DEFINISI
3. Sedasi dalam: pasien tidak mudah untuk dibangunkan, tetapi memberikan respon
yang bertujuan terhadap stimulasi berulang atau nyeri. Fungsi kardiovaskuler
terjaga. Kemampuan untuk menjaga fungsi ventilasi dapat terganggu. Ventilasi
spontan dapat inadekuat. Pasien memerlukan bantuan untuk menjaga patensi
jalan nafas.
1
Tabel 1. Perubahan Fisiologis Tubuh Terhadap Kedalaman Sedasi
2
BAB II
RUANG LINGKUP
Pemilihan atau target sedasi tergantung dari jenis prosedur yang akan
dilakukan. AmericanSociety of Anesthesiologist (ASA) mengklasifikasikan sedasi
menjadi 4 tingkat, yaitu sedasi minimal (anxiolysis), sedasi moderat (conscious
sedation), sedasi dalam, dan anestesi. Saat ini terdapat banyak skala sedasi yang
dibuat oleh beberapa institusi. Skala sedasi tersebut diantaranya MSAT (Minnesota
Sedation Assessment Tool), SAS (Sedation Agitation Scale), MAAS (Motor Activity
Assessment Scale) UMSS (Univesity of Michigan Sedation Scale), ATICE
(Adaptation to Intensive Care Environment), VICS (Vancouver Interactive and
Calmness Scale), RSS (Ramsay Sedation Scale) dan RASS (Richmond Agitation
Sedation Scale). Pelayanan sedasi prosedural yang seragam dan terstandar di
seluruh area rumah sakit termasuk pelayanan di kamar operasi dan di luar kamar
operasi. Pelayanan sedasi di luar kamar operasi meliputi ruang resusitasi, ICU, HCU,
CT Scan, MRI, IDT, Brachiterapi, PICU/NICU, dan Ruang Tindakan Anak.
3
BAB III
TATA LAKSANA
A. Prosedur Sedasi
B. Kualifikasi
Kualifikasi atau keterampilan khusus dari staf yang terlibat dalam proses
prosedur pelayanan sedasi moderat dan dalam dilaksanakan oleh dokter
spesialis anestesiologi yang kompeten dalam hal teknik dan jenis sedasi,
farmakologi obat-obatan sedasi dan antidotumnya, pemantauan sedasi dan
respon terhadap komplikasi. Pelayanan tersebut dibawah pimpinan dokter
penanggungjjawab pelayanan (DPJP) anestesilogi dan terapi intensif yang
merupakan dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif dan
bertanggungjawab atas pelayanan yang diberikan. Layanan sedasi moderat
dan dalam diberikan juga oleh dokter spesialis anak, serta dokter kardiologi
& kedokteran vascular.
4
C. Tempat pelayanan Prosedur Sedasi dan Anestesi
No Tempat Anestesi Sedasi Anestesi PPK
Pelayanan Berat Moderat Ringan Lokal
1. Kamar Operasi Dokter
Instalasi Bedah √ √ √ √ √ Anestesi
Pusat
2. Kamar operasi Dokter
√ √ √ √ √
IGD Anestesi
3. Kamar operasi Dokter
PJT √ √ √ √ √ Anestesi
4. Instalasi Dokter
Diagnostik Anestesi
Terpadu
(ERCP,
gastroskopi, √ √ √ √
kolonokopi,
bronkoskopi
dan biopsy
ginjal anak)
5. Ruangan Dokter
Resusitasi dan √ √ √ √ Anestesi
tindakan IGD
6. Intensive care Dokter
√ √ √ √
Unit Anestesi
7. PICU/NICU Dokter
√ √ √ √ Intensifis
Anak
8. High Care Unit Dokter
√ √ √ √
(IGD) Anestesi
9. Stroke Corner Dokter
√ √ √ √
(Unit R-A) Anestesi
10. Instalasi Dokter
Radiologi (CT √ √ √ Anestesi
Scan & MRI)
11. Instalasi Dokter
Radioterapi Anestesi
(Brakhiterapi,
√ √ √
Simulator,
Penyinaran)
5
ADO
(Amplazer
Ductal
Occluder),
Pemasangan
AMVO
(Amplazer
Membranous
Occluder),
Penyadapan
Angiografi}
a. Ruang
√
Tindakan
Bedah Lt 3
(Sirkumsisi,
Biopsi)
b. Pencabutan Dokter
Gigi (Poli Gigi
Gigi) √
D. Evaluasi Prasedasi
Dokter pemberi sedasi bertanggung jawab melakukan pengkajian prasedasi dari
pasien untuk :
6
melakukan kunjungan prasedasi untuk menilai kelayakan (pertimbangan
manfaat dan risiko) untuk dilakukan prosedur sedasi. Evaluasi risiko pasien
