Anda di halaman 1dari 28

ANATOMI LUAR DAN DALAM SERANGGA

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Serangga termasuk filum Arthropoda yaitu kelompok hewan yang mempunyai kaki beruas-ruas,
tubuh bilateral simetris dan dilapisi oleh kutikula yang keras (exosceleton). Serangga
digolongkan dalam kelasinsecta (hexapoda), karena memiliki 6 buah (3 pasang) kaki yang
terdapat di dadaerah dada (thorax). Jumlah kaki menjadi ciri khas serangga yang
membedakannya dengan hewan lain dalam phylum Arthropoda seperti laba-laba (arachnida),
kepiting (decapoda), udang (crustacea), lipan dan luwing (myriapoda), Kehidupan serangga
sudah dimulai sejak 400 juta tahun (zaman devonian). Kira-kira 2 - 3 juta spesies serangga telah
terindentifikasi. Diperkirakan, jumlah serangga sebanyak 30-80 juta spesies yang meliputi sekitar
50% dari keanekaragaman spesies di muka bumi. (Angga, 2009 ).
Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk dan perilaku.
Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga berkaitan erat dengan rangka luar
(eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga merangkap sebagai rangka penunjang
tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil serta kemampuan terbang sebagian besar jenis
serangga. Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif
sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga
memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman genetik
yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis
serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat
resistensi terhadap insektisida. (Angga, 2009 ).
Beberapa jenis serangga juga berguna bagi kehidupan manusia seperti lebah madu, ulat sutera,
kutu lak, serangga penyerbuk, musuh alami hama atau serangga perusak tanaman, pemakan
detritus dan sampah, dan bahkan sebagai makanan bagi mahluk lain, termasuk manusia. Tetapi
sehari-hari kita mengenal serangga dari aspek merugikan kehidupan manusia karena banyak di
antaranya menjadi hama perusak dan pemakan tanaman pertanian dan menjadi pembawa
(vektor) bagi berbagai penyakit seperti malaria dan demam berdarah. Walaupun demikian
sebenarnya serangga perusak hanya kurang dari 1 persen dari semua jenis serangga. Dengan
mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia
mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini(Angga, 2009 ).

1.2 Tujuan dan Kegunaan


Tujuan dari praktikum tentang Pengenalan Anatomi Luar dan Dalam serangga ini adalah untuk
mengetahui, mempelajari anatomi luar dan dalam serangga.
Kegunaan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui bentuk morfologi luar serangga daan
sistim pencernaan, sistim pernafasan dan sistim sirkulasi pada serangga.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Sistematika Belalang Kayu (Valanga nigricornis)
Sistematika belalang kayu (valanga nigricornis) yaitu Kingdom : Animalia, Phylum :
Arthropoda, Class : Insecta, Order : Orthoptera , Family : Acridoidea, Genus : Valanga,
spesies : Valanga nigricornis.

2.2 Morfologi Belalang Kayu (valanga nigricornis)


Ordo Orthoptera (bangsa belalang) Sebagian anggotanya dikenal sebagai pemakan tumbuhan,
namun ada beberapa di antaranya yang bertindak sebagai predator pada serangga lain. Anggota
dari ordo ini umumnya memilki sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada sayap
belakang dengan vena-vena menebal/mengeras dan disebut tegmina. Sayap belakang membranus
dan melebar dengan vena-vena yang teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang melipat di
bawah sayap depan. Alat-alat tambahan lain pada caput antara lain : dua buah (sepasang) mata
facet, sepasang antene, serta tiga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta tiga
pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran
alat pendengar yang disebut tympanum. Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar
terdapat pada tiap-tiap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai
pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen). Ada mulutnya bertipe penggigit dan penguyah
yang memiliki bagian-bagian labrum, sepasang mandibula, sepasang maxilla dengan masing-
masing terdapat palpus maxillarisnya, dan labium dengan palpus labialisnya (Jumar, 2000).
2.3 Tipe-Tipe Antenna Serangga
Pada umumnya antena serangga terbagi menjadi 3 ruas utama yaitu scape yang merupakan ruas
pertama melekat pada kepala, ruas kedua disebut dengan pedisel, dan dan ruas ketiga disebut
dengan flagellum. Bentuk dan ukuran antena pada setiap jenis serangga berbeda beda. Beberapa
bentuk antena tersebut adalah : filiform yaitu bentuknya menyerupai benang dan pada setiap ruas
mempunyai ukuran bentuk silindris yang sama (Jumar, 2000).
Setaceous adalah bentuk antena seperti duri segmen yang memanjang dan meruncing ke bagian
ujung (distal). Moniliform, bentuk antena seperti untaian merjan pada setiap segmen jelas dan
sama besar. Flabellate, bentuk semua segmen antena setelah pedicel seperti lempengan atau
lembaran. Lamellate, segmen antena paling ujung membesar dan menjadi lempengan. Plumose,
bentuk antena seperti bulu setiap segmen berambut lebih dan panjang. Aristate, bentuk antena
seakan-akan dari segmen antena keluar lagi antena. Stylate, segmen terakhir dari antena agak
panjang dan runcing. Bipectinate, setiap segmen antena memiliki sepasang rambut (Jumar,
2000).
Pectinate yaitu antenna yang berbentuk antena seperti sisir karena setiap segmen antena
memanjang ke arah samping. Geniculate, antena berbentuk siku karena segmen pertama (scape)
berukuran panjang diikuti segmen yang lebih kecil yang membentuk sudut dengan segmen yang
pertama. Serate, bentuk antena pada tiap-tiap segmen berbentuk seperti gigi atau
gergaji. Capitate, bentuk antena bagian ujung sangat besar. Clavate, bentuk antena agak
membesar ke bagian ujungnya (Jumar, 2000).
Adapun fungsi antena pada setiap jenis serangga sangat beragam, namun pada umumnya fungsi
utama dari antena tersebut adalah sebagai alat peraba dan pencium. Selain dua fungsi utama
antena yang telah disebutkan diatas beberapa fungsi lain dari antena serangga yang sama
pentingnya adalah sebagai alat untuk mengetahui tempat-tempat makanan (mangsa) (Jumar,
2000).

