Anda di halaman 1dari 24

BAB V

LARUTAN

Sasaran pembelajaran dari bab ini adalah mahasiswa mampu:


1. Menjelaskan dengan tepat karakteristik dan perbedaan sistem campuran: larutan,
koloid dan suspensi
2. Mengetahui cara menyatakan konsentrasi dan menggunakan satuan-satuan
konsentrasi: persen, normalitas, molaritas, molalitas, fraksi mol, ppm, formalitas
3. Menjelaskan karakteristik sifat koligatif larutan
4. Mengetahui sifat khas partikel koloid dan cara pembuatan sistem koloid

5.1 KOMPONEN LARUTAN


Larutan terdiri atas zat terlarut dan pelarut, dengan demikian apa yang disebut
zat terlarut dan apa pula yang disebut pelarut, perlu diketahui terlebih dahulu. Pelarut
adalah zat/komponen, umumnya berwujud cair yang jumlahnya lebih banyak
sedangkan zat terlarut adalah zat/komponen baik yang berwujud gas, cair maupun
padatan yang jumlahnya lebih kecil sehingga terbentuk larutan homogen. Larutan
yang pelarutnya berwujud padatan dan zat terlarutnya juga berwujud padatan disebut
paduan, misalnya kuningan merupakan larutan yang terdiri atas seng dan tembaga.
Larutan dapat juga dilihat sebagai suatu Sistem homogen yang komposisinya
bervariasi. Meskipun larutan dapat mengandung banyak komponen tetapi pada
kesempatan ini hanya dibahas larutan yang mengandung dua komponen yaitu larutan
biner. Komponen dari larutan biner yaitu zat terlarut dan pelarut. Contoh larutan biner
dapat dilihat dalam Table 5.1.
Tabel 5.1. Contoh larutan biner

Zat terlarut Pelarut Komponen


Gas Gas Udara, semua campuran gas
Gas Cair Karbondioksida dalam air
Gas Padat Hidrogen dalam platina
Cair Cair Alkohol dalam air
Cair Padat Raksa dalam tembaga
Padat Padat Perak dalam platina
Padat Cair Garam dalam air

5.2 JENIS LARUTAN

V-1
Larutan terdiri atas pelarut (solvent) dan zat terlarut (solute). Pasangan zat
tertentu dapat saling melarutkan dalam semua perbandingan. Hal ini biasanya terjadi
pada larutan gas – gas dan larutan cair – cair seperti air – etanol. Akan tetapi untuk
larutan lain yang wujudnya berbeda (cair – gas, cair – padat, padat – padat) ada batas
antara keduanya dalam membentuk larutan homogen. Nilai batas jumlah zat terlarut
dalam jumlah pelarut tertentu pada suhu dan tekanan tertentu untuk membentuk
larutan homogen itu disebut kelarutan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kelarutan adalah nilai batas
kemampuan pelarut dalam volume tertentu (biasanya 1 dm 3) untuk melarutkan zat
terlarut pada suhu 25oC, tekanan 1 atm yang menghasilkan larutan homogen
(Sistem yang homogen).
Jumlah zat telarut dalam larutan atau dalam pelarut pada volume/berat tertentu
itu disebut konsentrasi. Berdasarkan nilai konsentrasi itu larutan dapat dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu larutan encer dan pekat. Pengelompokkan ini akan
menimbulkan permasalahan yaitu, berapa nilai batas antara pekat dan encer. Dari
buku acuan yang dibaca sampai saat ini belum ditemukan kriteria larutan pekat dan
encer. Misalnya, ada yang menganggap larutan pekat bila zat terlarutnya lebih besar
dari 1%, hal itu tentu kurang tepat sebab bagaimana dengan zat yang kelarutannya
sangat kecil. Oleh sebab itu, pada pembicaraan ini, dibuat suatu perjanjian atau
kesepakatan untuk menentukan batas antara pekat dan encer. Larutan dikatakan encer
jikalau konsentrasi zat terlarutnya lebih kecil daripada setengah nilai kelarutannya
sedangkan larutan dikatakan pekat jikalau konsentrasi zat terlarutnya sama atau lebih
besar daripada setengah nilai kelarutannya.
Khusus untuk keadaan dimana tidak terdapat batas kelarutan zat terlarut
misalnya larutan etanol dalam air atau sebaliknya, maka larutan encer adalah larutan
yang berat (volume) zat terlarut lebih kecil daripada setengah berat (volume)
pelarutnya sedangkan larutan dikatakan pekat bila berat (volume) zat terlarut sama
atau lebih besar daripada setengah berat (volume) zat pelarutnya dan maksimum sama
dengan zat pelarutnya. Jikalau berat (volume) zat terlarut lebih besar daripada zat
pelarut, maka kriterianya dibalik yaitu, zat terlarut berubah fungsinya menjadi pelarut
begitu juga sebaliknya (ingat definisi larutan dan kriteria pelarut dan zat terlarut).
Jikalau zat terlarut berlebihan (lebih besar daripada nilai kelarutan bakunya)
ditambahkan ke dalam pelarutnya dengan volume tertentu maka keseimbangan antara
zat terlarut murni dengan zat terlarut dalam larutan terjadi. Pada keadaan
V-2
keseimbangan ini kecepatan larutnya zat terlarut murni yang dapat larut setara dengan
laju keluarnya zat terlarut yang telah larut dari larutan homogen. Dalam keadaan
demikian ini, konsentrasi zat terlarut yang telah larut adalah tetap sehingga disebut
larutan jenuh, dimana larutannya dikatakan sebagai larutan jenuh pada suhu dan
tekanan tertentu. Larutan tak jenuh adalah larutan yang konsentrasinya masih lebih
kecil dari nilai batas kelarutan zat terlarut dalam pelarut tertentu.