dilakukan berdasarkan klasifikasi status fisik dari ASA (American Society of
Anesthesiologist). Penilaian prasedasi didokumentasikan dalam lembar
penilaian preanestesi/sedasi. Riwayat keadaan pasien yang dapat
mempengaruhi respon pasien terhadap prosedur sedasi diantaranya:
7
akut atau penyakit ginjal stadium akhir
Contoh
yang ruptur
tidak aneurisma
menjalani dialisis rutin
abdomen/torak, trauma masif,
perdarahan intrakranial dengan efek
ASA V
Pasien kritis yang tidak massa, iskemik usus akibat patologi
diperkirakan dapat hidup kardiak yang signifikan atau disfungsi
tanpa operasi organ multipel
Pasien mati batang otak
ASA VI yang organnya diambil
untuk keperluan donor
8
(misal: Sindrom Pierre-Robin)
Mulut
Buka kecil (<3 cm pada dewasa); edentulous; insisivus menonjol; gigi
longgar atau capped teeth; dental appliances; palatum melengkung,
tinggi; makroglossia; hipertrofi tonsilar; uvula tidak terlihat
Rahang
Micrognathia, retrognathia, trismus, maloklusi yang signifikan
ASI 4 jam
Pemilihan obat sedasi disesuaikan dengan tingkat sedasi yang ingin dicapai.
Pada prosedur sedasi minimal dan moderat, dapat dipakai golongan
benzodiazepin atau opioid atau kombinasi keduanya dengan dosis bertahap
Selain itu, perlu disediakan antidotumnya. Pada prosedur sedasi dalam dan
anestesi, dapat digunakan propofol atau ketamin.
E. Monitoring Sedasi
9
Monitoring selama periode sedasi dilakukan oleh Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) Anestesiologi, Anak dan Kardiologi beserta Peserta Program
Pendidikan Spesialis (PPDS) yang dibawah supervisi Dokter Penanggung Jawab
Pelayanan (DPJP) serta perawat/Penata Anestesi yang mempunyai kompetensi
dalam melakukan: monitoring, respon terhadap komplikasi, penggunaan agen
antidotum, dan kriteria pemulihan. Monitoring sedasi diberikan oleh individu
selain pemberi sedasi. Semua dokumentasi selama prosedur sedasi tercatat
dengan baik di rekam medis.
3. Insufisiensi respirasi
Pencegahan dengan monitor respirasi dan saturasi oksigen tiap 5 menit dengan
menggunakan oxymetri. Pemberian suplemen oksigen mengurangi terjadinya
risiko. Agen antidotum dapat diberikan jika terjadi depresi nafas berlebihan.
10
4. Nyeri
Penilaian prasedasi harus menilai apakah prosedur yang akan dilakukan
menimbulkan nyeri. Agen sedasi yang mempunyai efek analgesik ataupun agen
analgesik lain dapat diberikan untuk mengatasi nyeri.
7. Aspirasi
Risiko aspirasi dapat dikurangi dengan pemberian obat yang dapat mengurangi
isi lambung atau pH lambung. Elevasi kepala dapat dilakukan pada pasien yang
berisiko. Jika terjadi aspirasi, suctioning dan proteksi jalan nafas dengan intubasi
diperlukan.
8. Hipertermi maligna
− Hentikan pemberian obat-obatan, dan segera minta bantuan
− Kombinasikan dantrolene dengan aqua steril dan berikan 2,5mg/kg iv
secepatnya
− Berikan bikarbonat untuk asidosis metabolik
− Berikan tindakan pendinginan (bilas lambung, selimut pendingin, carian infus
dingin)
− Terapi hiperkalemia berat dengan dextrosa 25-50 g iv, dan insulin regular,
10-20 unit iv (dosis dewasa)
− Berikan obat antiaritmia jika diperlukan tanpa melihat hiperkalemia dan
asidosis
− Monitor end tidal CO2, elektrolit, kreatinin kinase serum myoglobin,
temperatur, produksi urin, status koagulasi
9. Instabilitas hemodinamik
Pemberian cairan untuk mengatasi hipovolemia dan transfusi darah jika terjadi
perdarahan. Obat vasopressor dapat diberikan untuk menjaga stabilitas
hemodinamik.
