Anda di halaman 1dari 23

INVENTARISASI FILUM PORIFERA DI KELURAHAN SEDAU

KECAMATAN SINGKAWANG SELATAN KALIMANTAN BARAT

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN


SISTEMATIKA AVERTEBRATA

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 7

1. ALISA HARI PUTRI H1041171060


2. AGERESYA ESTER BR S. H1041171070
3. EGA MEYDIAWATI H1041171039
4. HENI PARWATI H1041171041
5. REZKY AKBAR H1041171037
6. SELLY MARSELINA TEUL H1041171054
7. SITI NURBAITI H1041171044

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang berada di garis khatulistiwa
dan mempunyai garis pantai yang cukup panjang. Posisi ini sangat menguntungkan
karena daerah yang berada di kawasan garis khatulistiwa mempunyai curah hujan yang
tinggi dan dapat dikatakan sebagai daerah hutan hujan tropis. Daerah hutan hujan tropis
dikenal sebagai daerah yang mempunyai keanekaragaman hayati dan hewaninya
Kota Singkawang merupakan kota pantai sekaligus perbukitan. Ini adalah
perpaduan topografi yang sangat unik. Gunung Besar yang ada di bagian selatan kota
langsung menyentuh bibir pantai Laut Natuna. Gugusan pegunungan di wilayah
Singkawang Selatan yang membentang dari gunung Poteng di timur hingga Gunung
Besar di barat memberikan kesan indah dan sejuk bagi kota ini. Bahkan beberapa bukit
jauh menyentuh ke dalam bagian kota yaitu Gunung Sari (305 meter) dan Gunung
Roban (212 meter). Selain di kawasan pegunungan dan perbukitan di bagian selatan
tersebut, sebenarnya topografi Kota Singkawang umumnya datar yaitu dengan
kemiringan antara 0 – 2 %, kawasan dengan kemiringan 2-15 % juga tersebar secara
sporadis di wilayah Singkawang Selatan, tersebar diantara puncak-puncak gunung
yang dimanfaatkan penduduk setempat sebagai pusat-pusat perkampungan.
Porifera merupakan hewan yang berpori dan sering juga hewan berongga karena
seluruh tubuhnya dipenuhi oleh lubang-lubang kecil yang disebut pori. Hewan ini
sederhana karena selama hidupnya menetap pada karang atau permukaan benda keras
lainnya didasar laut. Phylum porifera yaitu spons hidup di air dan sebagian besar hidup
di air laut yang hangat dan dekat dengan pantai yang dangkal walaupun adapula yang
hidup pada kedalaman 8500 meter bahkan lebih. Spons sering ditemukan hidup
melekat pada substrat yang keras dan hidupnya berkoloni yang statif atau tidak
bergerak. Spons belum memiliki alat-alat ekskresi khusus dan sisa metabolismnya
dikeluarkan melalui proses difusi yaitu dari sel tubuh ke epidermis
kemudian lingkungan hidup yang berair. (Kimball, 2000). Praktikum Sistematika
Averterata dilakukan untuk lebih mengetahui secara langsung ciri morfologi, struktur
tubuh dan kondisi lingkungan habitat dari berbagai jenis tumbuhan tingkat rendah yang
berada di kawasan hutan sekitaran pantai atu Burung, kecamatan Sedau, Singkawang
Selatan.

1.1 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dari praktikum lapangan ini
adalah bagaimana keragaman spesies dan ciri morfologi dari Porifera yang ditemukan
pada Pantai Batu Burung, Kelurahan Sedau Kecamatan Singkawang Selatan
Kalimantan Barat.

1.2 Tujuan
Tujuan diadakannya praktikum lapangan Sistematika Averterata adalah untuk
mengetahui serta mempelajari keragaman spesies dan ciri morfologi dari Porifera yang
ditemukan pada Pantai Batu Burung, Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang
Selatan, Kalimantan Barat.

