Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MAKALAH FARMAKOLOGI

“ANTIPSIKOTIK”
Dosen : Dr. Refdanita, M.Si., Apt

Disusun Oleh :
Arfianti Wionita 14330144

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan hidayat-NYA yang dilimpahkan kepada kami sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Farmakologi yang berjudul
“Antipsikotik” dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Farmakologi. Dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa membantu dalam
menyelesaikan makalah ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa
terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu penyusunan dan
menyelesaikan makalah ini, kepada :
1. Dr. Refdanita, M.Si., Apt selaku dosen mata kuliah Farmakologi.
2. Pihak-pihak yang telah membantu dalam pengerjaan makalah ini yang tak
mungkin ditulis satu persatu sehingga makalah ini bisa selesai.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat


kekuranganya. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan
saran yang membangun. Namun, besar harapan agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi bagi pembaca sekalian.

Jakarta, November 2018

Penulis

ii
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan
badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau
memperindah badan atau bagian badan manusia termasuk obat tradisional.
Gangguan jiwa adalah suatu keadaan dengan adanya gejala klinis yang
bermakna berupa sindrom pola perilaku dan pola psikologik, yang berkaitan
dengan adanya stress ( tidak nyaman, tidak tentram dan rasa nyeri ), disabilitas
(tidak mampu mengerjakan pekerjaan sehari - hari ) atau meningkatnya resiko
kematian dan kesakitan. Gangguan jiwa dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu
gangguan jiwa psikotik - organik ( demensia dan delirium), gangguan jiwa
psikotik - non organik ( skizofrenia, waham, gangguan mood ) dan gangguan jiwa
psikotik ( gangguan cemas, psikoseksual, dan gangguan kepribadian ).
Angka kejadian (incident rate) dan angka skizofnemia kesakitan
(morbidity rate) berbagai gangguan jiwa. Dalam masyarakat umum terdapat 0,2-
0,8% dan retardasi mental antara lain 1-3% WHO melaporkan bahwa 5- 15% dari
anak-anak antara 3-15 tahun mengalami gangguan jiwa yang persistent dan
mengganggu hubungan sosial. Bila kira-kira penduduk 40% Negara kita adalah
anak-anak dibawah 15 tahun (di Negara yang sudah berkembang kira-kira 25%)
dapat digambarkan besarnya masalah. Ambil saja 5% dari 40% dari katakana saja
120 juta penduduk maka Negara kita terdapat kira-kira 2,5 juta penduduk maka
Negara kita terdapat kira-kira 2,5 juta penduduk yang mengalami gangguan jiwa
yang sampai sekarang pun belum tahu secara pasti penyebabnya (Maramis, 2004).
Manusia adalah makhluk sosial, untuk mencapai kepuasan dalam
kehidupan harus membina hubungan interpersonal yang positif. Hubungan
interpersonal yang sehat terjadi jika individu yang terlibat saling merasakan
kedekatan antara sementara identitas pribadi tetap dipertahankan. Jika sebaliknya

2
maka patut dicurigai adanya gangguan kepribadian dan biasanya terjadi pada
masa remaja dan dewasa. (Stuart and Sundeen, 2006 ).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, adalah :
a. Bagaimana mekanisme kerja obat Antipsikotik ?
b. Bagaimana efek kerja obat Antipsikotik ?
c. Apa indikasi dari obat Antipsikotik ?
d. Bagaimana klasifikasi gangguan antipsikotik?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam makalah ini, adalah :
a. Mengetahui dan memahami mengenai Antipsikotik
b. Mengetahui dan memahami mekanisme kerja obat Antipsikotik
c. Mengetahui dan memahami indikasi dari obat Antipsikotik
d. Mengetahui dan memahami klasifikasi pada obat Antipsikotik

