Tn. W, usia 27 tahun, menikah 1,5 tahun, belum memiliki keturunan, pendidikan sarjana,
pekerjaan wiraswasta, alamat Bunul Malang. Pasien tinggal dirumah orang tua dan istri.
Tidak pernah olah raga rutin. Pasien tidak terbiasa makan pagi. Pasien terbiasa minum kopi 2
cangkir/hari, merokok 1 – 2 pak/hari, mengunakan alkohol dan narkotika suntik jenis putau
dengan frekuensi 1 – 2 x/minggu. Pasien mengatakan bahwa ia juga dulu pernah melakukan
seks bebas dengan pekerja seks komersial dan dengan beberapa pasangan terdahulu sebelum
menikah.
Selama sakit di rumah, pasien tidak bekerja, tidak mampu melakukan aktifitas diluar rumah.
Kebiasaan merokok, alkohol, narkotika dan kegiatan seks sudah tidak dilakukan lagi.
Di rumah sakit pasien bedrest. Saat MRS, pasien lemas seluruh badan selama 3 hari, pasien
tidak mau makan karena mual dan muntah, batuk-batuk dan demam naik turun. Dada terasa
sakit sewaktu batuk tetapi tidak sesak. 1 hari sebelum MRS pasien mengalami penurunan
kesadaran, seperti mengantuk, sulit berkomunikasi, ngompol dan diare ± 10 x/hari, mengeluh
pusing dan pingsan sepulang pengobatan alternatif kemudian pasien langsung dibawa ke IGD
RSSA oleh ayah dan istrinya. Berat badan turun drastis, keluarga tidak tahu berapa kg
penurunan berat badannya tetapi saat ini pasien sangat kurus.
Saat MRS, pemeriksaan VS menunjukkan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 80 x/menit,
frekuensi napas 20x/menit, suhu 37.9 oC, demam, pasien tampak mual, nyeri kepala
berdenyut.
Status neurologis GCS 325, pupil bulat isokor Ø 3/3 mm rcl +/+ rctl +/+, kaku kuduk ada,
lasag <70/<70, kernig <135/<135, Nervus karnial parese N VII sinistra sentral, otonom
inkontinensia uri, motorik kesan hemiparase, reflek fisiologis ++/++, reflek patologis +/+
sensorik belum dapat dinilai.
Hasil pemeriksaan sehari setelah MRS diperoleh data VS tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
100 x/menit, frekuensi napas 28 x/menit, suhu 38,5 oC, status generalis pada kepala dbn, mata
konjunktiva pucat, sklera ikterik, leher tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening,
telinga dbn, hidung dbn, tenggorok dbn, terdapat plak putih tersebar dalam rongga mulut,
jantung dbn, paru vesikuler, ronchi +/+, wheezing -/-, abdomen lemas, terdapat nyeri tekan,
bising usus dbn, ekstremitas hemiparese dan tidak terdapat odema, kulit pada daerah tertekan
tampak terjadi erupsi terutama pada sakrum terdapat erupsi epidermis sekitar 5x5 cm. Status
neurologis GCS 345, pupil isokor Ø 4 mm rcl +/+ rctl +/+, kaku kuduk tidak ada, lasag
<70/<70, kernig <135/<135, Nervus karnial parese N VII sinistra sentral, otonom
inkontinensia uri, terpasang kateter, motorik hemiparase, reflek fisiologis ++/++, reflek
patologis +/+ sensorik belum dapat dinilai. Aktifitas bedrest, miring kiri-kanan dibantu, ROM
terbatas/pasif, gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, identitas diri tidak dapat dinilai,
psikologis tidak dapat dinilai.
Pasien didiagnosis mengalami AIDS komplikasi infeksi setelah diketahui T Helper (CD4+)
= 45/uL.
CT-scan kepala diperoleh hasil sugestif toxoplasmosis dengan ventrikulomegali.
Terapi:
Selama dirawat pasien mendapatkan O2 2 ltr/mnt, terpasang NGT untuk memasukkan cairan
dan nutrisi cair, nystatin 2-3 tetes 3 x/hari, New Diatab 3 x 2 tablet yang dihaluskan. Pasien
direncanakan mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) berupa Nevirapin 200 mg, Lamivudin
150 mg dan Stavudin 30 mg. Selain itu pasien juga direncanakan mendapat antibiotik
streptomisin, etambutol, dan klindamisin.
TUGAS!
a. SUBJEKTIF
Waktu Parameter Komentar
Identitas pasien Tn. W
usia 27 tahun,
menikah 1,5 tahun(belum memiliki keturunan)
pendidikan sarjana
pekerjaan wiraswasta
alamat Bunul Malang (pasien tinggal dirumah orang tua dan
istri)
Riwayat sosial Parameter Interpretasi
Tidak pernah Pola hidup yang kurang sehat ini
olahraga dan mempengaruhi daya tahan tubuh
sarapan, minum pasien dan terjadi penumpukan
kopi 2 cangkir, radikal bebas karena kemungkinan
alkohol, dan pasien sudah terkena HIV sekitar 8
merokok tahun yang lalu, dengan gaya hidup
yang kurang sehat ini maka
meningkatkan progresifitas dari
penyakit dan menuju AIDS.
Tidak bergerak dan berolahraga juga
akan berdampak pada distribusi
cairan limpa. Tidak seperti darah
yang memiliki jantung sebagai
pemompanya, limpa sangat
tergantung pada gerakan otot untuk
bisa didistribusikan ke berbagai
jaringan tubuh. Padahal cairan limpa
yang diproduksi oleh suatu kelenjar
tanpa saluran (ductless) ini
merupakan bagian dari sistem imun
atau kekebalan tubuh. Dampaknya
tentu saja kekebalan tubuh akan
menurun, sehingga mudah terserang
penyakit terutama jika sedang musim
flu (Nasronudin.2013).
b. OBJEKTIF
Parameter Saat MRS Setelah Nilai Keterangan
MRS Normal
TD 110/80 120/80 120/80 Tekanan darah saat MRS sedikit di
mmHg mmHg mmHg bawah nilai normal, namun
setelah menjalani perawatan
tekanan darah sudah kembali
normal.
Nadi 80x/menit 100x/menit 60- Nadi setelah MRS masih berada
100x/menit pada nilai normal.
Frekuensi 20x/menit 28x/menit 14- Respiration Rate setelah MRS di
napas 20x/menit atas nilai normal, hal ini ditandai
dengan gejala sesak yang dialami
pasien. Nilai RR yang tinggi ini
dimungkinkan karena adanya
reaksi infeksi opurtunistik pada
pasien yang menyerang paru-
paru.
Suhu tubuh 37,9 oC 38,5 37±0,5 oC Peningkatan suhu tubuh
dikarenakan adanya antigen di
dalam tubuh yaitu virus HIV/AIDS.
Sehingga tubuh mengeluarkan
mediator-mediator inflamasi
seperti TNF, yang membuat suhu
tubuh meningkat serta
menstimulasi keluarnya pirogen
untuk membentuk prostaglandin
yang akan meningkatkan suhu
tubuh pada hipotalamus otak.
GCS 325 345 456 Penilaian respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan antara
lain:
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara
(suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri
(berikan rangsangan nyeri,
misalnya menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon
ASSESSMENT
PLAN
Masalah Penyelesaian
Pasien diberikan terapi Belum ada diagnosa pasti untuk infeksi saluran pernafasan yang
Streptomisin dan Etambutol dialami pasien sehingga perlu ditegakkan diagnosisnya antara TB
sementara belum ada diagnosa atau pneumonia dengan cara melakukan radiografi toraks serta
pasti untuk TBC pada pasien pemeriksaan sputum. Diagnosa perlu ditegakkan supaya dapat
dipilih terapi yang tepat untuk mengatasi infeksi saluran nafas
yang diderita pasien.
Namun, jika dilihat dari jumlah CD4+ pasien yaitu 45/L yang
mana tergolong sangat rendah. Untuk pasien dengan jumlah
CD4+ < 50/L dapat diberikan terapi profilaksis infeksi
oportunistik Mycobacterium avium yaitu dapat diberikan
Azithromycin 1.200 mg per oral sekali per minggu atau
Clarithromycin 500 mg per oral dua kali sehari (DiPiro, 2015).
Currow, D.C., Coughlan, M., Fardel, B., and Cooney, N.J. 1997. Use
of ondasentron in palliative medicine.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9185436. Diakses 7
Oktober 2017
Pasien direncanakan kombinasi Kombinasi ini sudah tepat karena kombinasi terapi untuk pasien
terapi ARV yaitu Nevirapin, HIV yang paling bagus adalah : 2 NRTI + NNRTI/PI.