2.4 Tipe Mulut Serangga


Bagian-bagian mulut serangga dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe umum, yaitu mandibulata
(pengunyah) dan haustelata (penghisap), tipe alat mulut pengunyah, mandibel bergerak secara
transversal yaitu dari sisi ke sisi, dan serangga tersebut biasanya mampu menggigit dan
mengunyah makanannya. Tipe mulut penghisap memiliki bagian-bagian dengan bentuk seperti
probosis yang memanjang atau paruh dan melalui alat itu makanan cair dihisap. Tipe mulut
penggigit yaitu Mulut tipe pengigit dilengkapi dengan rahang atas dan bahwa yang sangat kuat,
contohnya mulut belalang dan jangkrik. Tipe mulut penusuk-penghisap yaitu Mulut tipe
penusuk-penghisap mempunyai rahang yang panjang dan runcing . Contohnya nyamuk. Mulut
penghisap yaitu Mulut tipe penusuk-penghisap dilengkapi dengan alat seperti belalai panjang
yang dapat digulung, contohnya mulut kupu kupu. Dan Mulut penjilat yaitu Mulut tipe penjilat
dilengkapi dengan alat untuk menjilat. Contohnya mulut lebah madu dan lalat (Jumar, 2000).
2.5 Morfologi Thorax
Toraks adalah bagian yang menghubungkan antara caput dan abdomen. Pada dasarnya tiap ruas
toraks pada serangga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Prothorax : bagian depan dari
thoraks dan sebagai tempat atau dudukan bagi sepasang tungkai depan. Mesothorax : bagian
tengah dari thorax dan sebagai tempat atau dudukan bagi sepasang tungkai tengah dan sepasang
sayap depan. Metathorax : bagian belakang dari thorax dan sebagai tempat atau dudukan bagi
sepasang tungkai belakang dan sepasang sayap belakang . Torak juga merupakan daerah
lokomotor pada serangga dewasa karena pada torak terdapat tiga pasang kaki dan dua atau satu
pasang sayap (kecuali ordo Thysanura tidak bersayap). Torak bagian dorsal disebut
notum (Jumar, 2000).

2.6 Morfologi Abdomen Serangga


Abdomen serangga merupakan bagian tubuh yang memuat alat pencernaan, ekskresi, dan
reproduksi. Abdomen serangga terdiri dari beberapa ruas, rata-rata 9-10 ruas. Bagian dorsal dan
ventral mengalami sklerotisasi sedangkan bagian yang menghubungkannya berupa membran.
Bagian dorsal yang mengalami sklerotisasi disebut tergit, bagian ventral disebut sternit, dan
bagian ventral berupa membran disebut pleura. Perkembangan evolusi serangga menunjukkan
adanya tanda-tanda bahwa evolusi menuju kepengurangan banyaknya ruas abdomen. Serangga
betina dewasa yang tergolong apterygota, seperti Thysanura, memiliki ovipositor yang primitive
dimana bentuknya terdiri dari dua pasang embelan yang terdapat pada bagian bawah ruas
abdomen kedelapan dan kesembilan. Sesungguhnya, terdapat sejumlah serangga yang tidak
memiliki ovipositor, dengan demikian serangga ini menggunakan cara lain untuk meletakkan
telurnya. Jenis serangga tersebut terdapat dalam ordo Thysanoptera, Mecoptera, Lepidoptera,
Coleoptera, dan Diptera. Serangga ini biasanya akan menggunakan abdomennya sebagai
ovipositor. Beberapa spesies serangga dapat memanfaatkan abdomennya yang menyerupai
teleskop sewaktu meletakkan telur-telurnya (Jumar, 2000).

2.7 Tipe-Tipe Tungkai Serangga


Sejumlah bentuk tungkai serangga yang khas beserta fungsinya dijelaskan sebagai
berikutSaltatorial : Tungkai belakang belalalng yang digunakan untuk meloncat, dengan bentuk
femur tungkai belakang lebih besar bila dibandingkan dengan femur tungkai depan dan tungkai
tengah. Contoh : Valanga nigricornis (belalang), Raptorial : Tungkai depan digunakan untuk
menangkap dan memegang mangsa, sehingga ukurannya lebih besar bila dibandingkan dengan
tungkai yang lainnya. Contoh : Stagmomantis carolina (belalang sembah), Kursorial : Tungkai
ini digunakan untuk berjalan cepat atau berlari. Contoh : Periplaneta
australasiae (kecoa), Fosorial : Tungkai depan berubah bentuk sebagai alat penggali
tanah. Contoh : Gryllotalpa africana (orong-orong), Natatorial : Tungkai jenis ini terdapat pada
serangga air yang berfungsi untuk berenang. Contoh : Hydrophilus triangularis (kumbang
air), dan Korbikulum : Tungkai tipe ini berfungsi untuk mengumpulkan tepung
sari. Contoh : Apis cerana (lebah madu) (Jumar, 2000).
2.8 Sistem Pencernaan Serangga
Sistem pencernaan serangga di bagi atas beberapa bagian yaitu Bagian terdepan disebut
stomodeum atau usus depan (foregut), usus tengah (midgut), dan usus belakang
(kindgut). Saluran makanan serangga terdiri dari tiga bagian dengan katup-
katup (sphincters, volves). Seluruh saluran makanan di bagian dalamnya dilapisi selapis sel
epitel, berkedudukan pada membran dasar. Stomodeum dan proktodeum mempunyai lapisan
kutikula sedang mesentron tidak. Stomodeum : Pada dasarnya stomodeum terbagi menjadi
bagian-bagian sebagai berikut, dari depan: faring (pharynx), oesofagus (oesophagus) dan
tembolok (crop) yang merupakan tempat penyimpanan makanan (Jumar, 2000).

2.9 Sistem Pernapasan Serangga


Semua binatang memerlukan pembekalan energi dan umumnya mendapatkan energi melalui
proses respirasi (pernafasan). Respirasi terdiri dari pengambilan, transportasi dan penggunaan
oksigen oleh jaringan-jaringan dan pelepasan dan pembuangan limbah, terutama dioksida dan
lingkungannya disebut respirasi luar (eksternal), sedang pertukaran gas di dalam sel disebut
respirasi dalam (internal) atau metabolisme respirasi. Respirasi luar pada hampir semua serangga
dilaksanakan oleh sistem trakea. Melalui sistem ini udara/oksigen dari luar diantarkan ke
jaringan dan sel-sel yang memerlukan. Pada serangga ukuran besar yang aktif, untuk
melancarkan proses pernapasan itu dibantu sedikit-banyak oleh ventilasi mekanis dari trakea
abdomen dan kantung-kantung udara yang dihasilkan oleh gerakan-gerakan ritmik tubuh. Proses
ini disebut ventilasi aktif. Analisis menunjukkan bahwa seperempat dari jumlah CO2 yang
terjadi karena respirasi lepas keluar melalui permukaan tubuh. Hal ini karena gas CO2 dapat
berdifusi melalui jaringan binatang 35x lebih cepat daripada oksigen (Jumar, 2000).

