Anda di halaman 1dari 24

BAB I

DEFINISI

Pengertian sedasi adalah penurunan kesadaran dimana terjadi penurunan


kecemasan, stres, iritabilitas, atau rangsangan yang disebabkan oleh pemberian
obat-obatan sedatif.
Menurut American Society of Anesthesiologist (ASA), sedasi dibagi menjadi 4
tingkat, yaitu:
1. Sedasi minimal (anxiolysis): pasien respon normal terhadap perintah verbal.
Pasien tidak mengalami gangguan pada sistem respirasi dan kardiovaskuler,
sedangkan fungsi kognitif dan koordinasi dapat terganggu.
2. Sedasi moderat (conscious sedation): pasien memberikan respon yang
bertujuan, terhadap perintah verbal atau stimulasi taktil ringan. Fungsi
kardiovaskuler tidak terganggu. Biasanya tidak diperlukan intervensi untuk
menjaga patensi jalan nafas. Pernafasan spontan adekuat. Keadaan ini
merupakan tingkat sedasi yang paling sering dipakai untuk berbagai prosedur
sedasi.
3. Sedasi dalam: pasien tidak mudah untuk dibangunkan, tetapi memberikan respon
yang bertujuan terhadap stimulasi berulang atau nyeri. Fungsi kardiovaskuler
terjaga. Kemampuan untuk menjaga fungsi ventilasi dapat terganggu. Ventilasi
spontan dapat inadekuat. Pasien memerlukan bantuan untuk menjaga patensi
jalan nafas.
4. Anestesi: merupakan anestesi umum, dimana terjadi penumpulan atau eliminasi
refleks protektif jalan nafas. Pasien tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan
stimulasi nyeri. Pasien memerlukan bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas.
Tekanan positif mungkin diperlukan karena terjadi depresi ventilasi spontan.
Fungsi kardiovaskuler dapat terganggu.

Tabel 1. Perubahan Fisiologis Tubuh Terhadap Kedalaman Sedasi

Sedasi minimal
Sedasi moderat Sedasi dalam Anestesi
(ansiolisis)
Tingkat Respon normal Memberikan Respon Tidak dapat
Responsivitas hingga stimulasi respon bertujuan bertujuan dibangunkan,
verbal terhadap stimulasi setelah stimulasi bahkan dengan
verbal atau taktil Berulang atau stimulasinyeri
nyeri
Jalan nafas Tidak Tidak memerlukan Mungkin Memerlukan
terpengaruhi intervensi memerlukan intervensi
intervensi
Ventilasi Tidak adekuat Mungkin inadekuat
Spontan terpengaruhi inadekuat
Fungsi Tidak Tidak tepengaruhi Biasanya dapat Dapat terganggu
Kardiovaskuler terpengaruhi dipertahankan
Sumber:Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002.
BAB II
RUANG LINGKUP

Pelayanan sedasi prosedural yang seragam dan terstandar di seluruh area


rumah sakit termasuk pelayanan di kamar operasi dan di luar kamar operasi. Pelayanan
sedasi di luar kamar operasi meliputi ruang resusitasi, ICU, HCU, CT Scan, MRI, IDT,
sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 519/ Menkes/ PER/III/2011 tanggal 3
Maret 2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi
Intensif di Rumah Sakit dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/Menkes/251/2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anestesiologi dan Terapi Intensif.
BAB III
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. Prosedur Sedasi
Sedasi prosedural dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi dan DPJP
Utama melakukan konsultasi terlebih dahulu. Pada prosedur elektif, DPJP utama
mengkonsulkan ke poliklinik perioperatif selama jam kerja minimal 1 hari sebelum
dilakukannya prosedur. Pada prosedur emergensi, DPJP utama mengkonsulkan
ke DPJP anestesi yang bertugas jaga onsite.
Pelayanan sedasi meliputi evaluasi, memantau dan mengelola pasien pra,
intra dan pascasedasi. Dokter anestesiologi pemberi sedasi akan melakukan
informed consent mengenai prosedur sedasi, tujuan, risiko, komplikasi dan
alternatif tindakan. Informed consent ini didokumentasikan di dalam rekam medis
pasien. Analgesia untuk pasca tindakan juga dijelaskan/ didiskusikan oleh
pemberi sedasi kepada pasien, keluarga, atau yang mewakili. Jenis atau derajat
kedalaman sedasi direncanakan saat kunjungan prasedasi sesuai dengan
prosedur atau tindakan yang akan dilakukan.

B. Kualifikasi
Kualifikasi atau keterampilan khusus dari staf yang terlibat dalam proses
prosedur Pelayanan sedasi moderat dan dalam dilaksanakan oleh dokter
spesialis anestesiologi yang kompeten dalam hal teknik dan jenis sedasi,
farmakologi obat-obatan sedasi dan antidotumnya, pemantauan sedasi, dan
respon terhadap komplikasi. Pelayanan tersebut di bawah pimpinan Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) anestesiologi dan terapi intensif yang
merupakan dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif dan bertanggung
jawab atas pelayanan yang diberikan. Begitu juga untuk keadaan khusus,
layanan sedasi moderat dan dalam diberikan oleh Dokter Intensifis Anak serta
Dokter Kardiologi & Kedokteran Vaskular .

.
C. Tempat pelayanan Prosedur Sedasi dan Anestesi
Tempat Sedasi Anestesi
No Anestesi PPK
pelayanan Berat Moderat Ringan lokal
Kamar operasi
Dokter
1. instalasi bedah √ √ √ √ √
Anestesi
sentral
Dokter
2. Kamar operasi IGD √ √ √ √ √
Anestesi
Ruangan Dokter
3. √ √ √ √
Resusitasi IGD Anestesi
4. Intensive care Unit √ √ √ √ Dokter
Anestesi
Dokter
5. High Care Unit √ √ √ √
Anestesi
Dokter
6. CT Scan & MRI √ √ √ √
Anestesi
Dokter
7. Radiologi √ √ √ √
Anestesi
Dokter Jantung
8. Cath Lab CVC √ & Pembuluh
Darah
9. Poliklinik Bedah √ Dokter Bedah
10. Poliklinik Mata √ Dokter Mata
11. Poliklinik THT √ Dokter THT
12. Poliklinik Gigi √ Dokter Gigi
13. Hemodialisa √ Dokter Interna
Dokter
14 IDT √ √ √ √ √
Anestesi