11
10. Reaksi paradoksikal (seperti: agitasi, disforia, bingung)
Jika disebabkan karena hipoksia dapat diberikan suplementasi oksigen. Agen
antidotum dapat menyebabkan reaksi ini. Pemberian obat antidotum sebaiknya
secara titrasi.
11. Disritmia
Evaluasi penyebab distrimia. Berikan oksigen jika disebabkan karena hipoksia,
kelebihan cairan dapat diberikan diuretik, nyeri dapat diberikan agen analgetik,
dan hipovolemia dapat diberikan cairan. Obat antidisritmia dan defibrilator tetap
tersedia.
12
Plester
Peralatan penatalaksana jalan nafas dasar:
Sumber oksigen (tabung/sentral)
Sumber suction
Kateter suction
Sungkup wajah
Ambu bag
Jalan nafas oral/nasal
Lubricant/jelly
Peralatan penatalaksanaan jalan nafas lanjut:
Laryngeal mask airway
Gagang laryngoskop
Blade laryngoskop (0-4)
Endotracheal tube (2,5.0/3-8.0)
Mandrin/stylet
Antagonis:
Naloxon
Flumazenil
Pengobatan emergensi:
Epinefrin
Atropin
Amiodaron
Lidokain
Glukosa 40%
Metilprednisolon atau deksametason
Diazepam atau midazolam
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by Non-anesthesiologists; 2002
1. ECG
2. NIBP
3. Pulse oxymetry
4. Sumber oksigen
5. Sumber suction
G. Pascasedasi
Setelah tindakan sedasi, pasien harus diobservasi oleh staf
(dokter/perawat) khusus. Pasien masih berisiko untuk mengalami komplikasi
setelah selesai prosedur. Berkurangnya stimulasi prosedur, absorbsi dan
13
eliminasi obat yang lambat dapat menyebabkan residu sedasi dan depresi
kardiorespirasi selama periode pemulihan. Kriteria pengeluaran/ discharge
didesain untuk meminimalkan depresi system saraf pusat dan kardiorespirasi.
14
2 = sadar penuh, mudah dipanggil
1 = bangun jika dipanggil
0 = tidak ada respon
5. Warna kulit
2 = kemerahan/normal
1 = pucat
0 = sianosis
(Total skor > 9 untuk pemulangan)
Sumber: Clinical Anesthesia, 6th edition; 2009
15
Terkontrol dengan analgetik oral dan dapat diterima pasien
2 = ya
1 = tidak
5. Perdarahan pembedahan
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
(Total skor> 9 untuk pemulangan)
H. Pertimbangan khusus
1. Pasien Maternity
Pada kehamilan akan teradi peningkatan konsumsi oksigen pada ibu dan
teradi penurunan kapasitas residual fungsional dimana keduanya dapat
berkontribusi pada penurunan yang cepat pada PaO2 ibu yang dapat diamati
meskipun pada periode apnea yang singkat. Selain itu terjadi hiperventilasi
ringan pada ibu dan menurunkan PaCo2 ibu. Terjadi peningkatan resiko
kesulitan intubasi pada wanita hamil karena perubahan fisiologis pada airway
ibu selama kehamilan dan kehilangan kontrol jalan nafas merupakan penyebab
kematian terbesar pada anestesia ibu hamil. Perubahan hemodinamik selama
kehamilan termasuk penurunan tekanan darah sistemik yang teradi akibat
vasodilatsi yang dipengaruhi oleh progesteron dan low resistance plasenta.
Hipotensi sistemik teradi terutama pada posisi supine akibat kompresi
aortocaval pada uterus gravid, peningkatan yang signifikan pada kardiak output
dan penurunan kadar hematokrit maternal.Wanita hamil memiliki insiden refluks
esofagitis dan heartburn yang bisa meningkatkan resiko terjadinya regurgitasi
asam lambung.
Tidak ada penelitian yang memadai mengenai resiko penggunaan obat
midazolam pada ibu hamil dan menyusui. Obat ini masuk dalam resiko
kehamilan kategori D dan menurut US Food And Drugs Administration (FDA).
Midazolam dapat masuk ke dalam ASI dan dapat membayakan bagi bayi yang
menyusui.
Ada bukti positif mengenai resiko terhadap janin, tetapi pada keadaan
tertentu, obat sedasi dapat diberikan untuk mengatasi situasi yang mengancam
jiwa. Data menurut FDA, diazepam memenuhi studi dipreskripsikan pada
perempuan hamil trimester pertama sebanyak 74 wanita (8,3%), trimester kedua
127 wanita (14,2%) dan trimester ketiga 212 (23,7%). Ditemukan malformasi
kardiovaskular pada 3 anak, dan malformasi genitourinaria pada 3 anak.
