STROKE
Disusun oleh :
Sinta Sari
2. Manifestasi Klinis
- TIA (transient ischemic attack) : Serangan akut deficit neurologis fokal yang
berlangsung singkat, kurang dari 24 jam dan sembuh tanpa gejala sisa
- RIND (residual ischemic neurological deficit) : Seperti TIA tetapi berlangsung
lebih dari 24 jam dan sembuh sempurna dalam waktu kurang dari 3 minggu
- Completed stroke : Stroke dengan deficit neurologis berat dan menetap.
Dalamwaktu 6 jam dengan penyembuhan tidak sempurna dalam waktu lebih
dari 3 minggu
- Progressive stroke: Stroke dengan deficit neurologis fokal yang terjadi
bertahap dan mencapai puncaknya dalm waktu 24 – 48 jam atau 96 jam
dengan penyembuhan tidak sempurna dalam waktu 3 minggu
3. Etiologi
a. Penyebab: thrombosis, emboli, hipoperfusi global, perdarahan sub arachnoid,
intraserebral
b. Faktor Risiko: usia, jenis kelamin, ras, hipertensi, penyakit jantungm DM,
perokok, obesitas
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi : Darah lengkap, GDA dan kolesterol
b. EKG : Untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya iskemik miokard,
aritmia, atrial fibrilasi
c. CT Scan / MRI : Untuk menilai apakah stroke disebabkan oleh infark atau
perdarahan dan memastikan apakah lesi disebabkan oleh tumor atau abses
dengan gejala mirip stroke
d. Cerebral Angiografi : mengidentifikasi lesi carotid ekstrakranial yang
dapat dioperasi
e. USG : mendeteksi adanya stenosis atau oklusi pada arteri karotis interna
f. ECHO : Menilai ada/tidaknnya kelainan jantung
5. Pemeriksaan Neurologi
GCS
Glasgow coma Scale sudah digunakan secara luas untuk menentukan tingkat
kesadaran penderita.Glasgow Coma Scale meliputi :
a. Eye / Mata
Spontan membuka mata 4
Membuka mata dengan perintah(suara) 3
Membuka mata dengan rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsang apapun 1
b. Verbal
Berorientasi baik 5
Disorientasi 4
Bisa membentuk kata tapi tidak bisa membentuk kalimat 3
Bisa mengeluarkan suara yang tidak memiliki arti 2
Tidak bersuara 1
c. Motorik
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir rangsang nyeri 5
Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak (withdrawal) 4
Menjauhi rangsang nyeri 3
Ekstensi spontan 2
Tak ada gerakan 1
Kriteria : kesadaran baik/normal : GCS 15 Koma : GCS < 7
Tingkat Kesadaran Kualitatif :
a. Compos mentis
Yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun terhadap
lingkungannya. Klien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
b. Apatis
Keadaan di mana klien tampak segan dan acuk tak acuh terhadap
lingkungannya.
c. Delirium
Yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur
bangun yang terganggu. Klien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi dan
meronta-ronta.
d. Somnolen (letergia, obtundasi, hipersomnia)
Yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang, tetapi bila
rangsang berhenti, klien akan tertidur kembali.
e. Sopor (stupor)
Keadaan mengantuk yang dalam, klien masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi klien tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik.
f. Semi-koma (koma ringan)
Yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap
rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks
(kornea, pupil) masih baik. Respons terhadap rangsang nyeri tidak adekuat.
g. Koma
Yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan
dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
2. Babinsky sign
Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks.