1.3 Manfaat
Manfaat dilakukannya praktikum lapangan Sistematika Avertebrata khususnya
pada filum Porifera di kawasan pantai Batu Burung, Kelurahan Sedau, Kecamatan
Singkawang Selatan, Kalimantan Barat agar dapat memberikan dan menambah
informasi tentang filum Porifera baik ciri-ciri morfologi, klasifikasi,maupun
identifikasi kepada pembaca.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Porifera


Porifera merupakan hewan sesil atau menempel yang tampak sangat diam bagi
mata manusia, sehingga orang Yunani kuno meyakini mereka sebagai tumbuhan.
Porifera berasal dari bahasa Latin,“Poros”= pori dan “Feres”=memiliki. Porifera tidak
memiliki saraf otot, tetapi masing-masing sel dapat mengindera dan dapat bereaksi
dengan perubahan lingkungan. Tubuh Porifera sederhana,mirip dengan suatu kantung
berpori atau berlubang-lubang. Porifera adalah hewan multiseluler (bersel banyak)
yang primitif, sebagian besar hidup di laut dan hanya beberapa jenis yang hidup di air
tawar. Jumlah spesies Porifera yang terdapat di dunia sekitar 5.000 jenis, hewan ini
biasanya menetap pada fase dewasa, Porifera memiliki larva yang bergerak aktif atau
oleh hewan muda yang terbawa arus sebelum mereka menempel (Voogd et al., 2002).
Porifera dapat berbentuk sederhana seperti tabung yang berdinding tipis seperti
yang dijumpai pada marga Leucosolenia,bentuknya agak tidak teratur. Tubuh Porifera
juga terdiri dari sekumpulan jaringan yang tak tentu bentuknya, seperti kerak pada batu,
cangkang, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok Porifera lain mempuyai bentuk lebih
teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk
yang dimiliki. Porifera beragam, namun beberapa jenisnya bercabang seperti pohon.
Porifera berbentuk seperti sarung tinju, cawan, atau kubah dan ukurannya beragam.
Sistem saluran pada Porifera bertindak seperti halnya sistem sirkulasi tingkat tinggi.
Sistem saluran Porifera melengkapi jalan bebas untuk masuknya makanan ke dalam
tubuh dan berfungsi sebagai pengangkut zat sisa keluar dari tubuh. Sistem saluran
terdiri dari tiga macam sistem yakni askon, sikon, dan ragon (Romimohtarto et al.,
1999).
Histologi Porifera memiliki banyak sel (multiseluler) dengan sel-sel somatik yang
dibedakan kedalam beberapa tipe untuk fungsi-fungsi khusus,jadi pembagian kerja
diantara sel-sel tersebut telah berkembang. Sel Porifera dapat dipisahkan menjadi tiga
kelompok, yakni sel yang tersusun sebagai lapisan kulit, sel yang berupa lapisan
lambung,dan sel amoeba di dalam cairan kental agar-agar, yakni pada lapisan tengah.
Porifera memiliki banyak warna, diantaranya lavender cerah, biru, kuning, krimson,
dan putih. Porifera dapat bersimiotik dengan bakteri (Wilkinson, 1980).

2.2 Klasifikas Porifera


2.2.1 Kelas Calcarea
Kelas Calcarea merupakan salah satu kelas dari filum Porifera. Ciri-ciri dari
spesies yang termasuk dalam kelas Calcarea bersifat Calcareous, yaitu spikula
tersusun atas kalsium karbonat yang disebut calcite. Elemen rangka tidak
berdiferensiasi menjadi megascleres dan microscleres, spikula berkelipatan 1, 3 atau 4.
Tubuh dengan kanal tipe asconoid (askon), synconoid (sicon), atau leuconoid (leucon).
Semua spesies dari kelas Calcarea hidup di lautan. Contoh spesiesnya adalah Scypha
(Sycon).