D. Evaluasi Prasedasi
Dokter anestesiologi bertanggung jawab melakukan pengkajian prasedasi dari
pasien untuk :
1. Mengidentifkasi masalah jalan napas yang dapat mempengaruhi jenis sedasi
yang digunakan
2. Mengevaluasi pasien pasien yang beresiko agar dapat diberikan sedasi
procedural yang sesuai
3. Merencanakan jenis sedasi dan tingkat sedasi yang diperlukan pasien
berdasarkan prosedur yang dilakukan
4. Memberikan sedasi dengan aman dan
5. Menginterpretasikan temuan dari pemantauan pasien selama prosedur sedasi
dan pemulihan
Penilaian prasedasi membantu mengidentifikasi hal-hal yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap tindakan sedasi dan mengidentifikasi hal-hal
penting yang dapat terjadi selama monitoring saat dan setelah prosedur sedasi
sehingga menjamin keamanan dan keselamatan pasien. Pemberi sedasi melakukan
kunjungan prasedasi untuk menilai kelayakan (pertimbangan manfaat dan risiko)
untuk dilakukan prosedur sedasi. Evaluasi risiko pasien dilakukan berdasarkan
klasifikasi status fisik dari ASA (American Society of Anesthesiologist). Penilaian
prasedasi didokumentasikan dalam lembar penilaian preanestesi/sedasi. Riwayat
keadaan pasien yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap prosedur sedasi
diantaranya:
1. Kelainan system organ utama
2. Terapi obat-obatan yang dapat berinteraksi dengan obat sedasi
3. Alergi obat
4. Riwayat efek samping terhadap anestesi atau sedasi
5. Waktu dan jenis intake oral terakhir
6. Riwayat pemakaian alkohol atau obat-obat terlarang

Tabel 2. Sistem Klasifikasi Status Fisik ASA


Klasifikasi Status
Definisi Contoh
Fisik ASA
Sehat, tidak merokok, tidak atau minimal
ASA I Pasien sehat normal
pengguna alkohol
Penyakit ringan tanpa keterbatasan fungsi.
Pasien dengan penyakit Contoh: perokok, peminum alkohol, hamil,
ASA II
sistemik ringan obesitas (30 < BMI < 40), hipertensi atau DM
terkontrol, penyakit paru ringan
Keterbatasan fungsional; satu atau lebih
penyakit sedang sampai berat. Contoh:
hipertensi atau DM yang tidak terkontrol,
PPOK, morbid obese (BMI > 40), hepatitis
aktif, ketergantungan alkohol, pacemaker
Pasien dengan penyakit
ASA III implan, penurunan fraksi ejeksi sedang,
sistemik berat
penyakit ginjal stadium akhir yang teratur
menjalani dialisis, bayi prematur dengan usia
post konsepsi < 60 minggu, riwayat infark
miokard, stroke, transient ischemic attack, atau
penyakit jantung koroner/stent (> 3 bulan)
Contoh: riwayat infark miokard, stroke,
transient ischemic attack, atau penyakit
jantung koroner/stent (< 3 bulan), sedang
Pasien dengan penyakit
mengalami iskemik kardiak atau disfungsi
ASA IV sistemik berat yang konstan
katup berat, penurunan ejeksi fraksi berat,
mengancam nyawa
sepsis, DIC, penyakit ginjal akut atau penyakit
ginjal stadium akhir yang tidak menjalani
dialisis rutin
Contoh ruptur aneurisma abdomen/torak,
Pasien kritis yang tidak trauma masif, perdarahan intrakranial dengan
ASA V diperkirakan dapat hidup efek massa, iskemik usus akibat patologi
tanpa operasi kardiak yang signifikan atau disfungsi organ
multipel
Pasien mati batang otak
ASA VI yang organnya diambil untuk
keperluan donor
*Penambahan “E” menunjukkan operasi emergensi.
Sumber: ASA physical status classification system; 2014

Pasien yang akan mendapatkan sedasi harus menjalani pemeriksaan fisik


seksama, meliputi tanda-tanda vital, auskultasi jantung dan paru dan evaluasi jalan
nafas. Pemeriksaan laboratorium penunjang sesuai indikasi berdasarkan kondisi
medis pasien dan kemungkinan bahwa hasil ini akan mempengaruhi
penatalaksanaan sedasi.
Tabel 3. Prosedur Penilaian Jalan Nafas Untuk Sedasi
Ventilasi tekanan positif, dengan atau tanpa intubasi trakea, mungkin diperlukan jika terjadi
gangguan respirasi selama sedasi. Hal ini mungkin sulit pada pasien anatomi jalan nafas atipikial.
Sebagai tambahan, beberapa kelainan jalan nafas dapat meningkatkan kemungkinan obstruksi jalan
nafas selama ventilasi spontan.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kesulitan penatalaksanaan jalan nafas meliputi:
Riwayat:
Masalah sebelumnya dengan anestesi atau sedasi
Stridor, snoring atau apnea saat tidur
Artritis rheumatoid lanjut
Kelainan kromosom
Pemeriksaan Fisik:
Habitus
Obesitas yang signifikan (terutama yang melibatkan leher dan struktur wajah)
Kepala dan leher
Leher pendek, terbatasnya ekstensi leher, jarak hyoid-mental yang pendek (<3 cm pada dewasa),
masa leher, penyakit spinal servikal atau trauma, deviasi trakea, dismorfik wajah (misal: Sindrom
Pierre-Robin)
Mulut
Buka kecil (<3 cm pada dewasa); edentulous; insisivus menonjol; gigi longgar atau capped teeth;
dental appliances; palatum melengkung, tinggi; makroglossia; hipertrofi tonsilar; uvula tidak terlihat.
Rahang
Micrognathia, retrognathia, trismus, maloklusi yang signifikan
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists;
2002
Tabel 4. Persiapan Puasa
Jenis makanan Waktu minimum puasa
Cairan jernih 2 jam
ASI 4 jam
Susu Formula 6 jam
Makanan ringan 6 jam
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002

Pemilihan obat sedasi disesuaikan dengan tingkat sedasi yang ingin dicapai.
Pada prosedur sedasi minimal dan moderat, dapat dipakai golongan benzodiazepin
atau opioid atau kombinasi keduanya dengan dosis bertahap Selain itu, perlu
disediakan antidotumnya. Pada prosedur sedasi dalam dan anestesi, dapat
digunakan propofol atau ketamin.