Lamivudin dan Stavudin Selain itu, obat ARV haruslah dikombinasi untuk menurunkan
resistensi karena virus HIV mudah berganti-ganti envelope.
Kombinasi paling baik yaitu ZDV + 3TC + EFV yang diberikan dua
dosis perhari. Pada pasien bisa diberikan Zidovudin + Lamivudin +
EFV (dua dosis perhari) atau Stavudin dosis 30mg + lamivudine +
EFV. Karena pasien ada gangguan hati (sklerik icterus) dan CD4 =
45/uL. Sehingga NVP lebih baik tidak diberikan.
Lamivudin
Mekanisme aksi : NRTIs menginhibisi replikasi virus melalui viral
RNA–dependent DNA polymerase
Dosis : 150 mg diberikan tiap 2 jam
ES : sakit kepala, mual, muntah, batuk, diare, demam
Stavudin
Mekanisme aksi : NRTIs menginhibisi replikasi virus melalui viral
RNA–dependent DNA polymerase
Dosis : 30 mg diberikan tiap 12 jam
ES : sakit kepala, insomnia, cemas, rash, mual, muntah
EFV atau Efavirenz
Mekanisme Aksi : merupakan golongan NNRTIs adalah kelompok
obat yang secara kimia memiliki gugus yang heterogen yang
berikatan secara non kompetitif pada sisi katalisis reverse
transcriptase. NNRTIs tidak memerlukan aktivasi intraseluler dan
tidak berkompetisi dengan deoxynucloetide endogen.
Dosis : 600mg sekali sehari
ES : ruam, diare, nausea, muntah, depresi, gangguan tidur, sakit
kepala, peningkatan kolesterol total
Monitoring
- Monitoring efikasi nystatin dengan mengamati berkurangnya plak putih, serta
monitoring adanya reaksi hipersensitivitas dan efek samping nystatin seperti mual,
nyeri perut, diare, dan gejala SJS.
- Monitoring RR dan saturasi oksigen untuk melihat efikasi pemberian O2
- Monitoring peningkatan berat badan dan BMI untuk mengevaluasi kecukupan gizi
pasien.
- Monitoring status nutrisi dan kondisi pasien untuk menilai keefektivan pemberian
NGT sebagai nutrisi enteral untuk pasien.
- Mengamati adanya penurunan frekuensi BAB dan peningkatan konsistensi feses
untuk melihat efikasi obat.
- Monitoring fungsi hepar. Monitoring fungsi hepar karena pasien mendapat
pengobatan antiretroviral jangka panjang sehingga ditakutkan akan berpengaruh
pada hati pasien. perlu pengecekan SGOT/SGPT pada pasien.
- Monitoring efek samping dari terapi ART yang diberikan pada pasien
- Monitoring dan evaluasi terapi toxoplasmosis dapat dilakukan CT-scan atau MRI
kembali setiap 4-6 minggu sekali hingga tercapai perbaikan lesi atau stabilisasi lesi.
Terapi toxoplasmosis dapat dihentikan pada pasien dengan peningkatan jumlah CD4+
yang menetap hingga > 200/L dan perbaikan lesi melalui pemeriksaan MRI.
Konseling
KIE untuk pasien :
Tidak boleh stress karena dapat memperburuk kondisi psikologi dari pasien
Minum obat secara teratur
Olahraga secara rutin untuk meningkatkan sistem imun dimana dapat meningkatkan
sirkulasi darah sel darah putih sehingga jika ada benda asing yang masuk dapat
segera dihancurkan oleh sel darah putih
Menghentikan kebiasaan mengkonsumsi kopi, merokok, mengkonsumsi alkohol,
narkotika, dan kegiatan seks
Menggunakan nystatin dengan benar yaitu setelah makan atau minum mulut
dibersihkan terlebih dahulu, obat dikocok terlebih dahulu sebelum digunakan
kemudian diteteskan secara merata. Didiamkan dan dilarang untuk makan atau
minum selama 30 menit agar obat tetap berada dimulut. Waktu konsumsi obat ini
pada waktu yang sama setiap harinya.
KIE untuk keluarga terutama istri :
Tidak melakukan hubungan seksual terlebih dahulu
Cek kadar CD4+ untuk melihat apakah telah tertular HIV/AIDS
Tidak menjauhi pasien dan tetap membantu meningkatkan kondisi psikologis pasien