2.10 Sistem Reproduksi Belalang


Sistem reproduksi jantan terdiri atas sepasang testis yang terletak di ujung belakang abdomen.
Setiap testis mengandung unit-unit fungsional (folikel) dimana sperma dihasilkan. Sperma
matang yang keluar dari testis melewati saluran pendek (vas efferentia) dan mengumpul di
ruang penyimpan (vesikula seminalis, Gambar 3D). Saluran yang sama (vas deferens) mengarah
keluar dari vesikula seminalis, bergabung satu sama lain di sekitar pertengahan tubuh, dan
membentuk saluran ejakulasi (ejaculatory duct) tunggal yang mengarah keluar dari tubuh melalui
organ kelamin jantan (aedeagus). Satu atau lebih pasangan kelenjar aksesori (accessory glands)
biasanya berhubungan dengan sistem reproduksi jantan, yaitu organ-organ sekretori yang
terhubung dengan sistem reproduksi melalui saluran pendek - beberapa mungkin menempel
dekat testis atau vesikula seminalis, yang lainnya mungkin berhubungan dengan saluran
ejakulasi (Jumar, 2000).
Sistem reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium. Setiap ovarium terbagi menjadi unit-unit
fungsional (ovariol) di mana telur dihasilkan. Satu ovarium dapat mengandung puluhan ovariol,
umumnya sejajar satu sama lain. Telur matang meninggalkan ovarium melalui saluran telur
lateral (lateral oviducts). Pada sekitar pertengahan tubuh, saluran telur lateral ini bergabung
untuk membentuk common oviduct yang membuka ke ruang alat kelamin yang disebut bursa
copulatrix. Kelenjar aksesori betina (accessory glands) memasok pelumas untuk sistem
reproduksi dan mengeluarkan kulit telur kaya protein (chorion) yang mengelilingi seluruh telur.
Kelenjar ini biasanya dihubungkan dengan saluran kecil ke saluran telur umum atau bursa
copulatrix (Jumar, 2000).
Selama kopulasi, jantan menyimpan spermatophore di bursa copulatrix. Kontraksi peristaltik
menyebabkan spermatophore masuk ke dalam spermatheca betina, sebuah ruang kantong
penyimpanan sperma. Kelenjar spermathecal (spermathecal gland) memproduksi enzim (untuk
mencerna lapisan protein spermatophore) dan nutrisi (untuk mempertahankan sperma sementara
berada di penyimpanan). Sperma dapat hidup di spermatheca selama berminggu-minggu, bulan,
atau bahkan bertahun-tahun (Jumar, 2000).
III. METODE PRAKTEK
3.1 Tempat dan Waktu
Praktikum Entomologi dan Fitopatologi Mengenai Anatomi Luar dan Dalam Serangga,
bertempat Di Labolatorium Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas
Tadulako, Palu. Dilaksanakan pada hari Sabtu, 2 juni 2012, pada pukul 09.00 Wita - sampai
selesai.

3.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan yaitu papan bedah, jarum pentul, toples/glass aqua/plastic
transparan, cutter, silet, pinset dan alat tulis menulis. Adapun bahan-bahan yang digunakan
yaitu: Belalang(Valanga nigricornis), dan alkohol 70%.

3.3 Cara Kerja


Pada pengamatan Anatomi Luar dan Dalam Serangga, pertama-tama menyiapkan
bahan/spesimen serangga yang diwakili oleh belalang, kemudian merendam ke dalam alkohol
hingga spesimen mati dan mengamati morfologi spesimen tersebut satu persatu, dari caput,
thoraks, abdomen beserta bagian-bagiannya, sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem
peredaran darah (sirkulasi), sistem reproduksi dan sistem saraf. Setelah itu menggambar
spesimen pada kertas kuarto dan memberikan keterangan pada setiap gambar tersebut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka hasil yang di peroleh adalah sebagai berikut:
Keterangan :
1. Kepala (caput)
2. Antena
3. Dada (Thorax)
4. Tungkai
5. Sayap
6. Perut (Abdomen)

Gambar 1. Anatomi luar belalang (Valanga nigricornis)


Keterangan :
1. frons
2. Maxilla
3. Maxilla
4. Mata Majemuk
5. Mata oceli
6. Antenna
7. Mandibula
8. Labirin

Gambar 2. Anatomi luar caput belalang (Valanga nigricornis)


Gambar
Keterangan : 3. Anatomi
1. Flagelium luar antena
2. Pedisel belalang
3. Scape

(Valanga nigricornis)
Keterangan :
1. prothorakx
2. Mesothorakx
3. Metathorakx

Gambar 4. Anatomi luar thorax belalang (Valanga nigricornis)

Keterangan :
1. Membran lateral
2. Tergum
3. Serkus
4. Epiprok
5. Anus
6. Paraprok
7. Spirakel
8. Sterhum (1-9)

Gambar 5. Anatomi luar abdomen belalang (Valanga nigricornis)

Keterangan :
1. Kosta
2. Subkosta
3. Radius
4. Median
5. Kubitus
6. Anal
7. Radius
Gambar 6. Anatomi luar sayap belalang (Valanga nigricornis)

Keterangan :
1. Koska
2. Tibia (betis)
3. Tarsus
4. Arolium
5. Femur (paha)
6. Trokhanter

Gambar 7. Anatomi luar tungkai belalang (Valanga nigricornis)

Keterangan :
1. Faring
2. Esofagus
3. Tombolok
4. Proventrikulus
5. Ventrikulus
6. Saluran Buntu Gastrium
7. Tabung Malpighi
8. Usus
9. Rectum
10 Anus

Gambar 8. Anatomi dalam sistem percernaan belalang (Valanga nigricornis)


Keterangan :
1. Dinding Tubuh
2. Sel-Sel Epithelial
3. Intima
4. Tanpa Epithelium
5. Trakheolum
6. Jaringan Tubuh
7. Percabangan Trachea
8. Trokea
9. Trakhea Utama
10. Stigma/Spirakel

Gambar 9. Anatomi dalam sistem pernapasan belalang (Valanga nigricornis)

Keterangan :
1. Membrane Pentorial
2. Testis
3. Tabung Sperma
4. Vas Eferens
5. Vas Deferens
6. Kelenjar Areson
7. Vesikula Seminalis
8. Tabung Ejakulasi

Gambar 10a. Sistem Reproduksi Belalang Jantan (Valanga nigricornis).


Keterangan :
1. Filamen Terminal
2. Ovarial
3. Ovum
4. Ovari
5. Spermatika
6. Kelenjar Spermatika
7. Saluran Spermatika
8. Saluran Telur Lateral
9. Kelenjar Aseson
10. Saluran Telur Utama
11. Ruang Genital (Vagina)

Gambar 10b. Sistem Reproduksi Belalang Jantan (Valanga nigricornis).

