Dikutip dari (6)

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko terbentuknya abses paru antara lain sebagai berikut :1-3
 Penyakit gigi dan mulut :

3
Periodontitis, gingivitis
 Gangguan kesadaran :
Koma, Kejang, anestesia, penyalahgunaan obat, alkoholisme
 Penderita immunocompromised :
Terapi steroid, kemoterapi, malnutrisi, Human Immunodeficiency Virus (HIV)
 Penyakit esofagus :
Akalasia, refluks esofagus, gangguan reflek batuk dan menelan, obstruksi esofagus
 Obstruksi bronkus :
Tumor, benda asing, striktur
 Sepsis

PATOGENESIS

Proses pembentukan abses paru merupakan hasil interaksi antara agen infeksius yaitu
bakteri terutama anaerob, jamur dan parasit dengan berbagai faktor risiko pada penderita dan
selanjutnya melalui mekanisme aspirasi berbagai materi infeksius tersebut masuk ke dalam
paru. Tidak semua penderita dengan faktor risiko aspirasi akan membentuk abses paru. Faktor
lain khususnya penyakit komorbid dan gangguan sistim pertahanan tubuh juga berperan
penting terhadap pembentukan abses paru. Pada keadaan normal aspirasi sejumlah
mikroorganisme dapat terjadi tetapi sistim pertahanan paru yang normal termasuk reflek
batuk dan transpor mukosilier yang efisien memungkinkan saluran napas bawah dan
parenkim paru tetap steril. Kebiasaan konsumsi alkohol dan merokok dapat mengakibatkan
gangguan aktivitas silia epitel saluran napas. Penurunan kesadaran yang disertai gangguan
reflek batuk mengakibatkan sejumlah besar mikroorganisme masuk ke dalam paru.7,8
Pembentukan abses paru berhubungan dengan aspirasi, penurunan daya tahan tubuh
dan besarnya jumlah agen infeksius yang masuk. Data penelitian menunjukkan pembentukan
abses paru dapat berlangsung 8-14 hari setelah aspirasi agen infeksius dari orogingival.
Apabila terjadi aspirasi dalam jumlah banyak dari spesies bakteri anaerob atau campuran
beberapa spesies bakteri dapat menyebakan necrotizing pneumonia, jika tidak diterapi dari
awal dan berlangsung progresif maka akan terbentuk abses paru. Lokasi abses paru
dipengaruhi gaya gravitasi atau posisi tubuh pada saat aspirasi. Abses paru biasanya terdapat

4
di segmen basal dan superior dari lobus bawah atau segmen posterior lobus atas sesuai
dengan lokasi infiltrat pada penderita pneumonia aspirasi. Cara lain timbulnya infeksi pada
abses paru adalah melalui penyebaran limfogen misalnya melalui pembuluh limfe
subfrenikus dan hematogen misalnya tromboflebitis septik pada vena jugularis, vena pelvis
serta predisposisi paru misalnya karsinoma atau bronkiektasis. 3,4