Penelitian lain menyebutkan bahwa diazepam dikonsumsi saat hamil dapat
16
menyebabkan floppy infant syndrome : hipotonia muskular, skor apgar rendah,
hipotermia, gangguan respon terhadap dingin dan depresi neurologis.
Pada ibu menyusui dan mengkonsumsi diazepam ditemukan metabolit aktif
oxazepam dan desmethyldiazepam pada ASI. Waktu paruh di plasma dan di
ASI berkisar antara 12 jam dengan rasio plasma : ASI = 0.3 : 0.1. Pada anak
dengan ibu menyusui yang mengkosumsi diazepam ditemukan keadaan bayi
menadi letargik, berat badan turun, perubahan elektroensefalogram konsisten
dengan pengaruh sedatif, dan saat ASI dihentikan terdapat perbaikan gejala
dari bayi. Obat benzodiazepine yang diberikan pada ibu mneyusui sebaiknya
kerja cepat seperti alparazolam dan lorazepam. Pada pemberian benzodiazepin
dosis tunggal tidak perlu limitasi pemberian ASI.
2. Pasien pediatri
Pemberian sedasi pada pasien pediatri merupakan metode yang aman
dan efektif untuk mengatasi agitasi dan ketidaknyamanan pada anak. Namun,
perilaku anak untuk dapat bekerja sama terhadap suatu prosedur tergantung
dari kronologis dan usia perkembangan. Anak usia kurang dari 6 tahun dan
dengan keterlambatan tumbuh kembang biasanya memerlukan sedasi dalam
untuk memberikan kontrol perilaku yang adekuat. Penting untuk
mengantisipasi/mengatasi sedasi yang lebih dalam karena pasien anak-anak
lebih sering mengalami oversedasi. Pemberian agen sedasi juga memberikan
efek yang lebih besar pada usaha nafas, patensi jalan nafas, dan refleks
protektif pada anak-anak.
Pemberian agen sedasi harus dimodifikasi dengan mempertimbangkan
perbedaan anatomi dan fisiologi pada anak. Jalan nafas anak secara anatomis
berbeda dengan dewasa. Laring terletak lebih sefalad dan anterior, serta kepala
yang relatif lebih besar, sehingga memposisikan kepala berbeda pada anak.
Patensi jalan nafas menjadi perhatian karena lidah yang besar, yang dapat
menutup jalan nafas dan menyebabkan obstruksi. Pasien dengan masalah jalan
nafas sebaiknya diposisikan “sniffing”, dengan dagu diangkat keatas dan
kedepan. Memposisikan anak dengan manuver standar head-tilt/jaw-thrust
secara tidak sengaja dapat menyebabkan kolapsnya jalan nafas.
Usaha nafas pada anak berbeda karena alveoli yang lebih terbatas untuk
pertukaran gas. Kebutuhan oksigen juga lebih besar sehingga ventilasi semenit
lebih besar. Laju respirasi normal pada anak lebih cepat dari pada dewasa,
sehingga penurunan usaha nafas akibat pemberian obat sedasi dapat
menyebabkan insufisiensi respirasi yang signifikan. Sternum dan tulang iga
lebih kartilaginous dan lunak pada anak, menyebabkan tanda-tanda distres
pernafasan secara visual dapat diidentifikasi dengan adanya retraksi dinding
dada dan penggunaan otot abdominal. Pasien anak sebaiknya diberikan
17
suplemen oksigen saat diberikan agen sedasi karena kebutuhan oksigen yang
besar.
Laju nadi dan tekanan darah bervariasi tergantung usia anak, evaluasi
harus memperhatikan perbedaan ini. Curah jantung pada anak dikontrol melalui
peningkatan laju nadi, dan obat yang menurunkan laju nadi akan menyebabkan
penurunan curah jantung dengan konsekuensi berkurangnya waktu sirkulasi.
Penurunan curah jantung ini menyebabkan onset obat yang lebih lama dan
durasi yang lebih panjang. Pada anak, respon sirkulasi terhadap hipoksia
adalah terjadinya bradikardi. Jadi, laju nadi merupakan parameter yang penting.
Menilai tingkat kesadaran pada anak harus mempertimbangkan usia
perkembangan anak. Sistem neurologis tidak berkembang sepenuhnya sampai
usia 8-10 tahun. Mengetahui perilaku yang sesuai dengan usia normal pada
anak akan membantu untuk mengidentifikasi perubahan tingkat kesadaran pada
anak.
