Anda di halaman 1dari 13

Bayi Berusia 3 hari Mengalami Sumbing pada Kedua Sisi

Bibir Atas, Rahang dan Langit-langit


Apriandy Pariury
102011299/C7
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Jakarta Barat 11510
ria_pariury@rocketmail.com

Pendahuluan

Pada bayi baru lahir yang mengalami celah bibir dan lagit-langit akan menghadapi
kesulitan dalam menyusu, yaitu tidak efisiennya penghisapan saat menyusu dan kemungkinan
susu masuk ke saluran napas sehingga menyebabkan bayi tersedak serta air susu keluar
melalui hidung. Waktu yang dibutuhkan untuk menyusu lebih lama sehingga perut bayi
menjadi kembung, tidak nyaman serta kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi. Keberadaan celah
membuat kemampuan bayi untuk menutup rongga mulut dan menciptakan isapan tidak
memadai sehingga bayi tidak mampu menarik cairan ke dalam mulut secara efisien.
Pembentukan hisapan intra oral pada bayi celah bibir dan langit-langit akan terganggu oleh
ketidakmampuan untuk membentuk penutupan anterior yang memadai dengan menggunakan
bibir dan ketidakmampuan untuk menutup rongga mulut inferior akibat celah langit-langit
jika celah langit-langit bilateral, maka akan sulit untuk menekan puting diantara lidah dan
langit-langit.
Pada celah langit-langit terdapat hubungan antara rongga mulut dan hidung dalam
menempatkan makanan dan sekresi oral berada di dekat rongga eustachia. Keadaan ini
mengarah pada insidensi otitis media khronis yang tinggi pada bayi yang menderita celah.
Diperlukan sistem pemberian susu dengan bantuan untuk asupan yang memadai dan posisi
pemberian makan yang benar. Metoda pemberian makan harus dipilih berdasarkan efisiensi
dan keamanan minum. Pemberian makan melalui mulut harus selesai dalam waktu 20 hingga
30 menit, pemberian makan yang lebih lama dapat mengarah pada kehilangan kalori bersih
akibat pengeluaran energi yang berlebihan. Adapun dalam pembuatan makalah ini memiliki
tujuan supaya masyarakat dapat mengetahui apa itu celah bibir dan sumbing baik dari segi
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, maupun gejala klinisnya dan mengatasi terjadinya celah
bibir dan palatum sedini mungkin sehingga tidak menimbulkan terjadinya komplikasi pada
penderita celah bibir dan sumbing.

1
Skenario

Seorang bayi laki-laki berusia 3 hari dibawa oleh bapak ibu kandungnya ke poliklinik
tempat anda bekerja dengan keluhan sumbing. Ibunya juga mengeluhkan bayinya rewel dan
kesulitan menyusu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sumbing pada bibir atas kiri, rahang
kiri, dan langit-langit. Demikian juga pada sisi sebelah kanan. Ayah bayi juga mengaku,
mengalami sumbing pada bibir atas kirinya swaktu lahir tetapi telah dioperasi saat masih
kecil.

Identifikasi istilah yang tidak diketahui

Tidak ada istilah yang tidak diketahui.

Rumusan Masalah

Bayi laki-laki berusia 3 hari rewel dan kesulitan menyusu karena sumbing pada bibir atas,
rahang atas, dan langit-langit pada kedua sisi.

Mind Mapping

Anamnesis

Fisik
Pemeriksaan
Penunjang

Bayi laki-laki berusia 3 hari, rewel dan


Diagnosis Epidemiologi
kesulitan menyusu karena sumbing pada
Kerja
bibir atas, rahang atas, dan langit-langit
pada kedua sisi.
Etiologi

Penatalaksana Patofisiologi
an

Komplikasi

Prognosis

Hipotesis

2
Sumbing menyebabkan bayi sulit menyusu dan rewel serta merupakan salah satu penyakit
herediter.

Pembahasan

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai labio gnato palatoschizis dari berbagai aspek yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis kerja, penatalaksanaan, komplikasi
dan prognosis.

