Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 13 MEI 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

REFARAT: VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP)

REFERAT
Dibuat dalam Rangka Tugas Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter

Oleh:
Lilis Muliawati
111 2015 1003

Pembimbing
dr. Lismasari Ridwan, Sp.An, M.Kes

DEPARTEMEN ILMU ANESTESIOLOGI


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul “Ventilator Associated Pneumonia (VAP)” yang dipersiapkan dan
disusun oleh:

Nama : Lilis Muliawati


NIM : 111 2015 1003

Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat Tugas Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Profesi Dokter dalam disiplin Ilmu Anestesiologi pada,

Waktu : 11 Mei 2019


Tempat : RSUD Sawerigading Kota Palopo

Makassar, 13 Mei 2019


Menyetujui,
Pembimbing Penulis

dr. Lismasari, Sp.An, M.Kes Lilis Muliawati, S.Ked


BAB I
PENDAHULUAN

Ventilator Association Pneumonia (VAP) adalah jenis pneumonia nosokomial


yang terjadi pada pasien yang menerima ventilasi mekanis. VAP biasanya didapat di
rumah sakit sekitar 48-72 jam setelah ventilasi mekanis.1 Tujuan utama dari ventilasi
mekanis adalah untuk membantu pertukaran gas tanpa menyebabkan trauma pada paru-
paru. Sayangnya, ventilasi mekanik dapat membahayakan paru-paru oleh karena stres dan
regangan yang berkembang di paru-paru. Tekanan dan volume tinggi dapat menyebabkan
barotrauma dan volutrauma ke paru-paru, yang diikuti oleh biotrauma dan atelectrauma.
Menurut International Nosocomial Infection Control Consortium (INICC), tingkat
keseluruhan VAP adalah 13,6 per 1.000 hari ventilator.2 Kejadian bervariasi sesuai
dengan kelompok pasien dan pengaturan rumah sakit. Insiden VAP berkisar antara 13–51
per 1.000 hari ventilasi.3 Durasi rata-rata kejadian VAP adalah sekitar 5-7 hari. Angka
kematian yang terkait dengan VAP berkisar 24-76 persen, dan bahkan lebih tinggi di
antara pasien yang sakit kritis.4
VAP menyebabkan pasien tinggal lebih lama di ICU dan secara tidak langsung
meningkatkan biaya pengobatan pasien. Berdasarkan waktu onset VAP, dapat dibagi
menjadi dua jenis. VAP onset dini terjadi selama empat hari pertama ventilasi mekanis
dan biasanya disebabkan oleh bakteri sensitif antibiotik. VAP onset lambat berkembang
lima hari atau lebih setelah inisiasi MV dan disebabkan oleh patogen resisten multi-
MDR.5 Diagnosis dini VAP dengan terapi antibiotik yang tepat dapat mengurangi
timbulnya organisme resisten.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
VAP didefinisikan sebagai nosocomial pneumonia yang terjadi setelah 48 jam
pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui pipa endotrakea maupun
pipa trakeostomi.5,6,7
Kriteria diagnosis VAP berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) adalah sebagai berikut; pneumonia yang terjadi setelah pemasangan intubasi
endotrakea lebih dari 48-72 jam; adanya infiltrat baru atau persisten pada gambaran
radiologi; demam >38,5◦C; leukositosis atau leukopenia; hasil kultur aspirasi endotrakea
positif.8,9,10
Sedangkan American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai
suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrate baru dan menetap pada foto toraks
disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura sama dengan
mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto
torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam,
leukositosis dan sekret purulen.6 Ibrahim dkk membagi VAP menjadi onset dini yang
terjadi dalam 4 hari pertama pemberian ventilasi mekanis dan onset lambat yang terjadi 5
hari atau lebih setelah pemberian ventilasi mekanik.
2.2 Patogenesis
Patogenesis VAP sangat kompleks.11 Kollef menyatakan insiden VAP tergantung
pada lamanya paparan lingkungan penyelia kesehatan, dan faktor risiko lain. Faktor
faktor risiko ini meningkatkan kemungkinan terjadinya VAP dengan cara meningkatkan
terjadinya kolonisasi traktus aerodigestif oleh mikroorganisme patogen dan
meningkatkan terjadinya aspirasi sekret yang terkontaminasi ke dalam saluran napas
bawah. Kuman dalam aspirat tersebut akan menghasilkan biofilm di dalam saluran napas
bawah dan di parenkim paru. Biofilm tersebut akan memudahkan kuman untuk
menginvasi parenkim paru lebih lanjut sampai kemudian terjadi reaksi peradangan di
parenkim paru.
Seperti kita ketahui bersama, saluran pernafasan normal memiliki berbagai
mekanisme pertahanan paru terhadap infeksi seperti glottis dan laring, refleks batuk,
sekresi trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas humoral serta system fagositik.
Pneumonia akan terjadi apabila pertahanan tersebut terganggu dan invasi
mikroorganisme virulen. Sebagian besar VAP disebabkan oleh aspirasi kuman patogen
yang berkolonisasi dipermukaan mukosa orofaring. Intubasi mempermudah masuknya
kuman dan menyebabkan kontaminasi sekitar ujung pipa endotrakeal pada penderita
dengan posisi terlentang. Kuman gram negatif dan Staphylococcus aureus merupakan
koloni yang sering ditemukan disaluran pernafasan atas saat perawatan lebih dari 5
hari.5,12
VAP dapat pula terjadi akibat makroaspirasi lambung. Bronkoskopi serat optik,
penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat mengkontaminasi
kuman patogen kedalam saluran pernafasan bawah. Penelitian terhadap 130 penderita
yang diintubasi, kuman gram negatif ditemukan dalam trakea pada 58% penderita yang
mendapatkan pengobatan antasida dan antagonis H2 serta 30% penderita yang
mendapatkan sukralfat. Enterobacteriaceae umumnya ditemukan disaluran orofaring
sedangkan Pseudomonas aeruginosa lebih sering ditemukan di trakea.5,13,14
Tabel 1. Etiologi VAP dengan bronkoskopi pada 24 penelitian (total 2490 kuman
patogen)15

Patogen Frekuensi (%)