5.3 KONSENTRASI LARUTAN


Pada pembicaraan masalah larutan itu timbul permasalahan yaitu (1) bagaimana
menyatakan perbandingan antara zat terlarut dan pelarut, (2) wujud senyawa, zat atau
komponen pembentuk larutan tidak sama, (3) jumlah maksimum zat terlarut dalam
jumlah tertentu pelarut yang masih dapat membentuk larutan homogen, (4) jumlah zat
terlarut yang dinyatakan sebagai massa, mol, massa ekuivalen, massa formula. Namun
demikian, sebelum membicarakan masalah konsentrasi larutan perlu dijelaskan
terlebih dahulu masalah massa ekuivalen.

5.3.1 Massa Ekuivalen


Massa ekuivalen adalah massa dalam satuan gram suatu zat/senyawa/unsur yang
diperlukan untuk memberikan atau bereaksi dengan satu mol proton (H +) sedangkan
pada reaksi redoks yang dimaksud dengan massa ekuivalen adalah massa dalam
satuan gram suatu zat/senyawa/unsur yang diperlukan untuk memberikan atau
menerima satu mol elektron. Hubungan antara massa molekul dengan massa
ekuivalen dinyatakan dengan persamaan,

Dimana: BE = Massa ekuivalen


Mr = Massa molekul relative
N = Jumlah mol proton (H+) atau jumlah mol electron atau
jumlah mol kation univalent yang diberikan atau diikat oleh
suatu zat

5.3.2 Cara Menyatakan Konsentrasi

V-3
Setelah hal mengenai jenis larutan dan kriterianya dibahas timbul permasalahan
bagaimana cara menyatakan konsentrasi larutan itu. Untuk menyatakan perbandingan
antara zat terlarut dan pelarut dalam larutan homogen, ada beberapa cara yaitu
dinyatakan dalam: (1). (%), (2). M (Molaritas), (3). m (Molalitas), (4). N (Normalitas)
(5). Fraksi mol (X), (6). ppm, dan (7). Formalitas (F). Masalah tersebut akan dibahas
secara rinci berikut ini.

a. Persentase (%)
Ada beberapa kriteria untuk menyatakan jumlah zat terlarut dalam satuan persen
yaitu: % b/b, % b/v, % v/b, atau % v/v. Jadi, zat terlarut maupun pelarut dapat diukur
volume maupun massanya bergantung pada wujud maupun kepraktisan mengukurnya.
Oleh sebab itu, dalam menyatakan % larutan itu hendaknya dicantumkan sistemnya
yaitu, b/b, bb/v, v/b, atau v/v.
Contoh:
Larutan natrium klorida 5% (b/v), ini berarti 5 gram NaCl padat dilarutkan dan
larutannya dijadikan 100mL. demikian juga alkohol 5% (v/v),. Tetapi untuk
pemakaian yang lebih eksak sebaiknya dipakai persen (b/b). Per definisi yang
dimaksud dengan % b/b disini adalah: Garam dalam 100gram larutan.

b. Molaritas (M).
Molaritas atau molar disingkat dengan M, didefinisikan sebagai jumlah mol zat
terlarut setiap volume tertentu (1 dm3) larutan. Secara sederhana, molar dinyatakan
sebagai berikut:

V-4
Larutan dikatakan 1 molar jikalau dalam 1 dm3 larutan terdapat 1 mol zat terlarut.

Contoh:
Kemolaran suatu larutan yang mengandung 10,00 gram NaOH dalam (BM =
40,00/mol) dalam 500 ml larutan adalah

Biasanya di laboratorium kita mendapatkan zat yang berupa larutan dalam botol yang
dinyatakan hanya rumus kimia, Mr, %, dan berat jenisnya. Maka untuk menghitung
molaritasnya kita dapat menggunakan rumus berikut:

Contoh:
Hitung molaritas larutan HCl pekat yang mempunyai M r = 36,5 ; % = 36,5% dan  =
1,18 g/cm3!

Dengan menggunakan rumus di atas diperoleh molaritas = 11,8 M

c. Molalitas (m)
Molalitas atau molal didefinisikan sebagai jumlah mol zat terlarut setiap kilogram
pelarut. Secara sederhana, molal (m) dapat dinyatakan sebagai berikut:

mol zat terlarut


Molal =molalitas = -----------------------
kilogram pelarut

V-5
Larutan mempunyai konsentrasi satu molal jika dalam setiap 1 kg pelarut terdapat 1
mol zat terlarut.

d. Normalitas (N) dan Titer (T)


Normalitas didefinisikan sebagai jumlah larutan yang mengandung ekuivalen zat
terlarut setiap volume larutan 1 dm3. Secara sederhana normalitas (N) dapat
dinyatakan sebagai berikut:
atau

Oleh karena , maka

Persamaan di atas menyatakan hubungan antara normal dan molar dan n merupakan
jumlah proton yang dapat diterima atau dilepaskan oleh zat terlarut. Larutan dikatakan
konsentrasinya 1 normal jika dalam 1 dm3 larutan itu terdapat 1 ekuivalen zat terlarut.

Contoh:
Berapa normalitas H2SO4 1 M dan larutan HCl pekat (11,8 M)?
Pembahasan:
N (H2SO4) = n x M = 2 x 1 = 2 N dan N (HCl) = n x M = 1 x 11,8 N = 11,8 N

V-6
Selain normalitas kadang juga digunakan titer dalam kimia analitik. Satuan titer
adalah berat per volume tetapi berat digunakan untuk pereaksi yang bereaksi dengan
larutan dan bukan untuk zat yang terlarut. Contohnya: 1 mL HCl dapat menetralkan
4,00 mg NaOH, maka konsentrasi larutan HCl dapat dinyatakan sebagai titer NaOH
4,00 mg/mL = 4,00 gram/L. Titer ini dengan mudah diubah menjadi normalitas
sebagai berikut:

Sedang maka

e. Fraksi mol (X)


Fraksi mol didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah mol suatu komponen
dengan jumlah mol semua pembentuk larutan, dengan demikian fraksi mol ini selalu
dituliskan dengan indeks komponennya.

