Anda di halaman 1dari 26

BAB I

DEFINISI

Pengertian sedasi adalah penurunan kesadaran dimana terjadi penurunan


kecemasan, stres, iritabilitas, atau rangsangan yang disebabkan oleh pemberian obat-
obatan sedatif.

Menurut American Society of Anesthesiologist (ASA), sedasi dibagi menjadi 4 tingkat,


yaitu:

1. Sedasi minimal (anxiolysis): pasien respon normal terhadap perintah verbal.


Pasien tidak mengalami gangguan pada sistem respirasi dan kardiovaskuler,
sedangkan fungsi kognitif dan koordinasi dapat terganggu.

2. Sedasi moderat (conscious sedation): pasien memberikan respon yang bertujuan,


terhadap perintah verbal atau stimulasi taktil ringan. Fungsi kardiovaskuler tidak
terganggu. Biasanya tidak diperlukan intervensi untuk menjaga patensi jalan nafas.
Pernafasan spontan adekuat. Keadaan ini merupakan tingkat sedasi yang paling
sering dipakai untuk berbagai prosedur sedasi.

3. Sedasi dalam: pasien tidak mudah untuk dibangunkan, tetapi memberikan respon
yang bertujuan terhadap stimulasi berulang atau nyeri. Fungsi kardiovaskuler
terjaga. Kemampuan untuk menjaga fungsi ventilasi dapat terganggu. Ventilasi
spontan dapat inadekuat. Pasien memerlukan bantuan untuk menjaga patensi
jalan nafas.

4. Anestesi: merupakan anestesi umum, dimana terjadi penumpulan atau eliminasi


refleks protektif jalan nafas. Pasien tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan
stimulasi nyeri. Pasien memerlukan bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas.
Tekanan positif mungkin diperlukan karena terjadi depresi ventilasi spontan.
Fungsi kardiovaskuler dapat terganggu.

1
Tabel 1. Perubahan Fisiologis Tubuh Terhadap Kedalaman Sedasi

Sedasi Sedasi Sedasi Dalam Anestesi


Minimal Moderat
Tingkat Respon Memberikan Respon Tidak dapat
Responsivitas normal respon bertujuan dibangunkan,
hingga bertujuan seeelah bahkan
stimulasi terhadap stimulasi dengan
verbal stimulasi berulang atau stimulasi
verbal atau nyeri nyeri
taktil
Jalan Nafas Tidak Tidak Mungkin Memerlukan
terpengaruhi memerlukan memerlukan intervensi
intervensi intervensi
Ventilasi Tidak Adekuat Mungkin In adekuat
Spontan Terpengaruhi Inadekuat
Kardiovaskuler Tidak Tidak Biasanya Dapat
terpengaruhi terpengaruhi dapat terganggu
dipertahanka
n

2
BAB II
RUANG LINGKUP

Pemilihan atau target sedasi tergantung dari jenis prosedur yang akan
dilakukan. AmericanSociety of Anesthesiologist (ASA) mengklasifikasikan sedasi
menjadi 4 tingkat, yaitu sedasi minimal (anxiolysis), sedasi moderat (conscious
sedation), sedasi dalam, dan anestesi. Saat ini terdapat banyak skala sedasi yang
dibuat oleh beberapa institusi. Skala sedasi tersebut diantaranya MSAT (Minnesota
Sedation Assessment Tool), SAS (Sedation Agitation Scale), MAAS (Motor Activity
Assessment Scale) UMSS (Univesity of Michigan Sedation Scale), ATICE
(Adaptation to Intensive Care Environment), VICS (Vancouver Interactive and
Calmness Scale), RSS (Ramsay Sedation Scale) dan RASS (Richmond Agitation
Sedation Scale). Pelayanan sedasi prosedural yang seragam dan terstandar di
seluruh area rumah sakit termasuk pelayanan di kamar operasi dan di luar kamar
operasi. Pelayanan sedasi di luar kamar operasi meliputi ruang resusitasi, ICU, HCU,
CT Scan, MRI, IDT, Brachiterapi, PICU/NICU, dan Ruang Tindakan Anak.

3
BAB III
TATA LAKSANA

A. Prosedur Sedasi

Sedasi prosedural dilakukan oleh dokter spesialis anestesiologi dan


DPJP Utama melakukan konsultasi terlebih dahulu. Pada prosedur elektif,
DPJP utama mengkonsulkan ke poliklinik perioperatif selama jam kerja
minimal 1 hari sebelum dilakukannya prosedur. Pada prosedur emergensi,
DPJP utama mengkonsulkan ke DPJP anestesi yang bertugas jaga onsite.
Sedasi procedural dilakukan juga oleh staf SMF Anak terutama di area
khusus yaitu PICU/NICU oleh dokter intensifis anak dan ruang tindakan anak
oleh dokter hematoonkologi anak; Cath-Lab, CVCU dan Unit Pelayanan
Khusus Kegawatdaruratan Jantung (PJT) oleh dokter kardiologi.

Pelayanan sedasi meliputi evaluasi, memantau dan mengelola pasien


pra, intra dan pasca sedasi. Dokter pemberi sedasi akan melakukan
informed consent mengenai prosedur sedasi, tujuan, risiko, komplikasi dan
alternatif tindakan. Informed consent ini didokumentasikan di dalam rekam
medis pasien. Analgesia untuk pasca tindakan juga dijelaskan/ didiskusikan
oleh pemberi sedasi kepada pasien, keluarga, atau yang mewakili. Jenis
atau derajat kedalaman sedasi direncanakan saat kunjungan prasedasi
sesuai dengan prosedur atau tindakan yang akan dilakukan.

B. Kualifikasi

Kualifikasi atau keterampilan khusus dari staf yang terlibat dalam proses
prosedur pelayanan sedasi moderat dan dalam dilaksanakan oleh dokter
spesialis anestesiologi yang kompeten dalam hal teknik dan jenis sedasi,
farmakologi obat-obatan sedasi dan antidotumnya, pemantauan sedasi dan
respon terhadap komplikasi. Pelayanan tersebut dibawah pimpinan dokter
penanggungjjawab pelayanan (DPJP) anestesilogi dan terapi intensif yang
merupakan dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif dan
bertanggungjawab atas pelayanan yang diberikan. Layanan sedasi moderat
dan dalam diberikan juga oleh dokter spesialis anak, serta dokter kardiologi
& kedokteran vascular.