Pseudomonas aeruginosa 24,4
Acinetobacter spp 7,9
Stenotrophomonas maltophilia 1,7
Enterobacteriaceae 14,1
Haemophilus spp 9,8
Staphylococcus aureus 20,4
Streptococcus spp 8,0
Streptococcus pneumoniae 4,1
Coagulase-negative staphylococci 1,4
Neisseria spp 2,6
Anaerob 0,9
Jamur 0,9
Lain-lain 3,4

Mekanisme Inang Terhadap Ventilator Mekanik


 Mekanisme Imun Inang
Pada keadaan normal, saluran pernapasan bagian atas lebih rentan
mengalami kolonisasi mikroorganisme dibandingkan dengan sistem respirasi
bagian bawah yang bersifat steril.8,16 Beberapa mekanisme pertahanan inang
terhadap infeksi meliputi barier anatomi saluran pernafasan, agen antimikroba
seperti saliva, refleks batuk, produksi mukus, dan mukosilier.17 Sistem imun
humoral dan seluler berperan secara esensial sebagai sistem pertahanan tubuh.18
 Dampak Ventilator Mekanik Pada Sistem Imun
Pasien pengguna VM akan mengalami penurunan fungsi pertahanan tubuh
inang.19 Intubasi dapat merusak barier pertahanan saluran pernafasan,
mengganggu refleks batuk, serta mencederai mukosilier dan epitel trakea.
Keadaan ini merupakan media yang baik bagi mikroorganisme orofaringeal
bermigrasi menuju sistem pernafasan bagian bawah.17,20
 Timbunan Sekret Di Endotrakea
Pasien sakit berat dengan penurunan kesadaran dan gangguan reflek batuk,
terdapat akumulasi sekret yang akan terkontaminasi mikroorganisme orofaringeal
terutama posterior. Sekret dapat terakumulasi sekitar 100–150 ml dalam 24 jam.20
Mikroaspirasi sekret orofaringeal tersebut merupakan faktor risiko mayor
HAP.18,20,21 Cuff ETT tidak dapat mencegah migrasi sekret yang terkontaminasi
menuju saluran pernafasan yang lebih dalam.11 Sebanyak 85% infeksi HAP yang
ditemukan disebabkan adanya sekret yang terkontaminasi mikroorganisme
subglotik. Kemudian, sekret tersebut akan bermigrasi ke saluran pernafasan
bagian bawah yang lebih dalam saat inspirasi.17,21
 Mikroorganisme Orofaringeal
Daerah orofaringeal merupakan lokasi terbanyak ditemukan
mikrooganisme. Centers for Disease Control and Prevention menyatakan bahwa
pada 63% pasien VAP di ICU, ditemukan kolonisasi oral.8,16,20 Selain itu, 75%
kasus VAP ditemukan adanya kolonisasi mikroorganisme di mulut yang serupa
pada organ paru-paru. P.aeruginosa merupakan bakteri yang terbanyak, disusul
kemudian dengan Enterobacteria dan S. aureus.8

2.3 Faktor Resiko


Banyak faktor yang berkontribusi terhadap pengembangan VAP. Faktor-faktor
yang terkait dengan respons tuan rumah terhadap ventilasi disebut faktor tuan rumah.
Kelompok lain, faktor intervensi, terjadi karena intervensi.
 Faktor Host
1. Trauma
Kasus VAP meliputi pasien yang terluka, yang memiliki risiko lebih
besar untuk VAP daripada pasien yang sakit medis. Rello et al.
melaporkan bahwa angka kematian secara keseluruhan adalah 19,8%
dalam kelompok ini.22 Demikian pula, Singh et al. melaporkan bahwa
VAP dini karena H. influenzae secara signifikan lebih umum pada pasien
trauma, dibandingkan dengan pasien bedah dan pasca operasi lainnya.
Alasannya adalah sebagian besar pasien yang sehat adalah pembawa H.
influenzae, dan pada pasien dengan penyakit kronis, organisme ini
digantikan oleh organisme resisten. Mikroba yang diisolasi dari VAP awal
dan lambat tampaknya sama di antara pasien yang terluka dan pasien yang
sakit medis.23

2. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


VAP adalah komplikasi umum pada pasien dengan sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS) dan cedera paru-paru. Hal ini diakibatkan karena
ventilasi mekanik yang berkepanjangan di antara pasien ini. Chastre et al.
melakukan penelitian tentang ARDS dan pengaruhnya terhadap VAP:
mereka menemukan bahwa VAP terjadi pada 55% pasien dengan ARDS,
dibandingkan dengan 28% pasien tanpa ARDS, karena ventilasi yang
berkepanjangan pada pasien ini dibandingkan dengan pasien non-ARDS.24
Dalam sebuah penelitian yang diarahkan pada pengujian diagnostik pasien
ARDS dengan dugaan VAP, telah ditemukan bahwa kultur kuantitatif
positif mengonfirmasi VAP pada 37-60% kasus.25 Staphylococci dan basil
gram negatif adalah isolat bakteri yang paling umum. Staphylococcus
aureus (MRSA) yang resisten terhadap metisilin secara signifikan lebih
umum pada pasien dengan ARDS.
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
COPD dianggap sebagai faktor risiko untuk terjadinya VAP. Ini
dikarenakan karena usia lanjut pasien, kolonisasi tinggi dari saluran udara
yang lebih rendah, penghambatan fungsi mukosiliar karena merokok,
ketidakmampuan untuk menghasilkan batuk yang efektif karena sumbatan
aliran udara, dan efek suportif kortikosteroid pada pertahanan inang paru-
paru. Ketika pasien dengan COPD berkembang dengan VAP, mereka
berisiko lebih tinggi untuk infeksi H. influenzae, serta spesies
Pseudomonas, MRSA, dan spesies Aspergillus.26
4. Kolonisasi Saluran Pernapasan Atas
Rongga mulut mengandung flora normal, yang dalam keadaan tertentu
dapat berkoloni di saluran pernapasan bagian atas. Tabung endotrakeal di
tempat menyebabkan trauma dan peradangan lokal. Ini menyebabkan
kolonisasi saluran pernapasan bagian atas dan aspirasi patogen di sekitar
manset.5 Manset volume tinggi dan rendah mengurangi laju hingga 20%
dibandingkan dengan penurunan 56% dengan volume rendah, manset
tekanan tinggi. Sekresi orofaringeal dapat dicegah dari aspirasi dengan
pengisapan kontinu atau intermiten.
5. Pemberian Makanan Secara Enteral
Pasien yang menggunakan ventilasi mekanik diberi makan enteral
dengan tabung nasogastrik. Pemberian makanan enteral meningkatkan
sekresi lambung dan pH, yang menyebabkan basil gram negatif
menginvasi lambung. Ini kemudian berakibat pada aspirasi isi lambung
dan pneumonia. Untuk menghindari kondisi ini, percobaan dilakukan
dengan membandingkan pemberian makanan enteral intermiten (IEF) dan
pemberian makanan enteral kontinu (CEF). Sebuah studi kontrol acak
dilakukan pada 60 pasien dengan CEF dan IEF menunjukkan bahwa
meskipun kelompok IEF menunjukkan penurunan pH lambung, sekitar
80% pasien menginvasi pada kedua kelompok.27 Metode lain untuk
memberi makan pasien yang sakit kritis adalah nutrisi parenteral, tetapi
kebanyakan dokter lebih memilih nutrisi enteral daripada nutrisi
parenteral. Karena nutrisi parenteral dikaitkan dengan infeksi jalur akses,
maka nutrisi ini mahal dan juga tidak seefektif nutrisi seperti formulasi
enteral.
6. Sinusitis
Sinusitis sangat berhubungan dengan intubasi nasotrakeal. Ada
banyak penelitian yang membandingkan risiko sinusitis nosokomial dan
risiko VAP terkait. VAP lebih umum pada pasien dengan sinusitis
infeksius, dengan 67 persen dari mereka mengembangkan infeksi paru-
paru setelah diagnosis sinusitis.28
7. Biofilm
Biofilm adalah matriks polisakarida kompleks yang membentuk
lapisan berlendir pada permukaan dan dalam lumen tabung endotrakeal.
Biofilm memainkan peran penting dalam patogenesis yang mendukung
kolonisasi tabung endotrakeal dan memfasilitasi inokulasi berulang pada
jalan napas bawah.29 Organisme resisten terhadap obat ketika mereka ada
dalam biofilm.
 Faktor Intervensi
1. Durasi Ventilasi Mekanik
VAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi setelah 48 jam
ventilasi mekanis. Definisi ini membantu membedakan VAP yang didapat
di rumah sakit dari infeksi yang didapat komunitas yang diinkubasi pada
saat intubasi tetapi tidak secara klinis terbukti sampai satu atau dua hari
kemudian. Durasi ventilasi mekanik merupakan faktor risiko penting untuk
pengembangan VAP.30 Rello et al. melaporkan serangkaian kasus dengan
VAP onset dini yang terjadi dalam 48 jam pertama intubasi.31 Sebagian
besar kelompok pasien dengan onset dini telah dirawat di rumah sakit
selama beberapa waktu sebelum intubasi, atau diintubasi kembali karena
upaya penyapihan yang gagal. Ini menjelaskan paparan substansial ke
lingkungan perawatan kritis sebelum intubasi. Durasi ventilasi mekanis
dikaitkan dengan beberapa patogen yang kebal obat. Faktor risiko untuk
mengembangkan pseudomonas dan MRSA dikaitkan dengan durasi
ventilasi. Dilaporkan bahwa infeksi ini merupakan 40 persen pada VAP
onset dini dan 60 persen onset lambat onset.32 Durasi ventilasi yang lebih
lama juga dikaitkan dengan pembentukan biofilm yang menyebabkan
peningkatan bakteri kolonisasi.
2. Sering Berganti Sirkuit Ventilator
Perubahan sirkuit ventilator yang sering dapat menyebabkan
pengembangan VAP. Di masa lalu, sirkuit ventilator tidak sekali pakai.
Pasien sakit kritis pada ventilator untuk periode waktu yang lama
ditempatkan pada sirkuit ventilator yang sama, yang mengarah pada
pengembangan VAP. Sekitar 30% kasus dalam setiap perubahan sirkuit 24
jam memiliki pertumbuhan kultur positif dibandingkan dengan 32 persen
kasus dalam setiap perubahan sirkuit 48 jam. Fink et al. melakukan
penelitian pada perpanjangan interval perubahan sirkuit ventilator setelah
dua hari. Mereka membandingkan perubahan sirkuit 48 jam dengan
perubahan sirkuit 30 hari, dengan penggunaan sirkuit yang lebih lama
dikaitkan dengan tingkat VAP yang lebih rendah.33 Penggunaan sirkuit
ventilator tunggal masih kontroversial. Durasi waktu maksimum agar suatu
sirkuit dapat digunakan dengan aman tidak diketahui.
3. Tipe Sirkuit
Ada berbagai jenis sirkuit yang digunakan dalam ventilator. Head and
Moist Exchange Humidifiers (HMEs) atau perangkat pasif yang dikenal
sebagai hidung buatan dapat mempertahankan panas dan kelembaban.
Sirkuit kawat yang dipanaskan memiliki keuntungan dari pengembangan
kondensat yang berkurang, dan karenanya mengurangi kebutuhan untuk
memutus sirkuit dan mengurangi penggunaan air. HMEs memiliki banyak
