Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN TUTORIAL 1

MUSKULO
“SKENARIO 1”

Disusun oleh:
KELOMPOK 3

Tutor:
dr. Maria Ulfa, Sp.KK

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial Farmakologi telah melalui konsultasi dan disetujui oleh Tutor
Pembimbing

Surabaya, 19 September 2019


Pembimbing

dr. Maria Ulfa, Sp.KK


ANGGOTA KELOMPOK

Ketua : Citra Bella Ismawarti (6130017044)

Sekertaris I : Avifah Camelia Asnawi (6130017029)

Sekretaris II : Revani Yuni Nailuvar (6130017014)

Anggota : Dini Putri Anggraeni (6130016023)


Muhammad Wahyu (6130016051)
Ahla Nurul Istiqomah (6130017004)
Salsabil Nabila W.P. (6130017009)
Revani Yuni Nailuvar (6130017014)
Muhammad Rais Faisal (6130017019)
Moh. Imanuddin Arfiansyah Arifin (6130017024)
Rima Isna Rahmawati (6130017034)
Risnu Nur Mohammad Septiana (6130017039)
Risma Miftahul Jannah (6130017050)
SKENARIO 1

Seorang anak laki-laki usia 9 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan bintil merah
dan luka lecet di sela jari tangan, perut, dan kelamin sejak 1 minggu yang lalu. Bintil merah
terasa gatal terutama waktu malam hari. Riwayat pasien sekolah di pondok sejak 1 bulan
yang lalu. Riwayat teman pasien dengan keluhan yang sama.

STEP 1

Kata Kunci

1. bintil merah dan luka lecet (sela jari tangan, perut, dan kelamin)

2. terasa gatal terutama waktu malam hari

3. sekolah di pondok

4. Riwayat teman pasien dengan keluhan yang sama

STEP 2

Rumusan Masalah

1. Mengapa pasien merasa gatal terutama pada malam hari?


2. Adakah hubungan riwayat sekolah di pondok dengan kasus pasien?
3. Apakah penyebab dari penyakit pasien ?

STEP 3

Jawaban Rumusan Masalah

1. Puritus nokturna, gatal pada malam hari di karenakan aktifitas kuman yang lebih
tinggi pada suhu lembab.
Dapat dilihat dari epidemiologi nya yaitu kurangnya kebersihan di pondok yang
menyebabkan penyakit kulit serta adanya faktor penularan. Ada penularan secara
langsung yaitu kontak langsung kulit dengan kulit dan penularan tidak langsung
seperti melalui benda, saling meminjamkan baju, bergantian handuk, dan tempat
menjemur pakaian yang terlalu berdekatan.
2. Jarak waktu minum obat berpengaruh karena dipengaruhi paruh waktu dan onset
(Rahardja, 2010)
3. Penyebab penyakit pasien bisa karena faktor hygiene yang kurang, tertular oleh
kuman, infeksi oleh bakteri ataupun parasite.

STEP 4
MIND MAPPING

Anak usia 9 tahun

Gejala Riwayat

Bintil merah Puritus nokturna Sekolah di pondok Teman dengan


(papule) keluhan yang sama

Luka lecet (cela jari,


perut, kelamin)

DD Dermatitis atopik

Prurigo

Pemeriksaan kulit /
Impertigo
pemeriksaan penunjang

Scabies

DX (Scabies)

Etiologi Patofisiologi Tatalaksana

Epidemiologi Penularan Pandangan islam


STEP 5

Learning Objektif

1. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Gejala Klinis dari Skenario


2. Mahasiswa Mampu Menjelaskan DD dari Skenario
3. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang dari Skenario
4. Mahasiswa Mampu Menjelaskan DX dari Skenario
5. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Etiologi dari Scabies
6. Mehasiswa Mampu Menjelaskan Epidemiologi dari Scabies
7. Mahasiswa mampu Menjelaskan Patogenesis dari Scabies
8. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Penularan dari Scabies
9. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Tatalaksana dari Scabies
10. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Pandangan Islam terhadap Scabies

Hasil Belajar Mandiri

1. Gejala Klinis dari Skenario

Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit
yang umumnya muncul di sela-sela jari, selangkangan dan lipatan paha, dan muncul
gelembung berair pada kulit (Djuanda, 2010)