Gambar 2.4 Scypha sp.( Sumber: google)


2.2.2 Kelas Hexactinellida
Kelas Hexactinellida merupakan salah satu kelas pada filum Porifera. Ciri-ciri
spesies pada kelas Hexactinellida adalah berbentuk seperti gelas atau kaca,
spikula tersusun atas silikat dan bercorak 6 spikula (hexactinal), terdapat megascleres
dan microscleres, dinding tubuh berbentuk cekung, dengan jaringan trabekular, lapisan
koanosit dapat bersifat syncytial, berada pada perairan laut, terutama pada lautan
dalam. Contoh spesiesnya adalah Euplectella sp.

Gambar 2.5. Euplectalla sp. (sumber: google)


2.2.3 Kelas Demospongiae
Demospongiae adalah Porifera yang memiliki ciri tubuh tersusun atas spikula
silika, spikula tidak tersusun atas corak 6, rangka spikula dapat tersusun atau
tergantikan oleh kolagen organik (spongin), hidup di lautan, air tawar dan pada semua
kedalaman air. Contoh spesies pada kelas Demospongiae ialah Asteropus sp.

Gambar 2.6 Asteropus sp. ( sumber: google)


2.3 Habitat
Porifera termasuk hewan multiseluler yang mana fungsi jaringan dan organnya
masih sederhana. Hewan ini hidup menetap pada suatu habitat pasir, batu-batuan atau
juga pada karang-karang mati di dasar laut. Untuk mencari makanan, hewan ini aktif
mengisap dan menyaring air melalui seluruh permukaan tubuhnya. Kebiasaan ini dapat
di contohkan pada bentuk sponga yang memiliki kanal internal yang paling sederhana
yang dinding luarnya (pinakodermis) mengandung pori-pori (ostium). Melalui pori
inilah air dan materi-materi kecil yang terkandung di dalamnya dihisap dan disaring
oleh sel-sel berbulu cambuk atau sel kolar (choanocytes), kemudian air tersebut
dipompakan keluar melalui lubang tengah (oskulum). Sistem penghisapan dan
penyaringan ini juga terjadi pada sponga yang memiliki kanal internal yang lebih rumit,
karena sistem aliran air tersebut melalui beberapa sel kolar sebelum keluar melalui
oskulum. Pada umumnya, sponga mampu memompakan air rata-rata sebanyak 10 kali
volume tubuhnya dalam waktu 1 menit, sehingga tidak salah jika hewan ini dikenal
sebagai hewan filter feeder yang paling efisien dibandingkan hewan laut lainnya
(Bergquist, 1978).

2.4 Peran
Peran Porifera sebagai alat pembersih (Demospongiae), ada juga peranan lain
sebagai bahan pengawet buah dan makanan. Porifera tertentu mengandung zat
antikanker dalam tubuhnya yang sekarang ini jadi topik yang menarik untuk diteliti di
seluruh dunia contohnya African spirastrella-spini spirulifera dari Afrika yang
menghasilkan zat spongistatin. Peran Porifera bagi predatornya sendiri yaitu; terdapat
zat beracun dipermukaan tubuhnya yang dapat digunakan oleh Nudibranchea untuk
perlindungan (Rasyid, 2009).
Peran lainnya yang sedang diteliti oleh para ilmuwan adalah kemampuan Porifera
sebagai insectisidaalami, mengingat beberapa kandungan alkaloid yang terkandung
pada spesies Axinella carteri. Senyawa Kalihinol A yang terdapat pada tubuh Porifera
dapat menjadi senyawa anti malaria juga menghambat pertumbuhan mikroba
(antimikroba), antijamur, sitotoksik, antelmintik, dan antifouling.
Penggunaan Porifera dalam dunia kesehatan juga telah merambah pada ranah
kontrasepsi, yaitu; Sebagaiobat kontrasepsi (KB) alami (Sari, 2013).
BAB III
METODE KERJA

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum lapangan Sistematika Avertebrata khususnya pada filum Porifera
dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 23 Maret 2019 pukul 09.00 sampai 12.00 WIB.
Identifikasi hasil praktikum lapangan Sistematika Avertebrata dilaksanakan pada hari
Minggu, 24 Maret 2019 di Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Tanjungpura, Pontianak.

3.2 Deskripsi Tempat


Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dikenal
mempunyai potensi keanekaragaman yang banyak salah satunya Kota Singkawang
Propinsi Kalimantan Barat. Lokasi Pantai Batu Burung berbatasan langsung dengan
Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bengkayang yang secara geografis terletak pada
108 051’47,6’’BT hingga 10 90 10’19’’BT dan 00044’55,85’’LU hingga 101’21’51’’
LU. Pantai Batu Burung cukup alami sehingga dapat ditemukan berbagai spesies dari
Porifera yang berbeda-beda. Pantai Batu Burung memiliki keadaan yang baik untuk
menjadi habitat berbagai jenis Porifera. Oleh karena itu, Pantai Batu Burung dipilih
sebagai tempat untuk diadakannya praktikum Sistematika Avertebrata.
PETA LOKASI
PRAKTIKUM LAPANGAN
DESA SEDAU-KEC.SINGKAWANG SELATAN
KABUPATEN SINGKAWANG PROVINSI KALIMANTAN
BARAT

U
Legend
titik pengambilan sampel
jalanan
pulau pulau kecil
pemukiman warga
Hutan

pantai

lautan dangkal
Laut dalam

www.Earth.google.com
Gambar 3.2 Peta Lokasi Pengambilan Sampel (Sumber : Earth Google)

3.3 Alat dan Bahan


3.3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum lapangan ini adalah ember, jaring
ikan,camera,milimeter blok, papan ujian, penggaris, sprayer, thermometer, dan toples.
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%.

3.4 Cara Kerja


3.4.1 Pengambilan Sampel Akuatik
Pengambilan sampel dilakukan dengan sampling bebas diperairan Pantai Batu
Burung. Annelida yang dijumpai diambil secara utuh dan tanpa ada bagian tubuh dari
Annelida yang rusak, lalu dimasukkkan sementara ke dalam botol vial. Sampel dibawa
ke pinggir pantai untuk di ukur dan di dokumentasikan. Sampel diawetkan sementara
didalam botol vial dengan alkohol 70%. Pengawetan sementara bertujuan agar sampel
tidak rusak dan dapat diidentifikasi secara utuh pada saat tiba dikampus.

3.4.2 Pengukuran Faktor Lingkungan


Pengukuran suhu lingkungan dilakukan dengan menggunakan termometer Hg
konvensional. Pengukuran suhu dilakukan di permukaan air secara horizontal dan di
luar air selama 10 menit.
Pengukuran salinitas air laut menggunakan alat berupa salinometer.
Penggunaannya yaitu dengan mengambil 2 tetes air pada Pantai Batu Burung dan
diletakkkan pada bagian day light plate. Kemudian salinometer diarahkan ke cahaya
matahari, dan kemudian dilihat skala yang terdapat pada bagian dalam teropong
salinometer tersebut.
Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan kertas pH. Kertas lakmus
di celupkan ke dalam air selama beberapa saat, kemudian hasil yang didapat,
dicocokkan dengan skala pH dan ditentukan pH air.
Pengukuran parameter dilakukan dengan menggunakan thermohygrometer.
Caranya adalah thermohygrometer diletakkan secara menggantung pada tempat yang
ingin diukur kelembabannya, ditunggu selama tiga sampai lima menit. Kemudian skala
yang ada pada thermohygrometer diamati, skala bagian atas menunjukkan kelembaban
udara.
Pengukuran kecerahan dan kedalaman air Pantai Batu Burung menggunakan
alat berupa keping secchi. Penggunaannya yaitu pertama untuk mengukur kecerahan
dicelupkan keping secchi kedalam air pada lokasi sampling hingga bagian putih tidak
terlihat kemudian dicatat ukurannya, kemudian diangkat keping secchi dari dalam air
hingga bagian hitam terlihat kemudian dicatat ukurannya . Setelah didapat dua nilai
kecerahan maka kedua nilai tersebut dijumlahkan dan dibagi dua. Hasil inilah yang
merupakan kecerahan air pada lokasi pengambilan sampel. Mengukur kedalaman air
pada lokasi pengambilan sampel dengan cara dicelupkan keping seci hingga ke dasar,
kemudian dilihat skala pada permukaan air Pantai Batu Burung.

3.4.3 Identifikasi Sampel


Identifikasi sampel dilakukan dengan pengamatan morfologi,dengan literature
jurnal ilimiah dan e-book “Global diversity of sponge( porifera : spongilina) in
freshwater” serta pada laman catalogueoflife.org yang ada.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Berdasarkan pratikum lapangan sistematika avertebrata yang telah dilakukan di
Pantai Batu Burung Desa Sedau, hasil yang diperoleh sebanyak 4 spesies dari filum
Porifera yang diuraikan dalam tabel hasil 4.1 sebagai berkut:
Tabel 4.1 Jenis-Jenis Porifera Terdapat Pada Pantai Batu Burung
Karakter Morfologi
. Kelas
Spesies Bentuk Warna Tipe Spikula
Tubuh
Demospongiae Dysidea etheria Syconoid Coklat Tua Silicon
Demospongiae Spongilla Asconoid Coklat Muda Silicon
lacustris.

Demospongiae Aiolochroia sp. Syconoid Coklat Silicon


Kekuningan
Demospongiae Cinachyrella Leuconoid Coklat Tua Silicon
australiensis.
Berikut ini merupakan gambar dari spesies porifera yang didapatkan dalam
pratikum lapangan sistematika avertebrata:

A
B
C
D

Gambar 4.1 (A) Dysidea etheria, (B) spongilla lacustris, ( C ) Aiolochroia sp.,(D)
Cinachyrella australiensis
Tabel 4.1.2 Pengukuran Parameter Lingkungan
Parameter Lingkungan Hasil Pengukuran
Suhu udara 32,5 oC
Suhu air 30,8 oC
Salinitas 25,4 %
Kecerahan air 150m 0,52 m
Kecerahan air 50m 0,35 m
Kelembaban udara 54,1 %
pH air 7
Kedalaman 150m 1,23 m
Kedalaman 50m 0,68 m

4.2 Pembahasan
Spons atau Porifera termasuk hewan multi sel yang mana fungsi jaringan dan
organnya masih sangat sederhana. Hewan ini hidupnya menetap pada suatu habitat
pasir, batu-batuan atau juga pada karang-karang mati di dalam laut. Dalam mencari
makanan, hewan ini aktif mengisap dan menyaring air yang melalui seluruh permukaan
tubuhnya. Hal ini dapat dicontohkan pada bentuk spons yang memiliki kanal internal
yang paling sederhana, dimana dinding luarnya (pinakodermis) mengandung pori-pori
(ostia). Melalui ostia inilah air dan materi-materi kecil yang terkandung di dalamnya
dihisap dan disaring oleh sel-sel berbulu cambuk atau sel kolar (choanocytes),
kemudian air tersebut dipompakan keluar melalui lubang tengah
(oskulum). Sistim pengisapan dan penyaringan air ini terjadi juga pada spons yang
memiliki kanal internal yang lebih rumit, dimana sistim aliran air tersebut melalui
beberapa sel kolar sebelum keluar melalui oskulum. Pada umumnya, spons mampu
memompakan air rata-rata sebanyak 10 kali volume tubuhnya dalam waktu 1 menit,
sehingga tidak salah kalau hewan ini terkenal sebagai hewan "filter feeder" yang paling
efisien dibandingkan hewan laut lainnya (Bergquist, 1978).
Hampir 75% jenis spons yang dijumpai di laut adalah dari kelas Demospongiae.
Spons dari kelas ini tidak memiliki spikula "triaxon" (spikula kelas Hexactinellidae),
tetapi spikulanya berbentuk "monaxon", "tetraxon" yang mengandung silikat.
Beberapa jenis spons kelas ini ada yang tidak mengandung spikula tetapi hanya
mengandung serat-serat kolagen atau spongin saja (Bergquist,1978)
Konsistensi tubuh spons pada umumnya elastis seperti busa karet tetapi ada
beberapa jenis yang keras dan agak rapuh. Tubuh spons ini diperkokoh oleh suatu
kerangka spikula yang mengandung kalsium karbonat atau silica dan juga didukung
oleh kerangka serat-serat keratin atau spongin. Materi spongin khususnya pada "bath
sponges", sangat kenyal atau lembut dan tahan terhadap pembusukan, sehingga baik
untuk bahan penggosok kulit tubuh ( Bergquist,1978).