keunggulan dibandingkan pelembap lainnya: mereka mengurangi
kondensasi air dan dengan demikian mencegah kolonisasi bakteri;
keuntungan tambahan dari HMEs adalah bahwa sirkuit tidak perlu dipecah
baik untuk menghilangkan kondensat atau aspirasi sekresi endotrakeal.34
Kontraindikasi untuk penggunaan HMEs adalah bahwa ada risiko
penyumbatan jalan nafas dari kelembaban yang tidak cukup, peningkatan
ruang mati pada pasien yang menerima ventilasi pelindung paru-paru, dan
volume tidal kecil. Humidifier ini juga tidak mahal. Secara keseluruhan,
penggunaan HMEs mengurangi risiko VAP.
4. Ventilasi Tertutup VS Terbuka
Metode tradisional penyedotan adalah metode terbuka di mana kateter
steril diperkenalkan dan sekresi disedot. Ini terkait dengan hiperoksigenasi
dan pasien harus diputuskan dari ventilator. Selanjutnya, sistem hisap
tertutup diperkenalkan, yang memiliki keuntungan pemeliharaan oksigenasi,
sirkuit ventilator, dan sirkuit ekspirasi akhir positif. Sistem penghisapan
tertutup juga mengurangi kontaminasi dari perawat dan lingkungan; Namun,
mereka harus diubah setiap hari dan sangat mahal. Dalam penelitian
sebelumnya, kateter sirkuit tertutup menunjukkan tingkat kolonisasi kateter
yang lebih tinggi,35 yang terjadi karena salin yang digunakan untuk
membersihkan kateter telah dirusak ke jalan napas bersama dengan bakteri.
Sirkuit tertutup mengurangi kontaminasi lingkungan dibandingkan dengan
teknik terbuka.36 Sirkuit tertutup dapat digunakan dengan aman tetapi durasi
waktu maksimum agar sirkuit dapat digunakan dengan aman tidak
diketahui. Sirkuit tertutup telah secara signifikan mengurangi biaya
pengelolaan pasien berventilasi dibandingkan dengan pasien yang dirawat
menggunakan sistem hisap terbuka.37
5. Pipa Nasogastrik
Pemberian makan enteral dengan pipa nasogastrik memiliki pengaruh
langsung terhadap gastroesophageal reflux (GERD). Hal imi meningkatkan
angka kejadian GERD di antara kelompok pasien ini. Banyak penelitian
telah membandingkan tempat pemberian makanan enteral dan
keuntungannya. Sebuah uji coba terkontrol secara acak dilakukan pada
kejadian pneumonia yang berhubungan dengan ventilator dan keberhasilan
dalam pengiriman nutrisi dengan pemberian makan lambung versus usus
halus. Ditemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
pengembangan VAP antara kedua kelompok penelitian.38 Besarnya kondisi
tidak terpengaruh oleh tabung bor halus. Sebuah penelitian dilakukan pada
tingkat VAP pada pasien stroke atau cedera kepala yang menerima
gastrostomi dini. Ditemukan bahwa pasien dengan pipa nasogastrik
mengalami VAP lebih sering dibandingkan dengan pasien yang mengalami
gastrostomi.39
6. Posisi Tengkurap (Prone)
Posisi pasien yang menggunakan ventilasi mekanik adalah faktor
risiko untuk terjadinya VAP. Selain VAP, posisi pasien juga dapat
menyebabkan trauma pada paru-paru. Pada pasien dengan ventilasi mekanik
dalam posisi terlentang, bagian punggung paru mengalami atelektasis
kompresi dan bagian ventral di bawahnya dapat mengalami barotrauma.
Tetapi ketika pasien dalam posisi tengkurap, bagian punggung paru-paru
menerima lebih banyak udara.40 Ini adalah alasan penting untuk
memposisikan pasien yang memiliki ventilasi mekanis. Ini telah dibuktikan
oleh percobaan yang dilakukan pada tikus. Keuntungan dari posisi lateral
adalah meningkatkan pertukaran gas, dan mengurangi perkembangan
refluks gastroesofagus. Posisi lateral pasien dilakukan sedemikian rupa
sehingga ujung tabung endotrakeal berada di bawah tingkat trakea dan
mencegah infeksi paru-paru dengan mencegah aspirasi lambung.41
7. Trakeostomi
Trakeostomi biasanya dilakukan pada kegagalan napas akut, di mana
ada kebutuhan untuk ventilasi mekanik yang berkepanjangan, atau pada
mereka yang tidak dapat melindungi jalan napas karena cedera wajah atau
tingkat kesadaran yang berubah. Keuntungan dari trakeostomi dalam
mengurangi kejadian VAP masih kontroversial. Dalam sebuah penelitian
multisenter, tingkat pneumonia berkurang di antara pasien dengan
trakeostomi.42 Kolonisasi jalan napas sebelum prosedur tampaknya menjadi
faktor risiko utama untuk VAP setelah trakeostomi, terutama jika ada
demam dan jika diperlukan sedasi lanjutan setelah prosedur. Trakeostomi
juga merupakan faktor risiko independen untuk VAP dikarenakan
Stenotrophomonasmaltophilia.
8. Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasotrakeal diikuti oleh penyumbatan aliran dari tulang
hidung hidung dikaitkan dengan sinusitis nosokomial. Dalam sebuah
penelitian yang membandingkan intubasi orotrakeal dengan intubasi
nasotrakeal, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam
kejadian VAP, meskipun ada lebih banyak sinusitis pada kelompok
nasotrakeal.43
9. Agen Paralitik atau Sedasi
Agen paralitik atau obat yang berhubungan dengan sedasi
meningkatkan potensi terjadinya pneumonia. Agen paralitik digunakan
dalam prosedur terapeutik. Pada pasien yang menjalani bronkoskopi,
Midazolam digunakan untuk melemaskan otot-otot bronkial. Hal ini dapat
mengakibatkan relaksasi otot-otot yang berkepanjangan dan menyebabkan
aspirasi sekresi. Demikian pula, pasien yang menggunakan obat penenang
mengaspirasi sekresi dan menyebabkan terjadinya pneumonia. Faktor risiko
independen untuk VAP pasca intubasi yang sangat dini adalah penggunaan
resusitasi kardiopulmoner dan sedasi terus menerus.44
10. H2 Blockers
VAP telah meningkat secara signifikan di antara pasien yang
menerima profilaksis ulkus stres. Hubungan langsung antara pH lambung
alkali dan kolonisasi bakteri lambung telah dibuktikan dalam beberapa
penelitian.45 Sucralfate diduga memiliki efek perlindungan kecil terhadap
VAP karena obat-obatan profilaksis ulkus meningkatkan pH lambung
mungkin dengan sendirinya meningkatkan kejadian pneumonia. Ini juga
telah dibuktikan oleh uji coba dengan dan tanpa menggunakan H2 blocker,
yang menunjukkan peningkatan VAP di antara mereka dengan H2
blocker.45
11. Transportasi Keluar dari ICU
Dalam penelitian yang dilakukan oleh A'Court et al. ditemukan bahwa
sebagian besar pasien harus dipindahkan keluar dari ICU untuk melakukan
beberapa prosedur. Ditemukan bahwa 24% pasien yang diangkut keluar dari
ICU berpotensi mengalami VAP dibandingkan dengan 4% yang masih
berada pada ICU.46