DIAGNOSIS

Diagnosis abses paru berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan


laboratorium, radiologi dan penunjang lainnya. Pada anamnesis perlu diketahui gejala klinis
yang timbul, faktor risiko atau komorbid yang menyertainya seperti periodontitis, gingivitis,
riwayat kejang, alkoholisme, malnutrisi, terapi steroid, HIV, refluks esofagus, gangguan
reflek batuk dan menelan, tumor dan lain-lain. Gejala awal yang dapat ditemukan adalah
batuk produktif, napas berbau atau sputum berbau busuk, demam, rasa berat di dada, nyeri
dada, malaise, batuk darah, keringat malam, nafsu makan turun disertai penurunan berat
badan. Infeksi oleh bakteri anaerob akan memberikan gejala yang timbul secara lambat dalam
waktu berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Gejala tersebut berupa demam derajat
rendah, kehilangan berat badan, batuk produktif dengan sputum yang berlebihan. Bakteri
anaerob biasanya menimbulkan gejala setelah 7-14 hari dan bakteri aerob menimbulkan
gejala demam dan batuk selama 3-5 hari. Gejala spesifik dan merupakan petanda
patognomonik infeksi kuman anaerob adalah napas berbau atau sputum berbau busuk tetapi
hal ini hanya ditemukan pada 50%-60% pasien. Gejala lain seperti hemoptisis ditemukan
pada 25% pasien. Abses paru karena amuba seringkali berhubungan dengan abses hati
dengan gejala nyeri di perut kuadran atas, demam dan bila abses hati mengalami perforasi ke
paru dapat menimbulkan gejala batuk dengan dahak berwarna tengguli dan dapat disertai
hemoptisis.2,3,8
Pemeriksaan fisis yang ditemukan dapat bervariasi dan berkaitan dengan kondisi
penyakit sekunder yang mendasarinya seperti pneumonia, efusi pleura. Variasi temuan
pemeriksaan fisis juga tergantung pada mikroorganisme yang terlibat, berat dan perluasan
penyakit serta kondisi komorbid yang ada.2,9 Demam terjadi pada 60%-90% pasien abses
paru.6 Suhu badan akan rendah pada infeksi anaerob dan suhu yang tinggi (>38,5 0C) terjadi
pada infeksi mikroorganisme lain yang biasanya terdapat bukti penyakit gingival. Temuan
klinis dapat berupa konsolidasi akan terlihat seperti penurunan suara napas, perkusi paru
5
redup, suara napas bronkial dan ronki saat inspirasi. 2,7,9 Setelah kavitas terbentuk dapat terjadi
suara napas amforik pada daerah paru yang terkena tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Pada
abses paru kronik akan terlihat clubbing fingers (jari tabuh) pada 20% pasien, efusi pleura
dan kakeksia.2-4,9
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis, peningkatan laju endap darah
(LED) dan pergeseran hitung jenis ke kiri walaupun demikian kondisi ini tidak selalu
ditemukan. Evaluasi pemeriksaan sputum merupakan langkah awal penegakan diagnosis
dengan melakukan pengecatan gram, pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA), jamur, parasit
dan pemeriksaan kultur. Kultur darah dapat juga dilakukan untuk membantu mencari
etiologinya. Pemeriksaan sputum umumnya tidak banyak membantu diagnosis abses paru
yang disebabkan bakteri anaerob tetapi berguna untuk menyingkirkan penyebab abses yang
lain. Pemeriksaan pewarnaan Gram pada pasien dengan abses paru karena bakteri anaerob
menunjukkan gambaran leukosit polimorfonuklear bercampur dengan bakteri beberapa
diantaranya terkontaminasi flora normal dari mulut. Pemerikasaan kultur sputum aerob harus
selalu dilakukan dan bila terdapat satu bakteri pada kultur tersebut maka dianggap sebagai
patogen.2,4,7,10
Pemeriksaan foto toraks pada abses paru tidak patognomik pada stadium awal. Foto
toraks dengan gambaran kavitas dengan dinding yang tebal disertai air fluid level di
dalamnya hanya dapat diambil dengan posisi pasien yang berdiri atau lateral dekubitus seperti
terlihat pada gambar 1. Apabila terdapat penebalan pleura, atelektasis atau pneumotoraks
maka gambaran air fluid level akan sulit dilihat. Pasien dengan abses paru yang oportunistik
lebih susah didiagnosis. Pada kondisi ini abses yang multiple dapat terjadi dan biasanya
merupakan akibat infeksi nosokomial. Pada foto toraks kavitas biasanya muncul dua minngu
setelah gejala batuk, demam dan nyeri pleuritik pada dada. Pemeriksaan foto toraks serial
mungkin diperlukan untuk mengetahui perkembangan pneumonia menjadi necrotizing
pneumonia dan abses paru. Pemeriksaan Computed tomography scan (CT- scan ) toraks
berguna untuk mengevaluasi ketebalan serta keteraturan dinding kavitas dan untuk
mengetahui lokasi abses yang tepat terhadap dinding dada dan bronkus, dapat juga untuk
mengetahui keterlibatan bronkus proksimal dan distal terhadap terjadinya abses.1,2,3
Bronkoskopi dan prosedur invasif lainnya dapat digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan terdapatnya lesi obstruksi endobronkial, benda asing dan neoplasma.
Bronkoskopi dapat digunakan dalam mendiagnosis abses paru dengan gejala atipik.
Spesimen yang didapat berasal dari bilasan dan sikatan bronkus sangat berguna untuk

6
pemeriksaan kultur resistensi dan uji sensitivitas. Prosedur percutaneous transtracheal
aspiration dapat membantu mencari penyebab spesifik abses bila tidak diperoleh spesimen
klinis untuk analisis dan diagnosis.3,6

Gambar 1. Foto toraks abses paru


Dikutip dari (6)

