Anda di halaman 1dari 54

METODE PEMBELAJARAN

PERUBAHAN METODE PEMBELAJARAN DARI TCL (TEACHER


CENTER LEARNING) MENJADI SCL (STUDENT CENTER LEARNING)

Dosen Pengampu:
Dini Saraswati Handayani, SST, MKM

Disusun oleh:
Kelompok I
Nur Afifah Harahap 131020180501
Tiara Rica Dayani 131020180506
Rati Andriyani 131020180513
Ima Rohmawati 131020180511
Eka Andriany 131020180518

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
HidayahNya sehingga kami penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Perubahan Metode Pembelajaran Dari TCL (Teacher Center
Learning) Menjadi SCL (Student Center Learning),”
Proses penyusunan makalah ini dapat dieselesaikan berkat dukungan,
bimbingan, arahan dan bantuan dari teman-teman dan dosen Dini Saraswati
Handayani, SST, MKM untuk itu kami ucapkan terimakasih banyak.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini kami masih memiliki
segala keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat membuat kita mencapai
kehidupan yang lebih baik lagi.

Bandung, 2019

Kelompok I
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar belakang .................................................................................. 1
1.2. Tujuan .............................................................................................. 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................... 4
2.1. Perubahan Metode Pembelajaran Dari TCL(Teacher Center
Learning) Menjadi Scl (Student Center Learning) ........................ 4
2.1.1. Paradigma Pembelajaran ...................................................... 4
2.1.2. Kondisi Pembelajaran di Perguruan Tinggi saat ini ........... 5
2.1.3. Perubahan dari TCL ke arah SCL ....................................... 8
2.1.4. Perbedaan TCL dan SCL ..................................................... 9
2.1.5. Pembelajaran Student Centered Learning (SCL)................. 10
2.1.6. Peran Dosen dalam Pembelajaran SCL .............................. 11
2.1.7. Ragam metode pembelajaran SCL....................................... 12
2.1.8. Aktifitas Dosen dan Mahasiswa dalam Model Belajar ....... 17
2.2. Perubahan Kurikulum Kebidanan .............................................. 21
2.2.1. Landasan Hukum Kurikulum ............................................... 23
2.2.2. Pengembangan Kurikulum................................................... 24
2.3. Perubahan paradigma pendidikan bidan di era industri 4.0 ..... 28
2.3.1. Perubahan Paradigma Perguruan Tinggi Input .................... 34
2.3.2. Perubahan Paradigma PT Proses.......................................... 36
2.3.3. Tantangan Terkait Pengembangan Kurikulum Masa
Depan ................................................................................... 39
2.3.4. Contoh Hasil Era Industri 4.0 dalam Kebidanan ................ 44
2.4. Kajian Jurnal .................................................................................... 48
BAB III PENUTUP ................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 50
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Perubahan kurikulum di perguruan tinggi merupakan aktivitas rutin
yang harus dilakukan sebagai tanggapan terhadap perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) (scientific vision), kebutuhan masyarakat
(societal needs), serta kebutuhan pengguna lulusan (stakeholder needs).
Permasalahan yang sering timbul di kalangan akademisi adalah pemahaman
tentang bagaimana melakukan rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi yang
masih sangat beragam baik antar program studi sejenis maupun antar perguruan
tinggi.
Perubahan di Era Industri 4.0 ini antara lain meningkatnya persaingan,
persyaratan kerja, perubahan orientasi yang membutuhkan perlunya peningkatan
kompetensi lulusan dan juga perubahan paradigma pengetahuan tentang belajar
dan mengajar yang berdampak pada perlunya perubahan kurikulum, perubahan
perilaku pembelajaran yang bertujuan untuk peningkatan mutu lulusan.
Belajar yang sama dengan menerima pengetahuan dimana siswa pasif
reseptif sering dinamakan pengajaran Teacher Centered Learning (TCL). Belajar
adalah berubah dan ada nilai tambah, mencari pengetahuan dengan berbagai
strategi mahasiswa aktif dan spesifik sering dinamakan pembelajaran Student
Centered Learning (SCL).
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) telah merumuskan dan
melaksanakan kurikulum baru pada tahun 2014. Kurikulum itu dibuat dengan
alasan bahwa kurikulum terdahulu kurang sesuai dengan perkembangan zaman
dan selain itu juga untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Dengan dorongan perkembangan global yang saat ini dituntut adanya pengakuan
atas capaian pembelajaran yang telah disetarakan secara internasional, dan
dikembangkannya KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia), maka
kurikulum di perguruan tinggi sejak tahun 2012 mengalami sedikit pergeseran
dengan memberikan ukuran penyetaraan capaian pembelajarannya. Kurikulum ini

1
masih mendasarkan pada pencapaian kemampuan yang telah disetarakan untuk
menjaga mutu lulusannya. Kurikulum ini dikenal dengan nama Kurikulum
Pendidikan Tinggi.
Kurikulum tahun 2012 mempunyai pola pembelajaran yang terpusat pada
dosen (Teacher Centered Learning/TCL) yang sudah tidak memadai untuk
mencapai tujuan pendidikan berbasis capaian pembelajaran. Berbagai alasan yang
dapat dikemukakan bahwa perkembangan IPTEK di era 4.0 dan seni yang sangat
pesat dengan berbagai kemudahan untuk mengaksesnya merupakan materi
pembelajaran yang sulit dapat dipenuhi oleh seorang dosen, perubahan
kompetensi kekaryaan yang berlangsung sangat cepat memerlukan materi dan
proses pembelajaran yang lebih fleksibel dan praktis dan kebutuhan untuk
mengakomodasi demokratisasi partisipatif dalam proses pembelajaran di
perguruan tinggi.
Pembelajaran ke depan didorong menjadi berpusat pada mahasiswa
(Student Centered Learning/SCL) dengan memfokuskan pada capaian
pembelajaran yang diharapkan. Berpusat pada mahasiswa menyatakan bahwa
capaian pembelajaran lulusan diraih melalui proses pembelajaran yang
mengutamakan pengembangan kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan
mahasiswa, serta mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan
pengetahuan. Mahasiswa harus didorong untuk memiliki motivasi dalam diri
mereka sendiri, kemudian berupaya keras mencapai hasil pembelajaran yang
diinginkan.
Perubahan pendekatan dalam pembelajaran dari TCL menjadi SCL adalah
perubahan paradigma, yaitu perubahan dalam cara memandang beberapa hal
dalam pembelajaran, adalah (1) Pengetahuan, dari pengetahuan yang dipandang
sebagai sesuatu yang sudah jadi yang tinggal ditransfer dari dosen ke mahasiswa,
menjadi pengetahuan dipandang sebagai hasil konstruksi atau hasil transformasi
oleh pembelajar, (2) Belajar, belajar adalah menerima pengetahuan (pasif)
menjadi belajar adalah mencari dan mengkonstruksi pengetahuan, aktif dan
spesifik caranya, (3) Pembelajaran, dosen menyampaikan pengetahuan atau
mengajar (ceramah dan kuliah) menjadi dosen berpartisipasi bersama mahasiswa

2
membentuk pengetahuan.
Dengan paradigma ini maka tiga prinsip yang harus ada dalam
pembelajaran SCL adalah (1) Memandang pengetahuan sebagai satu hal yang
belum lengkap, (2) Memandang proses belajar sebagai proses untuk
merekonstruksi dan mencari pengetahuan yang akan dipelajari; serta (3)
Memandang proses pembelajaran bukan sebagai proses pengajaran (teaching)
yang dapat dilakukan secara klasikal, dan bukan merupakan suatu proses untuk
menjalankan sebuah instruksi baku yang telah dirancang. Proses pembelajaran
adalah proses dimana dosen menyediakan berbagai macam strategi dan metode
pembelajaran dan paham akan pendekatan pembelajaran mahasiswanya untuk
dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya. Perbedaan pendekatan
pembelajaran yang berpusat pada dosen (TCL) dan pembelajaran yang berpusat
pada mahasiswa (SCL).
Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dibahas mengenai alasan
perubahan metode pembelajaran dari TCL menjadi SCL, Perubahan Kurikulum
Kebidanan dan Perubahan Paradigma Pendidikan Bidan di Era Industri 4.0

1.2. TUJUAN
Mengkaji Alasan perubahan metode pembelajaran dari TCL menjadi SCL,
Perubahan Kurikulum Kebidanan dan Perubahan Paradigma Pendidikan Bidan di
Era Industri 4.0

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. PERUBAHAN METODE PEMBELAJARAN DARI TCL (TEACHER


CENTER LEARNING) MENJADI SCL (STUDENT CENTER
LEARNING)
2.1.1. Paradigma Pembelajaran
United Nations of Educational Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan empat perubahan besar
di pendidikan tinggi tersebut, dipakai dua basis landasan, berupa empat pilar
pendidikan:
1. learning to know,
2. learning to do yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada
penguasaan ketrampilan menurut klasifikasi ISCE (International Standard
Classification of Education) dan ISCO (International Standard Classification
of Occupation), dematerialisasi pekerjaan dan kemampuan berperan untuk
menanggapi bangkitnya sektor layanan jasa, dan bekerja di kegiatan ekonomi
informal,
3. learning to live together (with others), dan
4. learning to be, serta; belajar sepanjang hayat (learning throughout life).
Perubahan pendidikan tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan.
Kompetensi adalah ciri utama dari penguasaan learning to do dari
suatu materi pembelajaran tidak dapat dipisahkan dengan elemen kompetensi
yang terkandung dalam learning to know, learning to live together, dan learning
to be dari materi yang bersangkutan atau materi‐materi pembelajaran lainnya.
Oleh karenanya, pemisahan antara materi pembelajaran atas hard skill dan soft
skill dalam satu kurikulum tidak berlaku lagi. Makna arti hard skill dan soft skill
diakomodasi dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan dimensi proses
kognitif, afektif, dan psikomotor.

4
Perubahan‐perubahan mendasar pendidikan tinggi yang berlangsung,
akan meletakkan kedudukan pendidikan tinggi sebagai:
1. lembaga pembelajaran dan sumber pengetahuan,
2. pelaku, sarana dan wahana interaksi antara pendidikan tinggi dengan
perubahan pasaran kerja,
3. lembaga pendidikan tinggi sebagai tempat pengembangan budaya dan
pembelajaran terbuka untuk masyarakat, dan
4. pelaku, sarana dan wahana kerjasama internasional.

2.1.2. Kondisi Pembelajaran di Perguruan Tinggi saat ini


Kondisi pembelajaran di program studi/ perguruan tinggi masih cukup
beragam. Perguruan tinggi yang telah menjalankan sistem penjaminan mutu
dengan baik dari level institusi sampai program studi umumnya telah melak‐
sanakan pembelajaran yang berbasiskan capaian pembelajaran, namun dari
pengalaman Tim Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi, Direktorat
Pendidikan Tinggi melaksanakan pelatihan pengembangan kurikulum di
seluruh KOPERTIS di Indonesia dengan permasalahan utama, yaitu:
1. Kurangnya pemahaman tentang esensi dari kurikulum dalam
sistem pendidikan
2. Kurangnya persiapan dosen di dalam menyiapkan perangkat
pembelajaran
3. Sebelum melakukan pembelajaran;
4. Ketidakjelasan rumusan capaian pembelajaran;
5. Ketidakjelasan strategi dan metode pembelajaran;
6. Ketidakjelasan apakah pilihan strategi dan metode pembelajaran merupakan
pilihan yang tepat untuk memunculkan capaian pembelajaran yang telah
ditetapkan;
7. Aktivitas asesmen cenderung pada pemberian skor/nilai kepada
mahasiswa dari pada memberikan tuntunan untuk membuka potensinya;
8. Instrumen untuk melakukan asesmen cenderung mencirikan penilaian sumatif
dari pada penilaian formatif.