E. Monitoring Sedasi
Respon pasien terhadap perintah selama prosedur yang difasilitasi sedasi
bertindak sebagai panduan terhadap tingkat kesadarannya. Skala sedasi dapat
digunakan untuk memonitoring kedalaman sedasi selama prosedur berlangsung.
Peralatan emergensi harus selalu tersedia karena respon masing-masing individu
terhadap obat sedatif-hipnotik berbeda. Pemberi sedasi prosedural harus dapat
mengantisipasi bila pasien tersedasi lebih dalam dari pada yang diharapkan.
Monitoring selama periode sedasi dilakukan oleh Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) Anestesiologi/ Penata Anestesi atau orang yang kompeten (telah
mendapat pelatihan sedasi dan tersertifikasi) dalam: kebutuhan monitoring; respon
terhadap komplikasi; penggunaan agen antidotum; dan kriteria pemulihan.
Monitoring sedasi diberikan oleh individu selain pemberi sedasi. Semua
dokumentasi selama prosedur sedasi tercatat dengan baik di rekam medis.

Tabel 5. Komplikasi Sedasi


Over- atau undersedation
Henti jantung
Insufisiensi respirasi
Nyeri
Obstruksi jalan nafas
Mual dan muntah
Aspirasi
Hipertermi maligna
Instabilitas hemodinamik
Reaksi paradoksikal (seperti: agitasi, disforia, bingung)
Disritmia
Sumber: Moderate Sedation/Analgesia; 2014

Sedasi sering menimbulkan komplikasi. Oleh sebab itu, individu yang memberikan
sedasi maupun yang melakukan monitoring harus mengetahui apa saja yang harus
dilakukan jika terjadi komplikasi, diantaranya:

1. Over- atau undersedation


Oversedasi maupun undersedasi dapat dicegah dengan pemberian dosis dan
tehnik yang tepat, dan mengetahui pasien yang berisiko. Pemberian obat dosis
kecil dengan frekuensi yang lebih sering sesuai keperluan dapat mengurangi
terjadinya risiko ini. Jika terjadi overdosis, agen antidotum dapat diberikan.
2. Henti jantung
Segera lakukan Resusitasi Jantung Paru. Individu yang kompeten dalam
melakukan bantuan hidup lanjut harus dapat segera tiba untuk memberikan
bantuan resusitasi selama sedasi dilakukan.
3. Insufisiensi respirasi
Pencegahan dengan monitor respirasi dan saturasi oksigen tiap 5 menit dengan
menggunakan oxymetri. Pemberian suplemen oksigen mengurangi terjadinya risiko.
Agen antidotum dapat diberikan jika terjadi depresi nafas berlebihan.
4. Nyeri
Penilaian prasedasi harus menilai apakah prosedur yang akan dilakukan
menimbulkan nyeri. Agen sedasi yang mempunyai efek analgesik ataupun agen
analgesik lain dapat diberikan untuk mengatasi nyeri.
5. Obstruksi jalan nafas
Head tilt, jaw trush dapat dilakukan untuk membuka jalan nafas. Suctioning
dilakukan dengan hati-hati jika terdapat sekret karena suctioning berlebihan dapat
menimbulkan laringospasme.
6. Mual dan muntah
Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi risiko mual dan muntah. Bila terjadi
distensi lambung yang berlebihan, pemasangan pipa nasogastrik dapat membantu
mengurangi risiko. Hipovolemia harus dikoreksi, dan nyeri harus diatasi dengan
pemberian agen analgesik.
7. Aspirasi
Risiko aspirasi dapat dikurangi dengan pemberian obat yang dapat mengurangi isi
lambung atau pH lambung. Elevasi kepala dapat dilakukan pada pasien yang
berisiko. Jika terjadi aspirasi, suctioning dan proteksi jalan nafas dengan intubasi
diperlukan.
8. Hipertermi maligna
− Hentikan pemberian obat-obatan, dan segera minta bantuan
− Kombinasikan dantrolene dengan aqua steril dan berikan 2,5mg/kg iv
secepatnya
− Berikan bikarbonat untuk asidosis metabolik
− Berikan tindakan pendinginan (bilas lambung, selimut pendingin, carian infus
dingin)
− Terapi hiperkalemia berat dengan dextrosa 25-50 g iv, dan insulin regular, 10-20
unit iv (dosis dewasa)
− Berikan obat antiaritmia jika diperlukan tanpa melihat hiperkalemia dan asidosis
− Monitor end tidal CO2, elektrolit, kreatinin kinase serum myoglobin, temperatur,
produksi urin, status koagulasi
9. Instabilitas hemodinamik
Pemberian cairan untuk mengatasi hipovolemia dan transfusi darah jika terjadi
perdarahan. Obat vasopressor dapat diberikan untuk menjaga stabilitas
hemodinamik.
10. Reaksi paradoksikal (seperti: agitasi, disforia, bingung)
Jika disebabkan karena hipoksia dapat diberikan suplementasi oksigen. Agen
antidotum dapat menyebabkan reaksi ini. Pemberian obat antidotum sebaiknya
secara titrasi.
11. Disritmia
Evaluasi penyebab distrimia. Berikan oksigen jika disebabkan karena hipoksia,
kelebihan cairan dapat diberikan diuretik, nyeri dapat diberikan agen analgetik, dan
hipovolemia dapat diberikan cairan. Obat antidisritmia dan defibrilator tetap
tersedia.

F. Sarana, Prasarana dan Peralatan


Untuk memberikan pelayanan sedasi yang seragam di lingkungan rumah sakit,
perlu ditunjang dengan ketersediaan fasilitas, peralatan dan perlengkapan yang
memadai sesuai dengan standar. Prosedur sedasi mempunyai potensi risiko yang
signifikan terhadap pasien sehingga dibutuhkan peralatan emergensi untuk
mengatasi komplikasi yang dapat terjadi.

Tabel 6. Peralatan Emergensi Untuk Sedasi

Peralatan emergensi yang harus tersedia jika tindakan sedasi mengakibatkan depresi
kardiorespirasi. Daftar berikut harus digunakan sebagai panduan, yang dapat dimodifikasi
tergantung pada keadaan individu.
Peralatan intravena:
Sarung tangan
Swap alkohol
Kateter dan cairan intravena
Infus makro/mikro
Plester
Peralatan penatalaksana jalan nafas dasar:
Sumber oksigen (tabung/sentral)
Sumber suction
Kateter suction
Sungkup wajah
Ambu bag
Jalan nafas oral/nasal
Lubricant/jelly
Peralatan penatalaksanaan jalan nafas lanjut:
Laryngeal mask airway
Gagang laryngoskop
Blade laryngoskop (0-4)
Endotracheal tube (2,5.0/3-8.0)
Mandrin/stylet
Antagonis:
Naloxon
Flumazenil
Pengobatan emergensi:
Epinefrin
Atropin
Amiodaron
Lidokain
Glukosa 40%
Metilprednisolon atau deksametason
Diazepam atau midazolam
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002

Kebutuhan alat-alat monitoring disesuaikan dengan tingkat kedalaman sedasi


yang dicapai. Untuk sedasi moderat dan dalam peralatan yang diperlukan antara
lain:
1. ECG
2. NIBP
3. Pulse oxymetry
4. Sumber oksigen
5. Sumber suction

G. Pascasedasi
Setelah tindakan sedasi, pasien harus diobservasi oleh staf (dokter/perawat)
khusus. Pasien masih berisiko untuk mengalami komplikasi setelah selesai
prosedur. Berkurangnya stimulasi prosedur, absorbsi dan eliminasi obat yang lambat
dapat menyebabkan residu sedasi dan depresi kardiorespirasi selama periode
pemulihan. Kriteria pengeluaran/ discharge didesain untuk meminimalkan depresi
system saraf pusat dan kardiorespirasi.
Tabel 7. Kriteria Pemulihan dan Pengeluaran Setelah Sedasi

Tiap-tiap fasilitas pelayanan pasien dimana dilakukan pemberian sedasi harus menetapkan
kriteria pemulihan dan pemulangan yang cocok untuk pasien dan prosedur tertentu.
Prinsip umum:
Supervisi medis pemulihan dan pengeluaran setelah sedasi moderat atau dalam merupakan
tanggung jawab praktisi yang melakukanan atau klinisi yang berlisensi
Area pemulihan harus dilengkapi dengan, atau memiliki akses langsung ke, monitoring yang
tepat dan perlatan resusitasi
Pasien yang mendapat sedasi moderat atau dalam harus dimonitor hingga kriteria
pengeluaran terpenuhi.
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002

Kriteria pemindahan pasien dewasa (termasuk geriatri) dari ruang pemulihan yang
dilakukan anestesi umum menggunakan Aldrete Score. Pada pasien pediatri
menggunakan Steward Score. Pemulangan pada pasien rawat jalan dapat
menggunakan Post Anesthetic Discharge Scoring System (PADSS).

Tabel 8. Aldrete Score

1. Aktivitas
2 = dapat menggerakkan 4 ekstremitas
1 = dapat menggerakkan 2 ekstremitas
0 = tidak ada gerakan
2. Pernafasan
2 = nafas dalam dan batuk
1 = Dypnea/ nafas dangkal
0 = Apnea
3. Sirkulasi
2 = TD + 20 mmHg dari preoperatif
1 = TD + 20-50 mmHg dari preoperatif
0 = TD + 50 mmHg dari preoperatif
4. Kesadaran
2 = sadar penuh, mudah dipanggil
1 = bangun jika dipanggil
0 = tidak ada respon
5. Warna kulit
2 = kemerahan/normal
1 = pucat
0 = sianosis
(Total skor > 9 untuk pemulangan)

Sumber: Clinical Anesthesia, 6th edition; 2009

Tabel 9. Steward Score

1. Kesadaran 2
= bangun
1 = respon terhadap stimulus
0 = tidak respon terhadap stimulus
2. Jalan nafas
2 = aktif menangis / batuk
1 = dapat menjaga patensi jalan nafas
0 = perlu bantuan nafas
3. Gerakan
2 = gerak bertujuan
1 = gerak tanpa tujuan
0 = tidak bergerak
(Total skor> 5 untuk pemulangan)

Sumber: Essentials of Pediatric Anesthesiology, 2014

Tabel 10. PADSS

1. Tanda vital
2 = TD + nadi 20% dari preoperatif
1 = TD + nadi 20-40% dari preoperatif
0 = TD + nadi >40% mmHg dari
preoperatif
2. Aktivitas
2 = berjalan stabil, tidak pusing atau
sama saat preoperatif
1 = memerlukan bantuan
0 = tidak dapat berjalan
3. Mual dan muntah
2 = minimal/teratasi dengan obat oral
1 = sedang/teratasi dengan obat
parenteral
0 = berat/terus menerus walaupun
dengan terapi
4. Nyeri
Terkontrol dengan analgetik oral dan
dapat diterima pasien
2 = ya
1 = tidak
5. Perdarahan pembedahan
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
(Total skor> 9 untuk pemulangan)
Sumber: Clinical Anesthesia, 6th edition; 2009