Fungsi hepar dan ginjal pada anak belum berkembang dengan baik dan
akan mempengaruhi metabolisme obat dan ekskresi. Pemanjangan efek obat
dapat terjadi akibat berkurangnya fungsi hepar. Sebaliknya, pada anak dapat
mengalami ekskresi yang lebih cepat karena volume sirkulasi yang lebih besar.
Monitoring respon obat pada anak sangat penting karena respon terhadap obat
yang sulit diprediksi.
Tehnik pemberian agen sedasi pada pasien pediatri berbeda dengan
pasien dewasa. Faktor internal (misalnya usia, tingkat perkembangan) dan
faktor eksternal (misalnya interaksi orang tua dengan anak, persiapan,
kemampuan klinisi, lingkungan dimana akan dilakukan prosedur) akan
menentukan respon anak. Dosis individual dan pemberian agen secara titrasi
sangat penting. Efek farmakologis obat-obatan dipengaruhi oleh curah jantung
yang lebih tinggi dan respon metabolik anak. Dosis anak miligram per kilogram
berat badan lebih besar dibanding dewasa. Dosis yang lebih besar ini
mengakibatkan risiko terjadinya penumpukan obat di lemak dan otot,
menyebabkan pemanjangan durasi dan risiko resedasi karena obat secara
lambat dilepas dari jaringan ini. Pemberi sedasi harus berhati-hati karena
komplikasi lebih sering terjadi pada anak.
2. Pasien geriatri
Pemberian sedasi pada pasien geriatri dapat memberikan ketenangan,
lingkungan yang nyaman pada pasien dengan ansietas tinggi. Namun, masalah
psikologis pada populasi ini besar, dan risiko komplikasi meningkat. Pemberi
sedasi harus memberikan perhatian yang lebih baik saat prasedasi, intrasedasi,
maupun postsedasi. Dimulai dari penilaian prasedasi sangat penting, termasuk
evaluasi jalan nafas pasien. Mengetahui kondisi komorbid penting untuk
mengurangi risiko komplikasi.
18
Pasien geriatri mengalami penurunan refleks laringeal dan faringeal,
sehingga meningkatkan risiko gangguan jalan nafas. Hilangnya gigi geligi
merubah bentuk mulut, dan dapat memberikan kesulitan dalam memberikan
ventilasi. Osteoartritis pada leher dapat menghalangi posisi manuver standar
head-tilt/jaw-thrust. Jika manuver head-tilt/jaw-thrust tidak memungkinkan,
memposisikan pasien dengan posisi lateral dekubitus dapat mengurangi risiko
terjadinya aspirasi.
Salah satu komplikasi mayor dari penuaan dan pemberian sedasi terjadi
saat digunakan benzodiazepin dan opioid. Kedua agen ini meningkatkan depresi
usaha nafas pasien, yang merupakan perubahan normal pada proses penuaan.
Dengan meningkatnya kadar CO2 dan menurunnya kadar oksigen, orang muda
akan meningkatkan kedalaman dan kecepatan respirasi untuk memenuhi
oksigenisasi jaringan yang adekuat. Kemampuan ini menumpul pada geriatri,
menyebabkan risiko terjadinya hipoksemia. Selain itu kadar oksigen darah
menurun seiring dengan dengan peningkatan usia; tidak jarang bagi geriatri
memiliki kadar oksigen darah 80 torr dengan saturasi oksigen sekitar 93%
sampai 95%. Keadaan ini memperberat risiko untuk terjadinya hipoksia dan
hiperkapnia sehingga diperlukan monitoring ketat untuk mencegah hal ini terjadi.
Proses penuaan menyebabkan penurunan curah jantung, sehingga terjadi
penurunan aliran darah ginjal dan hepar. Pada usia 80 tahun, curah jantung
mengalami penurunan setengah dari individu usia 20 tahun. Penurunan curah
jantung ini menyebabkan onset yang lebih lambat, waktu paruh dan ekskresi
yang memanjang, sehingga pemulihan dari sedasi lebih panjang. Sistem
konduksi jantung juga mengalami penurunan. Disertai dengan adanya hipoksia,
tidak jarang terjadi disritmia.