Reaksi:Dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar
jari-jari Lainnya
Refleks Grup Babinsky :
Chaddock’s sign
Cara : Pemeriksa menggores dibawah dan sekitar maleolus eksterna ke
arah lateraldengan palu refleks ujung tumpul. Reaksi : sama dengan
babinski sign
Gordon’s sign
Cara : Pemeriksa menekan oto-otot betis dengan kuat. Reaksi : sama
dengan babinskisign
Schaeffer’s sign
Cara : Pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat. Reaksi : sama
denganbabinski’s sign
Oppenheim’s sign
Cara : Pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan
telunjuk padapermukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal
Reaksi : sama dengan babinki’s sign
2. Patofisiologi
a. Stroke Iskemik
Iskemik pada otak mengakibatkan perubahan di sel otak secara
bertahap. Awalnya diawali dengan penurunan aliran darah yang disebabkan
aterosklerosis atau trombus, sehingga sel otak mengalami hipoksia. Hal ini
menyebabkan kegagalan metabolism dan penruunan energy yang dihasilkan
sel neuron tersebut. Di tahap selanjutnya ternjadi ketidakseimbangan suplay
yang memicu respon inflamasi dan kematian sel.
b. Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisme
akibat hipertensi maligna. Paling sering terjadi di daerah subkortikal,
serebelum, dan batang otak. Peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba
menyebakan rupturnya arteri kecil. Perdarahan di arteri kecil ini menimbulkan
efek penekanan pada arteriola dan pembuluh kapiler, sehingga pembuluh ini
juga pecah. Elemen vasoaktif yang keluar akibat kondisi iskemi dan
penurunan tekanan perfusi menyebabkan daerah yang terkena darah
mengalami kenaikan tekanan. Perdarahan subarachnoid terjadi akibat
pembuluh darah disekitar permukaan otak yang pecah, sehingga terjadi
ekstravasasi darah ke subarachnoid.
3. Diagnosa Keperawatan
- Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan hemiparesis,
kehilangan keseimbangan dan koordinasi, spastisitas, dan cedera otak
- Nyeri akut (nyeri bahu) berhubungan dengan hemiplegia dan tidak
digunakan
- Defisit perawatan diri (kebersihan, buang air, perawatan, dan makan)
terkait dengan gejala sisa stroke
- Persepsi sensorik terganggu terkait dengan resepsi sensorik yang diubah,
transmisi, dan / atau integrasi
- Gangguan menelan
- Inkontinensia berhubungan dengan kandung kemih yang lembek,
ketidakstabilan detrusor, kebingungan, atau kesulitan dalam
berkomunikasi
- Proses berpikir yang terganggu terkait dengan kerusakan otak,
kebingungan, atau ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi
- Gangguan komunikasi verbal terkait kerusakan otak
- Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan hemiparesis /
hemiplegia, atau penurunan mobilitas
- Proses keluarga yang terganggu terkait dengan penyakit bencana dan
beban pengasuhan Disfungsi seksual terkait dengan defisit neurologis atau
ketakutan akan kegagalan
4. Intervensi Keperawatan
No Dx Intervensi
1. Gangguan DUKUNGAN AMBULASI (1.06171)
mobilisasi fisik b.d 1. Observasi
hemiparesis, o Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
kehilangan lainnya
keseimbangan dan o Identifikasi toleransi fisik melakukan
koordinasi, ambulasi
spastisitas, dan o Monitor frekuensi jantung dan tekanan
cedera otak darah sebelum memulai ambulasi
o Monitor kondisi umum selama melakukan
ambulasi
2. Terapeutik
o Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat
bantu (mis. tongkat, kruk)
o Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika
perlu
o Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan ambulasi
3. Edukasi
o Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
o Anjurkan melakukan ambulasi dini
o Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. berjalan dari tempat tidur
ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke
kamar mandi, berjalan sesuai toleransi)
2. Deficit perawatan Dukungan Perawatan Diri
diri b.d kelemahan Observasi:
o Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan
diri sesuai usia
o Monitor tingkat kemandirian
o Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan
diri, berpakaian, berhias, dan makan
Terapeutik:
o Sediakan lingkungan yang teraupetik
o Siapkan keperluan pribadi
o Dampingi dalam melakukan perawatan diri
sampai mandiri
o Fasilitasi untuk menerima keadaan
ketergantungan
o Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Edukasi
o Anjurkan melakukan perawatan diri secara
konsisten sesuai kemampuan
DAFTAR PUSTAKA
Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia. 2016. Rencana Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah: Diagnosis NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC Hasil
NOC. Jakarta: EGC.