4
C. Tempat pelayanan Prosedur Sedasi dan Anestesi
No Tempat Anestesi Sedasi Anestesi PPK
Pelayanan Berat Moderat Ringan Lokal
1. Kamar Operasi Dokter
Instalasi Bedah √ √ √ √ √ Anestesi
Pusat
2. Kamar operasi Dokter
√ √ √ √ √
IGD Anestesi
3. Kamar operasi Dokter
PJT √ √ √ √ √ Anestesi

4. Instalasi Dokter
Diagnostik Anestesi
Terpadu
(ERCP,
gastroskopi, √ √ √ √
kolonokopi,
bronkoskopi
dan biopsy
ginjal anak)
5. Ruangan Dokter
Resusitasi dan √ √ √ √ Anestesi
tindakan IGD
6. Intensive care Dokter
√ √ √ √
Unit Anestesi
7. PICU/NICU Dokter
√ √ √ √ Intensifis
Anak
8. High Care Unit Dokter
√ √ √ √
(IGD) Anestesi
9. Stroke Corner Dokter
√ √ √ √
(Unit R-A) Anestesi
10. Instalasi Dokter
Radiologi (CT √ √ √ Anestesi
Scan & MRI)
11. Instalasi Dokter
Radioterapi Anestesi
(Brakhiterapi,
√ √ √
Simulator,
Penyinaran)

12. CVCU Dokter


Kardiologi
&
Kedoktera
√ √ √
n
Vaskular /
Dokter
Anastesi
13. Ruang Dokter
Tindakan Anak hematoon
√ √ √ √
(lantai 1 Rindu kologi
B) anak
14. Catch Lab √ √ √ √ Dokter
{Pemasangan Anestesi/
ASO Kardiologi
(Amplazer /Kardiolog
Septal i Anak
Occluder),
Pemasangan

5
ADO
(Amplazer
Ductal
Occluder),
Pemasangan
AMVO
(Amplazer
Membranous
Occluder),
Penyadapan
Angiografi}

15. Instalasi Rawat Dokter


Jalan : Bedah

a. Ruang

Tindakan
Bedah Lt 3
(Sirkumsisi,
Biopsi)
b. Pencabutan Dokter
Gigi (Poli Gigi
Gigi) √

17. Unit Pelayanan Dokter


Khusus Kardiologi
Kegawatan
√ √ √
Jantung (PJT)
18. Hemodialisa Dokter

Interna

D. Evaluasi Prasedasi
Dokter pemberi sedasi bertanggung jawab melakukan pengkajian prasedasi dari
pasien untuk :

1. Mengidentifkasi masalah jalan napas yang dapat mempengaruhi jenis


sedasi yang digunakan
2. Mengevaluasi pasien pasien yang beresiko agar dapat diberikan sedasi
prosedural yang sesuai
3. Merencanakan jenis sedasi dan tingkat sedasi yang diperlukan pasien
berdasarkan prosedur yang dilakukan
4. Memberikan sedasi dengan aman dan
5. Menginterpretasikan temuan dari pemantauan pasien selama prosedur
sedasi dan pemulihan

Penilaian prasedasi membantu mengidentifikasi hal-hal yang dapat


mempengaruhi respon pasien terhadap tindakan sedasi dan mengidentifikasi
hal-hal penting yang dapat terjadi selama monitoring saat dan setelah prosedur
sedasi sehingga menjamin keamanan dan keselamatan pasien. Pemberi sedasi

6
melakukan kunjungan prasedasi untuk menilai kelayakan (pertimbangan
manfaat dan risiko) untuk dilakukan prosedur sedasi. Evaluasi risiko pasien
dilakukan berdasarkan klasifikasi status fisik dari ASA (American Society of
Anesthesiologist). Penilaian prasedasi didokumentasikan dalam lembar
penilaian preanestesi/sedasi. Riwayat keadaan pasien yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap prosedur sedasi diantaranya:

1. Kelainan system organ utama


2. Terapi obat-obatan yang dapat berinteraksi dengan obat sedasi
3. Alergi obat
4. Riwayat efek samping terhadap anestesi atau sedasi
5. Waktu dan jenis intake oral terakhir
6. Riwayat pemakaian alkohol atau obat-obat terlarang

Tabel 2. Sistem Klasifikasi Status Fisik ASA


Klasifikasi Status
Fisik ASA Definisi Contoh
Sehat, tidak merokok, tidak atau minimal
ASA I
Pasien sehat normal pengguna alkohol
Penyakit ringan tanpa keterbatasan
fungsi. Contoh: perokok, peminum
ASA II
Pasien dengan penyakit alkohol, hamil, terkontrol, penyakit paru
sistemik ringan ringan
Pasien dengan penyakit Keterbatasan fungsional; satu atau lebih
sistemik berat penyakit sedang sampai berat. Contoh:
hipertensi atau DM yang tidak
terkontrol, PPOK, morbid obese (BMI >
40), hepatitis aktif, ketergantungan
alkohol, pacemaker, implan, penurunan
ASA III fraksi ejeksi sedang, penyakit ginjal
stadium akhir yang teratur menjalani
dialisis, bayi prematur dengan usia post
konsepsi < 60 minggu, riwayat infark
miokard, stroke, transient ischemic
attack, atau penyakit jantung
koroner/stent (> 3 bulan)
ASA IV Pasien dengan penyakit Contoh: riwayat infark miokard, stroke,
sistemik berat yang transient ischemic attack, atau penyakit
konstan mengancam jantung koroner/stent (< 3 bulan),
nyawa sedang mengalami iskemik kardiak atau
disfungsi katup berat, penurunan ejeksi
fraksi berat, sepsis, DIC, penyakit ginjal

7
akut atau penyakit ginjal stadium akhir
Contoh
yang ruptur
tidak aneurisma
menjalani dialisis rutin
abdomen/torak, trauma masif,
perdarahan intrakranial dengan efek
ASA V
Pasien kritis yang tidak massa, iskemik usus akibat patologi
diperkirakan dapat hidup kardiak yang signifikan atau disfungsi
tanpa operasi organ multipel
Pasien mati batang otak
ASA VI yang organnya diambil
untuk keperluan donor

*Penambahan “E” menunjukkan operasi emergensi.


Sumber: ASA physical status classification system;
2014

Pasien yang akan mendapatkan sedasi harus menjalani pemeriksaan fisik


seksama, meliputi tanda-tanda vital, auskultasi jantung dan paru dan evaluasi jalan
nafas. Pemeriksaan laboratorium penunjang sesuai indikasi berdasarkan kondisi
medis pasien dan kemungkinan bahwa hasil ini akan mempengaruhi
penatalaksanaan sedasi.