Ikatan obat dalam darah juga terganggu pada geriatri. Obat yang
berikatan dengan protein mengalami peningkatan konsentrasi dalam sirkulasi
karena berkurangnya albumin yang terjadi pada penuaan. Dengan lebih
banyaknya obat di sirkulasi, efek obat akan semakin meningkat dan
meningkatkan risiko terjadinya oversedasi. Pada obat yg larut air akan terjadi
peningkatan kadar obat karena jumlah air total pada tubuh berkurang seiring
dengan peningkatan usia. Keadaan ini akan memperberat risiko oversedasi.
Sebaliknya, kadar obat larut lemak akan berkurang karena meningkatnya lemak
pada geriatri. Obat ini akan menumpuk di lemak dan akan dilepas secara lambat
sehingga akan memperpanjang durasi.
3. Pasien alergi
4. Pasien penurunan fungsi gingal
5. Pasien penurunan fungsi hati
19
Agen sedasi dapat diberikan melalui jalur intravena, oral, intramuskular,
maupun per rektal. Tehnik sedasi ini dipilih sesuai dengan kedalaman sedasi yang
ingin dicapai dan agen sedatif yang akan digunakan.
1. Benzodiazepin
Struktur kimia benzodiazepin terdiri dari cincin benzen dan cincin diazepin.
Subtitusi cincin ini pada posisi tertentu mempengaruhi potensi dan biotransformasi.
Cincin imidazol midazolam menyebabkan sifatnya mudah larut air pada pH rendah.
Diazepam dan lorazepam yang tidak larut dalam air memerlukan preparat parenteral
mengandung propilen glikol, yang berhubungan dengan iritasi vena.
Golongan benzodiazepin diantaranya diazepam, clobazam, alprazolam,
midazolam, lorazepam. Semua obat benzodiazepin larut dalam lipid, dimetabolisme
di hati, dan diekskresikan di urin.
a. Mekanisme kerja
Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di sistem saraf pusat
terutama di korteks serebri. Ikatan reseptor-benzodiazepin meningkatkan efek
inhibisi beberapa neurotransmiter seperti reseptor GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: benzodiazepin memiliki efek depresan minimal terhadap
jantung. Tekanan darah, curah jantung, dan resistensi vaskuler perifer sedikit
menurun.
Respirasi: menekan respon ventilasi terhadap CO2. Depresi ini tidak signifikan
bila obat tidak diberikan secara intravena atau bersamaan dengan depresan
lain.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah otak, dan
tekanan intrakranial. Benzodiazepin sangat efektif dalam mencegah dan
mengontrol kejang grand mal. Mempunyai efek amnesia.
c. Dosis:
- Midazolam
Intravena: dosis awal 0,01-0,1 mg/kg, pemeliharaan 0,04-0,2 mg/kg/jam,
- Pediatri intramuskular: 0,1-0,15 mg/kg; peroral: 0,3-0,5 mg/kg, dosis
maksimal 15 mg
- Diazepam
Intravena: 0,04-0,2 mg/kg
Pediatri peroral: 0,2-0,5 mg/kg, dosis maksimal 15 mg
d. Antidotum
Flumazenil merupakan antagonis spesifik dan kompetitif terhadap reseptor
benzodiazepin. Walaupun secara cepat (onset < 1 menit) dapat mengatasi efek
20
hipnotik, amnesia masih dapat terjadi. Efek pada pasien geriatri sulit untuk
diprediksi, dan pada pasien ini berisiko untuk terjadi resedasi.
Dosis flumazenil diberikan secara titrasi melalui intravena 0,2 mg/menit (8-
15 µg/kg iv) sampai mencapai derajat reversal yang diinginkan. Dosis total
biasanya 0,6-1,0 mg.
Dosis pediatri: titrasi 0,01 mg/kg/menit
Karena flumazenil mengalami metabolisme yang cepat di hepar,
pengulangan dosis dapat diperlukan setelah 1-2 jam untuk mencegah resedasi.
2. Opioid
a. Klasifikasi
Berdasarkan kerja obat, opioid dibagi menjadi:
- Agonis, obat berikatan dan menstimulasi reseptor hingga batas maksimal.
Contoh: morfin, kodein, hidromorfin, heroin, meperidin, fentanil.
- Antagonis, obat yang berikatan dengan reseptor namun gagal
menstimulasinya. Contoh: nalokson, naltrekson.
- Agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor namun tidak dapat
menstimulasi reseptor hingga ambang maksimal. Contoh: buprenorfin,
pentazosin.