H. Pertimbagan khusus
1. Pasien pediatri
Pemberian sedasi pada pasien pediatri merupakan metode yang aman
dan efektif untuk mengatasi agitasi dan ketidaknyamanan pada anak. Namun,
perilaku anak untuk dapat bekerja sama terhadap suatu prosedur tergantung
dari kronologis dan usia perkembangan. Anak usia kurang dari 6 tahun dan
dengan keterlambatan tumbuh kembang biasanya memerlukan sedasi dalam
untuk memberikan kontrol perilaku yang adekuat. Penting untuk
mengantisipasi/mengatasi sedasi yang lebih dalam karena pasien anak-anak
lebih sering mengalami oversedasi. Pemberian agen sedasi juga memberikan
efek yang lebih besar pada usaha nafas, patensi jalan nafas, dan refleks
protektif pada anak-anak.
Pemberian agen sedasi harus dimodifikasi dengan mempertimbangkan
perbedaan anatomi dan fisiologi pada anak. Jalan nafas anak secara anatomis
berbeda dengan dewasa. Laring terletak lebih sefalad dan anterior, serta kepala
yang relatif lebih besar, sehingga memposisikan kepala berbeda pada anak.
Patensi jalan nafas menjadi perhatian karena lidah yang besar, yang dapat
menutup jalan nafas dan menyebabkan obstruksi. Pasien dengan masalah jalan
nafas sebaiknya diposisikan “sniffing”, dengan dagu diangkat keatas dan
kedepan. Memposisikan anak dengan manuver standar head-tilt/jaw-thrust
secara tidak sengaja dapat menyebabkan kolapsnya jalan nafas.
Usaha nafas pada anak berbeda karena alveoli yang lebih terbatas untuk
pertukaran gas. Kebutuhan oksigen juga lebih besar sehingga ventilasi semenit
lebih besar. Laju respirasi normal pada anak lebih cepat dari pada dewasa,
sehingga penurunan usaha nafas akibat pemberian obat sedasi dapat
menyebabkan insufisiensi respirasi yang signifikan. Sternum dan tulang iga
lebih kartilaginous dan lunak pada anak, menyebabkan tanda-tanda distres
pernafasan secara visual dapat diidentifikasi dengan adanya retraksi dinding
dada dan penggunaan otot abdominal. Pasien anak sebaiknya diberikan
suplemen oksigen saat diberikan agen sedasi karena kebutuhan oksigen yang
besar.
Laju nadi dan tekanan darah bervariasi tergantung usia anak, evaluasi
harus memperhatikan perbedaan ini. Curah jantung pada anak dikontrol melalui
peningkatan laju nadi, dan obat yang menurunkan laju nadi akan menyebabkan
penurunan curah jantung dengan konsekuensi berkurangnya waktu sirkulasi.
Penurunan curah jantung ini menyebabkan onset obat yang lebih lama dan
durasi yang lebih panjang. Pada anak, respon sirkulasi terhadap hipoksia
adalah terjadinya bradikardi. Jadi, laju nadi merupakan parameter yang penting.
Menilai tingkat kesadaran pada anak harus mempertimbangkan usia
perkembangan anak. Sistem neurologis tidak berkembang sepenuhnya sampai
usia 8-10 tahun. Mengetahui perilaku yang sesuai dengan usia normal pada
anak akan membantu untuk mengidentifikasi perubahan tingkat kesadaran pada
anak.
Fungsi hepar dan ginjal pada anak belum berkembang dengan baik dan
akan mempengaruhi metabolisme obat dan ekskresi. Pemanjangan efek obat
dapat terjadi akibat berkurangnya fungsi hepar. Sebaliknya, pada anak dapat
mengalami ekskresi yang lebih cepat karena volume sirkulasi yang lebih besar.
Monitoring respon obat pada anak sangat penting karena respon terhadap obat
yang sulit diprediksi.
Tehnik pemberian agen sedasi pada pasien pediatri berbeda dengan
pasien dewasa. Faktor internal (misalnya usia, tingkat perkembangan) dan
faktor eksternal (misalnya interaksi orang tua dengan anak, persiapan,
kemampuan klinisi, lingkungan dimana akan dilakukan prosedur) akan
menentukan respon anak. Dosis individual dan pemberian agen secara titrasi
sangat penting. Efek farmakologis obat-obatan dipengaruhi oleh curah jantung
yang lebih tinggi dan respon metabolik anak. Dosis anak miligram per kilogram
berat badan lebih besar dibanding dewasa. Dosis yang lebih besar ini
mengakibatkan risiko terjadinya penumpukan obat di lemak dan otot,
menyebabkan pemanjangan durasi dan risiko resedasi karena obat secara
lambat dilepas dari jaringan ini. Pemberi sedasi harus berhati-hati karena
komplikasi lebih sering terjadi pada anak.

2. Pasien geriatri
Pemberian sedasi pada pasien geriatri dapat memberikan ketenangan,
lingkungan yang nyaman pada pasien dengan ansietas tinggi. Namun, masalah
psikologis pada populasi ini besar, dan risiko komplikasi meningkat. Pemberi
sedasi harus memberikan perhatian yang lebih baik saat prasedasi, intrasedasi,
maupun postsedasi. Dimulai dari penilaian prasedasi sangat penting, termasuk
evaluasi jalan nafas pasien. Mengetahui kondisi komorbid penting untuk
mengurangi risiko komplikasi.
Pasien geriatri mengalami penurunan refleks laringeal dan faringeal,
sehingga meningkatkan risiko gangguan jalan nafas. Hilangnya gigi geligi
merubah bentuk mulut, dan dapat memberikan kesulitan dalam memberikan
ventilasi. Osteoartritis pada leher dapat menghalangi posisi manuver standar
head-tilt/jaw-thrust. Jika manuver head-tilt/jaw-thrust tidak memungkinkan,
memposisikan pasien dengan posisi lateral dekubitus dapat mengurangi risiko
terjadinya aspirasi.
Salah satu komplikasi mayor dari penuaan dan pemberian sedasi terjadi
saat digunakan benzodiazepin dan opioid. Kedua agen ini meningkatkan depresi
usaha nafas pasien, yang merupakan perubahan normal pada proses penuaan.
Dengan meningkatnya kadar CO2 dan menurunnya kadar oksigen, orang muda
akan meningkatkan kedalaman dan kecepatan respirasi untuk memenuhi
oksigenisasi jaringan yang adekuat. Kemampuan ini menumpul pada geriatri,
menyebabkan risiko terjadinya hipoksemia. Selain itu kadar oksigen darah
menurun seiring dengan dengan peningkatan usia; tidak jarang bagi geriatri
memiliki kadar oksigen darah 80 torr dengan saturasi oksigen sekitar 93%
sampai 95%. Keadaan ini memperberat risiko untuk terjadinya hipoksia dan
hiperkapnia sehingga diperlukan monitoring ketat untuk mencegah hal ini terjadi.
Proses penuaan menyebabkan penurunan curah jantung, sehingga terjadi
penurunan aliran darah ginjal dan hepar. Pada usia 80 tahun, curah jantung
mengalami penurunan setengah dari individu usia 20 tahun. Penurunan curah
jantung ini menyebabkan onset yang lebih lambat, waktu paruh dan ekskresi
yang memanjang, sehingga pemulihan dari sedasi lebih panjang. Sistem
konduksi jantung juga mengalami penurunan. Disertai dengan adanya hipoksia,
tidak jarang terjadi disritmia.
Ikatan obat dalam darah juga terganggu pada geriatri. Obat yang
berikatan dengan protein mengalami peningkatan konsentrasi dalam sirkulasi
karena berkurangnya albumin yang terjadi pada penuaan. Dengan lebih
banyaknya obat di sirkulasi, efek obat akan semakin meningkat dan
meningkatkan risiko terjadinya oversedasi. Pada obat yg larut air akan terjadi
peningkatan kadar obat karena jumlah air total pada tubuh berkurang seiring
dengan peningkatan usia. Keadaan ini akan memperberat risiko oversedasi.
Sebaliknya, kadar obat larut lemak akan berkurang karena meningkatnya lemak
pada geriatri. Obat ini akan menumpuk di lemak dan akan dilepas secara lambat
sehingga akan memperpanjang durasi.
3. Pasien alergi
4. Pasien penurunan fungsi gingal
5. Pasien penurunan fungsi hati