Tabel 3. Prosedur Penilaian Jalan Nafas Untuk Sedasi


Ventilasi tekanan positif, dengan atau tanpa intubasi trakea, mungkin diperlukan
jika terjadi gangguan respirasi selama sedasi. Hal ini mungkin sulit pada pasien
anatomi jalan nafas atipikial. Sebagai tambahan, beberapa kelainan jalan nafas
dapat meningkatkan kemungkinan obstruksi jalan nafas selama ventilasi
spontan. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kesulitan penatalaksanaan
jalan nafas meliputi:
Riwayat:
Masalah sebelumnya dengan anestesi atau sedasi
Stridor, snoring atau apnea saat tidur
Artritis rheumatoid lanjut
Kelainan kromosom
Pemeriksaan Fisik:
Habitus
Obesitas yang signifikan (terutama yang melibatkan leher dan struktur
wajah)

Kepala dan leher


Leher pendek, terbatasnya ekstensi leher, jarak hyoid-mental
yang pendek (<3 cm pada dewasa), masa leher, penyakit
spinal servikal atau trauma, deviasi trakea, dismorfik wajah

8
(misal: Sindrom Pierre-Robin)
Mulut
Buka kecil (<3 cm pada dewasa); edentulous; insisivus menonjol; gigi
longgar atau capped teeth; dental appliances; palatum melengkung,
tinggi; makroglossia; hipertrofi tonsilar; uvula tidak terlihat
Rahang
Micrognathia, retrognathia, trismus, maloklusi yang signifikan

Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists;


2002

Tabel 4. Persiapan Puasa


Jenis makanan Waktu minimum puasa

Cairan jernih 2 jam

ASI 4 jam

Susu Formula 6 jam

Makanan ringan 6 jam

Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists;


2002

Pemilihan obat sedasi disesuaikan dengan tingkat sedasi yang ingin dicapai.
Pada prosedur sedasi minimal dan moderat, dapat dipakai golongan
benzodiazepin atau opioid atau kombinasi keduanya dengan dosis bertahap
Selain itu, perlu disediakan antidotumnya. Pada prosedur sedasi dalam dan
anestesi, dapat digunakan propofol atau ketamin.

E. Monitoring Sedasi

Respon pasien terhadap perintah selama prosedur yang difasilitasi sedasi


bertindak sebagai panduan terhadap tingkat kesadarannya. Skala sedasi dapat
digunakan untuk memonitoring kedalaman sedasi selama prosedur berlangsung.
Peralatan emergensi harus selalu tersedia karena respon masing-masing individu
terhadap obat sedatif-hipnotik berbeda. Pemberi sedasi prosedural harus dapat
mengantisipasi bila pasien tersedasi lebih dalam dari pada yang diharapkan.

9
Monitoring selama periode sedasi dilakukan oleh Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) Anestesiologi, Anak dan Kardiologi beserta Peserta Program
Pendidikan Spesialis (PPDS) yang dibawah supervisi Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) serta perawat/Penata Anestesi yang mempunyai kompetensi
dalam melakukan: monitoring, respon terhadap komplikasi, penggunaan agen
antidotum, dan kriteria pemulihan. Monitoring sedasi diberikan oleh individu
selain pemberi sedasi. Semua dokumentasi selama prosedur sedasi tercatat
dengan baik di rekam medis.

Tabel 5. Komplikasi Sedasi


Over- atau undersedation
Henti jantung
Insufisiensi respirasi
Nyeri
Obstruksi jalan nafas
Mual dan muntah
Aspirasi
Hipertermi maligna
Instabilitas hemodinamik
Reaksi paradoksikal (seperti: agitasi, disforia, bingung)
Disritmia
Sumber: Moderate Sedation/Analgesia; 2014

Sedasi sering menimbulkan komplikasi. Oleh sebab itu, individu yang


memberikan sedasi maupun yang melakukan monitoring harus mengetahui apa saja
yang harus dilakukan jika terjadi komplikasi, diantaranya:

1. Over- atau undersedation


Oversedasi maupun undersedasi dapat dicegah dengan pemberian dosis dan
tehnik yang tepat, dan mengetahui pasien yang berisiko. Pemberian obat dosis
kecil dengan frekuensi yang lebih sering sesuai keperluan dapat mengurangi
terjadinya risiko ini. Jika terjadi overdosis, agen antidotum dapat diberikan.
2. Henti jantung
Segera lakukan Resusitasi Jantung Paru. Individu yang kompeten dalam
melakukan bantuan hidup lanjut harus dapat segera tiba untuk memberikan
bantuan resusitasi selama sedasi dilakukan.

3. Insufisiensi respirasi
Pencegahan dengan monitor respirasi dan saturasi oksigen tiap 5 menit dengan
menggunakan oxymetri. Pemberian suplemen oksigen mengurangi terjadinya
risiko. Agen antidotum dapat diberikan jika terjadi depresi nafas berlebihan.

10
4. Nyeri
Penilaian prasedasi harus menilai apakah prosedur yang akan dilakukan
menimbulkan nyeri. Agen sedasi yang mempunyai efek analgesik ataupun agen
analgesik lain dapat diberikan untuk mengatasi nyeri.

5. Obstruksi jalan nafas


Head tilt, jaw trush dapat dilakukan untuk membuka jalan nafas. Suctioning
dilakukan dengan hati-hati jika terdapat sekret karena suctioning berlebihan
dapat menimbulkan laringospasme.

6. Mual dan muntah


Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi risiko mual dan muntah. Bila terjadi
distensi lambung yang berlebihan, pemasangan pipa nasogastrik dapat
membantu mengurangi risiko. Hipovolemia harus dikoreksi, dan nyeri harus
diatasi dengan pemberian agen analgesik.

7. Aspirasi
Risiko aspirasi dapat dikurangi dengan pemberian obat yang dapat mengurangi
isi lambung atau pH lambung. Elevasi kepala dapat dilakukan pada pasien yang
berisiko. Jika terjadi aspirasi, suctioning dan proteksi jalan nafas dengan intubasi
diperlukan.