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Pengertian psikotropik menurut WHO adalah obat yang bekerja pada atau
mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Psikofarmakologi
berkembang dengan pesat sejak ditemukannya alkaloid Rauwolfia dan
klorpromazin yang ternyata efektif untuk mengobati kelainan psikiatrik. Berbeda
dengan pengobatan antibiotik, pengobatan dengan psikotropik bersifat simtomatik
dan lebih didasarkan pada pengetahuan empirik.
Jenis-jenis psikotropika biasanya digolongkan berdasarkan kegunaannya
klinisnya, yaitu :
1. Anti psikosis
2. Anxiolitik
3. Anti depresan
4. Mood stabilizer
5. Cognitive enhancer
6. Hipnotik
7. Stimulan
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronis. Ciri
terpenting obat neuroleptik ialah :
 Berefek anti psikosis, yaitu berguna untuk mengatasi agresivitas, hiper
aktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis.
 Dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anesthesia.
 Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal yang reversible atau
ireversibel.
 Tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan psikis atau
fisik.
Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik
atau obat anti skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia
tetapi juga efektif untuk psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium. Obat-
obat anti psikotik ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :

4
I. Obat anti psikotik tipikal
1. Phenothiazine
 Rantai aliphatic : CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
 Rantai piperazine : PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
 Rantai piperidine : THIORIDAZINE
2. Butyrophenone : HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE
II. obat anti psikotik atipikal
1. Benzamide : SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3. Benzisoxazole : RISPERIDON
Obat-obat neuroleptika tipikal (tradisional) adalah inhibitor kompetitif
pada berbagai reseptor, tetapi efek anti psikotiknya mencerminkan penghambatan
kompetitif dari reseptor dopamin. Obat-obat ini berbeda dalam potensinya tetapi
tidak ada satu obatpun yang secara klinik lebih efektif dari yang lain. Sedangkan
obat-obat neuroleptika atipikal yang lebih baru, disamping berafinitas terhadap
‘Dopamine D2 Receptors’ juga terhadap ‘Serotonin 5 HT2 Receptors’.
Obat neuroleptika bukan untuk pengobatan kuratif dan tidak
menghilangkan gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi sering
memungkinkan pasien psikotik berfungsi dalam lingkungan yang suportif.

5
2. Farmakokinetik
Obat-obat anti psikotik dapat diserap pada pemberian peroral, dan dapat
memasuki sistem saraf pusat dan jaringan tubuh yang lain karena obat anti
psikotik adalah lipid-soluble. Kebanyakan obat-obatan antipsikotik bisa diserap
tapi tidak seluruhnya. Obat-obatan ini juga mengalami first-pass metabolism yang
signifikan. Oleh karena itu, dosis oral chlorpromazine and thioridazine
mempunyai availability sistemik 25 – 35%. Haloperidol dimetabolisme lebih
sedikit, dengan availability sistemik rata-rata 65%. Kebanyakan obat antipsikotik
bergabung secara intensif dengan protein plasma (92 – 99%) sewaktu distribusi
dalam dalam darah. Volume distribusi obat-obatan ini juga besar, biasanya lebih
dari 7L/kg.
Obat-obatan ini memerlukan metabolisme oleh hati sebelum eliminasi dan
mempunyai waktu paruh yang lama dalam plasma sehingga memungkinkan once-
daily dosing. Walaupun setengah metabolit tetap aktif, seperti 7-
hydroxychloropromazine dan reduced haloperidol, metabolit dianggap tidak
penting dalam efek kerja obat tersebut. Terdapat satu pengecualian, yaitu
mesoridazine, yang merupakan metabolit utama thioridazin, lebih poten dari
senyawa induk dan merupakan kontributor utama efek obat tersebut. Sediaan
dalam bentuk parenteral untuk beberapa agen, seperti fluphenazine, thioridazine
dan haloperidol, bisa dipakai untuk terapi inisial yang cepat.
Sangat sedikit obat-obatan psikotik yang diekskresi tanpa perubahan.
Obat-obatan tersebut hampir dimetabolisme seluruhnya ke substansi yang lebih
polar. Waktu paruh eliminasi (ditentukan oleh clearance metabolic) bervariasi,
bisa dari 10 sampai 24 jam.
3. Mekanisme Kerja
Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik,
yang dapat digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-
dopamine.
Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan
tersebut disebabkan oleh peningkatan berlebihan yang relatif dalam aktifitas
fungsional neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis
ini berlandaskan observasi berikut:
 Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada SSP, terutama
pada sistem mesolimbik-frontal.
 Penggunaan obat yang meningkatkan aktivitas dopamin, seperti levodopa
(prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi dopamin), apomorfin
(agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia ataupun
menyebabkan psikosis de novo pada pasien.