4.2 Pembahasan
Berdasarkan pengamatan anatomi luar belalang ( Valanga nigricornis ), bahwa terdapat Kepala
(caput), Antena, Dada (Thorax), Tungkai, Sayap dan Perut (Abdomen).
Belalang (Valanga nigricornis), merupakan hewan yang berciri-ciri antenna pendek, pronotum
tidak memanjang ke belakang, tarsi beruas 3 buah, femur kaki belakang membesar, ovipositor
pendek. Ukuran tubuh betina lebih besar dibandingkan dengan yang jantan. Sebagian besar
berwarna abu-abu atau kecoklatan atau beberapa lainnya berwarnah cerah di bagian beberapa
lainnya (Riordi, 2009 ).
Berdasarkan pengamatan anatomi luar caput belalang (Valanga nigricornis), diperoleh frons,
Maxilla, Maxilla, Mata Majemuk, Mata oceli, Antenna, Mandibula dan Labirin.
Berdasarkan pengamatan anatomi luar antena belalang
(Valanga nigricornis) diperolehFlagelium, Pedisel dan Scape.
Mengenai antena pada serangga, dimana pada umumnya antena serangga terbagi menjadi 3 ruas
utama yaitu scape yang merupakan ruas pertama melekat pada kepala, ruas kedua disebut dengan
pedisel, dan dan ruas ketiga disebut dengan flagellum. Bentuk dan ukuran antena pada setiap
jenis serangga berbeda beda. Beberapa bentuk antena tersebut adalah : filiform yaitu bentuknya
menyerupai benang dan pada setiap ruas mempunyai ukuran bentuk silindris yang
sama. Sedangkan Adapun fungsi antena pada setiap jenis serangga sangat beragam, namun pada
umumnya fungsi utama dari antena tersebut adalah sebagai alat peraba dan pencium. Selain dua
fungsi utama antena yang telah disebutkan diatas beberapa fungsi lain dari antena serangga yang
sama pentingnya adalah sebagai alat untuk mengetahui tempat-tempat makanan
(mangsa) (Jumar, 2000).
Berdasarkan pengamatan anatomi luar thoraks belalang (Valanga nigricornis) terdiri atas 3
bagian prothorakx, Mesothorakx dan Metathorakx.
Pada dasarnya tiap ruas toraks pada serangga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Prothorax : bagian depan dari thoraks dan sebagai tempat atau dudukan bagi sepasang tungkai
depan. Mesothorax : bagian tengah dari thorax dan sebagai tempat atau dudukan bagi sepasang
tungkai tengah dan sepasang sayap depan. Metathorax : bagian belakang dari thorax dan sebagai
tempat atau dudukan bagi sepasang tungkai belakang dan sepasang sayap
belakang (Riordi, 2009 ).
` Berdasarkan pengamatan anatomi luar abdomen
belalang (Valanga nigricornis)terdiri atas Membran lateral, Tergum, Serkus, Epiprok,
Anus, Paraprok, Spirakel, dan Sterhum (1-9).
Abdomen pada serangga primitive tersusun atas 11-12 ruas yang dihubungkan oleh bagian
seperti selaput (membran). Jumlah ruas untuk tiap spesies tidak sama. Pada serangga primitif
(belum mengalami evolusi) ruas abdomen berjumlah 12. Perkembangan evolusi serangga
menunjukkan adanya tanda-tanda bahwa evolusi menuju kepengurangan banyaknya ruas
abdomen. Serangga betina dewasa yang tergolong apterygota, seperti Thysanura, memiliki
ovipositor yang primitive dimana bentuknya terdiri dari dua pasang embelan yang terdapat pada
bagian bawah ruas abdomen kedelapan dan kesembilan. Sesungguhnya, terdapat sejumlah
serangga yang tidak memiliki ovipositor, dengan demikian serangga ini menggunakan cara lain
untuk meletakkan telurnya. Jenis serangga tersebut terdapat dalam ordo Thysanoptera,
Mecoptera, Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera. Serangga ini biasanya akan menggunakan
abdomennya sebagai ovipositor. Beberapa spesies serangga dapat memanfaatkan abdomennya
yang menyerupai teleskop sewaktu meletakkan telur-telurnya (Jumar, 2000).
Berdasarkan pengamatan anatomi luar sayap belalang (Valanga nigricornis) terdiri atas Kosta,
Subkosta, Radius, Median, Kubitus, Anal dan Radius
Sayap pada serangga merupakan tonjolan integumen dari bagian mesothorax dan
metathorax. Sayap depan lebih sempit daripada sayap belakang dengan vena-vena
menebal/mengeras dan disebut tegmina. Sayap belakang membranus dan melebar dengan vena-
vena yang teratur. Tiap sayap tersusun atas permukaan atas dan bawah yang terbuat dari bahan
khitin yang tipis. Bagian-bagian tertentu dari sayap yang tampak sebagai garis tebal disebut
sebagai pembuluh sayap atau rangka sayap (Jumar, 2000).
Berdasarkan pengamatan anatomi luar
tungkai belalang (Valanga nigricornis)terdiri atas Koska, Tibia (betis), Tarsus,
Arolium, Femur (paha), dan Trokhanter.
Serangga dewasa dan beberapa serangga muda (pradewasa) memiliki tungkai pada bagian
toraksnya. Akan tetapi, terdapat serangga muda yang apodous (tidak bertungakai), seperti pada
larva lalat (sering disebut tampayak). Bahkan pada serangga dewasa yang tidak bertungkai
secara jelas, misalnya kutu perisai betina. Sejumlah bentuk tungkai serangga yang khas beserta
fungsinya dijelaskan sebagai berikut: Tipe cursorial, adalah tungkai yang digunakan untuk
berjalan dan berlari. Misalnya pada lipas (Periplaneta sp.) dan kumbang. Tipe fossorial, adalah
tungkai yang digunakan untuk menggali, ditandai dengan adanya kuku depan yang keras sekali.
Misalnya tungkai depan orong-orong (Gryllotalpa africana). Tipe saltatorial, adalah tungkai yang
berfungsi untuk meloncat, ditandai dengan pembesaran femur tungkai belakang. Misalnya: pada
belalang dan jangkrik. Tipe raptorial, adalah tungkai yang berfungsi untuk menangkap dan
mencengkeram mangsa, ditandai dengan pembesaran femur tungkai depan. Misalnya: kaki depan
belalang sembah. Tipe natatorial, adalah tungkai yang berfungsi untuk berenang, ditandai dengan
bentuk yang pipih serta adanya sekelompok “rambut-rambut renang” yang panjang. Misalnya:
pada kumbang Dytiscidae dan kepinding kapal (family Corixidae). Tipe ambolatorial, adalah
tungkai yang berfungsi untuk berjalan ditandai dengan femur dan tibia yang lebih panjang dari
bagian tungaki lainnya. Tungkai ini merupakan bentuk umum tungkai serangga (Jumar,2000).
Berdasarkan pengamatan anatomi dalam saluran pencernaan belalang
(Valanga nigricornis)terdiri atas faring, esophagus, tombolok, proventrikulus, ventrikulus,
saluran buntu gastrium, tabung Malpighi, usus rectum dan anus.
Sistem pencernaan serangga di bagi atas beberapa bagian yaitu Bagian terdepan disebut
stomodeum atau usus depan (foregut), usus tengah (midgut), dan usus belakang
(kindgut). Saluran makanan serangga terdiri dari tiga bagian dengan katup-
katup (sphincters, volves). Seluruh saluran makanan di bagian dalamnya dilapisi selapis sel
epitel, berkedudukan pada membran dasar. Stomodeum dan proktodeum mempunyai lapisan
kutikula sedang mesentron tidak. Stomodeum : Pada dasarnya stomodeum terbagi menjadi
bagian-bagian sebagai berikut, dari depan: faring (pharynx), oesofagus (oesophagus) dan
tembolok (crop) yang merupakan tempat penyimpanan makanan. Pada serangga yang memakan
makanan padat kerapkali ada organ penghalus (grinding organ) disebut proventrikulus
(proventriculus atau gizzard). Proventrikulus itu khususnya berkembang baik pada serangga
Ordo Orthoptera, misalnya belalang, lipas, cengkerik, dan rayap. Mesenteron : secara umum
mesenteron terdiri dari dua bagian, yaitu dari depan kantung gastrik (gastric caeca) dan
ventrikulus (ventriculus). Mikrovili adalah tonjolan-tonjolan halus berbentuk jari-jari. Mikrovili
itu memperluas permukaan sel-sel epitel yang berhubungan dengan makanan, untuk
memfasilitasi penyerapan nutrisi. Di ventrikulus, pada sebagian besar jenis serangga, terdapat
membran peritrofik yang memisahkan epitel dan makanan. Proktodeum : Bagian awal (terdepan)
proktodeum ditandai oleh tempat kedudukan tabung-tabung Malpighi, kerapkali pada pilorus
yang merupakan katup otot. Bagian selanjutnya secara berurutan adalah ileum, kolon (colon)
dan rektum (rectum). Di ujung rektum terdapat anus (lubang pelepasan). Fungsi utama
proktodeum adalah absorpsi air, garam-garam dan bahan-bahan lain yang berguna (Riordi,
2009).
Berdasarkan pengamatan anatomi dalam saluran pernafasan belalang (Valanga nigricornis)terdiri
atas dinding tubuh, sel-sel epithelial, intima, tanpa epithelium, trakheolum, jaringan tubuh,
percabangan trachea, trokea, trakhea utama dan stigma/spirakel.
Serangga mempunyai sistem Alat pernafasan utama yang berupa tabung dalam atau sistem
trakea, yang mengantarkan udara dari luar tubuh ke sel-sel tubuh dan sistem itu melaksanakan
respirasi atau pernafasan. Pada tiap ruas, dari batang trakea itu muncul beberapa trakea cabang,
berpasangan dari batang kiri dan kanan. Trakea itu mengelompok-kelompok pada tiap ruas, dan
mendapatkan udara dari luar melalui sepasang bukaan pada sisi lateral tiap ruas; bukaan ini
disebut spirakel (spiracles). Spirakel itu berhubungan langsung dengan batang trakea
utama (main tracheal trunk), yang biasanya ada sepasang menjulur sepanjang tubuh (Riordi,
2009).
Berdasarkan pengamatan anatomi dalam saluran reproduksi belalang jantan
(Valanganigricornis) terdiri atas membrane pentorial, testis, tabung sperma, vas eferens, vas
deferens, kelenjar areson, vesikula seminalis dan tabung ejakulasi
Pada serangga jantan terdapat sepasang testes yang terletak di ujung system reproduksi . Tiap
testes terdiri atas sejumlah tabung sperma dan folikel testikel. Tiap folikel memiliki vas eferens
pada bagian pangkalnya yang menghubungkan dengan vas deferens. Selanjutnya vas deferens
menuju saluran ejakulasi (ejaculatory duct). Sistem reproduksi serangga jantan juga memiliki
kelenjar pelengkap yang terletak di dekat pertemuan komponen lateral. Saluran ejakulasi ini
bermuara pada gonopore (lubang penis) (Riordi, 2009).
Berdasarkan pengamatan anatomi dalam saluran reproduksi belalang betina
(Valanganigricornis) terdiri atas filamen terminal, ovarial, ovum, ovary, spermatika, kelenjar
spermatika, saluran spermatika, saluran telur lateral, kelenjar aseson, saluran telur utama dan
ruang genital (vagina).
Serangga betina memiliki sepasang indung telur (ovari). Tiap ovari terdiri atas sejumlah ovariol
yang berbentuk seperti tabung dan di dalamnya terdapat sejumlah ovom (telur). Bagian ujung
ovariol disebut filamin terminal. Ovarium bermuara pada saluran telur lateral bersatu menjadi
saluran telur utama yang selanjutnya bermuara pada vagina. Sistem reproduksi betina biasanya
memiliki satu atau beberapa kelenjar pe-lengkap yang terletak di dekat pertemuan saluran telur
dan vagina (Riordi, 2009).

