MUSKULO
“SKENARIO 1”
Disusun oleh:
KELOMPOK 3
Tutor:
dr. Maria Ulfa, Sp.KK
Laporan tutorial Farmakologi telah melalui konsultasi dan disetujui oleh Tutor
Pembimbing
Seorang anak laki-laki usia 9 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan bintil merah
dan luka lecet di sela jari tangan, perut, dan kelamin sejak 1 minggu yang lalu. Bintil merah
terasa gatal terutama waktu malam hari. Riwayat pasien sekolah di pondok sejak 1 bulan
yang lalu. Riwayat teman pasien dengan keluhan yang sama.
STEP 1
Kata Kunci
1. bintil merah dan luka lecet (sela jari tangan, perut, dan kelamin)
3. sekolah di pondok
STEP 2
Rumusan Masalah
STEP 3
1. Puritus nokturna, gatal pada malam hari di karenakan aktifitas kuman yang lebih
tinggi pada suhu lembab.
Dapat dilihat dari epidemiologi nya yaitu kurangnya kebersihan di pondok yang
menyebabkan penyakit kulit serta adanya faktor penularan. Ada penularan secara
langsung yaitu kontak langsung kulit dengan kulit dan penularan tidak langsung
seperti melalui benda, saling meminjamkan baju, bergantian handuk, dan tempat
menjemur pakaian yang terlalu berdekatan.
2. Jarak waktu minum obat berpengaruh karena dipengaruhi paruh waktu dan onset
(Rahardja, 2010)
3. Penyebab penyakit pasien bisa karena faktor hygiene yang kurang, tertular oleh
kuman, infeksi oleh bakteri ataupun parasite.
STEP 4
MIND MAPPING
Gejala Riwayat
DD Dermatitis atopik
Prurigo
Pemeriksaan kulit /
Impertigo
pemeriksaan penunjang
Scabies
DX (Scabies)
Learning Objektif
Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit
yang umumnya muncul di sela-sela jari, selangkangan dan lipatan paha, dan muncul
gelembung berair pada kulit (Djuanda, 2010)
2. DD dari Skenario
A. PRURIGO secara umum adalah penyakit kulit yang ditandai dengan gangguan
kulit berbentuk papula dan nodul (ukurannya bervarisai), berwarna
kecoklatan hingga kehitaman (hiperpigmentasi), kronis (berlangsung lebih 6
minggu) dan bersifat kumat-kumatan (residif). (Djuanda, 2007)
Tanda-tanda umum yang kerap dijumpai pada Prurigo, antara lain:
Dijumpai lesi berbentuk papula dan nodul, berjumlah tunggal (Prurigo
Simplex) maupun multiple (banyak).
Penebalan dan hiperpigmentasi sehingga Prurigo berwarna kecoklatan
hingga kehitaman.
Gatal pada saat-saat tertentu, terutama ketika penderita mengalami
ketegangan psikis.
Lokasi tersering timbulnya Prurigo adalah anggota badan (ekstrimitas),
terutama di permukaan bagian depan paha dan tungkai bawah hingga kaki.
Ukuran lesi bervariasi, menebal, keras, berwarna merah kecoklatan hinggga
kehitaman.
Adakalanya mengalami pengelupasan di permukaan lesi.
Gejala Impetigo :
Impetigo krustosa
Impetigo krustosa merupakan jenis impetigo yang paling sering dialami oleh
anak-anak dan lebih mudah menular. Gejala impetigo krustosa meliputi:
Bercak kemerahan yang terasa gatal di sekitar mulut dan hidung, namun
tidak menimbulkan nyeri. Bercak tersebut dapat menjadi luka jika digaruk.
Impetigo bulosa
Impetigo bulosa merupakan jenis impetigo yang lebih serius, dengan gejala
berupa:
Muncul lepuhan berisi cairan bening di bagian tubuh antara leher dan
pinggang, serta lengan dan tungkai.
Gejala Scabies
Serangan Ciri khas dari scabies adalah gatal-gatal hebat, yang biasanya
semakin memburuk pada malam hari. Lubang berbentuk terowongan tungau
tampak sebagai garis bergelombang dengan panjang sampai 2,5 cm , kadang pada
ujungnya terdapat gumpalan kecil. Lubang tersebut paling sering ditemukan dan
dirasakan gatalnya di sela-sela kuku kaki, pergelangan tangan, siku, ketiak, di
sekitar ambing, dan bagian bawah anus. Kulit bagian terluar terlihat menebal,
berkerut, dan terdapat keropeng diatasnya. Infeksi diikuti dengan pembentukan
papula atau vesikula, disertai dengan perembesan cairan limfe.
3. Pemeriksaan Penunjang dari Skenario
1. Kerokan kulit
Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula
menggunakan skalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi
minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup,dan dengan mikroskop
pembesaran 20x atau 100x dapat dilihat tungau,telur, atau fecal pellet.
Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan jari
telunjuk, dengan hati-hati diiris puncak lesi dengan skalpel nomor 15 yang
dilakukan sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial
sehingga tidak terjadi perdarahan atau tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan
pada gelas objek lalu ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop.
4. Pemeriksaan Histopatologik
5. Kuretase terowongan.
Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, ke mudia segera dihapus dengan
alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang karakteristik,
berkelok-kelok, karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak sakit dan dapat
dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-koperatif.
7. Tetrasiklin topikal.
8. Apusan kulit.
Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan
diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di atas gelas objek
(enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa dengan
mikroskop.
Biopsi berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau atau telur.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa j umlah tungau hidup pada penderita
dewasa hanya sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil dari lesi yang
meradang. Secara umum digunakan punch biopsy, tetapi epidermal shave biopsy
adalah lebih sederhana dan biasanya dilakukan tanpa anestetik lokal p ada
penderita yang tidak kooperatif.
4. DX dari Skenario
Skabies dapat memberikan gejala klinis yang khas adalah keluhan gatal hebat
pada malam hari (pruritus nokturna) atau saat udara panas dan penderita
berkeringat. Erupsi kulit yang khas berupa terowongan, papul, vesikel, dan pustul
di tempat predileksi. Meskipun gejala skabies khas, penderita biasanya datang
berobat ketika sudah dalam stadium lanjut dan tidak memiliki gejala klinis khas
lagi karena telah timbul ekskoriasi, infeksi sekunder oleh bakteri dan likenifikasi.
Diagnosis pasti skabies ditetapkan dengan menemukan tungau atau telurnya
dipemeriksaan laboratorium. Terdapat dua dari empat tanda kardinal skabies yaitu:
1. Pruritus nokturna
a. Kerokan Kulit
e. Pemeriksaan Histopatologik
f. Dermoskopi
5. Etiologi Scabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi S.scabiei varietas
hominis. Parasit tersebut termasuk kelas arachnida, subkelas acarina, ordo astigmata,
dan famili sarcoptidae. Selain varietas hominis, S.scabiei memiliki varietas binatang
namun varietas itu hanya menimbulkan dermatitis sementara, tidak menular, dan
tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya di manusia. S.scabiei bersifat host specific
dan sifat itu terjadi karena perbedaan fisiologi tungau dan variabel hospes seperti
bau, diet, faktor-faktor fisik dan respons imun.
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-5 hari. Dalam waktu 3-4 hari,
larva berubah menjadi nimfa yang mempunyai 4 pasang kaki. Nimfa betina
mengalami dua fase perkembangan. Nimfa pertama panjangnya 160µm dan nimfa
kedua panjangnya 220-250µm. Nimfa kedua bentuknya menyerupai tungau dewasa,
tetapi alat genitalnya belum terbentuk sempurna. Nimfa jantan hanya mengalami
satu fase perkembangan.
Nimfa berkembang menjadi tungau dewasa dalam waktu tiga hari. Waktu
sejak telur menetas sampai menjadi tungau dewasa sekitar 10-14 hari. Tungau jantan
hidup selama 1-2 hari dan mati setelah kopulasi.
6. Epidemiologi Scabies
Faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial ekonomi
yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual dan sifatnya promiskuitas
(ganti-ganti pasangan), kesalahan diagnosis dan perkembangan demografi serta
ekologi. Selain itu faktor penularannya bisa melalui tidur bersama dalam satu tempat
tidur, lewat pakaian, perlengkapan tidur atau benda-benda lainnya. Cara penularan
(transmisi) : kontak langsung misal berjabat tangan, tidur bersama dan kontak
seksual. Kontak tidak langsung misalnya melalui pakaian, handuk, sprei, bantal, dan
lain-lain (Djuanda, 2007).
7. Patogenesis Scabies
berbagai benda yang terkontaminasi (sprei, handuk, baju, dsb). Tungau dapat hidup
diluar tubuh manusia selama 24-36 jam. [ CITATION Men18 \l 1057 ]
8. Penularan Scabies
Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau tungau
dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari semua bentuk infektif
tersebut tungau dewasalah yang paling sering menyebabkan penularan. Sekitar 90%
penularan skabies dilakukan oleh tungau dewasa betina terutama yang gravid.
