html
https://www.academia.edu/20378617/Asuhan_Keperawatan_STROKE_HEMORAGIK
https://www.slideshare.net/AuliaAmani/laporan-pbl-1-modul-hemiparesis
Bu Salamah tidar sadar
Bu Salamah, 60 tahun, dibawa ke IGD RSUZA Banda Aceh dalam keadaan tidak sadar.
+ 4 jam, sebelum masuk rumah sakit, saat pasien sedang menanam bunga di halaman rumahnya
tiba-tiba mengalami kelemahan tubuh sebelah kanan dan afasia. Lengan dan tungkai kanannya
lemah tidak bisa diangkat tetapi masih bisa digeser. Mulutnya tampak miring ke kiri, tampak
gelisah disertai muntah satu kali, tidak diketahui apakah ada keluhan nyeri kepala. 2 jam
kemudian bu Salamah sulit dibangunkan dan terdengar suara mengorok. TD: 260/130 mmHg.
GCS= E2M4V2, Ø pupil OD: 2 mm, OS: 4 mm (anisokor), facial paresis, hemiparesis dekstra
dan refleks patologis positif di sebelah kanan. Ada riwayat hipertensi tetapi tidak ada DM atau
sakit jantung.
6. Hemisfer kanan
Kelemahan atau kelumpuhan tubuh sebelah kanan disebabkan karena adanya kerusakan
pada sisi sebelah kiri otak. Penderita biasanya mempunyai kekurangan dalam
kemampuan komunikasi verbal. Persepsi dan memori visual motornya sangat baik,
sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus dengan cermat diperhatikan tahap demi
tahap secara visual. Gunakan lebih banyak bahasa tubuh saat berkomunikasi
https://www.slideshare.net/AuliaAmani/laporan-pbl-1-modul-hemiparesis
5. Tekanan Darah Diastolik x 0,1 Siriraj stroke score dapat dihitung menggunakan rumus
berikut ;
(2.5 x Tingkat kesadaran) + (2 x Muntah) + (2 x Nyeri kepala) + ( 0.1 x Tekanan darah
diastolik ) – ( 3 x Atheroma markers ) – 12
Stroke
a. Defines
Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah manifestasi klinik dari
gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat dan
lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian tanpa ditemukannya penyakit selain
daripada gangguan vaskular.
Berdasarkan kelainan patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stroke
hemoragik dan stroke non hemoragik (stroke iskemik). Stroke hemoragik diakibatkan oleh
pecahnya pembuluh darah di otak, sedangkan stroke non hemoragik disebabkan oleh
oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen
dan glukosa ke otak
b. Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak
28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita kelumpuhan sebagian
atau total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke
dan kecacatan.Jumlah penderita stroke di Indonesia terus meningkat. Pada Riskesdas
(Riset Kesehatan Dasar) jumlah penderita stroke di tahun 2007 usia 45‐54 sekitar 8 persen, sedan
gkan pada tahun 2013 mencapai 10 persen. Jumlah penderita stroke usia 55‐64 tahun
pada Riskesdas 2007 sebanyak 15 persen, sedangkan pada Riskesdas 2013 mencapai 24
persen.
e. Komplikasi
- Pneumonia. Pasien stroke tidak bisa batuk dan mengalami gangguan menelan dengan
sempurna, hal ini menyebabkan cairan terkumpul di paru paru dan selanjutnya bisa
menimbulkan pneumonia
- Atrofi dan kekakuan sendi. Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan immobilisasi.
f. Pemeriksaan Penunjang
- Dalam mendiagnosis stroke, CT‐scan dan MRI merupakan pemeriksaan yang penting
untuk membedakan stroke non hemoragik, perdarahan intraserebral, perdarahan
subarakhnoid, malformasi arteriovenosus dan trombosis sinus/vena.
- Untuk mendeteksi perdarahan CT‐scan lebih banyak dipilih, sedangkan MRI dapat
mendeteksi lesi iskemik. Pada awal dari pasien ini perlu dilakukannya pemeriksaan
CT‐scan untuk memastikan penyebab dari kelumpuhan
lengan dan tungkai kanan, apakah disebabkan karena stroke hemoragik atau stroke non
hemoragik agar penatalaksanaannya pun tidak keliru.
g. Penatalaksanaan
- Tujuan penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas dan
menurunkan angka kematian serta menurunnya angka kecacatan. Dengan penanganan
yang benar pada jam‐jam pertama, angka kecacatan stroke akan berkurang setidaknya 30%
. Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan adalah dengan stabilisasi jalan napas
dan pernapasan. Pemberian oksigen dapat dilakukan pada pasien dengan saturasi
oksigen <95%.
- Keseimbangan cairan diperhitungkan dengan mengukur cairan yang dikeluarkan dari tubuh
. Cairan yang dapat diberikan berupa kristaloid maupun koloid secara intravena. Pada
umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/KgBB per hari.
- Pemasangan kateter diperlukan untuk mengukur banyaknya urine yang diproduksi
dalam 24 jam. Pemasangan pipa nasogastrik diperlukan pada pasien ini untuk
pemberian nutrisi, karena adanya penurunan kesadaran.
- Diberikan juga manitol yang bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Manitol
diberikan dengan dosis 0,25‐0,50 gr/kg BB selama lebih dari 20 menit. Pemberian
manitol dapat diulangi setiap 4‐6 jam.
h. Pencegahan
- Pencegahan Primer . Merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi faktor resiko yang
sudah ada dalam individu tetapi belum menderita stroke. Terdapat dua pendekatan utama pada
pencegahan stroke:
(1) strategi kesehatan masyarakat atau populasi dan
(2) strategi resiko tinggi. Strategi populasi didasarkan pada peraturan dan program pendidikan
yang bertujuan mengurangi perilaku beresiko pada seluruh populasi. Contoh dari
pencegahan primer yaitu program Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM)
yang dibentuk oleh Kemenkes RI.
- Pencegahan Sekunder . Merupakan upaya tingkat dua yang dilakukan setelah seseorang
individu mengalami stroke, bentuk upaya yang dilakukan dalam pencegahan sekunder
adalah diagnosa dini dan memperbaiki kondisi penderita stroke agar tidak memburuk
melalui pengobatan yang tepat. Pencegahan sekunder pertama yaitu melalui diagnosa,
menurut Batticaca (2008) diagnosa stroke adalah sebagai
berikut:
i. Pemeriksaan klinis (Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik)
a. Riwayat penyakit sekarang (kapan timbulnya, lamanya serangan,
gejala yang timbul).
b. Riwayat penyakit dahulu (hipertensi, jantung, DM).
c. Aktivitas (sulit beraktivitas, kehilangan sensasi penglihatan, gangguan tonus otot,
gangguan tingkat kesadaran).
d. Sirkulasi (hipertensi, jantung, disritmia, gagal ginjal kronis).
e. Makanan/cairan (nafsu makan berkurang, mual, muntah pada fase
akut, hilang sensasi pengecapan pada lidah, obesitas sebagai faktor resiko).
b. Terapi okupasional
Penilaian efek kecacatan pada aktivitas pasien sehari-hari adalah wilayah terapi
okupasional (occupational theraphy,OT). Digunakan daftar tilik formal-Activities of
Daily Living dengan perhatian khusus pada aktivitas makan, perawatan diri dan mandi,
fungsi sfingter dan kemandirian pergi ke toilet, berpakaian dan mobilitas (termasuk
berpindah dari kursi ke tempat tidur, berjalan atau menggunakan kusri roda, dan
kemampuan untuk berjalan di tangga). Penilaian awal dilakukan di rumah sakit namun
dibutuhkan pula kunjungan rumah selanjutnya. OT harus memberikan informasi
mengenai modifikasi struktural dan alat bantu, misalnya tangga dan lift. Tuntunan
mengenai jenis kursi roda dan penyesuaian alat juga disediakan oleh OT.