8. Hipertermi maligna
− Hentikan pemberian obat-obatan, dan segera minta bantuan
− Kombinasikan dantrolene dengan aqua steril dan berikan 2,5mg/kg iv
secepatnya
− Berikan bikarbonat untuk asidosis metabolik
− Berikan tindakan pendinginan (bilas lambung, selimut pendingin, carian infus
dingin)
− Terapi hiperkalemia berat dengan dextrosa 25-50 g iv, dan insulin regular,
10-20 unit iv (dosis dewasa)
− Berikan obat antiaritmia jika diperlukan tanpa melihat hiperkalemia dan
asidosis
− Monitor end tidal CO2, elektrolit, kreatinin kinase serum myoglobin,
temperatur, produksi urin, status koagulasi

9. Instabilitas hemodinamik
Pemberian cairan untuk mengatasi hipovolemia dan transfusi darah jika terjadi
perdarahan. Obat vasopressor dapat diberikan untuk menjaga stabilitas
hemodinamik.

11
10. Reaksi paradoksikal (seperti: agitasi, disforia, bingung)
Jika disebabkan karena hipoksia dapat diberikan suplementasi oksigen. Agen
antidotum dapat menyebabkan reaksi ini. Pemberian obat antidotum sebaiknya
secara titrasi.

11. Disritmia
Evaluasi penyebab distrimia. Berikan oksigen jika disebabkan karena hipoksia,
kelebihan cairan dapat diberikan diuretik, nyeri dapat diberikan agen analgetik,
dan hipovolemia dapat diberikan cairan. Obat antidisritmia dan defibrilator tetap
tersedia.

Tabel 6. Tindakan Yang Dilakukan Jika Teradi Komplikasi


Komplikasi Tindakan
Over-Atau under sedation Pemberian Agen Antidotum ( Naloxon
dan Flumazeni )
Henti jantung RJPO
Nyeri Pemberian Obat Analgesia
Obstruksi Jalan Nafas Pembeasan Jalan Nafas
Mual dan Muntah Pemberian antiemetik
Aspirasi Suction
Instabilitas Hemodinamik Pemerian cairan untuk mengatasi
hipovolemia dan transfusi darah

F. Sarana, Prasarana dan Peralatan


Untuk memberikan pelayanan sedasi yang seragam di lingkungan rumah
sakit, perlu ditunjang dengan ketersediaan fasilitas, peralatan dan perlengkapan
yang memadai sesuai dengan standar. Prosedur sedasi mempunyai potensi
risiko yang signifikan terhadap pasien sehingga dibutuhkan peralatan emergensi
untuk mengatasi komplikasi yang dapat terjadi.

Tabel 7. Peralatan Emergensi Untuk Sedasi


Peralatan emergensi yang harus tersedia jika tindakan sedasi
mengakibatkan depresi kardiorespirasi. Daftar berikut harus digunakan
sebagai panduan, yang dapat dimodifikasi tergantung pada keadaan
individu.
Peralatan intravena:
Sarung tangan
Swap alkohol
Kateter dan cairan intravena
Infus makro/mikro

12
Plester
Peralatan penatalaksana jalan nafas dasar:
Sumber oksigen (tabung/sentral)
Sumber suction
Kateter suction
Sungkup wajah
Ambu bag
Jalan nafas oral/nasal
Lubricant/jelly
Peralatan penatalaksanaan jalan nafas lanjut:
Laryngeal mask airway
Gagang laryngoskop
Blade laryngoskop (0-4)
Endotracheal tube (2,5.0/3-8.0)
Mandrin/stylet
Antagonis:
Naloxon
Flumazenil
Pengobatan emergensi:
Epinefrin
Atropin
Amiodaron
Lidokain
Glukosa 40%
Metilprednisolon atau deksametason
Diazepam atau midazolam
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002

Kebutuhan alat-alat monitoring disesuaikan dengan tingkat kedalaman sedasi


yang dicapai. Untuk sedasi moderat dan dalam peralatan yang diperlukan antara
lain:

1. ECG
2. NIBP
3. Pulse oxymetry
4. Sumber oksigen
5. Sumber suction

G. Pascasedasi
Setelah tindakan sedasi, pasien harus diobservasi oleh staf
(dokter/perawat) khusus. Pasien masih berisiko untuk mengalami komplikasi
setelah selesai prosedur. Berkurangnya stimulasi prosedur, absorbsi dan

13
eliminasi obat yang lambat dapat menyebabkan residu sedasi dan depresi
kardiorespirasi selama periode pemulihan. Kriteria pengeluaran/ discharge
didesain untuk meminimalkan depresi system saraf pusat dan kardiorespirasi.

Tabel 8. Kriteria Pemulihan dan Pengeluaran Setelah Sedasi


Tiap-tiap fasilitas pelayanan pasien dimana dilakukan pemberian sedasi harus
menetapkan kriteria pemulihan dan pemulangan yang cocok untuk pasien dan
prosedur tertentu.
Prinsip umum:
Supervisi medis pemulihan dan pengeluaran setelah sedasi moderat atau
dalam merupakan tanggung jawab praktisi yang melakukanan atau klinisi yang
berlisensi
Area pemulihan harus dilengkapi dengan, atau memiliki akses langsung ke,
monitoring yang tepat dan perlatan resusitasi
Pasien yang mendapat sedasi moderat atau dalam harus dimonitor hingga
kriteria pengeluaran terpenuhi
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002

Kriteria pemindahan pasien dewasa (termasuk geriatri) dari ruang pemulihan


yang dilakukan anestesi umum menggunakan Aldrete Score. Pada pasien
pediatri menggunakan Steward Score. Pemulangan pada pasien rawat jalan
dapat menggunakan Post Anesthetic Discharge Scoring System (PADSS).

Tabel 9. Aldrete Score


1. Aktivitas
2 = dapat menggerakkan 4 ekstremitas
1 = dapat menggerakkan 2 ekstremitas
0 = tidak ada gerakan
2. Pernafasan
2 = nafas dalam dan batuk
1 = Dypnea/ nafas dangkal
0 = Apnea
3. Sirkulasi
2 = TD + 20 mmHg dari preoperatif
1 = TD + 20-50 mmHg dari preoperatif 0 = TD + 50 mmHg dari
preoperatif
4. Kesadaran

14
2 = sadar penuh, mudah dipanggil
1 = bangun jika dipanggil
0 = tidak ada respon
5. Warna kulit
2 = kemerahan/normal
1 = pucat
0 = sianosis
(Total skor > 9 untuk pemulangan)
Sumber: Clinical Anesthesia, 6th edition; 2009

Tabel 10. Steward Score


1. Kesadaran 2 = bangun
1 = respon terhadap stimulus
0 = tidak respon terhadap stimulus
2.Jalan nafas
2 = aktif menangis / batuk
1 = dapat menjaga patensi jalan nafas
0 = perlu bantuan nafas
3. Gerakan
2 = gerak bertujuan
1 = gerak tanpa tujuan
0 = tidak bergerak
(Total skor> 5 untuk pemulangan)

Sumber: Essentials of Pediatric Anesthesiology, 2014

Tabel 11. PADSS


1. Tanda vital
2 = TD + nadi 20% dari preoperatif
1 = TD + nadi 20-40% dari preoperatif
0 = TD + nadi >40% mmHg dari preoperatif
2. Aktivitas
2 = berjalan stabil, tidak pusing atau sama saat preoperatif
1 = memerlukan bantuan
0 = tidak dapat berjalan
3. Mual dan muntah
2 = minimal/teratasi dengan obat oral
1 = sedang/teratasi dengan obat parenteral
0 = berat/terus menerus walaupun dengan terapi
4. Nyeri

15
Terkontrol dengan analgetik oral dan dapat diterima pasien
2 = ya
1 = tidak
5. Perdarahan pembedahan
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
(Total skor> 9 untuk pemulangan)

Sumber: Clinical Anesthesia, 6th edition; 2009

H. Pertimbangan khusus
1. Pasien Maternity
Pada kehamilan akan teradi peningkatan konsumsi oksigen pada ibu dan
teradi penurunan kapasitas residual fungsional dimana keduanya dapat
berkontribusi pada penurunan yang cepat pada PaO2 ibu yang dapat diamati
meskipun pada periode apnea yang singkat. Selain itu terjadi hiperventilasi
ringan pada ibu dan menurunkan PaCo2 ibu. Terjadi peningkatan resiko
kesulitan intubasi pada wanita hamil karena perubahan fisiologis pada airway
ibu selama kehamilan dan kehilangan kontrol jalan nafas merupakan penyebab
kematian terbesar pada anestesia ibu hamil. Perubahan hemodinamik selama
kehamilan termasuk penurunan tekanan darah sistemik yang teradi akibat
vasodilatsi yang dipengaruhi oleh progesteron dan low resistance plasenta.
Hipotensi sistemik teradi terutama pada posisi supine akibat kompresi
aortocaval pada uterus gravid, peningkatan yang signifikan pada kardiak output
dan penurunan kadar hematokrit maternal.Wanita hamil memiliki insiden refluks
esofagitis dan heartburn yang bisa meningkatkan resiko terjadinya regurgitasi
asam lambung.
Tidak ada penelitian yang memadai mengenai resiko penggunaan obat
midazolam pada ibu hamil dan menyusui. Obat ini masuk dalam resiko
kehamilan kategori D dan menurut US Food And Drugs Administration (FDA).
Midazolam dapat masuk ke dalam ASI dan dapat membayakan bagi bayi yang
menyusui.
Ada bukti positif mengenai resiko terhadap janin, tetapi pada keadaan
tertentu, obat sedasi dapat diberikan untuk mengatasi situasi yang mengancam
jiwa. Data menurut FDA, diazepam memenuhi studi dipreskripsikan pada
perempuan hamil trimester pertama sebanyak 74 wanita (8,3%), trimester kedua
127 wanita (14,2%) dan trimester ketiga 212 (23,7%). Ditemukan malformasi
kardiovaskular pada 3 anak, dan malformasi genitourinaria pada 3 anak.
Penelitian lain menyebutkan bahwa diazepam dikonsumsi saat hamil dapat

16
menyebabkan floppy infant syndrome : hipotonia muskular, skor apgar rendah,
hipotermia, gangguan respon terhadap dingin dan depresi neurologis.
Pada ibu menyusui dan mengkonsumsi diazepam ditemukan metabolit aktif
oxazepam dan desmethyldiazepam pada ASI. Waktu paruh di plasma dan di
ASI berkisar antara 12 jam dengan rasio plasma : ASI = 0.3 : 0.1. Pada anak
dengan ibu menyusui yang mengkosumsi diazepam ditemukan keadaan bayi
menadi letargik, berat badan turun, perubahan elektroensefalogram konsisten
dengan pengaruh sedatif, dan saat ASI dihentikan terdapat perbaikan gejala
dari bayi. Obat benzodiazepine yang diberikan pada ibu mneyusui sebaiknya
kerja cepat seperti alparazolam dan lorazepam. Pada pemberian benzodiazepin
dosis tunggal tidak perlu limitasi pemberian ASI.

2. Pasien pediatri
Pemberian sedasi pada pasien pediatri merupakan metode yang aman
dan efektif untuk mengatasi agitasi dan ketidaknyamanan pada anak. Namun,
perilaku anak untuk dapat bekerja sama terhadap suatu prosedur tergantung
dari kronologis dan usia perkembangan. Anak usia kurang dari 6 tahun dan
dengan keterlambatan tumbuh kembang biasanya memerlukan sedasi dalam
untuk memberikan kontrol perilaku yang adekuat. Penting untuk
mengantisipasi/mengatasi sedasi yang lebih dalam karena pasien anak-anak
lebih sering mengalami oversedasi. Pemberian agen sedasi juga memberikan
efek yang lebih besar pada usaha nafas, patensi jalan nafas, dan refleks
protektif pada anak-anak.
Pemberian agen sedasi harus dimodifikasi dengan mempertimbangkan
perbedaan anatomi dan fisiologi pada anak. Jalan nafas anak secara anatomis
berbeda dengan dewasa. Laring terletak lebih sefalad dan anterior, serta kepala
yang relatif lebih besar, sehingga memposisikan kepala berbeda pada anak.
Patensi jalan nafas menjadi perhatian karena lidah yang besar, yang dapat
menutup jalan nafas dan menyebabkan obstruksi. Pasien dengan masalah jalan
nafas sebaiknya diposisikan “sniffing”, dengan dagu diangkat keatas dan
kedepan. Memposisikan anak dengan manuver standar head-tilt/jaw-thrust
secara tidak sengaja dapat menyebabkan kolapsnya jalan nafas.
Usaha nafas pada anak berbeda karena alveoli yang lebih terbatas untuk
pertukaran gas. Kebutuhan oksigen juga lebih besar sehingga ventilasi semenit
lebih besar. Laju respirasi normal pada anak lebih cepat dari pada dewasa,
sehingga penurunan usaha nafas akibat pemberian obat sedasi dapat
menyebabkan insufisiensi respirasi yang signifikan. Sternum dan tulang iga
lebih kartilaginous dan lunak pada anak, menyebabkan tanda-tanda distres
pernafasan secara visual dapat diidentifikasi dengan adanya retraksi dinding
dada dan penggunaan otot abdominal. Pasien anak sebaiknya diberikan

17
suplemen oksigen saat diberikan agen sedasi karena kebutuhan oksigen yang
besar.
Laju nadi dan tekanan darah bervariasi tergantung usia anak, evaluasi
harus memperhatikan perbedaan ini. Curah jantung pada anak dikontrol melalui
peningkatan laju nadi, dan obat yang menurunkan laju nadi akan menyebabkan
penurunan curah jantung dengan konsekuensi berkurangnya waktu sirkulasi.
Penurunan curah jantung ini menyebabkan onset obat yang lebih lama dan
durasi yang lebih panjang. Pada anak, respon sirkulasi terhadap hipoksia
adalah terjadinya bradikardi. Jadi, laju nadi merupakan parameter yang penting.
Menilai tingkat kesadaran pada anak harus mempertimbangkan usia
perkembangan anak. Sistem neurologis tidak berkembang sepenuhnya sampai
usia 8-10 tahun. Mengetahui perilaku yang sesuai dengan usia normal pada
anak akan membantu untuk mengidentifikasi perubahan tingkat kesadaran pada
anak.
Fungsi hepar dan ginjal pada anak belum berkembang dengan baik dan
akan mempengaruhi metabolisme obat dan ekskresi. Pemanjangan efek obat
dapat terjadi akibat berkurangnya fungsi hepar. Sebaliknya, pada anak dapat
mengalami ekskresi yang lebih cepat karena volume sirkulasi yang lebih besar.
Monitoring respon obat pada anak sangat penting karena respon terhadap obat
yang sulit diprediksi.
Tehnik pemberian agen sedasi pada pasien pediatri berbeda dengan
pasien dewasa. Faktor internal (misalnya usia, tingkat perkembangan) dan
faktor eksternal (misalnya interaksi orang tua dengan anak, persiapan,
kemampuan klinisi, lingkungan dimana akan dilakukan prosedur) akan
menentukan respon anak. Dosis individual dan pemberian agen secara titrasi
sangat penting. Efek farmakologis obat-obatan dipengaruhi oleh curah jantung
yang lebih tinggi dan respon metabolik anak. Dosis anak miligram per kilogram
berat badan lebih besar dibanding dewasa. Dosis yang lebih besar ini
mengakibatkan risiko terjadinya penumpukan obat di lemak dan otot,
menyebabkan pemanjangan durasi dan risiko resedasi karena obat secara
lambat dilepas dari jaringan ini. Pemberi sedasi harus berhati-hati karena
komplikasi lebih sering terjadi pada anak.

2. Pasien geriatri
Pemberian sedasi pada pasien geriatri dapat memberikan ketenangan,
lingkungan yang nyaman pada pasien dengan ansietas tinggi. Namun, masalah
psikologis pada populasi ini besar, dan risiko komplikasi meningkat. Pemberi
sedasi harus memberikan perhatian yang lebih baik saat prasedasi, intrasedasi,
maupun postsedasi. Dimulai dari penilaian prasedasi sangat penting, termasuk
evaluasi jalan nafas pasien. Mengetahui kondisi komorbid penting untuk
mengurangi risiko komplikasi.

18
Pasien geriatri mengalami penurunan refleks laringeal dan faringeal,
sehingga meningkatkan risiko gangguan jalan nafas. Hilangnya gigi geligi
merubah bentuk mulut, dan dapat memberikan kesulitan dalam memberikan
ventilasi. Osteoartritis pada leher dapat menghalangi posisi manuver standar
head-tilt/jaw-thrust. Jika manuver head-tilt/jaw-thrust tidak memungkinkan,
memposisikan pasien dengan posisi lateral dekubitus dapat mengurangi risiko
terjadinya aspirasi.
Salah satu komplikasi mayor dari penuaan dan pemberian sedasi terjadi
saat digunakan benzodiazepin dan opioid. Kedua agen ini meningkatkan depresi
usaha nafas pasien, yang merupakan perubahan normal pada proses penuaan.
Dengan meningkatnya kadar CO2 dan menurunnya kadar oksigen, orang muda
akan meningkatkan kedalaman dan kecepatan respirasi untuk memenuhi
oksigenisasi jaringan yang adekuat. Kemampuan ini menumpul pada geriatri,
menyebabkan risiko terjadinya hipoksemia. Selain itu kadar oksigen darah
menurun seiring dengan dengan peningkatan usia; tidak jarang bagi geriatri
memiliki kadar oksigen darah 80 torr dengan saturasi oksigen sekitar 93%
sampai 95%. Keadaan ini memperberat risiko untuk terjadinya hipoksia dan
hiperkapnia sehingga diperlukan monitoring ketat untuk mencegah hal ini terjadi.
Proses penuaan menyebabkan penurunan curah jantung, sehingga terjadi
penurunan aliran darah ginjal dan hepar. Pada usia 80 tahun, curah jantung
mengalami penurunan setengah dari individu usia 20 tahun. Penurunan curah
jantung ini menyebabkan onset yang lebih lambat, waktu paruh dan ekskresi
yang memanjang, sehingga pemulihan dari sedasi lebih panjang. Sistem
konduksi jantung juga mengalami penurunan. Disertai dengan adanya hipoksia,
tidak jarang terjadi disritmia.
Ikatan obat dalam darah juga terganggu pada geriatri. Obat yang
berikatan dengan protein mengalami peningkatan konsentrasi dalam sirkulasi
karena berkurangnya albumin yang terjadi pada penuaan. Dengan lebih
banyaknya obat di sirkulasi, efek obat akan semakin meningkat dan
meningkatkan risiko terjadinya oversedasi. Pada obat yg larut air akan terjadi
peningkatan kadar obat karena jumlah air total pada tubuh berkurang seiring
dengan peningkatan usia. Keadaan ini akan memperberat risiko oversedasi.
Sebaliknya, kadar obat larut lemak akan berkurang karena meningkatnya lemak
pada geriatri. Obat ini akan menumpuk di lemak dan akan dilepas secara lambat
sehingga akan memperpanjang durasi.

3. Pasien alergi
4. Pasien penurunan fungsi gingal
5. Pasien penurunan fungsi hati

I. FARMAKOLOGI OBAT SEDATIF-HIPNOTIK

19
Agen sedasi dapat diberikan melalui jalur intravena, oral, intramuskular,
maupun per rektal. Tehnik sedasi ini dipilih sesuai dengan kedalaman sedasi yang
ingin dicapai dan agen sedatif yang akan digunakan.