2. DD dari Skenario

A. PRURIGO secara umum adalah penyakit kulit yang ditandai dengan gangguan
kulit berbentuk papula dan nodul (ukurannya bervarisai), berwarna
kecoklatan hingga kehitaman (hiperpigmentasi), kronis (berlangsung lebih 6
minggu) dan bersifat kumat-kumatan (residif). (Djuanda, 2007)
Tanda-tanda umum yang kerap dijumpai pada Prurigo, antara lain:
 Dijumpai lesi berbentuk papula dan nodul, berjumlah tunggal (Prurigo
Simplex) maupun multiple (banyak).
 Penebalan dan hiperpigmentasi sehingga Prurigo berwarna kecoklatan
hingga kehitaman.
 Gatal pada saat-saat tertentu, terutama ketika penderita mengalami
ketegangan psikis.
 Lokasi tersering timbulnya Prurigo adalah anggota badan (ekstrimitas),
terutama di permukaan bagian depan paha dan tungkai bawah hingga kaki.
 Ukuran lesi bervariasi, menebal, keras, berwarna merah kecoklatan hinggga
kehitaman.
 Adakalanya mengalami pengelupasan di permukaan lesi.

B. DERMATITIS ATOPIK (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan


residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
riwayat atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika,
asma bronkhiale, dan konjungtivitis alergika). (Djuanda, 2011)
Gejala Umum
A. Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan
kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan
tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka mengalami
pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).
B. Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid diepidermis
berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA
cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-rata,sering merasa
cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan (Sularsito S.A., &
Djuanda A., 2005).
C. IMPETIGO adalah infeksi kulit menular yang banyak dialami oleh bayi dan
anak-anak. Infeksi ini ditandai dengan kemunculan bercak merah dan lepuhan
pada kulit, terutama di bagian wajah, tangan, dan kaki.

Gejala Impetigo :

Gejala impetigo tidak langsung muncul setelah penderita terinfeksi. Gejala


biasanya baru terlihat setelah 4-10 hari sejak penderita pertama kali terpapar
bakteri. Gejala yang muncul pun bervariasi tergantung jenis impetigo yang
dialami. Berikut ini adalah gejala impetigo berdasarkan jenisnya:

Impetigo krustosa

Impetigo krustosa merupakan jenis impetigo yang paling sering dialami oleh
anak-anak dan lebih mudah menular. Gejala impetigo krustosa meliputi:

 Bercak kemerahan yang terasa gatal di sekitar mulut dan hidung, namun
tidak menimbulkan nyeri. Bercak tersebut dapat menjadi luka jika digaruk.

 Kulit di sekitar luka mengalami iritasi.

 Terbentuknya koreng berwarna kuning kecokelatan di sekitar luka.

Impetigo bulosa

Impetigo bulosa merupakan jenis impetigo yang lebih serius, dengan gejala
berupa:

 Muncul lepuhan berisi cairan bening di bagian tubuh antara leher dan
pinggang, serta lengan dan tungkai.

 Lepuhan terasa nyeri dan kulit di sekitarnya terasa gatal.

 Lepuhan tersebut dapat pecah, menyebar, dan menimbulkan koreng


berwarna kekuningan. Koreng akan menghilang tanpa bekas setelah
beberapa hari.
 Koreng akan meninggalkan bekas kemerahan pada kulit dan dapat hilang
tanpa bekas dalam jangka waktu beberapa hari atau minggu.

D. SCABIES adalah penyakit kulit yang banyak menjangkiti ternak, khususnya


kambing dan sapi, bahkan bisa juga menyerang manusia. Penularannya dapat
terjadi melalui kontak langsung antar hewan penderita dengan hewan lain atau
manusia, dapat juga melalui kontak tidak langsung yaitu melalui peralatan yang
terkontaminasi. Terkadang kudis ini ditularkan melalui pakaian dan benda-benda
lain yang digunakan secara bersama-sama.