Untuk larutan yang terdiri hanya komponen A dan B maka,

Fraksi mol total = 1 

V-7
f. Bagian Perjuta (Part per million = ppm)
Bagian perjuta (ppm) didefinisikan sebagai jumlah zat terlarut dalam satu juta
jumlah larutan atau bagian suatu komponen dalam satu juta bagian campuran.

W = massa/jumlah zat terlarut dalam satuan (gram, mgram dan lain – lain)
Wo = massa/jumlah larutan dalam satuan (gram, mgram, dan lain – lain)
Oleh karena ppm itu (pelarutnya 1 juta bag. – 1 bag. zat terlarut) sehingga dapat
dianggap
W + Wo = Wo, jadi

Dengan demikian jika larutan mempunyai konsentrasi 1 ppm, maka dalam 1 kg


larutan terdapat 1 mg zat terlarut. Pada suhu 4oC, tekanan 1 atm, 1 dm3 dan beratnya =
1 kg.

Atau pada sembarang suhu berlaku hubungan sebagai berikut:

g. Formalitas
Formalitas ini kadang nilainya sama dengan molaritas, kecuali dalam hal tertentu
yang mana zat terlarut biasanya mempunyai suatu bentuk dalam larutan yang berbeda

V-8
dengan molekulnya, mungkin karena pengaruh ikatan hidrogen atau lainnya. Misalnya
larutan asam asetat dalam larutan air biasanya berbentuk dimer (2 molekul bergabung
menjadi 1 bentuk) demikian juga asam benzoate dan lain – lain. Formalitas
didefinisikan sebagai banyaknya bentuk yang terjadi yang sama dengan bilangan
Avogadro dalam dm3 larutan. Dengan demikian untuk larutan asam asetat
(CH3COOH), 1 M = ½ F karena 1 molar berarti ada sebanyak bilangan Avogadro
molekul dalam 1 dm3 larutan maka bila zat ini membentuk dimer (CH3COOH)2 dalam
larutan berarti ada sebanyak ½ bilangan Avogadro bentuk yang terjadi dalam 1 dm3
larutan sehingga formalitasnya = ½ F.

5.4 SIFAT KOLIGATIF LARUTAN

5.4.1 Penurunan Tekanan Uap Jenuh (P)


Apabila suatu zat cair (sebenarnya juga untuk zat padat) dimasukkan ke dalam
suatu ruangan tertutup maka zat itu akan menguap sampai ruangan itu jenuh. Pada
keadaan jenuh itu terdapat kesetimbangan dinamis antara zat cair (padat) dengan uap
jenuhnya, tekanan yang ditimbulkan oleh uap jenuh itu disebut tekanan uap jenuh.
Besarnya tekanan uap jenuh bergantung pada jenis zat dan suhu. Zat yang memiliki
gaya tarik – menarik antara partikel relative besar, berarti sukar menguap, mempunyai
tekanan uap jenuh yang relative kecil, contohnya garam, gula, glikol, dan gliserol.
Sebaliknya, zat yang memiliki gaya tarik – menarik antrara partikel relative lemah,
berarti mudah menguap, mempunyai tekanan uap jenuh yang relative besar. Zat
seperti itu dikatakan mudah menguap (volatile), contohnya etanol dan eter. Tekanan
uap jenuh air pada berbagai suhu diberikan pada Tabel 5.2
Bagaimanakah pengaruh zat terlarut pada tekanan uap pelarut? Apabila ke
dalam suatu suatu pelarut dilarutkan zat yang tidak mudah menguap, ternyata tekanan
uap jenuh larutan menjadi lebih rendah daripada tekanan uap jenuh pelarut murni.
Dalam hal ini uap jenuh larutan dapat dianggap hanya mengandung uap zat pelarut.
Selisih antara tekanan uap jenuh pelarut murni dengan tekanan uap jenuh larutan
disebut penurunan tekanan uap jenuh (P), jika tekanan uap jenuh pelarut murni
dinyatakan dengan Po dan tekanan uap jenuh larutan dengan P, maka diperoleh
persamaan:

V-9
Tabel 5.2. Tekanan Uap Jenuh Air pada Berbagai Suhu (mm Hg)
T (oC) P T (oC) P T (oC) P T (oC) P
0 4,58 21 18,85 35 42,2 92 567,0
5 6.54 22 19,83 40 55,3 94 610,9
10 9,21 23 21,07 45 71,9 96 657,6
12 10,52 24 22,38 50 97,5 98 707,3
14 11,99 25 23,76 55 118,0 100 760,0
16 13,63 26 25,32 60 149,4 102 815,1
17 14,53 27 26,74 65 187,5 104 875,1
18 15,48 28 28,35 70 233,7 106 937,9
19 16,84 29 30,04 80 355,1 108 1004,6
20 17,54 30 31,82 90 525,8 110 1047,6

Penurunan tekanan uap jenuh dari berbagai larutan diberikan pada Tabel 5.3.
Tabel itu menunjukkan bahwa penurunan tekanan uap jenuh hanya bergantung pada
konsentrasi zat terlarut dan tidak bergantung pada jenis zat terlarut. Jadi, penurunan
tekanan uap jenuh merupakan sifat koligatif larutan.

Tabel 5.3. Penurunan tekanan uap jenuh berbagai jenis larutan dalam air pada 20oC.
Penurunan
Fraksi Zat Tekanan Uap Jenuh
Zat Terlarut Tekanan Uap
Terlarut Larutan
Jenuh
(Air Murni) - 17,54 mm Hg -
Glikol 0,01 17,36 mm Hg 0,18 mm Hg
Glikol 0,02 17,18 mm Hg 0,36 mm Hg
Urea 0,01 17,36 mm Hg 0,18 mm Hg
Urea 0,02 17,18 mm Hg 0,36 mm Hg

Selanjutnya, bagaimanakah pengaruh konsentrasi zat terlarut terhadap


penurunan tekanan uap jenuh. Menurut Raoult, untuk larutan – larutan encer dari zat
yang tak atsiri, penurunan takanan uap jenuh larutan sama dengan hasil kali tekanan
uap jenuh pelarut murni dengan fraksi mol zat terlarut sedangkan tekanan uap jenuh
uap jenuh larutan sama dengan hasil kali tekanan uap jenuh pelarut murni dengan
fraksi mol pelarut:

Dimana : Po = tekanan uap jenuh pelarut murni


P= tekanan uap jenuh larutan

V-10
P = penurunan tekanan uap jenuh larutan
XA= fraksi mol zat pelarut
XB = fraksi mol zat terlarut

Larutan yang memenuhi hokum Raoult disebut larutan ideal dan larutan yang seperti
itu adalah larutan – larutan encer. Untuk lebih memahami hokum Raoult,
perhatikanlah contoh soal berikut.
Contoh:
Tekanan uap jenuh air pada 100oC adalah 760 mm Hg. Berapakah tekanan uap jenuh
larutan glukosa 10% pada 100oC? (H = 1; C = 12; O = 16)
Pembahasan:
Tekanan uap jenuh larutan sebanding dengan fraksi mol pelarut. Dalam 100 gram
larutan terdapat:

5.4.2 Kenaikan Titik Didih (Tb) dan Penurunan Titik Beku (Tf)
Titik didih suatu cairan ialah suhu pada saat tekanan uap jenuh cairan itu sama
dengan tekanan luar (tekanan yang dikenakan pada permukaan cairan). Apabila
tekanan uap sama dengan tekanan luar, maka gelembung uap yang terbentuk dalam
cairan dapat mendorong diri ke permukaan menuju fase gas. Oleh karena itu, titik
didih suatu cairan bergantung pada tekanan luar. Di permukaan laut (tekanan = 760
mm Hg), air mendidih pada 100oC di puncak Everest (ketinggian 8882 m dari
permukaan larut), yang tekanannya kurang dari 760 mm Hg, air mendidih pada 71 oC.
Biasanya, yang dimaksud dengan titik didih adalah titik didih normal, yaitu titik didih
pada tekanan 760 mm Hg. Titik didih normal air adalah 100oC.

V-11
Hubungan antara tekanan uap jenuh dengan suhu air dan larutan berair
diberikan pada Gambar 5.1. Gambar seperti ini disebut diagram PT (P = tekanan; T =
suhu). Garis C – D disebut garis didih air. Setiap titik pada garis itu menyatakan suhu
dan tekanan air mendidih. Titik D menyatakan titik didih normal air. Oleh karena itu
tekanan uap jenuh larutan lebih rendah daripada tekanan uap pelarut, maka garis didih
larutan (garis BE) berada parallel di bawah garis didih air. Pada suhu 100 oC, tekanan
uap larutan masih berada di bawah 760 mm Hg. Oleh karena itu, larutan belum
mendidih pada 100oC. Larutan harus dipanaskan lebih tinggi lagi hingga tekanan
uapnya mencapai 760 mm Hg. Jadi, titik didih larutan lebih tinggi daripada titik didih
pelarutnya. Selisih antara titik didih larutan dengan titik didih pelarut itu disebut
kenaikan titik didih larutan (Tb = boiling point elevation), atau Tb = titik didih
larutan – titik didih pelarut.

Gambar 5.1 Diagram P – T suatu larutan, air sebagai pelarut

Adapun titik beku dari suatu cairan atau suatu larutan adalah suhu pada saat
tekanan uap cairan (larutan) itu sama dengan tekanan tekanan uap pelarut pelarut
murni. Garis CF (lihat gambar 5.1) disebut garis beku air. Setiap titik pada garis itu
menyatakan suhu dan tekanan air membeku. Titik C, yaitu perpotongan garis didih
dan garis beku, disebut titik triple. Titik itu menyatakan suhu dan tekanan pada saat
es, air, dan uap air berada dalam satu keseimbangan. Titik triple air adalah 0,0099oC
dan tekanan 0,0060 atm. Jadi, tekanan 0,0060 atm air membeku dan mendidih pada

V-12
suhu 0,0099oC. ternyata tekanan luar praktis tidak mempengaruhi titik beku. Titik
beku normal dari air, yaitu titik beku pada tekanan luar 1 atm, adalah 0oC. Jadi, garis
CF, pada gambar 5.1 praktis tegak lurus. Oleh karena tekanan uap larutan lebih rendah
daripada tekanan uap pelarut, maka larutan membeku pada suhu 0oC. Jika suhu terus
diturunkan ternyata pelarut padat murni mengalami penurunan tekanan uap yang lebih
cepat daripada larutan sehingga pada suhu di bawah titik beku pelarut, tekanan uap
larutan sama dengan tekanan uap pelarut padat. Pada suhu ini larutan mulai membeku.
Ketika larutan membeku, yang membeku adalah pelarutnya, zat terlarut tidak
membeku (es yang terbentuk di permukaan laut waktu musim dingin adalah air
murni/tawar). Dengan demikian larutan makin pekat dan titik bekunya juga makin
rendah. Jadi, larutan tidak membeku pada suhu yang tepat. Yang dimaksud dengan
titik beku larutan adalah suhu pada saat larutan mulai membeku. Selisih antara titik
beku larutan disebut penurunan titik beku (Tf = freezing point depression), atau (Tf
= titik beku pelarut = titik beku larutan).
Percobaan – percobaan menunjukkan bahwa kenaikan titik didih maupun
penurunan titik beku tidak bergantung pada jenis zat terlarut tetapi hanya pada jumlah
atau konsentrasi partikel dalam larutan. Oleh karena itu, kenaikan titik didih dan
penurunan titk beku sebanding dengan konsentrasi larutan. Untuk larutan – larutan
encer, kenaikan titik didih (Tb) maupun penurunan titik beku (Tf) sebanding dengan
kemolalan larutan.

