Anda di halaman 1dari 23

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kentang (Solanum tuberosum L.) dikenal sebagai tanaman pangan dan

hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi. Kentang termasuk spesies tanaman dari

family Solanaceae yang berasal dari daerah subtropis dan dibudidayakan untuk

menghasilkan umbi. Umbi kentang merupakan salah satu komoditas pangan

utama dunia. Kentang di Indonesia memiliki nilai penting sebagai komoditas

hortikultura setelah cabai dan kubis. Badan Pusat Statistik (2012) mencatat bahwa

produksi kentang di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 1.060 805 ton. Namun

pencapaian produksinya menurun pada tahun 2011 menjadi 955.488 ton.

Menurunnya produksi dan mutu kentang di Indonesia terkait banyak kendala

produksi. Salah satu kendala dalam budidaya dan produksi kentang yaitu adanya

penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus (Damayanti dan Kartika, 2015).

Salah satu penyakit pada kentang yang disebabkan oleh virus yaitu Potato

Virus Y (PVY). Potato Virus Y (PVY) merupakan virus paling penting pada

kentang yang dapat menurunkan produksi kentang 40-80% (Semangun, 2004).

Infeksi PVY dapat mengurangi produksi umbi sampai 80% di negara-negara

produsen utama kentang, seperti Cina, India, dan Amerika (Brunt, 2001).

Teknik deteksi patogen pada kentang dapat dilakukan dengan metode

konvensional melalui pertumbuhan pada media yang dilanjutkan dengan

pengamatan mikroskopis. Metode ini membutuhkan waktu yang lama dan

dilakukan pada kentang yang menampakkan gejala. Metode lainnya adalah

35
dengan menggunakan teknik ELISA, yaitu dengan memanfaatkan antibodi

spesifik dalam proses pengerjaannya.

ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) digunakan dalam bidang

imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel.

Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifitas untuk

antigen tertentu. Teknik ELISA mempunyai beberapa kelebihan yang didasarkan

pada kesederhanaan dalam proses pengerjaannya, tidak membutuhkan peralatan

yang rumit serta tidak membutuhkan proses ekstraksi, elektroforesis dan

pewarnaan seperti yang dilakukan pada metode PCR. Berdasarkan latar belakang

di atas, maka dilakukan praktikum ini untuk mendeteksi adanya penyakit Potato

Virus Y (PVY) pada kentang.

B. Tujuan

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mendeteksi adanya

penyakit Potato Virus Y (PVY) pada kentang.

36
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deteksi Patogen Tanaman dengan Metode ELISA

Keberhasilan pengendalian penyakit tanaman sangat ditentukan oleh

keberhasilan mendiagnosis penyakit secara cepat dan akurat. Tahapan kegiatan

diagnosis meliputi deteksi dan identifikasi patogen secara lengkap mencakup

faktor-faktor biolois dan non biologis. Di masa lalu, diagnosis penyakit dan

identifikasi penyakit tanaman berdasarkan gejala, pengamatan morfologi, serta

reaksi fisiologi dan biokimia. Teknik konvensional memerlukan waktu lama (2-4

minggu), banyak bahan kimia, mahal, dan kepekatannya rendah. Teknik

molekuler seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) cepat, akurat, dan peka

tetapi bahan kimianya harus diimpor dengan harga mahal, dan tidak dapat

diadopsi oleh semua laboratorium atau digunakan langsung di lapang, sehingga

tidak efisien (Suryadi et al., 2009).

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan teknik seroloi

canggih yang menjanjikan untuk deteksi dan identifikasi patogen tumbuhan.

Teknik ini dapat diterima secara luas oleh penggunanya, karena : 1) Efisien

menggunakan bahan kimia 1,0 ml antiserum dapat digunakan untuk menguji 10-

20 ribu sampel; 2) bahan kimia yang digunakan tidak berbahaya dan memiliki

daya simpan lama; 3) bahan yang diuji dapat langsung berupa ekstrak tanaman

sakit tanpa harus mengisolasi patogennya terlebih dahulu; 4) mempunyai

kepekaan deteksi tinggi (1-10 ng virus/ml dan 103-104 sel bakteri/ml); 5)

prosedurnya relatif sederhana dan cepat,antara 5-24 jam; 6) hasilnya dapat

37
dikuantifikasi; 7) dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah besar

sekaligus; dan 8) dapat digunakan langsung di lapang. Seiring dengan

perkembangannya, teknik ELISA mengalami berbagai modifikasi baik dari segi

praktis maupun kehandalannya (robustness), sehingga muncul berbagai variannya

(Randles et al., 1996).