2.4. Diagnosis
Diagnosis VAP ditentukan berdasarkan 3 komponen tanda infeksi sistemik yaitu
demam, takikardi, dan leukositosis disertai gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di
foto toraks, dan penemuan bakteri penyebab infeksi paru.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa pemeriksaan foto torak berulang
memiliki akurasi diagnostik lebih dari 68% yang umumnya disertai gambaran air
bronchogram.5,47 Torres dkk menyatakan bahwa diagnosis VAP meliputi tanda-tanda
infiltrat baru maupun progresif pada foto torak disertai gejala demam, leukositosis
maupun leukopeni dan sekret purulen.48
Gambaran foto torak disertai dua dari tiga kriteria gejala tersebut memberikan
sensitivitas 69% dan spesifisitas 75%. Faktor-faktor risiko yang berperan dalam strategi
pencegahan yang terhadap VAP diidentifikasi melalui berbagai penelitian disimpulkan
pada tabel 2.

Tabel 2. Faktor-faktor risiko berkaitan dengan VAP

VAP onset dini yang terjadi pada 4 hari pertama perawatan di UPI pada umumnya
memiliki prognosis lebih baik karena disebabkan oleh kuman yang masih sensitive
terhadap antibiotika.VAP onset lambat yang terjadi setelah 5 hari atau lebih perawatan
memiliki prognosis yang lebih buruk karena disebabkan oleh kuman pathogen yang
multidrug resisten (MDR).48
Berdasarkan derajat penyakit, faktor risiko dan onsetnya maka klasifikasi untuk
mengetahui kuman penyebab VAP, sebagai berikut:48
1. Penderita dengan faktor risiko biasa, derajat ringan-sedang dan onset kapan saja
selama perawatan atau derajat berat dengan onset dini.
2. Penderita dengan faktor risiko spesifik dan derajat ringan-sedang yang terjadi kapan
saja selama perawatan.
3. Penderita derajat berat dan onset dini dengan faktor risiko spesifik atau onset lambat.

Beberapa kuman ditenggarai sebagai penyebab VAP. Bakteri penyebab VAP pada
kelompok I adalah kuman gram negative (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella
spp, Proteus spp, Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus
pneumoniae dan Methicillin sensitive staphylococcus aureus (MSSA). Bakteri penyebab
kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella
pneumophilia dan Methicillin resistan Staphylococcus aureus (MRSA). Bakteri penyebab
kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter spp dan MRSA.48,49
Tabel 3. Etiologi VAP dengan bronkoskopi pada 24 penelitiam (total 2490 kuman
pathogen)

Tingginya mortalitas VAP membutuhkan terapi antibiotik yang tepat dan cepat
sehingga diperlukan informasi kuman penyebab VAP dan resistensinya dengan teknik
pengambilan sampel yang tepat. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan metode
noninvasif dan invasif. Metode noninvasif yang paling sering dilakukan adalah aspirasi
endotrakeal sedangkan protected specimen brush (PSB) dan bronchoalveolar lavage
(BAL) merupakan metode invasif. Standar diagnostik VAP adalah biakan kuantitatif
sampel PSB dan BAL.48,49
Perbandingan sensitivitas dan spesifisitas untuk pemeriksaan aspirasi endotrakeal,
PSB dan BAL dalam menentukan diagnosis VAP dapat dilihat di tabel 4. Disamping itu,
Gibot dkk menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa petanda soluble triggering receptor
expressed on myeloid cells-l (sTREM-l) melalui BAL ternyata memiliki sensitivitas 98%
dan spesifisitas 90%.14
Tabel 4. Perbandingan sensitivitas dan spesifisitas PSB dan BAL untuk diagnostik VAP

Spesifisitas diagnosis dapat ditingkatkan dengan menghitung clinical pulmonary


infection score (CPIS) yang mengkombinasikan data klinis, laboratorium, perbandingan
tekanan oksigen dengan fraksi oksigen (PaO2/FiO2) dan foto toraks (tabel 5). Terdapat
korelasi antara skor CPIS lebih dari 6 dengan diagnosis pneumonia berdasarkan biakan
kuantitatif BAL dengan atau tanpa bronkoskopi.49 Sensitivitas dan spesifisitas CPIS
dengan pemeriksaan histologik dan biakan kuantitatif postmortem sebagai pembanding
adalah 77% dan 42%.13,49
Tabel 5. Clinical pulmonary infection score (CPIS)49

Penilaian CPIS awal dilakukan dalam 48 jam sejak pertama kali pasien terintubasi
dan menggunakan ventilasi mekanik di UPI dan pemeriksaan mikrobiologi dilakukan jika
terdapat gejala klinis. Selanjutnya penilaian CPIS dilakukan berkala. Biakan kuman
diambil berdasarkan teknik protected specimen brush, bronchoalveolar lavage, ataupun
blind suctioning sekret bronkial. Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan
adanya pneumonia sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (Community Acquired
Pneumonia).
Bila dari awal pasien masuk UPI sudah menunjukkan gejala klinis pneumonia
maka diagnosis VAP disingkirkan, namun jika gejala klinis dan biakan kuman didapatkan
setelah 48 jam dengan ventilasi mekanik serta nilai total CPIS _6, maka diagnosis VAP
dapat ditegakkan, jika nilai total CPIS <6 maka diagnosis VAP disingkirkan.49,50
Penelitian awal yang dilakukan Povoa dkkmmenyimpulkan bahwa selain
parameter klinis sebagai evaluasi terhadap pengobatan antibiotik, penilaian C-reactive
protein (CRP) dapat mengidentifikasi perbaikan maupun perburukan klinis penderita.
Hasil pengukuran CRP lebih besar 0,6 kali dibandingkan nilai awal pada hari keempat
merupakan petanda perburukan dengan sensitivitas 92% dan spesifisitas 59%. Penurunan
konsentrasi CRP menunjukkan resolusi proses inflamasi berhubungan dengan perbaikan
klinis sedangkan peningkatan CRP yang menetap menunjukkan prognosis yang buruk.38

2.5. Tatalaksana
Kurang lebih 50% antibiotika yang diberikan di UPI adalah ditujukan untuk
infeksi saluran pernafasan. Luna dkk menyebutkan bahwa pemberian antibiotik adekuat
sejak awal dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita VAP pada saat data
mikrobiologik belum tersedia.20,23 Penelitian di Perancis, menunjukkan bahwa hasil
pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi endotrakeal dapat mengidentifikasi
pemberian antibiotika pada 95% penderita VAP sambil menunggu hasil biakan
BAL.24,27
Penelitian lainnya oleh Fowler dkk.28 memberikan hasil bahwa penderita yang
mendapatkan pengobatan penisilin antipseudomonas ditambah penghambat _ lactamase
serta aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah. Piperasilin-tazobaktam
merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan
fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida (25%).
Singh dkk.29 menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian besar kuman
Enterobacteriaceae, Haemophilus influenza dan Staphylococcus aureus. Pemberian
antibiotika dapat dihentikan setelah 3 hari pada penderita, dengan kecendrungan VAP
rendah (CPIS < 6).
Tabel 6. Dosis awal antibiotika intravena penderita VAP dewasa29

American Thoracic Society (ATS) menyimpulkan strategi diagnostik dan


penatalaksanaan pneumonia nosokomial dan VAP (gambar 1).10,12
Algoritma strategi diagnostik dan penatalaksanaan pneumonia nosokomial12

2.6. Pencegahan
Olson dkk.30 melaporkan bahwa silvercoated tube mengurangi pembentukan
biofilm sehingga dapat mengurangi kolonisasi kuman dengan angka risiko kecil, selain itu
juga memperlambat durasi kolonisasi internal dari 1,8 ± 0,4 menjadi 3,2 ± 0,8 hari.
Penderita di UPI yang mendapatkan pengaliran subglotik intermiten memiliki insiden
VAP lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol.31
Pengurangan penggunaan antibiotik di UPI juga dapat menurunkan insiden
pneumonia nosokomial akibat resistensi obat. Salah satu intervensi yang berkaitan
dengan penurunan insidensi VAP dan penggunaan antibiotik adalah ventilasi non invasif
pada penderita gagal nafas akut.30,31
Pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi 2 kategori yakni strategi farmakologi
yang bertujuan untuk menurunkan kolonisasi saluran cerna terhadap kuman patogen serta
strategi non farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi.32

Tabel 7. Intervensi pencegahan VAP32

Pencegahan non farmakologi lebih mudah dan lebih murah untuk dilaksanakan
bila dibandingkan pencegahan VAP secara farmakologi, yang meliputi menghindari
intubasi trakea, penggunaan ventilasi mekanik sesingkat mungkin, pembagian kerja
penyelia kesehatan, subglottic suctioning, intubasi non nasal,, menghindari manipulasi
yang tidak perlu pada sirkuit ventilator, pemakaian heat and moisture exchangers, posisi
setengah duduk, menghindari lambung penuh, pencegahan terbentuknya biofilm, dan
mencuci tangan dan pemakaian desinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.
Sedangkan pencegahan VAP secaram farmakologi meliputi dekolonisasi traktus
aerodigestif, pencegahan pembentukan biofilm kuman, dan menghindari penggunaan
profilaksis stress ulcer yang berlebihan. Meskipun pencegahan VAP secara non
farmakologi sudah menjadi prosedur baku di UPI namun angka kejadian VAP masih
cukup tinggi, sehingga masih perlu ditambahkan pencegahan VAP secara farmakologi.1-4
Pencegahan VAP secara farmakologi terbukti mampu menurunkan kejadian VAP
bila dibandingkan dengan pencegahan non farmakologi saja. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa dekolonisasi traktus aerodigestif bisa menurunkan kejadian VAP
secara bermakna.1,4,11,15 Dekolonisasi dapat dilakukan dengan cara selective
docontamination of the digestive (SDD) atau oropharyngeal decontamination (OD).
Semula dekolonisasi dilakukan dengan menggunakan antibiotika, baik topikal dan/atau
antibiotika sistemik. Namun ternyata pemakaian antibiotika menimbulkan suatu keadaan
resistensi bakteri terhadap antibiotika, sehingga saat ini pemakaian rutin tidak lagi
dianjurkan.12
Dekolonisasi juga dapat dilakukan dengan OD menggunakan antiseptik.2,15 Berdasarkan
penelitian Fourrier dkk.15 didapatkan data bahwa terdapat pengurangan jumlah kolonisasi
bakteri gigi sebesar 37% pada pasien yang mendapatkan OD memakai gel chlorhexidine
0,12%. Pengurangan jumlah kolonisasi ini potensial mengurangi insiden infeksi
nosokomial di UPI.19 Center for Disease Control and Prevention (CDC)
mempublikasikan bahwa pemakaian chlorhexidine 0,12% pada perioperatif bedah
jantung terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya VAP.33 Pada penelitian meta analisis
yang dilakukan oleh Chan dan kawan-kawan, dari 11 penelitian diperoleh data bahwa
chlorhexidine mampu mengurangi insiden VAP bukan hanya pada pasien pasca bedah
jantung tapi juga pada pasien yang dirawat di UPI.16 Chlorhexidine merupakan
antimikroba dengan spektrum luas yang sangat efektif untuk menghambat bateri Gram(-),
Gram (+), ragi, jamur, protozoa, algae dan virus. Chlorhexidine berbahan dasar gelatin
terhidrolisa, mempunyai muatan positif, setelah berinteraksi dengan permukaan sel akan
menghancurkan membran sel untuk masuk ke dalam sel. Kemudian chlorhexidine akan
mempresipitasi sitoplasma sehingga terjadi kematian sel.34,35 Chlorhexidine akan diserap
oleh lapisan hidroksiapatit permukaan gigi kemudian akan dilepaskan perlahan-lahan
dalam bentuk aktif sampai dengan 7-10 hari berikutnya. Pada penelitiannya, Greenfeld
dkk.36 menyatakan bahwa chlorhexidine mempunyai kemampuan untuk menghambat
pembentukan biofilm, suatu mekanisme kuman untuk menginvasi tubuh host.
Hal ini didukung oleh McGee DC dan Gould MK37 yang menyatakan bahwa
chlorhexidine lebih efektif mencegah pembentukan biofilm bila dibandingkan dengan
povidone iodine. Chlorhexidine kurang bersifat toksik terhadap jaringan bila
dibandingkan dengan povidone iodine dan cukup aman digunakan pada ulserasi aptosa,
hal yang sering dijumpai pada pasien sakit kritis.
BAB III
KESIMPULAN