I. FARMAKOLOGI OBAT SEDATIF-HIPNOTIK


Agen sedasi dapat diberikan melalui jalur intravena, oral, intramuskular,
maupun per rektal. Tehnik sedasi ini dipilih sesuai dengan kedalaman sedasi yang
ingin dicapai dan agen sedatif yang akan digunakan.
1. Benzodiazepin
Struktur kimia benzodiazepin terdiri dari cincin benzen dan cincin diazepin.
Subtitusi cincin ini pada posisi tertentu mempengaruhi potensi dan biotransformasi.
Cincin imidazol midazolam menyebabkan sifatnya mudah larut air pada pH rendah.
Diazepam dan lorazepam yang tidak larut dalam air memerlukan preparat parenteral
mengandung propilen glikol, yang berhubungan dengan iritasi vena.
Golongan benzodiazepin diantaranya diazepam, clobazam, alprazolam,
midazolam, lorazepam. Semua obat benzodiazepin larut dalam lipid, dimetabolisme
di hati, dan diekskresikan di urin.
a. Mekanisme kerja
Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di sistem saraf pusat
terutama di korteks serebri. Ikatan reseptor-benzodiazepin meningkatkan efek
inhibisi beberapa neurotransmiter seperti reseptor GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: benzodiazepin memiliki efek depresan minimal terhadap
jantung. Tekanan darah, curah jantung, dan resistensi vaskuler perifer sedikit
menurun.
Respirasi: menekan respon ventilasi terhadap CO 2. Depresi ini tidak signifikan
bila obat tidak diberikan secara intravena atau bersamaan dengan depresan
lain.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial. Benzodiazepin sangat efektif dalam mencegah dan
mengontrol kejang grand mal. Mempunyai efek amnesia.
c. Dosis:
- Midazolam
Intravena: dosis awal 0,01-0,1 mg/kg, pemeliharaan 0,04-0,2 mg/kg/jam,
- Pediatri intramuskular: 0,1-0,15 mg/kg; peroral: 0,3-0,5 mg/kg, dosis
maksimal 15 mg
- Diazepam
Intravena: 0,04-0,2 mg/kg
Pediatri peroral: 0,2-0,5 mg/kg, dosis maksimal 15 mg
d. Antidotum
Flumazenil merupakan antagonis spesifik dan kompetitif terhadap reseptor
benzodiazepin. Walaupun secara cepat (onset < 1 menit) dapat mengatasi efek
hipnotik, amnesia masih dapat terjadi. Efek pada pasien geriatri sulit untuk
diprediksi, dan pada pasien ini berisiko untuk terjadi resedasi.
Dosis flumazenil diberikan secara titrasi melalui intravena 0,2 mg/menit (8-15
µg/kg iv) sampai mencapai derajat reversal yang diinginkan. Dosis total
biasanya 0,6-1,0 mg.
Dosis pediatri: titrasi 0,01 mg/kg/menit
Karena flumazenil mengalami metabolisme yang cepat di hepar, pengulangan
dosis dapat diperlukan setelah 1-2 jam untuk mencegah resedasi.
2. Opioid
a. Klasifikasi
Berdasarkan kerja obat, opioid dibagi menjadi:
- Agonis, obat berikatan dan menstimulasi reseptor hingga batas maksimal.
Contoh: morfin, kodein, hidromorfin, heroin, meperidin, fentanil.
- Antagonis, obat yang berikatan dengan reseptor namun gagal
menstimulasinya. Contoh: nalokson, naltrekson.
- Agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor namun tidak dapat
menstimulasi reseptor hingga ambang maksimal. Contoh: buprenorfin,
pentazosin.
- Campuran agonis antagonis: obat yang berikatan dengan berbagai subtipe
reseptor dan menghasilkan stimulasi subtipe reseptor yang berbeda-beda
(bisa agonis atau antagonis). Contoh: nalbufin.
b. Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik (mu, kappa, delta, sigma) yang
teletak di sepanjang sistem saraf pusat dan jaringan lain. Aktivasi reseptor
opioid menghambat pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmiter eksitasi (misalnya asetilkolin, substansi P) dari neuron
nosiseptif. Mekanisme seluler dari neuromodulasi ini melibatkan perubahan
konduksi ion potasium dan kalsium. Walaupun memiliki efek sedasi, opioid
sangat efektif dalam menghasilkan analgesia.
c. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: opioid tidak banyak mempengaruhi fungsi kardiovaskuler,
vagus mediated bradycardia, penurunan tekanan darah.
Respirasi: depresi ventilasi, terutama laju respirasi, hypoxic drive menurun.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan
tekanan intrakranial.
Gastrointestinal: memperlambat pengosongan lambung dengan mengurangi
peristaltik, spasme bilier, mual dan muntah.
Morfin dan meperidin dapat menyebabkan pelepasan histamindan
menghasilkan metabolit yang aktif.
d. Dosis
Efek sedasi timbul pada dosis analgetik untuk manajemen nyeri sedang sampai
berat. Morfin memiliki onset yang lebih lambat dan durasi yang lebih panjang (4-
5 jam).
- Morfin
Dewasa intravena: 2,5-10 mg
Pediatri intravena: 0,01-0,2 mg/kg iv; intramuskular: 0,1 mg/kg
Pemeliharaan: 10-50 μg/kg/jam
- Meperidin:
Dewasa intravena: 25-50 mg
Pediatri intravena: 1-2 mg/kg
- Fentanil:
Dewasa intravena: 25-100 μg
Pediatri intravena: 0,5-2 μg/kg
Pemeliharaan: 0,01-0,05 μg/kg/menit
e. Antidotum
Naloxon merupakan antagonis opioid murni. Naloxon berikatan dengan reseptor
opioid namun tidak mengaktivasi reseptor tersebut. Dosis intravena (vial 0,4
mg/ml diencerkan menjadi 0,04 mg/ml) dititrasi 0,5-1 μg/kg setiap 3-5 menit
sampai tercapai ventilasi yang adekuat dan sadar penuh.
3. Ketamin
a. Mekanisme kerja
Ketamin memiliki banyak efek terhadap sistem saraf pusat, diantaranya
memblok refleks polisinaptik pada corda spinalis dan menghambat efek
neurotransmiter eksitasi pada daerah tertentu di otak. Ketamin mendisosiasi
talamus (yang menghantarkan impuls sensorik dari reticular activating system
ke korteks serebri) dari korteks limbik (termasuk sensorik).
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: stimulasi sentral terhadap sistem saraf simpatis, meningkatkan
tekanan darah, laju nadi, dan curah jantung.
Respirasi: sedikit mempengaruhi respirasi, bronkodilator poten.
Serebral: meningkatkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan
tekanan intrakranial
c. Ketamin mempunyai onset 45-60 detik dan durasi 10-20 menit
d. Dosis
- Intravena: 0,5-1 mg/kg
- Pemeliharaan: 25-75 µg/kg/menit
- Pediatri peroral: 6-10 mg/kg; intramuskular: 3-4 mg/kg
4. Propofol
Propofol merupakan obat sedasi kerja cepat (< 1 menit) yang digunakan untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi serta sedasi kerja singkat (10-15 menit). Propofol
sangat larut pada lipid dengan sediaan emulsi lipid 10%.
a. Mekanisme kerja
Propofol bekerja pada neurotransmisi inhibisi yang dimediasi oleh GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: hipotensi akibat penurunan resistensi vaskuler perifer (inhibisi
aktivitas vasokonstriksi simpatis), kontraktilitas jantung dan preload. Perubahan
terhadap laju nadi dan curah jantung biasanya transien dan tidak signifikan.
Respirasi: Pada dosis induksi biasanya menyebabkan apnu. Pada dosis
subanestetik, infus propofol menghambat hypoxic ventilatory drive dan
mendepresi respon terhadap hiperkarbia.
Serebral: menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan
tekanan intrakranial. Mempunyai efek antiemetik.
c. Dosis
- Intravena: 0,25-1 mg/kg
- Pemeliharaan: 25-200 μg/kg/menit
- Pemeliharaan pediatri: 60-250 μg/kg/menit
5. Dexmedetomidin
a. Mekanisme kerja
Dexmedetomidin merupakan 2 adrenergik agonis selektif yang bekerja secara
sentral yang mempunyai efek sedasi dan analgetik. Dexmedetomidin
mempunyai onset yang cepat (1-3 menit) dan waktu paruh terminal 2 jam. Obat
ini dimetabolisme di hati dan dieliminasi di urin. Dapat digunakan untuk sedasi
jangka pendek (<24 jam)
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: bradikardi, hipotensi
Respirasi: tidak signifikan mendepresi ventilatory drive
Serebral: sedasi, amnesia
c. Dosis dexmedetomidin bolus 1 μg/kg iv dalam 10 menit, infus 0,2-0,7 μg/kg/jam