Gejala Scabies

Serangan Ciri khas dari scabies adalah gatal-gatal hebat, yang biasanya
semakin memburuk pada malam hari. Lubang berbentuk terowongan tungau
tampak sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5 cm , kadang pada
ujungnya terdapat gumpalan kecil. Lubang tersebut paling sering ditemukan dan
dirasakan gatalnya di sela-sela kuku kaki, pergelangan tangan, siku, ketiak, di
sekitar ambing, dan bagian bawah anus. Kulit bagian terluar terlihat menebal,
berkerut, dan terdapat keropeng diatasnya. Infeksi diikuti dengan pembentukan
papula atau vesikula, disertai dengan perembesan cairan limfe.
3. Pemeriksaan Penunjang dari Skenario

Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui


pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:

1. Kerokan kulit
Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula
menggunakan skalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi
minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup,dan dengan mikroskop
pembesaran 20x atau 100x dapat dilihat tungau,telur, atau fecal pellet.

2. Mengambil tungau dengan jarum

Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap(kecuali pada


orang kulit hitam pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial. Tungau akan
memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.

3. Epidermal shave biopsy.

Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan jari
telunjuk, dengan hati-hati diiris puncak lesi dengan skalpel nomor 15 yang
dilakukan sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial
sehingga tidak terjadi perdarahan atau tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan
pada gelas objek lalu ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop.

4. Pemeriksaan Histopatologik

Papul atau terowongan yang dicurigai mengandung tungau diangkat


menggunakan ibu jari dan telunjuk, kemudian diiris dengan skalpel sejajar
permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi
perdarahan dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan di kaca objek, ditetesi
minyak mineral, ditutup dengan kaca tutup lalu diperiksa di bawah mikroskop.

Gambaran histopatologik lesi skabies adalah terdapatnya terowongan di


stratum korneum, namun ujung terowongan tempat tungau betina berada terletak
di irisan dermis. Pemeriksaan histopatologik tidak mempunyai nilai diagnostik
kecuali ditemukan tungau atau telur pada pemeriksaan tersebut.

5. Kuretase terowongan.

Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak papula


kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan di gelas objek
atau ditetesi minyak mineral.

6. Tes tinta Burowi.

Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, ke mudia segera dihapus dengan
alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang karakteristik,
berkelok-kelok, karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak sakit dan dapat
dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-koperatif.

7. Tetrasiklin topikal.

Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai.Setelah


dikeringkan selama 5 menit, hapus larutan tersebut dengan isopropilalkohol.
Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam melalui kerusakan stratum korneum dan
terowongan akan tampak dengan penyinaran lampu Wood, sebagai garis linier
berwarna kuning kehijauan sehingga tungau dapat ditemukan.

8. Apusan kulit.

Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan
diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di atas gelas objek
(enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa dengan
mikroskop.

9. Biopsi plong (punch biopsy)

Biopsi berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau atau telur.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa j umlah tungau hidup pada penderita
dewasa hanya sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil dari lesi yang
meradang. Secara umum digunakan punch biopsy, tetapi epidermal shave biopsy
adalah lebih sederhana dan biasanya dilakukan tanpa anestetik lokal p ada
penderita yang tidak kooperatif.

4. DX dari Skenario

Skabies dapat memberikan gejala klinis yang khas adalah keluhan gatal hebat
pada malam hari (pruritus nokturna) atau saat udara panas dan penderita
berkeringat. Erupsi kulit yang khas berupa terowongan, papul, vesikel, dan pustul
di tempat predileksi. Meskipun gejala skabies khas, penderita biasanya datang
berobat ketika sudah dalam stadium lanjut dan tidak memiliki gejala klinis khas
lagi karena telah timbul ekskoriasi, infeksi sekunder oleh bakteri dan likenifikasi.
Diagnosis pasti skabies ditetapkan dengan menemukan tungau atau telurnya
dipemeriksaan laboratorium. Terdapat dua dari empat tanda kardinal skabies yaitu:

1. Pruritus nokturna

2. Terdapat sekelompok orang yang menderita penyakit yang sama, misalnya


dalam satu keluarga atau di pemukiman atau di asrama.

3. Terdapat terowongan, papul, vesikel atau pustul di tempat predileksi yaitu


sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, areola mamae (perempuan), umbilikus, bokong, genitalia eksterna
(laki- laki), dan perut bagian bawah. Perlu diingat bahwa pada bayi, skabies
dapat menginfestasi telapak tangan dan telapak kaki bahkan seluruh badan.

4. Menemukan tungau pada pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan Laboratorium untuk Deteksi Tungau dan Produknya

a. Kerokan Kulit

Sebelum melakukan kerokan kulit, perhatikan daerah yang


diperkirakan akan ditemukan tungau yaitu papul atau terowongan yang
baru dibentuk dan utuh. Selanjutnya papul atau terowongan ditetesi
minyak mineral lalu dikerok dengan skalpel steril yang tajam untuk
mengangkat bagian atas papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan
di kaca objek, ditetesi KOH, ditutup dengan kaca penutup kemudian
diperiksa dengan mikroskop.

b. Mengambil Tungau dengan Jarum

Untuk mengambil tungau, jarum ditusukkan di terowongan di bagian


yang gelap lalu diangkat ke atas. Pada saat jarum ditusukkan biasanya
tungau akan memegang ujung jarum sehingga dapat diangkat keluar.
Mengambil tungau dengan jarum relatif sulit bagi orang yang belum
berpengalaman terutama pada penderita skabies yang lesinya tidak khas
lagi dan banyak infeksi sekunder oleh bakteri.

c. Usap (Swab) Kulit

Pemeriksaan usap kulit dilakukan dengan selotip transparan yang


dipotong sesuai ukuran gelas objek (25x50mm). Cara melakukannya,
mula-mula ditentukan lokasi kulit yang diduga terinfestasi tungau.
Kemudian bagian kulit tersebut dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan
selotip di atas papul atau terowongan kemudian diangkat dengan cepat.
Setelah itu, selotip dilekatkan di gelas objek, ditetesi KOH, ditutup dengan
kaca tutup, dan diperiksa dengan mikroskop. Sediaan dapat diperiksa
dalam tiga jam setelah pengambilan sampel bila disimpan pada suhu 10-
14OC.

d. Burrow Ink Test


Papul skabies diolesi tinta India menggunakan pena lalu dibiarkan
selama 20-30 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Burrow ink test
menunjukkan hasil positif apabila tinta masuk ke dalam terowongan dan
membentuk gambaran khas berupa garis zig zag. Burrow ink test adalah
pemeriksaan untuk mendeteksi terowongan, bukan untuk mendeteksi
tungau dan produknya.

e. Pemeriksaan Histopatologik

Gambaran histopatologik lesi skabies adalah terdapatnya terowongan


di stratum korneum, namun ujung terowongan tempat tungau betina
berada terletak di irisan dermis. Daerah yang berisi tungau akan
menunjukkan eosinofil yang sulit dibedakan dengan reaksi gigitan
artropoda lain seperti gigitan nyamuk atau kutu busuk. Apabila gambaran
histopatologik pada biopsi terowongan epidermis hanya terdapat infiltrat
sel radang perivaskular dengan banyak eosinofil, edema, dan spongiosis
epidermal, maka hanya bersifat sugestif dan bukan diagnosis pasti
infestasi skabies. Gambaran histopatologik pada biopsi kulit yang
menunjukkan gambaran ekor babi merah muda (pink pigtail) dan melekat
di stratum korneum serta terdapatnya bungkus telur tungau yang kosong
mengarahkan pada diagnosis skabies.

Lesi primer skabies memberikan gambaran hiperkeratosis, akantosis,


spongiosis dan vesikulasi di epidermis. Perubahan di dermis berupa
infiltrat perivaskuler, terdiri atas sel limfosit T, sedikit histiosit dan
kadang-kadang eosinofil serta neutrofil. Di lesi primer, jumlah sel mast
lebih banyak apabila dibandingkan dengan lesi sekunder dan kulit normal.

Lesi sekunder pada umumnya berupa papul urtika yang mungkin


terjadi akibat kompleks imun yang beredar atau akibat respons imun
selular. Terdapatnya kompleks imun yang beredar terbukti dengan
meningkatnya C1q binding activity. Di lesi sekunder, infiltrasi sel-sel
lebih ringan daripada lesi primer dan tidak ditemukan eosinofil atau
vaskulitis.

f. Dermoskopi

Dermoskopi, disebut juga dermatoskopi atau epiluminescence


microscopyadalah metode yang digunakan dermatolog untuk
mengevaluasi diagnosis banding lesi berpigmen dan melanoma, namun
pada perkembangannya dermoskopi juga dapat digunakan untuk
mendiagnosis skabies. Dermoskopi adalah teknik pengamatan lapisan
kulit dermis superfisial secara in vivo. Dermoskop menggunakan medium
liquid yaitu minyak, air atau alkohol atau cahaya terpolarisasi yang
memungkinkan observasi langsung ke kulit tanpa terganggu refleksi
cahaya di kulit sehingga dapat memberikan gambaran rinci setiap lapisan
epidermis sampai dermis papiler superfisial dan mengidentifikasi
keberadaan terowongan.
Pada pemeriksaan dermoskopi tungau skabies tampak berbentuk
segitiga yang diikuti garis terowongan di epidermis seperti gambaran
pesawat jet, layang-layang, atau spermatozoid.

5. Etiologi Scabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi S.scabiei varietas
hominis. Parasit tersebut termasuk kelas arachnida, subkelas acarina, ordo astigmata,
dan famili sarcoptidae. Selain varietas hominis, S.scabiei memiliki varietas binatang
namun varietas itu hanya menimbulkan dermatitis sementara, tidak menular, dan
tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya di manusia. S.scabiei bersifat host specific
dan sifat itu terjadi karena perbedaan fisiologi tungau dan variabel hospes seperti
bau, diet, faktor-faktor fisik dan respons imun.

S.scabiei berbentuk lonjong dan gepeng, berwarna putih kotor, punggungnya


cembung, bagian dadanya rata, dan tidak memiliki mata. Tungau betina berukuran
lebih besar dibandingkan tungau jantan, yakni 0,3-0,45mm sedangkan tungau jantan
berukuran 0,2-0,25mm.

Siklus Hidup S.scabiei

S.scabiei memiliki metamorfosis lengkap dalam lingkaran hidupnya yaitu:


telur, larva, nimfa dan tungau dewasa. Tungau betina bertelur sebanyak 2-3 butir
setiap hari. Seekor tungau betina dapat bertelur sebanyak 40-50 butir semasa
hidupnya. Dari seluruh telur yang dihasilkan tungau betina, kurang lebih hanya 10%
yang menjadi tungau dewasa dan pada seorang penderita biasanya hanya terdapat 11
tungau betina dewasa.

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-5 hari. Dalam waktu 3-4 hari,
larva berubah menjadi nimfa yang mempunyai 4 pasang kaki. Nimfa betina
mengalami dua fase perkembangan. Nimfa pertama panjangnya 160µm dan nimfa
kedua panjangnya 220-250µm. Nimfa kedua bentuknya menyerupai tungau dewasa,
tetapi alat genitalnya belum terbentuk sempurna. Nimfa jantan hanya mengalami
satu fase perkembangan.

Nimfa berkembang menjadi tungau dewasa dalam waktu tiga hari. Waktu
sejak telur menetas sampai menjadi tungau dewasa sekitar 10-14 hari. Tungau jantan
hidup selama 1-2 hari dan mati setelah kopulasi.

6. Epidemiologi Scabies

Skabies atau kudis merupakan salah satu jenis penyakit kulit


infeksi,disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabie. Kejadian skabies sering di jumpai
di daerah tropis pada masyarakat yang tinggal di daerah dengan tingkat higiene,
sanitasi dan
ekonomi rendah. Di Pulau Jawa skabies di temukan pada daerah kumuh dan pondok
pesantren. Penularan terjadi melalui kontak langsung dan tidak langung melalui alas
tempat tidur dan pakaian penderita dan juga dapat ditularkan dari hewan ke manusia
(Mading, M & Indriaty, I. 2015).

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini


dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit skabies banyak
dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, insidennya sama terjadi pada pria dan
wanita. Insiden skabies di Negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang
sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu endemik dan
permulaan epidemic berikutnya kurang lebih 10-15 tahun (Harahap, 2000)

Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas seluruh


Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6%-12,9%, dan scabies menduduki urutan
ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di Bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM
pada tahun 1988, dijumpai 734 kasus scabies yang merupakan 5,77% dari seluruh
kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies adalah 6% dan 3,9%.
Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dengan tingkat kepadatan
penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai (Depkes. RI, 2005).

Faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial ekonomi
yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual dan sifatnya promiskuitas
(ganti-ganti pasangan), kesalahan diagnosis dan perkembangan demografi serta
ekologi. Selain itu faktor penularannya bisa melalui tidur bersama dalam satu tempat
tidur, lewat pakaian, perlengkapan tidur atau benda-benda lainnya. Cara penularan
(transmisi) : kontak langsung misal berjabat tangan, tidur bersama dan kontak
seksual. Kontak tidak langsung misalnya melalui pakaian, handuk, sprei, bantal, dan
lain-lain (Djuanda, 2007).

7. Patogenesis Scabies

Siklus hidup tungau Sarcoptes scabiei adalah sebagai berikut :


Setelah terjadi kopulasi (perkawinan) antara jantan dan betina di atas kulit,
tungau jantan akan mati, kadang masih bisa bertahan hidup beberapa hari di dalam
terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum corneum dengan kecepatan 2-3mm sehari,
sambil meletakkan telurnya 2-50 telur. Telur akan menetas biasanya dalam waktu 3-
10 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal
dalam terowongan, namun dapat keluar juga. Setelah 2-3 hari, larva berubah menjadi
nimfa. Nimfa terbagi menjadi bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki.
Nimfa berkembang menjadi tungau dewasa. Seluruh siklus hidup tungau, mulai dari
telur sampai dewasa memelurkan waktu sekitar 8-12 hari. [ CITATION Men18 \l
1057 ]
Aktivitas S.scabiei di kulit menyebabkan rasa gatal dan menimbulkan respons
imunitas seluler dan humoral serta mampu meningkatkan IgE baik di serum maupun
di kulit. Masa inkubasi berlangsung selama 4-6 minggu. Skabies sangat menular,
transmisi melalui kontak langsung (skin to skin) maupun tidak langsung melalui

berbagai benda yang terkontaminasi (sprei, handuk, baju, dsb). Tungau dapat hidup
diluar tubuh manusia selama 24-36 jam. [ CITATION Men18 \l 1057 ]

8. Penularan Scabies

Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau tungau
dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari semua bentuk infektif
tersebut tungau dewasalah yang paling sering menyebabkan penularan. Sekitar 90%
penularan skabies dilakukan oleh tungau dewasa betina terutama yang gravid.
Tungau tidak dapat melompat atau terbang melainkan berpindah dengan merayap.
Kemampuan tungau untuk menginfestasi akan menurun seiring dengan lamanya
tungau berada di luar tubuh hospes.

Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung namun cara
penularan skabies yang paling sering adalah melalui kontak langsung antar individu
saat tungau sedang berjalan di permukaan kulit. Kontak langsung adalah kontak kulit
ke kulit yang cukup lama misalnya pada saat tidur bersama. Kontak langsung jangka
pendek misalnya berjabat tangan dan berpelukan singkat tidak menularkan tungau.
Skabies lebih mudah menular secara kontak langsung dari orang ke orang yang
tinggal di lingkungan padat dan berdekatan seperti di panti jompo, panti asuhan,
pesantren dan institusi lain dimana penghuninya tinggal dalam jangka waktu lama.
Penularan skabies secara tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dalam
durasi yang lama dengan seprai, sarung bantal dan guling, pakaian, selimut, handuk
dan perabot rumah tangga lainnya yang terinfestasi S.scabiei. Penularan tungau
secara tidak langsung bergantung pada lama tungau dapat bertahan hidup di luar
tubuh hospes yang variasinya bergantung pada temperatur dan kelembaban. Pada
barang-barang yang terinfestasi, S.scabiei dapat bertahan 2-3 hari pada suhu ruangan
dengan kelembaban 30%. Semakin tinggi kelembaban semakin lama tungau
bertahan.

Di permukaan yang kering, baju, atau sprei, tungau hanya dapat bertahan
hidup selama beberapa jam. Pada suhu dan kelembaban ideal (21 derajat C dan 40-
80% kelembaban relatif), rentang waktu hidup tungau dapat meningkat hingga 3-4
hari. Rentang waktu hidup tungau dapat lebih panjang pada suhu rendah dan
kelembaban tinggi. Di bawah suhu 20°C sebagian besar tungau tidak bergerak. Di
daerah tropis dengan suhu sekitar 30°C dan kelembaban 75%, tungau betina dapat
bertahan hidup 55-67 jam di luar tubuh hospes. Telur tungau dapat bertahan hidup
pada suhu yang rendah sampai 10 hari di luar tubuh hospes.

9. Tatalaksana Scabies

1. Farmakologis
a. Permetrin (Scabimite) cream 5%  setelah mandi sore dioles ke
permukaan kulit seluruh tubuh, kemudian didiamkan minimal 10 jam,
setelah itu mandi seperti biasa. Pemakaian hanya 1 kali dalam seminggu.
b. Cetirizine 10 mg 1 tablet sehari
c. Inerson cream dioles 2 x sehari
2. Non farmakologis
a. Rutin minum obat
b. Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan oleh
penderita harus diisolasi dan direndam dengan air panas terlebih dahulu
sebelum dicuci.
c. Sprai penderita harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga hari
sekali
d. Menghindari kontak langsung dengan penderita lain (adik spupu
penderita) seperti berjabat tangan dan tidur bersama.
e. Kontrol kembali hari ke 7 pengobatan
10. Pandangan Islam terhadap Scabies

Kebersihan sangat diperhatikan dalam Islam baik secara fisik maupun jiwa,
baik secara tampak maupun tidak tampak. Dianjurkan pula agar memelihara dan
menjaga sekeliling lingkungan dari kotoran agar tetap bersih. Dalam pandangan
Yusuf al-Qardhawi ia menyebutkan bahwa perhatian al-sunnah al-nabawiyyah
terhadap kebersihan muncul dikarenakan beberapa sebab, yaitu:

1. Sesungguhnya kebersihan adalah sesuatu yang disukai Allah swt. Sebagaiana


dalam firmannya dalam Q.S al-Baqarah ayat 222: “...Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.”
2. Kebersihan adalah cara untuk menuju kepada kesehatan badan dan kekuatan.
Sebab hal itu merupakan bekal bagi tiap individu. Disamping itu, badan adalah
amanat bagi setiap muslim. Dia tidak boleh menyianyiakan dan meremehkan
manfaatnya, jangan sampai dia membiarkan badannya diserang oleh penyakit.
3. Kebersihan itu adalah syarat untuk memperbaiki atau menampakkan diri
dengan penampilan yang indah yang dicintai oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
4. Kebersihan dan penampilan yang baik merupakan salah satu penyebab eratnya
hubungan seseorang dengan orang lain. Ini karena orang sehat dengan
fitrahnya tidak menyukai sesuatu yang kotor dan tidak suka melihat orang
yang tidak bersih.
DAFTAR PUSTAKA

 Amiruddin, MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 1. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin.
 Depkes RI, 2005. Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.

 Djuanda Adhi. Prurigo. 2007. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima.
Jakarta: FKUI

 Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universtias Indonesia.
 Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : FK UI.
 Harahap, M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit, PT Hipokrates, Cetakan I, Jakarta.
 Mading, M & Indriaty, I. 2015. Kajian Aspek Epidemiologi Skabies pada Manusia.
Waikabubak: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

 Menaldi, S. L. S., Bramono, K. & Indriatmi, W., 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5th penyunt. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
 Ramos-e-Silva, M. 1998. Giovan Cosimo Bonomo (1663-1696): Discoverer of the
etiology of scabies. International Journal of Dermatology. 37 (8):625-630.
 Saleha Sungkar. 2016. Skabies: Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan,
dan Pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

 Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI

 Sungkar, Saleha. 2016. Skabies Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan, dan


Pencegahan. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.

 Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan.


Penerjemah Faizah Firdaus. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 365-367

 Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis
Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai