NIM : 180902005
A. ISTILAH KEBUDAYAAN
Secara etimologi, kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta “budhayah”
(merupakan bentuk jamak dari kata “budhi“) yang memiliki pengertian budi, akal, atau
hal yang berkaitan dengan akal. Adapun kata “budaya“, merupakan bentuk jamak dari
kata “budi-daya“, yaitu daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Maka, hasil
dari cipta, rasa, dan karsa tersebut diistilahkan dengan “kebudayaan“. Kebudayaan
dipadankan dengan kata “culture” dalam bahasa Inggris atau “cultuur” dalam bahasa
Belanda. Culture sendiri berasal dari kata “colera” dalam bahasa Latin yang memiliki
makna mengolah, mengerjakan, atau menyuburkan. Lalu, dari pengertian leksikal ini
maknanya berkembang sebagai “segala daya, aktivitas, dan tindakan manusia untuk
mengolah tanah dan mengubah alam”.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.
Prof. Dr. Koentjoronigrat mendefinisikan bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Kebudayaan khususnya unsur rasa yang menghasilkan kaidah-kaidah dan nilai-
nilai itu merupakan unsur normatif yang merupakan design for living. Artinya
kebudayaan merupakan suatu blue print of behavior yang memberikan pedoman atau
patokan kelakuan masyarakat. Dari penjelasan tersebut, tentunya relevan untuk
membahas bagaimana sebuah hukum adat lahir dan menjelma dalam hidup masyarakat
sebagai aspek kebudayaan yang didalamnya telah mengedepankan nilai-nilai keluhuran
sebagai bangsa yang bermartabat.
B. HUKUM ADAT DAN KEBUDAYAAN
Hukum adat merupakan refleksi gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai
budaya,norma dan aturan-aturan yang saling berkaitan satu sama lain yang dengannya
menjadi satu sistem dan memiliki sanksi.
Menurut koentjaraningrat ada 3 wujud kebudayaan :
1. Wujud ideal : sebagai suatu kompleks dari ide-ide,gagasan,nilai-nilai,norma-norma
dan aturan-aturan
2. Wujud kelakuan : sebagai suatu kompleks dari aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dala masyarakat
3. Wujud fisik : sebagai benda hasil karya manusia
Selanjutnya adat dalam kebudayaan terbagi atas 4 tingkatan,yaitu :
1. Nilai Budaya
Lapisan yang paling abstrak
Luas ruang lingkupnya
Ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang berniali salah satunya
kebudayaan masyarakat
Berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia
Contohnya : gotong royong
2. Nilai Norma
Nilai budaya yang telah dikaitkan kepada peranan-peranan dari manusia-
manusia dalam masyarakat
Merupakan pedoman manusia dalam hal memainkan peranan dalam
masyarakat
Contoh : peran antara atasan >< bawahan
Guru >< murid
3. Tingkat Hukum :
Norma yang terang batas ruang lingkupnya
Mengatur suatu aspek tertentu dalam kehidupan masyarakat
Lebih banyak jumlah norma-norma yang menjadi pedoman
Contoh : hukum adat
4. Aturan Hukum :
Hukum yang mengatur aktivitas yang sanagat jelas dan sangat terbatas
ruang lingkupnya
Lebih konkret sifatnya
D. NORMA KULTUR
Dalam bagan sibernetika dari Parsons dikemukakan bahwa manusia dikontrol oleh arus-arus
informasi tertentu yang diterimanya dari sumber yang tertinggi, yang oleh Parsons disebut
sebagai ultimate reality atau “kebenaran jati”. Bekerjanya arus informasi tersebut kemudian
menimbulkan kesadaran diskriminatif pada manusia, yang menyebabkan mereka dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Nilai-nilai itu memberikan suatu pengertian
tentang hal-hal yang patut dijunjung tinggi, yang juga harus dicapai dan dipelihara. Sehubungan
dengan nilai-nilai tersebut, timbul suatu penggolongan yang penting mengenai norma, yaitu
menjadi “keharusan-keharusan alamiah” dan “keharusan-keharusan susilawi”, yang selanjutnya
dikenal sebagai “norma alam” dan “norma susila” (Radbruch, 1961:12).
Norma alam dan norma susila memiliki perbedaan-perbedaan, seperti yang tampak dalam
bagan di bawah ini :
Norma yang menggambarkan dunia kenyataan, Norma yang menggambarkan suatu rencana,
yaitu mengutarakan sesuatu yang memang atau suatu keadaan yang ingin dicapai. Norma
sudah ada. ini mengutarakan sesuatu yang masih ingin
dicapai.
Selain perbedaan-perbedaan seperti yang telah disebutkan dalam bagan di atas, norma
alam dan norma susila juga memiliki satu perbedaan yang mendasar lain, yang terletak dalam hal
hubungan yang dibicarakan di dalamnya. Dalam norma alam, hubungan-hubungan yang terjadi
di bidang kehidupan alam terbilang dapat diukur secara eksak, oleh karena itu yang dibicarakan
di dalam norma alam adalah hubungan sebab-akibat (causal relation). Kausalitas semacam ini
tidak ditemukan dalam norma susila. Sebaliknya, yang terjadi dalam norma susila merupakan hal
yang sulit diukur secara eksak, sehingga hubungan yang ada adalah hubungan pengaitan
(zurechnungsprinzip), yang berarti norma susila cenderung dikaitkan pada suatu kejadian bila
timbul suatu kejadian tertentu. Perbedaan kedua terletak pada perantara yang dibutuhkan dalam
hubungan pada kedua norma tersebut. Pada norma alam, hubungan sebab-akibat dapat berjalan
dengan sendirinya, tanpa membutuhkan perantara. Sedang dalam norma susila, suatu hubungan
tidak mungkin terjadi tanpa adanya perantara. Perantara inilah yang kemudian akan memutuskan
apakah norma susila tertantu layak untuk dikaitkan dengan suatu kejadian atau tidak.
Lantas, apa hubungan antara hukum, yang sedang kita pelajari dengan kedua norma
tersebut? Norma hukum ternyata termasuk dalam norma susila, norma susila sendiri terdiri dari
norma hukum dan norma kesusilaan. Norma hukum dan norma kesusilaan sendiri memiliki
beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaan antara kedua norma itu adalah keduanya sama-
sama ingin mencapai atau menciptakan sesuatu; oleh karena persamaannya inilah, maka norma
hukum dan norma kesusilaan sama-sama digolongkan ke dalam norma susila. Namun demikian,
keduanya juga memiliki perbedaan dalam ciri-cirinya, norma kesusilaan dimasukkan ke dalam
golongan norma ideal, sedang norma hukum dimasukkan dalam golongan norma kultur
(Radbruch, 1961:15). Mengenai perbedaan norma ideal, norma alam, dan norma kultur, akan
lebih jelas bila kita melihatnya dalam bagan di bawah ini :
Mustari, Suriyaman. 2014. Hukum Adat Dulu, Kini dan Akan Datang. Jakarta : Prenadamedia
Group