Sebagai teknik serologi, prinsip dasar ELISA adalah reaksi antara antigen

(Ag) dengan antibodi (Ab) menjadi molekul Ag-Ab yang lebih besar dan mudah

mengendap. Perbedaannya, pengamatan hasil reaksi pada serologi biasa

berdasarkan endapan molekul Ag-Ab, sedangkan pada ELISA berdasarkan

perubahan warna yang terjadi pada substrat pereaksi sesuai dengan label atau

imunoprob (immuno probe) konjugat Ab-enzim. Perubahan warna terjadi akibat

hidrolisa enzimatik pada reaksi antara konjugat Abenzim dengan substratnya,

sehingga hasil ELISA lebih peka dan dapat dikuantifikasi (Converse dan Martin

1990). Tahapan umum ELISA meliputi penempelan (trapping) Ag atau Ab pada

media reaksi (solid phase), seperti cawan ELISA, diikuti penambahan konjugat

Abenzim, dan diakhiri dengan penambahan substrat serta bufer penghenti reaksi

(blocking buffer). Uraian rinci tentang berbagai teknik serologi termasuk ELISA

dijumpai di pustaka acuan (Thomas et al. 1989, Converse dan Martin 1990,

Randles et al. 1996).

Komponen utama perangkat ELISA terdiri atas Ab, Ag, imunoprob,

substrat, reagen penghenti reaksi (blocking reagent), bufer, dan cawan ELISA.

Perangkat ELISA dapat dirakit sendiri oleh peneliti atau diperoleh secara

komersial dari berbagai perusahaan di luar negeri, seperti Agdia Inc. (Folkhart,

38
Indiana), dan Neogen Inc. (Scotland). Berikut ini komponen perangkat ELISA

menurut Suryadi et al (2009) :

a. Antibodi. Ab adalah immunoglobulin (Ig) dari hewan yang diimunisasi Ag

patogen sasaran (AgP). Berdasarkan teknik produksi dan spesifisitas

reaksinya, Ab dibedakan menjadi Ab poliklonal (PAb) dan Ab monoklon

(MAb), sedangkan menurut bentuk molekulnya dibedakan menjadi Ab dan

F(ab’)2. Ab juga dibedakan menjadi Ab primer (AbP) dan Ab sekunder

(AbS). AbP adalah Ab yang homolog atau bereaksi dengan AgP, diproduksi

dengan mengimunisasi hewan, seperti mencit dan kelinci, dengan AgP. AbS

atau anti-AbP adalah Ab yang diproduksi dengan mengimunisasi hewan lain

seperti kambing (goat) dengan AbP.

b. Antigen. Ag yang digunakan sebagai AgP pada teknik ELISA adalah partikel

virus, sel bakteri, propagul jamur, atau senyawa protein dan polisakarida

patogen yang antigenik, dapat merangsang timbulnya Ab pada hewan yang

diimunisasi. AgP digunakan sebagai kontrol positif pada uji ELISA. Cara

pembuatan Ag virus dab Ag bakteri dibahas masing-masing secara rinci oleh

Brakke serta deBoer dan Schaad.

c. Imunoprob (Immunoprobe). Imunoprob untuk ELISA dibuat dengan

mengkonjugasikan Ab dengan suatu enzim menjadi ‛konjugat Ab-enzim’.

Konjugat ini dapat dibuat dengan mengkonjugasikan AbP atau AbS dengan

enzim tertentu. Enzim yang digunakan untuk membuat konjugat beragam,

yang paling umum adalah Alkaline Phosphatase (AP) dan Horse-radish

Peroxidase (HRP).