Anamnesis
Anamnesis yang berhubungan dengan kasus di atas adalah alloanmnesis. Wawancara antara
dokter dan pasien atau penderita atau keluarganya atau orang yang mempunyai hubungan
dekat dengan pasien, mengenai semua data yang berhubungan dengan penyakitnya. Hal-hal
yang dapat diketahui dari anamnesis ini adalah: cacat bawaan/kongenital berupa sumbing
bibir dan atau langit-langit, dapat disertai kelainan kongenital lain, kesulitan
menyusui/feeding, bila minum atau makan keluar dari hidung, dan bicara sengau.1

Pemeriksaan Fisik
Dengan melakukan palpasi, perkusi, inpeksi dan askultasi. Dari hasil pemeriksaan tersebut
adalah terdapat celah bibir dan atau gnatum alveolar dan atau palatum, celah dapat komplit
atau inkomplit, celah dapat unilateral atau bilateral, dicari adanya kelainan kongenital
lainnya, asimetri lubang hidung atau nostril, dan untuk operasi pertama (labioplasty pada bayi
berat badan harus 5 kg.2

Pemeriksaan Penunjang2

1. Tes pendengaran, bicara dan evaluasi.


2. Laboratorium untuk persiapan operasi; Hb, Ht , leukosit, BT, CT scan.
3. Evaluasi ortodental dan prostontal dari mulai posisi gigi dan perubahan struktur dari
orkumaxilaris.
4. Konsultasi bedah plastik, ahli anak, ahli THT, ortodentisist, speech therapi.
5. MRI

Diagnosis Kerja

Dalam makalah ini, diagnosis kerja dibagi menjadi 3 bagian yaitu epidemiologi, etiologi,
dan patofisiologi.

- Epidemiologi3

3
Insiden celah bibir (sumbing) dengan atau tanpa adanya celah pada palatum, kira-kira
terdapat 1:6000 kelahiran; insiden celah palatum kira-kira sekitar 1:1000 kelahiran. Bibir
sumbing lebih lazim terjadi pada laki-laki. Kemungkinan penyebabnya meliputi yang
terpajan obat, kompleks sindrom-malformasi, murni tak diketahui, atau genetik. Faktor
genetik pada bibir sumbing, dengan atau tanpa celah palatum, lebih penting daripada
celah palatum saja. Namun, keduanya dapat terjadi secara sporadik; insiden tertinggi
kelainan ini terdapat pada orang Asia dan terendah pada orang kulit hitam. Insiden yang
terkait dengan malformasi kongenital dan gangguan dalam proses perkembangan
meningkat pada anak-anak dengan cacat celah, terutama pada mereka yang menderita
cacat celah palatum saja. Penemuan ini sebagian terjelaskan oleh adanya kenaikan insiden
gangguan pendengaran konduktif pada anak yang menderita celah palatum, sebagian
disebabkan karena infeksi berulang pada anak-anak yang mempunyai kelainan
kromosom. Risiko berulangnya cacat celah dalam keluarga.

Percobaan pada hewan mengesankan bahwa dalam masa kritis organogenesis, pada
orang yang rentan, pengaruh nongenetik dapat mengakibatkan timbulnya celah.
Malformasi terkait yang sering terjadi terutama pada stuktur yang berasal dari arkus
brankialis pertama.

Di Indonesia, jumlah tertinggi penderita kelainan ini terbanyak di Nusa Tenggara


Timur yaitu enam sampai sembilan orang per 1000 penduduk. Jumlah ini sangat tinggi
bila disbanding kasus di internasional yang hanya satu sampai dua orang per 1000
penduduk.

- Etiologi4

Sampai saat ini etiologi labio gnato palatoschizis belum diketahui dengan pasti
Diduga bahwa faktor genetika (herediter) dan faktor lingkungan (eksogen) berperan
dalam terjadinya cacat ini. Umumnya terdapat beberapa faktor (multifaktor) yang
bertanggungjawab terhadap terjadinya labio gnato palatoschizis dimana faktor herediter
merupakan faktor yang terpenting:

Faktor-faktor tersebut adalah:

4
1. Faktor genetika: labio gnato palatoschizis dapat diturunkan secara hereditas. Diduga
faktor hereditas ini bersifat resesif dan non sex linked. Tetapi kadang-kadang terlihat
pula bersifat dominan karena dasar genetikanya bukan hanya tunggal tetapi poligenik.
Kenyataan yang bisa dilihat di klinik adalah:

a. Kejadian labioschizis disertai palatoschizis lebih sering dijumpai pada keluarga


yang mempunyai anggota dengan kelainan ini.

b. Dalam keluarga normal yang mempunyai satu anak cacat, kemungkinan untuk
terjadi labio gnato palatoschizis pada anak berikutnya adalah sampai 15%.

c. Bila salah satu orangtua mempunyai cacat ini maka kemungkinan terjadinya anak
yang bercacat meningkat.