- Campuran agonis antagonis: obat yang berikatan dengan berbagai subtipe
reseptor dan menghasilkan stimulasi subtipe reseptor yang berbeda-beda
(bisa agonis atau antagonis). Contoh: nalbufin.
b. Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik (mu, kappa, delta, sigma) yang
teletak di sepanjang sistem saraf pusat dan jaringan lain. Aktivasi reseptor
opioid menghambat pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmiter eksitasi (misalnya asetilkolin, substansi P) dari neuron
nosiseptif. Mekanisme seluler dari neuromodulasi ini melibatkan perubahan
konduksi ion potasium dan kalsium. Walaupun memiliki efek sedasi, opioid
sangat efektif dalam menghasilkan analgesia.
c. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: opioid tidak banyak mempengaruhi fungsi kardiovaskuler,
vagus mediated bradycardia, penurunan tekanan darah.
Respirasi: depresi ventilasi, terutama laju respirasi, hypoxic drive
menurun.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral,
dan tekanan intrakranial.
Gastrointestinal: memperlambat pengosongan lambung dengan
mengurangi peristaltik, spasme bilier, mual dan muntah.
Morfin dan meperidin dapat menyebabkan pelepasan histamindan
menghasilkan metabolit yang aktif.
21
d. Dosis
Efek sedasi timbul pada dosis analgetik untuk manajemen nyeri sedang sampai
berat. Morfin memiliki onset yang lebih lambat dan durasi yang lebih panjang (4-
5 jam).
- Morfin
Dewasa intravena: 2,5-10 mg
Pediatri intravena: 0,01-0,2 mg/kg iv; intramuskular: 0,1 mg/kg
Pemeliharaan: 10-50 μg/kg/jam
- Meperidin:
Dewasa intravena: 25-50 mg
Pediatri intravena: 1-2 mg/kg
- Fentanil:
Dewasa intravena: 25-100 μg
Pediatri intravena: 0,5-2 μg/kg
Pemeliharaan: 0,01-0,05 μg/kg/menit
e. Antidotum
Naloxon merupakan antagonis opioid murni. Naloxon berikatan dengan reseptor
opioid namun tidak mengaktivasi reseptor tersebut. Dosis intravena (vial 0,4
mg/ml diencerkan menjadi 0,04 mg/ml) dititrasi 0,5-1 μg/kg setiap 3-5 menit
sampai tercapai ventilasi yang adekuat dan sadar penuh.
3. Ketamin
a. Mekanisme kerja
Ketamin memiliki banyak efek terhadap sistem saraf pusat, diantaranya
memblok refleks polisinaptik pada corda spinalis dan menghambat efek
neurotransmiter eksitasi pada daerah tertentu di otak. Ketamin mendisosiasi
talamus (yang menghantarkan impuls sensorik dari reticular activating system
ke korteks serebri) dari korteks limbik (termasuk sensorik).
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: stimulasi sentral terhadap sistem saraf simpatis, meningkatkan
tekanan darah, laju nadi, dan curah jantung.
Respirasi: sedikit mempengaruhi respirasi, bronkodilator poten.
Serebral: meningkatkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan
tekanan intrakranial
c. Ketamin mempunyai onset 45-60 detik dan durasi 10-20 menit
d. Dosis
- Intravena: 0,5-1 mg/kg
- Pemeliharaan: 25-75 µg/kg/menit
- Pediatri peroral: 6-10 mg/kg; intramuskular: 3-4 mg/kg
4. Propofol
22
Propofol merupakan obat sedasi kerja cepat (< 1 menit) yang digunakan untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi serta sedasi kerja singkat (10-15 menit).
Propofol sangat larut pada lipid dengan sediaan emulsi lipid 10%.
a. Mekanisme kerja
Propofol bekerja pada neurotransmisi inhibisi yang dimediasi oleh GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: hipotensi akibat penurunan resistensi vaskuler perifer (inhibisi
aktivitas vasokonstriksi simpatis), kontraktilitas jantung dan preload. Perubahan
terhadap laju nadi dan curah jantung biasanya transien dan tidak signifikan.
Respirasi: Pada dosis induksi biasanya menyebabkan apnu. Pada dosis
subanestetik, infus propofol menghambat hypoxic ventilatory drive dan
mendepresi respon terhadap hiperkarbia.