39
d. Substrat dan bahan kimia lain. Senyawa kimia yang digunakan sebagai media

(substrate) untuk reaksi enzimatik berbeda-beda, bergantung pada enzim yang

dugunakan. Enzim AP memerlukan p-nitrophenyl phosphate (PNPP) yang

dilarutkan dalam diethanolamine 10%. Substrat ini dihidrolisis oleh enzim

menjadi p-nitrophenyl (PNP) yang berwarna kuning. Enzim HRP

menggunakan substrat tetramethyl benzidine (TMB) yang dilarutkan dalam

dimethylsulsulfoxide (DMSO), substrat ini dihidrolisis menjadi enzim menjadi

produk berwarna biru (Priou, 2001). Reagen lain yang diperlukan dalam

ELISA adalah bufer, blocking reagent, dan pelarut substrat. Bufer dasar yang

paling sering digunakan dalam ELISA adalah bufer fosfat (Phosphate-

Buffered Saline, PBS) dan bufer karbonat. Bufer lain, seperti bufer ekstraksi,

bufer pencuci, bufer Ab, bufer konjugat, dan bufer substrat dibuat dengan

menambahkan senyawa kimia tertentu seperti Tween-20, polyvinylpirrolidone

(PVP), dan 2-mercaptoethanol pada bufer dasar. Senyawa yan sering

digunakan untuk blocking reagents adalah bovine serum albumin (BSA),

ovalbumin (OA), gelatin, susu skim, NaOH, dan asam sulfat (H2SO4)

(Lazarovits, 1990).

e. Cawan ELISA. Tempat reaksi ELISA yang mulamula digunakan adalah

cawan polystyrene berlubang 96 buah yang disebut cawan ELISA (ELISA

plate) atau cawan mikrotiter (microtiter plate). Cawan lain yang terbuat dari

polyvinyl dan bahan plastik lain juga telah digunakan. Cawan ELISA yang

diproduksi oleh berbagai perusahaan dengan bahan dan merek berbeda

memiliki kualitas pengikatan Ab (Ab binding capacity) yang bervariasi,

40
sehingga pengguna perlu melakukan uji coba untuk memperoleh hasil

optimal.

B. Gejala Penyakit Potato Virus Y

Gejala infeksi virus pada tanaman kentang, seperti nekrosis, mosaik,

klorosis, penebalan warna hijau di sekitar pertulangan daun (vein banding),

pemucatan tulang daun (vein clearing), belang (mottle), pengerutan (crinkle)

daun, hingga pengerdilan tanaman, telah diketahui disebabkan oleh beberapa virus

yang berbeda yaitu potato virus Y (PVY) (potyviridae; potyvirus), potato virus X

(alphaflexiviridae; potexvirus) (PVX), dan potato virus S (Betaflexiviridae;

Carlavirus) (PVS). Infeksi PVY dapat mengurangi produksi umbi sampai 80% di

negara-negara produsen utama kentang, seperti Cina, India, dan Amerika.

Sementara infeksi PVX dapat mengurangi produksi umbi kentang sampai 30% di

India dan infeksi PVS menyebabkan kehilangan hasil panen sampai 20% pada

tanaman kentang. Kehilangan hasil akibat infeksi beberapa virus kentang di

Indonesia sekitar 25–90% oleh Potato leaf roll virus (PLRV), dan 5–80% oleh

serangan PVX, PVY dan PVS (Duriat et al., 2006).

Menurut Susetyo (2016), Potato Virus Y (PVY) menyebabkan gejala

mosaic, patah daun (leaf drop streak) dan vein banding mosaic. Gejala umumnya

dimulai dari permukaan daun yang tidak rata (rugosity), mengelompok, daun

menghimpit, margin anak daun mengarah ke bawah, kerdil, tulang daun nekrosis,

terdapat titik-titik mati pada permukaan daun (necrotic spoting) dan batang

mengecil (Gambar X). Kultivar yang kurang peka terhadap PVY tetap tumbuh

41
baik meskipun menunjukan gejala mosaic lemah atau gejalanya tidak terlihat.

Penularan penyakit PVY ditularkan oleh serangga vektor aphid. Terdapat paling

tidak 30 spesies kutu aphid (green peach aphid)dapat menularkan penyakit

disamping gesekan daun, luka dan benih atau umbi.

a b
Gambar X. Gejala penyakit PVY pada umbi (a); dan tanaman kentang (b).
Sumber : AHDB Potatoes (2017).

42
III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah umbi kentang 0,5 gram, general extrasi

buffer (GW), general ekstrak buffer (GEB), air steril, PBST (phosphate buffer

saline tween), PNP buffer, enzim conjugated PBSI, larutan PNP, ECM buffer,

,label dan kertas tissue (woollpaper). Alat-alat yang digunakan adalah

mikroplate ELISA, sentrifuge, mikro pipet, tip steril, mortar dan pestel, spidol,

timbangan, kamera.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja dalam praktikum ini adalah :

1. Prosedur kerja ELISA

a) Kentang dikupas terlebih dahulu, kemudian diiris keci-kecil hingga

beratnya 1 gr.

b) Kentang digerus hingga halus, kemudian ditambahkan larutan GEB

dengan perbandingan 1:10. Setelah itu cairan kentang dipindahkan

kedalam tube (well).

c) Sample disentrifuse dengan kecepatan 12.000 rpm selama 3-4 menit.

d) Sample dipindahkan kedalam well plate, dimasukan kedalam bungkus

alumunium foil dan didiamkan sekitar 2 jam.

e) Cairan dibuang dengan cara mengetuk-ngetukannya.

f) Sample dicuci 7x menggunakan larutan PBST 500 µl/well.

43
g) Enzim disiapkan.

h) Enzim conjugate ditambahkan sebanyak 100 µl.

i) Sample diinkubasi kembali selama 2 jam, sambil menyiapkan PNP

substrat.

j) Cairan dibuang, dan dicuci 8x menggunakan larutan PBST 500 µl/well.

k) Sample ditambahkan PNP substrat 100 µl/well.

l) Sample diinkubasi selama 1 jam.

m) Dilakukan pengujian dengan menggunakan ELISA reader.

2. Prosedur kerja pembuatan GEB

a) Bubuk GEB 1,65 gr dimasukan kedalam erlenmeyer

b) Air steril ditambahkan hingga volumenya 100 µl.

3. Prosedur kerja pembuatan enzim conjugate

a) 0,04 gr Non-fat Dreied Milk ditambahkan PBST menjadi 10 ml yang akan

digunakan menjadi ECM Buffer.

b) 15 menit sebelum dipakai, ECM buffer diambil 1000 µl kedalam botol

enzim A.

c) Semua isi pada botol enzim A dipindahkan kedalam botol enzim B.

4. Prosedur kerja pembuatan PNP substrat solution

a) PNP buffer diencrkan 1:4.

b) Tablet PNP buffer ditambahkan.

44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Prosedur Kerja ELISA


No Keterangan Gambar

1. Sampel kentang di potong secukupnya

kira-kira 0,5 gram kemudian digerus.

2. Diagram sampel (peta sample) diikuti,

kemudian dimasukkan sampel, sampel

extarction buffer dan kontrol positif

masing-masing 100 µl ke dalam wells

sesuai diagram sampel.

3. plate wells diinkubasi di dalam kotak

lembab selama 2 jam.

45
4. Setelah inkubasi selesai, setiap wells

diisi dengan 500 µl 1X PBST kemudian

cairan tersebut dibuang dari dalam

wells. Langkah tersebut diulang 7 kali.

5. Enzim conjugate dimasukkan ke dalam

setiap wells masing-masing 100 µl.

6. Plate wells diinkubasi kembali dalam

kotak lembab selama 2 jam.

7. Setelah inkubasi selesai, setiap wells

diisi dengan 500 µl 1X PBST kemudian

cairan tersebut dibuang dari dalam

wells. Langkah tersebut diulang 8 kali.

8. PNP dimasukkan ke dalam setiap wells

masing-masing 100 µl.

46
9. Kemudian diinkubasi dalam kotak

lembab dan terhindar dari cahaya

selama 60 menit.

10. Hasil pengujian elisa di evaluasi dengan

elisa reader.

Tabel 1. Hasil Absorbansi dengan ELISA reader


Sampel Nilai Absorbansi Keterangan

Kontrol + (A) 1,990

Kontrol + (B) 0,953

Kontrol – (C) 0,479

Kontrol – (D) 0,493

K 1 (E) 0,478

K 1 (F) 0,491

K 2 (G) 0,503

K 2 (H) 0,517

Keterangan :

+ : mengandung virus

- : tidak mengandung virus

47
B. Pembahasan

Praktikum kali ini menggunakan KIT untuk mendeteksi penyakit Potato

Virus Y (PVY). Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini yaitu sampel

kentang digerus, kemudian ekstrak kentang, sampel extarction buffer dan kontrol

positif dimasukkan ke dalam wells sesuai diagram sampel masing-masing 100 µl.

Plate wells diinkubasi ke dalam kotak lembab selama 2 jam. Setelah inkubasi

selesai, setiap wells diisi dengan 500 µl 1X PBST kemudian carian tersebut

dibuang dari dalam wells. Langkah tersebut diulang sebanyak 7 kali. Selanjutnya

enzim conjugate dimasukkan ke dalam setiap wells masing-masing 100 µl.

Inkubasi plate wells ke dalam kotak lembab selama 2 jam. Setelah inkubasi

selesai, setiap wells dicuci/diisi dengan 500 µl 1X PBST kemudian buang cairan

tersebut dari dalam wells. Langkah tersebut diulang 8 kali. Selanjutnya, setiap

wells ditambah PNP buffer masing-masing 100 µl dan diinkubasi di dalam kotak

lembab dan terhindar dari cahaya selama 60 menit. Hasil pengujian elisa

dievaluasi dengan elisa reader untuk dilihat perubahan warna yang terjadi, kuning

menunjukkan positif (+) PVY dan bening menunjukkan negatif (-)PVY. Langkah-

langkah tersebut sesuai dengan literatur. Menurut Setiawan (2007), prinsip teknik

ELISA secara umum adalah antibodi yang terdapat di dalam serum dimasukkan

ke dalam antigen yang sudah difiksasi pada penyangga padat (plat mikrotiter),

kemudian diinkubasi selama waktu tertentu, dan dicuci untuk menghilangkan

antibodi yang berlebihan. Selanjutnya, ditambahkan antibodi anti-spesies yang

dikonjugasi dengan enzim. Aktivitas enzim ditentukan setelah ditambahkan

substrat cromogenic spesifik. Intensitas reaksi warna yang terjadi sesuai dengan

48
jumlah susbtrat yang didegradasi, akan sebanding dengan jumlah antibody yang

terdapat di dalam serum yang dites. ELISA adalah tes serologis yang umumnya

dilakukan dalam berbagai bentuk tergantung tipe antigen dan reagen yang

digunakan pada saat melakukan tes. Tes ELISA hanya dapat mendeteksi antibodi

spesifik genus dan tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi serogrup atau

serovoar.

Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan spesifitas

untuk antigen tertentu. Metode ELISA telah berkembang sampai tingkatan yang

sangat sulit untuk membuat generalisasi tentang kemampuan kinerja berbagai

konfigurasi. Namun dalam hal ini, teknik ini dimulai dengan menggunakan

konfigurasi sederhana dengan substrat yang padat. Assai asli menggunakan

permukaan gelas yang sebelumnya telah diperlakukan untuk meningkatkan

adsorbsi baik antigen maupun antibodi. Sekarang komponen plastik telah hampir

secara universal diterima sebagai pilihan dari substrat padat yang hingga kini telah

tersedia plastik dengan berbagai daya adsorbsi yang dapat menyederhanakan

metode ini (Masniawati et all, 2011).

Menurut Suryadi et al (2009), peluang pemanfaatan teknik dan perangkat

ELISA untuk diagnosis penyakit tanaman di Indonesia sangat baik, paling tidak

karena dua faktor utama, yaitu (1) kondisi geografik Indonesia, dan (2) sistem

perdagangan bebas dunia. Indonesia yang terletak di daerah tropik dan beriklim

basah menjadi tempat yang sangat kondusif bagi kehidupan berbagai patogen

yang mengancam produksi pertanian, sehingga pemantauan dan pengendalian

penyakit perlu diutamakan. Pemantauan dan pengendalian penyakit memerlukan

49
teknik dan perangkat diagnosis yang efektif dan efisien seperti ELISA. Dalam

sistem perdagangan bebas, ekspor dan impor komoditas pertanian semakin

meningkat dan sulit dibatasi. Impor komoditas pertanian berpeluang membawa

masuk patogen yang tidak ada di Indonesia (OPTK A1). Ekspor produk pertanian

juga berpeluang membawa patogen dan memerlukan sertifikat sanitasi tanaman

(phytosanitary certificate). Meningkatnya perdagangan komoditas tersebut

membuat pekerjaan para petugas karantina pertanian dan sertifikasi benih menjadi

semakin berat, harus berkerja lebih keras, cepat, dan efisien. Hal ini perlu

didukung oleh ketersediaan teknologi deteksi dan identifikasi yang tepat guna.

Beberapa peluang lain untuk pemanfaatan teknik dan perangkat ELISA adalah:

a) Teknik produksi PAb, MAb, dan konjugat Ab-enzim telah dikembangkan oleh

beberapa lembaga penelitian di Indonesia, lebih lanjut oleh stakeholders untuk

produksi perangkat dan komponennya secara massal dalam rangka

komersialisasi.

b) Model perangkat, komponen, dan protokol DASELISA Tidak Langsung dan

NCM-ELISA telah dirakit di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BBBiogen) untuk deteksi

beberapa patogen utama tanaman, (PSg, RS, RSSV, dan XOO) dan dapat

disosialisasikan kepada stakeholders untuk produksi masal dan

komersialisasinya.

c) Sosialisasi manfaat dan aplikasi praktis teknik dan perangkat ELISA dapat

dilakukan kepada para penggunanya, terutama mahasiswa, peneliti, petugas

karantina, dan petugas sertifikasi benih melalui pelatihan dan lokakarya,

50
seperti untuk uji kesehatan benih, intersepsi OPTK, serta kajian ekologi

patogen dan epidemiologi penyakitnya.

d) Perangkat ELISA yang dirakit secara utuh dapat digunakan untuk deteksi

patogen yang ada di Indonesia, sedangkan untuk OPTK A1, seluruh

komponen perangkat ELISA dapat dibuat di dalam negeri, kecuali AbP atau

konjugat AbP-enzimnya harus diimpor.

e) Beberapa lembaga penelitian memiliki sumber daya dan keterampilan

memadai guna mengembangkan teknologi ELISA untuk patogen lain di

Indonesia dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya lokal dan

membatasi impor.

f) Perangkat dan komponen ELISA yang diproduksi di dalam negeri dapat: (a)

mendukung upaya pengendalian penyakit yang efektif, (b) mengurangi biaya

operasional pengendalian dengan menyediakan produk lokal yang harganya

lebih terjangkau, dan (c) mengurangi ketergantungan terhadap produk impor,

dan (4) memberikan peluang bisnis dan lapangan kerja domestik.

Beberapa kendala dan tantangan yang dapat terjadi dalam aplikasi teknologi

dan perangkat ELISA menurut Suryadi et al (2009) adalah:

a) Hanya beberapa lembaga pemerintah di Indonesia yang saat ini memiliki

sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang berpengetahuan dan

keterampilan yang memadai tentang teknologi ELISA, sehingga belum dapat

sepenuhnya mendukung program sosialisasi dan pemanfatannya.

b) Sebagian besar bahan baku untuk komponen ELISA masih harus diimpor dari

luar negeri. Beberapa perusahaan komersial yang menjual perangkat dan

51
komponen ELISA di antaranya adalah Agdia Inc., Elkhart, Indiana, USA

(http://www.agdia. com), dan Neurogen Inc. (htttp://www.

neogeneurope.com), Scotland.

c) Teknik dan sebagian komponen perangkat ELISA untuk setiap patogen

berbeda, terutama Ab dan konjugat Ab-enzimnya, sehingga perlu dilakukan

penelitian berkelanjutan secara bertahap guna mengembangkan teknik dan

membuat komponen ELISA untuk masing-masing patogen.