2. Faktor lingkungan:

a. Obat-obatan: yang jelas pada manusia adalah aminopterin dan thalidomide.

b. Usia ibu: pada ibu hamil yang berusia tinggi terdapat resiko yang lebih besar
untuk melahirkan anak yang cacat.

c. Diabetes mellitus: ibu dengan diabetes 3 kali lebih sering melahirkan anak dengan
labio gnato palatoschizis.

d. Faktor-faktor lain: infeksi rubella, penyinaran/injeksi, defisiensi vitamin,


overdosis vitamin A, dan trauma.

3. Faktor Hormonal

Hormon sex

Testoteron, progesterone, dan diethylstilbestrol menembus “barrier” placenta sehingga


mempengaruhi “eminence” (tonjolan) genital embrio yang ada pada awal kehidupan
embrio yang genetik perempuan dan sebaliknya menghasilkan feminisasi embrio yang
genetic laki-laki.

Hormon thyroid

5
Pada percobaan binatang, ila sebelum kehamilan dilakukan thyroidectomi maka
terjadilah anomaly pada keturunannya.

Steroid

Bila binatang percobaan yang hamil disuntik dengan cortisone dosis tinggi, maka
akan memberikan keturunan dengan sumbing langitan.

Hormon adrenal

Wanita yang menjalani operasi adrenalectomi, anak keturunannya sering mendapat


kelainan pada susunan syaraf pusat.

- Patofisiologi5
Bibir sumbing merupakan kelainan kongenital yang memiliki prevalensi
cukup tinggi. Bibir sumbing memiliki beberapa tingkat kerusakan sesuai organ yang
mengalami kecacatannya. Bila hanya di bibir disebut labioschizis, tapi bisa juga
mengenai gusi dan palatum atau langit-langit. Tingkat kecacatan ini mempengaruhi
keberhasilan operasi.
Cacat bibir sumbing terjadi pada trimester pertama kehamilan karena
tidak terbentuknya suatu jaringan di daerah tersebut. Semua yang mengganggu
pembelahan sel pada masa kehamilan bisa menyebabkan kelainan tersebut, misal
kekurangan zat besi, obat-obat tertentu, radiasi. Tak heran kelainan bibir sumbing
sering ditemukan di desa terpencil dengan kondisi ibu hamil tanpa perawatan
kehamilan yang baik serta gizi yang buruk.
Bayi-bayi yang bibirnya sumbing akan mengalami gangguan fungsi berupa
kesulitan menghisap ASI, terutama jika kelainannya mencapai langit-langit mulut.
Jika demikian, ASI dari ibu harus dipompa dulu untuk kemudian diberikan dengan
sendok atau dengan botol berlubang besar pada bayi yang posisi tubuhnya ditegakkan.
Posisi bayi yang tegak sangat membantu masuknya air susu hingga ke kerongkongan.
Jika tidak tegak, sangat mungkin air susu akan masuk ke saluran napas mengingat
refleks pembukaan katup epiglottis (katup penghubung mulut dengan kerongkongan)
mesti dirangsang dengan gerakkan lidah, langit-langit, serta kelenjar liur.
Bibir sumbing juga menyebabkan mudah terjadinya infeksi di rongga hidung,
tenggorokan dan tuba eustachius (saluran penghubung telinga dan tenggorokan)

6
sebagai akibat mudahnya terjadi iritasi akibat air susu atau air yang masuk ke rongga
hidung dari celah sumbingnya.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari kelainan labioschisis antara lain:3,4
a. Masalah asupan makanan
Asupan makanan merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis. Adanya
labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot.
Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan
oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan
labioschisis tidak sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu.
Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses menyusu bayi. Menepuk-
nepuk punggung bayi secara berkala juga dapat membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau
dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis
biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot inidapat keluar dengan
tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah
pemberian makan/ asupan makanan tertentu.
b. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu yangberhubungan dengan
kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi padaarean dari celah bibir yang terbentuk.
c. Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya
abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
d. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada perkembangan otot-otot
yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/rongga nasal pada saat
bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of speech).
Meskipun telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/
rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Anak mungkin
mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh,and ch", dan terapi bicara
(speech therapy) biasanya sangat membantu.

Penatalaksanaan

7
Sebelum melakukan operasi/pembedahan pada celah bibir dan palatum adalah
melakukan pertolongan pertama antara lain pemberian susu dianjurkan dalam posisi tegak 15 o
dan ukuran dot yang agak besar. Yang paling penting dalam pertolongan pertama adalah
penerangan yang sejelas-jelasna kepada orang tua mengenai penyebabnya, akibat yang
ditimbulkan, pencegahannya, dan usaha perbaikan yang dapat dikerjakan. Selain itu juga
memiliki catatan penting yaitu penyebab sulit ditntukan, faktor keturunan sebagian besar
tidak jelas. Teori terakhirnya adalah akibat terganggunya pembentukan mesoderm di tempat
tersebut, yang terjadi pada 10 minggu pertama kehamilan, bila sudah anak ke-2 kemngkinan
besar karena insiden meningkat 5% atau 15% bila salah satu orang tua juga sumbing. Oleh
karena itu, dianjurkan kepada orang tua pasien untuk menabung karena melakukan operasi itu
sifatnya berulang.6

Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh “team labiopalatoschisis” yang


terdiri dari spesialistik bedah, maksilofasial, terapis bicara dan bahasa, dokter gigi, ortodonsi, psikolog, dan
perawat spesialis. Perawatan dan dukungan pada bayi dan keluarganya diberikan sejak bayi tersebut lahir
sampai berhenti tumbuh pada usia kira-kira 18 tahun. Tindakan pembedahan dapat dilakukan pada saat usia
anak 3 bulan. Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis yaitu:6,7

1. Tahap sebelum operasi


Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayimenerima tindakan operasi,
asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan beratbadan yang dicapai dan usia yang memadai.
Patokan yang biasa dipakai adalah Rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5
kg, Hb lebih dari 10 gr% dan usia lebih dari 10 minggu, jika bayi belum mencapai rule of ten ada
beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak
bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu
dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat
bayi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar
lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara perlahan dalam
posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-langit yang terbelah.
Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non alergenik untuk
menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang
menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat dorongan lidah pada
prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara
kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan
sampai waktu operasi tiba.

8
2. Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si
bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah. Usia optimal
untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan
bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka
pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir
tetap menjadi kurang sempurna.6

Gambar 1. Reparasi labioschisis (labioplasti). (A and B) pemotongan sudut celahpada bibir dan hidung. (C)
bagian bawah nostril disatukan dengan sutura. (D) bagian atas bibir disatukan, dan (E) jahitan memanjang
sampai kebawah untuk menutup celah secara keseluruhan.6

Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan mengingat anak aktif bicara
usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti
dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap
terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi
memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi
labio gnato palatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada satu usia 8 – 9 tahun bekerja sama dengan
dokter gigi ahli ortodonsi.7
3. Tahap setelah operasi.

9
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-tiap jenis operasi
yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua
pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap
menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir
sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya
untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu
seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak
banyak bermanfaat.

Gambar 2. Sebelum dan sesudah tindakan operasi.7


Tujuan operasi bibir sumbing adalah menutup cacat berupa celah yang ada dan
mengusahakan:6
1. Simetrisasi bibir dan organ sekitarnya (lubang, dasar dan lengkung hidung).
2. Mungkin mengusahakan menormalkan bentuk anatomi yang jelas tak normal.
3. Membuat parut sebaik mungkin (tipis dan tersembunyi).
4. Membuat penampakan waktu berfungsi senormal mungkin.
Alat khusus yang diperlukan dalam operasi bibir sumbing yaitu:6
1. Mata pisau no. 15
2. Pinset, gunting, dan alat/bahan jahit yang halus.
3. Alat gambar untuk operasi.
Benang yang dipakai adalah benang dengan ukuran 5-0 dan/atau 6-0, dari bahan yang tak
diserap atau yang bisa diserap.

Komplikasi5

10
Beberapa komplikasi yang terjadi antara lain:

1. Sumbatan jalan nafas


Terjadi akibat tertutup gumpalan darah atau lender. Hal ini dapat diatasi dengan
penyedotan.
2. Perdarahan
3. Terbukanya jahitan
Dapat disebabkan akibat tegangnya jaringan yang dijahit, dapat juga akibat anak
menangis, berbicara keras atau makan makanan padat. Dapat memberikan sedatif
untuk menenagkan anak. Ketegangan jaringan dapat dikurangi dengan pmotongan
hamulus. Terbukanya luka dapat disebabkan oleh penyakit sistematik atau
penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
4. Fistula
Fistula dapat terjadi karena jaringan epitel yang seharusnya dieksisi masih tertinggal.
Fistula dapat menutup secara spontan, bila tidak dapat diolesi secara teratur dengan
larutan nitras argenti sebagai kauterisasi.
5. Bicara tidak sempurna
Terjadi bila palatoplasti dilakukan setelah anak dapat bicara atau bila hasil operasi
tidak memenuhi jarak anterior posterior yang cukup untuk menghasilkan suara yang
normal.

Prognosis

Kelainan labio gnato palatoschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat


dimodifikasi/ disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini melakukan operasi saat usia
masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki penampilan wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik
pembedahan yang makin berkembang, 80% anak dengan labio gnato palatoschizis yang telah ditatalaksana
mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara yang berkesinambungan
menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada masalah-masalah berbicara pada anak labio gnato
palatoschizis.

Kesimpulan

Labio gnato palatochizis adalah merupakan kongenital anomali yang berupa adanya
kelainan bentuk pada struktur wajah. Palatoschizis adalah adanya celah pada garis tengah palato
yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12 minggu. Labio
Palatoschizis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut, palatoschizis
(sumbing palatum) dan labioschizis (sumbing tulang) untuk menyatu selama perkembangan
embrio. Bibir sumbing merupakan kelainan kongenital yang memiliki prevalensi cukup

11
tinggi. Bibir sumbing memiliki beberapa tingkat kerusakan sesuai organ yang mengalami
kecacatannya. Bila hanya di bibir disebut labioschizis, tapi bisa juga mengenai gusi dan
palatum atau langit-langit. Tingkat kecacatan ini mempengaruhi keberhasilan operasi. Cacat
bibir sumbing terjadi pada trimester pertama kehamilan karena tidak terbentuknya suatu
jaringan di daerah tersebut. Semua yang mengganggu pembelahan sel pada masa kehamilan
bisa menyebabkan kelainan tersebut,misal kekurangan zat besi, obat-obat tertentu, radiasi.
Tak heran kelainan bibir sumbing sering ditemukan di desa terpencil dengan kondisi ibu
hamil tanpa perawatan kehamilan yang baik serta gizi yang buruk. Bibir sumbing juga
menyebabkan mudah terjadinya infeksi di rongga hidung, tenggorokan dan tuba eustachius
(saluran penghubung telinga dan tenggorokan) sebagai akibat mudahnya terjadi iritasi akibat
air susu atau air yang masuk ke rongga hidung dari celah sumbingnya. Namun, dari semua
hal tersebut labio gnato palatoschizis merupakan faktor herediter (genetika).

Daftar Pustaka

1. Supartondo, Setiyohadi B. Ilmu penyakit dalam (anamnesis). Edisi ke-3. Jakarta: Interna
Publisihing; 2005.h.23-6.

2. Mulliken JB.. The changing faces of children with cleft lip and palate. The New England Journal of
Med 2004 Aug 19;351(8):745-7.

3. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak (Nelson textbook of pediatrics).
Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2000.h.1282.

4. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. Schwartz's principles of
surgery. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.p.465-66.

5. Mansjoer, Wardani W.I. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media
Aesculapius; 2000.h.373-4.

6. Bisono. Operasi sumbing: petunjuk praktis. Edisi 1. Jakarta: EGC; 2002.h.13-15.


7. John G, Brian T, Emily B, Ridgway. Unilateral cleft lip and nasal repair: techniques and principles. Iran
J Pediatric Jun 201;21(2):129-38.

12
13

Anda mungkin juga menyukai