Ventilator Associated Pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia


nosokomial yang terjadi 48 jam setelah pasien memiliki dukungan ventilasi mekanik baik
dari tabung endotrakeal atau tabung trakeostomi. VAP biasanya ditandai dengan 3 tanda
komponen infeksi sistemik: demam, takikardia, dan leukositosis diikuti oleh tanda
infiltrat baru atau skema yang memburuk pada rontgen dada dan temuan bakteriologis
penyebab infeksi paru-paru, kita dapat mendiagnosis VAP berdasarkan temuan sejumlah
kriteria: pemeriksaan histopatologis jaringan paru dari biopsi terbuka, pembentukan
rongga cepat infiltrat paru tanpa tanda-tanda tuberkulosis atau keganasan dan kultur
cairan pleura positif, di mana spesies yang ditemukan pada kultur darah dan saluran
napas adalah sama.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rello J, Diaz E. Pneumonia in the intensive care unit. Crit Care Med.
2003;31:2544–51.
2. Alsadat R, Al-Bardan H, Mazloum MN, Shamah AA, Eltayeb MF, Marie A,
Dakkak A, Naes O, Esber F, Betelmal I, Kherallah M. Use of ventilator associated
pneumonia bundle and statistical process control chart to decrease VAP rate in
Syria. Avicenna J Med. 2012;2:79–83.
3. Joseph NM, Sistla S, Dutta TK, Badhe AS, Parija SC. Ventilator-associated
pneumonia in a tertiary care hospital in India: incidence and risk factors. J Infect
Dev Ctries. 2009;3:771–7.
4. Choudhuri AH. Ventilator-Associated Pneumonia: When to hold the breath? Int J
Crit Illn Inj Sci. 2013;3:169–74.
5. Chastre J, Fagon JY. Ventilator-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care
Med. 2002;165: 867–903.
6. Singh N, Falestiny MN, Rogers P, Reed MJ, Pularski J, Norris R, Yu VL.
Pulmonary infiltrates in the surgical ICU: prospective assessment of predictors of
etiology and mortality. Chest. 1998;114:1129–36.
7. Bonten MJ, Gaillard CA, van der Geest S, van Tiel FH, Beysens AJ, Smeets HG,
Stobberingh EE. The role of intragastric acidity and stress ulcer prophylaxis on
colonization and infection in mechanically ventilated ICU patients. A stratified,
randomized, double-blind study of sucralfate versus antacids. Am J Respir Crit
Care Med 1995;152:1825–34.
8. Kalil AC, Metersky ML, Klompas M, Muscedere J, Sweeney DA, Palmer LB, et al.
Management of adults with hospital-acquired and ventilator-associated pneumonia:
2016 clinical practice guidelines by the infectious diseases society of America and the
American Thoracic Society. Oxford University Press for the Infectious Diseases
Society of America 2016:1-51.
9. Russel CD, Koch O, Laurenson IF, O’Shea DT, Sutherland R, Mackintosh CL.
Diagnosis and features of hospital-acquired pneumonia: A retrospective cohort
study. Journal of Hospital Infection .2016;93:273-79.
10. Rotstein C, Evans G, Born A, Grossman R, Light RB, Magder S, et al. Clinical
practice guidelines for hospital-acquired pneumonia and ventilator-associated
pneumonia in adults. Can J Infect Dis Med Microbiol 2008 Jan;19(1):19-53.
11. Kollef M. Prevention of hospital-associated pneumonia and ventilator associated
pneumonia. Crit Care Med. 2004;32:1396- 405.
12. Michel F, Franceschini B, Berger P, Arnal JM, Gainier M, Sainty JM, et al. Early
antibiotic treatment for BAL-confirmed ventilator-associated pneumonia. Chest.
2005;127:589-97.
13. Chan EY, Ruest A, Meade MO, Cook DJ. Oral decontamination for prevention of
pneumonia in mechanically ventilated adults: systematic review and meta
analysis. British Medical Journal .2007;334:889-900.
14. Singh N, Yu VL. Rational empiric antibiotic prescription in the ICU. Chest.
2000;117:1496-9.
15. Sirvent JM, Vidaur L, Gonzalez S, Castro P, Batlle J, Castro A, et al. Microscopic
examination of intracellular organisms in protected bronchoalveolar mini-lavage
fluid for the diagnosis of ventilator-associated pneumonia. Chest 2003;123:518-
23.
16. Mohanty D, Routray SS, Mishra D, Das A. Ventilator associated pneumonia in a
ICU of a tertiary care hospital in India . IJCMR .2016;3(4):1046-49.
17. Komiya K, Ishii H, Kadota JC. Healthcare-associated pneumonia and aspiration
pneumonia. Aging and Disease .2015 Feb;6(1):27-38.
18. Saragih RJ, Amin Z, Sedono R, Pitoyo CW, Rumende CM. Prediktor mortalitas
pasien dengan ventilator-associated pneumonia di RS Cipto Mangunkusumo. eJKI
.2014;2(2):77-84.
19. Keininger AN, Lipset PA. Hospital-acquired pneumonia: pathophysiology,
diagnosis, and treatment. Surg Clin N Am 2009;89: 439–61.
20. Adhista B, Rumende CM, Pitoyo CW. Faktor-faktor prediktor mortalitas pada
pasien dengan ventilator mekanik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Ina J Chest Crit and Emerg Med 2014 Jul;1(3):99-104.
21. Sopena N, Heras E, Casas I, Bechini J, Guasch I, Pedro-Botet ML, et al. Risk
factors for hospital-acquired pneumonia outside the intensive care unit: A case-
control study. American Journal of Infection Control, Elsevier 2014;42:38-42.
22. Rello J, Ausina V, Castella J, Net A, Prats G. Nosocomial respiratory tract
infections in multiple trauma patients. Influence of level of consciousness with
implications for therapy. Chest 1992; 102:525–9.
23. Ewig S, Torres A, El-Ebiary M, Fabregas N, Hernandez C, Gonzalez J, Nicolas
JM, Soto L. Bacterial colonization patterns in mechanically ventilated patients
with traumatic and medical head injury. Incidence, risk factors, and association
with ventilator-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 1999;159:188–
98.
24. Chastre J, Trouillet JL, Vuagnat A, Joly-Guillou ML, Clavier H, Dombret MC,
Gibert C. Nosocomial pneumonia in patients with acute respiratory distress
syndrome. Am J Respir Crit Care Med 1998;157:1165–72.
25. Markowicz P, Wolff M, Djedaïni K, Cohen Y, Chastre J, Delclaux C, Merrer J,
Herman B, Veber B, Fontaine A, Dreyfuss D. Multicenter prospective study of
ventilator-associated pneumonia during acute respiratory distress syndrome.
Incidence, prognosis, and risk factors. ARDS Study Group. Am J Respir Crit Care
Med .2000;161:1942–8.
26. Rello J, Torres A, Ricart M, Valles J, Gonzalez J, Artigas A, Rodriguez-Roisin R.
Ventilator-associated pneumonia by Staphylococcus aureus. Comparison of
methicillin-resistant and methicillin-sensitive episodes. Am J Respir Crit Care
Med 1994;150:1545–9.