6
 Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik yang
menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita skizofrenia.
 Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan perubahan
jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin, pada cairan
serebrospinal, plasma, dan urin.
 Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region tertentu di
otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma Tourette, tic
klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.
Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan
karena obat-obatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan
pasien dan obat-obatan tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih
tinggi untuk reseptor-reseptor selain reseptor D2.
Lima reseptor dopamin yang berbeda telah ditemukan, yaitu D1 – D5.
Setiap satu reseptor dopamin adalah berpasangan dengan protein G dan
mempunyai tujuh domain transmembran. Reseptor D2, ditemukan dalam
kaudatus-putamen, nukleus accumbens, kortek serebral dan hipotalamus,
berpasangan secara negatif kepada adenyl cyclase. Efek terapi relatif untuk
kebanyakan obat-obatan antipsikotik lama mempunyai korelasi dengan afinitas
mereka terhadap reseptor D2. Akan tetapi, terdapat korelasi dengan hambatan
reseptor D2 dan disfungsi ekstrapiramidal.
Beberapa antipsikotik yang lebih baru mempunyai afinitas yang lebih
tinggi terhadap reseptor-reseptor selain reseptor D2. Contohnya, tindakan
menghambat alfa-adrenoseptor mempunyai korelasi baik dengan efek antipsikotik
kebanyakan obat baru ini. Inhibisi reseptor serotonin (S) juga merupakan cara
kerja obat-obatan antipsikotik baru ini. Clozapin, satu obat yang mempunyai
tindakan menghambat reseptor D1, D4, 5-HT2, muskarinik dan alfa-adrenergik
yang signifikan, mempunyai afinitas yang rendah terhadap reseptor D 2.
Kebanyakan obat-obatan atipikal yang baru (seperti olanzapin, quetiapin,
resperidon dan serindole) mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor 5-

7
HT2A, walaupun obat-obat tersebut juga bisa berinteraksi dengan reseptor D2 atau
reseptor lainnya. Kebanyakan obat atipikal ini menyebabkan disfungsi
ekstrapiramidal yang kurang kalau dibandingkan dengan obat-obatan standar.
4. Efek Kerja
Penghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan
dengan keuntungan terapi obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa jalur
utama dopamin diotak, antara lain :
1. Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur
nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan
terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut
extrapyramidal reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia,
dystonia (terutama pada wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau
bradikinesia.
2. Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbic. Jalur
dopamin mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti sensasi
menyenangkan, euphoria yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika
jalur ini hiperaktif dapat menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat
dalam timbulnya gejala positif psikosis.
3. Jalur dopamin mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks
limbic. Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamine
mesolimbik. Jalur ini selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala
positif dan negative psikosis, juga berperan pada neuroleptic induced deficit
syndrome yang mempunyai gejala pada emosi dan sistem kognitif.

8
4. Jalur dopamin tuberoinfundibular
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur
ini bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok
dapat terjadi galactorrhea.

Tindakan-tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan antipsikotik


terdapat pada tabel berikut.
Tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan neuroleptik
Obat D2 D4 Alfa1 5-HT2 M H1
Kebanyakan ++ - ++ + + +
phenothiazin
e dan
thioxanthene
Thiordazine ++ - ++ + +++ +
Haloperidol +++ - + - - -
Clozapin - ++ ++ ++ ++ +
Molindone ++ - + - + +
Olazapin + - + ++ + +
Quetiapin + - + ++ + +
Risperidon ++ - + ++ + +
Sertindole ++ - + +++ - -

9
5. Indikasi Penggunaan
Gejala sasaran antipsikosis (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS, yaitu :
- Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing
ability), bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang
terganggu, daya nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan insight
terganggu.
- Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala :
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan
situasi), dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized).
- Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam
gejala : tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Sindroma psikosis dapat terjadi pada :
- Sindrom psikosis fungsional :Skizofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif,
psikosis reaktif singkat, dll.
- Sindrom psikosis organik : delirium, dementia, intoksikasi alkohol, dll.