(Tb = kenaikan titik didih, (Tf = penurunan titik beku, Kb = tetapan kenaikan titik
didih molal, Kf = tetapan kenaikan titik beku molal, m = kemolalan larutan. Tetapan
kenaikan titik didih normal ialah nilai kenaikan titik didih jika konsentrasi larutan
(konsentrasi partikel dalam larutan) sebesar satu molal.

Demikian juga halnya dengan Kf adalah penurunan titik beku jika konsentrasi larutan
(konsentrasi partikel dalam larutan) sebesar satu molal. Harga Kb dan Kf dari beberapa
pelarut diberikan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4. Tetapan Kenaikan Titik Didih molal (K b) dan Tetapan Penurunan Titik
Beku molal (Kf) dari Beberapa Pelarut

V-13
Titik Didih Titik Beku
Pelarut Kb Kf
(oC) (oC)
Air 100 0,52 0 1,86
Asam 118,3 3,07 16,6 3,57
Benzena 80,2 2,53 5,45 5,07
Kloroform 61,2 3,63 - -
Kanfer - - 178,4 37,7
Sikloheksana 80,7 2,69 6,5 20,0

Data kenaikan titik didih atau penurunan titik beku dapat digunakan untuk
menentukan massa molekul relative (Mr) zat terlarut. Selain itu, juga dapat digunakan
untuk menentukan konsentrasi larutan.
Contoh:
Sebanyak 18 gram glukosa (Mr = 180) dilarutkan dalam 500 gram air. Tentukan titik
didih larutan itu. Kb air = 0,52oC.
Pembahasan:

5.4.3 Tekanan Osmotik Larutan


Berbagai jenis selaput, baik yang alami (seperti jaringan usus) maupun yang
sintetik (seperti selofan), dapat dilewati molekul pelarut yang kecil tetapi menahan
molekul (partikel) zat terlarut. Selaput seperti ini disebut selaput semipermeabel.
Apabila ada dua jenis larutan yang berbeda konsentrasinya dipisahkan oleh suatu

V-14
selapu semipermeabel, akan terdapat aliran bersih (netto) pelarut dari larutan yang
lebih encer ke larutan yang lebih pekat. Hal ini akan terlihat dari bertambah tingginya
larutan yang lebih pekat sedangkan tinggi larutan yang lebih encer kurang.
Perpindahan bersih molekul pelarut ini disebut osmosis.
Osmosis dapat dicegah dengan member suatu tekanan pada permukaan larutan.
Tekanan yang diperlukan untuk menghentikan aliran pelarut dari pelarut murni
menuju larutan disebut tekanan osmotik larutan. Larutan glukosa 20% mempunyai
tekanan osmotik sekitar 15 atm (berarti permukaan larutan dapat naik hingga 150 m).
Tekanan osmotik tergolong sifat koligatif karena harganya bergantung pada
konsentrasi dan bukan pada jenis pertikel zat terlarut. Menurut Van’t Hoff, tekanan
osmotik larutan – larutan encer dapat dihitung dengan rumus yang serupa dengan
persamaan gas ideal, yaitu:

Dimana:  = tekanan osmotik


V = volume larutan (dalam liter)
n = jumlah mol zat terlarut
T = suhu absolute larutan (Kelvin)
R = tetapan gas (0,08205 atm mol-1K-1
M = molaritas larutan

Contoh:
Berapakah tekana osmotik larutan sukrosa 0,0010 M pada 25oC?
Pembahasan:

Pengukuran tekanan osmotik juga digunakan untuk menetapkan massa molekul


relative zat, khususnya untuk larutan yang sangat encer atau untuk zat yang massa
molekul relatifnya sangat besar. Larutan sukrosa dalam contoh soal di atas
mempunyai kemolalan 0,001 m (untuk larutan – larutan yang sangat encer, kemolaran

V-15
sama dengan kemolalan). Sesuai dengan persamaan di atas, kenaikan titik didih dan
penurunan titik beku larutan itu adalah 0,00052oC dan 0,00186oC. Perbedaan suhu
sekecil itu sulit untuk diukur dengan ketelitian tinggi, sebaliknya perbedaan tekanan
sebesar 18 mm Hg jelas lebih mudah diukur.

Contoh:
Larutan 5 gram suatu zat dalam 500 mL larutan mempunyai tekanan osmotik sebesar
38 cm Hg pada 27oC. Tentukanlah massa molekul relatif (Mr) zat itu!
Pembahasan:

Jenis osmosis yang terdapat dalam tubuh makhluk hidup adalah pada sel darar
merah. Dinding sel darah merah mempunyai ketebalan sekitar 10 nm dan pori dengan
diameter 0,8 nm. Molekul air berukuran kurang dari setengah diameter tersebut
sehingga dapat lewat dengan mudah. Ion K+ yang terdapat dalam sel juga berukuran
lebih kecil dari pori dinding sel itu tetapi karena dinding sel tersebut bermuatan positif
maka ion K+ akan ditolak. Jadi, factor – factor selain ukuran partikel dapat juga
menentukan partikel manan yang dapat melalui pori sebuah selaput semipermeabel.

V-16
Cairan dalam sel darah merah mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan larutan
NaCl 0,9%. Dengan kata lain, cairan sel darah merah isotonic dengan larutan NaCl
0,9%. Jika sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan NaCl yang lebih pekat dari
0,9%, air akan keluar dari dalam sel dan sel akan mengerut. Larutan yang demikian
dikatakan hipertonik. Sebaliknya, jika sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan
NaCl yang lebih encer dari 0,9%, air akan masuk ke dalam sel dan sel akan
mengembang. Larutan yang demikian dikatakan hipotonik.