Pengamatan hasil praktikum dapat berupa hasil kualitatif maupun

kuantitatif. Hasil kualitatif ditunjukan dengan adanya perubahan warna menjadi

kuning pada reaksi pengujian di mikroplate jika sampel yan diuji mengandun

virus. Semakin tinggi intensitas warna yang terbentuk, maka semakin tinggi pula

konsentrasi virus yang terdapat pada sampel. Menurut Suryadi et al (2009),

perubahan warna yang terjadi pada substrat pereaksi sesuai dengan label atau

imunoprob konjugat Ab-enzim yaitu dalam hasil ini warna yang terbentuk adalah

warna kuning pada sumuran mikroplate. Pada praktikum ini senyawa kimia yang

digunakan sebagai media (substrat) untuk reaksi enzimatik adalah p-nitrophenyl

phosphatae (PNPP). Enzim Alkaline phosphatase (AP) memerlukan PNPP yang

dilarutkan dalam diethanolamine 10%, substrat ini dihidrolisis oleh enzim menjadi

p-nitrophenyl (PNP) yang berwarna kuning. Semakin tinggi intensitas warna yang

terbentuk, semakin tinggi pula konsentrasi virus yang terdapat pada sampel.

Perubahan warna terjadi akibat hidroliza enzimatik pada reaksi antara konjugat

antibodi-enzim dengan substratnya, sehingga hasil ELISA lebih peka dan dapat

dikuantifikasi.

52
Pengamatan nilai kuantitatif dihitung setelah mikroplate dimasukkan pada

ELISA Reader yang diukur dari nilai absorbance yang terekam pada kertas

ELISA Reader dengan panjang gelombang 405 nm. Menurut Nildawati et al

(2013), absorbansi adalah perbandingan intensitas sinar yang diserap dengan

intensitas sinar datang. Nilai absorbansi ini akan bergantung pada kadar zat yang

terkandung di dalamnya, semakin banyak kadar zat yang terkandung dalam suatu

sampel maka semakin banyak molekul yang akan menyerap cahaya pada panjang

gelombang tertentu sehingga nilai absorbansi semakin besar atau dengan kata lain

nilai absorbansi akan berbanding lurus dengan konsentrasi zat yang terkandung

didalam suatu sampel. Hasil pengamatan pada ELISA menunujkkan bahwa nilai

absorbansi kontrol positif (+) lebih besar dibanding kontrol negatif (-) Nilai

absorbansi sumur 2A-1 yang merupakan kontrol positif (+) menunjukkan angka

1,990; sumur 2B-1 (1/10 +) menunjukkan angka 0,959; sumur 2C-1 yan

merupakan kontrol negatif (-) menunjukan angka 0,479 dan sumur 2D-1 kontrol

negatif (-) ulangan 2 menunjukan angka 0,493 sehingga rata-rata nilai absorbansi

kontrol negatif (-) adalah 0,486. Sumur 2E-1 yang merupakan sampel kentang

pertama ulangan satu menunjukkan angka 0,478 dan sumur 2F-1 menunjukkan

angka 0,491 sehingga rata-rata nilai absorbansi kentang pertama yaitu 0,484.

Sumur 2G-1 yang merupakan sampel kentang kedua menunjukkan angka 0,503

dan sumur 2H-1 yang merupakan kentang kedua ulangan dua menunjukkan angka

0,517. Sehingga rata-rata nilai absorbansi kentang kedua yaitu 0,51. Berdasarkan

hasil pengamatan tersebut, kentang pertama memiliki nilai absorbansi yang lebih

kecil dibandingkan dengan kontrol negatif. Artinya kentang pertama tidak

53
terinfeksi adanya PVY. Nilai absorbansi pada sampel kentang kedua lebih besar

dari kontrol negatif. Akan tetapi, nilai absorbansinya tidak lebih besar 2 kali dari

nilai absorbansi kontrol negatif. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sampel kentang

kedua tidak terinfeksi PVY. Hal ini sesuai dengan literatur. Masniawaty (2011)

menyatakan bahwa sampel uji dinyatakan positif terinfeksi virus, jika nilai

pembacaan ELISA Reader menunjukkan nilai ≥ dua kali nilai absorbance yang

dibaca pada kontrol negatif

54
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa

pada sampel kentang pertama dan kedua tidak terinfeksi adanya Potato Virus Y

(PVY). Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai absorbansi kentang pertama yaitu

0,484 dan kentang kedua yaitu 0,51 yang menunjukkan angka lebih kecil dari nilai

kontrol negatif.

B. Saran

Praktikum selanjutnya diharapkan lebih baik lagi dalam hal bimbingan serta

diberikan pedoman (diktat) praktikum.

55
DAFTAR PUSTAKA

AHDB. 2017. Potato Disease. (On-line).


https://potatoes.ahdb.org.uk/gallery/potato-diseases diakses tanggal
26/03/2017.
Brunt, A.A. 2001. The Main Viruses Infecting Potato Crops. Loebenstein G.,
Berger, P. H, Brunt, A. A & Lawson RH, (eds.). Virus And Virus-Like
Diseases Of Potatoes And Production Of Seed-Potatoes. Kluwer Academic
Publishers, Dordrecht (NL).
Converse, R.H. and R.R Martin. 1990. ELISA methods for plant viruses. In
Hampton, R., E. Ball, and S. De Boer (Eds.). Serological Methods for
Detection and Identification of Viral and bacterial Plant Patogens. APS
Press, St Paul, Minn.
Damayanti, TA dan R. Kartika. 2015. Deteksi Virus-virus pada Kentang di Jawa
Barat dengan Menggunakan Teknik Molekuler. Jurnal Hortikultura 25 (2) :
171-179.
Duriat, AT, Gunawan, OS dan Gunaeni, N 2006, ‘Penerapan teknologi PHT pada
tanaman kentang’, Monografi No. 28, Balai Penelitian Tanaman Sayuran,
Puslitbang Hortikultura, Balitbang Pertanian.
Hampton, R., E. Ball, and S. de Boer. 1990. Serological methods for detection and
identification of viral and bacterial plant patogens. A Laboratory Manual.
APS Press, St. Paul, Minn.
Masniawati, A., Kuswinanti, T., dan Toyyibah, I,. 2011. Optimasi Deteksi Dini
Potato Virus Y (PVY) Pada Kentang Solanum tuberosum L. varietas Kalosi
Dengan Teknik ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Skripsi.
Universitas Hassanudin.
Nildawati, Ratnawulan dan Gusnedi. 2013. Analisis Nilai Absorbansi dalam
Penentuan Kadar Flavonoid untuk Berbagai Jenis Daun Tanaman Obat.
Pillar Of Physics, Vol. 2 : 76-83
Priou, S. 2001. NCM-ELISA kit for the detection of R. solanacearum in potato.
Instructions for use. CIP Lima Peru.
Randles, J.W., R.A.J. Hodgson, and E. Weffels. 1996. The rapid and sensitive
detection of plant patogens by molecular methods. Australasian Plant
Pathol. 25:71- 85.
Semangun, H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

56
Setiawan, I.M. 2007. Pemeriksaan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) untuk Diagnosis Leptospirosis. Eberspapyrus, 13(3): 125-136.
Suryadi, Y., I. Manzila., M. Machmud. 2009. Potensi Pemanfaatan Perangkat
Diagnostik ELISA serta Variannya untuk Deteksi Patogen Tanaman. Jurnal
Agrobiogen 5(1) : 39-48.
Susetyo, H.P. 2016. Strategi Pengendalian Penyakit Benih pada Kentang.
Direktorat Perlindungan Hortikultura. (On-line).
http://hortikultura.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2016/09/Strategi-
Pengendalian-Penyakit-Benih-pada-Kentang.pdf diakses tanggal
26/03/2017.
Thomas J.E., W.C. Wong, and D.H. Goanlock. 1989. Modern methods for the
detection of plant pathogens. Queensland Agric. J. Jan-Feb 1989.

57

Anda mungkin juga menyukai