4.2.1 Dysidea etheria


Dysidea etheria adalah bentuk kehidupan metazoa dari filum Porifera.
Meskipun banyak poriferans memiliki ganggang endosimbiotik, spons tidak dianggap
autotrof. Dysidae etheria dapat ditemukan di air asin sedalam 40 m di daerah tropis dan
subtropis. Dysidae etheria adalah spons leuconoid di kelas Demospongiae. Spons
pemakan filter ini menunjukkan reproduksi seksual dan aseksual dan mempertahankan
diri dari pemangsaan dengan spikula dan racun. Dysidaae etheria bukan spons yang
penting secara komersial dan tidak ada undang-undang yang secara khusus berkaitan
dengan spons tersebut. Poriferans tidak memiliki jaringan, organ, atau sistem yang
sebenarnya. Ini membedakan mereka dari
sebagian besar filum hewan lainnya. Sebagai anggota kelas Demospongiae, Dysidea
etheria mengandung spongin tetapi tidak memiliki spikula sendiri. Dysidae etheria
mengumpulkan spikula dan pasir dari sekitarnya (Haris,2013).

Gambar 4.2.1 Spikula dysidae etheria yang ditemukan di Pantai Batu Burung.

Dysidea etheria adalah spesies laut yang biasanya ditemukan di seluruh


Karibia, juga ke Florida dan Georgia pada kedalaman hingga 40 m. Menghindari
lingkungan berenergi tinggi, D. etheria terutama ditemukan pada substrat keras vertikal
termasuk formasi alami dan buatan manusia (tumpukan, dermaga, dll.) Di perairan
daratan. Dysidae etheria juga telah ditemukan pada akar mangrove subtidal, cangkang
moluska dan kepiting, dan kerangka karang ( Haris,2013).

Dysidae etheria berkembang biak dengan cara aseksual dan seksual secara
hermafrodit, namun, spons hermafrodit akan menghasilkan sperma dan telur pada
waktu yang bereda. Sperma yang dilepaskan ke dalam kolom air melalui bukaan
ekskursi, sperma ini kemudian ditangkap oleh spons betina dari spesies yang sama.
Spons melepas larva ke dalam kolom air di mana larva menghabiskan sedikit waktu
sebelum menetap dan berkembang menjadi spons remaja. Reproduksi aseksual di
Dysidea etheria terjadi oleh fragmentasi. Fragmentasi, biasanya disebabkan oleh badai
dan pemangsaan, mudah diatasi oleh spons. Spons memiliki sel totipoten yang mampu
menjadi sel apa pun yang dibutuhkan spons untuk bertahan hidup. Sel-sel totipoten
memungkinkan potongan-potongan spons untuk mengendap dan menumbuhkan spons
yang sama sekali baru (Cowden 1970).
4.2.2 Spongilla lacustris.
Spesies Spongilla lacustris memiliki tubuh yang lembut dan rapuh dengan
warna umumnya kehijauan. Permukaan tidak rata dan tertutup spikula kasar (paku).
Spongilla lacustris termasuk ke dalam kelas Demospongiae yang memiliki ciri khas
yaitu tubuh yang tidak beraturan dan bercabang-cabang dengan rangka yang tersusun
dari serabut spongin (Samawi,2009).

Gambar 4.2.2 Spikula spongilla lacutris yang diteukan di Pantai Batu Burung

Seperti Porifera pada umumnya, cara Spongilla lacustris mendapatkan


makanan adalah dengan cara menyaring partikel-pertikel makanan yang terbawa arus
melewati tubuhnya atau disebut dengan istilah Filter Feeder. Makanan diperoleh
dengan cara mengalirkan air melalui ostium ke dalam spongiosel. Air digerakkan oleh
flagelata yang terdapat pada koanosit. Selanjutnya, air dialirkan ke dalam vakuola yang
terdapat di pangkal koanosit untuk dicerna. Bahan makanan yang sudah dicerna akan
diedarkan ke seluruh bagian tubuh oleh sel amebosit. Sisa hasil pencernaan dikeluarkan
ke spongiosel dan dibuang keluar tubuh memalui ostium. Makanan spons yang
tersaring dengan cara filter feeder ini adalah protozoa, bakteri, plankton, dan detritus
(Chambell, 2007).
Spongilla lacustris memiliki kemampuan untuk bereproduksi secara seksual
dan aseksual. Seksual atau aseksualnya reproduksi biasanya tergantung pada musim.
Bila pada menjelang musim dingin, biasanya spons ini akan bereproduksi secara
aseksual. Sebaliknya bila sedang musim panas, spons ini biasanya akan bereproduksi
secara seksual. Spons ini bereproduksi secara aseksual dengan membentuk tunas
(budding) pada akhir musim panas (summer). Proses reproduksi ini menghabiskan
waktu sampai musim dingin (winter). Pada musim dingin, larva spons akan berada
dalam keadaan tidak aktif atau dorman dan akan aktif kembali setelah berakhirnya
musim dingin dan datangnya musim semi (spring) (Chambell,2008).
Spongilla lacustris memiliki tipe saluran air leuconoid, yaitu tipe saluran air yang
paling kompleks. Tipe leuconoid memiliki dinding spons yang tidak teratur. Letak
koanosit terbatas pada ruang-ruang berflagella saja. Arah aliran air pada tipe leuconoid
adalah sebagai berikut poros dermal - ruang sub dermal - saluran pemasukan – prosofi
- ruang berflagela – apopiles - saluran pengeluaran – Oskulum (Chambell, 2008).

4.2.3 Aiolochroia sp.


Aiolachroia sp. adalah spons tabung besar yang biasanya berarna biru, ungu
dan kuning, dengan warna yang mendominasi. Interior tabung biasanya berwarna
kuning. Karakter penting adalah bahwa pembukaannya ditutupi dengan banyak
tonjolan kecil atau duri kecil berbentuk piramida memberikan tekstur kasar
(Rusyana,2011).
Spesimen yang ditemukan di pantai batu burung melekat pada substrat berupa
karang yang telah mati. Habitat Aiolochroia sp., berada pada perairan dengkal dengan
kedalaman 1 meter. Spesimen yang ditemukan berwarna kuning terdapat struktur
seperti tonjolan berada diseluruh bagian tubuh Ailochroia sp. (Rusyana,2011).
Gambar 4.2.3 Spikula Cinachyrella australiensis

4.2.4 Cinachyrella australiensis


Cinachyrella australiens, salah satu spons berbentuk bola berbulu ini terkadang
terlihat di puing-puing karang di beberapa pantai kita. Kadang-kadang dengan depresi
melingkar yang dangkal, kemudian menyerupai bola golf. Ini adalah salah satu spons
paling umum dan melimpah di karang intertidal dan dangkal. Di tempat lain, mereka
tumbuh subur di daerah berlumpur ( Faizal,2011).

Gambar 4.2.4 Spikula cinachyrella australiens

Cinachyrella australiens sebagai tempat tinggal bermacam terumbu karang dan


spons lainnya. Spesimen ini memiliki bentuk radial. Bentuk radialnya dapat
diketahuai dari bentuk spikulanya. Ini adalah spikula berbentuk jarum yang menjulur
keluar dari permukaan. Jangan menyentuh spons karena spikula dapat menembus kulit
Anda dan tetap melekat sehingga sangat tidak nyaman. Mungkin ada lubang melingkar
atau lekukan pada permukaan yang kosong. Ini adalah lubang yang mengandung pori
khusus yang disebut porocalices. Lubang yang ditempatkan secara teratur ini
membuatnya menyerupai bola golf! Kadang-kadang, yang rusak juga terlihat,
menunjukkan kerangka radiasi internal berwarna kuning. Anak muda tidak memiliki
lubang di permukaan dan sering menyerupai bola berbulu. Warna biasanya kuning,
meskipun endapan yang menumpuk di duri dapat menyembunyikan warnanya (
Faizal,2011).
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari praktikum lapnagan sistematika avertebrata, dapat
disimpulkan bahwa spesies yang ditemukan pada Pantai Batu Burung Kelurahan
Sedau, hanya ditemukan 4 spesies saja, yaitu. dysidae etheria, spongilla lacutris,
Cinachyrella australiensis Hal ini menunjukan bahwa keragaman jenis porifera pada
lokasi tersebut rendah. Berhubungan dengan lokasi ditemukannya preparat, preparat
tersebut memiliki morfologi dengan warna coklat tua,coklat kekuningan dan coklat
muda,untuk tipe spikulanya yaitu silicon.

5.2 Saran
Sebaiknya untuk praktikum lapangan sistematika avertebrata selanjutnya di
lakukan di perluaan pengambilan sampel agar porifera yang didapat beragam dan lebih
banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Berquist, PR, 1968, The Marine Fauna of New Zealand, Porifera, Demospongiae,
Part 1 (Tetractinomorpha and Lithistida), New Zealand Department of
Scientific and Industrial Research, (37): 9-104.

Chambell, Reece, 2008, Biologi Edisi Kedelapan Jilid 2, Erlangga, Jakarta

De Voog, dan Soest, R.W., 2006, Sponge Beta Diversity in The Spermonde
Archipelago, South West Sulawesi, Indonesia., Marine Ecology Progress Series,
309, 131-142

De Voogd NJ, 2005, ‘Anassessment of sponge mariculture potentials in the


Spermonde, Archipelago, Indonesia’, Di dalam: Nicole J. De Voogd, editor,
Indonesian,Sponges: Biodiversity and Mariculture Potential, PhD- thesis,
Netherlands, University of Amsterdam.

Faizal A, 2011, Dinamika Spasio-Temporal Pengaruh Eutrofikasi


Sedimentasi Terhadap Degradasi Terumbu Karang, Universitas
Hasanuddin, Makassar

Haris A, 2013. Sponge : Biologi dan Ekologi, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikananan, Universitas Hasanuddin, Makassar

Romihmohtarto, K, dan Juwana S, 1999, Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut, Pusat Penelitian dan Pengembang Oseanologi
LIPI, Jakarta.

Wilkinson CR. 1980,’ Cyanobacteria symbiotic inmarine sponges’, Di dalam


: Schwemmler, editor. Endocytobiology, Endosymbiosis and Cell
Biology,Berlin : Walter de Gruyte
Lampiran 1. Klasifikasi Forifera di Kelurahan Sedau Kecamatan

Kelas Ordo Famili Genus Spesies


Demospongae Dictyoceratida Dysideidae Dysidea Dysidea etheria
Demospongae Spongilida Spongilidae Spongilla Spongilla lacutris
DdemospongaeSerongiida Aplysinidae Aiolochroia Aiolochroia sp.
Demospongae Tetractinelida Tetilidae Inachyrella Cinachryella autraliens

Lampiran 2. Dokumentasi Praktikum Lapangan

Anda mungkin juga menyukai