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Serangga adalah jenis hama aktifitasnya dapat menimbulkan kerugian baik dalam segi
kualitas maupun kuantitas maupun kuantitas hasil produksi.
2. Serangga memiliki cara merusak tanaman yang berbeda-beda antara lain yaitu mengisap,
menjilat dan menusuk.
3. Serangga memiliki morfologi yang terdiri dari caput (kepala) yaitu mata, mulut, antena,
dan cula serta dada yang terdiri dari kaki dan perut (abdomen)
4. Struktur tubuh serangga bagian dalam terdiri dari beberapa sitem yaitu system pencernaan,
system saraf, system pernafasan, sistem sirkulasi, dan system reproduksi.
5. Sistem reproduksi jantan terdiri dari bagian-bagian yaitu berupa Tabung ejakulasi, Vesikula
seminalis, Kelenjar asesori, Vas deferent, Vas eferens, Tabung sperma, Testis dan Membran
peritorial. Sedangkan pada reproduksi betina terdiri atas Vagina, Saluran telur utama, Kelenjar
asesori, Saluran telur lateral, Saluran spermatika, spermatika, Ovum, Ovarial, Ovari, Kelenjar
spermatika dan Filamen terminal.
5.2 Saran
Saran yang dapat saya sampaikan, agar pada praktikum selanjutnya para praktikan dapat
menjaga ketertiban di dalam ruangan sehingga praktikum dapat berjalan dengan baik dan tenang.