6. Kloral hidrat
Kloral hidrat sering digunakan pada anak-anak untuk sedasi atau hipnotik jangka
pendek. Pada dosis terapeutik, kloral hidrat mempunyai efek minimal terhadap
respirasi dan kardiovaskuler.
a. Mekanisme kerja
Kloral hidrat dimetabolisme menjadi trikloroetanol yang mempunyai sifat
farmakologis. Mekanisme depresi SSP yaitu dengan potensiasi fungsi reseptor
GABA, menghambat eksitasi yang dimediasi N-metil-D-aspartat, yang bekerja
mirip dengan benzodiazepin dan barbiturat.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: dosis tinggi dapat menyebabkan hipotensi, aritmia atrial atau
ventrikel, torsades de pointes, depresi kontraktilitas miokard dan
memperpendek periode refraktori.
Respirasi: dosis sedasi tidak mempengaruhi respirasi dan refleks batuk
Serebral: efek samping akibat depresi SSP yaitu ataxia, mimpi buruk, vertigo,
sakit kepala, malaise. Reaksi idiosinkratik jarang terjadi (halusinasi, delirium,
disorientasi, inkoheren, paranoid)
Gastrointestinal: iritatif, menyebabkan mual, muntah diare, nyeri perut
Hematologi:leukopenia dan eosinofilia
c. Dosis kloral hidrat per oral/per rektal 50-75 mg/kg.
Efek sedasi timbul dalam 10 sampai 15 menit dan tertidur biasanya selama 30
sampai 60 menit.
7. Barbiturat
Barbiturat merupakan derivat asam barbiturik. Barbiturat terdiri dari oksibarbiturat
(phenobarbital, methohexital, secobarbital, dan pentobarbital) dan tiobarbiturat
(tiopental dan thiamilal). Tiobarbiturat lebih larut dalam lemak sehingga lebih poten,
mempunyai onset lebih cepat dan durasi yang lebih singkat. Tiopental mempunyai
onset < 1 menit. Pasien biasanya mulai kehilangan kesadaran dalam 30 detik dan
bangun dalam 20 menit.
a. Mekanisme kerja
Barbiturat mendepresi reticular activating system (RAS) di batang otak, yang
mengontrol berbagai fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis,
barbiturat lebih poten mempengaruhi fungsi sinapsis saraf dibanding akson.
Barbiturat menghasilkan efek hipnotik sedatif melalui neurotransmiter inhibisi
asam γ-aminobutirat (GABA) di sistem saraf pusat.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: bolus barbiturat intravena dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah dan kenaikan laju nadi. Depresi pusat vasomotor medula
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Takikardi mungkin
disebabkan karena efek vagolitik sentral dan respon refleks terhadap penurunan
tekanan darah.
Respirasi: depresi terhadap pusat ventilasi medula menyebabkan penurunan
respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi dengan barbiturat
sering menyebabkan sumbatan jalan nafas atas.
Serebral: konstriksi vaskularisasi serebal menyebabkan penurunan aliran darah
serebral, volume darah serebral, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan
intrakranial lebih menurun dibanding tekanan darah arteri sehingga tekanan
perfusi serebral biasanya meningkat.
Renal: penurunan aliran darah renal dan laju filtrasi glomerular proporsional
dengan penurunan tekanan darah.
Hepar: aliran darah hepar menurun. Pemakaian jangka panjang dapat
mempengaruhi biotransformasi obat.
c. Dosis
Tiopental diberikan secara intravena dengan dosis awal 2-4 mg/kg, dilanjutkan
dengan pemeliharaan 30-80 µg/kg/menit.