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan abses paru sebelum era antibiotik terdiri dari tiga modalitas yaitu
terapi suportif, penyaliran postural dengan atau tanpa bronkoskopi dan pembedahan. Ketiga
modalitas tersebut mempunyai angka mortalitas yang sama yaitu 30%-35% . Sejak antibiotik
diperkenalkan sebagai terapi utama angka mortalitas menurun hingga 5%-10%.
Penatalaksanaan abses paru saat ini adalah pemberian antibiotik yang tepat, fisioterapi
dengan penyaliran postural. Tindakan bedah dilakukan pada kasus tidak respons terhadap
antibiotik, keganasan dengan atau tanpa komplikasi seperti hemoptisis dan empiema. Terapi
abses paru harus dipandu dengan pengetahuan tentang mikrobiologi dan kondisi yang
mendasarinya atau menyertainya.1,2,4

Pemberian antibiotik pada abses paru

Terapi utama abses paru adalah pemberian antibiotik yang tepat berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologi yang tidak terkontaminasi. Pemberian antibiotik parenteral secara
7
empirik harus dimulai saat diagnosis abses paru ditegakkan. Berbagai penelitian
menganjurkan bahwa terapi akan lebih efektif bila pada saat awal pemilihan antibiotik
empirik terutama ditujukan untuk melawan bakteri anaerob dan golongan Streptococcus
milleri sebagai penyebab terbesar abses paru. Selain pemberian antibiotik yang tepat, jangka
waktu pemberian antibiotik juga dijadikan pertimbangan. 2,3,10,11 Bartlett menyarankan
pemberian antibiotik sampi dengan infiltrat di paru menghilang atau lesi menjadi kecil atau
stabil. Antibiotik diberikan secara intravena sampai demam hilang dan menunjukkan
perbaikan klinis. Setelah itu pemberian antibiotik secara oral diberikan dalam jangka waktu
tertentu bervariasi tergantung kondisi klinis penderita. Penderita mendapat terapi antibiotik
kurang lebih 6-8 minggu.10
Penisilin merupakan antibiotik pilihan utama abses paru pada era tahun 1960-1970.
Peningkatan resistensi terhadap penisilin membutuhkan kombinasi antibiotik metronidazol
yang efektif melawan bakteri anaerob Gram negatif termasuk Bacteriodes fragilis dan
Clostridia.1,4 Pemberian penisilin dengan dosis 12-18 juta unit per hari intravena dikombinasi
dengan metronidazol 2 gram perhari dibagi dalam 4 dosis. Metronidazol tidak dianjurkan
sebagai terapi tunggal karena dilaporkan menyebabkan angka kegagalan terapi 43%. 2,4
Klindamisin digunakan sebagai alternatif pada pasien dengan alergi penisilin. Antibiotik ini
menunjukkan efek lebih baik dibandingkan penisilin dan aktif melawan bakteri anaerob yang
memproduksi -laktamase (Bacteriodes, Fusobacterium) sehingga dapat mengurangi
kebutuhan pemberian metronidazol.2,3 Banyak klinisi menganjurkan pemberian klindamisin
menggantikan terapi konvensional penisilin dan terapi standar untuk infeksi anaerob.
Klindamisin juga menunjukkan hasil klinis yang lebih baik dibandingkan penisilin dalam hal
respons penderita, kecepatan resolusi, demam, temuan radiologi dan kekambuhan setelah
terapi. Dosis pemberian klindamisin pada dewasa adalah 600 mg intravena 4 kali sehari
selama 8 hari diikuti terapi oral 150 mg- 300 mg 4 kali sehari, sedangkan pada anak-anak
pemberian klindamisin dengan 25 mg – 40 mg/Kg/hari dibagi dalam beberapa kali
pemberian.2
Sefoksitin merupakan sefalosporin generasi ke-2 yang dapat melawan kuman kokkus
Gram negatif dan batang Gram positif. Obat ini juga dapat digunakan sebagai alternatif bila
terdapat infeksi polimikroba atau Gram negatif yang resisten penisilin. 2 Kloramfenikol
merupakan antibiotik yang aktif terhadap semua kuman anaerob tetapi efek supresi sumsum
tulang maka sebaiknya hanya diberikan pada saat terapi antibiotik lain gagal. Pasien dengan
respons buruk terhadap terapi antibiotik perlu dipertimbangkan penyebab lain misalnya