FITOPATOLOGI TUMBUHAN

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi jamur Trichoderma,sp. sebagai agensia pengendali hayati sudah tidak terbantahkan.
Beberapa penyakit tanaman sudah dapat dikendalikan dengan aplikasi jamur Trichoderma,sp.
Diantaranya adalah busuk pangkal batang pada tanaman panili yang disebabkan oleh
jamur Fusarium,sp., Jamur Akar Putih (JAP) yang menyerang tanaman lada dan karet dan
beberapa penyakit terbawa tanah (soil borne) lainnya (Sri Sukamto, 1994).
Potensi jamur Trichoderma sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif terhadap serangan
penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan oleh petani dalam
usaha pengendalian organism pengganggu tumbuhan (OPT). Disamping karakternya sebagai
antagonis diketahui pula bahwa Trichoderma,sp. Juga berfungsi sebagai decomposer dalam
pembuatan pupuk organik. Aplikasi jamur Trichoderma pada pembibitan tanaman guna
mengantisipasi serangan OPT sedini mungkin membuktikan bahwa tingkat kesadaran petani
akan arti penting perlindungan preventif perlahan telah tumbuh. Penggunaan
jamur Trichoderma secara luas dalam usaha pengendalian OPT perlu disebarluaskan lebih lanjut
agar petani-petani Indonesia dapat memproduksi jamur Trichoderma secara mandiri. Diharapkan
setelah mengetahui langkah-langkah perbanyakan massal jamur Trichoderma, petani dapat
mempraktekkan dan mengaplikasikannya (Sri Sukamto, 1994).
Media adalah suatu substrat dimana mikroorganisme dapat tumbuh yang disesuaikan dengan
lingkungan hidupnya. Media kultur berasarkan konsistensinya dibedakan atas tiga macam, yaitu
media cair, media semi padat, dan media padat. (Sri Sukamto, 1994).

1.2 Tujuan dan Kegunaan


Tujuan dari praktikum tentang Fitopatologi Tumbuhan ini adalah untuk mengetahui cara
pengisolasian dan perbanyakan jamur.
Kegunaan dari praktikum ini adalah agar praktikan Entomologi dan Fitopatologi ini dapat
mengetahui dan memahami cara pembuatan media, pengenceran, dan penanaman bakteri.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tehnik Pembuatan Media PDA
PDA (potato Destrose Agar) merupakan media yang biasa digunakan untuk menumbuhkan jasad
renik. Ada 2 jenis media lainnya yaitu media 1/2 buatan dan media buatan murni. kalu ini
kandungan unsurnya sudah diketahui contohnya zcapek sesuai dengan namanya PDA ini
bahannya antara lain dari kentang 100 ,agar-agar 50 g, air 1000 ml, serta gula 50g.
Media atau bahan yang digunakan yaitu kentang, Kentang di sini yang diambil adalah ekstraknya
dan berfungsi sebagai mineral. destrosa atau gula berfungsi sebagai sumber energi, dan agar nya
sebagai lingkungan. Komposisi di atas merupakan suatu takaran untuk membuat 1 liter PDA.
apabila kandungan dari bahan di atas berlebih maka akan berpengaruh terhadap keadaan media
tersebut. bisa saja kandungan airnya terlalu banyakseingga tidak cocok untuk dijadikan sebagai
media tumbuh. PDA biasanya dijual di toko kimia dalam bentuk bubuk siap pakai, harganya
cukup mahal dan bila dibandingkan PSA tentu jauh terpaut. PDA biasa dipakai untuk penelitian
mikrobiologi yang membutuhkan ketelitian dan kemurnian tinggi sedangkan PSA bersifat teknis
di lapangan.
Adapun Cara Pembuatannya yaitu :
1. Kentang dikupas, dicuci dan diiris dadu 1 x 1 cm
2. Rebus kentang dengan air 1000 ml selama 20 menit
3. Pisahkan kentangnya dan ambil airnya (ekstrak)
4. Tambahkan gula, agar dan air dalam ekstrak kentang hingga 1 liter
5. Rebus kembali hingga mendidih. Jangan terlalu lama mendidihkannya, tepat ketika
mendidih saja.
6. Tuangkan ekstrak tersebut ke dalam erlenmayer atau langsung ke tabung vial.
7. Sumbat erlenmayer dengan kapas dan ditutup almunium foil. Tabung vial cukup ditutup
dan balut dengan plastik wrapping.
8. Sterilisasi dengan autoclaf selama 10 menit.
9. Setelah selesai, PDA pada erlenmayer (dalam keadaan panas, karena kalau dingin akan
membeku) tuang tipis ke petridish dalam laminar air flow cabinet. Sedangkan PDA dalam tabung
vial letakkan miring hingga agar mengeras.
10. Celah pada tutup petridish lapisi dengan plastik wrapping agar tidak ada celah dan
menyebabkan kontaminasi.
11. Setelah membeku, PDA media sudah dapat digunakan (Anonim, 2009).

2.2 Tehnik Isolasi Patogen


Isolasi adalah suatu cara untuk memisahkan satu mikrobia dari mikrobia lainnya yang bertujuan
untuk mendapatkan spesies tunggal dengan sifat-sifat yang diinginkan. Untuk mengetahui jenis
mikroorganisme yang hidup dalam bahan pangan dapat dilakukanisolasi mikrobia, dengan cara
menggoreskan suspensi campuran sel pada suatu mediapadat di dalam cawan petri kemudian
menginkubasikannya, sehingga setiap sel akan tumbuh membentuk koloni dan memudahkan
untuk memisahkannya. Isolasi adalah suatu metode untuk memisahkan mikroorganisme dalam
medium menjadi sel yang individu yang disiapkan untuk mendapatkan spesies tunggal. Pada
prinsipnya percobaan isolasi dimulai dengan membuat suspensibahan sebagai sumber
mikrobia (Sri Sukamto, 1994).
Metode inkubasi dibagi 2, yaitu:
a. Metode agar
Pada dasarnya metode ini sama dengan metode kertas, hanya medianya yang berbeda, yaitu
dengan menggunakan media agar steril yaitu media PDA (Potato Dextrose Agar). Dibanding
metode kertas, metode ini memberikan kondisi yang lebih memadai untuk tumbuhnya spora
jamur/bakteri, tetapi memakan waktu dan biaya yang lebih banyak. (Anonim, 2007)
b. Metode kertas
Pemeriksaan jamur dengan metode ini paling banyak digunakan karena mudah dilaksanakan
dengan biaya yang relatif murah. Hampir semua jamur yang terbawa benih dapat diuji dengan
metode ini (Sri Sukamto, 1994).
2.3 Tehnik Perbanyakan Trichoderma sp.
Campurkan media (sekam dan bekatul) dengan perbandingan 1: 3 dalam bak plastik. Berikan air
kedalam media tersebut kemudian aduk sampai rata. Tambahkan air sampai kelembaban media
mencapai 70 % (dapat di cek dengan meremas media tersebut, tidak ada air yang menetes namun
media menggumpal). Masukkan media kedalam kantong plastik. Siapkan dandang sabluk untuk
menyeteril media. Isi dandang sabluk dengan air sebanyak 1/3 volume panci. Masukkan media
kedalam dandang sabluk. Sterilkan media dengan menggunakan panci sabluk selama 1 (satu)
jam setelah air mendidih. Sterilisasi diulang 2 (dua) kali, setelah media dingin sterilkan kembali
media selama 1 jam. Sterilisasi bertingkat ini bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang
masih dapat bertahan pada proses sterilisasi pertama. Tiriskan media di dalam ruangan yang
lantainya telah beralas plastik. Sebelum digunakan semprot alas plastik menggunakan Alkohol
96%. Ratakan permukaan media dengan ketebalan 1-5 cm. Semprot media dengan suspensi
jamur Trichoderma (isolat jamurTrichoderma yang telah dilarutkan kedalam air, 1 (satu) isolat
dilarutkan dengan 500 ml air). Tutup dengan plastik lalu inkubasikan selama 7 (tujuh) hari.
Ruangan inkubasi diusahakan minim cahaya, dengan suhu ruangan berkisar 25-27 derajat
celcius. Amati pertumbuhan jamur Trichoderma, jamur sudah dapat dipanen setelah seluruh
permukaan media telah ditumbuhi jamur Trichoderma, (koloni jamur berwarna hijau) (Sri
Sukamto, 1994).