Serebral: menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan
tekanan intrakranial. Mempunyai efek antiemetik.
c. Dosis
- Intravena: 0,25-1 mg/kg
- Pemeliharaan: 25-200 μg/kg/menit
- Pemeliharaan pediatri: 60-250 μg/kg/menit
5. Dexmedetomidin
a. Mekanisme kerja
Dexmedetomidin merupakan 2 adrenergik agonis selektif yang bekerja secara
sentral yang mempunyai efek sedasi dan analgetik. Dexmedetomidin
mempunyai onset yang cepat (1-3 menit) dan waktu paruh terminal 2 jam. Obat
ini dimetabolisme di hati dan dieliminasi di urin. Dapat digunakan untuk sedasi
jangka pendek (<24 jam)
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: bradikardi, hipotensi
Respirasi: tidak signifikan mendepresi ventilatory drive
Serebral: sedasi, amnesia
c. Dosis dexmedetomidin bolus 1 μg/kg iv dalam 10 menit, infus 0,2-0,7 μg/kg/jam
6. Kloral hidrat
Kloral hidrat sering digunakan pada anak-anak untuk sedasi atau hipnotik jangka
pendek. Pada dosis terapeutik, kloral hidrat mempunyai efek minimal terhadap
respirasi dan kardiovaskuler.
a. Mekanisme kerja
Kloral hidrat dimetabolisme menjadi trikloroetanol yang mempunyai sifat
farmakologis. Mekanisme depresi SSP yaitu dengan potensiasi fungsi reseptor
GABA, menghambat eksitasi yang dimediasi N-metil-D-aspartat, yang bekerja
mirip dengan benzodiazepin dan barbiturat.
23
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: dosis tinggi dapat menyebabkan hipotensi, aritmia atrial
atau ventrikel, torsades de pointes, depresi kontraktilitas miokard dan
memperpendek periode refraktori.
Respirasi: dosis sedasi tidak mempengaruhi respirasi dan refleks batuk
Serebral: efek samping akibat depresi SSP yaitu ataxia, mimpi buruk,
vertigo, sakit kepala, malaise. Reaksi idiosinkratik jarang terjadi (halusinasi,
delirium, disorientasi, inkoheren, paranoid)
Gastrointestinal: iritatif, menyebabkan mual, muntah diare, nyeri perut
Hematologi:leukopenia dan eosinofilia
c. Dosis kloral hidrat per oral/per rektal 50-75 mg/kg.
Efek sedasi timbul dalam 10 sampai 15 menit dan tertidur biasanya
selama 30 sampai 60 menit.
7. Barbiturat
Barbiturat merupakan derivat asam barbiturik. Barbiturat terdiri dari oksibarbiturat
(phenobarbital, methohexital, secobarbital, dan pentobarbital) dan tiobarbiturat
(tiopental dan thiamilal). Tiobarbiturat lebih larut dalam lemak sehingga lebih poten
mempunyai onset lebih cepat dan durasi yang lebih singkat. Tiopental mempunyai
onset < 1 menit. Pasien biasanya mulai kehilangan kesadaran dalam 30 detik dan
bangun dalam 20 menit.
a. Mekanisme kerja
Barbiturat mendepresi reticular activating system (RAS) di batang otak,
yang mengontrol berbagai fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi
klinis, barbiturat lebih poten mempengaruhi fungsi sinapsis saraf dibanding
akson. Barbiturat menghasilkan efek hipnotik sedatif melalui neurotransmiter
inhibisi asam γ-aminobutirat (GABA) di sistem saraf pusat
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: bolus barbiturat intravena dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah dan kenaikan laju nadi. Depresi pusat vasomotor medula
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Takikardi mungkin
disebabkan karena efek vagolitik sentral dan respon refleks terhadap
penurunan tekanan darah.
Respirasi: depresi terhadap pusat ventilasi medula menyebabkan
penurunan respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi dengan
barbiturat sering menyebabkan sumbatan jalan nafas atas.
Serebral: konstriksi vaskularisasi serebal menyebabkan penurunan aliran
darah serebral, volume darah serebral, dan tekanan intrakranial. Penurunan
tekanan intrakranial lebih menurun dibanding tekanan darah arteri sehingga
tekanan perfusi serebral biasanya meningkat.
24
Renal: penurunan aliran darah renal dan laju filtrasi glomerular
proporsional dengan penurunan tekanan darah.
Hepar: aliran darah hepar menurun. Pemakaian jangka panjang dapat
mempengaruhi biotransformasi obat.
c. Dosis
Tiopental diberikan secara intravena dengan dosis awal 2-4 mg/kg,
dilanjutkan dengan pemeliharaan 30-80 µg/kg/menit.
Setiap vial 500 mg tiopental dilarutkan dengan 20 ml, atau vial 1 g
tiopental dilarutkan dengan 40 ml aqua injeksi atau NaCl 0,9% atau glukosa 5%
untuk menghasilkan larutan 2,5% (25 mg/ml).
25
BAB IV
DOKUMENTASI
26