Tungau tidak dapat melompat atau terbang melainkan berpindah dengan merayap.
Kemampuan tungau untuk menginfestasi akan menurun seiring dengan lamanya
tungau berada di luar tubuh hospes.
Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung namun cara
penularan skabies yang paling sering adalah melalui kontak langsung antar individu
saat tungau sedang berjalan di permukaan kulit. Kontak langsung adalah kontak kulit
ke kulit yang cukup lama misalnya pada saat tidur bersama. Kontak langsung jangka
pendek misalnya berjabat tangan dan berpelukan singkat tidak menularkan tungau.
Skabies lebih mudah menular secara kontak langsung dari orang ke orang yang
tinggal di lingkungan padat dan berdekatan seperti di panti jompo, panti asuhan,
pesantren dan institusi lain dimana penghuninya tinggal dalam jangka waktu lama.
Penularan skabies secara tidak langsung dapat terjadi melalui kontak dalam
durasi yang lama dengan seprai, sarung bantal dan guling, pakaian, selimut, handuk
dan perabot rumah tangga lainnya yang terinfestasi S.scabiei. Penularan tungau
secara tidak langsung bergantung pada lama tungau dapat bertahan hidup di luar
tubuh hospes yang variasinya bergantung pada temperatur dan kelembaban. Pada
barang-barang yang terinfestasi, S.scabiei dapat bertahan 2-3 hari pada suhu ruangan
dengan kelembaban 30%. Semakin tinggi kelembaban semakin lama tungau
bertahan.
Di permukaan yang kering, baju, atau sprei, tungau hanya dapat bertahan
hidup selama beberapa jam. Pada suhu dan kelembaban ideal (21 derajat C dan 40-
80% kelembaban relatif), rentang waktu hidup tungau dapat meningkat hingga 3-4
hari. Rentang waktu hidup tungau dapat lebih panjang pada suhu rendah dan
kelembaban tinggi. Di bawah suhu 20°C sebagian besar tungau tidak bergerak. Di
daerah tropis dengan suhu sekitar 30°C dan kelembaban 75%, tungau betina dapat
bertahan hidup 55-67 jam di luar tubuh hospes. Telur tungau dapat bertahan hidup
pada suhu yang rendah sampai 10 hari di luar tubuh hospes.
9. Tatalaksana Scabies
1. Farmakologis
a. Permetrin (Scabimite) cream 5% setelah mandi sore dioles ke
permukaan kulit seluruh tubuh, kemudian didiamkan minimal 10 jam,
setelah itu mandi seperti biasa. Pemakaian hanya 1 kali dalam seminggu.
b. Cetirizine 10 mg 1 tablet sehari
c. Inerson cream dioles 2 x sehari
2. Non farmakologis
a. Rutin minum obat
b. Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan oleh
penderita harus diisolasi dan direndam dengan air panas terlebih dahulu
sebelum dicuci.
c. Sprai penderita harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga hari
sekali
d. Menghindari kontak langsung dengan penderita lain (adik spupu
penderita) seperti berjabat tangan dan tidur bersama.
e. Kontrol kembali hari ke 7 pengobatan
10. Pandangan Islam terhadap Scabies
Kebersihan sangat diperhatikan dalam Islam baik secara fisik maupun jiwa,
baik secara tampak maupun tidak tampak. Dianjurkan pula agar memelihara dan
menjaga sekeliling lingkungan dari kotoran agar tetap bersih. Dalam pandangan
Yusuf al-Qardhawi ia menyebutkan bahwa perhatian al-sunnah al-nabawiyyah
terhadap kebersihan muncul dikarenakan beberapa sebab, yaitu:
Amiruddin, MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 1. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin.
Depkes RI, 2005. Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.
Djuanda Adhi. Prurigo. 2007. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima.
Jakarta: FKUI
Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universtias Indonesia.
Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : FK UI.
Harahap, M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit, PT Hipokrates, Cetakan I, Jakarta.
Mading, M & Indriaty, I. 2015. Kajian Aspek Epidemiologi Skabies pada Manusia.
Waikabubak: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Menaldi, S. L. S., Bramono, K. & Indriatmi, W., 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 5th penyunt. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Ramos-e-Silva, M. 1998. Giovan Cosimo Bonomo (1663-1696): Discoverer of the
etiology of scabies. International Journal of Dermatology. 37 (8):625-630.
Saleha Sungkar. 2016. Skabies: Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan,
dan Pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI
Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis
Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.