Anda di halaman 1dari 31

PANDUAN KOMUNIKASI EFEKTIF RS

BAB I
DEFINISI

1. Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pikiran atau informasi


dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang
lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikirian-
pikiran atau informasi.
2. Proses komunikasi efektif adalah pesan diterima dan dimengerti sebagaimana
dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah
perbuatan oleh penerimaan pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu.

Gambar 1.
INCLUDEPICTURE "http://2.bp.blogspot.com/-NC_X-
X6El_Q/UF61TibQ0vI/AAAAAAAABSo/CFEDRBS_LNw/s1600/komunikasi.p
ng" \* MERGEFORMATINET

1
Gambar 2.
INCLUDEPICTURE "http://maroebeni.files.wordpress.com/2008/09/model-
komunikasi-pemasaran1.jpg" \* MERGEFORMATINET

3. Komponen komunikasi pokok adalah :


a. Pengirim (komunikator), yaitu orang yang mengkomunikasikan atau
menghubungkan suatu pesan kepada orang lain (dokter, perawat, petugas
admission, dan lainnya).
Komunikator yang baik adalah komunikator yang menguasai materi,
pengetahuannya luas dan dalam tentang informasi yang disampaikan, cara
berbicaranya jelas dan menjadi pendengar yang baik saat dikonfirmasi
oleh si penerima pesan (komunikan).

2
b. Penerima (komunikan), yaitu orang yang menerima pesan (pasien,
keluarga pasien, perawat, dokter, petugas admission, dan lainnya).
c. Media, yaitu sarana komunikasi yang berperan sebagai jalan atau saluran
yang dilalui isi pernyataan yang disampaikan pengirim atau umpan balik
yang disampaikan penerima.
d. Berita dapat berupa lisan, tertulis atau keduanya sekaligus. Pada
kesempatan tertentu, media dapat tidak digunakan oleh pengirim yaitu saat
komunikasi berlangsung atau tatap muka dengan efek yang mungkin
terjadi berupa perubahan sikap. Media yang dapat digunakan melalui
telepon, lembar lipat, buklet, video, peraga.
e. Pesan, yaitu berupa gagasan, pendapat dan sebagainya yang sudah
dituangkan dalam suatu bentuk dan melalui lembaga komunikasi
diteruskan kepada orang lain atau komunikan.
f. Feed back (umpan balik), yaitu respon dari penerima terhadap pesan yang
diterimanya.
Pada saat melakukan proses umpan balik, diperlukan kemampuan dalam
hal-hal berikut :
1) Cara berbicara (talking), termasuk cara bertanya (kapan menggunakan
pertanyaan tertutup dan kapan memakai pertanyaan terbuka),
menjelaskan klarifikasi, parapharase, intonasi.
2) Mendengar (listening), termasuk memotong kalimat.
3) Cara mengamati (observation) agar dapat memahami yang tersirat di
balik yang tersurat (bahasa non verbal di balik ungkapan kata /
kalimatnya, gerak tubuh).
4) Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan komunikan (bahasa
tubuh) agar tidak mengganggu komunikasi, misalnya karena
komunikan keliru mengartikan gerak tubuh, raut tubuh, raut muka, dan
sikap komunikator.
g. Di samping komponen-komponon pokok tersebut dapat ditambahkan
komponen lainnya seperti :

3
1) Sumber, asal suatu gagasan atau pendapat yang menjadi suatu pesan.
Sumber bisa berupa lembaga, kejadian, atau diri kita sendiri.
2) Media komunikasi, yang merupakan sarana atau alat-alat atau saluran-
saluran yang dipergunakan untuk menyalurkan pesan yang akan
dikomunikasikan.
3) Kegiatan encoding, artinya menuangkan gagasan atau pendapat dalam
suatu bentuk pesan yang dinyatakan oleh komunikator kepada
komunikan.
4) Kegiatan decoding, artinya kegiatan untuk memahami suatu pesan
yang diterima oleh komunikan dari komunikator.
5) Tujuan yang berupa komunikan, bisa merupakan hadirin, massa, atau
kelompok, atau pula perseorangan.
4. Komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, jelas dan mudah dipahami
oleh penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan
(kesalahpahaman).
5. Komunikasi efektif via telepon adalah komunikasi melalui telepon yang
dilakukan tepat waktu, secara akurat , lengkap ,jelas, dimengerti , tidak
duplikasi dan tepat kepada penerima informasi untuk mengurangi kesalahan
dan untuk meningkatkan keselamatan pasien.
6. Pelaporan nilai kritis hasil laboratorium adalah cara melaporkan hasil
laboratorium yang nilainya memiliki resiko besar akan menimbulkan masalah
dan harus segera dilaporkan.

4
BAB II
RUANG LINGKUP

Komunikasi sangatlah penting dalam hubungannya dengan professional


kesehatan. Tanpa adanya komunikasi sesuatu bisa dipersepsikan dan
diinterpretasikan berbeda dengan yang seharusnya. Apalagi orang yang
berhadapan dengan kita (tenaga kesehatan) mempunyai pengetahuan dan
pemahaman serta prior knowledge yang tidak sama dengan tenaga kesehatan.

Komunikasi yang sering digunakan di rumah sakit adalah komunikasi


verbal.Komunikasi yang efektif kepada pasien harus disampaikan dengan bahasa
yang sesederhana mungkin, mudah dipahami, tidak menggunakan istilah medis
yang tidak dipahami oleh pasien dan disampaikan secara langsung. Akan tetapi,
bukan berarti komunikasi non verbal dikesampingkan karena justru penggunaan
komunikasi non verbal sangat berperan penting. Isyarat non verbal menambah arti
terhadap pesan verbal yang disampaikan oleh tenaga kesehatan yang memberikan
asuhan kepada pasiennya.

Komunikasi yang efektif di dalam rumah sakit adalah merupakan suatu


issue/persoalan kepemimpinan. Jadi, pimpinan rumah sakit memahami dinamika
komunikasi antar anggota kelompok profesional, dan antara kelompok profesi,
unit stuktural; antara kelompok profesional dan non profesional; anatara
kelompok profesional kesehatan dengan manajemen; antara profesional kesehatan
keluarga; serta dengan pihak luar rumah sakit, sebagai contoh. Pimpinan rumah
sakit bukan hanya menyusun parameter dari komunikasi efektif, tetapi juga
berperan sebagai panutan (role model) dengan mengkomunikasikan secara efektif
misi, strategi, rencana dan informasi lain yang relevan. Pimpinan memberi
perhatian terhadap akurasi dan ketepatan waktu informasi di dalam rumah sakit.
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang dipahami
oleh resipien/penerima, akan mengurangi kesalahan dan menghasilkan
peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan atau

5
tertulis.Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah perintah
diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui telepon, bila diperbolehkan
peraturan perundangan. Komunikasi lain yang mudah terjadi kesalahan adalah
pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti laboratorium klinis menelpon
unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera atau cito.

Profesional kesehatan seharusnya mempunyai kemampuan yang cukup untuk


berkomunikasi dengan keluarga pasien. Hal tersebut dapat meminimalkan
terjadinya miskomunikasi akibat dari mispersepsi yang berdampak terhadap
pelayanan rumah sakit. Dampak tersebut tidak hanya dari segi material tapi juga
citra pelayanan rumah sakit semakin menurun.

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), komunikasi efektif dokter pasien


adalah pengembangan hubungan dokter pasien secara efektif yang berlangsung
secara efisien, dengan tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian
penjelasan yang diperlukan dalam rangka membangun kerjasama antara dokter
dengan pasien. Komunikasi yang dilakukan secara verbal dan non verbal akan
menghasilkan pemahaman pasien terhadap keadaan kesehatannya, peluang dan
kendalanya, sehingga dapat bersama-sama dokter mencari alternative untuk
mengatasi permasalahnnya (KKI, 2006).

Tenaga kesehatan harus memperhatikan hak pasien termasuk hak menerima


informasi secara jelas sehingga pasien dan keluarganya akan merasa puas
terhadap pelayanan yang diberikan. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat
berharga karena apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian
terhadap jasa pilihannya, tetapi jika pasien merasa tidak puas mereka akan
memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman
buruknya.
Untuk menciptakan kepuasan pasien suatu perusahaan atau rumah sakit harus
menciptakan dan mengelola suatu sistem untuk memperoleh pasien yang lebih
banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pasiennya. Hal tersebut dapat

6
dilakukan dengan cara meningkatkan jasa pelayanan dengan sebaik-baiknya,
termasuk melakukan komunikasi terhadap pelanggan dalam hal ini adalah pasien
dengan mempertimbangkan latar belakang budaya sehingga keluhan negative
terhadap pelayanan kesehatan dapat diminimalkan.

Komunikasi dapat bersifat informasi (asuhan) dan edukasi (pelayanan promosi).


Komunikasi yang bersifat informasi asuhan di dalam rumah sakit adalah :
1. Jam pelayanan, berupa informasi tertulis di tempat-tempat tertentu, public
area, leaflet, lisan oleh frontliner.
2. Pelayanan yang tersedia.
3. Cara mendapatkan pelayanan, berupa komunikasi lisan oleh petugas front
office, UGD, semua titik-titik unit frontliner.
4. Sumber alternatif mengenai asuhan dan pelayanan yang diberikan ketika
kebutuhan asuhan pasien melebihi kemampuan rumah sakit.
Akses informasi ini dapat diperoleh melalui custumer service, admission,
website.

Komunikasi yang bersifat edukasi (pelayanan promosi) di dalam rumah sakit


adalah :
1. Edukasi tentang obat.
2. Edukasi tentang penyakit.
3. Edukasi pasien tentang apa yang harus dihindari.
4. Edukasi tentang apa yang harus dilakukan pasien untuk meningkatkan kualitas
hidupnya pasca dari rumah sakit.
5. Edukasi tentang gizi.

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), keterampilan berkomunikasi


berlandaskan empat unsur yang merupakan inti komunikasi:
1. Sumber (yang menyampaikan informasi). Siapa dia? Seberapa luas/dalam
pengetahuannya tentang informasi yang disampaikannya?

7
2. Isi pesan (apa yang disampaikan). Panjang pendeknya, kelengkapannya perlu
disesuaikan dengan tujuan komunikasi, media penyampaian dan penerimanya.
3. Media yang digunakan. Apakah hanya berbicara? Apakah percakapan
dilakukan secara tatap muka atau melalui telepon, menggunakan lembar lipat,
buklet, vcd dan alat peraga.
4. Penerima (yang diberi informasi). Bagaimana karakternya? Apa
kepentingannya? (langsung atau tidak langsung).

Keempat unsur ini masih perlu dilengkapi dengan umpan balik. Dokter sebagai
sumber atau pengirim pesan harus mencari tahu hasil komunikasinya (apa yang
dimengerti pasien?).
Sejalan dengan keterampilan yang termuat dalam empat unsur ditambah umpan
balik tersebut, diperlukan kemampuan dalam hal-hal berikut:
1. Cara berbicara, termasuk cara bertanya (kapan menggunakan pertanyaan
tertutup dan kapan memakai pertanyaan terbuka), menjelaskan, klarifikasi,
paraphrase dan intonasi.
2. Mendengar, termasuk memotong kalimat.
3. Cara mengamati (observasi), agar dapat memahami yang tersirat di balik yang
tersurat (bahasa non verbal di balik ungkapan kata/kalimatnya, gerak tubuh).
4. Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan pasien (bahasa tubuh) agar tidak
mengganggu komunikasi, misalnya karena pasien keliru mengartikan gerak
tubuh, raut muka dan sikap dokter.
Ruang lingkup komunikasi dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum
Nirwana meliputi :
1. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien
2. Komunikasi Efektif Perawat-Pasien
3. Komunikasi antar pemberi layanan (dokter, tenaga keperawatan dan
tenaga kesehatan lainnya
4. Komunikasi Asuhan dan Edukasi

8
BAB III
TATA LAKSANA

A. Pelaksanaan Komunikasi Efektif


1. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien
Dalam hubungan tenaga medis dan pasien, baik dokter maupu pasien
dapat berperan sebagai sumber atau pengirim pesan dan penerima pesan
secara bergantian.Pasien sebagai pengirim pesan dan penerima pesan
secara bergantian.

Pasien sebagai pengirim pasien, menyampaikan apa yang dirasakan atau


menjawab pertanyaab tenaga medis sesuai pengetahuannya. Sementara
tenaga medis sebagai pengirim pesan, berperan pada saat menyampaikan
penjelasan penyakit, rencana pengobatan dan terapi, efek samping obat
yang mungkin terjadi serta dampak dan dilakukan dan tidak dilakukannya
terapi tertentu. Dalam penyampaian ini, tenaga medis bertanggung jawab
untuk memastikan pasien memahami apa yang disampaikan.

Sebagai penerima pesan, dokter perlu berkonsentrasi dan memperhatikan


setiap pernyataan pasien. Untuk memastikan apa yang dimaksud oleh
pasien, dokter sesekali perlu membuat pertanyaan atau pernyataan
klarifikasi. Mengingat kesenjangan informasi dan pengetahua yang ada
antara dokter dan pasien, dokter perlu secara proaktif memastikan apakah
pasien benar-benar memahami pesan yang telah disampaikannya.
Misalnya dalam menginterpretasikan kata “panas”. Dokter yang
mempunyai pasien berumur dua tahun memesankan kepada ibu pasien.“
Kalau dia panas, berikan obatnya” Pengertian panas oleh ibu pasien
mungkin saja berbeda dengan yang dimaksudkan oleh dokter.

Dokter perlu mencari cara untuk memastikan si ibu mempunyai


pemahaman yang sama, misalnya dengan menggunakan ukuran yang tepat

9
yaitu termometer. Dokter mengajarkan cara menggunakan termometer
untuk mengetahui keadaan anaknya. Si Ibu diminta memberikan obat yang
telah diresepkan dokter kepada anaknya apabila suhu tubuh anak mencapai
angka tertentu yang dimaksud dokter mengalami “panas”

Dalam dunia kesehatan, warna yang berbeda, ukuran yang berbeda, rasa
yang berbeda menjadi hal yang sangat vital karena bisa membedakan
intensitas radang, intensitas nyeri yang pada akhirnya bermuara pada
perbedaan diagnosis maupun jenis obat yang harus diminum. Peran dokter
sebagai fasilitator pembicaraan amat penting agar tidak terjadi salah
interpretasi.

Silverman (1998) menjelaskan bahwa komunikasi efektif tidak berhenti


sampai pemberi pesan selesai menyampaikan maksudnya. Komunikasi
baru dapat dikatakan lengkap ketika pembicara mendapatkan umpan balik
dari penerima yang meyakinkannya bahwa tujuan komunikasinya tercapai
(penerima pesan memahami sesuai yang diharapkan).

Disease Centered Communication Style adalah komunikasi berdasarkan


kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk
penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala.

Ilness Centered Communication Style adalah komunikasi berdasarkan apa


yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu
merupakan pegalaman unik, termasuk pendapat pasien, apa yang menjadi
kepentingannya, apa kekhawatirannya, harapannya apa, apa yang
dipikirkannya akan menjadi akibat dari penyakitnya (Kurtz, 1998).

Pada dasarnya komunikasi efektif adalah bagaimana menyatukan sudut


pandang pasien maupun dokter menjadi sebuah bentuk relasi dokter-pasien

10
(doctor-patient relationship), keduanya berada dalam level yang sejajar
dan saling bekerjasama untuk menyelesaikan masalah kesehatan pasien.

Di Dunia kedokteran, model proses komunikasi tersebut telah


dikembangkan oleh Van Dalen (2005) menjadi sebuah model yang sangat
sederhana dan aplikatif.

1 3
2 3

 Kotak 1 :
Pasien memimpin pembicaraan melalui pertanyaan terbuka yang
dikemukakan oleh dokter (Patient takes the lead through open ended
question by doctor).
 Kotak 2 :
Dokter memimpin pembicaraan melalui pertanyaan
tertutup/terstruktur yang telah disusunnya sendiri (Doctor takes the
lead through closed question by the order).
 Kotak 3 :
Kesepakatan apa yang harus dan akan dilakukan berdasarkan
negosiasi kedua belah pihak (Negotiating agenda by both).

Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan


melahirkan keyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khusunya
menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati dapat
diraih melalui kecukupan dokter akan listening skills and training skills
yang dapat diraih melalui latihan.

Carma L Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic


Communication in Physician-Patient Encounter 2002, menyatakan betapa

11
pentingnya empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun
dalam batasan definisi berikut :
a. Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan
pasien
b. Kemampuan afektifitas/sensitifitas terhadap perasaan pasien
c. Kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan
empati kepada pasien.

2. Komunikasi Efektif Perawat-Pasien


Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, komunikasi merupakan salah
satu faktor penting dimana terjadi proses pertukaran informasi secara
verbal dalam pertemuan tatap muka antara perawat dengan pasien.
Kemampuan dalam melakukan komunikasi interpersonal yang efektif akan
menentukan kualitas asuhan yang diberikan.

Dalam setiap tahapan pelaksanaan proses keperawatan perawat selalu


menggunakan komunikasi verbal, oleh karena itu perawat harus
memahami hal-hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi verbal.

Tahapan komunikasi dalam keperawatan meliputi tahap pengkajian,


perumusan diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
a. Tahap Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal proses pelayanan di rumah sakit
yang dilaksanakan oleh petugas admisi/registrasi dan perawat untuk
mengumpulkan data pasien yang diperlukan sebagai dasar pelaksanaan
proses keperawatan pada tahap selanjutnya.
Data pasien diperoleh dari :
1) Wawancara
 Wawancara Admisi
Wawancara ini dilakukan pada saat pasien masuk rumah sakit
dengan tujuan mendapatkan data umum dan data pasien

12
 Wawancara riwayat hidup
Wawancara ini dilakukan perawat untuk mendapatkan
informasi tentang keluhan dan riwayat kesehatan pasien serta
perjalanan penyakitnya. Tujuan melakukan wawancara ini
adalah untuk mengetahui alasan pasien datang ke rumah sakit
dan menjadi acuan rencana tindakan keperawatan.
 Wawancara terapetik
Wawancara ini ditekankan pada fakta, ide dan isi dalam rangka
pengembangan hubungan sehat yang bertujuan untuk
membantu pasien mengidentifikasi masalahnya.Wawancara ini
memberikan peluang kepada pasien untuk mengungkapkan
perasaan, mengenal dan mengetahui masa lalunya.
Wawancara terapetik banyak digunakan oleh profesional
kesehatan seperti perawat, dokter, psikolog dan psikiater.
2) Pemeriksaan fisik
3) Pemeriksaan diagnostik
4) Informasi dari tenaga medis lain dan dari keluarga pasien

Kemampuan berkomunikasi juga sangat berpengaruh pada kelengkapan


data pasien, oleh karena itu peningkatan komunikasi seorang perawat perlu
mendapat perhatian. Dalam berkomunikasi perawat perlu memperhatikan
budaya yang berpengaruh pada waktu dan tempat terjadinya komunikasi,
penggunaan bahasa, usia dan perkembangan pasien.

Ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi pasien dalam


menyampaikan, menerima dan memahami informasi yang diterimanya.
Beberapa hal yang menjadi kendala antara lain :
 Kemampuan bahasa
Perawat perlu memperhatikan bahasa yang mampu dipahami oleh
pasien dalam berkomunikasi karena penguasaan bahasa sangat

13
berpengaruh terhadap persepsi dan penafsiran pasien dalam menerima
informasi yang sesuai
 Ketajaman panca indera
Ketajaman panca indera dalam mendengar, melihat, merasa dan
mencium bau merupakan faktor penting dalam komunikasi. Pasien
akan dapat menerima pesan komunikasi dengan baik apabila panca
inderanya berfungsi dengan baik.
Bagi pasien yang mengalami gangguan pendengaran ada tahapan yang
perlu diperhatikan dalam melakukan pengkajian, yaitu informasi
medik yang mengindikasikan adanya kelemahan pendengaran,
memperhatikan kemampuan pasien membaca ekspresi wajah dan
gerak bibir perawat, dan apakah pasien mampu menggunakan gerak
isyarat sebagai bentuk komunikasi non verbal.
 Kelemahan fungsi kognitif
Adanya gangguan/kelemahan pada fungsi kognitif dapat
mempengaruhi kemampuan pasien untuk mengungkapkan dan
memahami bahasa. Dalam mengkaji pasien ini perawat harus dapat
menilai respon baik secara verbal maupun non verbal yang
disampaikan oleh pasien dalam menjawab pertanyaan.
 Gangguan struktural
Gangguan struktural tubuh terutama yang berhubungan langsung
dengan organ suara seperti mulut dan hidung dapat berpengaruh pada
proses komnikasi.
b. Tahap Perumusan Diagnosis
Diagnosis dirumuskan atas dasar data yang diperoleh dari tahap
pengkajian. Perumusan diagnosis keperawatan merupakan hasil
penilaian perawat dengan melibatkan pasien dan keluarganya, tenaga
kesehatan lain yang berkenaan dengan masalah yang dialami pasien.
Diagnosis keperawatan yang tepat memerlukan sikap komunikatif
perawat dan sikap kooperatif pasien.

14
c. Tahap Perencanaan
Pengembangan rencana tindakan keperawatan kepada pasien
diperlukan interaksi dan komunikasi dengan pasien. Hal ini untuk
menentukan alternatif rencana keperawatan yang akan diterapkan,
misalnya sebelum memberikan makanan kepada pasien, perawat harus
terlebih dahulu mengetahui makanan yang sesuai bagi pasien. Rencana
tindakan yang dibuat oleh perawat merupakan media komunikasi antar
tenaga kesehatan yang berkesinambungan sehingga pelayanan dapat
dilaksanakan secara teratur dan efektif.
d. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan merupakan realisasi dari perencanaan yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Aktifitas ini memerlukan keterampilan
komunikasi dalam berinteraksi dengan pasien.
Pada saat menghadapi pasien perawat perlu:
1) Menunjukkan raut wajah yang mencerminkan ketulusan agar
tercipta suasana saling percaya saat berkomunikasi
2) Kontak pandang yang menunjukkan perhatian dan kesungguhan
perawat
3) Fokus pada pasien
4) Bersikap terbuka untuk menumbuhkan keberanian pasien dalam
mengikuti tindakan keperawatan yang dilakukan
5) Mendengarkan secara seksama dan penuh perhatian untuk
mendapatkan informasi dari pasien. Perawat lebih banyak
mendengarkan daripada berbicara. Hal ini akan menimbulkan
kepercayaan pasien pada perawat.
6) Mendengarkan keluhan pasien dan memahami perasaan
7) Perawat mampu menjelaskan keadaan pasien
8) Perawat mampu menjadi pembimbing dan konseling terhadap
pasien
9) Bersikap tenang selama berada didepan pasien.

15
Dalam berkomunikasi di rumah sakit petugas dan tenaga medis harus
melakukan proses verifikasi terhadap akurasi dari komunikasi lisan
dengan Catat, baca kembali dan konfirmasi ulang (CABAK) yaitu :
 Pemberi pesan memberikan pesan secara lisan
Komunikasi dapat dilakukan secara langsung atau melalui sarana
komunikasi seperti telepon. Pemberi pesan harus memperhatikan
kosa kata yang digunakan, intonasi, kekuatan suara, jelas, singkat
dan padat.
 Penerima pesan mencatat isi pesan (CATAT)
Untuk menghindari adanya pesan yang terlewat maka penerima
pesan harus mencatat pesan yang diberikan secara jelas.
 Isi pesan dibacakan kembali secara lengkap oleh petugas penerima
pesan (BACA)
Setelah pesan dicatat, penerima pesan harus membacakan kembali
pesan tersebut kepada pemberi pesan agar tidak terjadi kesalahan dan
pesan dapat diterima dengan baik.
 Penerima pesan mengkonfirmasikan kembali isi pesan kepada
pemberi pesan (KONFIRMASI)
Pemberi pesan harus mendengarkan pesan yang dibacakan kembali
oleh penerima pesan dan memberikan perbaikan bila pesan tersebut
masih ada yang kurang atau salah.
Sistem CABAK dapat diilustrasikan dengan skema sebagai berikut :

INCLUDEPICTURE "http://2.bp.blogspot.com/-NC_X-
X6El_Q/UF61TibQ0vI/AAAAAAAABSo/CFEDRBS_LNw/s1600/komu

16
nikasi.png" \* MERGEFORMATINET

3. Komunikasi antar pemberi layanan (dokter, tenaga keperawatan dan


tenaga kesehatan lainnya)
Dalam memberikan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Nirwana
antar pemberi layanan komunikasi yang terjadi menggunakan tekhnik
SBAR.

SBAR merupakan suatu tekhnik komunikasi yang dipergunakan dalam


melakukan identifikasi terhadap pasien sehingga mampu meningkatkan
kemampuan komunikasi antara perawat dan dokter. Dengan komunikasi
SBAR ini maka perawat dapat memberikan laporan mengenai kondisi
pasien lebih informatif dan terstruktur.

SBAR merupakan kerangka acuan dalam pelaporan kondisi pasien yang


memerlukan perhatian dan tindakan segera. Tekhnik SBAR terdiri dari
unsur Situation, Background, Assessment, Recommendation. Pada
prinsipnya SBAR merupakan komunikasi standar yang ingin menjawab
pertanyaan, yaitu apa yang terjadi, apa yang diharapkan oleh perawat dari
dokter yang dihubungi dan kapan dokter harus mengambil tindakan.
Empat (4) Unsur SBAR
1. Situation
Menjelaskan kondisi terkini yang terjadi pada pasien

17
2. Background
Berisi informasi penting apa yang berhubungan dengan kondisi pasien
saat ini
3. Assessment
Hasil pengkajian kondisi pasien terkini
4. Recommendation
Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pasien saat ini

Contoh laporan perawat ke dokter dengan menggunakan SBAR


(Haig, K.M, dkk, 2006)
Situation (S)  Sebutkan nama anda dan unit
 Sebutkan identitas pasien dan nomor
kamar pasien
 Sebutkan masalah pasien tersebut
(misalnya sesak nafas, nyeri dada, dll)
Background (B)  Sebutkan diagnosis dan data klinis
pasien sesuai kebutuhan
 Status kardiovaskuler (Nyeri dada,
tekanan darah,EKG, dsb)
 Status respirasi (Frekuensi pernafasan,
SpO2, analisa gas darah, dsb)
 Status gastrointestinal (Nyeri perut,
perdarahan,dsb)
 Neurologis (GCS, Pupil)
 Hasil laboratorium / pemeriksaan
penunjang lainnya
Assessment  Sebutkan problem pasien tersebut
 Problem kardiologi
 Problem gastro-intestinal

18
Recommendation Rekomendasi (pilih sesuai kebutuhan)
 Saya meminta dokter untuk :
 Memindahkan pasien ke ICU
 Segera datang melihat pasien
 Mewakilkan dokter lain untuk dating
 Konsultasi ke dokter lain
 Pemeriksaan atau terapi apa yang
diperlukan :
 Foto rontgen
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Pemeriksaan EKG
 Pemberian oksigenasi
 Beta 2 agonis nebulizer

4. Komunikasi Asuhan dan Edukasi


Komunikkasi di rumah sakit memiliki dua tujuan, yaitu:
a. Komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi asuhan
b. Komunikasi yang bertujuan untuk memberikan edukasi kepada pasien
dan keluarga pasien
a. Komunikasi Informasi Asuhan
Komunikasi yang bertujuan untuk memberikan informasi asuhan
ini biasanya dilakukan oleh petugas customer service, registrasi dan
admission yang meliputi:
1) Jam pelayanan
2) Pelayanan yang tersedia
3) Rincian dan perkiraan biaya
4) Cara mendapatkan pelayanan
5) Sumber alternatif mengenai asuhan pelayanan yang diberikan
ketika kebutuhan pasien melebihi kemampuan rumah sakit
Contoh sikap petugas customer service, registrasi dan admission
ketika menerima pasien:

19
 Berdiri ketika pasien datang
 Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri (“selamat
pagi/siang/sore/malam, saya…(nama))
 Mempersilahkan pasien duduk
 Menanyakan nama pasien (Maaf, dengan bapak/ibu?)
 Tawarkan bantuan kepada pasien (“Ada yang bisa dibantu
Bpk/Ibu….(nama))
 Menciptakan suasana yang nyaman (Isyarat bahwa punya cukup
waktu, menganggap penting informasi yang akan diberikan,
menghindari tampak lelah)
 Menilai suasana lawan bicara
 Memperlihatkan sikap non verbal (raut wajah, mimik,
gerak/bahasa tubuh dari pasien)
 Menatap mata pasien secara profesional yang lebih terkait dengan
makna menunjukkan perhatian dan kesungguhan mendengarkan
 Memberikan informasi yang diperlukan pasien
 Memberikan informasi jadwal praktek/paket dan langsung
tanyakan apakah mau dibantu untuk dibuatkan perjanjian
 Memperhatikan keluhan yang disampaikan tanpa melakukan
interupsi yang tidak perlu
 Memberikan solusi yang tepat dan cepat bila ada keluhan yang
disampaikan
 Apabila pasien marah, menangis, takut dan sebaginya maka
dokter tetap menunjukkan raut wajah dan sikap yang tenang
 Menawarkan kembali bantuan kepada pasien (“ada lagi yang bisa
kami bantu bapak/ibu?)
 Mengucapkan salam penutup (“terima kasih atas waktunya
bpk/ibu. Apa bila adalagi yang bisa saya bantu, kami siap
melayani penuh cinta kasih)
 Berdiri ketika pasien pulang

20
b. Komunikasi Edukasi Pasien dan Keluarga pasien
Petugas rumah sakit berkewajiban untuk melakukan edukasi
kepada pasien dan keluarga pasien sehingga pasien dan keluarga
pasien bisa memahami pentingnya mengikuti proses pengobatan,
tindakan, gizi, rehabilitasi medik, manajemen nyeri dan
manajemen jatuh yang telah ditetapkan.

Terdapat 3 tahap dalam pemberian edukasi


1) Tahap asesmen pasien
Sebelum melakukan edukasi, pertama-tama petugas menilai
kebutuhan edukasi pasien dan keluarga pasien berdasarkan formulir
asesmen kebutuhan pasien
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
 Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga
 Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang
digunakan
 Hambatan emosional dan motivasi
 Keterbatasan fisik dan kognitif
 Ketersediaan pasien untuk menerima informasi

2) Tahap penyampaian informasi


Cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif tergantung
pada hasil asesmen pasien, yaitu :
 Jika pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya senang,
maka proses komunikasi edukasinya bisa langsung dijelaskan
kepada pasien sesuai dengan kebutuhan edukasinya
 Jika pasien memiliki ambatan fisik (tuna rungu dan tuna wicara)
maka proses komunikasi edukasinya dapat disampaikan dengan
menggunakan media cetak seperti brosur yang diberikan kepada

21
pasien dan keluarga sekandung (istri, anak, ayah, ibu atau
saudara sekandung) dan menjelaskannya kepada mereka.
 Jika pasien memiliki hambatan emosional (pasien marah atau
depresi) maka proses komunikasi edukasinya juga dapat
disampaikan dengan menggunakan media cetak seperti brosur
dan menyarankan pasien untuk membacanya.
3) Tahap Verifikasi
Pada tahap ini, petugas memastikan kepada pasien dan keluarga
mengenai kejelasan dan pemahaman edukasi yang diberikan:
 Apabila pada saat pemberian edukasi, pasien dalam kondisi baik
dan senang maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara
menanyakan kembali edukasi yang telah diberikan
 Untuk pasien yang mengalami hambatan fisik maka veriikasi
dapat dilakukan dengan cara menanyakan kepada keluarganya
dengan pertanyaan yang sama, yaitu “Apakah Bpk/Ibu bisa
memahami materi edukasi yang kami berikan?”
 Untuk pasien yang mengalami hambatan emosional (marah,
depresi) maka verifikasi dapat dilakukan dengan cara
menanyakan kepada pasien mengenai sejauh mana pasien telah
mengerti tentang materi edukasi yang diberikan melalui brosur.
Proses pertanyaan ini bisa melalui telepon atau datang langsung
ke kamar pasien setelah pasien tenang

Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien diharapkan


komunikasi yang disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh
pasien. Apabila pasien mengikuti semua arahan dari rumah sakit
diharapkan mempercepat proses penyembuhan pasien.

B. PELAKSANAAN KOMUNIKASI EFEKTIF


1. Komunikasi Efektif di Ruang Pendaftaran
Pendaftaran dapat dilakukan oleh pasien melalui 2 (dua) cara, yaitu :

22
a. Melalui telepon
Komunikasi yang dilakukan melalui telepon, dimana saat mendaftar
pasien diminta menyebutkan namadokter yang dituju, nama pasien
dan nomor rekam medis oleh petugas operator. Petugas operator akan
mengkonfirmasi apa yang didengarnya untuk input pendaftaran.
Dalam melakukan konfirmasi, komunikan terkadang menghadapi
kesulitan menuliskan sesuatu informasi sehingga harus menjabarkan
hurufnya satu per satu dengan menggunakan alfabeth, sebagai berikut:
Kode Alfabet Internasional (Sumber : Wikipedia)
INCLUDEPICTURE "http://1.bp.blogspot.com/-
T36btKPWPzE/Tdreq6GZCxI/AAAAAAAAAHY/OYWF75ylTRE/
s1600/350px-FAA_Phonetic_and_Morse_Chart2.svg.png" \*

23
MERGEFORMATINET

24
b. Datang langsung
Saat pasien datang ke rumah sakit, maka tempat yang pertama kali
harus dikunjunginya adalah ruang/tempat pendaftaran, dimana
terdapat meja untuk mendaftar. Setelah pendaftaran selesai, barulah

25
mereka satu demi satu diarahkan ke tempat yang sesuai dengan
pelayanan yang dibutuhkan. Kontak awal dengan rumah sakit ini,
perlu disambut dengan 3S (Senyum, Salam, Syafakumullah ) oleh
petugas pendaftaran. Sambutan tersebut berupa salam hangat yang
dapat membuat mereka merasa tentram berada di rumah sakit. Di
tempat tersebut, pasien akan ditanya keperluannya dan akan diarahkan
sesuai dengan keperluan yang dituju.

2. Komunikasi Efektif Rawat Jalan


Saat pasien berada di Instalasi Rawat Jalan pasien harus melakukan
timbang, tensi, atau ukur tinggi badan di ruang nurse station (NS).
Perawat akan melakukan komunikasi dengan melakukan 3S (Senyum,
Salam, Syafakumullah) dan mengarahkan pasien sesuai dengan
dokter/keperluan yang dituju.

Rumah sakit menyediakan ruangan poliklinik untuk pasien rawat jalan


yang memerlukan konsultasi atau ingin mendapatkan informasi.
Konsultasi dilayani oleh dokter spesialis, dokter umum, bidan dan
konselor.

Konsultasi dapat dilakukan secara individual dan berkelompok.


Konsultasi secara berkelompok contohnya kursus pra persalinan, kursus
perawatan bayi dan senam hamil. Ruang konsultasi dilengkapi dengan
media komunikasi seperti laptop, LCD dan gambar-gambar.

Pihak yang paling berpengaruh terhadap pasien rawat jalan adalah orang
yang mengantarkannya ke rumah sakit. Mereka ini tidak dalam keadaan
sakit, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan informasi dari
berbagai media komunikasi yang tersedia di poliklinik. Oleh karena itu di
setiap poliklinik, khususnya ruang tunggu, dipasang poster-poster,

26
disediakan selebaran (leaflet), dipasang televisi dan VCD/DVD player
yang dirancang untuk menayangkan informasi tentang kesehatan.

Konsultasi yang dilakukan secara individual dilakukan dengan sikap


profesional, menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2006), sikap
profesional ini penting untuk membangun rasa nyaman, aman, dan
percaya yang merupakan landasan bagi berlangsungnya komunikasi
secara efektif (Silverman, 1998). Sikap profesional ini hendaknya dijalin
terus-menerus sejak awal konsultasi, selama proses konsultasi
berlangsung, dan di akhir konsultasi.

3. Komunikasi Efektif Rawat Inap


Pada saat pasien sudah masuk rawat inap, umumnya pasien sangat ingin
mengetahui seluk-beluk penyakitnya. Sementara pasien dengan penyakit
kronis dapat menunjukkan reaksi yang berbeda-beda seperti apatis,
agresif atau menarik diri. Hal ini disebabkan penyakit kronis umumnya
memberikan pengaruh fisik dan kejiwaan serta dampak sosial kepada
penderitanya. Kepada pasien seperti ini, kesabaran dari petugas rumah
sakit sangat diharapkan, khususnya dalam pelaksanaan komunikasi
pemberdayaan. Beberapa cara komunikasi pemberdayaan dapat
dilakukan melalui konseling sebagai berikut :
a. Konseling di Tempat Tidur
Konseling di tempat tidur (bedside conseling) dilakukan terhadap
pasien rawat inap yang belum dapat atau masih sulit meninggalkan
tempat tidurnya dan harus terus berbaring. Dalam hal ini, perawat
yang menjadi konselor harus mendatangi setiap pasien, duduk di
samping tempat tidur pasien tersebut dan melakukan pelayanan
konseling.
Dalam melakukan konseling di tempat tidur, konselor membawa alat
peraga dan bila memungkinkan dapat membawa VCD/DVD yang
berisi informasi tentang penyakit pasien tersebut.

27
b. Konseling Berkelompok
Terhadap pasien yang dapat meninggalkan tempat tidurnya, dapat
dilakukan konseling secara berkelompok. Untuk itu, di ruang
perawatan harus disediakan suatu tempat atau ruangan untuk
berkumpul.
Konseling berkelompok ini selain untuk meningkatkan pengetahuan
serta mengubah sikap dan perilaku pasien, juga sebagai sarana
komunikasi yang berfungsi sebagai sosialisasi kepada pasien-pasien.
Untuk konseling berkelompok sebaiknya digunakan alat peraga atau
media komunikasi seperti flipchart, poster, standing banner, laptop
dan LCD untuk menayangkan gambar atau film.
Di Rumah Sakit Umum Nirwana konseling berkelompok dilakukan
melalui senam hamil, kursus prapersalinan dan kursus perawatan bayi.
Lingkungan yang berpengaruh besar terhadap pasien rawat inap
adalah para penjenguk (pembesuk).
Agar para penjenguk tertib, dapat disediakan ruang tunggu yang
dilengkapi dengan poster dan leaflet tentang pendidikan kesehatan
secara gratis atau televisi yang menayangkan berbagai pesan
kesehatan dari VCD/DVD player, sehingga diharapkan para
penjenguk memperoleh informasi yang nantinya dapat disampaikan
kepada pasien yang akan dibesuknya.

C. Komunikasi Saat Memberikan Edukasi Terkait Kondisi Kesehatan Pasien


Prosesnya :
1. Tahap asesmen pasien : Sebelum melakukan edukasi, petugas
menilai dulu kebutuhan edukasi pasien dan keluarga berdasarkan: (data
ini didapatkan dari RM):
a. Keyakinan dan nilai-nilai pasien dan keluarga.
b. Kemampuan membaca, tingkat pendidikan dan bahasa yang
digunakan.

28
c. Hambatan emosional dan motivasi. (emosional: depresi, senang dan
marah)
d. Keterbatasan fisik dan kognitif.
e. Ketersediaan pasien untuk menerima informasi.
2. Tahap cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif.
Setelah melalui tahap asesmen pasien, di temukan :
a. Pasien dalam kondisi baik semua dan emosionalnya senang, maka
proses komunikasinya mudah disampaikan.
b. Jika pada tahap asesmen pasien di temukan hambatan fisik (tuna
rungu dan tuna wicara), maka komunikasi yang efektif adalah
memberikan leaflet kepada pasien dan keluarga sekandung (istri,
anak, ayah, ibu, atau saudara sekandung) dan menjelaskannya kepada
mereka.
c. Jika pada tahap asesmen pasien ditemukan hambatan emosional
pasien (pasien marah atau depresi), maka komunikasi yang efektif
adalah memberikan materi edukasi dan menyarankan pasien
membaca leaflet. Apabila pasien tidak mengerti materi edukasi,
pasien bisa menghubungi medical information.
3. Tahap cara verifikasi bahwa pasien dan keluarga menerima dan
memahami edukasi yang diberikan:
a. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi,
kondisi pasien baik dan senang, maka verifikasi yang dilakukan
adalah: menanyakan kembali eduksi yang telah diberikan.
Pertanyaannya adalah: “ Dari materi edukasi yang telah disampaikan,
kira-kira apa yang bpk/ibu bisa pelajari ?”.
b. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi,
pasiennya mengalami hambatan fisik, maka verifikasinya adalah
dengan pihak keluarganya dengan pertanyaan yang sama: “Dari
materi edukasi yang telah disampaikan, kira-kira apa yang bpk/ibu
bisa pelajari ?”.

29
c. Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi,
ada hambatan emosional (marah atau depresi), maka verifikasinya
adalah dengan tanyakan kembali sejauh mana pasiennya mengerti
tentang materi edukasi yang diberikan dan pahami. Proses pertanyaan
ini bisa via telepon atau datang langsung ke kamar pasien setelah
pasien tenang.

Dengan diberikannya informasi dan edukasi pasien, diharapkan komunikasi


yang disampaikan dapat dimengerti dan diterapkan oleh pasien. Dengan
pasien mengikuti semua arahan dari rumah sakit, diharapkan mempercepat
proses penyembuhan pasien.
Setiap petugas dalam memberikan informasi dan edukasi pasien, wajib untuk
mengisi formulir edukasi dan informsi, dan ditandatangani kedua belah pihak
antara dokter dan pasien atau keluarga pasien. Hal ini dilakukan sebagai bukti
bahwa pasien dan keluarga pasien sudah diberikan edukasi dan informasi
yang benar.

30
BAB IV
DOKUMENTASI

Komunikasi via telephone atau lisan didokumentasikan pada formulir catatan


terintegrasi rawat inap, edukasi yang sudah dilakukan di dokumentasikan pada
formulir identifikasi kebutuhan pendidikan dan pemberian kesehatan terintegrasi.

Hasil kegiatan yang terkait dengan komunikasi efektif dilaporkan secara


berkesinambungan dengan kegiatan pendidikan pasien dan keluarga serta asesmen
pasien.

Direktur,

31

Anda mungkin juga menyukai