27. Bonten MJ, Gaillard CA, van der Geest S, van Tiel FH, Beysens AJ, Smeets HG,
Stobberingh EE. The role of intragastric acidity and stress ulcer prophylaxis on
colonization and infection in mechanically ventilated ICU patients. A stratified,
randomized, double-blind study of sucralfate versus antacids. Am J Respir Crit
Care Med .1995;152:1825–34.
28. Rouby JJ, Laurent P, Gosnach M, Cambau E, Lamas G, Zouaoui A, Leguillou JL,
Bodin L, Khac TD, Marsault C, et al. Risk factors and clinical relevance of
nosocomial maxillary sinusitis in the critically ill. Am J Respir Crit Care Med
1994;150:776–83.
29. Sottile FD, Marrie TJ, Prough DS, Hobgood CD, Gower DJ, Webb LX, Costerton
JW, Gristina AG. Nosocomial pulmonary infection: possible etiologic
significance of bacterial adhesion to endotracheal tubes. Crit Care Med
1986;14:265–70.
30. Trouillet JL, Chastre J, Vuagnat A, Joly-Guillou ML, Combaux D, Dombret MC,
Gibert C. Ventilator-associated pneumonia caused by potentially drug-resistant
bacteria. Am J Respir Crit Care Med 1998;157:531–9.
31. Rello J, Diaz E, Roque M, Valles J. Risk factors for developing pneumonia within
48 hours of intubation. Am J Respir Crit Care Med 1999;159:1742–6.
32. Ibrahim EH, Ward S, Sherman G, Kollef MH. A comparative analysis of patients
with early-onset vs late-onset nosocomial pneumonia in the ICU setting. Chest
2000;117:1434–42.
33. Fink JB, Krause SA, Barrett L, Schaaff D, Alex CG. Extending ventilator circuit
change interval beyond 2 days reduces the likelihood of ventilator-associated
pneumonia. Chest 1998;113:405–11.
34. Prat G, Renault A, Tonnelier JM, Goetghebeur D, Oger E, Boles JM, L'Her E.
Influence of the humidification device during acute respiratory distress syndrome.
Intensive Care Med 2003;29:2211–5.
35. Freytag CC, Thies FL, Konig W, Welte T. Prolonged application of closed in-line
suction catheters increases microbial colonization of the lower respiratory tract
and bacterial growth on catheter surface. Infection .2003;31:31–7.
36. Cobley M, Atkins M, Jones PL. Environmental contamination during tracheal
suction. A comparison of disposable conventional catheters with a multiple-use
closed system device. Anaesthesia 1991;46:957–61.
37. Darvas JA, Hawkins LG. The closed tracheal suction catheter: 24 hour or 48 hour
change? Aust Crit Care .2003;16:86–92.
38. Kearns PJ, Chin D, Mueller L, Wallace K, Jensen WA, Kirsch CM. The incidence
of ventilator-associated pneumonia and success in nutrient delivery with gastric
versus small intestinal feeding: a randomized clinical trial. Crit Care Med
2000;28:1742–6.
39. Kostadima E, Kaditis AG, Alexopoulos EI, Zakynthinos E, Sfyras D. Early
gastrostomy reduces the rate of ventilator-associated pneumonia in stroke or head
injury patients. Eur Respir J 2005;26:106–11.
40. Pelosi P, Brazzi L, Gattinoni L. Prone position in acute respiratory distress
syndrome. Eur Respir J 2002;20: 1017–28.
41. Panigada M, Berra L, Greco G, Stylianou M, Kolobow T. Bacterial colonization
of the respiratory tract following tracheal intubation-effect of gravity: an
experimental study. Crit Care Med 2003;31:729–37.
42. Sugerman HJ, Wolfe L, Pasquale MD, Rogers FB, O'Malley KF, Knudson M,
DiNardo L, Gordon M, Schaffer S. Multicenter, randomized, prospective trial of
early tracheostomy. J Trauma 1997;43:741–7.
43. Holzapfel L, Chevret S, Madinier G, Ohen F, Demingeon G, Coupry A, Chaudet
M. Influence of long-term oro- or nasotracheal intubation on nosocomial
maxillary sinusitis and pneumonia: results of a prospective, randomized, clinical
trial. Crit Care Med 1993;21:1132–8.
44. Park DR. The microbiology of ventilator-associated pneumonia. Respir Care
2005;50:742–63.
45. Atherton ST, White DJ. Stomach as source of bacteria colonising respiratory tract
during artificial ventilation. Lancet 1978;2:968–9.
46. A'Court CH, Garrard CS, Crook D, Bowler I, Conlon C, Peto T, Anderson E.
Microbiological lung surveillance in mechanically ventilated patients, using non-
directed bronchial lavage and quantitative culture. Q J Med 1993;86:635–48.
47. Fartoukh M, Maitre B, Honore S, Cerf C, Zahar JR, Buisson CB. Diagnosing
pneumonia during mechanical ventilation. Am J Respir Crit Care Med
2003;168:173-9.
48. Torres A, Ewig S. Diagnosing ventilator associated pneumonia. N Engl J Med.
2004;350:433-5.
49. Luna CM, Blanzaco D, Niederman MS, Matarucco W, Baredes NC, Desemery P,
et al. Resolution of ventilator-associated pneumonia: prospective evaluation of the
clinical pulmonary infection score as an early clinical predictor of outcome. Crit
Care Med 2003;31:676-82.

Anda mungkin juga menyukai