2.4 Trichoderma sp.


Klasifikasi cendawan Trichoderma sp. adalah sebagai berikut : Kingdom : Fungi, Divisi :
Ascomycota, Subdivisi : Pezizomycotiana, Kelas : Sordariomycetes, Ordo :
Hypocreales, Famili : Hypocreaceae, Genus : Trichoderma (Sri Sukamto, 1994).
Trichoderma sp. masuk dalam kelas Euascomycetes dan family Hypocreaceae. Konidiofor
hyaline, bercabang dan pyramidal. Konidia (dengan diameter rata – rata 3 µm) berbentuk sel
tunggal dan bulat permukaannya halus dan kasar. Trichoderma sp. umumnya penghuni tanah,
khususnya pada tanah organik. Cendawan ini dapat hidup sebagai saprofitik atau parasitik
terhadap cendawan lain, bersifat antagonistik dan banyak digunakan sebagai
pengendalian. Trichoderma sp. juga ditemukan pada permukaan akar bermacam-macam
tumbuhan, pada kulit kayu yang busuk, terutama kayu busuk yang terserang cendawan dan pada
sklerotia atau propagul lain dari cendawan lain (Sri Sukamto, 1994).
Cendawan Trichoderma sp. dapat hidup pada beberapa macam kondisi lingkungan.Trichoderma
hamatum dan Trichoderma pseudokoningii dapat berdaptasi pada kondisi kelembaban tanah
yang sangat tinggi. Trichoderma viride dan Trichoderma polysporum terbatas pada daerah yang
mempunyai suhu rendah. Trichorderma harzianum sangat umum ditemukan di daerah yang
beiklim panas, sedangkan Trichorderma hamatum dan Trichorderma koningii tersebar luas pada
kondisi iklim yang bermacam–macam. Kondisi kering dalam waktu yang lama mengakibatkan
populasiTrichorderma sp. menurun (Sri Sukamto, 1994).
III. METODE PRAKTEK
3.1 Tempat dan waktu
Praktikum Mata Kuliah Entomologi dan Fitopatologi Tumbuhan ini Dilaksanakan di
Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman pada hari Sabtu , 5 sampai 6 juni 2012, Fakultas
Pertanian , Universitas Tadulako Palu, pada pukul 09.00 WITA, sampai selesai.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang di gunakan dalam Praktikum Tentang Fitopatologi Tumbuhan ini adalah konfor,
incubator, timbangan reaksi, hand spayer, panic, cawan petri, Loyang, gunting, plastik, beker
glass, corong, botol fokta 250 ml dan lampu bunsen.
Bahan yang digunakan kentang 50 gram, gula 5 gram, agar-agar 5 gram, aquades, amoxilin dan
spritus.

3.2 Cara kerja


3.3.1 Pembuatan Media PDA
Pertama-tama siapkan kentang sebanyak 200 gram, kemudian dikupas dan dipotong dengan
ukuran kecil-kecil dan timbang kembali kemudian dicuci. Timbang agar bubuk sebanyak 20
gram dan juga gula 20 gram. Siapkan aquades sebanyak 1000 ml. Setelah itu rebus kentang
sebanyak 200 gram dengan air sebanyak 1000 ml, sampai kentang benar-benar matang.
Kemudian kentang yang telah direbus di saring untuk mengambil sarinya/air ekstraknya.
Sebelum melakukan isolasi, sterilkan inkubator yang akan di gunakan dengan menggunakan
alkohol dengan menggunakan alat penyemprot berupa ekspayer dan melap inkubator dengan
menggunakan tissue. Kemudian kentang diangkat dan airnya di ambil dengan menggunakan
saringan dan dimasukkan ke dalam beker glass. Setelah airnya selesai disaring kemudian air
kentang direbus kembali kemudian masukkan agar-agar bubuk sebanyak 20 gram dan aduk
hingga rata, kemudian masukkan gula sebanyak 20 gram dan aduk kembali sampai mendidih,
kemudian masukkan kembali ke dalam beker glass untuk didinginkan. Setelah itu ambil botol
fokta yang telah dipanaskan dalam oven dan masukkan media PDA yang telah dibuat dan di
saring ke dalam botol fokta 250 ml. Setelah itu siapkan plastik dan gunting dengan ukuran
sedang untuk menutup botol fokta tersebut dan dililit dengan karet agar media PDA tetap steril.
Kemudian masukkan botol fokta 250 ml yang berisi media PDA yang ditutup rapat kedalam
oven.