5
Hal di atas dapat mengindikasikan bahwa dalam melaksanakan
proses pembelajaran yang baik, masih ada beberapa dosen yang kurang
pemahamannya atau dosen kurang perduli terhadap capaian pembelajaran,
strategi dan metode pembelajaran, serta cara penilaian yang tepat. Ada anggapan
bahwa dengan tatap muka sekali dalam satu minggu telah melakukan
pembelajaran sesuai dengan tuntutan aturan yang ada. Hal ini dikarenakan
pemahaman ukuran pembelajaran yang baik adalah jumlah tatap muka di kelas.
Sistem pelayanan, monitoring dan evaluasi serta tindak lanjut dari hasil
evaluasi. Sering yang menjadi alasan tidak berkembangnya sistem pembelajaran
dengan baik adalah kurangnya pendanaan. Sistem pembelajaran yang baik
mampu memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa untuk membuka
potensi dirinya dalam menginternalisasikan knowledge, skills dan attitudes serta
pengalaman belajar sebelumnya. Dengan dikeluarkannya Permendikbud No.
49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Program Studi
dituntut untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kualifikasi KKNI.
Demikian pula sistem penjaminan mutu pendidikannya mesti mampu
mengendalikan proses pendidikan dengan baik merujuk pada level kualifikasi
KKNI.
Materi pembelajaran pada umumnya disusun tidak mengikuti taksonomi
dimensi pengetahuan yang akan dicapai dan dimensi proses kognitif urutan serta
cara penyampaiannya. Oleh karenanya, proses pembelajaran yang banyak
dipraktekkan sekarang ini sebagian besar berbentuk penyampaian secara tatap
muka (lecturing), atau penyampaian secara searah (dari dosen kepada
mahasiswa). Pada saat mengikuti kuliah atau mendengarkan ceramah,
mahasiswa akan kesulitan untuk mengikuti atau menangkap makna
esensi materi pembelajaran, sehingga kegiatannya sebatas membuat catatan yang
kebenarannya diragukan. Disamping itu ada kecenderungan lain yaitu
mahasiswa saat ini kurang mampu menyimak. Hal ini terjadi sebagai
akibat dari ketergantungan pada bahan tayang dan fotocopy bahan tayang
dari dosen.

6
Mahasiswa kurang terbiasa dengan mencatat dengan
menggunakan model “mind mapping” atau model “taking notes” lainnya.
Mereka merasa tentram karena bahan tayang dalam bentuk power point dapat
diperoleh dari dosennya. Kebiasaan semacam ini perlu diubah, karena
mahasiswa menjadi pasif. Pola proses pembelajaran dosen aktif dengan
mahasiswa pasif ini efektifitasnya rendah, dan tidak dapat
menumbuhkembangkan proses partisipasi aktif dalam pembelajaran. Keadaan
ini terjadi sebagai akibat elemen‐elemen terbentuknya proses partisipasi
yang berupa:
1. dorongan untuk memperoleh harapan (effort),
2. kemampuan mengikuti proses pembelajaran, dan
3 . peluang untuk mengungkapkan materi pembelajaran yang diperolehnya di
dunia nyata/ masyarakat tidak ada atau sangat terbatas.
Intensitas pembelajaran mahasiswa umumnya meningkat (tetapi tetap
tidak efektif), terjadi pada saat‐saat akhir mendekati ujian. Itupun terlihat dari
rajinnya mereka mengumpulkan bahan untuk ujian. Akibatnya mutu materi dan
proses pembelajaran sangat sulit untuk diases. Dosen menjadi pusat peran dalam
pencapaian hasil pembelajaran dan seakan‐akan menjadi satu‐satunya sumber
ilmu.
Perbaikan pola pembelajaran ini telah banyak dilakukan dengan
kombi‐ nasi lecturing, tanya‐ jawab, dan pemberian tugas, yang kesemuanya
dilakukan berdasarkan ”pengalaman mengajar” dosen yang bersangkutan dan
bersifat trial‐ error. Luaran proses pembelajaran tetap tidak dapat diases, serta
memerlukan waktu lama pelaksanaan perbaikannya. Pola pembelajaran di
perguruan tinggi yang berlangsung saat sekarang perlu dikaji untuk
dapat dipetakan pola keragaman penyimpangan, besarnya penyimpangan, dan
persentase dari masing‐ masing kelompok pola, terhadap baku proses
pembelajaran yang benar. Mahasiswa dihadapkan pada masalah nyata di
bidang sains dan diberi tugas untuk menyelesaikannya sebagai suatu cara
pembelajaran. Dosen diharapkan dapat menerima kesalahan dalam proses
pembelajaran sebagai hal yang wajar dan memotivasi untuk memperbaiki secara

7
terus menerus. Jadi proses pembelajaran yang diterapkan benar‐benar menyatu
dengan materi pembelajaran yang diformat sesuai dengan dimensi pengetahuan
dan dimensi proses kognitif secara benar menurut empat pilar pembelajaran.
Denga n demikian proses pembelajaran memiliki karakteristik
yang mencerminkan sifat interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual,
tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa.

2.1.3. Perubahan dari TCL ke arah SCL


Pembelajaran yang terpusat pada dosen (Teaching Centered
Learning/TCL) seperti yang dipraktekkan pada saat ini sudah tidak memadai
untuk mencapai tujuan pendidikan berbasis capaian pembelajaran. Berbagai
alasan yang dapat dikemukakan antara lain adalah:
1. perkembangan IPTEK dan Seni yang sangat pesat dengan berbagai
kemudahan untuk mengaksesnya merupakan materi pembelajaran yang sulit
dapat dipenuhi oleh seorang dosen,
2. perubahan kompetensi kekaryaan yang berlangsung sangat cepat
memerlukan materi dan proses pembelajaran yang lebih fleksibel,
3. kebutuhan untuk mengakomodasi demokratisasi partisipatif dalam proses
pembelajaran di perguruan tinggi. Oleh karena itu pembelajaran ke depan
didorong menjadi berpusat pada mahasiswa (Student Centered Learning/
SCL) dengan memfokuskan pada capaian pembelajaran yang diharapkan.
Berpusat pada mahasiswa menyatakan bahwa capaian pembelajaran lulusan
diraih melalui proses pembelajaran yang mengutamakan pengembangan
kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta
mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan.
Mahasiswa harus didorong untuk memiliki motivasi dalam diri mereka
sendiri, kemudian berupaya keras mencapai hasil pembelajaran yang
diinginkan.

8
Perubahan pendekatan dalam pembelajaran dari TCL menjadi SCL adalah
perubahan paradigma, yaitu perubahan dalam cara memandang beberapa hal
dalam pembelajaran, yakni;
1. pengetahuan , dari pengetahuan yang dipandang sebagai sesuatu yang sudah
jadi yang tinggal ditransfer dari dosen ke mahasiswa, menjadi pengetahuan
dipandang sebagai hasil konstruksi atau hasil transformasi oleh pembelajar,
2. belajar, belajar adalah menerima pengetahuan (pasif‐reseptif) menjadi belajar
adalah mencari dan mengkonstruksi pengetahuan, aktif dan spesifik
caranya,
3. pembelajaran, dosen menyampaikan pengetahuan atau mengajar (ceramah
dan kuliah) menjadi dosen berpartisipasi bersama mahasiswa membentuk
pengetahuan.
4. Dengan paradigma ini maka tiga prinsip yang harus ada dalam pembelajaran
SCL adalah memandang pengetahuan sebagai satu hal yang belum lengkap,
memandang proses belajar sebagai proses untuk merekonstruksi dan
mencari pengetahuan yang akan dipelajari; serta memandang proses
pembelajaran bukan sebagai proses pengajaran (teaching) yang dapat
dilakukan secara klasikal, dan bukan merupakan suatu proses untuk
menjalankan sebuah instruksi baku yang telah dirancang. Proses
pembelajaran adalah proses dimana dosen menyediakan berbagai macam
strategi dan metode pembelajaran dan paham akan pendekatan pembelajaran
mahasiswanya untuk dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Perbedaan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada dosen (TCL) dan
pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (SC) dapat dirinci pada tabel
di bawah ini.

2.1.4. Perbedaan TCL dan SCL


1. Teacher Centered Learning
a. Pengetahuan di transfer dari dosen ke mahasiswa
b. Mahasiswa menerima pengetahuan secara pasif
c. Menekankan pada penguasaan materi

9
d. Biasa memanfaatkan media tunggal
e. Fungsi dosen sebagai pemberiinformasi utama dan evaluator
f. Proses pembelajaran dan penilaiandilakukan secara terpisah
g. Menekankan pada jawaban yang benar

2. Student Centered Learning


a. Mahasiswa aktif mengembanganpengetahuan dan keterampilan yang
dipelajarinya
b. Mahasiswa aktif terlibat dalam mengelola pengetahuan
c. Tidak hanya menekankan pada penguasaan materi, tetapi juga
mengembangkan karakter mahasiswa (Life‐long learning)
d. Memanfaatkan banyak media (multi media)
e. Fungsi dosen sebagai fasilitator dan evaluasi dilakukan bersama dengan
mahasiswa
f. Proses pembelajaran dan asesmen dilakukan secara berkesinambungan
dan terintegrasi
g. Penekanan pada proses pengembangan pengetahuan. Kesalahan dinilai
dan dijadikan sumber pembelajaran.

2.1.5. Pembelajaran Student Centered Learning (SCL)


Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dinyatakan bahwa
”Pembelajaran adalah interaksi antara pendidik, peserta didik, dan sumber belajar,
di dalam lingkungan belajar tertentu”.
Berdasarkan pada pernyataan diatas maka dalam mendeskripsikan
setiap unsur yang terlibat dalam pembelajaran tersebut dapat ditengarai ciri
pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning)
Ciri metode pembelajaran SCL sesuai unsurnya dapat dirici sebagai
berikut: dosen, berperan sebagai fasilitator dan motivator; mahasiswa, harus
menunjukkan kinerja, yang bersifat kreatif yang mengintergrasikan kemampuan

10
kognitif, psikomotorik dan afeksi secara utuh; proses interaksinya,
menitikberatkan pada “method of inquiry and discovery”; sumber belajarnya,
bersifat multi demensi, artinya bisa didapat dari mana saja; dan lingkungan
belajarnya, harus terancang dan kontekstual.

2.1.6. Peran Dosen dalam Pembelajaran SCL


Di dalam proses pembelajaran SCL, dosen masih memiliki peran yang
penting dalam pelaksanaan SCL, yaitu:
1. Bertindak sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran;
2. Memahami capaian pembelajaran matakuliah yang perlu dikuasai
mahasiswa di akhir pembelajaran;
3. Merancang strategi dan lingkungan pembelajaran yang dapat;
4. Menyediakan beragam pengalaman belajar yang diperlukan mahasiswa dalam
rangka mencapai kompetensi yang dituntut mata kuliah;
5. Membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan memprosesnya
untuk dimanfaatkan dalam memecahkan permasalahan hidup sehari‐hari;
6. Mengidentifikasi dan menentukan pola penilaian hasil belajar mahasiswa
yang relevan dengan capaian pembelajaran yang akan diukur.
Sementara itu, peran yang harus dilakukan mahasiswa dalam
pembelajaran SCL adalah:
1. Memahami capaian pembelajaran mata kuliah yang dipaparkan dosen.
2. Menguasai strategi pembelajaran yang ditawarkan dosen.
3. Menyepakati rencana pembelajaran untuk mata kuliah yang diikutinya.
Belajar secara aktif (dengan cara mendengar, membaca, menulis, diskusi,
dan terlibat dalam pemecahan masalah serta lebih penting lagi terlibat dalam
kegiatan berfikir tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis dan evaluasi), baik secara
individu maupun berkelompok.

11
2.1.7. Ragam metode pembelajaran SCL
Metode pembelajaran yang dapat dipilih untuk pelaksanaan pembelajaran
mata kuliah antara lain:
1. Small Group Discussion;
Diskusi adalah salah satu elemen belajar secara aktif dan merupakan
bagian dari banyak model pembelajaran SCL yang lain, seperti CL, CbL, PBL,
dan lain‐lain. Mahasiswa peserta kuliah diminta membuat kelompok kecil (5
sampai 10 orang) untuk mendiskusikan bahan yang diberikan oleh dosen atau
bahan yang diperoleh sendiri oleh anggota kelompok tersebut. Dengan aktivitas
kelompok kecil, mahasiswa akan belajar:
a. Menjadi pendengar yang baik;
b. Bekerjasama untuk tugas bersama;
c. Memberikan dan menerima umpan balik yang konstruktif;
d. Menghormati perbedaan pendapat;
e. Mendukung pendapat dengan bukti; dan
f. Menghargai sudut pandang yang bervariasi (gender, budaya, dan lain‐lain).
Adapun aktivitas diskusi kelompok kecil dapat berupa:
a . Membangkitkan ide;
b. Menyimpulkan poin penting;
c. Mengakses tingkat skill dan pengetahuan;
d . Mengkaji kembali topik di kelas sebelumnya;
e . Menelaah latihan, quiz, tugas menulis;
f. Memproses outcome pembelajaran pada akhir kelas;
g. Memberi komentar tentang jalannya kelas;
h. Membandingkan teori, isu, dan interpretasi ;
i. Menyelesaikan masalah; dan
j. Brainstroming.

2. Role‐Play & Simulation;


Simulasi adalah model yang membawa situasi yang mirip dengan
sesungguhnya ke dalam kelas. Misalnya untuk mata kuliah aplikasi

12
instrumentasi, mahasiswa diminta membuat perusahaan fiktif yang bergerak
di bidang aplikasi instrumentasi, kemudian perusahaan tersebut diminta
melakukan hal yang sebagaimana dilakukan oleh perusahaan sesungguhnya
dalam memberikan jasa kepada kliennya, misalnya melakukan proses bidding,
dan sebagainya. Simulasi dapat berbentuk:
a. Permainan peran (role playing). Dalam contoh di atas, setiap
mahasiswa dapat diberi peran masing‐masing, misalnya sebagai direktur,
engineer, bagian pemasaran dan lain‐ lain;
b. Simulation exercices and simulation games; dan
c. Model komputer.
Simulasi dapat mengubah cara pandang (mindset) mahasiswa, dengan
jalan:
a . Mempraktekkan kemampuan umum (misal komunikasi verbal &
nonverbal);
b . Mempraktekkan kemampuan khusus;
c. Mempraktekkan kemampuan tim;
d . Mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah (problem‐
solving);
e. Menggunakan kemampuan sintesis; dan
f. Mengembangkan kemampuan empati.

3. Case Study;

4. Discovery Learning (DL);


DL adalah metode belajar yang difokuskan pada pemanfaatan informasi
yang tersedia, baik yang diberikan dosen maupun yang dicari sendiri oleh
mahasiswa, untuk membangun pengetahuan dengan cara belajar mandiri.

5. Self‐ Directed Learning (SDL);


SDL adalah proses belajar yang dilakukan atas inisiatif individu
mahasiswa sendiri. Dalam hal ini, perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
terhadap pengalaman belajar yang telah dijalani, dilakukan semuanya oleh

13
individu yang bersangkutan. Sementara dosen hanya bertindak sebagai
fasilitator, yang memberi arahan, bimbingan, dan konfirmasi terhadap
kemajuan belajar yang telah dilakukan individu mahasiswa tersebut.
Metode belajar ini bermanfaat untuk menyadarkan dan memberdayakan
mahasiswa, bahwa belajar adalah tanggungjawab mereka sendiri. Dengan kata
lain, individu mahasiswa didorong untuk bertanggungjawab terhadap semua
fikiran dan tindakan yang dilakukannya. Metode pembelajaran SDL
dapat diterapkan apabila asumsi berikut sudah terpenuhi, yaitu sebagai orang
dewasa, kemampuan mahasiswa semestinya bergeser dari orang yang
tergantung pada orang lain menjadi individu yang mampu belajar mandiri.
Prinsip yang digunakan di dalam SDL adalah:
a. Pengalaman merupakan sumber belajar yang sangat bermanfaat;
b. Kesiapan belajar merupakan tahap awal menjadi pembelajar mandiri; dan
c. Orang dewasa lebih tertarik belajar dari permasalahan daripada dari isi
matakuliah Pengakuan, penghargaan, dan dukungan terhadap proses
belajar orang dewasa perlu diciptakan dalam lingkungan belajar. Dalam hal
ini, dosen dan mahasiswa harus memiliki semangat yang saling
melengkapi dalam melakukan pencarian pengetahuan.

6. Cooperative Learning (CL);


CL adalah metode belajar berkelompok yang dirancang oleh dosen
untuk memecahkan suatu masalah/kasus atau mengerjakan suatu tugas.
Kelompok ini terdiri atas beberapa orang mahasiswa, yang memiliki
kemampuan akademik yang beragam.
Metode ini sangat terstruktur, karena pembentukan kelompok, materi yang
dibahas, langkah‐ langkah diskusi serta produk akhir yang harus
dihasilkan, semuanya ditentukan dan dikontrol oleh dosen. Mahasiswa
dalam hal ini hanya mengikuti prosedur diskusi yang dirancang oleh dosen.
Pada dasarnya CL seperti ini merupakan perpaduan antara teacher‐centered dan
student‐ centered learning.

14
Metode ini bermanfaat untuk membantu menumbuhkan dan mengasah:
kebiasaan belajar aktif pada diri mahasiswa, rasa tanggung‐ jawab individu
dan kelompok mahasiswa, kemampuan dan keterampilan bekerjasama antar
mahasiswa; dan keterampilan sosial mahasiswa.

7. Collaborative Learning (CbL);


CbL adalah metode belajar yang menitikberatkan pada kerjasama antar
mahasiswa yang didasarkan pada konsensus yang dibangun sendiri oleh anggota
kelompok. Masalah/tugas/kasus memang berasal dari dosen dan bersifat open
ended, tetapi pembentukan kelompok yang didasarkan pada minat, prosedur
kerja kelompok, penentuan waktu dan tempat diskusi/kerja kelompok,
sampai dengan bagaimana hasil diskusi/kerja kelompok ingin dinilai oleh dosen,
semuanya ditentukan melalui konsensus bersama antar anggota kelompok.

8. Contextual Instruction (CI);


CI adalah konsep belajar yang membantu dosen mengaitkan isi matakuliah
dengan situasi nyata dalam kehidupan sehari‐hari dan memotivasi
mahasiswa untuk membuat keterhubungan antara pengetahuan dan aplikasinya
dalam kehidupan sehari‐hari sebagai anggota masyarakat, pelaku kerja
profesional atau manajerial, entrepreneur, maupun investor. Sebagai contoh,
apabila kompetensi yang dituntut matakuliah adalah mahasiswa dapat
menganalisis faktor‐faktor yang mempengaruhi proses transaksi jual beli, maka
dalam pembelajarannya, selain konsep transaksi ini dibahas dalam Kelas, juga
diberikan contoh, dan mendiskusikannya.
Mahasiswa juga diberi tugas dan kesempatan untuk terjun langsung di
pusat‐ pusat perdagangan untuk mengamati secara langsung proses transaksi jual
beli tersebut, atau bahkan terlibat langsung sebagai salah satu pelakunya, sebagai
pembeli, misalnya. Pada saat itu, mahasiswa dapat melakukan pengamatan
langsung, mengkajinya dengan berbagai teori yang ada, sampai ia dapat
menganalis faktor‐faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya proses
transaksi jual beli. Hasil keterlibatan, pengamatan dan kajiannya ini

15
selanjutnya dipresentasikan di dalam kelas, untuk dibahas dan menampung
saran dan masukan lain dari seluruh anggota kelas.
Pada intinya dengan CI, dosen dan mahasiswa memanfaatkan pengetahuan
secara bersama‐sama, untuk mencapai kompetensi yang dituntut oleh matakuliah,
serta memberikan kesempatan pada semua orang yang terlibat dalam
pembelajaran untuk belajar satu sama lain.

9. Project Based Learning (PjBL);


PjBL adalah metode belajar yang sistematis, yang melibatkan
mahasiswa dalam belajar pengetahuan dan keterampilan melalui proses
pencarian/ penggalian (inquiry) yang panjang dan terstruktur terhadap
pertanyaan yang otentik dan kompleks serta tugas dan produk yang dirancang
dengan sangat hati‐ hati.

10. Problem Based Learning and Inquiry (PBL).


Selain kesepuluh model tersebut, masih banyak model pembelajaran lain
yang belum dapat disebutkan satu persatu, bahkan setiap pendidik/dosen dapat
pula mengembangkan model pembelajarannya sendiri. Berikut akan disampaikan
satu persatu kesepuluh model pembelajaran yang telah disampaikan di atas.

11. Problem‐Based Learning/Inquiry (PBL/I)


PBL/I adalah belajar dengan memanfaatkan masalah dan mahasiswa harus
melakukan pencarian/penggalian informasi (inquiry) untuk dapat memecahkan
masalah tersebut. Pada umumnya, terdapat empat langkah yang perlu dilakukan
mahasiswa dalam PBL/I, yaitu Menerima masalah yang relevan dengan salah
satu/ beberapa kompetensi yang dituntut matakuliah, dari dosennya, Melakukan
pencarian data dan informasi yang relevan untuk memecahkan masalah,
Menata data dan mengaitkan data dengan masalah dan Menganalis strategi
pemecahan masalah PBL/I adalah belajar dengan meman‐ faatkan masalah dan
mahasiswa harus melakukan pencarian/penggalian informasi (inquiry) untuk
dapat memecahkan masalah tersebut.

16
2.1.8. Aktifitas Dosen dan Mahasiswa dalam Model Belajar

Model Aktivitas Belajar


No Aktivitas Dosen
Belajar Mahasiswa
1 Small Group membentuk kelompok 1. Membuat rancangan bahan dikusi
Discussion (5‐10) memilih bahan diskusi dan aturan diskusi.
mepresentasikan paper dan 2. Menjadi moderator dan sekaligus
mendiskusikan di kelas mengulas pada setiap akhir sesion
diskusi mahasiswa.
2 Simulasi mempelajari dan menjalankan 1. Merancang situasi/ kegiatan yang
suatu peran yang ditugaskan mirip dengan yang
kepadanya atau 2. sesungguhnya, bisa berupa
mempraktekan/ mencoba bermain peran, model komputer,
berbagai model (komputer) atau berbagai latihan simulasi.
yang telah disiapkan. 3. Membahas kinerja mahasiswa.
3 Discovery mencari, mengumpulkan, dan 1. Menyediakan data, atau
Learning 4menyusun informasi petunjuk (metode) untuk
yang ada untuk menelusuri suatu pengetahuan
mendeskripsikan suatu yang harus dipelajari oleh
pengetahuan. mahasiswa.
2. Memeriksa dan memberi ulasan
terhadap hasil belajar mandiri
mahasiswa.
4 Self‐Directed merencanakan kegiatan sebagai fasilitator. memberi arahan,
Learning belajar, melaksanakan, dan bimbingan,
menilai pengalaman belajarnya dan konfirmasi terhadap kemajuan
sendiri. belajar yang telah dilakukan
individu mahasiswa.
5 Cooperative Membahas dan 1. Merancang dan dimonitor proses
Learning menyimpulkan masalah/ tugas belajar dan hasil belajar
yang diberikan dosen secara kelompok mahasiswa.
berkelompok. 2. Menyiapkan suatu masalah/ kasus
atau bentuk tugas untuk
diselesaikan oleh mahasiswa
secara berkelompok.
6 Collaborative Bekerja sama dengan 1. Merancang tugas yang bersifat
Learning anggota kelompoknya dalam open ended.
mengerjakan tugas 2. Sebagai fasilitator dan
Membuat rancangan proses motivator.
dan bentuk penilaian
berdasarkan konsensus
kelompoknya sendiri.
7 Contextual Membahas konsep 1. Menjelaskan bahan kajian yang
Instruction (teori) kaitannya dengan situasi bersifat teori dan mengkaitkannya
nyata Melakukan studi lapang/ dengan situasi nyata dalam
terjun di dunia nyata untuk kehidupan sehari‐hari, atau kerja
mempelajari kesesuaian teori. profesional, atau manajerial, atau
entrepreneurial.
2. Menyusun tugas untuk studi

17
mahasiswa terjun ke lapangan
8 Project Based Mengerjakan tugas (berupa 1. Merancang suatu tugas (proyek)
Learning proyek) yang telah dirancang yang sistematik agar mahasiswa
secara sistematis. belajar pengetahuan dan
Menunjukan kinerja dan ketrampilan melalui proses
mempertanggung jawabkan pencarian/ penggalian (inquiry),
hasil kerjanya di forum. yang terstruktur dan kompleks.
2. Merumuskan dan melakukan
proses pembimbingan dan
assesmen
9 Problem Belajar dengan menggali/ 1. Merancang tugas untuk mencapai
Based mencari informasi (inquiry) kompetensi tertentu
Learning sertamemanfaatkan informasi 2. Membuat petunjuk (metode)
tersebut untuk memecahkan untuk mahasiswa dalam mencari
masalah faktual/ yang pemecahan masalah yang dipilih
dirancang oleh dosen . oleh mahasiswa sendiri atau yang
ditetapkan.

Dosen dalam memilih metode pembelajaran perlu memperhatikan


beberapa unsur, yaitu:
1. Mahasiswa;
2. Materi ajar/bahan kajian; dan
3. Sarana dan media pembelajaran.
Yang terpeting dalam pemilihan wujud ketiga unsur tersebut, dosen perlu
berfokus pada capaian pembelajaran yang akan dicapai. Agar metode
pembelajarannya efektif, dosen perlu mempertimbangkan unsur sarana dan media,
terkait dengan materi ajarnya, misal untuk mengajarkan warna, tayangan atau
penyajian visual nyata akan lebih efektif penyerapannya dari pada dengan bahasa
lisan. Agar pembelajaran lebih efisien maka dosen perlu mempertimbangkan
sarana dan media tersebut, terkait dengan jumlah mahasiswa, misal,
susunan ruang dan besaran ruang menentukan efisiensi pembelajarannya.
Sedangkan untuk keberhasilannya mencapai kompetensi, dosen perlu
mempertimbangkan tingkat kemampuan peserta didik dan tingkat kesukaran atau
kompleksitas materi ajarnya.
Menyusun rancangan pembelajaran SCL memerlukan kreativitas dosen
dalam menentukan strategi agar peserta didik memenuhi capaian pembelajaran
(learning outcomes) yang diharapkan. Heterogenitas kemampuan peserta didik,

18
prasarana dan sarana yang dibutuhkan, jumlah mahasiswa, dan
karakteristik bidang keilmuan, tentu menuntut pemilihan strategi yang tepat.
Dalam pembelajaran SCL yang tidak hanya menekankan pada hasil belajar tetapi
juga proses belajar dalam membentuk kemampuan peserta didik, dan dengan
perubahan paradigma dalam pembelajaran yang telah diuraikan sebelumnya,
maka berikut ini disajikan secara diagramatik satu model proses pembelajaran.

2.1.9. Kelebihan Dan Kekurangan TCL dan SCL


Kelebihan TCL :
1) Sejumlah besar informasi dapat diberikan dalam waktu singkat
2) Informasi dapat diberikan ke sejumlah besar siswa
3) Pengajar mengendalikan sepenuhnya organisasi, bahan ajar, dan irama
pembelajaran
4) Merupakan mimbar utama bagi pengajar dengan kualifikasi pakar
5) Bila kuliah diberikan dengan baik, menimbulkan inspirasi dan stimulasi bagi
siswa
6) Metode assessment cepat dan mudah

Kekurangan TCL :
1) Pengajar mengendalikan pengetahuan sepenuhnya, tidak ada partisipasi dari
pembelajar
2) Terjadi komunikasi satu arah, tidak merangsang siswa untuk mengemukakan
pendapatnya
3) Tidak kondusif terjadinya critical thinking
4) Mendorong pembelajaran pasif
5) Mendorong pembelajaran pasif

19
Kelebihan SCL
Model pembelajaran student center, pada saat ini diusulkan menjadi model
pembelajaran yang sebaiknya digunakan karena memiliki beberapa keunggulan
yaitu:
1) Siswa atau peserta didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi
miliknya sendiri karena mahasiswa diberi kesempatan yang luas untuk
berpartisipasi;
2) Siswa memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran;
3) Tumbuhnya suasana demokratis dalam pembelajara sehingga akan terjadi
dialog dan diskusi untuk saling belajar-membelajarkan di antara mahasiswa;
4) Dapat menambah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi dosen atau
pendidik karena sesuatu yang dialami dan disampaikan mahasiswa mungkin
belum diketahui sebelumnya oleh dosen.
5) Mengaktifkan siswa
6) Mendorong siswa menguasai pengetahuan
7) Mengenalkan hubungan antara pengetahuan dan dunia nyata
8) Mendorong pembelajaran secara aktif dan berpikir kritis
9) Mengenalkan berbagai macam gaya belajar
10) Memperhatikan kebutuhan dan latar belakang pembelajar
11) Memberi kesempatan pengembangan berbagai strategi assessment

Kekurangan SCL :
1) Sulit diimplementasikan pada kelas besar
2) Memerlukan waktu lebih banyak
3) Tidak efektif untuk semua jenis kurikulum
4) Tidak cocok untuk mahasiswa yang tidak terbiasa aktif, mandiri, dan
demokratis

20
2.2. PERUBAHAN KURIKULUM KEBIDANAN
Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
Pendidikan Tinggi yang dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi
yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan
keterampilan. Kurikulum juga seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan program studi.
Diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), dan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, mendorong semua perguruan tinggi
untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan tersebut. KKNI merupakan
pernyataan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang penjenjangan
kualifikasinya didasarkan pada tingkat kemampuan yang dinyatakan dalam
rumusan capaian pembelajaran (learning outcomes). Perguruan tinggi sebagai
penghasil sumber daya manusia terdidik perlu mengukur lulusannya, apakah
lulusan yang dihasilkan memiliki „kemampuan‟ setara dengan „kemampuan‟
(capaian pembelajaran) yang telah dirumuskan dalam jenjang kualifikasi KKNI.
Sebagai kesepakatan nasional, ditetapkan lulusan program sarjana misalnya
paling rendah harus memiliki “kemampuan” yang setara dengan “capaian
pembelajaran” yang dirumuskan pada jenjang 6 KKNI, Magister setara jenjang 8,
dan doktor setara jenjang 9.
Perguruan tinggi dalam menyusun atau mengembangkan kurikulum, wajib
mengacu pada KKNI dan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Tantangan yang
dihadapi oleh perguruan tinggi dalam pengembangan kurikulum di era Revolusi
Industri 4.0 adalah menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan literasi baru
meliputi literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia yang berakhlak mulia
berdasarkan pemahaman keyakinan agama. Perguruan tinggi perlu melakukan
reorientasi pengembangan kurikulum yang mampu menjawab tantangan tersebut.

21
Kurikulum pendidikan tinggi merupakan program untuk menghasilkan
lulusan, sehingga program tersebut seharusnya menjamin agar lulusannya
memiliki kualifikasi yang setara dengan kualifikasi yang disepakati dalam KKNI.
Konsep yang dikembangkan Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan selama ini, dalam menyusun kurikulum dimulai dengan
menetapkan profil lulusan yang dijabarkan menjadi rumusan capaian
pembelajaran lulusan. Rumusan kemampuan yang pada deskriptor KKNI
dinyatakan dengan istilah capaian pembelajaran (terjemahan dari learning
outcomes), dimana kompetensi tercakup di dalamnya atau merupakan bagian dari
capaian pembelajaran (CP). Penggunaan istilah kompetensi yang digunakan
dalam pendidikan tinggi (DIKTI) ditemukan pada SN-Dikti pada pasal 5,
ayat (1), yang menyatakan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan
kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang dinyatakan dalam rumusan Capaian
Pembelajaran Lulusan (CPL).
Deskripsi capaian pembelajaran dalam KKNI, mengandung empat unsur,
yaitu unsur sikap dan tata nilai, unsur kemampuan kerja, unsur penguasaan
keilmuan, dan unsur kewenangan dan tanggung jawab. Sedangkan pada Standar
Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti) rumusan capaian pembelajaran lulusan
tercakup dalam salah satu standar yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti), capaian pembelajaran
terdiri dari unsur sikap, keterampilan umum, keterampilan khusus, dan
pengetahuan. Unsur sikap dan keterampilan umum telah dirumuskan secara rinci
dan tercantum dalam lampiran SN-Dikti, sedangkan unsur keterampilan khusus
dan pengetahuan harus dirumuskan oleh forum program studi sejenis yang
merupakan ciri lulusan prodi tersebut. Rumusan capaian pembelajaran lulusan
setiap jenis program studi dikirimkan ke Direktur Belmawa Kemenristekdikti dan
setelah melalui kajian tim pakar yang ditunjuk akan disahkan oleh Menteri.
Berdasarkan rumusan capaian pembelajaran lulusan (CPL) tersebut penyusunan
kurikulum suatu program studi dapat dikembangkan.

22
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,
dinyatakan bahwa penyusunan kurikulum adalah hak perguruan tinggi, tetapi
selanjutnya dinyatakan harus mengacu kepada standar nasional (Pasal 35 ayat (1).
Secara garis besar kurikulum, sebagai sebuah rancangan, terdiri dari
empat unsur, yakni capaian pembelajaran, bahan kajian, proses pembelajaran
untuk mencapai, dan penilaian.
Perumusan capaian pembelajaran lulusan mengacu pada deskriptor KKNI
khususnya pada bagian Pengetahuan dan Keterampilan Khusus, sedangkan pada
bagian Sikap dan Keterampilan Umum dapat diadopsi dari SN-Dikti. Sedangkan
penyusunan kurikulum selengkapnya mengacu pada 8 Standar Nasional
Pendidikan, ditambah dengan 8 Standar Nasional Penelitian, dan 8 Standar
Nasional Pengabdian kepada Masyarakat.

2.2.1. Landasan Hukum Kurikulum


Landasan yuridis, adalah landasan hukum yang menjadi dasar atau
rujukan pada tahapan perancangan, pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi,
serta sistem penjaminan mutu perguruan tinggi yang akan menjamin pelaksanaan
kurikulum dan tercapainya tujuan kurikulum. Berikut adalah beberapa landasan
hukum yang diperlukan dalam penyusunan dan pelaksanaan kurikulum:
1.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336);
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, Tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI);
4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73
Tahun 2013, Tentang Penerapan KKNI Bidang Perguruan Tinggi;
5. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 2015, Tentang Standar Nasional Pendidikan

23
Tinggi;
6. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81
Tahun 2014, Tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, Dan Sertifikat Profesi
Pendidikan Tinggi;
7. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2016, Tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan
Tinggi;
8. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
Nomor 62 Tahun 2016 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi;
9. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian Riset,
Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015-2019.
10. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia Nomor 55 Tahun 2017 Tentang Pendidikan Standar Guru.

2.2.2. Pengembangan Kurikulum


Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perilaku
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah alasan mengapa
diharuskan untuk mengembangkan kurikulum. Dinamika perubahan kebijakan
kurikulum di Indonesia dapat di gambarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Dinamika perubahan kebijakan kurikulum di Indonesia Pra


Kemerdekaan, Pasca Kemerdekaan dan Reformasi

24
Pengajar memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan mengembangkan
suasana belajar yang memberi kesempatan peserta didik untuk menemukan,
menerapkan ide-ide mereka sendiri, menjadi sadar dan secara sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar. Pengajar mengembangkan kesempatan
belajar kepada peserta didik untuk meniti anak tangga yang membawa peserta
didik kepemahaman yang lebih tinggi, yang semula dilakukan dengan bantuan
pegajar tetapi semakin lama semakin mandiri. Bagi peserta didik, pembelajaran
harus bergeser dari “diberi tahu” menjadi “aktif mencari tahu”. Oleh karena itu
dimunculkanlah perubahan dari metode pembelajaran dari TCL yaitu guru sebagai
pusat ilmu pengetahuan yang aktif memberi tahu menjadi SCL yaitu siswa
sebagai pusat ilmu pengetahuan dengan aktif mencari tahu.

Gambar. Latar Belakang perubahan Kebijakan Dikti

25
Gambar. Perkembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi

Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Pasal 97 menyatakan bahwa


kurikulum perguruan tinggi dikembangkan dan dilaksanakan berbasis kompetensi
(KBK). Pernyataan ini telah menegaskan kembali Kepmendiknas No. 232/U/2000
tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil
Belajar Mahasiswa, serta No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan
Tinggi.
Implementasi KBK seharusnya telah terlaksana di seluruh perguruan
tinggi (PT) mulai akhir tahun 2002. Namun pada kenyataannya belum seluruh PT
telah menerapkan KBK sesuai dengan Kepmendiknas No. 232/U/2000 dan No.
045/U/2002 karena berbagai kendala antara lain masih beragamnya pemahaman
tentang makna KBK serta implementasinya dalam pembelajaran.
Dalam upaya melakukan kualifikasi terhadap lulusan perguruan tinggi di
Indonesia, pemerintah telah menerbitkan Perpres No. 08 tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Lampirannya yang menjadi

26
acuan dalam penyusunan capaian pembelajaran lulusan dari setiap jenjang
pendidikan secara nasional, juknis Perpres ini Permendikbud no. 73 Tahun 2013
Terbitnya Perpres No. 08 tahun 2012 dan UU PT No. 12 Tahun 2012
Pasal 29 ayat (1), (2), dan (3) telah berdampak pada kurikulum dan
pengelolaannya di setiap program. Kurikulum yang pada awalnya mengacu pada
pencapaian kompetensi menjadi mengacu pada capaian pembelajaran (learning
outcomes). Secara ringkas KKNI terdiri dari Sembilan level kualifikasi akademik
SDM Indonesia.
Dengan adanya KKNI ini diharapkan akan mengubah cara melihat
kompetensi seseorang, tidak lagi semata Ijazah tapi dengan melihat kepada
kerangka kualifikasi yang disepakati secara nasional sebagai dasar pengakuan
terhadap hasil pendidikan seseorang secara luas (formal, non formal, atau in
formal) yang akuntanbel dan transparan.
Pelaksanaan KKNI melalui 8 tahapan yaitu melalui penetapan Profil
Kelulusan, Merumuskan Learning Outcomes, Merumuskan Kompetensi Bahan
Kajian, Pemetaan LO Bahan Kajian, Pengemasan Matakuliah, Penyusunan
Kerangka kurikulum, Penyusuan Rencana Perkuliahan.
Kompetensi adalah akumulasi kemampuan seseorang dalam melaksanakan
suatu deskripsi kerja secara terukur melalui asesmen yang terstruktur, mencakup
aspek kemandirian dan tanggung jawab individu pada bidang kerjanya.
Capaian Pembelajaran (learning outcomes) merupakan internalisasi dan
akumulasi ilmu pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan kompetensi yang dicapai
melalui proses pendidikan yang terstruktur dan mencakup suatu bidang
ilmu/keahlian tertentu atau melalui pengalaman kerja.
Untuk meningkatkan kualitas lulusan perguruaan tinggi. Rambu-rambu
yang harus dipenuhi di tiap jenjang perlu dapat membedakan:
1. Learning Outcomes
2. Jumlah sks
3. Waktu studi minimum
4. Mata Kuliah Wajib : untuk mencapai hasil pembelajaran dengan kompetensi
umum

27
5. Proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa
6. Akuntabilitas asesmen
7. Perlunya Diploma Supplement (surat keterangan pelengkap ijazah dan
transkrip)
Sejarah Perjalanan Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia bisa
dipaparkan sebagai berikut:
1. Kurikulum yang berbasis pada Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional
Pancasila (UU no. 22 Tahun 1961, Penetapan Presiden No. 19 Tahun 1965 ,
Perpres no. 14 Tahun 1965)
2. Kurikulum berbasis isi (Kepmendikbud no.056/U/1994)
3. Kurikulum diatur Pemerintah ( UU no. 2 tahun 1989, PP no. 60 Tahun 1999 )
4. Pergeseran paradigma ke konsep KBK, Kurikulum pendidikan tinggi
dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu
pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi (UU no. 20
Tahun 2003 pasal 38 ayat 3 dan 4, Kepmendiknas no. 232/U/2000, dan
perubahan kurikulum inti di Kepmendiknas no 045/U/2002)
5. Kurikulum dikembangkan oleh PT sendiri ( PP no. 19 Tahun 2005 Pasal 17
ayat 4, PP 17 Tahun 2010 pasal 97 ayat 2)
6. Dikembangkan berbasis kompetensi (PP no. 17 Tahun 2010 pasal 97 ayat 1)
7. Minimum mengandung 5 elemen kompetensi( PP no. 17 Tahun 2010 pasal 17
ayat 3)
8. Capaian Pembelajaran Sesuai dengan Level KKNI( Perpres No. 08 tahun
2012 dan Permendikbud no. 73 Tahun 2013 )
9. Kompetensi lulusan ditetapkan dengan mengacu pada KKNI (UU PT No. 12
Tahun 2012 pasal 29)
10. Standar Nasional Pendidikan Tinggi merujuk pada Permenristek & Dikti no.
44 Tahun 2015 tentang Standard Nasional Pendidikan Tinggi, lampiran

2.3. Perubahan Paradigma Pendidikan Bidan di Era Industri 4.0


Revolusi industri 4.0 merupakan fase keempat dari perjalanan sejarah
revolusi industri yang dimulai pada abad ke-18. Berbeda dengan revolusi industri

28
sebelumnya, revolusi ini memiliki skala, ruang lingkup, dan kompleksitas yang
lebih luas. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital,
dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri, dan
pemerintah. Bidang-bidang yang mengalami terobosoan teknologi baru
diantaranya (1) robot kecerdasan buatan (artificial intelligence robotic), (2)
teknologi nano, (3) bioteknologi, dan (4) teknologi komputer kuantum, (5)
blockchain (seperti bitcoin), (6) teknologi berbasis internet, dan (7) printer 3D.
Istilah Industri 4.0 secara resmi lahir di Jerman saat Hannover Fair digelar
pada tahun 2011. Industri 4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana
pembangunan negara Jerman yang disebut High-Tech Strategy 2020. Kebijakan
tersebut bertujuan untuk mempertahankan Jerman agar selalu menjadi yang
terdepan dalam dunia manufaktur. Industri 4.0 dapat diartikan sebagai era industri
di mana seluruh entitas yang ada di dalamnya dapat saling berkomunikasi secara
real time dengan berlandaskan pemanfaatan teknologi internet dan CPS guna
mencapai tujuan tercapainya kreasi nilai baru atau optimasi nilai yang sudah ada
dari setiap proses di industri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat pada
abad ini telah melahirkan teknologi informasi dan proses produksi yang
dikendalikan secara otomatis. Mesin industri tidak lagi dikendalikan oleh tenaga
manusia tetapi menggunakan Programmable Logic Controller (PLC) atau sistem
otomatisasi berbasis komputer. Revolusi industri 4.0 ditandai dengan sistem
cyber-physical. Saat ini industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk
konektivitas manusia, mesin dan data, tanpa memandang ruang dan waktu. Istilah
ini dikenal dengan nama internet of things (IoT).
Kehidupan di abad XXI memerlukan perubahan paradigma pendidikan
tinggi yang bersifat mendasar. Bentuk perubahan‐perubahan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Perubahan dari pandangan kehidupan masyarakat lokal ke masyarakat dunia
(global),
2. Perubahan dari kohesi sosial menjadi partisipasi demokratis (utamanya
dalam pendidikan dan praktek berkewarganegaraan), dan

29
3. Perubahan dari pertumbuhan ekonomik menjadi perkembangan
kemanusiaan.
Dijelaskan bahwa untuk melaksanakan empat perubahan besar di
pendidikan tinggi tersebut, dipakai dua basis landasan, berupa empat pilar
pendidikan:
1. Learning to know yaitu belajar untuk menguasai. Tidak hanya memperoleh
pengetahuan tapi juga menguasai tekhnik memperoleh. Hal ini dimaksudkan
untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan intelektual dan
akademik yang tinggi
2. Learning to do yang bermakna pada penguasaan kompetensi dari pada
penguasaan ketrampilan menurut klasifikasi ISCE (International Standard
Classification of Education) dan ISCO (International Standard Classification
of Occupation), dematerialisasi pekerjaandan kemampuan berperan untuk
menanggapi bangkitnya sektor layanan jasa, dan bekerja di kegiatan
ekonomi informal,
3. Learning to live together (with others), dan
4. Learning to be, serta; belajar sepanjang hayat (learning throughout life).
Empat pilar pendidikan tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan utuh.
Pengelompokan pilar hanya mencirikan pengutamaan substansi materi dan
proses pembelajaran. Hal ini berarti bahwa kompetensi sebagai ciri utama dari
penguasaan learning to do dari suatu materi pembelajaran tidak dapat
dipisahkan dengan elemen kompetensi yang terkandung dalam learning to
know, learning to live together, dan learning to be dari materi yang
bersangkutan atau materi‐materi pembelajaran lainnya. Oleh karenanya,
pemisahan antara materi pembelajaran atas hard skill dan soft skill dalam satu
kurikulum tidak berlaku lagi. Makna arti hard skill dan soft skill diakomodasi
dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan dimensi proses kognitif,
afektif, dan psikomotor (UNESCO, 1998).
Perubahan‐perubahan mendasar pendidikan tinggi yang
berlangsung di abad XXI, akan meletakkan kedudukan pendidikan tinggi
sebagai:

30
1. Lembaga pembelajaran dan sumber pengetahuan,
2. Pelaku, sarana dan wahana interaksi antara pendidikan tinggi dengan
perubahan pasaran kerja,
3. Lembaga pendidikan tinggi sebagai tempat pengembangan budaya dan
pembelajaran terbuka untuk masyarakat, dan
4. Pelaku, sarana dan wahana kerjasama internasional.
Arus globalisasi tidak mungkin dibendung masuk ke Indonesia. Disertai
dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dunia kini memasuki era
revolusi industri 4.0, yakni menekankan pada pola digital economy, artificial
intelligence, big data, robotic, dan lain sebagainya atau dikenal dengan fenomena
disruptive innovation. Menghadapi tantangan tersebut, pengajaran di perguruan
tinggi pun dituntut untuk berubah, termasuk dalam menghasilkan dosen
berkualitas bagi generasi masa depan. Menurut Kemristekdikti, perubahan
diperlukan pada empat bidang pembelajaran di Perguruan tinggi mencakup
reorientasi.
Kurikulum, pembelajaran daring, inovasi dengan menerapkan teknologi
digital, dan penerapan teknologi melalui manajemen inovasi yang didorong
kearah aplikasi industri. Untuk itu perubahan dalam bidang sumber daya manusia
menjadi sangat penting, mencakup pengembangan kapasitas dosen dan tutor
dalam pembelajaran daring. Sehingga dosen ini perannya juga sebagai tutor,
pengembangan infrastruktur proses pembelajaran MOOC (Massive Open Online
Course), teaching industry, dan e-library yang sebenarnya sudah berjalan.
Kebijakan industri nasional dalam rangka menghadapi era revolusi industri
4.0 telah dikeluarkan oleh Menteri Perindustrian Airlangga meliputi empat
langkah strategis yaitu
1. Agar angkatan kerja di Indonesia terus belajar dan meningkatkan
keterampilannya untuk memahami penggunaan teknologi internet of things
(IoT)
2. Pemanfaatan teknologi digital untuk memacu produktivitas dan daya saing
bagi industri kecil dan menengah.

31
3. Industri nasional dapat menggunakan teknologi digital seperti Big Data,
Autonomous Robots, Cyber security, Cloud computing, dan Augmented
Reality.
4. Inovasi teknologi melalui pengembangan startup dengan memfasilitasi tempat
inkubasi bisnis. Paradigma masa lalu yang menjadi landasan pengembangan
pendidikan tinggi vokasi kedepan adalah mendekatkan Politeknik dengan
mitra Industrinya seperti yang digagas Harianton and Surjana
1) Merekomendasikan pengembangan teaching factory berbasis Lean and
Green Kaizen Model sebagai implementasi teaching factory pada KKNI
level 3-5
2) Telah berhasil menjadikan Teaching Factory dan Dual System (3-2-1)
sebagai pendekatan pendidikan tinggi vokasi dengan program Revitalisasi.
Dengan adanya revolusi industri 4.0 dimana industri nasional dan
multinasional juga berada pada posisi menghadapi tantangan serupa, Pendidikan
Tinggi Vokasi perlu segera mengintegrasikan IoT dalam kurikulum yang
ditawarkannya mengingat mahasiswa pada umumnya sudah terpapar dengan
teknologi cerdas begitu juga dengan industri pada waktunya 3-5 tahun kedepan
akan memerlukan sumber daya manusia yang juga kompeten pada Perubahan
paradigma Perguruan Tinggi Vokasi (PTV) pada bidang manufaktur dipengaruhi
oleh pola pikir akademisi untuk memasukkan teknologi komputer dan IoT sebagai
kompetensi lulusannya, karena sudah dapat dipastikan bahwa Industri sebagai
pengguna lulusan PT Vokasi akan mensyaratkan kualifikasi tersebut dalam
protofolio tenaga kerjanya, terlebih pada era 2020.
Perubahan Paradigma Perguruan Tinggi di Indonesia sepertinya masih akan
menyelesaikan sisa Revolusi Industri 3.0 dan ditambah dengan tantangan revolusi
industri 4.0 Sisa paradigma revolusi industri 3.0 bagi PTV umumnya masih
diproses melalui rintisan kerjasama industri dalam:
1. Menguasai standarisasi produk industri, pada saat ini hanya beberapa PTV
yang sudah menjalin kerjasama aktif dengan industri.
2. Menguatkan pemilihan alternatif proses, yang memerlukan ketersediaan
teknologi yang beragam,

32
3. Menerapkan lean produksi dengan mengeliminasi 7-wastes yang hanya bisa
terjadi kalau kerjasama produksi.
Tantangan revolusi industri 4.0 yang akan terjadi saat industri memasuki
tantangan serupa:
1. Integrasi teknologi digital dalam kurikulum program Diploma,
2. Menguatkan fasiitas yang terkoneksi secara global teknologi internet,
3. Pembelajaran daring, memanfaatkan teknologi maju terkoneksi global melalui
kerjasama.
Sedangkan dapat disampaikan sebagai tambahan lebih lanjut, secara umum
tantangan Digital Disruption Era Revolusi 4.0 diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Tantangan industri 4.0
a. Globalisasi
b. Meningkatnya kebutuhan akan inovasi
2. Tantangan ekonomi
a. Permintaan untuk orientasi layanan yang lebih tinggi
b. Tumbuh kebutuhn untuk kerjasama dan kolaboratif
3. Tantangan sosial
a. Perubahan demografi dan nilai sosial
b. Peningkatan kerja virtual
c. Meningkatnya kompleksitas masalah
4. Tantangan teknis
a. Perkembangan teknologi dan penggunaan data eksponensial
b. Menumbuhkan kerja kolaboratif
5. Tantangan lingkungan
a. Perubahan iklim dan kelangkaan sumber daya
6. Tantangan politik, aturan dan kebijakan
a. Standarisasi, sertifikasi, akreditasi
b. Keamanan data dan privasi

33
2.3.1. Perubahan Paradigma Perguruan Tinggi Input
Pada era revolusi industri 4.0 sekurangnya ada tiga perubahan paradigma
terhadap input:
1. Profil calon mahasiswa dalam hal penguasaan bahasa dan persyaratan dasar
teknologi komputer & jaringan komunikasi lokal dan luas. Perubahan pola
ujian masuk sebagai programnya,
2. Kesediaan media pembelajaran produktif, melalui kerjasama riset atau
pengembangan produk dengan industri. Diperlukan perubahan pola
manajemen PT mejadi manajemen korporasi yang kuat,
3. Profil lulusan dan kurikulum yang di desain untuk memanfaatkan teknologi
internet bersama mitra industri. Penyesuaian kompetensi teknologi digital
yang kuat pada lulusannya.
Pengembangan pendidikan kebidanan hingga saat ini berdasarkan UU
No.4 tahun 2019, yaitu terdiri dari:
1. Pengembangan Pemantapan pendidikan bidan Vokasi yaitu Diploma 3.
Pendidikan vokasi D3 penyiapan lulusan bidan vokasi yang dapat
melaksanakan tugas rutin berdasarkan prosedur kerja pada lingkup esensial
(Basic Midwifery Practice)
2. Pengembangan pendidikan bidan profesi (S1+Profesi atau D4+profesi).
Pendidikan jalur profesi dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan
praktik profesional bidan yang membutuhkan kemampuan kritis dan analisis
serta pengambilan keputusan yang tepat sehingga dapat melakukan deteksi
dini untuk segera dirujuk.
3. Pengembangan pendidikan Akademik (S2, Magister kebidanan dan
Pendidikan Doktor). Jalur akademik dikembangkan untuk memberikan
kemampuan pengembangan keilmuan, penelitian, pendidikan, dan
manajemen.
Tujuan pengembangan pendidikan bidan yaitu menghasilkan bidan
berkualitas dan dapat melaksanakan perannya secara optimal serta berperan aktif
dalam tim pelayanan kesehatan (Interprofessional Helath Providers). Bidan dapat
bersaing baik dalam negeri maupun dalam pasar bebas, khususnya ditatanan MEA

34
(Masyarakat Ekonomi Asean)/global. Oleh karena itu bidan dapat beradaptasi
dengan perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) termasuk era
revolusi industri 4.0.
Ada beberapa yang perlu dikaji dalam peningkatan kualitas dan kualifikasi
pendidikan bidan, yaitu sebagai berikut menuju revolusi industri 4.0:
1. Bidan sangat berperan dalam kesehatan reproduksi perempuan serta bayi dan
anak balita
2. Bidan sebagai garda terdepan yankes didaerah terpencil dengan beragam
suku, budaya serta agama
3. Bidan dituntut untuk selalu mengembangkan keilmuan serta keahliannya
dalam memberikan pelayanan kebidanan.
4. Dinamika penduduk
5. Mobilitas Sumber Daya Manusia (SDM)
6. Era yang selalu berkembang disertai dengan persaingan global membutuhkan
bidan berwawasan dan berpendidikan yang memenuhi standar global, dengan
critical thinking yang kuat serta mampu melakukan Interprofessional
Collaboration dengan tenaga lainnya
7. Perkembangan teknologi dan informasi baru-distruption revolusi industri 4.0
8. Peningkatan kebutuhan masyarakat
9. Tingginya tuntutan dari masyarakat dalam pelayanan kesehatan
mengharuskan bidan untuk mampu menganalisis kebutuhan masyarkat serta
mampu melakukan problem solving
10. Perkembangan sistem pelayanan kesehatan
Dinamika penduduk baik dalam jumlah dan karakteristik di tingkat global
maupun nasional menjadi tantangan tersendiri Era globalisasi seakan memberikan
arus perubahan teknologi dan informasi baru, mobilitas Sumber Daya Manusia
(SDM), desain pelayanan, peningkatan kebutuhan serta tuntutan masyarakat diera
revolusi industri 4.0
1. Digitalisasi - big data
2. Perkembangan teknologi, artificail Inteligent - Robotik
3. Humanity - Konektifitas

35
Di era revolusi industri 4.0, tidak hanya cukup literasi lama (membaca,
menulis dan matematika) sebagai modal dasar untuk berkiprah di masyarakat.
Dibutuhkan pengembangan SDM bidan secara komprehensif, berjenjang,
berkesinambungan/longlife learning seperti pada aspek critical thinking,
commucication, collaboration and creativity). Sehingga bidan harus memiliki
pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang selalu update serta mampu
beradaptasi dengan perkembangan IPTEK-literasi baru.
Dalam era literasi baru, bidan juga dituntut kemampuan untuk dapat
menjalankan serta mengerti mengenai :
1. Literasi Data
Kemampuan untuk membaca, analisis dan menggunakan informasi (Big
Data) di dunia digital
2. Literasi Teknologi
Memahami aplikasi teknologi (coding, artificial intelligence, engineering
principles & biotechnologies included genetics and genomics)
3. Literasi Manusia
Humanities, komunikasi dan desain

2.3.2. Perubahan Paradigma PT Proses


Proses pendidikan menentukan ketercapaian profil lulusan dengan
kualifikasi unggulan teknologi internet, diantaranya mengubah:
1. Pendekatan pendidikan berbasis profesi dengan kerjasama dengan Industri
seperti teaching factory atau dual system, dimana media pembelajaran
merupakan produk nyata yang dimanfaatkan industri,
2. Menggunakan fasilitas teknologi yang terkoneksi jaringan lokal maupun
jaringan luas melalui kerjasama pengoperasian fasilitas lab berbasis teknologi
internet,
3. Peningkatan kandungan teknologi kecerdasan buatan berbasis kontrol
elektronik pada kurikulumnya,

36
4. Dosen dengan kualifikasi tambahan pada teknologi internet serta kemampuan
komunikasi dengan minimal satu bahasa Asing yang diakui Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB),
5. Pembelajaran daring bagi kuliah-kuliah pengembangan kecerdasan intelektual
dan kecerdasan motoris terbatas,
Ada beberapa tantangan dalam proses pendidikan dalam menghadapi
revolusi industri 4.0, yaitu sebagai berikut:
1. Kurikulum
Kurikulum harus menyiapkan kemampuan peserta didik pada dimensi
pedagogik, kecakapan hidup, kemampuan hidup bersama (kolaborasi), berpikir
kritis dan kreatif yaitu pengedepanan “soft skill” dan “transversal skills”. Hal itu
penting untuk membangun kemampuan berpikir kritis dan inovatif, keterampilan
interpersonal, menjadi warga negara yang berwawasan global, dan literasi
terhadap media dan informasi yang ada.
2. Metode Belajar
Menstimulus kemampuan mahasiswa melalui metode belajar kontekstual
yang mendorong siswa berpikir kritis dalam konteks kehidupan: problem-based
learning, inquiry-based learning, student center, dan lain-lain. Selama ini metode
pembelajaran menempatkan dosen menjadi satu-satunya sumber belajar dan
‘maha tahu’ seolah melupakan mahasiswa juga sebagai sibjek belajar bagi rekan
sejawatnya. Metode pembelajaran yang bervariasi, akan memperluas wawasan
mahasiswa tentang konkekstualisasi ilmu yang didapatkan dan diaplikasikan pada
profesinya. Dosen tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar.
Sistem pembelajaran pada pendidikan kebidanan dibangun berdasarkan
perencanaan yang relevan dengan tujuan, ranah (domain) belajar dan hierarkinya
(Learning Outcome). Kegiatan pembelajaran yaitu perkuliahan, praktikum atau
praktek, magang, pelatihan, diskusi, lokakarya, seminar, dan tugas-tugas
pembelajaran lainnya. Pelaknaan pembelajaran yaitu membangun kemampuan
berpikir kritis, bereksplorasi, berkreasi, dan bereksperiman.
Pendekatan pembelajaran (student center), mendorong untuk belajar
mandiri maupun kelompok dan mengembangkan hard skills dan soft skills.

37
Pendekatan pembelajaran SPICES (Student centered, Problem Based, Integrated,
Community Oriented, Early Exposure to Clinic, dan Systematic)
3. Penguasaan Data, Informasi, dan Teknologi
Dalam menstimulus dan memfasilitasi mahasiswa serta civitas akademik
untuk menguasai data dan informasi, serta teknologi informasi, institusi
pendidikan harus mengembangkan infrastruktur digital yang dibutuhkan
mahasiswa dan civitas akademika untuk penguasaan data, informasi, serta
teknologi. Revolusi Industri 4.0 dapar berjalan secara eksponensial, miliaran
manusia terhubung dengan mobile devices-dapat mengakses memproses, dan
menyimpan pengetahuan melalui internet. Teknologi informasi terus
mempengaruhi sistem pendidikan di perguruan tinggi harus menyesuaikan diri,
transformasi ke sistem pembelajaran daring (online) atau e- learning.
4. Pengembangan Kapasitas Yang Adaptif
Mendorong perkembangan pendidikan berbasis konsep link and match-
menekankan pada kapasitas lulusan yang adpatif dan sensitif terhadap perubahan.
Kemampuan aplikasi teori pada keterampilan sangat penting, dan dapat
memahami cepatnya perubahan. Hanya mereka adaptiflah, yang akan bertahan
terhadap perubahan diera Revolusi Industri 4.0.
5. Perubahan Paradigma PT Output
Revolusi industri 4.0 menghasilkan lulusan sekurangnya dengan 4 karakter
berikut:
a. Lulusan yang kompeten pada keahliannya masing-masing dengan
memanfaatkan teknologi cerdas berbasis Internet,
b. Lulusan dengan kecakapan memanfaatkan data besar dan melakukan
komunikasi online dan mampu melakukan simulasi virtual,
c. Lulusan yang memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi teknologi
internet pada keahlian unggulannya.
d. Memiliki soft skills yang tinggi terutama inisiatif, inovatif, produktif,
berkepribadian cerdas, mampu berpikir kritis dan kreatif.

38
2.3.3. Tantangan Terkait Pengembangan Kurikulum Masa Depan
Menghadapi revolusi industri 4.0 dan terkait pengaruhnya dalam bidang
pendidikan, maka kurikulum untuk masa depan akan menghadapi berbagai
tantangan diantaranya adalah:
1. Paradigma Pendidikan Masa Depan
Kurikulum masa depan perlu mempertimbangkan berbagai hal, baik
kompetensi lulusan, isi/konten kurikulum, maupun proses pembelajarannya.
Kurikulum masa depan harus memperhatikan aspek pemanfaatan teknologi
pembelajaran, peran strategis pendidik dan peserta didik, metode belajar mengajar
yang kreatif, materi pembelajaran yang kontekstual, dan struktur kurikulum
mandiri berbasis individu.
Terkait dengan pergeseran paradigma pendidikan masa depan, kurikulum
masa depan perlu mematuhi 16 prinsip pembelajaran, yaitu: (1) dari berpusat pada
guru menuju berpusat pada siswa; (2) dari satu arah menuju interaktif; (3) dari
isolasi menuju lingkungan jejaring; (4) dari pasif menuju aktif; (5) dari abstrak
menuju konteks nyata; (6) dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim; (7) dari
luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan; (8) dari stimulasi
rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru; (9) dari alat tunggal menuju alat
multimedia; (10) dari hubungan satu arah menuju kooperatif; (11) dari produksi
massa menuju kebutuhan pelanggan; (12) dari usaha sadar tunggal menuju jamak;
(13) dari satu ilmu dan teknologi bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak;
(14) dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan; (15) dari pemikiran
faktual menuju kritis; dan (16) dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran
pengetahuan.
Mengacu pada paradigma pendidikan serta paradigma pendidikan nasional,
BSNP merumuskan 8 paradigma pendidikan nasional masa depan sebagai berikut:
a. Pendidikan harus berorientasi pada sains disertai dengan sains sosial dan
kemanusiaan (humaniora) dengan keseimbangan yang wajar.
b. Mencetak seorang peserta didik yang menganut sikap keilmuan teknologi,
kritis, logis, inventif dan inovatif, konsisten, serta kemampuan beradaptasi.

39
c. Pendidikan pada setiap jenjang harus merupakan suatu sistem yang erat dan
berkesinambungan. Pada akhir setiap jenjang, di samping untuk menuju
pendidikan berikutnya, terbuka pula jenjang untuk langsung terjun ke
masyarakat.
d. Jiwa kemandirian harus ditanamkan pada setiap jenjang pendidikan, sebagai
dasar kemandirian bangsa, kemandirian dalam melakukan kerjasama yang
saling menghargai dan menghormati.
e. Khusus di perguruan tinggi, dalam menghadapi konvergensi berbagai bidang
ilmu dan teknologi, maka perlu dihindarkan spesialisasi yang terlalu awal dan
terlalu tajam.
f. Pelaksanaan pendidikan perlu diperhatikan kebhinekaan etnis, budaya, agama
dan sosial, terutama di jenjang pendidikan awal. Namun demikian, pelaksanaan
pendidikan yang berbeda ini diarahkan menuju ke satu pola pendidikan
nasional yang bermutu.
g. Pendidikan harus dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat dengan
mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (pusat dan daerah).
h. Melaksanakan sistem monitoring yang benar dan evaluasi yang
berkesinambungan untuk mematau kualitas dari setiap lembaga pendidikan.
2. Kompetensi Sumber Daya Manusia Masa Depan
Sumber daya manusia di masa depan merupakan komponen paling penting
karena akan menjadi pelaku utama yang akan melakukan aktivitas di era revolusi
industri 4.0. Oleh karena itu, kurikulum masa depan harus memperhatikan
karakteristik manusia masa depan. Menurut World Economic Forum (WEF)
dalam The Future of Jobs Report dinyatakan bahwa terdapat kategori pekerjaan
baru yang muncul di era revolusi 4.0, baik itu sebagian atau seluruhnya yang
dapat menggantikan pekerjan yang lain. Perangkat keterampilan yang dibutuhkan
dalam pekerjaan lama dan baru juga akan berubah di sebagian besar industri juga
bagaimana cara dan di mana orang bekerja. Sebagai implikasinya akan mengubah
dinamika kesenjangan gender di bidang industri. Berikut merupakan
perbandingan 10 besar permintaan keterampilan yang di butuhkan pasar di tahun
2018 dan tahun 2022.

40
Tabel 2.2
Perbandingan 10 Besar Permintaan Keterampilan Tahun 2018 vs 2022

Mulai ditinggalkan di
2018 Tren di tahun 2022
tahun 2022
Pemikiran analitis dan Pemikiran analitis dan Ketangkasan manual, daya
inovasi inovasi tahan dan presisi
Pemecahan masalah Pembelajaran aktif dan Memori, kemampuan
yang kompleks strategi pembelajaran verbal, pendengaran dan
spasial
Berpikir kritis dan Kreativitas, orisinalitas, Manajemen sumber daya
analisis dan inisiatif keuangan, material
Pembelajaran aktif Desain dan pemrograman Instalasi dan pemeliharaan
dan strategi teknologi teknologi
pembelajaran
Kreativitas, Berpikir kritis dan Membaca, menulis,
orisinalitas, dan analisis matematika, dan
inisiatif mendengarkan secara aktif
Perhatian terhadap Pemecahan masalah yang Manajemen personalia
detail, kepercayaan kompleks
Kecerdasan emosional Kepemimpinan dan Kontrol kualitas dan
pengaruh sosial kesadaran keselamatan
Penalaran, pemecahan Kecerdasan emosional Koordinasi dan
masalah dan ideasi manajemen waktu
Kepemimpinan dan Penalaran, pemecahan Kemampuan visual,
pengaruh social masalah dan ideasi pendengaran dan bicara
Koordinasi dan Analisis dan evaluasi Penggunaan teknologi,
manajemen waktu system pemantauan dan kontrol
Sumber: Future of Jobs Survey 2018, World Economic Forum.

Hal ini senada dengan “21st Century Partnership Learning Framework”,


terdapat sejumlah kompetensi dan/atau keahlian yang harus dimiliki oleh Sumber
Daya Manusia (SDM) masa depan, yaitu:
1) Kemampaun berpikir kritis dan pemecahan masalah (Critical Thinking and
Problem Solving Skills.
2) Kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama (Communication and
Collaboration Skills).
3) Kemampuan mencipta dan membaharui (Creativity and Innovation Skills).
4) Literasi teknologi informasi dan komunikasi (Information and
Communications Technology Literacy).
5) Kemampuan belajar kontekstual (Contextual Learning Skills).

41
6) Kemampuan informasi dan literasi media (Information and Media Literacy
Skills).
Berdasarkan tantangan tersebut untuk bisa bersaing dan bekerja sama
dengan bangsa-bangsa lain, peserta didik perlu dibekali dengan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, serta sistem nilai. Kehidupan global dalam dunia terbuka
memerlukan manusia-manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang mampu
berkompetisi secara positif.
3. Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran
Era revolusi industri mengharuskan pendidikan memiliki karakteristik
utama yaitu human competence dan mastery learning, sehingga model
pembelajaran pun harus mencerminkan dan berbasis pada dua karakteristik
tersebut. Model pembelajaran harus relevan untuk implementasi teknologi
pembelajaran. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah model-model
pembelajaran tersebut harus mampu memfasilitasi peserta didik dalam
memperoleh pengalaman belajar yang mencerminkan penguasaan suatu
kompetensi yang dituntut. Pihak penyelenggara pendidikan secara bertahap harus
melakukan hal-hal berikut:
1) Redesain kurikulum, silabus, dan strategi pembelajaran yang berbasis
keunggulan dan life skills, serta pengembangan bahan pembelajaran sesuai
dengan evidance based.
2) Redesain model pembelajaran untuk menunjang ketuntasan belajar (mastery
learning).
3) Inovasi media pembelajaran. Konteks pembelajaran di masa depan orang tidak
lagi menggantungkan semata-mata pada dunia sekolah/kampus dalam arti fisik.
Media pembelajaran yang bersifat virtual merupakan alternatif sumber
informasi dan sumber belajar (learning resource). Sehingga perubahan-
perubahan dalam proses pembelajaran harus dilakukan. Teknologi komputer
yang terintegrasi internet berkembang pesat. Jaringan komputer (computer
network) memungkinkan proses pembelajaran menjadi luas, lebih interaktif,
dan lebih fleksibel. Dalam proses pembelajaran, peserta didik dapat belajar
tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga dapat dilaksanakan kapanpun

42
dan dimanapun. Adanya dunia maya menjadikan waktu belajar lebih efektif
dan efisien.
Kurikulum di masa depan harus fokus diarahkan pada:
a. Desain, meliputi: desain sistem pembelajaran, desain pesan, strategi
pembelajaran, dan analisis karakteristik mahasiswa.
b. Pengembangan, meliputi: teknologi cetak, teknologi audiovisual, teknologi
komputer, dan teknologi terpadu, dengan penekanan pada pengembangan multi
model pembelajaran.
c. Pemanfaatan, meliputi: pemanfaatan media, difusi inovasi, implementasi dan
institusionalisasi, kebijakan dan regulasi, dengan penekanan pada pemanfaatan
multimedia pembelajaran.
d. Pengelolaan, meliputi: pengelolaan proyek, pengelolaan sumber belajar,
pengelolaan sistem penyampaian, dan pengelolaan informasi, dengan
penekanan pada pemanfaatan multi sumber belajar.
e. Evaluasi, meliputi: analisis masalah, pengukuran beracuan kriteria, evaluasi
formatif dan sumatif, dengan penekanan pada pembelajaran yang berbasis
elektronik/web (e-learning, e-library, e-book/e-module, ujian on-line/e-
assessment, dll.)

43
2.3.4. Contoh Hasil Era Industri 4.0 dalam Kebidanan
1. Kehamilan

44
2. Persalinan

45
3. Nifas

46
Contoh lainnya:
1. Pemeriksaan kadar Hemoglobin dalam darah  Tes Hb Sahli  pemeriksaan
yang bersifat invasif & Persepsi menimbulkan ketidaknyamanan ibu hamil
& tidak akurat

HB Sahli

Pengembangan Teknologi
alat pemeriksaan yang
mudah, dan akurat
Hb  bersifat non Invasif

2. Berbagai aplikasi kesehatan dapat diunduh secara GRATIS dari Handphone


 memudahkan Nakes & Pasien untuk berkonsultasi jarak jauh; melakukan
skrinning secara mandiri dll

47
2.4. KAJAIN JURNAL
1. Berdasarkan Penelitian dari Safitri FN, et, al (2018) dengan judul Penelitian Dan
Pengembangan Chair Breastfeeding Untuk Meningkatkan Kenyamanan Proses
Menyusui Hasil: Hasil penelitian tahap I diperoleh hasil, dari 6 orang ibu
menyusui mengatakan bahwa chair breastfeedingyang ergonomis bila terdapat
sandaran punggung, sandaran lengan, dan pijakan kaki. 5 orang mengatakan chair
breastfeedingergonomis dan nyaman digunakan dalam proses menyusui, dan 1
orang mengatakan tidak ergonomis dan kurang nyaman digunakan dalam proses
menyusui. Kesimpulan: Chair breastfeeding yang ergonomis terbukti dapat
meningkatkan kenyamanan dalam proses menyusui.

Gambar. Chair Breastfeeding Untuk Meningkatkan Kenyamanan Proses


Menyusui

2. Berdasarkan Penelitian dari Istiqomah SBT, et, al (2017). dengan Judul Pengaruh
Efektifitas Pemberian Seduhan Daun Peppermint Pada Ibu Hamil Terhadap
Penurunan Frekuensi Emesis Gravidarum Hasil = 0,000 berarti ada perbedaan
yang signifikan sebelum dan sesudah tindakan, karena nilai p <0,05. Berarti 2600
adalah positif, yang berarti tren menurun setelah a tindakan yang diberikan. Dapat
disimpulkan bahwa pemberian seduhan daun peppermint mungkin mengurangi
frekuensi mual dan muntah pada wanita hamil.

Gambar. Proses Pembuatan Daun Peppermint

48
BAB III
PENUTUP

Kurikulum Pendidikan Tinggi (KPT) sesungguhnya mencerminkan spirit,


kesungguhan, dan tanggung jawab para pendidik untuk menyajikan pembelajaran
secara profesional untuk melahirkan lulusan yang bermutu, dan yang mampu
beradaptasi dengan lingkungannya, khususnya di era Industri 4.0. Kurikulum
Pendidikan Tinggi merupakan amanah institusi yang harus senantiasa
diperbaharui sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan IPTEK yang dituang
dalam Capaian Pembelajaran Lulusan.
Perubahan di Era Industri 4.0 ini antara lain meningkatnya persaingan,
persyaratan kerja, perubahan orientasi yang membutuhkan perlunya peningkatan
kompetensi lulusan dan juga perubahan paradigma pengetahuan tentang belajar
dan mengajar yang berdampak pada perlunya perubahan kurikulum, perubahan
perilaku pembelajaran yang bertujuan untuk peningkatan mutu lulusan.
Belajar yang sama dengan menerima pengetahuan dimana siswa pasif
reseptif sering dinamakan pengajaran Teacher Centered Learning (TCL). Belajar
adalah berubah dan ada nilai tambah, mencari pengetahuan dengan berbagai
strategi mahasiswa aktif dan spesifik sering dinamakan pembelajaran Student
Centered Learning (SCL).
Perubahan pendekatan dalam pembelajaran dari TCL menjadi SCL adalah
perubahan paradigma, yaitu perubahan dalam cara memandang beberapa hal
dalam pembelajaran, adalah (1) Pengetahuan, dari pengetahuan yang dipandang
sebagai sesuatu yang sudah jadi yang tinggal ditransfer dari dosen ke mahasiswa,
menjadi pengetahuan dipandang sebagai hasil konstruksi atau hasil transformasi
oleh pembelajar, (2) Belajar, belajar adalah menerima pengetahuan (pasif)
menjadi belajar adalah mencari dan mengkonstruksi pengetahuan, aktif dan
spesifik caranya, (3) Pembelajaran, dosen menyampaikan pengetahuan atau
mengajar (ceramah dan kuliah) menjadi dosen berpartisipasi bersama mahasiswa
membentuk pengetahuan.

49
DAFTAR PUSTAKA
1. RISTEKDIKTI. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Mendorong terwujudnya penerapan kurikulum pendidikan tinggi mengacu era
industri 4.0
2. Harsono. Kearifan dalam Transformasi Perbelajaran: Dari Teacher-Centered
ke Student- Centered Learning. Jurnal pendidikan kedokteran dan profesi
kesehatan indonesia. 2006; Vol (1: 1).
3. Buku K-DIKTI. Buku kurikulum pendidikan tinggi. jakarta. 2014.
https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/kurikulum/FinalDraftBukuKurikulumDIKTI18
-8-2014.pdf
4. UU RI No 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
2003
5. UU RI No 12 Tahun 2012. Tentang Pendidikan tinggi. Jakarta: 2012
6. Perpres RI No. 8 Tahun 2012. Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia. Jakarta: 2012
7. Pemendikbud No.49 Tahun 2014. Tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi. Jakarta: 2014.
8. Permendikbud No. 73 tahun 2013. tentang Penerapan KKNI Bidang
Pendidikan Tinggi. Jakarta. 2013
9. Permendikbud No. 50 tahun 2014. tentang Sistem Penjaminan Mutu
perguruan Tinggi. Jakarta. 2014
10. Permendikbud No. 87 tahun 2014. tentang Areditasi Program Studi dan
perguruan Tinggi. Jakarta. 2014.
11. Permendikbud No. 81 tahun 2014. tentang Ijazah dan surat Keterangan
pendamping Ijazah (SKPI). Jakarta. 2014.
12. Perkonsil No. 11 Tahun2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
Jakarta. 2012.
13. RISTEKDIKTI. Kurikulum pendidikan tinggi. jakarta. 2015.
http://akademik.polsri.ac.id/wp-content/uploads/2016/11/KURIKULUM-
PENDIDIKAN-TINGGI-KPT.pdf
14. RISTEKDIKTI. Panduasn penyunan kurikulum pendidikan tinggi di era
industri 4.0. edisi III. 2018. Jakarta. https://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-
content/uploads/2019/07/Panduan-Penyusunan-Kurikulum-Pendidikan-
Tinggi.pdf
15. Rosyadi S. Revolusi Industri 4.0 : Peluang dan Tantangan bagi Alumni
Universitas. In: Soedirman FISdIPUJ, editor. Purwokwerto2018. p.
https://www.researchgate.net/publication/324220813_REVOLUSI_INDUSTR
I_40/download
16. Hoedi Prasetyo WS. Industri 4.0 : Telaah Klasifikasi Aspek dan Arah
Perkembangan Riset. J@ti Undip: Jurnal Teknik Industri. 2018;13(1).
17. BNSP. Paradigma Pendidikan Nasional Di Abad-21. Jakarta: BNSP;2010.
18. Kemenristekdikti. Memandang Revolusi Industri dan Dialog Pendidikan
Karakter di Perguruan Tinggi Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembelajaran dan Kemahasiswaan;2017.

50
19. Jamun YM. Dampak Teknologi Terhadap Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan Missio. 2018;10(1).
20. WEF. The Future of Jobs Report 2018. World Economic Forum. 2018.
21. Machali, Imam. Kebijakan Perubahan Kurikulum 2013 dalam Menyongsong
Indonesia Emas Tahun 2045. Jurnal Pendidikan Islam: 2014; Vol 3.(71-94).
22. Kemendikbud, Bahan Ajar Pengelolaan Pembelajaran tematik, (Jakarta:
Kemendikbud, 2013), hlm. 3. Lihat juga, Abdul Majid, Pembelajaran Tematik
Terpadu. Bandung: 2014; (80-34).
23. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Agama Islam,
Pedoman Pendekatan Saintifik Pada Pembelajaran PAI. Jakarta: 2013;(7-36)
24. Raharjo, Rahmat. Pengembangan & Inovasi Kurikulum, Yogyakarta: Baituna
Publishing. 2012.
25. Safitri FN, Hermawan A, Rani YP, Aprilina HD. Penelitian Dan
Pengembangan Chair Breastfeeding Untuk Meningkatkan Lenyamanan Proses
Menyusui. Jurnal ilmiah ilmu-ilmu kesehatan. purwokerto: 2013; Vol
16(2;101-106).
26. Istiqomah SBT, Yani DP, Suyati. Pengaruh Efektifitas Pemberian Seduhan
Daun Peppermint Pada Ibu Hamil Terhadap Penurunan Frekuensi Emesis
Gravidarum. Jurnal EDUMidwifery.Jombang: 2017; Vol 1(2;103-107).

51

Anda mungkin juga menyukai