1. Benzodiazepin
Struktur kimia benzodiazepin terdiri dari cincin benzen dan cincin diazepin.
Subtitusi cincin ini pada posisi tertentu mempengaruhi potensi dan biotransformasi.
Cincin imidazol midazolam menyebabkan sifatnya mudah larut air pada pH rendah.
Diazepam dan lorazepam yang tidak larut dalam air memerlukan preparat parenteral
mengandung propilen glikol, yang berhubungan dengan iritasi vena.
Golongan benzodiazepin diantaranya diazepam, clobazam, alprazolam,
midazolam, lorazepam. Semua obat benzodiazepin larut dalam lipid, dimetabolisme
di hati, dan diekskresikan di urin.
a. Mekanisme kerja
Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di sistem saraf pusat
terutama di korteks serebri. Ikatan reseptor-benzodiazepin meningkatkan efek
inhibisi beberapa neurotransmiter seperti reseptor GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: benzodiazepin memiliki efek depresan minimal terhadap
jantung. Tekanan darah, curah jantung, dan resistensi vaskuler perifer sedikit
menurun.
Respirasi: menekan respon ventilasi terhadap CO2. Depresi ini tidak signifikan
bila obat tidak diberikan secara intravena atau bersamaan dengan depresan
lain.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial. Benzodiazepin sangat efektif dalam mencegah dan
mengontrol kejang grand mal. Mempunyai efek amnesia.

c. Dosis:
- Midazolam
Intravena: dosis awal 0,01-0,1 mg/kg, pemeliharaan 0,04-0,2 mg/kg/jam,
- Pediatri intramuskular: 0,1-0,15 mg/kg; peroral: 0,3-0,5 mg/kg, dosis
maksimal 15 mg
- Diazepam
Intravena: 0,04-0,2 mg/kg
Pediatri peroral: 0,2-0,5 mg/kg, dosis maksimal 15 mg
d. Antidotum
Flumazenil merupakan antagonis spesifik dan kompetitif terhadap reseptor
benzodiazepin. Walaupun secara cepat (onset < 1 menit) dapat mengatasi efek

20
hipnotik, amnesia masih dapat terjadi. Efek pada pasien geriatri sulit untuk
diprediksi, dan pada pasien ini berisiko untuk terjadi resedasi.
Dosis flumazenil diberikan secara titrasi melalui intravena 0,2 mg/menit (8-
15 µg/kg iv) sampai mencapai derajat reversal yang diinginkan. Dosis total
biasanya 0,6-1,0 mg.
Dosis pediatri: titrasi 0,01 mg/kg/menit
Karena flumazenil mengalami metabolisme yang cepat di hepar,
pengulangan dosis dapat diperlukan setelah 1-2 jam untuk mencegah resedasi.

2. Opioid
a. Klasifikasi
Berdasarkan kerja obat, opioid dibagi menjadi:
- Agonis, obat berikatan dan menstimulasi reseptor hingga batas maksimal.
Contoh: morfin, kodein, hidromorfin, heroin, meperidin, fentanil.
- Antagonis, obat yang berikatan dengan reseptor namun gagal
menstimulasinya. Contoh: nalokson, naltrekson.
- Agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor namun tidak dapat
menstimulasi reseptor hingga ambang maksimal. Contoh: buprenorfin,
pentazosin.
- Campuran agonis antagonis: obat yang berikatan dengan berbagai subtipe
reseptor dan menghasilkan stimulasi subtipe reseptor yang berbeda-beda
(bisa agonis atau antagonis). Contoh: nalbufin.
b. Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik (mu, kappa, delta, sigma) yang
teletak di sepanjang sistem saraf pusat dan jaringan lain. Aktivasi reseptor
opioid menghambat pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmiter eksitasi (misalnya asetilkolin, substansi P) dari neuron
nosiseptif. Mekanisme seluler dari neuromodulasi ini melibatkan perubahan
konduksi ion potasium dan kalsium. Walaupun memiliki efek sedasi, opioid
sangat efektif dalam menghasilkan analgesia.
c. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: opioid tidak banyak mempengaruhi fungsi kardiovaskuler,
vagus mediated bradycardia, penurunan tekanan darah.
Respirasi: depresi ventilasi, terutama laju respirasi, hypoxic drive
menurun.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral,
dan tekanan intrakranial.
Gastrointestinal: memperlambat pengosongan lambung dengan
mengurangi peristaltik, spasme bilier, mual dan muntah.
Morfin dan meperidin dapat menyebabkan pelepasan histamindan
menghasilkan metabolit yang aktif.

21
d. Dosis
Efek sedasi timbul pada dosis analgetik untuk manajemen nyeri sedang sampai
berat. Morfin memiliki onset yang lebih lambat dan durasi yang lebih panjang (4-
5 jam).
- Morfin
Dewasa intravena: 2,5-10 mg
Pediatri intravena: 0,01-0,2 mg/kg iv; intramuskular: 0,1 mg/kg
Pemeliharaan: 10-50 μg/kg/jam
- Meperidin:
Dewasa intravena: 25-50 mg
Pediatri intravena: 1-2 mg/kg
- Fentanil:
Dewasa intravena: 25-100 μg
Pediatri intravena: 0,5-2 μg/kg
Pemeliharaan: 0,01-0,05 μg/kg/menit
e. Antidotum
Naloxon merupakan antagonis opioid murni. Naloxon berikatan dengan reseptor
opioid namun tidak mengaktivasi reseptor tersebut. Dosis intravena (vial 0,4
mg/ml diencerkan menjadi 0,04 mg/ml) dititrasi 0,5-1 μg/kg setiap 3-5 menit
sampai tercapai ventilasi yang adekuat dan sadar penuh.

3. Ketamin
a. Mekanisme kerja
Ketamin memiliki banyak efek terhadap sistem saraf pusat, diantaranya
memblok refleks polisinaptik pada corda spinalis dan menghambat efek
neurotransmiter eksitasi pada daerah tertentu di otak. Ketamin mendisosiasi
talamus (yang menghantarkan impuls sensorik dari reticular activating system
ke korteks serebri) dari korteks limbik (termasuk sensorik).
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: stimulasi sentral terhadap sistem saraf simpatis, meningkatkan
tekanan darah, laju nadi, dan curah jantung.
Respirasi: sedikit mempengaruhi respirasi, bronkodilator poten.
Serebral: meningkatkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan
tekanan intrakranial
c. Ketamin mempunyai onset 45-60 detik dan durasi 10-20 menit
d. Dosis
- Intravena: 0,5-1 mg/kg
- Pemeliharaan: 25-75 µg/kg/menit
- Pediatri peroral: 6-10 mg/kg; intramuskular: 3-4 mg/kg

4. Propofol

22
Propofol merupakan obat sedasi kerja cepat (< 1 menit) yang digunakan untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi serta sedasi kerja singkat (10-15 menit).
Propofol sangat larut pada lipid dengan sediaan emulsi lipid 10%.
a. Mekanisme kerja
Propofol bekerja pada neurotransmisi inhibisi yang dimediasi oleh GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: hipotensi akibat penurunan resistensi vaskuler perifer (inhibisi
aktivitas vasokonstriksi simpatis), kontraktilitas jantung dan preload. Perubahan
terhadap laju nadi dan curah jantung biasanya transien dan tidak signifikan.
Respirasi: Pada dosis induksi biasanya menyebabkan apnu. Pada dosis
subanestetik, infus propofol menghambat hypoxic ventilatory drive dan
mendepresi respon terhadap hiperkarbia.
Serebral: menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan
tekanan intrakranial. Mempunyai efek antiemetik.
c. Dosis
- Intravena: 0,25-1 mg/kg
- Pemeliharaan: 25-200 μg/kg/menit
- Pemeliharaan pediatri: 60-250 μg/kg/menit

5. Dexmedetomidin
a. Mekanisme kerja
Dexmedetomidin merupakan 2 adrenergik agonis selektif yang bekerja secara
sentral yang mempunyai efek sedasi dan analgetik. Dexmedetomidin
mempunyai onset yang cepat (1-3 menit) dan waktu paruh terminal 2 jam. Obat
ini dimetabolisme di hati dan dieliminasi di urin. Dapat digunakan untuk sedasi
jangka pendek (<24 jam)
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: bradikardi, hipotensi
Respirasi: tidak signifikan mendepresi ventilatory drive
Serebral: sedasi, amnesia
c. Dosis dexmedetomidin bolus 1 μg/kg iv dalam 10 menit, infus 0,2-0,7 μg/kg/jam

6. Kloral hidrat
Kloral hidrat sering digunakan pada anak-anak untuk sedasi atau hipnotik jangka
pendek. Pada dosis terapeutik, kloral hidrat mempunyai efek minimal terhadap
respirasi dan kardiovaskuler.
a. Mekanisme kerja
Kloral hidrat dimetabolisme menjadi trikloroetanol yang mempunyai sifat
farmakologis. Mekanisme depresi SSP yaitu dengan potensiasi fungsi reseptor
GABA, menghambat eksitasi yang dimediasi N-metil-D-aspartat, yang bekerja
mirip dengan benzodiazepin dan barbiturat.

23
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: dosis tinggi dapat menyebabkan hipotensi, aritmia atrial
atau ventrikel, torsades de pointes, depresi kontraktilitas miokard dan
memperpendek periode refraktori.
Respirasi: dosis sedasi tidak mempengaruhi respirasi dan refleks batuk
Serebral: efek samping akibat depresi SSP yaitu ataxia, mimpi buruk,
vertigo, sakit kepala, malaise. Reaksi idiosinkratik jarang terjadi (halusinasi,
delirium, disorientasi, inkoheren, paranoid)
Gastrointestinal: iritatif, menyebabkan mual, muntah diare, nyeri perut
Hematologi:leukopenia dan eosinofilia
c. Dosis kloral hidrat per oral/per rektal 50-75 mg/kg.
Efek sedasi timbul dalam 10 sampai 15 menit dan tertidur biasanya
selama 30 sampai 60 menit.

7. Barbiturat
Barbiturat merupakan derivat asam barbiturik. Barbiturat terdiri dari oksibarbiturat
(phenobarbital, methohexital, secobarbital, dan pentobarbital) dan tiobarbiturat
(tiopental dan thiamilal). Tiobarbiturat lebih larut dalam lemak sehingga lebih poten
mempunyai onset lebih cepat dan durasi yang lebih singkat. Tiopental mempunyai
onset < 1 menit. Pasien biasanya mulai kehilangan kesadaran dalam 30 detik dan
bangun dalam 20 menit.
a. Mekanisme kerja
Barbiturat mendepresi reticular activating system (RAS) di batang otak,
yang mengontrol berbagai fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi
klinis, barbiturat lebih poten mempengaruhi fungsi sinapsis saraf dibanding
akson. Barbiturat menghasilkan efek hipnotik sedatif melalui neurotransmiter
inhibisi asam γ-aminobutirat (GABA) di sistem saraf pusat
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: bolus barbiturat intravena dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah dan kenaikan laju nadi. Depresi pusat vasomotor medula
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Takikardi mungkin
disebabkan karena efek vagolitik sentral dan respon refleks terhadap
penurunan tekanan darah.
Respirasi: depresi terhadap pusat ventilasi medula menyebabkan
penurunan respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi dengan
barbiturat sering menyebabkan sumbatan jalan nafas atas.
Serebral: konstriksi vaskularisasi serebal menyebabkan penurunan aliran
darah serebral, volume darah serebral, dan tekanan intrakranial. Penurunan
tekanan intrakranial lebih menurun dibanding tekanan darah arteri sehingga
tekanan perfusi serebral biasanya meningkat.

24
Renal: penurunan aliran darah renal dan laju filtrasi glomerular
proporsional dengan penurunan tekanan darah.
Hepar: aliran darah hepar menurun. Pemakaian jangka panjang dapat
mempengaruhi biotransformasi obat.
c. Dosis
Tiopental diberikan secara intravena dengan dosis awal 2-4 mg/kg,
dilanjutkan dengan pemeliharaan 30-80 µg/kg/menit.
Setiap vial 500 mg tiopental dilarutkan dengan 20 ml, atau vial 1 g
tiopental dilarutkan dengan 40 ml aqua injeksi atau NaCl 0,9% atau glukosa 5%
untuk menghasilkan larutan 2,5% (25 mg/ml).

25
BAB IV
DOKUMENTASI

1. Form Assesment Pra Sedasi/Pra Anasthesi (RM 11.5/ASS PRA Sedasi


ANSTH/2015))
2. Form Edukasi Tindakan Anastesi dan Sedasi (RM 11.5.1/ET
ANES&SEDASI/2018)
3. Form Lembar Pencatatan Sedasi (RM 11.5.3/P PRE
ANAS/SEDASI/2018)
4. Form Persetujuan Tindakan Kedokteran Sedasi-Anestesi (RM 2.4/PTAS
Rev I/2018)

26

Anda mungkin juga menyukai