Esti, Amira, Trimona Rita. 2020. Keperawatan Keluarga Askep Stroke. Lubuk
Begalung, Padang: Pustaka Galeri Mandiri.
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Rumahorbo, Monica, Cicilia Erlia. 2014. 60 Hal Tentang Perawatan Stroke Di
Rumah. Jakarta: PK. ST. Carolus, Tim Keperawatan.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
Lampiran
A. Trombus dan Embolus
Bekuan darah akan melekat pada dinding pembuluh darah dan disebut dengan
trombus. Trombus terdiri dari fibrin dan sel darah dan dapat terjadi di sistem
pembuluh darah arteri maupun vena. Trombi arteri terbentuk di bawah kondisi aliran
darah yang cepat dan sebagian besar terdiri dari agregasi trombosit dan benang-
benang fibrin. Trombi vena terbentuk di kondisi aliran darah yang lambat dan
sebagian besar terdiri dari sel darah merah dengan benang fibrin ukuran besar dan
sedikit trombosit. berhenti pada pembuluh darah kecil, menghambat aliran darah dan
menimbulkan iskemia.
Trombus akan menyebabkan penurunan hingga obstruksi aliran darah ke jaringan atau
organ seperti jantung, otak, paru yang kemudian menurunkan suplai nutrisi untuk
organ tersebut. Trombus punya potensi lepas dari dinding pembuluh darah dan ikut
aliran darah di sirkulasi sehingga disebut emboli. Emboli bisa berhenti pada
pembuluh darah kecil, menghambat aliran darah dan menimbulkan iskemia.
Terapi yang dilakukan adalah memindahkan atau melarutkan bekuan darah. Terapi
antikoagulan efektif dalam mencegah trombosis vena hal ini tidak dapat diaplikasikan
pada trombonis arterial. Heparin intravena merupakan antikoagulan utama yang
digunakan untuk terapi tromboemboli.
B. Afasia
Afasia adalah gangguan komunikasi yang disebabkan oleh kerusakan pada bagian
otak yang mengandung Bahasa.
1. Afasia Global
Afasia Global adalah afasia yang melibatkan semua aspek bahasa dan
mengganggu komunikasi lisan. Penderita tidak dapat berbicara secara spontan
atau melakukannya dengan susah payah, menghasilkan tidak lebih dari
fragmen perkataan. Pemahaman ucapan biasanya tidak ada; atau hanya bisa
mengenali beberapa kata, termasuk nama mereka sendiri dan kemampuan
untuk mengulang prkataan yang sama adalah nyata terganggu. Penderita
mengalami kesulitan menamakan benda, membaca, menulis, dan menyalin
kata kata. Kerusakan terletak di seluruh arteri serebri, area Wernicke dan
Broca.
2. Afasia Sensori
Ditandai dengan penurunan pemahaman yang kronik. Bicara tetap lancar dan
normal mondar-mandir, tetapi kata kata penderita tidak bisa dimengerti (kata
salad, jargon aphasia). Penamaan, pengulangan kata-kata yang di dengar,
membaca, dan menulis juga nyata terganggu. Area lesi ialah Area Wernicke
3. Afasia Motorik
Ditandai dengan tidak adanya gangguan spontan berbicara, sedangkan
pemahaman hanya sedikit terganggu. Pasien dapat berbicara dengan susah
payah, memproduksi kata kata yang goyah dan tidak lancar. Penamaan,
pengulangan, membaca dengan suara keras, dan menulis juga terganggu.
Daerah lesi adalah di area Broca.
C. Kraniotomi
Kraniotomi merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan pada manajemen
neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan bedah tersebut
bertujuan untuk membuka tengkorak sehingga dapat mengetahui dan memperbaiki
kerusakan yang ada di dalam otak. Penelitian terakhir membuktikan bahwa nyeri
merupakan masalah yang biasa timbul setelah tindakan kraniotomi.
Indikasi dilakukan kraniotomi adalah pasien dengan trauma otak yang kehilangan
darah sekitar 10 cc, epilepsy, tumor otak dan penyakit Parkinson’s. (Simi Paknikar,
2016)