Anda di halaman 1dari 9

TUGAS FIQH MUAMALAH MEREVIEW BUKU

“PENGANTAR ILMU USHUL FIQH METODOLOGI PENETAPAN HUKUM ISLAM”

Disusun Oleh :
Firda Avcarina (185020307111034)
Kezya Aninditha Putri (185020307111012)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN AKUNTANSI
MALANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh
1.Pengertian Fiqh
Menurut bahasanya Fiqh berasal dari kata ‫ الفقه‬yang berarti paham, mengerti, dan ahli dalam
ilmu fiqh. Maksudnya ialah paham dan mengerti maksud yang diucapkan oleh pembicara.
Sebagaimana dijelaskan menurut istilah syara’ dalam kitab al-Ta’rifat yang artinya “Fiqh
adalah mengetahui hokum-hukum syara’ yang berhubungan pembuatan manusia, yang dipetik
(digali) dari dalil-dalilnya yang jelas dan terperinci. Sedangkan menurut istilah “Fiqh adalah
kumpulan (ketetapan) hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia, yang dipetik
dari dalil-dalilnya yang jelas dan perinci.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya fiqh itu menyangkut berbagai ketentuan
hukum syara’ baik yang telah ditetapkan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-
Qur’an dan al-Sunnah maupun berbagai ketetapan hukum syara’ yang ditetapkan/ dihasilkan
oleh para fuqaha’(orang yang mendalami dan memahami secara mendalam berbagai ketentuan
hukum-hukum fiqh) atau mujtahid lewat kegiatan ijtihad pada setiap kurun waktu.
Ketentuan hukum syara’ adalah ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan perbuatan
praktis manusia dalam berbagai aspek kehidupan dimana hukum tersebut berpijak atau
didasarkan kepada dalil-dalil yang perinci, baik sifatnya sumber-sumber yang mansus (Al-
Qur’an dan al-Sunnah) maupun sumber-sumber yang gair mansus (ijtihadiyah).
2.Pengertian Ushul Fiqh
Menurut Bahasa ushul fiqh terdiri dua unsur kata, yaitu kata “ushul ( ‫ ”) اﻷﺻﻮﻝ‬dan kata “ fiqh
(‫” )الفقه‬. Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “al-ashl ( ‫ ”) اﻷﺻﻝ‬yang berarti sesuatu
yang menjadi dasar atau landasan bagi lainya.
Sedangkan menurut istilah ushul fiqh adalah mengetahui kaidah-kaidah yang dapat digunakan
sebagai alat untuk mengali (istanbat) hukum-hukum furu’ dari dalil-dalilnya yang rinci dan
jelas.
Setelah definisi ushul dan fiqh diketahui, baik secar etimologi maupun terminologi, berikut ini
akan dikemukakan definisi ushul fiqh ( ushuliyyin ). Banyak definisi yang dikemukakan oleh
para ahli ushul fiqh. Sebagian ahli ushul fiqh secara redaksional memang terdapat sedikit
perbedaan, tetapi secara substansial mengandung maksud yang sama. Sehingga dapat
disimpulkan Ushul Fiqh merupakan alat atau sarana yang dapat digunakan untuk memahami
nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah dalam rangka menghasilkan hukum-hukum syara’.
Dengan kata lain ushul fiqh adalah menyangkut metodologi atau teori yang bukan saja
digunakan untuk memahami hukum-hukum syara’, melainkan juga berfungsi untuk
menetapkan dan menghasilkan hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah.
B. Objek Pembahasan fiqh dan Ushul Fiqh
1. Objek Pembahasan Ilmu Fiqh
Adapun 3 lingkup aspek pembahasan ilmu fiqh yaitu: Aspek Ibadah adalah menyangkut
hubungan vertikal antara manusia dan Allah. Seperti shalat, puasa, zakat, dan haji serta
berbagai bentuk kebajikan yang lainnya. Kedua, Aspek Mu’amalah yang terkait dengan
interaksi dan berbagai transaksi antar-sesama. Misalnya hal-hal yang terkait dengan harta, jual
beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, titipan syirkah, siyasah, dan masalah perkawinan.
Dan yang terakhir yaitu Aspek ‘Uqubah, yang berkaitan dengan tindakan pidana dan kejahatan
serta sanksi-sanksinya seperti pembunuhan, pencurian, peperangan dan lain-lain.
2. Objek Kajian Ushul Fiqh
Objek Kajian Ushul Fiqh ialah menyangkut dalil-dalil hukum baik yang mansus maupun
gair mansus/ ijtihadiyah. Dalil-dalil mansus ialah Al-Qur’an dan al-Sunnah kajiannya
menyangkut berbagai bentuk karakteristik lafaz nash, yaitu:
a) Lafaz nash dari segi bentuknya.
b) Lafaz nash dari segi cakupan maknanya.
c) Lafaz nash dari segi dilalahannya.
d) Lafaz nash dari segi jelas dan tidak jelasnya dan macam-macam dan tingkatannya.
e) Lafaz nash dari segi penggunaannya.
f) Hukum syara’ dalam kaitannya dengan makna hukum, pembagian dan objek serta
subjek hukum.
Sedangkan dalil-dalil yang gair mansus ialah dalil-dalil yang dirumuskan berdasarkan
ijtihad ulama. Dalil-dalil tersebut sebagai berikut:
a) Al-ijma’
b) Al-Qiyas
c) Al-Istihsan
d) Al-Mashalih Mursalah
e) Al-Istishab
f) Al-‘Urf
g) Soduzzari’lah
h) Qaul Sahabi
i) Syar’u Manqablana.
C. Tujuan mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh
Menurut Abdul Wahab Khallaf, merumuskan bahwa tujuan mempelajari ilmu fiqh adalah
agar menerapkan hukum syara’ kepada perbuatan manusia baik perbuatan maupun perkataan.
Dan fiqh merupakan rujukan bagi para hakim dalam penetapan dan penerapan hukum serta
dapat mengetahui mana yang halal dan mana yang haram. Dengan menerapkannya diharapkan
terciptanya kemaslahatan dan ketertiban dalam kehidupan manusia baik di dunia maupun di
akhirat.
Sedangkan dalam tujuan mempelajari Ushul Fiqh menurut Wahbah Zuhaili menyebutkan
sebagai berikut:
a) Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan oleh para fuqaha atau
mujtahid dalam istinbath hukum syara’.
b) Untuk memperoleh kemampuan dalam melakukan istinbath hukum dari dalil dalilnya
terutama bagi mujtahid.
c) Bagi mujtahid khususnya akan membantu mereka dalam melakukan istinbath hukum
dari dalil-dalil Nash.
d) Mempelajari Ushul Fiqh adalah merupakan jalan untuk memelihara Agama dan sendi-
sendi hukum syariat beserta dalil-dalilnya.
e) Mampu menerapkan kaidah-kaidah Ushul dan menghadapi dan menjawab kasus-kasus
baru yang tidak ditemukan dalilnya dalam nash secara tekstual.
f) Menurut Amir Syarifudin bahwa bila kita menghadapi masalah hukum fiqih yang
terurai dalam kitab-kitab fiqih, tetapi mengalami kesulitan dalam penerapannya, karena
begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha
lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan perkembangan dan
kemaslahatan, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah-kaidah
yang mungkin timbul nya rumusan baru dalam fiqh. Hal ini tentu merupakan ruang dan
terbukanya jalan dalam rangka pengembangan hukum Islam dari waktu ke waktu
Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
D. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan fiqh dan Ushul Fiqh
Menurut para ulama pertumbuhan dan perkembangan fiqh dapat dilihat secara pembagian
periodisasi dan tahapan tahapannya. Sebagaimana dijelaskan oleh jadul haq Ali jadul Haq,
bahwa pertumbuhan dan perkembangan fiqh itu dapat dibagi menjadi 5 periode pertama
periode nabi dan masa kedatangan Islam. Pada periode ini merupakan awal dari pertumbuhan
fiqh di mana kunci tasyri’ atau otoritas penetapan hukum dan penerapannya dipegang langsung
oleh Nabi sendiri. Dari kajian riwayat tersebut dapat dilihat bahwa sesungguhnya ada suatu
suasana di mana nabi memberi peluang solusi hukum jika mereka dihadapkan dengan kasus-
kasus di lapangan. Maksud nabi sekaligus mendidik para sahabat agar ada kemandirian jika
nabi tidak ada dengan kata lain paling tidak pada periode ini fase Mekkah dan Madinah nabi
telah mengajarkan suatu pelajaran bagaimana mengantisipasi persoalan-persoalan baru yang
bakal muncul kemudian. Tanpa disadari pemahaman fiqih telah berwujud secara faktual diakui
bahwa keadaan fiqih memang masih sederhana yaitu berupa pengeluaran terhadap hukum-
hukum Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Selanjutnya periode kedua yaitu periode sahabat
dan tabi’in. Berarti pada periode ini sudah ditandai dengan munculnya Manhaj yang pada
gilirannya akan melahirkan rumusan-rumusan fiqih. Kemudian periode ketiga yaitu periode
kodifikasi fiqih. Periode ini merupakan masa keemasan Fiqih Islam Hal ini ditandai dengan
lahirnya ulama-ulama besar yang mempunyai cara-cara tersendiri dalam memecahkan berbagai
persoalan hukum. Akibatnya lahirlah berbagai mazhab Hanafi Maliki Syafi’i dan Hambali)
dalam masyarakat Islam yang terkadang timbul perbedaan yang sangat tajam yang tidak bisa
dielakan dan dihindari ra ini disebut pula dengan ra ikhtilaf yaitu era perdebatan pendapat.
Periode yang keempat yaitu periode kemunduran. Setelah memasuki abad ke-4 Hijriah
tampaklah kemunduran dalam pemikiran fiqih faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kemunduran dalam pemikiran fiqih antara lain:
1) Terpolanya pemikiran hukum/ fiqih kepada beberapa mazhab yang pengaruhnya cukup
besar dalam praktik keagamaan umat.
2) Hilangnya kebebasan berpikir dari kalangan ulama dan fuqaha karena terikat dengan
aturan aturan yang ada dalam mazhab yang mereka ikuti sehingga mereka tidak mau
melanggar ketentuan mazhab mereka
3) Munculnya sikap taqlid yang luar biasa di kalangan madzhab sehingga mazhab yang
menjadi ukuran dalam keberagaman masyarakat
4) Adanya suatu sikap pandangan yang muncul dikalangan ulama bahwa soal Fiqih dan
seluk beluk hukum sepertinya sudah sempurna sehingga tidak perlu lagi melahirkan
ketentuan yang baru keadaan seperti inilah Apa yang disebut oleh ahli sejarah sebagai
masa jumud atau statis
5) Dan bahkan muncul fatwa bahwa pintu ijtihad tertutup Hal ini disebabkan karena
kegiatan-kegiatan di bidang fiqih ditangani oleh orang-orang yang hanya mengejar
jabatan Hakim tanpa memiliki keahlian ilmiah yang memadai.
Dan periode terakhir yaitu periode kebangkitan. Periode ini merupakan suatu wujud
kesadaran dari kebangkitan kembali Fiqih Islam. Dengan kata lain kebangkitan Fiqih Islam dan
kebangkitan dunia islam 2 hal yang terjadi secara bersamaan. Kebangkitan kembali Fiqih Islam
ditandai dengan tiga hal pertama munculnya kesadaran dari ulama atau fuqaha untuk
membedah kebekuan berpikir umat Islam kedua menipisnya keterikatan kepada madzhab yang
memasung kreativitas ulama sehingga mereka menjadi tidak produktif dalam pemikiran fiqih
ketiga munculnya usaha dari para ulama atau fuqaha untuk menyesuaikan beberapa produk
pemikiran fiqih dengan perkembangan modern.
Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih,
meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas
dari kaidah atau metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode
penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih. Pada masa ini kajian tentang fiqih
mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW.Menurut Muhammad Abu
Zahra,Ushul Fiqh dalam praktiknya telah muncul berbarengan dengan munculnya
fiqh.Alasanya karena secara metodelogis,fiqh tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbath
dan metode istinbath itulah inti dari ushul fiqh.Pemikiran dalam Ushul Fiqih telah ada pada
waktu perumusuan Fiqh itu.Para sahabat diantaranya ‘Umar Ibn Khatab,Ibnu Mas’ud,Ali Ibnu
Abi Talib umpamanya pada wktu mengemukakan pendapatnya tentang hukum sebenarnya
sudah menggunakan aturan atau Pedoman dalam merumuskan hukum,meskipun secara jelas
mereka tidak mengemukakan demikian.
Contoh: Sewaktu ‘Ali bin Abi Thalib melakukan ijtihad dengan meng-
gunakan qiyas yaitu meng-qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman
orang yang melakukan qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Alasan ‘Ali ibn Abi Thalib
adalah bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia
mengigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina.
Hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang meminum
khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Ali rupanya dalam
berpendapat menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau” Sad al
Dzari’ah “Perkembangan permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang
semakin luas.
Dengan Demikian,Menurut Abd Wahab Abu Sulaiman, Para Sahabat telah
memperaktikan Ijma’Qiyas dan Istislah (maslaha mursalah) bilamana tidak ditemukan secara
tertulis di alqur’an dan Sunnah.
BAB 2

Tentang Hukum Syara’ dan Pembagiannya

Hukum syara’ atau hukum syariat merupakan sekumpulan aturan yang mengatur
berbagai persoalan yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf. Aturan tersebut bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Unsur-unsur hukum syara’

A. Al-hakim (sumber hukum)

Secara etimologi, al-hakim diartikan dengan “yang menjadi sumber lahirnya hukum
syara’”.Adapun menurut istilah, syari’, yang dimaksud dengan al-hakim adalah Allah SWT
yang menjadi sumber hukum syara’ yang berkaitan dengan semua perbuatan orang mukalaf.
Kedua pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa kewenangan penciptaan hukum syara’
adalah Allah SWT sendiri. Adapun yang menjadi persoalan adalah bagaimana peran rasul dan
para mujtahid dalam melahirkan hukum-hukum syara’ yang menimbulkan perbedaan pendapat
diantara dua golongan. Golongan pertama menyebutkan bahwa pencipta hukum syara’
hanyalah Allah semata sedangkan rasul dan para mujtahid hanya sebagai penyampai dan
penggali hukum syara’. Sementara di golongan kedua, selain rasul dan para mujtahid
menyampaikan hukum, mereka juga menciptakan hukum yang tidak dijelaskan oleh Allah
secara tekstual di bukunya

B. Al-Hukm (tuntutan)

Secara istilah, hukum adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf,
baik sifatnya mengandung perintah maupun larangan, adanya pilihan atau adanya sesuatu yang
dikaitkan dengan sebab, syarat, atau hal yang menghalangi adanya sesuatu. Dari pengertian
tersebut, terdapat tiga unsur penting yaitu:

1. Thalab / iqtida’ = tuntutan kepada mukalaf untuk melaksanakan perintah dan


meninggalkan larangan
2. Takhyir = pilihan yang diberikan oleh syari’ kepada mukalaf untuk berbuat atau tidak
3. Perbuatan mukalaf dikaitkan dengan hal yg menyertainya baik sebab, syarat, maupun
sesuatu yang menghalanginya
C. Pembagian hukum syara’
1. Hukum Taklifi

Ialah tuntutan untuk melakukan atau tidak sesuatu baik sebuah perbuatan atau bersifat
mengikat. Ada lima macam hukum taklifi, yaitu:

a. Wajib = tuntutan untuk melaksanakan perbuatan yang sifatnya mengikat


b. Sunnah = tuntutan untuk melaksanakan perbuatan yang sifatnya tidak harus dikerjakan,
akan tetapi sangat dianjurkan untuk dikerjakan
c. Haram = tuntutan untuk tidak melaksanakan perbuatan yang sifatnya mengikat
d. Makruh = tuntutan untuk tidak melaksanakan perbuatan yang sifatnya tidak mengikat,
akan tetapi sangat dianjurkan untuk tidak dikerjakan
e. Mubah = diberi pilihan untuk dikerjakan atau tidak, diperbolehkan untuk dilakukan

2. Hukum Wadh’i

Bahwa terwujudnya suatu perbuatan dikaitkan dengan faktor penyebabnya (sebab), factor
ketergantungannya kepada sesuatu yang lain (syarat), atau penghalang. Ketiga factor tersebut
berpengaruh terhadap sah tidaknya suatu perbuatan. Apabila suatu perbuatan terdapat
kesesuaian dengan yang dituntut dan disyariatkan syari’, maka perbuatan tersebut hukumnya
sah.

D. Mahkum Fih (objek hukum)

Mahkum fikh ialah perbuatan orang mukalaf yang berkaitan dengan hukum syara’.Esesnsi
hukum fih ialah berkenaan dengan objek hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf,
baik kaitannya dengan tuntutan untuk berbuat, meninggalkan larangan maupun adanya pilihan.
Mahkum fih mempunyai 3 syarat, yang diantaranya:

1. Sebuah perbuatan harus diketahui dengan betul oleh mukalaf dan ia mampu
melaksanakan perbuatan tersebut sesuai tuntutan
2. Mukalaf mengetahui sumber perbuatan berasal dari pihak yang mempunyai otoritas
pemberi beban atau pihak yang wajib di patuhi aturan-aturannya
3. Perbuatan dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukalaf. Dalam konteks ini, ada dua
hal yang harus diperhatikan. Pertama, tidak sah memberikan hal yang tidak mungkin
dikerjakan. Kedua, tidak sah memberikan beban dimana beban tersebut kepada
seseorang diperintahkan sementara kepada yang lain dilarang untuk dikerjakan.
E. Mahkum’Alaih (subyek hukum)

Yang dimaksud Mahkum’Alaih ialah orang mukalaf yang dibebani hukum syara’ atau
disebut subyek hukum. Mahkum’Alaih mempunyai dua syarat, yaitu:

1. Mukalaf memahami khitab Allah yang dibebankan kepadanya. Kemampuan mukalaf


untuk memahami khitab terletak pada akal. Jadi, orang gila dan anak yang belum
dewasa tidak bisa dibilang sebagai Mahkum’Alaih
2. Mukalaf memiliki kemampuan untuk menerima pembebanan hukum yang dapat
dibedakan menjadi dua macam :
a. Ahliyatul wujub = kemampuan menerima hak dan kewajiban
b. Ahliyatul ada’ = kecakapan bertindak (tanggung jawab atas apa yg diperbuat)

1). Hubungan manusia dengan Ahliyatul wujub

a. ketika ahliyatul wujub tidak sempurna, hanya bisa menerima hak tanpa memenuhi
kewajiban. Misalnya seperti janin yang belum bisa melakukan apapun

b. ketika ahliyatul wujub sempurna, bisa menerima hak serta memenuhi kewajiban.
Melekat selama masih hidup

2). Hubungan manusia dengan Ahliyatul ada’

a. Ketika tidak memiliki Ahliyatul ada’, seperti orang gila dan anak kecil

b. Ketika Ahliyatul ada’ yang dimiliki tidak sempurna, seperti anak mumayiz (belum
dewasa dan lemah kemampuan akalnya). Jika mumayiz melakukan transaksi, sah atau tidaknya
dilihat dari tiga sisi:

 Dalam hal transaksi yang mengandung manfaat seperti hibah, shadaqah adalah sah
tanpa perlu izin dari walinya
 Dalam hal transaksi yang berhubungan dengan hak milik, maka tidak sah sekalipun
terdapat izin dari walinya
 Dalam hal transaksi yang mengandung manfaat dan mengandung unsur pemindahan
hak milik, sah jika mendapatkan izin dari wali dan tidak sah jika tidak mendapat izin
dari wali
c. Ahliyatul ada’ sempurna, dimiliki oleh orang dewasa dan berakal. Dewasa disini
berarti sudah cukup umur atau telah datang bulan (bagi perempuan) dan mimpi basah (bagi
laki-laki)

Hal yang menghalangi kecakapan bertindak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
bersifat samawiyah (luar kemampuan dan kehendak manusia) dan kasabiyah (dari manusia
sendiri)

Samawiyah kasabiyah
a.Belum dewasa a. boros
b. sakit gila b. mabuk
c. kurang akal c. berpergian
d. tertidur d. lalai
e. lupa e. bergurau
f. sakit f. bodoh
g. haid g. terpaksa
h. nifas
i. wafat

Anda mungkin juga menyukai