5.5 SIFAT KOLIGATIF LARUTAN ELEKTROLIT


Larutan elektrolit memberi sifat koligatif yang lebih besar daripada sifat
koligatif larutan nonelektrolit yang konsentrasinya. Contoh, larutan NaCl 0,010 m
mempunyai penurunan titik beku sebesar 0,0359oC. Harga ini hampir dua kali lebih
besar (tepatnya 1,93 kali lebih besar) daripada penurunan titik beku larutan urea 0,010
m, perbandingan antara harga sifat koligatif yang terukur dari suatu larutan elektrolit
dengan harga sifat koligatif yang diharapkan suatu larutan nonelektrolit pada
konsentrasi yang sama disebut factor van’t hoff dan dinyatakan dengan lambing i.
Harga I untuk larutan NaCl 0,010 m dapat dihitung sebagai berikut.

Harga i dari berbagai jenis larutan dari berbagai konsentrasi diberikan pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Harga i (factor van’t hoff) untuk penurunan titik beku berbagai jenis
elektrolit

Tipe Batas
Nama Zat 0,100 m 0,0100 m 0,00500 m
Elektrolit teoretis

V-17
1. Ion NaCl 1,87 1,93 1,94 2
KCl 1,86 1,94 1,96 2
MgSO4 1,42 1,62 1,69 2
K2SO4 2,46 2,77 2,86 3
2. Kovalen HCl 1,91 1,97 1,99 2
CH3COOH 1,01 1.05 1,06 2
H2SO4 2,22 2,59 2,72 3

Apa penyebab larutan elektrolit mempunyai harga sifat koligatif yang lebih
besar? Pada permulaan bab ini telah disebutkan bahwa sifat koligatif larutan
bergantung pada konsentrasi partikel dalam larutan dan tidak bergantung pada
jenisnya, apakah partikel itu berupa molekul, atom, atau ion. Sebagaimana telah kita
ketahui, zat elektrolit sebagian atau seluruhnya terurai menjadi ion – ion. Jadi, untuk
konsentrasi yang sama larutan elektrolit mengandung jumlah partikel yang lebih
banyak daripada larutan nonelektrolit. Oleh karena itu, larutan elektrolit mempunyai
sifat koligatif yang lebih besar daripada sifat koligatif larutan nonelektrolit. Satu mol
zat neon elektrolit dalam larutan menghasilkan satu mol (6.02 x 10 23 butir) partikel.
Sebaliknya, satu mol elektrolit tipe ion seperti NaCl terdiri atas satu mol ion Na + dan
satu mol ion Cl-, satu mol K2SO4 terdiri atas dua mol ion K+ dan satu mol ion SO42-.
Secara teoretis, larutan NaCl akan mempunyai penurunan titik beku dua kali
lebih besar daripada urea (mempunyai harga i = 2) sedangkan larutan K2SO4 tiga kali
lebih besar (i = 3). Akan tetapi, seperti tampak pada tabel 5.6 harga i dari elektrolit
tipe ion itu selalu lebih kecil dari harga teoretis. Hal ini disebabkan oleh tarikan listrik
antar ion yang berbeda muatan sehingga tidak satu pun dari ion – ion itu yang 100%
bebas. Makin kecil konsentrasi larutan, jarak antar ion makin besar dan ion – ion
makin bebas, akibatnya harga i semakin mendekati harga teoretis.
Harga i dari elektrolit tipe kovalen ternyata lebih bervariasi, bergantung pada
kekuatan elektrolit itu. Elektrolit lemah mempunyai harga i mendekati satu sedangkan
elektrolit kuat mempunyai harga i yang mendekati harga teoretisnya, hubungan harga
i dengan persen ionisasi (derajat disosiasi) dapat diturunkan sebagai berikut. Misal
konsentrasi larutan M molar dan derajat disosiasi , maka jumlah elekrolit yang meng
– ion adalah M.

Jumlah yang mengion = jumlah mula – mula x 

V-18
= Mx

Misalkan pula 1 molekul elektrolit membentuk n ion. Jadi, jika M mol elektrolit
meng – ion akan menghasilkan nM mol ion sedangkan jumlah mol elektrolit yang
tidak meng – ion adalah M - M. Agar lebih jelas perhatikanlah perincian berikut.

A (elektrolit)  n B (ion)
Mula – mula : M -
Ionisasi : -M +nM
Setimbang : M–M nM

Konsentrasi partikel dalam larutan = konsentrasi partikel elektrolit (A) + konsentrasi


ion – ion (B) = M - M + nM = M [1 + (n – 1) ]. Dengan demikian pertambahan
jumlah partikel dalam larutan elektrolit = 1 + (n – 1) . Oleh karena pertumbuhan
sifat koligatif larutan elektrolit sebanding dengan pertambahan jumlah partikel dalam
larutan, maka rumus – rumus sifat koligatif untuk larutan elektrolit menjadi:

Rumus – rumus di atas juga dapat digunakan untuk larutan elektrolit tipe ion, dimana
 menyatakan aktivitas, yaitu tingkat kebebasan ion – ion (karena ion – ion tidak
bebas 100%, maka derajat ionisasi larutan elektrolit tipe ion tidak sama dengan satu
tetapi mendekati satu).
Contoh:
Satu gram MgCl2 dilarutkan dalam 500 gram air. Tentukanlah:
a. titik didih, b. titik beku, c. tekanan osmotic larutan itu pada 25 oC jika derajat
ionisasi (aktivitas) = 0,9. Kb air = 0,52oC; Kf air = 1,86oC. (Mg = 24; Cl = 35,5)

Pembahasan:
Molaritas larutan juga dapat juga dianggap = 0,022 mol/liter (untuk larutan encer,
kemolalan dan kemolaran mempunyai harga yang hampir sama).
i = 1 + (n – 1) . , diperoleh nilai i = 1 + (3 – 1) . 0,9 = 2,8
V-19
a) Tb = Kb x m x i, maka nilai Tb = 0,52 x 0,022 x 2,8 = 0,032oC
Titik dididh larutan = 100 + 0,032oC = 100,032oC
b) Tf = Kf x m x i, maka nilai Tf = 1,86 x 0,022 x 2,8 = 0,115oC
Titik beku larutan = Tf = 0 – 0,115oC = - 0,115oC
c)  = MRT x i, maka nilai  = 0,022 x 0,08205 x 298 x 2,8 = 1,51 atm.

5.6 SISTEM KOLOID


Sistem koloid adalah campuran homogeny antara fase terdispersi dana fase
pendispersi. Sistem disperse ada 3 macam yaitu: Sistem larutan, Sistem suspense, dan
Sistem koloid, sebagaimana disajikan persamaan dan perbedaannya pada Tabel 5.6.
Adapun pengelompokkan koloid secara umum ada 8 macam (Tabel 5.7).

5.6.1 Sifat Khas Partikel Koloid


Partikel koloid mempunyai sifat – sifat khas seperti efek Tyndall, gerak brown,
adsorpsi, koagulasi, koloid liofil, dan koloid liofob.
Tabel 5.6 Persamaan dan perbedaan ketiga Sistem dispersi.

Sifat Dispersi
Sifat
Larutan Koloid Suspensi
Bentuk Campuran Homogen Homogen Heterogen

Bentuk Dispersi Dispersi molekuler Dispersi padatan Dispersi padatan

Penulisan A(aq) A(s) A(s)

Ukuran Partikel < 10-7 cm 10-7 - 10-5 cm > 10-5 cm

Pemeriksaan Tetap homogen Heterogen dengan Dengan mata biasa


Mikroskop dengan mikroskop mikroskop ultra heterogen
ultra
Penyaringan Tidak dapat disaring Dapat disaring dengan Dapat disaring
dengan penyaringan penyaringan ultra dengan penyaring
apapun biasa

Tabel 5.7 Macam – macam koloid.


Fasa Fasa
No. Nama koloid Contoh
Terdispersi Pendispersi
1 Gas Cair Buih Buih sabun, shampoo, detergen, kerak
2 Gas Padat Busa Padat Karet busa, batu apung,
3 Cair Gas Aerosol cair Kabut

V-20
4 Cair Cair Emulsi Susu, santan, es krim
5 Cair Padat Emulsi padat Mutiara, keju
6 Padat Gas Aerosol padat Asap
7 Padat Cair Sol Cat, larutan agar – agar dan kanji, lotion
8 Padat Padat Sol padat Kaca berwarna, campuran logam

5.6.1.1 Efek Tyndall


Efek Tyndall adalah efek penghamburan cahaya oleh partikel koloid. Efek
Tyndall terjadi karena partikel koloid dengan ukuran lebih besar mampu memantulkan
kembali cahaya yang diterima sedangkan pada larutan karena molekuler maka ukuran
partikel tersebut kecil sekali dan tidak mampu memantulkan cahaya yang diterima dan
mata kita pun tidak mampu mengamatinya.

5.6.1.2 Gerak Brown


Gerak brown adalah gerak acak, gerak tidak beraturan dari partikel koloid.
Gerakan ini terjadi karena benturan molekul-molekul zat pendispersi pada partikel
koloid. Gerak Brown ditemukan oleh Robert Brown, seorang ahli biologi Inggris.
5.6.1.3 Adsorpsi
Beberapa partikel koloid mempunyai sifat adsorpsi (penyerapan pada
permukaan) terhadap partikel atau ion atau senyawa lain. Penyerapan terhadap ion
positif atau ion negatif dari partikel koloid menyebabkan koloid menjadi bermuatan.
Partikel koloid Fe(OH)3 sebetulnya tidak bermuatan, tetapi karena partikel koloid
Fe(OH)3 mampu mengikat (mengadsorpsi) ion-ion positif (ion H+) maka permukaan
koloid Fe(OH)3 menjadi bermuatan positif.

5.6.1.4 Koagulasi
Koagulasi adalah penggumpalan partikel koloid dan membentuk endapan.
Dengan terjadinya koagulasi, berarti zat terdispersi tidak lagi nembentuk koloid.
Koagulasi dapat terjadi secara fisik karena pemanasan, pendinginan, pengadukan atau
secara kimia seperti penambahan elektrolit, pencampuran koloid yang berbeda
muatan.

5.6.1.5 Koloid Liofil dan Liofob


V-21
Koloid ini terjadi pada sol yaitu fasa terdispersinya padatan dan fasa
pendispersinya cairan. Koloid liofil adalah koloid sol dimana partikel koloid (sebagai
fasa terdispersi) senang (dapat menarik/mengikat) cairannya (sebagai fasa
pendispersi). Liofil artinya : Lio = cairan dan Philia = senang/cinta. Contoh koloid
liofil adalah sol kanji, agr-agar, lam, cat, gelatin, protein, sabun, dan lain-lain.

5.6.2 Peristiwa Elektroforesis


Kita sudah mempelajari adanya koloid yang bermuatan seperti: koloid
bermuatan posiif; Fe(OH)3, Al(OH)3 dan koloid bermuatan negatif: sol, emas, As2S3.
Jika koloid yang bermuatan positif seperti sol Fe(OH) 3 dialiri arus listrik searah
kemudian dimasukkan elektroda positif dan elektroda negative, maka partikel kooloid
Fe(OH)3 bergerak dan mangumpul pada elektroda negative. Begitu juga jika kedua
elektroda dimasukkan dalam koloid As2S3, maka partikel koloid tersebut akan bergerak
dan mengumpul pada elektroda positif. Peristiwa pergerakan partikel koloid yang
bermuatan ke salah satu ke salah satu elektroda disebut elektroforesis. Elektroforesis
dapat digunakan untuk menentukan muatan partikel koloid. Jika partikel koloid
berkumpul di elektroda positif berarti koloid bermuatan negatif dan jika partikel
koloid berkumpul di elektroda negatif berarti koloid bermuatan positif.

5.6.3 Dialisis
Dialisis adalah proses pemurnian partikel koloid dari muatan-muatan yang
menempel pada permukaannya. Adanya ion-ion tersebut merupakan sisa dari
pereaksi pada proses pembuatannya. Misalnya pada pembiatan koloid Fe(OH) 3
terdapat ion-ion H+ dan Cl-. Begitu juga pada pembuatan koloid As2S3 terdapat ion-
ion H+ dan S2-.

V-22
5.6.4 Pembuatan Sistem Koloid
5.6.4.1 Cara Kondensasi
Cara kondensasi termasuk cara kimia. Pada proses kondensasi, molekul-molekul
dari larutan direaksikan menghasilkan suatu senyawa yang sukar larut dalam air dan
membentuk partikel koloid.
Reaksi kimia untuk menghasilkan partikel koloid dapat merupakan:
a) Reaksi Redoks
Pada reaksi ini terjadi perubahan bilangan oksidasi.
Contoh: penbuatan seol belerang
2H2S (g) + SO2 ((aq) 3 S (s) + 2H2O (i)
b) Reaksi Hidrolisis
Sol senyawa hidrolisis yang sukar larut seperti Fe(OH)3, Al(OH)3 dapat dibuat
dari reaksi hidrolisis dengan air
Contoh: pembuatan sol Fe(OH)3
Larutan FeCl3 ditambahkan pada air mendidih maka,
FeCl3 (aq) + 3H2O (g) As2S3 (s) + 6 H2O (i)
c) Reaksi Subtitusi
Contoh pembuatan sol As2S3
Sol As2S3 dibuat dengan mengalirkan gas H2S ke dalam larutan asam arsenic yang
encer melalui reaksi subtitusi berikut:,
2H3AsO3 (aq) + 3H2S (g) As2S3 (s) + 6H2O (i)

5.6.4.2 Cara Disepersi


Cara ini dilakukan dengan mengubah partikel berukuran besar menjadi partikel
koloid.

5.6.4.3 Cara Mekanik


Ini dilakukan dari gumpalan materi yang besar kemudian dihaluskan dengan
cara penggerusan atau penggilingan. Setelah diperoleh partikel yang halus, kemudian
didispersikan dalam medium pendispersi. Agar partikel padatan tidak mengendap
maka ditambahkan zat penstabil.

5.6.4.4 Cara Busur Bredig


Mula – mula logam yang akan didispersikan (Au atau Pt) dibuat seperti
elektroda, kemudian kedua logam dihubungan dengan arus listrik dan dicelupkan
dalam larutan KCl 0,001 M. Panas yang timbul, mula – mula menguapkan logam
kemudian uap logam terkondensasi dalam larutan dan membentuk partikel koloid.

V-23
5.6.4.5 Cara Peptisasi
Cara ini mengubah endapan yang terjadi dengan diubah menjadi partikel koloid
dengan cara penambahan zat kimi (elektrolit). Reaksi pembentukan Al(OH)3 dalam
jumlah banyak dapat membentuk endapan Al(OH)3. Endapan Al(OH)3 diubah menjadi
partikel koloid dengan penambahan AlCl3. Endapan CdS atau NiS jika dialiri gas H 2S
akan terbentuk sol yang terdispersi. Jadi, sol sulfide bukan berasal dari larutan tetapi
dari endapan.

SOAL TUTORIAL BAB V; LARUTAN


1. Jelaskan dengan singkat yang dimaksud dengan larutan biner berikan 5
contoh larutan biner
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan konsentrasi. Berikan 6 jenis satuan
konsentrasi
3. 98 gram asam sulfat dilarutkan dalam akuades sehingga volume larutan
menjadi 1000 mL, maka hitunglah konsentrasi larutan tersebut dalam satuan :
a. % b. M C. m d. N e. X H2SO4 dan X H2O
4. Hitunglah berapa gram yang diperlukan untuk membuat larutan NaCl 0,5 Molar
sebanyak 2 liter.
5. Hitungl;ah normalitas H2SO4 jika diketahui % larutan 50 Bj= 1,18g/cm 3 Mr 98
g/mol
6. Berapa normalitas H2SO4 2M dan HCl pekat (11,8 M)?
7. Tekanan uap jenuh air pada 100oC adalah 760 mm Hg. Berapakah tekanan uap
jenuh larutan glukosa 10% pada 100oC? (H = 1; C = 12; O = 16)
8. Sebanyak 18 gram glukosa (Mr=180) dilarutkan dalam 1000 gram air.
Tentukan
a. Titik didih larutan tersebut jika diketahui Kb air = 0,52oC
b. Titik beku larutan tersebut jika diketahui Kf air = 1,86
c. Tekanan osmosis pada suhu 27oC
9. Larutan 5 gram suatu zat X dalam 500 mL larutan mempunyai tekanan
osmosis sebesar 78 cm Hg pada suhu 27oC. tentukan massa molekul relative
(Mr) zat X tersebut?
10. Satu gram K2SO4 dilarutkan dalam 500 gram air, Tentukanlah: a. titik didih
b. titik beku, c. tekananan osmotik larutan tersebut pada suhu 25oC, jika
derajat ionisasi (aktivitas)= 0,9. Kb air =0,52oC, Kf air = 1,86oC. (Ar K=39
S= 32 O= 16)

V-24

Anda mungkin juga menyukai