Anda di halaman 1dari 25

BAB I

DEFINISI

1. Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pikiran atau


informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu
sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh
penyampai pikirian-pikiran atau informasi.
2. Proses komunikasi efektif adalah pesan diterima dan dimengerti
sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti
dengan sebuah perbuatan oleh penerimaan pesan dan tidak ada
hambatan untuk hal itu

3. Komponen komunikasi pokok adalah :


a. Pengirim (komunikator), yaitu orang yang mengkomunikasikan atau
menghubungkan suatu pesan kepada orang lain (dokter, perawat,
petugas admission, dan lainnya).
Komunikator yang baik adalah komunikator yang menguasai materi,
pengetahuannya luas dan dalam tentang informasi yang disampaikan,
cara berbicaranya jelas dan menjadi pendengar yang baik saat
dikonfirmasi oleh si penerima pesan (komunikan).
b. Penerima (komunikan), yaitu orang yang menerima pesan (pasien,
keluarga pasien, perawat, dokter, petugas admission, dan lainnya).
c. Media, yaitu sarana komunikasi yang berperan sebagai jalan atau
saluran yang dilalui isi pernyataan yang disampaikan pengirim atau
umpan balik yang disampaikan penerima.
d. Berita dapat berupa lisan, tertulis atau keduanya sekaligus. Pada
kesempatan tertentu, media dapat tidak digunakan oleh pengirim yaitu
saat komunikasi berlangsung atau tatap muka dengan efek yang
mungkin terjadi berupa perubahan sikap. Media yang dapat digunakan
melalui telepon, lembar lipat, buklet, video, peraga.
e. Pesan, yaitu berupa gagasan, pendapat dan sebagainya yang sudah
dituangkan dalam suatu bentuk dan melalui lembaga komunikasi
diteruskan kepada orang lain atau komunikan.
f. Feed back (umpan balik), yaitu respon dari penerima terhadap pesan
yang diterimanya.

1
Pada saat melakukan proses umpan balik, diperlukan kemampuan
dalam hal-hal berikut :
1) Cara berbicara (talking), termasuk cara bertanya (kapan
menggunakan pertanyaan tertutup dan kapan memakai pertanyaan
terbuka), menjelaskan klarifikasi, parapharase, intonasi.
2) Mendengar (listening), termasuk memotong kalimat.
3) Cara mengamati (observation) agar dapat memahami yang tersirat
di balik yang tersurat (bahasa non verbal di balik ungkapan kata /
kalimatnya, gerak tubuh).
4) Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan komunikan (bahasa
tubuh) agar tidak mengganggu komunikasi, misalnya karena
komunikan keliru mengartikan gerak tubuh, raut tubuh, raut muka,
dan sikap komunikator.
g. Di samping komponen-komponon pokok tersebut dapat ditambahkan
komponen lainnya seperti :
1) Sumber, asal suatu gagasan atau pendapat yang menjadi suatu
pesan. Sumber bisa berupa lembaga, kejadian, atau diri kita
sendiri.
2) Media komunikasi, yang merupakan sarana atau alat-alat atau
saluran-saluran yang dipergunakan untuk menyalurkan pesan yang
akan dikomunikasikan.
3) Kegiatan encoding, artinya menuangkan gagasan atau pendapat
dalam suatu bentuk pesan yang dinyatakan oleh komunikator
kepada komunikan.
4) Kegiatan decoding, artinya kegiatan untuk memahami suatu pesan
yang diterima oleh komunikan dari komunikator.
5) Tujuan yang berupa komunikan, bisa merupakan hadirin, massa,
atau kelompok, atau pula perseorangan.
4. Komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, jelas dan mudah dipahami
oleh penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan
(kesalahpahaman).
5. Komunikasi efektif via telepon adalah komunikasi melalui telepon yang
dilakukan tepat waktu, secara akurat , lengkap ,jelas, dimengerti , tidak
duplikasi dan tepat kepada penerima informasi untuk mengurangi
kesalahan dan untuk meningkatkan keselamatan pasien.

2
6. Pelaporan nilai kritis hasil laboratorium adalah cara melaporkan hasil
laboratorium yang nilainya memiliki resiko besar akan menimbulkan
masalah dan harus segera dilaporkan.

3
BAB II
RUANG LINGKUP

Komunikasi sangatlah penting dalam hubungannya dengan professional


kesehatan. Tanpa adanya komunikasi sesuatu bisa dipersepsikan dan
diinterpretasikan berbeda dengan yang seharusnya. Apalagi orang yang
berhadapan dengan kita (tenaga kesehatan) mempunyai pengetahuan dan
pemahaman serta prior knowledge yang tidak sama dengan tenaga
kesehatan.

Komunikasi yang sering digunakan di rumah sakit adalah komunikasi


verbal.Komunikasi yang efektif kepada pasien harus disampaikan dengan
bahasa yang sesederhana mungkin, mudah dipahami, tidak menggunakan
istilah medis yang tidak dipahami oleh pasien dan disampaikan secara
langsung. Akan tetapi, bukan berarti komunikasi non verbal dikesampingkan
karena justru penggunaan komunikasi non verbal sangat berperan penting.
Isyarat non verbal menambah arti terhadap pesan verbal yang disampaikan
oleh tenaga kesehatan yang memberikan asuhan kepada pasiennya.

Komunikasi yang efektif di dalam rumah sakit adalah merupakan suatu


issue/persoalan kepemimpinan. Jadi, pimpinan rumah sakit memahami
dinamika komunikasi antar anggota kelompok profesional, dan antara
kelompok profesi, unit stuktural; antara kelompok profesional dan non
profesional; anatara kelompok profesional kesehatan dengan manajemen;
antara profesional kesehatan keluarga; serta dengan pihak luar rumah sakit,
sebagai contoh. Pimpinan rumah sakit bukan hanya menyusun parameter dari
komunikasi efektif, tetapi juga berperan sebagai panutan (role model) dengan
mengkomunikasikan secara efektif misi, strategi, rencana dan informasi lain
yang relevan. Pimpinan memberi perhatian terhadap akurasi dan ketepatan
waktu informasi di dalam rumah sakit.

Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang
dipahami oleh resipien/penerima, akan mengurangi kesalahan dan
menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara
elektronik, lisan atau tertulis.Komunikasi yang paling mudah mengalami
kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui

4
telepon, bila diperbolehkan peraturan perundangan. Komunikasi lain yang
mudah terjadi kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis,
seperti laboratorium klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan
hasil pemeriksaan segera atau cito.

Profesional kesehatan seharusnya mempunyai kemampuan yang cukup untuk


berkomunikasi dengan keluarga pasien. Hal tersebut dapat meminimalkan
terjadinya miskomunikasi akibat dari mispersepsi yang berdampak terhadap
pelayanan rumah sakit. Dampak tersebut tidak hanya dari segi material tapi
juga citra pelayanan rumah sakit semakin menurun.

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), komunikasi efektif dokter pasien


adalah pengembangan hubungan dokter pasien secara efektif yang
berlangsung secara efisien, dengan tujuan utama penyampaian informasi atau
pemberian penjelasan yang diperlukan dalam rangka membangun kerjasama
antara dokter dengan pasien. Komunikasi yang dilakukan secara verbal dan
non verbal akan menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan
kesehatannya, peluang dan kendalanya, sehingga dapat bersama-sama
dokter mencari alternative untuk mengatasi permasalahnnya (KKI, 2006).

Tenaga kesehatan harus memperhatikan hak pasien termasuk hak menerima


informasi secara jelas sehingga pasien dan keluarganya akan merasa puas
terhadap pelayanan yang diberikan. Pasien yang puas merupakan aset yang
sangat berharga karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan
pemakaian terhadap jasa pilihannya, tetapi jika pasien merasa tidak puas
mereka akan memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang lain tentang
pengalaman buruknya.

Untuk menciptakan kepuasan pasien suatu perusahaan atau rumah sakit


harus menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pasien
yang lebih banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pasiennya. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan cara meningkatkan jasa pelayanan dengan
sebaik-baiknya, termasuk melakukan komunikasi terhadap pelanggan dalam
hal ini adalah pasien dengan mempertimbangkan latar belakang budaya
sehingga keluhan negative terhadap pelayanan kesehatan dapat
diminimalkan.

5
Komunikasi dapat bersifat informasi (asuhan) dan edukasi (pelayanan
promosi). Komunikasi yang bersifat informasi asuhan di dalam rumah sakit
adalah :
1. Jam pelayanan, berupa informasi tertulis di tempat-tempat tertentu, public
area, leaflet, lisan oleh frontliner.
2. Pelayanan yang tersedia.
3. Cara mendapatkan pelayanan, berupa komunikasi lisan oleh petugas front
office, UGD, semua titik-titik unit frontliner.
4. Sumber alternatif mengenai asuhan dan pelayanan yang diberikan ketika
kebutuhan asuhan pasien melebihi kemampuan rumah sakit.
Akses informasi ini dapat diperoleh melalui custumer service, admission,
website.

Komunikasi yang bersifat edukasi (pelayanan promosi) di dalam rumah sakit


adalah :
1. Edukasi tentang obat.
2. Edukasi tentang penyakit.
3. Edukasi pasien tentang apa yang harus dihindari.
4. Edukasi tentang apa yang harus dilakukan pasien untuk meningkatkan
kualitas hidupnya pasca dari rumah sakit.
5. Edukasi tentang gizi.

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), keterampilan berkomunikasi


berlandaskan empat unsur yang merupakan inti komunikasi:
1. Sumber (yang menyampaikan informasi). Siapa dia? Seberapa luas/dalam
pengetahuannya tentang informasi yang disampaikannya?
2. Isi pesan (apa yang disampaikan). Panjang pendeknya, kelengkapannya
perlu disesuaikan dengan tujuan komunikasi, media penyampaian dan
penerimanya.
3. Media yang digunakan. Apakah hanya berbicara? Apakah percakapan
dilakukan secara tatap muka atau melalui telepon, menggunakan lembar
lipat, buklet, vcd dan alat peraga.
4. Penerima (yang diberi informasi). Bagaimana karakternya? Apa
kepentingannya? (langsung atau tidak langsung).

6
Keempat unsur ini masih perlu dilengkapi dengan umpan balik. Dokter sebagai
sumber atau pengirim pesan harus mencari tahu hasil komunikasinya (apa
yang dimengerti pasien?).
Sejalan dengan keterampilan yang termuat dalam empat unsur ditambah
umpan balik tersebut, diperlukan kemampuan dalam hal-hal berikut:
1. Cara berbicara, termasuk cara bertanya (kapan menggunakan pertanyaan
tertutup dan kapan memakai pertanyaan terbuka), menjelaskan,
klarifikasi, paraphrase dan intonasi.
2. Mendengar, termasuk memotong kalimat.
3. Cara mengamati (observasi), agar dapat memahami yang tersirat di balik
yang tersurat (bahasa non verbal di balik ungkapan kata/kalimatnya, gerak
tubuh).
4. Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan pasien (bahasa tubuh) agar
tidak mengganggu komunikasi, misalnya karena pasien keliru mengartikan
gerak tubuh, raut muka dan sikap dokter.
BAB III
TATA LAKSANA

A. Pelaksanaan Komunikasi Efektif


1. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien
Dalam hubungan tenaga medis dan pasien, baik dokter maupu pasien
dapat berperan sebagai sumber atau pengirim pesan dan penerima
pesan secara bergantian.Pasien sebagai pengirim pesan dan penerima
pesan secara bergantian.

Pasien sebagai pengirim pasien, menyampaikan apa yang dirasakan


atau menjawab pertanyaab tenaga medis sesuai pengetahuannya.
Sementara tenaga medis sebagai pengirim pesan, berperan pada saat
menyampaikan penjelasan penyakit, rencana pengobatan dan terapi,
efek samping obat yang mungkin terjadi serta dampak dan dilakukan
dan tidak dilakukannya terapi tertentu. Dalam penyampaian ini, tenaga
medis bertanggung jawab untuk memastikan pasien memahami apa
yang disampaikan.

Sebagai penerima pesan, dokter perlu berkonsentrasi dan


memperhatikan setiap pernyataan pasien. Untuk memastikan apa yang
dimaksud oleh pasien, dokter sesekali perlu membuat pertanyaan atau

7
pernyataan klarifikasi. Mengingat kesenjangan informasi dan
pengetahua yang ada antara dokter dan pasien, dokter perlu secara
proaktif memastikan apakah pasien benar-benar memahami pesan
yang telah disampaikannya. Misalnya dalam menginterpretasikan kata
“panas”. Dokter yang mempunyai pasien berumur dua tahun
memesankan kepada ibu pasien.“ Kalau dia panas, berikan obatnya”
Pengertian panas oleh ibu pasien mungkin saja berbeda dengan yang
dimaksudkan oleh dokter.

Dokter perlu mencari cara untuk memastikan si ibu mempunyai


pemahaman yang sama, misalnya dengan menggunakan ukuran yang
tepat yaitu termometer. Dokter mengajarkan cara menggunakan
termometer untuk mengetahui keadaan anaknya. Si Ibu diminta
memberikan obat yang telah diresepkan dokter kepada anaknya
apabila suhu tubuh anak mencapai angka tertentu yang dimaksud
dokter mengalami “panas”

Dalam dunia kesehatan, warna yang berbeda, ukuran yang berbeda,


rasa yang berbeda menjadi hal yang sangat vital karena bisa
membedakan intensitas radang, intensitas nyeri yang pada akhirnya
bermuara pada perbedaan diagnosis maupun jenis obat yang harus
diminum. Peran dokter sebagai fasilitator pembicaraan amat penting
agar tidak terjadi salah interpretasi.

Silverman (1998) menjelaskan bahwa komunikasi efektif tidak berhenti


sampai pemberi pesan selesai menyampaikan maksudnya. Komunikasi
baru dapat dikatakan lengkap ketika pembicara mendapatkan umpan
balik dari penerima yang meyakinkannya bahwa tujuan komunikasinya
tercapai (penerima pesan memahami sesuai yang diharapkan).

Disease Centered Communication Style adalah komunikasi


berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis,
termasuk penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan
gejala.

Ilness Centered Communication Style adalah komunikasi berdasarkan


apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu

8
merupakan pegalaman unik, termasuk pendapat pasien, apa yang
menjadi kepentingannya, apa kekhawatirannya, harapannya apa, apa
yang dipikirkannya akan menjadi akibat dari penyakitnya (Kurtz, 1998).

Pada dasarnya komunikasi efektif adalah bagaimana menyatukan


sudut pandang pasien maupun dokter menjadi sebuah bentuk relasi
dokter-pasien (doctor-patient relationship), keduanya berada dalam
level yang sejajar dan saling bekerjasama untuk menyelesaikan
masalah kesehatan pasien.

Di Dunia kedokteran, model proses komunikasi tersebut telah


dikembangkan oleh Van Dalen (2005) menjadi sebuah model yang
sangat sederhana dan aplikatif.

1 3
2 3

 Kotak 1 :
Pasien memimpin pembicaraan melalui pertanyaan terbuka yang
dikemukakan oleh dokter (Patient takes the lead through open
ended question by doctor).
 Kotak 2 :
Dokter memimpin pembicaraan melalui pertanyaan
tertutup/terstruktur yang telah disusunnya sendiri (Doctor takes
the lead through closed question by the order).
 Kotak 3 :
Kesepakatan apa yang harus dan akan dilakukan berdasarkan
negosiasi kedua belah pihak (Negotiating agenda by both).

Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya


akan melahirkan keyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak,
khusunya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati.
Empati dapat diraih melalui kecukupan dokter akan listening skills and
training skills yang dapat diraih melalui latihan.

9
Carma L Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic
Communication in Physician-Patient Encounter 2002, menyatakan
betapa pentingnya empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini
empati disusun dalam batasan definisi berikut :
a. Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan
pasien
b. Kemampuan afektifitas/sensitifitas terhadap perasaan pasien
c. Kemampuan perilaku dokter dalam
memperlihatkan/menyampaikan empati kepada pasien.

2. Komunikasi Efektif Perawat-Pasien


Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, komunikasi merupakan
salah satu faktor penting dimana terjadi proses pertukaran informasi
secara verbal dalam pertemuan tatap muka antara perawat dengan
pasien. Kemampuan dalam melakukan komunikasi interpersonal yang
efektif akan menentukan kualitas asuhan yang diberikan.

Dalam setiap tahapan pelaksanaan proses keperawatan perawat selalu


menggunakan komunikasi verbal, oleh karena itu perawat harus
memahami hal-hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi verbal.

Tahapan komunikasi dalam keperawatan meliputi tahap pengkajian,


perumusan diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
a. Tahap Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal proses pelayanan di rumah sakit
yang dilaksanakan oleh petugas admisi/registrasi dan perawat
untuk mengumpulkan data pasien yang diperlukan sebagai dasar
pelaksanaan proses keperawatan pada tahap selanjutnya.
Data pasien diperoleh dari :
1) Wawancara
 Wawancara Admisi
Wawancara ini dilakukan pada saat pasien masuk rumah
sakit dengan tujuan mendapatkan data umum dan data
pasien
 Wawancara riwayat hidup
Wawancara ini dilakukan perawat untuk mendapatkan
informasi tentang keluhan dan riwayat kesehatan pasien

10
serta perjalanan penyakitnya. Tujuan melakukan wawancara
ini adalah untuk mengetahui alasan pasien datang ke
rumah sakit dan menjadi acuan rencana tindakan
keperawatan.
 Wawancara terapetik
Wawancara ini ditekankan pada fakta, ide dan isi dalam
rangka pengembangan hubungan sehat yang bertujuan
untuk membantu pasien mengidentifikasi
masalahnya.Wawancara ini memberikan peluang kepada
pasien untuk mengungkapkan perasaan, mengenal dan
mengetahui masa lalunya.
Wawancara terapetik banyak digunakan oleh profesional
kesehatan seperti perawat, dokter, psikolog dan psikiater.
2) Pemeriksaan fisik
3) Pemeriksaan diagnostik
4) Informasi dari tenaga medis lain dan dari keluarga pasien

Kemampuan berkomunikasi juga sangat berpengaruh pada


kelengkapan data pasien, oleh karena itu peningkatan komunikasi
seorang perawat perlu mendapat perhatian. Dalam berkomunikasi
perawat perlu memperhatikan budaya yang berpengaruh pada waktu
dan tempat terjadinya komunikasi, penggunaan bahasa, usia dan
perkembangan pasien.

Ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi pasien dalam


menyampaikan, menerima dan memahami informasi yang
diterimanya. Beberapa hal yang menjadi kendala antara lain :
 Kemampuan bahasa
Perawat perlu memperhatikan bahasa yang mampu dipahami oleh
pasien dalam berkomunikasi karena penguasaan bahasa sangat
berpengaruh terhadap persepsi dan penafsiran pasien dalam
menerima informasi yang sesuai
 Ketajaman panca indera
Ketajaman panca indera dalam mendengar, melihat, merasa dan
mencium bau merupakan faktor penting dalam komunikasi. Pasien
akan dapat menerima pesan komunikasi dengan baik apabila
panca inderanya berfungsi dengan baik.

11
Bagi pasien yang mengalami gangguan pendengaran ada tahapan
yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengkajian, yaitu
informasi medik yang mengindikasikan adanya kelemahan
pendengaran, memperhatikan kemampuan pasien membaca
ekspresi wajah dan gerak bibir perawat, dan apakah pasien
mampu menggunakan gerak isyarat sebagai bentuk komunikasi
non verbal.
 Kelemahan fungsi kognitif
Adanya gangguan/kelemahan pada fungsi kognitif dapat
mempengaruhi kemampuan pasien untuk mengungkapkan dan
memahami bahasa. Dalam mengkaji pasien ini perawat harus
dapat menilai respon baik secara verbal maupun non verbal yang
disampaikan oleh pasien dalam menjawab pertanyaan.
 Gangguan struktural
Gangguan struktural tubuh terutama yang berhubungan langsung
dengan organ suara seperti mulut dan hidung dapat berpengaruh
pada proses komnikasi.
b. Tahap Perumusan Diagnosis
Diagnosis dirumuskan atas dasar data yang diperoleh dari tahap
pengkajian. Perumusan diagnosis keperawatan merupakan hasil
penilaian perawat dengan melibatkan pasien dan keluarganya,
tenaga kesehatan lain yang berkenaan dengan masalah yang
dialami pasien. Diagnosis keperawatan yang tepat memerlukan
sikap komunikatif perawat dan sikap kooperatif pasien.
c. Tahap Perencanaan
Pengembangan rencana tindakan keperawatan kepada pasien
diperlukan interaksi dan komunikasi dengan pasien. Hal ini untuk
menentukan alternatif rencana keperawatan yang akan diterapkan,
misalnya sebelum memberikan makanan kepada pasien, perawat
harus terlebih dahulu mengetahui makanan yang sesuai bagi
pasien. Rencana tindakan yang dibuat oleh perawat merupakan
media komunikasi antar tenaga kesehatan yang berkesinambungan
sehingga pelayanan dapat dilaksanakan secara teratur dan efektif.
d. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan realisasi dari perencanaan yang
telah ditetapkan terlebih dahulu. Aktifitas ini memerlukan
keterampilan komunikasi dalam berinteraksi dengan pasien.

12
Pada saat menghadapi pasien perawat perlu:
1) Menunjukkan raut wajah yang mencerminkan ketulusan agar
tercipta suasana saling percaya saat berkomunikasi
2) Kontak pandang yang menunjukkan perhatian dan
kesungguhan perawat
3) Fokus pada pasien
4) Bersikap terbuka untuk menumbuhkan keberanian pasien
dalam mengikuti tindakan keperawatan yang dilakukan
5) Mendengarkan secara seksama dan penuh perhatian untuk
mendapatkan informasi dari pasien. Perawat lebih banyak
mendengarkan daripada berbicara. Hal ini akan menimbulkan
kepercayaan pasien pada perawat.
6) Mendengarkan keluhan pasien dan memahami perasaan
7) Perawat mampu menjelaskan keadaan pasien
8) Perawat mampu menjadi pembimbing dan konseling terhadap
pasien
9) Bersikap tenang selama berada didepan pasien.
Dalam berkomunikasi di rumah sakit petugas dan tenaga medis
harus melakukan proses verifikasi terhadap akurasi dari komunikasi
lisan dengan Catat, baca kembali dan konfirmasi ulang (CABAK)
yaitu :
 Pemberi pesan memberikan pesan secara lisan
Komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui sarana
komunikasi seperti telepon. Pemberi pesan harus memperhatikan
kosa kata yang digunakan, intonasi, kekuatan suara, jelas, singkat
dan padat.
 Penerima pesan mencatat isi pesan (CATAT)
Untuk menghindari adanya pesan yang terlewat maka penerima
pesan harus mencatat pesan yang diberikan secara jelas.
 Isi pesan dibacakan kembali secara lengkap oleh petugas
penerima pesan (BACA)
Setelah pesan dicatat, penerima pesan harus membacakan
kembali pesan tersebut kepada pemberi pesan agar tidak terjadi
kesalahan dan pesan dapat diterima dengan baik.
 Penerima pesan mengkonfirmasikan kembali isi pesan kepada
pemberi pesan (KONFIRMASI)

13
Pemberi pesan harus mendengarkan pesan yang dibacakan
kembali oleh penerima pesan dan memberikan perbaikan bila
pesan tersebut masih ada yang kurang atau salah.
Sistem CABAK dapat diilustrasikan dengan skema sebagai berikut
:

3. Komunikasi antar pemberi layanan (dokter, tenaga


keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya)
Dalam memberikan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Sari Asih
Karawaci antar pemberi layanan komunikasi yang terjadi menggunakan
tekhnik SBAR.

SBAR merupakan suatu tekhnik komunikasi yang dipergunakan dalam


melakukan identifikasi terhadap pasien sehingga mampu
meningkatkan kemampuan komunikasi antara perawat dan dokter.
Dengan komunikasi SBAR ini maka perawat dapat memberikan laporan
mengenai kondisi pasien lebih informatif dan terstruktur.

SBAR merupakan kerangka acuan dalam pelaporan kondisi pasien yang


memerlukan perhatian dan tindakan segera. Tekhnik SBAR terdiri dari
unsur Situation, Background, Assessment, Recommendation. Pada
prinsipnya SBAR merupakan komunikasi standar yang ingin menjawab
pertanyaan, yaitu apa yang terjadi, apa yang diharapkan oleh perawat
dari dokter yang dihubungi dan kapan dokter harus mengambil
tindakan.
Empat (4) Unsur SBAR
1. Situation
Menjelaskan kondisi terkini yang terjadi pada pasien
2. Background
Berisi informasi penting apa yang berhubungan dengan kondisi
pasien saat ini
3. Assessment
Hasil pengkajian kondisi pasien terkini
4. Recommendation

14
Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pasien saat ini

a. Komunikasi Informasi Asuhan


Komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi asuhan
ini biasanya dilakukan oleh petugas customer service, registrasi
dan admission yang meliputi:
1) Jam pelayanan
2) Pelayanan yang tersedia
3) Cara mendapatkan pelayanan
4) Sumber alternatif mengenai asuhan pelayanan yang
diberikan ketika kebutuhan pasien melebihi kemampuan
rumah sakit
Contoh sikap petugas customer service, registrasi dan admission
ketika menerima pasien:
 Berdiri ketika pasien datang
 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri (“selamat
pagi/siang/sore/malam, saya…(nama))
 Mempersilahkan pasien duduk
 Menanyakan nama pasien (Maaf, dengan bapak/ibu?)
 Tawarkan bantuan kepada pasien (“Ada yang bisa dibantu
Bpk/Ibu….(nama))

15
 Menciptakan suasana yang nyaman (Isyarat bahwa punya
cukup waktu, menganggap penting informasi yang akan
diberikan, menghindari tampak lelah)
 Menilai suasana lawan bicara
 Memperlihatkan sikap non verbal (raut wajah, mimik,
gerak/bahasa tubuh dari pasien)
 Menatap mata pasien secara profesional yang lebih terkait
dengan makna menunjukkan perhatian dan kesungguhan
mendengarkan
 Memberikan informasi yang diperlukan pasien
 Memberikan informasi jadwal praktek/paket dan langsung
tanyakan apakah mau dibantu untuk dibuatkan perjanjian
 Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan
interupsi yang tidak perlu
 Memberikan solusi yang tepat dan cepat bila ada keluhan yang
disampaikan
 Apabila pasien marah, menangis, takut dan sebaginya maka
dokter tetap menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang
 Menawarkan kembali bantuan kepada pasien (“ada lagi yang
bisa kami bantu bapak/ibu?)
 Mengucapkan salam penutup (“terima kasih atas waktunya
bpk/ibu. Apa bila adalagi yang bisa saya bantu, kami siap
melayani penuh cinta kasih)
 Berdiri ketika pasien pulang
b. Komunikasi Edukasi Pasien dan Keluarga pasien
Petugas rumah sakit berkewajiban untuk melakukan edukasi
kepada pasien dan keluarga pasien sehingga pasien dan
keluarga pasien bisa memahami pentingnya mengikuti proses
pengobatan, tindakan, gizi, rehabilitasi medik, manajemen nyeri
dan manajemen jatuh yang telah ditetapkan.
Terdapat 3 tahap dalam pemberian edukasi
1) Tahap asesmen pasien
Sebelum melakukan edukasi, pertama-tama petugas menilai
kebutuhan edukasi pasien dan keluarga pasien berdasarkan
formulir asesmen kebutuhan pasien
Hal-hal yang perlu diperhatikan:

16
 Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga
 Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang
digunakan
 Hambatan emosional dan motivasi
 Keterbatasan fisik dan kognitif
 Ketersediaan pasien untuk menerima informasi
2) Tahap penyampaian informasi
Cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif
tergantung pada hasil asesmen pasien, yaitu :
 Jika pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya
senang, maka proses komunikasi edukasinya bisa langsung
dijelaskan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan
edukasinya
 Jika pasien memiliki ambatan fisik (tuna rungu dan tuna
wicara) maka proses komunikasi edukasinya dapat
disampaikan dengan menggunakan media cetak seperti
brosur yang diberikan kepada pasien dan keluarga
sekandung (istri, anak, ayah, ibu atau saudara sekandung)
dan menjelaskannya kepada mereka.
 Jika pasien memiliki hambatan emosional (pasien marah atau
depresi) maka proses komunikasi edukasinya juga dapat
disampaikan dengan menggunakan media cetak seperti
brosur dan menyarankan pasien untuk membacanya.
3) Tahap Verifikasi
Pada tahap ini, petugas memastikan kepada pasien dan
keluarga mengenai kejelasan dan pemahaman edukasi yang
diberikan:
 Apabila pada saat pemberian edukasi, pasien dalam kondisi
baik dan senang maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara
menanyakan kembali edukasi yang telah diberikan
 Untuk pasien yang mengalami hambatan fisik maka veriikasi
dapat dilakukan dengan cara menanyakan kepada
keluarganya dengan pertanyaan yang sama, yaitu “Apakah
Bpk/Ibu bisa memahami materi edukasi yang kami berikan?”
 Untuk pasien yang mengalami hambatan emosional (marah,
depresi) maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara

17
menanyakan kepada pasien mengenai sejauh mana pasien
telah mengerti tentang materi edukasi yang diberikan melalui
brosur. Proses pertanyaan ini bisa melalui telepon atau
datang langsung ke kamar pasien setelah pasien tenang

Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien diharapkan


komunikasi yang disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan
oleh pasien. Apabila pasien mengikuti semua arahan dari rumah
sakit diharapkan mempercepat proses penyembuhan pasien.

B. PELAKSANAAN KOMUNIKASI EFEKTIF


1. Komunikasi Efektif di Ruang Pendaftaran
Pendaftaran dapat dilakukan oleh pasien melalui 2 (dua) cara, yaitu :
a. Melalui telepon
Komunikasi yang dilakukan melalui telepon, dimana saat
mendaftar pasien diminta menyebutkan namadokter yang dituju,
nama pasien dan nomor rekam medis oleh petugas operator.
Petugas operator akan mengkonfirmasi apa yang didengarnya
untuk input pendaftaran.
Dalam melakukan konfirmasi, komunikan terkadang menghadapi
kesulitan menuliskan sesuatu informasi sehingga harus
menjabarkan hurufnya satu per satu dengan menggunakan
alfabeth, sebagai berikut:
Kode Alfabet Internasional (Sumber : Wikipedia)

18
b. Datang langsung
Saat pasien datang ke rumah sakit, maka tempat yang pertama
kali harus dikunjunginya adalah ruang/tempat pendaftaran, dimana
terdapat meja untuk mendaftar. Setelah pendaftaran selesai,
barulah mereka satu demi satu diarahkan ke tempat yang sesuai

19
dengan pelayanan yang dibutuhkan. Kontak awal dengan rumah
sakit ini, perlu disambut dengan 4S (senyum, sambut, sapa, salam)
oleh petugas pendaftaran. Sambutan tersebut berupa salam
hangat yang dapat membuat mereka merasa tentram berada di
rumah sakit. Di tempat tersebut, pasien akan ditanya keperluannya
dan akan diarahkan sesuai dengan keperluan yang dituju.

2. Komunikasi Efektif Rawat Jalan


Saat pasien berada di Instalas Rawat Jalan pasien harus melakukan
timbang, tensi, atau ukur tinggi badan di ruang nurse station (NS).
Perawat akan melakukan komunikasi dengan melakukan 4S (senyum,
sambut, sapa, salam) dan mengarahkan pasien sesuai dengan
dokter/keperluan yang dituju.

Rumah sakit menyediakan ruangan poliklinik untuk pasien rawat jalan


yang memerlukan konsultasi atau ingin mendapatkan informasi.
Konsultasi dilayani oleh dokter spesialis, dokter umum, bidan dan
konselor.

Konsultasi dapat dilakukan secara individual dan berkelompok.


Konsultasi secara berkelompok contohnya kursus pra persalinan,
kursus perawatan bayi dan senam hamil. Ruang konsultasi dilengkapi
dengan media komunikasi seperti laptop, LCD dan gambar-gambar.

Pihak yang paling berpengaruh terhadap pasien rawat jalan adalah


orang yang mengantarkannya ke rumah sakit. Mereka ini tidak dalam
keadaan sakit, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan
informasi dari berbagai media komunikasi yang tersedia di poliklinik.
Oleh karena itu di setiap poliklinik, khususnya ruang tunggu, dipasang
poster-poster, disediakan selebaran (leaflet), dipasang televisi dan
VCD/DVD player yang dirancang untuk menayangkan informasi
tentang kesehatan.

Konsultasi yang dilakukan secara individual dilakukan dengan sikap


profesional, menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), sikap
profesional ini penting untuk membangun rasa nyaman, aman, dan
percaya yang merupakan landasan bagi berlangsungnya komunikasi

20
secara efektif (Silverman, 1998). Sikap profesional ini hendaknya
dijalin terus-menerus sejak awal konsultasi, selama proses konsultasi
berlangsung, dan di akhir konsultasi.

3. Komunikasi Efektif Rawat Inap


Pada saat pasien sudah masuk rawat inap, umumnya pasien sangat
ingin mengetahui seluk-beluk penyakitnya. Sementara pasien dengan
penyakit kronis dapat menunjukkan reaksi yang berbeda-beda seperti
apatis, agresif atau menarik diri.

Hal ini disebabkan penyakit kronis umumnya memberikan pengaruh


fisik dan kejiwaan serta dampak sosial kepada penderitanya. Kepada
pasien seperti ini, kesabaran dari petugas rumah sakit sangat
diharapkan, khususnya dalam pelaksanaan komunikasi
pemberdayaan. Beberapa cara komunikasi pemberdayaan dapat
dilakukan melalui konseling sebagai berikut :
a. Konseling di Tempat Tidur
Konseling di tempat tidur (bedside conseling) dilakukan terhadap
pasien rawat inap yang belum dapat atau masih sulit
meninggalkan tempat tidurnya dan harus terus berbaring. Dalam
hal ini, perawat yang menjadi konselor harus mendatangi setiap
pasien, duduk di samping tempat tidur pasien tersebut dan
melakukan pelayanan konseling.
Dalam melakukan konseling di tempat tidur, konselor membawa
alat peraga dan bila memungkinkan dapat membawa VCD/DVD
yang berisi informasi tentang penyakit pasien tersebut.
b. Konseling Berkelompok
Terhadap pasien yang dapat meninggalkan tempat tidurnya, dapat
dilakukan konseling secara berkelompok. Untuk itu, di ruang
perawatan harus disediakan suatu tempat atau ruangan untuk
berkumpul.
Konseling berkelompok ini selain untuk meningkatkan
pengetahuan serta mengubah sikap dan perilaku pasien, juga
sebagai sarana komunikasi yang berfungsi sebagai sosialisasi
kepada pasien-pasien.

21
Untuk konseling berkelompok sebaiknya digunakan alat peraga
atau media komunikasi seperti flipchart, poster, standing banner,
laptop dan LCD untuk menayangkan gambar atau film.
Di Rumah Sakit Sari Asih Karawaci konseling berkelompok
dilakukan melalui senam hamil, kursus prapersalinan dan kursus
perawatan bayi.
Lingkungan yang berpengaruh besar terhadap pasien rawat inap
adalah para penjenguk (pembesuk).
Agar para penjenguk tertib, dapat disediakan ruang tunggu yang
dilengkapi dengan poster dan leaflet tentang pendidikan kesehatan
secara gratis atau televisi yang menayangakan berbagai pesan
kesehatan dari VCD/DVD player, sehingga diharapkan para
penjenguk memperoleh informasi yang nantinya dapat
disampaikan kepada pasien yang akan dibesuknya.

C. KOMUNIKASI SAAT MEMBERIKAN EDUKASI TERKAIT KONDISI


KESEHATAN PASIEN
Prosesnya :
1. Tahap asesmen pasien : Sebelum melakukan edukasi, petugas
menilai dulu kebutuhan edukasi pasien dan keluarga berdasarkan:
(data ini didapatkan dari RM):
a. Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga.
b. Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang
digunakan.
c. Hambatan emosional dan motivasi. (emosional: depresi, senang
dan marah)
d. Keterbatasan fisik dan kognitif.
e. Ketersediaan pasien untuk menerima informasi.
2. Tahap cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif.
Setelah melalui tahap asesmen pasien, di temukan :
a. Pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya senang, maka
proses komunikasinya mudah disampaikan.
b. Jika pada tahap asesmen pasien di temukan hambatan fisik (tuna
rungu dan tuna wicara), maka komunikasi yang efektif adalah
memberikan leaflet kepada pasien dan keluarga sekandung (istri,
anak, ayah, ibu, atau saudara sekandung) dan menjelaskannya
kepada mereka.

22
c. Jika pada tahap asesmen pasien ditemukan hambatan emosional
pasien (pasien marah atau depresi), maka komunikasi yang efektif
adalah memberikan materi edukasi dan menyarankan pasien
membaca leaflet. Apabila pasien tidak mengerti materi edukasi,
pasien bisa menghubungi medical information.
3. Tahap cara verifikasi bahwa pasien dan keluarga menerima dan
memahami edukasi yang diberikan:
a. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan
informasi, kondisi pasien baik dan senang, maka verifikasi yang
dilakukan adalah: menanyakan kembali eduksi yang telah
diberikan.
Pertanyaannya adalah: “ Dari materi edukasi yang telah
disampaikan, kira-kira apa yang bpk/ibu bisa pelajari ?”.
b. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan
informasi, pasiennya mengalami hambatan fisik, maka
verifikasinya adalah dengan pihak keluarganya dengan
pertanyaan yang sama: “Dari materi edukasi yang telah
disampaikan, kira-kira apa yang bpk/ibu bisa pelajari ?”.
c. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan
informasi, ada hambatan emosional (marah atau depresi), maka
verifikasinya adalah dengan tanyakan kembali sejauh mana
pasiennya mengerti tentang materi edukasi yang diberikan dan
pahami. Proses pertanyaan ini bisa via telepon atau datang
langsung ke kamar pasien setelah pasien tenang.

Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien, diharapkan


komunikasi yang disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh
pasien. Dengan pasien mengikuti semua arahan dari rumah sakit,
diharapkan mempercepat proses penyembuhan pasien.
Setiap petugas dalam memberikan informasi dan edukasi pasien, wajib
untuk mengisi formulir edukasi dan informsi, dan ditandatangani kedua
belah pihak antara dokter dan pasien atau keluarga pasien. Hal ini
dilakukan sebagai bukti bahwa pasien dan keluarga pasien sudah
diberikan edukasi dan informasi yang benar.

23
24
BAB IV
DOKUMENTASI

Komunikasi via telephone atau lisan didokumentasikan pada formulir catatan


terintegrasi rawat inap, edukasi yang sudah dilakukan di dokumentasikan
pada formulir identifikasi kebutuhan pendidikan dan pemberian kesehatan
terintegrasi.

Hasil kegiatan yang terkait dengan komunikasi efektif dilaporkan secara


berkesinambungan dengan kegiatan pendidikan pasien dan keluarga serta
asesmen pasien.

25

Anda mungkin juga menyukai