6. Penggunaan Obat Antipsikosis


A. Pengobatan skizofrenia
Antipsikosis merupakan satu-satunya pengobatan efektif untuk
skizofrenia. Tetapi tidak semua pasien responsif dan normalisasi tingkah laku
yang komplit jarang dicapai. Antipsikosis tradisional (tipikal) paling efektif
dalam pengobatan gejala skizofrenia yang positif (delusi, halusinasi, dan
gangguan pemikiran). Obat-obat baru dengan aktifitas penghambat serotonin
(atipikal) efektif untuk pasien-pasien yang resisten dengan obat tradisional,
terutama pengobatan dengan gejala negatif dari skizofrenia (menarik diri,
emosi buntu, kemunduran dalam komunikasi dengan orang lain.
Klorpromazin (CPZ) berefek antipsikosis dan bersifat sedasi. Indikasi
utama fenotiazin adalah skizofrenia, dengan gangguan psikosis. Gejala
psikosis yang dipengaruhi oleh fenotiazin dan antipsikosis lain adalah
ketegangan, hiperaktivitas, combativeness, hostality, halusinasi, delusi akut,

10
susah tidur, anoreksia, perhatian diri yang buruk, negativisme dan kadang-
kadang mengatasi sifat menarik diri. Sedangkan pengaruh fenotiazin kurang
terhadap insight, judgement, daya ingat dan orientasi.
Butirofenon diantaranya adalah haloperidol berguna untuk menenangkan
keadaan mania penderita psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberi
fenotiazin. Buirofenon merupakan obat pilihan untuk mengobati sindrom
Gilles de la Tourette, suatu kelainan neurologik yang ditandai dengan kejang
otot hebat, menyeringai (grimacing) dan explosive utterances of foul
expletives (koprolalia, mengeluarkan kata-kata jorok).
Dibenzodiazepin bersifat atipikal, diantaranya klozapin efektif untuk
mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif
(iritabilitas) maupun yang negatif (social disinterest, incompetence, dan
personal neatness).
Pemberian antipsikosis sangat memudahkan perawatan pasien. Walaupun
antipsikosis sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis akut, namun
penggunaan antipsikosis saja tidak cukup untuk merawat pasien psikotik.
Perawatan, perlindungan dan dukungan mental-spiritual terhadap pasien
sangatlah penting.
B. Pencegahan mual dan muntah yang hebat
Antipsikosis (umumnya proklorperazin) berguna untuk pengobatan mual
akibat obat. Semua antipsikosis kecuali mesoridazin, molindon, tioridazin, dan
klozapin mempunyai efek antiemetik.
Domperidon diindikasikan untuk mengatasi mual dan muntah, efek obat
ini secara klinis sangat mirip metoklopramid, yaitu mencegah refluks esofagus
berdasarkan efek peningkatan tonus sfingter bagian bawah.

11
C. Penggunaan lain
Antipsikosis dapat digunakan sebagai tranquilizer untuk mengatur tingkah
laku yang agitatif dan disruptif. CPZ merupakan obat terpilih untuk
pengobatan cegukan yang menetap yang berlangsung berhari-hari dan sangat
mengganggu. Prometazin digunakan untuk pengobatan pruritus karena sifat-
sifat antihistaminnya.
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis
yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan
antipsikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis
ekuivalennya, dimana profil efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis
antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek
sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.

7. Sediaan Antipsikosis dan dosis anjuran


No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran
1 Chlorpromazine LARGACTIL Tab. 25 mg, 100 mg 150-600 mg/h
PROMACTIL
MEPROSETIL
ETHIBERNAL Amp.25 mg/ml
2 Haloperidol SERENACE Tab. 0,5 mg, 1,5&5 5-15 mg/h
mg
Liq. 2 mg/ml
HALDOL Amp. 5 mg/ml
GOVOTIL Tab. 0,5 mg, 2 mg
LODOMER Tab. 2 mg, 5 mg
HALDOL DECA- Tab. 2 mg, 5 mg 50 mg / 2-4
NOAS Amp. 50 mg/ml minggu
3 Perphenazine TRILAFON Tab. 2 mg, 4&8 mg 12-24 mg/h
4 Fluphenazine ANATENSOL Tab. 2,5 mg, 5 mg 10-15 mg/h
Fluphenazine- MODECATE Vial 25 mg/ml 25 mg / 2-4
decanoate minggu
5 Levomepromazine NOZINAN Tab.25 mg 25-50 mg/h
Amp. 25 mg/ml
6 Trifluoperazine STELAZINE Tab. 1 mg, 5 mg 10-15 mg/h
7 Thioridazine MELLERIL Tab. 50 mg, 100 mg 150-600 mg/h
8 Sulpiride DOGMATIL – Tab. 200 mg 300-600 mg/h
FORTE Amp. 50 mg/ml
9 Pimozide ORAP FORTE Tab. 4 mg 2-4 mg/h
10 Risperidone RISPERDAL Tab. 1,2,3 mg Tab 2-6 mg/h
12
NERIPROS Tab. 1,2,3 mg
NOPRENIA Tab. 1,2,3 mg
PERSIDAL-2 Tab. 2 mg
RIZODAL Tab. 1,2,3 mg
11 Clozapine CLOZARIL Tab. 25 mg, 100 mg 25-100 mg/h
12 Quetiapine SEROQUEL Tab. 25 mg, 100 mg, 50-400 mg/h
200 mg
13 Olanzapine ZYPREXA Tab. 5 mg, 10 mg 10-20 mg/h

8. Pengaturan dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
- Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
- Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam
- Waktu paruh : 12 – 24 jam (pemberian obat 1-2 x
perhari)
- Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.
Pengobatan dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran
 dinaikkan setiap 2 – 3 hari
 sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan Sindrom Psikosis)
 dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan
 dosis optimal
dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi)
 diturunkan setiap 2 minggu
 dosis maintenance
 dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1- 2 hari/minggu
 tappering off (dosis diturunkan tiap 2 – 4 minggu)
 stop

13
9. Lama Pemberian

Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang ”multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian
yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung
menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian
baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkan
metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih
mempunyai keaktifan antipsikosis.
Pada umumnya pemberian antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk
”Psikosis Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya
gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
Antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun
diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil
sekali. Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala ”Cholinergic
Rebound”, yaitu : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll.
Keadaan ini akan mereda dengan pemberian ”anticholinergic agent” (injeksi
Sulfas Atropin 0,25 mg (IM), tablet Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h).
Oleh karena itu, pada penggunaan bersama antipsikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, antipsikosis dihentikan lebih dahulu,
kemudian baru menyusul obat antiparkinson yang dihentikan.
Pada penggunaan parenteral, antipsikosis ”long-acting” (Fluphenazine
Decanoate 25 mg/ml atau Haloperidol Decanoas 50 mg/ml, IM, untuk 2 – 4
minggu) sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan
obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan per oral dahulu beberapa
minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas. Dosis mulai dengan
½ ml setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru ditingkatkan menjadi 1
ml setiap bulan.

14
Pemberian antipsikosis ”long-acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15-25% kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal.
10. Pemilihan Sediaan

Pemilihan antipsikosis dapat didasarkan atas struktur kimia serta efek


farmakologi yang menyertai. Mengingat perbedaan antargolongan antipsikosis
lebih nyata daripada perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka
cukup dipilih salah satu obat dari satu golongan saja. Pedoman terbaik dalam
memilih obat secara individual ialah riwayat respon pasien terhadap obat.
Kecenderungan pengobatan saat ini ialah meninggalkan antipsikosis
berpotensi rendah misalnya CPZ dan tioridazin, kearah penggunaan obat
berpotensi tinggi, misalnya tiotiksen, haloperidol dan flufenazin.
Pedoman pemilihan antipsikosis adalah sebagai berikut :
1. Bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang tidak diketahui
sebelumnya, maka pilihan jatuh pada fenotiazin berpotensi tinggi.
2. Bila kepatuhan penderita menggunakan obat tidak terjamin, maka pilihan
jatuh pada flufenazin oral dan kemudian tiap 2 minggu diberikan suntikan
flufenazin enantat atau dekanoat.
3. Bila penderita mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular atau stroke,
sehingga hipotensi merupakan hal yang membahayakan, maka pilihan jatuh
pada fenotiazin piperazin, atau haloperidol.
4. Bila karena alasan usia atau faktor penyakit, terdapat resiko efek samping
ekstrapiramidal yang nyata, maka pilihan jatuh pada tioridazin.
5. Tioridazin tidak boleh digunakan apabila terdapat gangguan ejakulasi.
6. Bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol
atau fenotiazin piperazin.
7. Bila penderita memiliki kelainan hepar atau cenderung menderita ikterus,
haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan.

Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis


yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan

15
antipsikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis
ekuivalennya, dimana profil efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis
antipsikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek
sampingnya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.

11. Efek Samping dan Penanganan

1. KLORPROMAZIN DAN DERIVAT FENOTIAZIN


Efek samping
Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek
samping umumnya merupakan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala
idiosinkrasi mungkin timbul, berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia.
Reaksi ini disertai eosinofilia dalam darah perifer.
Efek endokrin
CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi, juga menghambat sekresi ACTH.
Hal ini dikaitkan dengan efeknya terhadap hipotalamus.
Semua fenotiazin, kecuali klozapin menimbulkan hiperprolaktinemia lewat
penghambatan efek sentral dopamin.
Kardiovaskular
Dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan :
 Refleks presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah
yang dihambat oleh CPZ.
 Berefek  bloker
 Menimbulkan efek inotropik negatif pada jantung
Toleransi dapat timbul terhadap efek hipotensif CPZ
Neurologik
Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal seperti parkinsonisme pada dosis
berlebihan. Dikenal 6 gejala sindrom neuroleptik yang karakteristik pada obat
ini, empat diantaranya terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut,
akatisia, parkinsonisme dan sindroma neuroleptik malignant, sedangkan dua

16
gejala lain timbul setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,
berupa tremor perioral dan diskinesia tardif.
2. BUTYROPHENONE
Efek samping dan intoksikasi
Menimbulkan reaksi ekstra pyramidal terutama pada pasien usia muda. Dapat
terjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping.
Leukopenia dan agranulositosis ringan dapat terjadi. Haloperidol sebaiknya
tidak diberikan pada wanita hamil.
Susunan saraf pusat
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang
mengalami eksitasi, menurunkan ambang rangsang konvulsif, menghambat
sistem dopamin dan hypothalamus, juga menghambat muntah yang
ditimbulkan oleh apomorfin.
Sistem saraf otonom
Dapat menyebabkan pandangan kabur. Obat ini menghambat aktifitas reseptor
 yang disebabkan oleh amin simpatomimetik.
Sistem kardiovaskular dan respirasi
Menyebabkan hipotensi, takikardi, dan dapat menimbulkan potensiasi dengan
obat penghambat respirasi.
Efek endokrin
Menyebabkan galaktore
3. DIBENZODIAZEPIN
Efek samping dan intoksikasi
Agranulositosis merupakan efek samping utama pada pengobatan dengan
klozapin. Gejala ini timbul paling sering 6-18 minggu setelah pemberian obat,
dengan resiko 1,2% pada penggunaan setelah 4 minggu. Penggunaan obat ini
tidak boleh lebih dari 6 minggu kecuali bila terlihat ada perbaikan. Dapat pula
terjadi hipertermia, takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi, kantuk,
letargi, koma, disorientasi, delirium, depresi pernapasan, aritmia dan kejang.

17
EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOSIS

OBAT ANTI PSIKOSIS EFEK EFEK EFEK EFEK


EKSTR ANTIE SEDATIF HIPOTE
APIRA METIK NSIF
MIDAL
A. DERIVAT FENOTIAZIN
1. Senyawa dimetilaminopropil :
Klorpromazin ++ ++ +++ ++
Promazin ++ ++ ++ +++
Triflupromazin +++ +++ +++ +
2. Senyawa piperidil :
Mepazin ++ ++ +++ ++
Tioridazin + + ++ ++
3. Senyawa piperazin :
Asetofenazin ++ ++ + +
Karfenazin +++ +++ ++ ++
Flufenazin +++ +++ ++ +
Perfenazin +++ +++ + +
Proklorperazin +++ +++ ++ +
Trifluoperazin tiopropazat +++ +++ ++ +
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen ++ ++ +++ ++
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol +++ +++ + +

Efek samping yang ireversibel seperti tardif diskinesia (gerakan berulang


involunter pada lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak dimana saat tidur gejala
menghilang) yang timbul akibat pemakaian jangka panjang dan tidak terkait dengan
besarnya dosis. Bila gejala tersebut timbul maka obat anti psikotik perlahan-lahan
dihentikan, bias dicoba pemberian Reserpine 2,5 mg/h (dopamine depleting agent).
Penggunaan L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat anti psikotik hampir tidak pernah
menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau keinginan untuk bunuh diri.

18
BAB III
PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado dari bulan
Maret 2013 sampai bulan Juli 2013. Penelitian ini merupakan jenis penelitian survei
deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif. Data diambil dari 5 ruangan
perawatan jiwa yaitu ruang cakalele, ruang kabela, ruang katrili, ruang maengket dan
ruang alabadiri. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pasien
yang menderita skizofrenia di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado.
Sampel dalam penelitian ini adalah data rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi
dimana penderita didiagnosis skizofrenia dan menerima pengobatan antipsikotik.
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Penelitian dilakukan
terhadap 142 data rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi.
Tabel 1. Data Karakteristik Penderita Skizofrenia di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Manado periode Januari 2013-Maret 2013 berdasarkan kategori umur,
jenis kelamin dan diagnosa.

19
Tabel 2. Data penggunaan antipsikotik penderita skizofrenia di Rumah Sakit Prof. Dr. V.
L. Ratumbuysang Manado periode Januari 2013-Maret 2013 berdasarkan jenis
antipsikotik.

Tabel 3. Data penggunaan antipsikotik penderita skizofrenia di Rumah Sakit Prof. Dr. V.
L. Ratumbuysang Manado periode Januari 2013-Maret 2013 berdasarkan kategori
pengobatan.

Penelitian dilakukan pada 144 rekam medik pasien dan yang memenuhi kriteria
inklusi sebanyak 142 rekam medik pasien. Dari 142 rekam medik pasien yang berumur
36-45 tahun sebanyak 49 penderita (34,5%). Kelompok usia ini merupakan usia produktif
yang cenderung terkena Skizofrenia. Pada kelompok usia ini gejala sudah dapat dilihat,
walaupun beberapa tahun sebelumnya sudah muncul namun belum kelihatan (Irmansyah,
2005). Dari data American Psychiatric Association (1995) menyebutkan 75 % penderita

20
Skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun dikarenakan pada usia tersebut
merupakan usia remaja dan dewasa muda yang beresiko tinggi karena tahap kehidupan
ini penuh stresor.
Hasil penelitian ini menunjukkan penderita skizofrenia dengan jenis kelamin laki-
laki lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan. Penderita laki-laki
sebanyak 95 penderita (66,9%) sedangkan penderita perempuan sebanyak 47 penderita
(33,1%). Pria mempunyai onset skizofrenia lebih awal daripada wanita. Usia puncak
onset untuk pria adalah 15-25 tahun dan untuk wanita usia puncaknya adalah 25 35 tahun
(Kaplan dan Sadock, 1997). Hal ini juga sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
prognosis dan perjalanan penyakit pada laki-laki lebih buruk dibandingkan pada
penderita perempuan sehingga lebih cepat terlihat. Penyebabnya dapat karena faktor
genetik, lingkungan atau pengaruh dari dalam diri sendiri (Lehman et al, 2004).
Ditinjau dari diagnosa atau jenis skizofrenia dapat dilihat bahwa jenis skizofrenia
terbanyak terdapat pada skizofrenia paranoid sebanyak 58 penderita (40,8%) kemudian
diikuti dengan skizofrenia residual sebanyak 56 penderita (39,4%). Skizofrenia
hebrefenik sebanyak 17 penderita (12%), skizofrenia katatonik sebanyak 5 penderita
(3,5%), skizofrenia tak terinci sebanyak 3 penderita (2,1%), skizofrenia lainnya sebanyak
2 penderita (1,4%) dan yang paling sedikit adalah skizofrenia simpleks sebanyak 1
penderita (0,7%).
Ditinjau dari jenis antipsikotik yang digunakan pada penderita Skizofrenia yang
paling banyak digunakan pada terapi tunggal adalah Risperidon sebanyak 30 penderita
(21,1%). Risperidon merupakan derivat dari benzisoksazol yang diindikasikan untuk
terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif maupun positif. Untuk efek samping
ekstrapiramidal umumnya lebih ringan dibandingkan dengan antipsikosis tipikal (FKUI,
2007).
Pada terapi kombinasi yang paling banyak digunakan adalah Haloperidol-
Klorpromazin sebanyak 33 penderita (23,2%). Haloperidol merupakan golongan potensi
rendah untuk mengatasi penderita dengan gejala dominan gaduh, gelisah, hiperaktif dan
sulit tidur. Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis.
Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80% pasien yang diobati haloperidol. Klorpromazin
merupakan golongan potensi tinggi untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala

21
dominan apatis, hipoaktif, waham dan halusinasi. Klorpromazin menimbulkan efek
sedasi yang disertai acuh tak acuh terhadap rangsang dari lingkungan. Timbulnya sedasi
amat tergantung dari status emosional pasien sebelum minum obat.
Berdasarkan kategori pengobatan dapat dilihat bahwa pengobatan dengan
antipsikotik tipikal lebih banyak digunakan daripada antipsikotik atipikal dan kombinasi
tipikal-atipikal. Pengobatan dengan antipsikotik tipikal sebanyak 59 penderita (41,5%).
Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat
reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal
yang kuat. Golongan antipsikotik tipikal umumnya hanya berespons untuk gejala positif .
Selain itu antipsikotik tipikal juga memiliki tempat dalam manajemen psikosis, antara
lain untuk pasien yang kurang mampu atau pada keadaan dimana pasien tersebut sudah
stabil dengan antipsikotik tersebut dengan efek samping yang masih diterima oleh pasien.
Pada hasil penelitian ini pengobatan dengan menggunakan antipsikotik atipikal
sebanyak 34 penderita (23,9%). Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai
afinitas yang lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap
reseptor dopamin 4, serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor alfa
adrenergik. Golongan antipsikosis atipikal efektif untuk gejala positif maupun gejala
negative pada pasien skizofrenia. (FKUI, 2007).

22
BAB IV
KESIMPULAN

1. Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin dalam


berbagai jaras di otak. Antipsikotik atipikal juga meningkatkan keefektifan
serotonin.
2. Penggunaan antipsikotik banyak dikaitkan dengan kelainan dalam regulasi
glukosa. Penggunaan antipsikotik dapat menyebabkan peningkatan penyimpanan
lemak dalam jaringan adiposa yang kemudian memicu penurunan sensitivitas
insulin (Newcomer dkk., 2002).
3. Antipsikotik generasi kedua seperti clozapin dan olanzapin berhubungan dengan
efek samping terhadap regulasi glukosa dalam berbagai tingkatan keparahan yang
berbeda tergantung dari potensinya dalam peningkatan penyimpanan lemak dalam
jaringan adiposa dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Clozapin dan
olanzapin menyebabkan peningkatan berat badan dan meningkatkan massa lemak
tubuh secara signifikan, dengan resistensi insulin dan risiko diabetes mellitus
(Newcomer dkk.,2002).
4. Aktifitas antipsikotik atipikal adalah antagonis pada berbagai system
neurotransmitter termasuk dopaminergik, adrenergik, serotonergik, histaminergik
dan subtipe reseptor muskarinik (Teff & Kim, 2011). Neurotransmitter ini
berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan jalur
metabolisme dan juga regulasi asupan makanan.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi.


Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran- Universitas Indonesia; 1995.
2. Kaplan HI, Sadock BJ. Kaplan and Saddock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science/ Clinical Psychiatry. 8th ed. Maryland: William & Wilkins; 1998.
3. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. New York: McGraw-Hill;
2001.
4. Maslim R, Panduan Praktis Penggunaan Klini, Obat Psikotropik. Edisi 3. Jakarta:
2001.
5. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lippincott’s Illustatrated Reviews:
Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2000.
6. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran- Universitas Indonesia; 1995.
7. Maramis, W.F. 2004. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Universitas Airlangga.
8. Natari, R. 2012. Evaluasi Penggunaan Antipsikotik pada Pasien Skizofrenia
Episode Pertama di RSJD Provinsi Jambi. Bandung :ITB

24

Anda mungkin juga menyukai