3.3.2 Perbanyakan Jamur


Cara pengisolasian Trichoderma sp. dan Beauveria bassiana yaitu pertama-tama menyediakan
media PDA dan cawan petri yang telah disterilkan dengan menggunakan spritus dan dilap bersih
dengan tissue. Siapkan amoxilin ½ untuk mencegah bakteri lainnya yang tumbuh pada media
PDA, dalam ukuran 250 ml, dengan cara amoxilin dihancurkan dan dimasukkan dalam tabung
reaksi dan tambahkan air secukupnya untuk melarutkan amoxilin. Masukkan cawan petri dan
media PDA ke dalam inkubator yang telah disterilkan bersama amoxilin dalam tabung reaksi,
lampu Bunsen danTrichoderma yang telah disediakan. Setelah itu didalam incubator dan tangan
yang steril dilakukan pemanasan Trichoderma dan Beauveria yang akan diperbanyak kembali
dan menyaringnya. Tuangkan amoxilin kedalam media PDA 250 ml sebanyak 5 ml. Setelah itu
di dalam inkubator buka cawan petri secukupnya dan masukkan media PDA ke dalam cawan
petri yang pada bagian pinggirnya telah dipanaskan dan tutup kembali untuk beberapa saat,
setelah itu masukkan kembaliTrichoderma dan Beauveria ke dalam cawan petri yang telah diisi
media PDA pada saat media PDA suda agak padat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil
Dari hasil pengamatan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan pada Praktikum
Entomologi dan Fitopatologi dalam Fitopatologi Tumbuhan, diperoleh hasil sebagai berikut :
4.1.1. Pembuatan media PDA

Gambar 1. Kentang Yang Di Timbang Dengan Menggunakan Timbangan Reaksi

Gambar 2. Merebus Kentang.


Gambar 3. Ekstrak Air Kentang Yang Selesai Direbus.

Gambar 4. Ekstrak Air Kentang Yang Direbus Kembali Bersama Agar-Agar dan Gula Putih.

Gambar 5. PDA Cair Yang Dimasukkan Kedalam Botol


Gambar 6. PDA Cair Yang Disterilkan.

Gambar 7. PDA Cair Yang Dituang Kedalam Cawan Petri.

Gambar 8. Media PDA Yang Telah Siap Untuk Digunakan.

4.1.2 Tabel Pengamatan Pada jamur Trichoderma sp.


Pengamatan Cawan
1 2 3 4
1 - Ada Kontaminasi Terkontaminasi
kontaminasi meluas
dari jamur lain
2 - Ada Kontaminasi Terkontaminasi
kontaminasi meluas
dari jamur lain
3 - Ada Kontaminasi Terkontaminasi
kontaminasi meluas
dari jamur lain

4.2 Pembahasan
Kentang ditimbang sebanyak 200 gram dengan menggunakan timbangan reaksis, kemudian
dikupas dan dipotong dengan ukuran kecil-kecil dan timbang kembali kemudian dicuci. Timbang
agar bubuk sebanyak 20 gram dan juga gula 20 gram. Siapkan aquades sebanyak 1000 ml.
Setelah itu rebus kentang sebanyak 200 gram dengan air sebanyak 1000 ml, sampai kentang
benar-benar matang. Kemudian kentang yang telah direbus di saring untuk mengambil
sarinya/air ekstraknya. Sebelum melakukan isolasi, sterilkan inkubator yang akan di gunakan
dengan menggunakan alkohol dengan menggunakan alat penyemprot berupa ekspayer dan melap
inkubator dengan menggunakan tissue. Kemudian kentang diangkat dan airnya di ambil dengan
menggunakan saringan dan dimasukkan ke dalam beker glass. Setelah airnya selesai disaring
kemudian air kentang direbus kembali kemudian masukkan agar-agar bubuk sebanyak 20 gram
dan aduk hingga rata, kemudian masukkan gula sebanyak 20 gram dan aduk kembali
sampai mendidih, kemudian masukkan kembali ke dalam beker glass untuk didinginkan. Setelah
itu ambil botol fokta yang telah dipanaskan dalam oven dan masukkan media PDA yang telah
dibuat dan di saring ke dalam botol fokta 250 ml. Setelah itu siapkan plastik dan gunting dengan
ukuran sedang untuk menutup botol fokta tersebut dan dililit dengan karet agar media PDA tetap
steril (Setiawati, N, 1999).
Pengamatan pada hari pertama cendawan Trichoderma sp. Blm menunjukan
bahwaTrichoderma sp. Mengalami pertumbuhan karna belum beradaptasi dengan media tanam.
Trichoderma sp. umumnya penghuni tanah, khususnya pada tanah organik. Cendawan ini dapat
hidup sebagai saprofitik atau parasitik terhadap cendawan lain, bersifat antagonistik dan banyak
digunakan sebagai pengendalian. Trichoderma sp. juga ditemukan pada permukaan akar
bermacam-macam tumbuhan, pada kulit kayu yang busuk, terutama kayu busuk yang terserang
cendawan dan pada sklerotia atau propagul lain dari cendawan lain. Cendawan Trichoderma sp.
dapat hidup pada beberapa macam kondisi lingkungan (Setiawati, N, 1999).
Pada pengamatan hari kedua cendawan Trichoderma sp. Mulai muncul tanda-tanda kontaminasi
pada setiap cawan yang digunakan dalam melakukan percobaan ini ditandai dengan cendawan
lain yang berkembang.
Cendawan Trichoderma sp. dapat hidup pada beberapa macam kondisi lingkungan.Trichoderma
hamatum dan Trichoderma pseudokoningii dapat berdaptasi pada kondisi kelembaban tanah
yang sangat tinggi. Trichoderma viride dan Trichoderma polysporum terbatas pada daerah yang
mempunyai suhu rendah. Trichorderma harzianum sangat umum ditemukan di daerah yang
beiklim panas, sedangkan Trichorderma hamatum dan Trichorderma koningii tersebar luas pada
kondisi iklim yang bermacam–macam. Kondisi kering dalam waktu yang lama mengakibatkan
populasiTrichorderma sp. menurun (Setiawati, N, 1999).
Pada pengamatan ketiga semua cawan telah terkontaminasi oleh jamur lain sehingga
menyebabkan pengamatan menjadi gagal.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum tentang pengenalan Fitopatologi Tumbuhan dapat di tarik simpulan
sebagai berikut:
1. Ketidak sterilan alat dan bahan dapat menyebabkan Pembuatan media PDA mengalami
kontaminasi.
2. Pada media PDA yang ditumbuhkan dengan cendawan Trichoderma sp. menunujukan
bahwa cendawan Trichoderma sp. terkontaminasi dengan mikroorganisme lain yang tumbuh
disekitar media PDA.
3. Pengamatan media PDA telah mengalami kontaminasi dari awal pengamatan hingga akhir
pengamatan.
5.2 Saran
Saran yang dapat diajukan dalam pada praktikum ini yaitu semua asisten dosen dapat bersikap
lebih tegas lagi di dalam laboratorium agar semua praktikan tidak melakukan keributan didalam
laboratorium dan dapat melaksanakan praktikum dengan baik
DAFTAR PUSTAKA
Jumar, 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta.
Riordi, 2009. Dasar dasar Perlindungan Tanaman. Tri ganda karya, Bandung.
Setiawati, N, 1999. Indentifikasi Penyebab Penyakit Layu dan Antagonisme Trichoderma
sp.pada Tanaman Anthurium andreanum. Skripsi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan.
Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Sri sukamto, 1994. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Raja Grafindo Persaja.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai