I. Latar Belakang
Obat analgesic adalah salah satu obat yang digunakan sebagai penahan rasa sakit atau nyeri
minor, diantarnya sakit kepala, sakit gigi. Sakit kepala, demam dan sakit gigi sering dialami
oleh masyarakat, oleh karena itu obat analgesic dapat didapatkan di apotik terdekat tanpa
resep dokter sekalipun. Salah satu obat analgesic adalah aspirin.
Aspirin atau asam asetilsalisilat (asetosal) adalah sejenis obat turunan dari salisilat yang
sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri minor), antipiretik
(terhadap demam), dan anti-inflamasi (peradangan). Badan POM Indonesia menyebutkan
bahwa obat ini merupakan analgesik antiinflamasi pilihan pertama (Badan POM, 2003). Asam
asetilsalisilat dapat juga mengurangi resiko penyakit asma pada orang dewasa (Graham, et al.,
2006). Pada treatment menggunakan asam asetilsalisilat dosis rendah dengan kombinasi
clopidogrel memperlihatkan adanya kemampuan untuk mencegah serangan stroke. (Connolly,
et al., 2009).
Selain memiliki fungsi seperti diatas aspirin juga memiliki efek antikoagulan dan dapat
digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk mencegah serangan jantung
(http://id.wikipedia.org/wiki/Aspirin.2013).
Aspirin termasuk dalam salah satu obat komersil yang bisa didapatkan di apotik mana saja.
Untuk pemakaian jangka panjang dengan dosis yang sedikit obat ini dapat mencegah penyakit
serangan jantung, sedangkan efek sampingnya adalah darah menjadi sukar membek. Hal ini
terjadi karena pada aspirin terkandung zat antikoagulan. Yang kedua adalah konsumsi aspirin
dapat menimbulkan sindrom reye terutama terjadi pada anak-anak. Sindrom reye adalah
penyait mematikan yang mengganggu fungsi otak dan hati.
Karena itu untuk mengantisipasi dan menanggulangi efek samping dari aspirin kita
perlu untuk mengetahui berapa kadar aspirin yang boleh kita konsumsi. Uji ini dilakukan
untuk mengetahui berapa kadar aspirin pada tablet yang dijual secara komersil, tujuannya
adalah agar kita mengetahui apakah kandungan pada tablet itu sudah sesuai atau tidak.
Sebagai analis kesehatan untuk kedepannya pengukuran kadar aspirin ini berguna untuk
mengetahui dan memantau kadar aspirin pada darah pasien yang sering mengkonsumsi aspirin
sehingga efek samping yang timbul dapat diminimalisir.
II. Tujuan
a. Mahasiswa dapat membuat larutan baku Asam Oksalat 0,1 N yang diperlukan
dalam titrasi
b. Mahasiswa dapat melakukan pembakuan NaOH dengan larutan Asam Oksalat 0,1 N
c. Mahasiswa dapat melakukan penentapan kadar Aspirin dengan menggunakan
metode Alkalimetri
O O
O C CH 3 O C CH 3
+ NaOH
→ + H 2O
COOH COONa
O OH
+ CH CCONa
O C CH 3 3
COONa
+ NaOH
COONa
→
b. Bahan
Larutan baku Indikator Aquadest
NaOH 0,1 N Phenolftalein (pp) Sampel Aspirin
Larutan Asam 1%
Oksalat 0,1 N Etanol 95%
d. Gambar
Gambar Standarisasi Asam Oksalat Gambar Standarisasi NaOH dengan
dengan NaOH Aspirn
VI. Perhitungan
a. Standarisasi NaOH dengan Asam 0,2885 N =
Oksalat 0,1 N
g = 0,51988 g
Kadar NaOH :
V1 x N1 = V2 x N2
c. % perolehan kembali
10ml x 0,1 N = 9,63 x N2
= x 100 %
N2 = 0,10384 N
b. Penentuan Kadar Aspirin = x 100%
Kadar Aspirin : = 103,976 %
V NaOH x Kadar NaOH = V2 x N2
d. % kadar = x 100
27,8 ml x 0,10384 ml = 10 ml x N2
%
N2 = 0,2885 N
= x 100%
Normalitas Aspirin = x
= 85,19 %
0,2885 N = x
VII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini adalah penentuan kadar aspirin dalam tablet menggunakan metode
titrasi asam basa alkalimetri dengan larutan standar basa (NaOH) untuk menetukan asam
(Aspirin). Sebelum digunakan untuk menentukan kadar Aspirin, NaOH terlebih dahulu di
standarisasi dengan larutan baku primer asam oksalat dengan metode standarisasi Asidimetri.
Indicator dari standarisasi ini menggunakan phenolftalein (pp) dengan trayek pH (8,3-10).
Penggunaan indicator ini adalah agar Titik Akhir Titrasi yang didapat mendekati Titik
equivalen dari standarisasi ini yang cenderung bersifat basa. Hal ini terjadi karena reaksi
antara basa kuat dan asam lemah titik equivalennya akan cenderung bersifat basa dengan pH
>7. Oleh karena itu digunakan indicator phenolftalein yang memiliki trayek pH besar (8,3-10)
untuk mendapatkan titik akhir titrasi yang mendekati titik equivalennya.
Aspirin yang digunakan jenisnya adalah tablet, dimana sebelum distandarisasi kita perlu
untuk mengencerkannya dengan menggunakan etanol. Penggunaan etanol ini karena aspirin
tidak mudah larut dalam air tetapi mudah larut dalam larutan ethanol, eter, dan klorofom.
Standarisasi NaOH dengan asam oksalat mendapatkan hasil rata-rata volume NaOH adalah
9,63 ml dan Normalitas NaOH adalah 0,10384 N. Dan pada standarisasi NaOH dengan
aspirin (asam salisilat) menghasilkan volume rata-rata NaOH 27,8 ml, Normalitas aspirin
0,2885 N dan berat rata-rata aspirin pertablet saat ditimbang dengan neraca analitik sebesar
0,61023 g. Sehingga kadar aspirin pertablet diperoleh sebanyak 0,51988 g dengan persentase
85,19% dan perolehan kembali didapat sebanyak 103,976%.
Dari data diatas kita dapat ketahui bahwa berat aspirin yang terdapat dalam kemasan
adalah sebesar 500 mg (0,5 g) saja sudah tidak sesuai dengan berat saat ditimbang dengan
neraca analitik yang rata-rata sebesar 0,61023 g. Hal ini bisa terjadi karena adanya zat
pengotor/zat inaktif lainnya yang terdapat dalam tablet aspirin. Ketentuan farmakope
indonesia Edisi.III % kadar aspirin tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110% tablet
dan menurut Swarzt nilai rata-rata perolehan kembali sediaan obat seharusnya antara 98-102
% dari nilai teoritis(Swarzt, 1997).
Pada praktikum ini kadar aspirin yang didapat adalah 85,19%, kadar ini tidak memenuhi
standar dari ketentuan farmakope Indonesia Edisi.III, hal ini bisa terjadi karena pengaruh dari
proses standarisasi NaOH dengan aspirin yang tidak akurat dimana TATnya lebih, serta
proses pengenceran aspirin dengan etanol yang tidak homogen dan serbuk-serbuk aspirin
banyak yang menempel di dinding gelas beaker saat diencerkan. Dimana akibat yang
ditimbulkan adalah bila kurang dari 90% maka zat aktif dalam obat tidak akan mampu
mengobati penyakit sedangkan bila lebih dari 110%, maka bila dikonsumsi dalam jangka
waktu yang lama akan menyebabkan overdosis hingga menimbulkan kematian. Sedangkan
persentase perolehan kembali yang didapat adalah 103,976 % (lebih dari standar yaitu 98-102
%).
VIII. Kesimpulan
Penetuan kadar aspirin dilakukan dengan menggunakan metoda titrasi asam basa
alkalimetri dimana penetuan kadar asam dengan menggunakan larutan standar basa
dimana titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna dari bening menjadi merah
muda konstan.
Kadar aspirin yang didapat adalah sebesar 0,51988 g atau 519,88 mg pertablet (0,61023
g) dimana hasil ini tidak memenuhi standar dari ketentuan farmakope Indonesia Edisi.III
% yang menyatakan kadar aspirin tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110%
tablet.
Persentase perolehan kembali yang didapatkan adalah sebesar 103,976% yang juga
melebihi standar menurut Swartz yang menyatakan nilai rata-rata perolehan kembali
sediaan obat seharusnya antara 98-102 % dari nilai teoritis.
IX. Daftar Pustaka
Damayanti, Elda. 2013. Penetapan Kadar Asam Salisilat Secara Alkalimetri. (online):
http://eldadamayan.blogspot.com/2013/03/penetapan-kadar-asam-salisilat-secara.html.
9 april 2013
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Swartz, M.E., and Krull, I.S., 1997, Analytical Method Development and Validation, Marcell
Dekker, USA.
Dwiangga, Septyanita. 2010. Validasi Metode Penetapan Kadar Asam Asetilsalisilat Dalam
Sediaan Obat Memanfaatkan Sinar Reflektan Terukur Dari Bercak Yang Dihasilkan.
(Online): Http://Etd.Eprints.Ums.Ac.Id/8183/1/K100060001.Pdf. 9 April 2013
Vogel. 1990. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta: Kalman Media
Pusaka
X. Lembar Pengesahan