8
obstruksi oleh benda asing, keganasan, infeksi dengan bakteri resisten, mikrobakteria dan
jamur.2,3 Keberhasilan terapi antibiotik juga tergantung pada lama gejala dan ukuran kavitas
sebelum terapi. Terapi antibiotik jarang berhasil bila gejala masih berlanjut lebih 12 minggu
sejak terapi diberikan atau kavitas lebih dari 4 cm. 4 Linezolid dapat digunakan untuk abses
paru yang disebabkan Fusobacterium spp, Prevotella spp, Porphyromonas spp, Bacteriodes
spp dan Peptostreptococci. Linezolid diberikan dengan dosis 600 mg intravena atau peroral
setiap 12 jam. 12

Tabel 1. Dosis antibiotik empirik pada abses paru


Antibiotik Dosis
Klindamisin 600-800 mg tiap 6-8 jam, intravena selama 8 hari diikuti Oral: 150-300
mg tiap 6 jam, anak-anak 25-40 mg/kg intravena diberikan dalam
beberapa kali pemberian
Metronidazol Loading dose: 15 mg/kg intravena selama 1 jam, dosis rumatan: 7,5
mg/kg infus selama 1 jam diberikan lanjutan tiap 6-8 jam, maksimal 4
g/hari
Sefoksitin 80-160 mg/kg/hari intravena dibagi tiap 4-6 jam
Penisilin G 2 juta unit intravena tiap 4 jam, maksimal 18 juta unit/hari atau 12-18
juta unit/hari
Dikutip dari (2)

Fisioterapi

Fisioterapi merupakan aspek penting dalam penatalaksanaan abses paru. Fisioterapi


pada abses paru terdiri dari latihan sistim pernapasan, batuk, perkusi dada, dan penyaliran
postural. Fisioterapi dengan penyaliran postural bertujuan membantu penderita
membersihkan materi purulen sehingga mengatasi gejala dan memperbaiki pertukaran gas
dengan tehnik pengaturan pernapasan.7,8 Manuver sederhana seperti penyaliran postural dan
fisioterapi dada sebaiknya dikerjakan pada semua pasien terutama pasien dengan produksi
sputum yang banyak dan ukuran air fluid level yang besar.8

Aspirasi jarum perkutan (percutaneous needle lung aspiration)

Aspirasi jarum perkutan dilakukan pada kasus abses paru yang tidak berhasil dengan
terapi antibiotik dan penyaliran postural. Aspirasi jarum perkutan dilakukan dengan syarat
gambaran klinis menunjukkan infeksi paru dengan satu atau beberapa kavitas berdiameter > 1

9
cm dan terlihat jelas pada foto toraks tidak didapatkan tuberkulosis paru aktif atau
pemeriksaan sputum bakteri tahan asam negatif, trombosit > 100.000/ml, waktu perdarahan
normal, PaO2 > 65 mmHg , penderita kooperatif. Aspirasi jarum perkutan dilakukan dengan
menggunakan jarum spinal ukuran French - 22 ke dalam kavitas abses dipandu CT-scan,
fluroskopi atau ultrasonografi seperti terlihat pada gambar 2. Foto toraks dilakukan 4 jam dan
24 jam setelah tindakan aspirasi jarum perkutan untuk mengetahui kemungkinan terjadi
pneumotoraks iatrogenik. Komplikasi aspirasi jarum perkutan antara lain empiema,
perdarahan, fistel bronkopleura serta pneumotoraks. 13

Gambar 2. Aspirasi jarum perkutan


Dikutip dari (13)

Penyaliran dengan endoskopi

Penyaliran dengan endoskopi dilakukan pada kasus abses paru yang tidak berhasil
dengan terapi antibiotik dan penyaliran postural. Penyaliran endoskopi dilakukan jika
didapatkan hubungan antara cabang bronkus dengan abses secara visual. Penyaliran
dilakukan dengan cara menggunakan fiberoptic bronchoscopy (FOB) melalui hidung dipandu
dengan fluoroskopi, kawat pemandu dimasukan ke dalam kavitas melalui FOB setelah kawat
pemandu dipastikan masuk kedalam kavitas maka bronkoskopi ditarik sedangkan kawat
pemandu ditinggal. Pigtail catheter dimasukkkan melalui kawat pemandu kemudian kontras
disemprotkan melalui pigtail catheter untuk memastikan posisi kateter sudah tepat, diikuti
penarikan kawat pemandu setelah itu kateter difiksasi ke hidung seperti terlihat pada gambar
3. Abses paru kemudian dibilas dengan antibiotik didalam larutan garam fisiologis 2 kali
sehari. Pada kasus yang disebabkan oleh jamur diberikan anti jamur dalam 20 cc larutan
garam fisiologis 1 kali sehari. Keberhasilan terapi dinilai dari berkurangnya ukuran abses dan
10
jumlah pus yang disalirkan disamping itu gejala klinis seperti demam menghilang dan jumlah
lekosit darah kembali normal. 14

Gambar 3. Penyaliran endoskopi


Dikutip dari (14)

Pembedahan

Sebelum era antibiotik ditemukan sebagai terapi abses paru, terapi bedah sangat luas
digunakan.3,4,15 Saat ini pasien abses paru umumnya tidak membutuhkan pembedahan dan
intervensi bedah pada abses paru dilaporkan hanya berkisar 10%. Tindakan bedah dilakukan
jika di dapatkan hemoptisis atau abses berhubungan dengan keganasan, empiema, obstruksi
bronkial, fistel bronkopleural, kegagalan terapi medis setelah 4-6 minggu atau terdapat
infeksi yang berlangsung progresif. Terapi antibiotik dikatakan gagal jika demam atau gejala
lain berlanjut sampai 10-14 hari, gambaran lesi radiologis tidak mengecil atau lesi pneumonia
menyebar ke bagian paru lain.8 Saat pembedahan para ahli anastesi biasanya menggunakan
pipa endotrakeal lumen ganda untuk mencegah komplikasi kontaminasi sekret kontralateral
paru.15
Podbielski dkk melakukan tidakan pembedahan dengan video assisted thoracoscopy
(VATS). Tindakan ini dilakukan setelah kegagalan terapi dengan antibiotik dan 3 kali
penyaliran perkutan. Tindakan VATS dilakukan dengan membersihkan kavitas abses dan
memotong dengan kauter kemudian memasang selang penyaliran di rongga pleura.14
11
Torakotomi dan lobektomi juga dilakukan pada kecurigaan abses dengan karsinoma disertai
kavitas. Tindakan reseksi dianjurkan jika terdapat obstruksi saluran napas dengan
keterbatasan tindakan penyaliran.1,7 Tindakan ini kadangkala dilakukan pada kasus hemoptisis
masif yang mengancam jiwa dan nekrosis jaringan parenkim paru yang luas. 6,14 Pada pasien
immunocompromised dengan abses paru yang membesar secara cepat akan membutuhkan
tindakan reseksi cepat dengan penambahan antibiotik.1,4,7

PROGNOSIS

Penatalaksanaan abses paru yang tepat memberikan prognosis yang baik pada 90%
penderita. Prognosis penderita abses paru bergantung pada penyakit dasar, faktor risiko dan
kecepatan pemberian terapi yang tepat. Prognosis relatif buruk didapatkan pada pasien usia
lanjut, kondisi lemah, malnutrisi dan immunocompromised. Suatu studi mengemukakan
peningkatan angka kematian abses paru yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas
aeruginosa (83%), Staphylococcus aureus (50%), dan Klebsiella pneumoniae (44%).
Peningkatan angka kematian juga berkorelasi terhadap luas ukuran kavitas dan lokasi lobus
bawah kanan.9 Berbagai faktor prognostik kegagalan terapi medis adalah aspirasi rekuren,
ukuran kavitas yang besar (>6 cm), gejala kompleks yang berlanjut, abses disertai lesi
obstruktif, necrotizing pneumonia, ketebalan dinding kaviti abses, abses multipel, faktor
komorbid, usia lanjut, keganasan, immunocompromised dan keterlambatan penanganan
medis. Semua hal tersebut di atas mempunyai faktor prognostik negatif yang secara
bermakna akan meningkatkan kematian.1,3,4Abses paru dapat menimbulkan komplikasi serius
misalnya empiema, penyebaran abses ke segmen paru lain, perdarahan, inflamasi membran di
dekat jantung dan inflamasi paru kronik, fibrosis pleural. Bila komplikasi sudah terjadi
maka prognosis akan memburuk.4,7

KESIMPULAN

1. Abses paru adalah pengumpulan pus yang mengisi kavitas yang dikelilingi oleh
jaringan yang mengalami inflamasi di dalam parenkim paru akibat suatu infeksi.

12
2. Patogenesis abses paru terutama disebabkan oleh mekanisme aspirasi yang berasal
dari orogingival.
3. Diagnosis abses paru umumnya berdasarkan foto toraks yang secara klasik
memperlihatkan gambaran air-fluid level dalam suatu daerah pneumonia.
4. Penyebab terbanyak abses paru adalah infeksi bakteri anaerob sehingga pemilihan
antibiotik empirik terutama ditujukan untuk mengatasi infeksi bakteri anaerob.
5. Keberhasilan terapi medis dengan penggunaan antibiotik yang tepat akan mengurangi
intervensi bedah.
6. Intervensi bedah hanya diindikasikan pada kegagalan terapi medis dan keadaan yang
mengancam jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Finegold SM, Fishman JA. Empyema and lung abscess. In: Fishman AP, Elias JA,
Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, editors. Pulmonary diseases and
disorders. 4th edition. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p.2141-60.
2. Sharma S. Lung abscess. [Cited 2010 July 26 th] Available from:
http://www.emedicine.com/MED/topic1332.htm. `
3. Bhimji S. Lung abscess, surgical perspective. [Cited 2010 July 20 th] Available from:
http://www.emedicine.com.
4. Cassiere HA, Niederman MS. Aspiration pneumonia, lipoid pneumonia and lung
abscess. In: Baum GL, Jeffrey, Glassroth, Talmadge E, King M, James D, Crapo M,
editors. Baum’s Textbook of pulmonary diseases. 7th edition. New York: Lippincott
William and Wilkins Publishers; 2003. p. 377-83.
5. Wang JL, Chen KY, Fang CT, Hsueh PR, Yang PC, Chang SC. Changing bacteriology
of adult community-acquired lung abscess in Taiwan: Klebsiella pneumonia versus
anaerob. Clin Infec Dis 2005; 40:915-22.

13
6. Hammond JMJ, Potgleter PD, Hanslo D, Scott H, Roditi D. The etiology and
antimicrobial susceptibility patterns of microorganisms in acute community-acquired
lung abscess. Chest 1995; 108:937-41.
7. Goetz MB, Finegold SM. Pyogenic bacterial pneumonia, lung abscess, dan
empyema. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ, Boushey HA, editors. Texbook of
respiratory medicine. 3rd edition. Philadelphia: WB Sauders Company; 2000. p. 985-
1033.
8. Gillon JM, Eykyn SJ. Lung Abscess. In : Gibson GJ, Geddes DM, Costabel U, Sterk
PJ, Corrin B, editor. Respiratory Medicine. 3th edition. London : Elsevier Science;
2003. p. 932-6.
9. Hirshberg B, Levi MS, Nir-Paz R, Ben-Sira L, Krivoruk V, Kramer MR. Factor
predicting mortality of patients with lung abscess. Chest 1999;115;746-50.
10. Bartlett JG. The role of anaerobic bacteria in lung abscess. Clin Infec Dis 2005; 40:
923-5.
11. Jerng JS, Hsueh PR, Teng LJ, Lee LN, Yang PC, Luh KT. Empyema thoracis and lung
abscess caused by viridans streptococci. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:1508-
14.
12. Levison ME. Anaerobic pleuropulmonary infection. Curr Opinion in Infec Dis
2001;14: 187-91.
13. Grinan NP, Lucena FM, Romero JV, Michavila IA, Dominguez SU, Alia CF. Yield of
percutaneous needle lung aspiration in lung abscess. Chest 1990;97:69-74.
14. Herth F, Ernst A, Becker HD. Endoscopic drainage of lung abscesses: technique and
outcome. Chest 2005;127;1378-81.
15. Pfitzner J, Peacock MJ, Tsirgiotis E, Walkley IH. Lobectomy for cavitating lung
abscess with haemoptysis: strategy for the contralateral lung and also the non-
involved lobe of the ipsilateral lung. British Journ Anaesth 2000; 85:791-4.
16. Podbielski FJ, Rodrigues HE, Wiesman IM, Brown AM, Quiros ED, Ziauddin M.
Pulmonary parenchymalabscess: VATS approach to diagnosis and treatment. Asian
Cardiovasc Thorac Ann 2001;9:339-41.

14
Korektor

( Dr . Novita )

TINJAUAN PUSTAKA II
Senin, 30 Agustus 2010

PENATALAKSANAAN ABSES PARU

Mohamad Nizam Erhamza

15
Narasumber : Dr. M. Arifin Nawas, MARS, Sp.P (K)
Penanggung jawab : Dr. Wahju Aniwidyaningsih, Sp.P (K)

PESERTA PPDS I PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT PERSAHABATAN
JAKARTA

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tugas
kuliah ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai peraturan yang berlaku di Universitas
Indonesia.
Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarism, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada saya

Jakarta, 30 Agustus 2010

Mohamad Nizam Erhamza

16
17
18

Anda mungkin juga menyukai