Setiap vial 500 mg tiopental dilarutkan dengan 20 ml, atau vial 1 g tiopental
dilarutkan dengan 40 ml aqua injeksi atau NaCl 0,9% atau glukosa 5% untuk
menghasilkan larutan 2,5% (25 mg/ml).

Tabel 11. Farmakologi Agen Hipnotik-Sedatif

Waktu
Agen Onset Durasi Antagonis Dosis Catatan
Paruh
Benzodiazepin
Midazolam IV: 30-60 IV: 15-80 Flumazenil 1-4 jamIV: dosis awalIV diberikan secara
detik menit 0,01-0,1 mg/kg, perlahan. Dapat
IM: 5-10 IM: 1-6 jam pemeliharaan diulang setiap 5
menit 0,04-0,2 menit.
PO: 20-45 mg/kg/jam Pada pediatri dapat
menit PO: 0,3-0,5 terjadi reaksi
mg/kg, maksimal paradoks.
15 mg Dosis dikurangi 30%
IM: 0,1-0,15 (50% pada geriatri),
mg/kg jika pasien
mendapat narkotik
atau agen depresan
lain.
Diazepam IV: 1-5IV: 20-30 Flumazenil 48-96 jam IV: 0,04-0,2 Dapat diulang setiap
menit menit mg/kg 5-10 menit. Waktu
PO: 15-60 PO: 0,2-0,5 paruh meningkat
menit mg/kg, maksimal pada neonatus dan
15 mg geriatri.
Opioid
Morfin IV: 5-10 IV: 1-4 jam Naloxon 2-4 jam Dewasa IV: 2,5- Dapat diulang 2-5
meint IM: 4-5 jam 10 mg mg setiap 5 menit.
IM:10-30 Pemeliharaan: Berikan secara
menit 10-50 μg/kg/jam perlahan.
Pediatri: Dinilai skala nyeri,
IV: 0,01-0,2 hipotensi, mual dan
mg/kg muntah.
IM: 0,1 mg/kg
Meperidin IV: 2-52-4 jam Naloxon 2,5-4 jam Dewasa IV: 25-Dapat diulang 10-15
menit 50 mg mgsetiap5-10
Pediatri: menit.
IV: 1-2 mg/kg Diberikan secara
hati-hati pada
pasien dengan
gangguan hepar;
hindari penggunaan
pada pasien dengan
gangguan ginjal.
Fentanil IV: 1-3IV: 30-60 Naloxon 2-4 jam Dewasa IV: 25-Dapat diulang 25 μg
menit menit 100 μg setiap 5 menit.
Pemeliharaan: Berikan secara
0,01-0,05 perlahan.
μg/kg/menit Dinilai skala nyeri,
Pediatri: hipotensi, mual dan
IV: 0,5-2 μg/kg muntah.
Disosiatif
Ketamin IV: 45-60 IV: 10-20 Tidak ada 10-15 IV: 0,5-1 mg/kg Dapat
detik menit menit Pemeliharaan: menyebabkan
PO: 10IM: 12-25 25-75 disosiasi, seperti
menit menit µg/kg/menit mimpi buruk,
IM: 5 menit Pediatri: halusinasi, atau
PO: 6-10 mg/kg delirium
IM: 3-4 mg/kg
Hipnotik Sedatif
Propofol 30-60 detik 10-15 Tidak ada 4-7 jam IV: 0,25-1 mg/kg Dapat
menit Pemeliharaan: menyebabkan
25-200 hipotensi,
μg/kg/menit bradikardi, atau
Pediatri: depresi pernafasan
Pemeliharaan:
60-250
μg/kg/menit
Dexmedetomidin 1-3 menit 6-10 menit Tidak ada 2 jam Dosis awal IV: 1 Dapat
μg/kg dalam 10 menyebabkan
menit hipotensi, bradikardi
Pemeliharaan: atau sympathetic
0,2-0,7 rebound pada infus
mg/kg/jam > 24 jam
Kloral hidrat 10-15 4-8 jam Tidak ada 8-11 jam Pediatri: Monitoing jalan
menit (lebih Oral/rektal: 50-75 nafas dan saturasi
lama mg/kg oksigen.
pada Kegagalan sedasi
neonatus) meningkat dengan
bertambahnya usia.
Sering digunakan
pada anak usia di
bawah 3 tahun

Waktu
Agen Onset Durasi Antagonis Dosis Catatan
Paruh
Barbiturat
Tiopental IV: 30-60 5-30 menit Tidak ada 10-12 jam Dosis awal IV: 2-4 Dapat menyebabkan
menit mg/kg nekrosis jaringan
Pemeliharaan: dengan
30-80 µg/kg/menit ekstravasasi.
Pengulangan dosis
dapat menyababkan
efek kumulatif
Antagonis
Flumazenil < 1 menit 1 jam - 40-80 IV: 0,2 mg/menit. Observasi resedasi
menit maksimal 3
mg/jam.
Dapat diulang
setiap menit
sampai maksimal
1 mg.
Pediatri:
IV: 0,01
mg/kg/menit.
Naloxon IV: 1-230-120 - 60-90 IV: 0,5-1 μg/kg. Observasi resedasi.
menit menit menit Dapat diulang Dapat menyebabkan
IM: 2-5 (3-4 jam setiap 3-5 menit. edema paru non
menit pada (vial 0,4 mg/ml kardiogenik.
neonatus) diencerkan
menjadi 0,04
mg/ml)
BAB IV
DOKUMENTASI

1. SPO Informed consent anestesi dan sedasi


2. SPO Layanan Sedasi untuk pasien dewasa
3. SPO layanan sedasi untuk pasien pediatric
4. SPO Pemantauan selama anestesi dan sedasi
5. Formulir persetujuan tindakan pembiusan/sedasi
6. Formulir Catatan Anestesia dan Sedasi
7. Formulir konsultasi dan Asesmen praanestesi/prasedasi

Anda mungkin juga menyukai